• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Jenis Kelamin Tahun Agustus Agustus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Jenis Kelamin Tahun Agustus Agustus"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan penyalahgunaan Narkoba yang ada saat ini khususnya di kalangan remaja terbilang cukup tinggi. Berdasarkan data yang terhimpun pada Data Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 1.1 Data Kasus Narkoba pada Remaja Kelompok Umur 10-18 Tahun Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 2012 2013 Agustus 2014 2012 2013 Agustus 2014 2012 2013 Agustus 2014 313 360 158 135 172 104 1 1 -

Pada tahun 2012, jumlah remaja berumur 10 tahun sampai 18 tahun yang menggunakan Narkoba mencapai 313 orang, tahun 2013 remaja yang menggunakan Narkoba mencapai 360 orang, dan pada tahun 2014 berakhir pada bulan Agustus, remaja yang menggunakan Narkoba mencapai 158 orang. Data tersebut menunjukan bahwa penyalahgunaan Narkoba cenderung terus meningkat. Dilihat berdasarkan jenis kelamin menunjukan bahwa pada tahun 2012 penyalahgunaan Narkoba pada pelajar laki-laki mencapai 135 orang sedangkan pelajar perempuan hanya 1 orang, pada tahun 2013 penyalahgunaan Narkoba pada pelajar laki-laki mencapai 172 orang sedangkan pelajar perempuan hanya 1 orang, dan tahun 2014 berakhir pada bulan Agustus penyalahgunaan Narkoba pada kalangan pelajar laki-laki 104 orang sedangkan perempuan tidak ada. Data tersebut menunjukan bahwa pada penyalahgunaan Narkoba lebih banyak remaja laki-laki dari pada remaja perempuan.

Maraknya penggunaan Narkoba merupakan salah satu dari tindak kenakalan remaja yang buruk. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, dan lain sebagainya (Kurniawan, 2008). Penggunaan zat terlarang atau narkoba merupakan bentuk tindakan negatif yang

(2)

2

dapat membuat perkembangan anak di masa remaja menjadi kearah yang menyimpang, penggunaan zat narkoba tersebut juga dapat menghambat perkembangan anak tersebut, tidak terkecuali perkembangan fisik dan psikis.

Dari latar belakang yang telah di kemukakan sebelumnya, peneliti tertarik ingin meneliti dan mengkaji perilaku para pengguna narkoba serta para pelanggar hukum khususnya para remaja yang sedang menuju proses pendewasaan. Hal ini menarik untuk peneliti teliti karena berdasarkan latar belakang diatas, narkoba dapat mengganggu dan menghambat pertumbuhan remaja. Oleh karena itu peneliti memutuskan untuk mengambil subjek remaja yang menggunakan Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak Pria kelas IIa Tangerang khususnya pada remaja laki-laki, yang diperkuat dari data diatas bahwa dalam penyalahgunaan Narkoba lebih banyak remaja laki-laki. Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Andik atau anak didik adalah sebutan narapidana anak yang berada di Lapas Anak Pria kelas IIa Tangerang. Andik disini rata-rata berusia 14 – 20 tahun, yang dapat di kategorikan sebagai remaja. Dilihat dari latar belakang tindak kejahatan Andik di LAPAS Anak Pria kelas IIa Tangerang per 24 Juni 2014 sebagai berikut:

Tabel 1.2 Latar Belakang Tindak Kejahatan Di LAPAS Anak Pria kelas IIa Tangerang per 24 Juni 2014

Tindak Pidana Jumlah %

Narkotika 118 Orang 49

Perlindungan Anak dan Pelecehan Seksual 54 Orang 20

Pencurian dan Curas 29 Orang 10

Pembunuhan 18 Orang -

Ketertiban 12 Orang

Dan kejahatan lainnya

Dilihat dari latar belakang tindak kejahatan diatas bahwa jumlah terbesar kejahatan yang dilakukan oleh anak di dalam Lapas Anak Tangerang adalah tindak pidana Narkotika yang mencapai 49 % atau 118 anak.

