• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEPUTUSAN MUKTAMAR NU XXX TENTANG PEREMPUAN DI MASA IDDAH NAIK HAJI. A. Metode Istinbat Hukum Lembaga Bahtsul Masail NU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KEPUTUSAN MUKTAMAR NU XXX TENTANG PEREMPUAN DI MASA IDDAH NAIK HAJI. A. Metode Istinbat Hukum Lembaga Bahtsul Masail NU"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

49

A. Metode Istinbat Hukum Lembaga Bahtsul Masail NU

Lembaga bahtsul masail di lingkungan NU adalah lembaga yang memberikan fatwa hukum keagamaan kepada umat Islam. Lembaga ini dituntut untuk mampu membumikan nilai-nilai Islam sekaligus mengakomodir berbagai pemikiran yang relevan dengan kemajuan zaman dan lingkungan sekitar.1

Secara historis, forum bahsul masail sudah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kyai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam bulletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam LINO selain memuat hasil bahtsul masail juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama.2

Meskipun kegiatan bahtsul masail sudah ada sejak kongres/ Muktamar I, intitusi lajnah bahtsul masail baru resmi ada pada muktamar XXVIII di Yogyakarta tahun 1989. Berkat desakan Muktamar XXVIII dan halaqah Denanyar yang diadakan pada 26-28 Januari 1990 bertempat di pondok pesantren Manbaul Ma‟arif, agar dibentuknya Lajnah Bahtsul Masail

1 Ahmad Muhtadi Anshor, Bahth al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika

Pemikiran Kaum Tradisionalis (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 76.

2

Sahal Mahfudz, Ahkamul Fuqaha, Solusi problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan

Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 (Surabaya: Khalista, 2011), hlm.

(2)

Diniyah dengan harapan dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan istinbat jama‟i (penggalian dan penetapan hukum secara kolektif), akhirnya pada tahun 1990 terbentuklah lajnah bahtsul masail berdasarkan keputusan PBNU nomor: 30/A/I/05/5/1990.3

Lajnah bahstul masail sebagai sebuah institusi akhirnya dirubah dengan nama Lembaga Bahtsul Masail yang kemudian disingkat LBM. Lembaga ini sebagaimana dalam AD-ART pasal 16 bertugas membahas dan memecahkan masalah-masalah mawdhuiyah (tematik) dan waqi‟iyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum.4

Sebagai lembaga fatwa, bahtsul masail menyadari bahwa tidak seluruh peraturan-peraturan syari‟at Islam dapat diketahui secara langsung dari nash al-Qur‟an. Melainkan banyak aturan-aturan syari‟at yang membutuhkan daya nalar kritis melalui istinbath hukum.5

Meskipun NU mengakui al-Qur‟an dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam prakteknya, pengertian istinbath al-ahkam di kalangan NU tidak lantas dipahami sebagai “mengambil hukum secara langsung dari kedua sumber primer di atas, tetapi sesuai dengan sikap dasar bermadzhab, yaitu dengan men-tathbiq-kan (memberlakukan/menerapkan)

3

Ahmad Muhtadi Anshor, op.cit., hlm.75

4

Ibid.,

(3)

secara dinamis nash-nash al-fuqaha‟ dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya”.6

Istinbat dalam pengertian menggali secara langsung dari al-Qur‟an dan Hadits cenderung ke arah perilaku ijtihad, yang oleh ulama NU dirasa sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh mujtahid.7

Adapun kritera-kriteria atau syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid itu, antara lain sebagai berikut:8

1. Seorang mujtahid harus mengerti dan memahami makna ayat-ayat hukum, baik makna semantik, maupun konotasi hukumnya.

2. Seorang mujtahid harus mengerti dan memahami makna hadits-hadits hukum, baik makna semantik, maupun konotasi hukumnya.

3. Seorang mujtahid harus mengetahui ayat-ayat yang mansukh dan yang menasakhnya.

4. Seorang mujtahid harus mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan lewat ijma‟.

5. Seorang mujtahid harus mengetahui dan menguasai metodologi qiyas dengan baik.

6

Sahal Mahfudz, Nuansa fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm. 26.

7

Sahal Mahfudz, Ahkamul Fuqaha,op.cit., hlm. ix.

8

Lihat DedeRosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cet-5, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 115-116. ; Syamsul Bahri, dkk, Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 60.