(3)

3

Anak yang berada di Lapas termasuk anak-anak yang melakukan pelanggaran hukum berarti sudah dikategorikan sebagai kenakalan remaja. Kenakalan remaja (juvenile deliquency) mengacu pada perilaku yang dilakukan oleh remaja, ada pula perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sehingga melanggar hukum. Ada dua jenis kenakalan remaja yaitu, index offenses dan status offenses. Tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja atau orang dewasa disebut index offenses yakni tindakan kekerasan atau pelanggaran yang berdampak tidak hanya merugikan diri sendiri, melainkan membuat dampak merugikan orang lain seperti pembunuhan, penganiayaan berat, pemerkosaan, dan perampokan. Sedangkan tindakan yang tidak begitu serius yakni minum-minuman keras dibawah umur, melarikan diri, seks bebas, membolos, dan tindakan yang tidak dapat terkontrol lainnya adalah tindakan pelanggaran yang hanya merugikan diri sendiri disebut status offenses. Anak muda di bawah usia tertentu yang biasanya melakukan tindakan tersebut, oleh karena itu diklasifikasikan sebagai juvenile

offences (Santrock, 2011). Salah satu kenakalan remaja adalah penyalahgunaan

Narkoba.

Menurut Partodihardjo (dalam Sulityowati & Astuti, 2012), intensi penyalahgunaan Narkotika yaitu keinginan menikmati kebebasan dari rasa kesal, kecewa, stres, rasa sakit, rasa tenang, selalu fit, dan senang menggunakan Narkotika. Intensi penyalahgunaan Narkotika adalah timbulnya motivasi dalam menggunakan Narkotika dengan tujuan memanipulasi perasaan emosi. Selain itu menurut Nurdin (dalam Sulityowati & Astuti, 2012) untuk mengatasi perasaan tidak enak dengan menekan emosi negatif yang tidak menyenangkan atau merangsang timbulnya perasaan tertentu untuk mencari kenikmatan, kesenangan, eksplorasi perasaan dan timbulnya emosi baru. Diperkuat dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa Andik Lapas di dapat bahwa adanya faktor-faktor dan penyebab seseorang atau remaja menggunakan Narkoba biasanya anak tersebut sedang mengalami pencarian jati diri dan ingin menemukan arti kehidupannya, lalu biasanya untuk menunjukan tindakan menentang otoritas orang tua, guru, dan norma-norma sosial. Selain itu dapat menambah kepercayaan diri anak dalam keberanian untuk berbicara dengan siapa saja yang diseganinya, sekedar iseng ingin mencoba karena adanya keingintahuan yang tinggi, mengikuti teman-teman untuk menunjukan rasa solidaritas dan menghindari dari ejekan teman, menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan dari masalah-masalah yang

(4)

4

dialaminya, dan terakhir biasanya anak yang memutuskan dalam menggunakan narkoba biasanya di manfaatkan untuk mengisi waktu luang, kesepian, dan kebosanannya. Hal ini membuktikan bahwa seseorang yang menggunakan Narkotika erat kaitannya dengan masalah emosi dan kemampuan remaja dalam mengambil keputusan. Diperkuat dari pernyataan Gross (dalam Nisfiannoor & Kartika, 2013), regulasi emosi pada umumnya mempengaruhi proses mental (ingatan, pengambilan keputusan), tingkah laku yang nyata (tingkah laku menolong, penggunaan obat-obatan), serta dasar untuk pembentukan kepribadian dan memunculkan sumber penting dari perbedaan individual.

Remaja merupakan salah satu bagian dari kelompok masyarakat yang perlu diperhatikan, karena remaja merupakan aset utama bagi masa depan. Masa remaja merupakan peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Pada masa remaja, setiap individu menyesuaikan perubahan tubuhnya dan tuntutan kedewasaan disertai dengan periode “strom and stress” (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Menurut Siegel dan Welsh (2012), remaja menjadi sangat rentan terhadap perasaan cemas dan malu, rentan terhadap gejolak emosional, serta individu sering mengalami perubahaan suasana hati atau mood swing pada periode ini. Pada masa remaja setiap individu biasanya banyak mengalami emosi yang ekstrim seperti timbulnya rasa sedih dan marah (Arnett & Maynard, 2012). Dapat di simpulkan bahwa proses perkembangan pada masa remaja mengalami berbagai perubahan dalam setiap aspek, seperti fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral spiritual.