(4)

6. Seorang mujtahid harus memahami bahasa Arab dengan baik.

7. Seorang mujtahid juga harus menguasai kaidah-kaidah ushul fiqih dengan baik.

8. Seorang mujtahid harus memahami maqashid al-syari‟ah.

Persyaratan yang demikian ini bukan sama sekali dimaksudkan untuk mempersulit orang untuk berijtihad, tetapi ketentuan-ketentuan seperti ini sangat penting artinya dalam rangka mengamankannya dari mereka yang tidak berhak dan berwenang untuk itu. Juga agar hasil penggalian hukum Islam itu benar-benar dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.9

Selain perilaku ijtihad dalam artian menggali langsung dari sumbernya yang dirasa oleh ulama NU sulit, alasan lain mengapa NU terkesan sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nash al-Qur‟an dan Sunnah adalah adanya pandangan bahwa mata rantai perpindahan ilmu agama Islam tidak boleh terputus dari generasi kegenerasi berikutnya. Sehingga yang perlu dilakukan adalah menelusuri mata rantai yang baik dan sah pada setiap generasi.10

Meski demikian, bukan berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad, tetapi yang dikehendaki hanyalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Sedangkan orang-orang-orang-orang yang memiliki ilmu agama mendalam tetapi tidak memenuhi persyaratan mujtahid lebih baik taqlid (mengikuti) kepada ulama yang memiliki

9

Ahmad Muhtadi Anshor, op.cit.,hlm.65.

(5)

kemampuan berijtihad karena telah memiliki persyaratannya. Bagi NU, taqlid tidak hanya berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, melainkan juga mengikuti jalan pikiran imam madzhab dalam menggali hukum.11

Adapun metode yang digunakan dalam kerja bahtsul masail ada tiga macam. Ketiga metode tersebut diterapkan secara berjenjang, yaitu:12 1. Metode qauly

Metode ini adalah suatu cara istinbat hukum yang digunakan oleh ulama NU dalam kerja bahtsul masail dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari madzhab empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkungan madzhab tertentu.

Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dengan kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauly. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:

a. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab13 dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah,14 maka dipakailah qaul/wajah sebagai mana diterangkan dalam ibarat tersebut.

11

Ibid., hlm. 117.

12 Ahmad Muhtadi Anshor, op.cit.,hlm. 83. 13

Ibarat kitab adalah ungkapan tekstual yang ada dalam kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam bahtsul masail

14

Yang dimaksud dengan qaul adalah pendapat imam madzhab, sedangkan yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama‟ madzhab.

(6)

b. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir

jama‟i15

untuk memilih salah satu qaul/wajah.

Sedangkan prosedur pemilihan qaul/wajah ketika dalam satu masalah dijumpai beberapa qaul/wajah dilakukan dengan memilih salah satu pendapat dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan/ atau lebih kuat.

2. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan muktamar I tahun 1926, bahwa perbedaan pendapat dilakukan dengan memilih:

a. Pendapat yang disepakati oleh Imam al-Nawawi dan Imam Abu al Qasim Abdul Karim bin Muhammad al-Rifa‟i16 b. Pendapat yang dipilih Imam al-Nawawi saja.

c. Pendapat yang dipilih al-Rafi‟i saja.

d. Pendapat Imam yang didukung oleh mayoritas ulama e. Pendapat ulama yang terpandai

f. Pendapat ulama yang paling wara‟ 2. Metode ilhaqy

Apabila metode qauly tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari kitab mu‟tabar,17 maka yang dilakukan

15 Yang dimaksud dengan taqrir jama‟i adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan

pilihan terhadap satu di antara beberapa qaul/wajah.

16

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid I,(Jakarta: Ichtiar baru van hoeve,1996), hal. 175.

(7)

adalah apa yang disebut dengan ilhaq al-masail bi nadzairiha yakni menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan pendapat yang sudah jadi.

Sedangkan prosedur ilhaq adalah dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya), mulhaq alaih (sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya), wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan

mulhaq alaih), oleh para mulhiq yang ahli.18

3. Metode manhaji

Metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh dalam bahtsul masail dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah-kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab.