Adanya emosi yang berlebihan pada remaja perlu diimbangi dengan kemampuan mengelola emosi, terutama bagi remaja yang sedang mengalami konflik yang beragam. Kemampuan mengelola emosi ini disebut dengan regulasi emosi. Regulasi emosi adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi emosi yang dimiliki, kapan emosi dirasakan, dan bagaimana individu mengalami serta mengekspresikan emosinya (Gross, 1998). Tetapi tidak semua remaja yang mampu untuk meregulasi emosi yang muncul. Terutama pada Andik di LAPAS, dari hasil wawancara dengan Bapak M. Rizal Fuadi, Amd., SH dapat disimpulkan bahwa Andik yang terjerat di dalam Lapas rata-rata mempunyai permasalahan baik dari keluarga maupun dari lingkungan serta teman sepermainannya seperti cara orang tua dalam mengasuh anaknya, kondisi ekonomi keluarga, ketidakpedulian dari orang tua, kurangnya kasih sayang dari orang tua,

(5)

5

mempunyai lingkungan keluarga yang broken home, teman-teman yang tidak berpengaruh baik dalam pergaulannya, dan banyak faktor lain yang mendukung anak melakukan kenakalan remaja. Hal ini membuktikan bahwa remaja yang melakukan kenakalan umumnya kurang memiliki kontrol diri, jika seseorang dapat mengontrol dirinya dengan baik maka ia akan dapat meregulasi emosinya dengan baik pula. Selain itu sisi pemantauan dari orang tua yang sangat kurang baik, mengakibatkan perkembangan emosi anak menjadi terhambat.

Dengan ketidakmampuan remaja dalam meregulasi emosi dengan tepat, maka dapat menyebabkan timbulnya gejala gangguan mood, kecemasan, dan conduct

disorder (perilaku anti sosial), dan hal itu sebagai faktor yang berpengaruh pada

penyalahgunaan Narkotika, alkohol, dan zat-zat lainya (Nelis, 2011). Selain itu Cooper (2006) menyatakan bahwa kemampuan seseorang dalam meregulasi emosi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perilaku beresiko, yakni perilaku kekerasan, seks bebas, dan penggunaan Narkotika. Regulasi emosi menonjol secara jelas dalam kesehatan fisik dan fisiologi (Gross, 1999). Menurut Bridges (1927), kondisi emosi yang berlebihan pada remaja biasanya sering mendorong individu untuk bertindak sebelum merenungkan perilakunya terlebih dahulu dan sebelum memeriksa unsur-unsur yang tidak diterima secara sosial dalam perilaku tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa remaja yang menggunakan Narkotika umumnya kurang mampu dalam meregulasi emosi dengan tepat.

Terdapat dua strategi yang digunakan individu dalam meregulasi emosi, yaitu

cognitive reappraisal adalah tipe dari cognitive change yang termasuk kedalam antencendent-focused yang mengubah cara berpikir seseorang mengenai rangsangan

emosional tertentu biasanya dilakukan ketika sebelum respon emosional muncul.

Cognitive reappraisal ini merupakan strategi yang efektif serta menghasilkan respon

yang berdampak positif, termasuk juga meningkatkan emosi positif, dan menurunkan pengalaman emosi negatif yang mengarah pada dukungan sosial yang lebih baik.

Expressive suppression adalah strategi response-focused yang mengubah cara seseorang

dalam menanggapi situasi emosional biasanya dilakukan setelah respon emosional muncul (John & Gros, dalam Gong, 2013). Jadi cara individu untuk mencegah diri biasanya menunjukkan ekspresi dari respon emosi. Menurut Hofmann (2011) bahwa seseorang yang menggunakan expressive suppression cenderung mengalami dampak

(6)

6

negatif dari kecenderungan dari respon emosi, yang juga meningkatkan pengalaman emosi negatif, meningkatkan respon fisiologi yang merugikan, serta kurang adanya dukungan sosial karenan menunjukan perilaku emosi yang kurang sesuai. Biasanya

expressive suppression ini dinilai strategi yang paling tidak efektif.

Remaja selalu ingin berusaha mengatasi masalah-masalahnya dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuannya. Dalam perkembangan kognitifnya, remaja tiba pada masa pengambilan keputusan. Setiap saat pegambilan keputusan kelak akan berpengaruh dalam kehidupannya dan orang lain. Pengambilan keputusan dimulai dari hal yang sederhana, seperti memilih warna baju, model pakaian, atau menu makanan. Pengambilan keputusan juga dilakukan dalam hal-hal kompleks seperti memilih pertemanan, memilih akan masuk jurusan apa, sampai baik atau tidaknya keputusan yang akan diambilnya, serta dalam pemilihan karir nanti. Banyak sekali masalah yang dihadapi remaja dalam memutuskan sesuatu.

Pengambilan keputusan merupakan bagian dari remaja dalam menghadapi berbagai masalah untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya, sehingga setiap remaja memerlukan pengambilan keputusan yang tepat. Pengambilan keputusan menjadi suatu hal yang biasa dilakukan karena setiap individu menghadapi berbagai permasalahan untuk dapat mempertahankan hidupnya. Diduga pengambilan keputusan berhubungan dengan kematangan emosi seseorang untuk mengambil keputusan. Sehingga secara garis besar, ada dua faktor yang dapat mempengaruhi individu dalam mengambil keputusan, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar diri individu. Menurut Noorderhaven (1995), faktor-faktor dalam diri individu yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan antara lain adalah kematangan emosi, kepribadian, intuisi, dan umur. Faktor-faktor dari luar individu yang mempengaruhi pengambilan keputusan antar lain pertama dari lingkungan keluarga, apabila salah satu sanak keluarga ada yang memakai narkoba secara tidak langsung anak akan mengikuti karena pada masa remaja tersebut rasa ingin tahunya sangat tinggi, selain lingkungan keluarga. Lingkungan pertemanan juga sangat mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan karena ajakan yang muncul dari orang lain dan hasutan yang akan mempengaruhi orang itu memilih memakai narkotik. Kebudayaan juga terkadang mempengaruhi individu untuk membuat sebuah keputusan yang mana ketika keputusan tersebut dapat berubah karena adanya kebudayaan yang dianutnya.

(7)

7

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 pada remaja perempuan dan laki-laki berusia 15-19 tahun, terdapat beberapa masalah yang dihadapi remaja di Indonesia dipengaruhi faktor dari dalam maupun dari luar. Faktor yang berasal dari dalam diri individu antara lain, masalah psikologis dan sosial yang dihadapi, belum matangnya emosi, kurangnya kontrol diri, kemampuan pengambilan keputusan yang rendah, serta tidak terbiasa mempertahankan usaha untuk mencapai tujuan. Sedangkan faktor yang berasal dari luar individu antara lain, persoalan keluarga, pengaruh negatif dari teman sebaya, dan pengaruh negatif dari komunitas.

Pengambilan keputusan adalah proses memilih atau menentukan berbagai kemungkinan diantara situasi-situasi yang tidak pasti. Menurut Davis (1958), pengambilan keputusan adalah keputusan yang dapat dijelaskan sebagai hasil pemecahan masalah, selain itu juga harus didasari atas logika dan pertimbangan, penetapan alternatif yang terbaik, serta harus mendekati tujuan yang telah di tetapkan. Sedangkan menurut Stoner (2003) secara umum pengambilan keputusan adalah teknik pendekatan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan atau proses memilih tindakan sebagai cara pemecahan masalah.

Menurut Janis dan Mann (1977) pengambilan keputusan yang dilakukan individu memiliki pola coping yang berbeda. Coping tersebut diantaranya: Uncoflicted

Adherence yaitu melanjutkan saja atau tindakan yang sebelumnya dilakukan, Unconfliced Change yaitu individu langsung mengambil tindakan atau kepercayaan

baru tanpa konflik, defensive avoidance yaitu menunda dan menghindari pengambilan keputusan,

hypervigilance yaitu pengambilan keputusan yang disertai rasa panik akibat

terdesak oleh batas waktu, vigilance yaitu individu mencari berbagai informasi secara menyeluruh dan mendalam kemudian menganalisis informasi tersebut secara hati-hati untuk mendapatkan kualitas keputusan yang tinggi.

Teori conflict model yang diungkapkan oleh Janis dan Mann (1977), pada dasarnya adalah sebuah teori psikologi sosial dalam pengambilan keputusan, dimana ada atau tidak adanya 3 kondisi sebelumnya yang dimiliki seseorang untuk menetapkan ketergantungan terhadap pola dalam mengatasi konflik tertentu. Ketiga kondisi tersebut adalah 1) kesadaran yang dimiliki seseorang akan suatu resiko yang serius didalam pilihan alternatif yang dimiliki, 2) harapan untuk menemukan pilihan alternatif yang

(8)

8

lebih baik, 3) percaya bahwa ada waktu yang cukuo untuk mencari dan mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan.