Jawaban terhadap permasalahan yang dikaji dalam bahtsul masail yang tidak tercantum dalil dari suatu kitab ataupun memberikan

17

Yang dimaksud kitab mu‟tabar adalah kitab-kitab dari al-madzhab al-arba‟ah (Hanafi, Maliki, Syafi‟I dan Hanbali), dan kitab-kitab lain yang memenuhi fikrah nahdliyah (kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran ahlus sunnah). Sedangkan kemu‟tabaran suatu kitab di dasarkan atas: 1.Penulis yang memiliki sifat-sifat yang sunni, wara‟ dan alim. 2. Isi kitab baik pendapat (qaul)nya sendiri maupun kutipan (manqulat). Jika pendapatnya sendiri tolok ukurnya adalah argumentasi dan manhaj yang digunakan. Jika berupa kutipan maka tolok ukurnya adalah

shihhah al-naql (validitas kutipannya). 3. Pengakuan dari komunitas Madzhabnya. lihat Sahal

Mahfudz, Ahkamul Fuqaha op.cit,. hlm. 863.

18 Dalam prakteknya menggunakan prosedur mirip qiyas. Oleh karenanya dapat juga

dapat juga dinamakan metode qiyas versi NU. Ada perbedaan antara qiyas dan ilhaq. Yaitu kalau qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nash al-Qur‟an dan atau sunnah. Sedangkan ilhaq adalah menyamakan sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan teks suatu kitab yang mu‟tabar.

(8)

argumantasi detail, setelah tidak dapat dirujuk kepada teks suatu kitab mu‟tabar maka digunakanlah metode manhaji dengan mendasarkan jawaban mula-mula pada al-Qur‟an, setelah tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur‟an lalu pada hadits dan begitu seterusnya yang akhirnya sampailah pada jawaban dari kaidah fiqhiyah.

B. Hirarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masail NU19

1. Seluruh keputusan bahstul masail di lingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.

2. Suatu hasil keputusan bahtsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.

3. Sifat keputusan dalam bahtsul masail tingkat Munas dan Muktamar adalah:

a. Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan/ atau,

b. Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.

19 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku II, Sejarah- Istilah-

(9)

C. Kerangka Analisis Masalah20

Dalam memecahkan masalah sosial, Bahtsul Masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah (yang sekaligus tercermin dalam hasil keputusan) antara lain sebagai berikut:

1. Analisa masalah (sebab mengapa terjadi kasus ditinjau dari berbagai faktor):

a. Faktor ekonomi, b. Faktor budaya, c. Faktor politik,

d. Faktor sosial dan lainnya.

2. Analisa dampak (dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang hendak dicari hukumnya ditinjau dari berbagai aspek), antara lain:

a. Secara sosial ekonomi, b. Secara sosial budaya, c. Secara sosial politik, d. Dan lain-lain.

3. Analisa hukum (fakta tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang). Di samping putusan fiqh / yuridis formal, keputusan ini juga memperhatikan pertimbangan Islam dan hukum positif.

a. Status hukum (al-ahkam al-khamsah/ sah-batal),

20

(10)

b. Dasar dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, c. Hukum positif.

4. Analisa tindakan, peran dan pengawasan (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa di atas). Kemudian siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan di mana hal itu hendak dilakukan, serta bagimana mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan rencana.

a. Jalur politik (berusaha pada jalur kewenangan Negara dengan sasaran mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah).

b. Jalur budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat melalui berbagai media massa dan forum seperti pengajian dan lain-lain).

c. Jalur ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat).

d. Jalur sosial lainnya (upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan dan seterusnya).

D. Hasil Keputusan Muktamar NU XXX tentang Perempuan di Masa Iddah Naik Haji

Muktamar NU tahun 1999 adalah muktamar NU yang ke-30 bertempat di PP Hidayatul Mubtadin, Lirboyo, Jawa Timur. Pesantren ini merupakan tempat KH. Machrus Ali mengajar santri-santrinya. Muktamar ini

(11)

diselenggarakan setelah ketua Umum PBNU saat itu, KH. Abdurrahman Wahid menjadi persiden RI.21

Beberapa masalah yang dibahas dalam Muktamar ke-30 di pondok pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur yang dilaksanakan pada tanggal 21 -27 Nopember 1999 terdiri dari 10 keputusan dengan nomor keputusan 420 sampai 429.

Adapun keputusan tersebut yang pertama adalah mengenai Penetapan awal/akhir bulan dengan rukyat internasional dengan nomor keputusan 420. Kedua, Doa bersama antar umat beragama dengan nomor keputusan 421. Ketiga, Wali hakim dalam pernikahan dengan nomor keputusan 422. Keempat, Perempuan di masa iddah naik haji dengan nomor keputusan 423. Kelima, Puasa hari Arafah dengan nomor keputusan 424. Keenam, Budi daya jangkrik dengan nomor keputusan 425 . Ketujuh, Jual beli ulat, cacing, semut untuk makanan burung dengan nomor keputusan 426. Kedelapan, Lomba dengan pemungutan uang dengan nomor keputusan 427. Kesembilan, Hak atas tanah dengan nomor keputusan 428. Dan yang terakhir adalah masalah mengenai Anggota DPR/MPR beragama non Islam dengan nomor keputusan 429.

Dari beberapa keputusan di atas, salah satu yang diambil dalam pembahasan adalah Perempuan di Masa Iddah Naik Haji dengan nomor keputusan 423.

21

Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 358.

(12)

Adapun isi materi keputusan tersebut terdapat Deskripsi masalah berupa: Seorang perempuan sedang menjalani iddah karena ditinggal mati suaminya, sementara itu secara ekonomis mampu melaksanakan ibadah haji dan secara akomodatif sudah mendaftarkan diri naik haji. sehingga munculah pertanyaan Apakah wanita dalam iddah boleh menunaikan ibadah haji?

Muktamar XXX NU dalam menananggapi masalah tersebut mempunyai jawaban berupa: Wanita pada masa iddah pada dasarnya tidak boleh menunaikan ibadah haji. Kecuali sebab udzur syar‟i seperti: Pertama, Kekhawatiran yang mengancam diri atau hartanya. Kedua, Ada petunjuk dokter yang adil bahwa penundaan ibadah haji ke tahun depan tidak menguntungkan. Ketiga, Haji tahun tersebut dinadzarkan. Mereka juga menambhkan bahwa selain itu didapat qaul yang membolehkan tanpa syarat.

Dalam memecahkan persoalan tersebut Muktamar XXX NU tentu tidak lantas hanya asal menjawab dan berargumen, pendapat tersebut didasarkan pada beberapa dalil yang bersumber dari beberapa kitab mu‟tabar. Terhitung terdapat enam kitab yang dijadikan rujukan dalam memecahkan masalah tersebut.

Dasar yang pertama diambil dari kitab Hasyiyah al-Bajuri „ala Fath al-Qarib jilid 2 karya Ibrahim al-Bajuri. Di dalam kitab itu tertulis ungkapan sebagai berikut:

ثًٕنا مبل كنزب جيشحا جَبك ٌا ةشًػٔا ححن جٔشحنا بٓن ىؼَ

قاشفنا ٔأ

a

ٔأ ثًٕنا ذؼب جيشحا جَبك ٌبف ثإفنا فخح ىن ٌأ َّرا شيغب ٕنٔ

بٓحذػ جضمَا ارئف ثإفنا جممحح ٌإٔ ةذؼنا يف جٔشخنا بٓن سيهف قاشفنا

(13)

بٓيهػٔ ةشًػ مًؼب جههحح لاإٔ ححنا جلٔ يمب ٌإ بٓخدحٔأ بٓحشًػ جًحأ

ثإفنا ودٔ ءبضمنا

Artinya:

Ya memang begitu, namun seorang wanita boleh keluar menunaikan ibadah haji atau umrah jika memang sudah berihram sebelum kematian suami atau terjadinya perceraian, meski tanpa seizinnya dan tidak khawatir ketinggalan. Sedangkan jika ia berihram setelah kematian suami atau setelah bercerai maka ia tidak boleh keluar selama masa iddah meski nyata-nyata ketinggalan (haji atau umrah). Jika ia sudah melewati masa iddah, maka ia harus menyempurnakan kembali hajinya atau umrahnya jika masih ada waktu. Dan jika waktunya sudah habis maka ia bertahallul dengan melaksanakan umrah dan wajib menqadha dan membayar dam atas ketinggalannya.