Menurut Elkind (2008) kesulitan dalam memutuskan suatu hal adalah bentuk ketidakmatangan cara berfikir, dalam hal ini remaja dapat memikirkan banyak alternatif di pikirannya dalam waktu yang sama, tetapi kurang memiliki strategi yang efektif untuk memilih. Mereka mungkin bermasalah untuk mengambil keputusan, bahkan tentang hal-hal yang sederhana, misalnya ketika teman menawarkan ganja ke si A, dari situ si A harus bisa memilih dia akan menerimanya atau menolaknya.

Oleh karena itu pengambilan keputusan adalah melakukan penilaian dan menjatuhkan pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan pertimbangan alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin akan dilalui oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi masalah utama, menyusun alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pegambilan keputusan yang terbaik.

Dalam pengambilan keputusan, kondisi emosi juga turut terlibat. Kondisi emosi pada remaja yang berlebihan (hyperemotional) sering kali menjadi faktor pendorong para remaja untuk melakukan tindakan sebelum merenungkan perilakunya terlebih dahulu dan sebelum memeriksa unsur-unsur yang tidak diterima secara sosial dalam perilaku tersebut (Bridges, 1927). Dalam penelitiannya, Eisenberg, dkk. (dalam Snyder, Simpson, & Hughes, 2006) menunjukkan bahwa tingkat emosi negatif yang tinggi berkaitan dengan tingginya perilaku agresif dan antisosial.

Kondisi emosi berlebihan pada remaja berpengaruh dalam mengambil suatu keputusan. Hal ini perlu segera diatasi, karena jika tidak, akan memberikan pengaruh yang sangat negatif bagi perkembangan perilaku remaja umumnya.

Dalam pengambilan keputusan ada dua faktor yang mendukung individu untuk memilih keputusan yang akan diambil yaitu faktor dari luar diri dan faktor dari dalam diri. Faktor dari luar diri adalah lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanan sedangkan faktor dari dalam diri adalah emosi pada diri seseorang. Gross (1998) menyatakan bahwa emosi dapat menyebabkan perubahan perilaku, mempengaruhi ketepatan dalam pengambilan keputusan, mempengaruhi daya ingat terhadap suatu peristiwa penting sekaligus dapat memfasilitasi interaksi sosial. Seperti halnya baik atau buruknya strategi regulasi emosi. Jadi dari latar belakang diatas penulis ingin

(9)

9

melakukan penelitian untuk mencari tahu hubungan antara strategi regulasi emosi

cognitive reappraisal dan expressive suppression dengan kecenderungan pengambilan

keputusan pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak pria di Tangerang. Penelitian akan dilakukan pada remaja pertegahan berusia 14-19 tahun, yaitu anak-anak remaja di Lapas Anak Pria di Tangerang yang terjerat pada hukuman Narkotika.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas di atas, maka rumusan masalah untuk penelitian ini adalah “adakah hubungan antara strategi regulasi emosi cognitive

reappraisal dan expressive supression dengan kecenderungan gaya pengambilan

keputusan pada anak didik tindak pidana narkoba di Lapas Anak Pria di Tangerang”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris hubungan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraisal dan expressive supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan pada anak didik tindak pidana narkoba di Lapas Anak Pria di Tangerang.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, marilah kita belajar untuk dapat semakin menjadi pribadi yang ekaristis supaya Kristus semakin mempribadi dalam hidup kita setiap hari

Dengan mengucap rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan begitu banyak rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Tämä on laadullinen tutkimus Suomen evankelis-luterilaisen kirkon Espanjan Aurinkorannikon suomalaisen seurakunnan vapaaehtoistyöstä ja sen merkityksestä.. seurakunnalle

Dalam proses kerja alat kompresor udara menitik beratkan pada tekanan kompresi pada ruang bakar motor bakar torak, dari dari ruang bakar tersebut dilanjutkan

Berdasarkan hasil penelitian, simpulan yang dapat diambil bahwa ‘starfungs’ mampu mempengaruhi keberadaan Escherichia coli, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi

Dimana Simolangkir menggunakan variabel dependen yaitu pertimbangan tingkat materialitas dan independennya skeptisisme auditor, situasi audit, etika dan pengalaman dan hasilnya

Tujuan magang ini adalah adalah untuk melakukan melakukan perancangan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk menevaluasi pengendalian internal Hotel JW Marriott dalam

Wenty Marina Minza - Rogelia Pe-Pua Universitas Gadjah Mada Skema B 25. Wenty Marina Minza - John Logran Universitas Gadjah Mada Skema B