Dasar yang kedua diambil dari kitab Mughni al-Muhtaj ila Ma‟rifah Alfazh al-Minhaj jilid 3 karya Muhammad al-Khatib al-Syarbini. Didalamnya terdapat pendapat yang berbunyi sebagai berikut:

)ةسبدح( ٔ ةشًػ)ٔأ حح شفس يف( بٓن ٌرأ )ٔأ(

ٕحَ ٔأ تًهظي للاحخسا ٔأ

ٓيهػ )جبخٔ ىث( بٓخخبحنشفسنأ كبآ دشك كنر

يف( ةذؼنا ب

)

قشطنا( ءبُثأ

)عٕخشنا بٓهف

شفسنا ٍػ بٓؼطل يف ٌلأ شفسنا يف )يضًنأ( لٔلأا ىنإ

مضفلأا ٍكنٔ تمفشنا ٍػ عبطمَلاا جفبخٔ ذهبنا ٍػ ثذؼب ارإ بًيسلا تمشي

يف ئْ ِاشلأٔ ذيبح يبأ خيشنا ٍػ ِلامَ بًك لضًُنا ىنإ دٕؼنأ عٕخشنا

بْشيس

ٕن بي كيشطنابب جشخٔ ةذخؼي

ًُنا ٍي جٔشخنا مبل جبخٔ

لاف لض

بؼطل جشخح

Artinya:

Atau bila suami mengizinkan istrinya pergi haji, umrah berdagang, mencari halal suatu kezaliman dan semisalnya mengembalikan budak yang minggat dan perjalanan untuk memenuhi kebutuhannya, lalu ia wajib iddah di tengah perjalanannya, maka ia boleh kembali ketempat semula dan melanjutkan perjalanan. Sebab dalam mengurungkan perginya itu terdapat masyaqah (beban), terutama bila sudah jauh dari daerahnya dan khawatir terputus dari rombongannya. Akan tetapi yang lebih afdhal adalah pulang dan kembali ke rumah semula, serta menjalani iddahnya, seperti kutipan al-Nawawi dan al-Rafi‟I dari syaikh Abu Khamid. Dan

(14)

dalam perjalanannya ia menjalani sudah menjalani iddah, Dengan kata

قشطنا

, mengecualikan kasus bila iddah wajib dijalankan sebelum keluar dari rumah, maka ia tidak boleh keluar rumah tanpa khilafiyah ulama.

Dasar yang ketiga diambil masih dari kitab yang sama yaitu Mughni Muhtaj ila Ma‟rifah alfazh Minhaj karya Muhammad Khatib al-Syarbini, hanya saja yang digunakan adalah jilid 2. Di dalam kitab itu tertulis ungkapan sebagai berikut:

بٓخٔص ٌرئب ٌاشل ٔأ ححب جيشخأ ٕن )عشف(

ٔأ بٓمهط ىث َّرإ شيغب ٔأ

وذمخن ةذخؼي جٔشخنا بٓيهػ بخٔ جلٕنا كيضك ثإفنا جفبخ ٌئف ثبي

خنا بٓنصبخ جلٕنا تؼسن ثإفنا فخح ىن ٌإٔ واشحلإا

ٌإٔ كنر ىنإ جٔش

ححب ٌرإ شيغب ٔأ كنر مبل ُّي ٌرئب ثبي ْٕ بٓمهط ٌأ ذؼب جيشحأ

ٔأ

هػ غُخيا بًٓب ٔا ةشًػ

ي

ٌلاطبن لا ٔأ ثإفنا جفبخأ ءإس جٔشخنا بٓ

ارئف تيَبثنا يف ّيذؼنٔ لٔلأا يف ثًٕنا ٔأ كهطنبب واشحلإا مبل ٌرلإا

لبؼفأب جههحح لاإٔ ّخلٔ يمب ٌإ بٓدح ٔأ بٓحشًػ جًحأ ةذؼنا جضمَا

ةشًػ

ا ودٔ ءبضمنا بٓيضنٔ

ن

ثإف

Artinya:

(Sub Masalah) bila seorang wanita berihram haji atau qiran (haji dan umrah secara serentak) izin suami atau tanpa izin, lalu suaminya menceraikannya atau meninggal dunia, maka ia jika wanita itu khawatir ketinggalan haji seperti sempitnya waktu, maka ia harus keluar berhaji dengan sambil menjalani iddah, karena lebih dahulu ihramnya. Jika tidak khawatir ketinggalan haji mengingat waktunya masih luas, maka ia boleh keluar untuk berhaji. Dan jika wanita itu ber ihram setelah suaminya mencerainya atau ia mati dengan mengizinkan ihram sebelum mencerainya, atau ia ihram haji, umrah atau keduanya tanpa seizin suami maka wanita itu tidak boleh keluar, baik khawatir ketinggalan haji atau tidak, karena batalnya izin suami sebelum ihram dengan adanya perceraian atau kematian pada kasus pertama dan tidak adanya izin suami pada kasus kedua. Jika iddah selesai, maka ia boleh menyempurnakan haji atau umrah jika waktunya masih ada. Jika tidak maka ia bertahallul dengan ritual umrah, harus menqadha dan membayar dam ketertinggalan hajinya.

(15)

Dasar yang keempat diambil dari kitab Hawasyi al-Abbadi karya Ibn Qasim al-„Abbadi. Didalamnya tertulis sebagai berikut:

ٔأ ٍيؼي جلٔ يف ّحسزَ ٕن بي ّب جشخ )ولاسلإا تدح ميدؼحٔ ّنٕل(

بْشبخأ

ْٕ مب زئُيح كنزن جشخخف جبضػ ثشخأ ٌإ بَٓأب لذػ بيبط

ةسبًنا تخبحهن بٓخٔشخ ٍي ىنٔأ

Artinya:

(ungkapan Ibn Hajar al-Haitami: “dan segera menunaikan haji Islam”), dengan ungkapan itu mengecualikan kasus bila wanita yang sedang iddah itu telah menadzarinya dalam waktu tertentu, atau seorang dokter adil memberi tahu padanya, bahwa bila ia menunda hajinya maka ia akan menderita lumpuh, maka ia harus menunaikan haji Islam –wajib- itu dalam kondisi seperti ini. Bahkan hajinya itu lebih penting dari pada keluarnya iuntuk memenuhi hajat yang penjelasannya telah lewat.

Dasar yang kelima diambil dari kitab Takmilah al-Majmu‟ karya Bakhit al-Muthi‟i. Didalamnya terdapat pendapat yang berbunyi sebagai berikut:

ٌإ جؼخس كيشطنا يف بٓخٔص ثبًف جخشخ ٌإٔ

،ٌبيُبنا قسبفح ىن جَبك

يف ثسبص بَٓلأ وبًخنأ عٕخشنا ٍيب سبيخنا بٓهف ٌبيُبنا جلسبف ٌئف

جيشحأ ٌإٔ ... ثذؼب ذل جَبكٕن بي ّبشأف ،شفسنا ْٕٔ ّيف بٓن ٌرأ غضٕي

خٔ بٓخٔص ثٕي ذؼب ححنبب

جيش

يف بًن ّينإ يضًح ٌأ بٓن صٕدي ّحإف

ّمشًنا ٍي واشحلإا يف بٓئبمب

Artinya:

Jika wanita itu berpergian dan suaminya meninggal dunia ketika si isteri masih dalam perjalanan, maka ia harus kembali ke rumah jika belum meninggalkan bangunan (batas daerah). Jika ia sudah meninggalkan bangunan tersebut maka ia boleh memilih antara kembali ke rumah atau melanjutkan perjalanan, karena ia telah berada dalam posisi yang telah di izinkan, yaitu perjalan tersebut. Maka kasus itu serupa dengan seandainya ia telah berada di tempat yang jauh.. seandainya ia telah ihram haji setelah kematian suaminya, dan khawatir ketinggalan haji maka ia boleh melanjutkannya karena masyaqah dalam ihramnya.

(16)

Dasar yang terakhir diambil dari kitab Fath al-Wahhab dan Futuhat al-Wahhab karya Zakaria al-Anshari dan Sulaiman bin Manshur al-Jamal. Didalamnya terdapat pendapat yang berbunyi sebagai berikut:

ٍي للاحخسأ ةسبدحٔ ةشًػٔ ححك ّخخبحن ٔأ بٓخخبحن )ٌرئب ثشفبس ٔأ(

ي

ظ

... كيشط يف جبخٕف( ةسبيصٔ تْضُك بًٓخخبحن لا ٔأ كبآ دسٔ تًه

كيشط يف جبخٕف ّنٕل(

يفٔ جٔشخنا مبل جبخٔ ارإ بًػ جكس )خنإ

لبطبإ يف اسشض بٓيهػ ٌلأشيخخح ميلٔ ّحشش يف لبل شفبسح ىن ضٔشنا

شْبظ ْٕٔ يؼفاشنا لبل جٔضنا ىهػ ّخَؤي ٌئف تهمُنا شفس فلاخب بْشفس

مهبنا لبلٔ صُنا

ــْا ّحيشص مب يُي

Artinya:

(Atau bepergian dengan izin suami) untuk keperluan dirinya atau keperluan suami seperti haji, umrah berdagang, mencari halal suatu kezaliman dan mengembalikan budak yang minggat, atau bukan keperluan diri dan suaminya, seperti piknik ziarah, maka iddahnya wajib diperjalanan.

(ungkapan syaikh Zakaria al-Anshari: “maka wajib iddah di tengah perjalanan. …”) beliau diam dari kasus bila iddahnya wajib sebelum bepergian. Dalam kitab Raudh al-Thalib terdapat redaksi: “maka ia tidak boleh bepergian”. Dalam syarahnya -Asna‟ al-Mathalib-, syaikh Zakaria bin Muhammad bin Zakaria al-Anshari berkata: “menurut satu pendapat ia boleh memilih (melanjutkan atau kembali kerumah). Sebab ia akan mengalami kerugian dalam pembatalan perjalanannya. Berbeda dengan perjalan pindah rumah, sebab ongkosnya menjadi tanggungan suami. al-Rafi‟i berkata: “itu merupakan makna lahiriah nash Imam Syafi‟i”. dan al-Bulqini berkata: “bahkan nash sharih”.

Dengan adanya pendapat yang diambil dari kitab-kitab diatas menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang telah diambil oleh muktamar NU dalam usahanya sebagai wadah pemecahan masalah tidak terlepas dari adanya dasar-dasar yang dijadikan pijakan yang selalu mereka pegang kokoh.

(17)

telah dijelaskan di atas bahwa dalam istinbatnya NU selalu merujuk pada kitab-kitab madzhab, kemudian melakukan penggalian atas kitab tersebut, bukan menggali langsung dari al-Qur‟an maupun Hadits.

Mengenai persoalan perempuan di masa iddah naik haji ini, NU berpijak pada enam dalil yang diambil dari kitab Hasyiyah al-Bajuri „ala Fath Qarib, Mughni Muhtaj ila Ma‟rifah alfazh Minhaj, Hawasyi al-Abbadi, Takmilah al-Majmu‟, Fath al-Wahhab dan Futuhat al-Wahhab.

Dari pengambilan enam dalil dari beberapa kitab tersebut yang dijadikan sebagai landasan keputusan mengenai perempuan di masa iddah naik haji, dapat diketahui bahwa perempuan boleh melakukan ibadah haji ketika ditinggal mati atau bercerai dari suaminya dengan catatan: pertama, sudah berihram sebelum kematian suami atau terjadinya perceraian, meski tanpa seizinnya dan tidak khawatir ketinggalan haji. Kedua, mendapatkan izin dari suaminya sebelum kematiannnya tetapi lebih baik pulang melanjutkan iddahnya. Ketiga, khawatir ketinggalan hajinya dan sudah berihram sebelum kematian. Keempat, hajinya itu dinadzarkan atau adanya petunjuk dokter yang adil bahwa penundaan ibadah haji tahun depan tidak menguntungkan.

Sedangkan perempuan yang tidak boleh melakukan ibadah haji ketika ditinggal mati atau bercerai dari suaminya karena: petama, ihram sesudah kematian suami walaupun khawatir ketinggalan hajinya. Kedua, mendapat izin suami sebelum bercerai dan berikhram setelah bercerai. Ketiga, tidak izin suami dan ihram setelah bercerai.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara secara mendalam dan berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan terhadap semua kegiatan Polyglot Indonesia chapter Bandung, pola

Simpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah ada perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas XI MIPA SMA

Variabel C mempunyai nilai loading factor 0.887 dimana mempunyai nilai yang signifikan sehingga berarti bahwa komunikasi yang terdapat pada website Pemerintahan Kota

Rata-rata kecenderungan kiner- ja guru dalam melaksanakan pem- belajaran adalah termasuk dalam kategori sangat tinggi, baik untuk skor kesesuaian dengan RPP maupun kua-

Dari hasil kegiatan praktek kerja lapang yang dilaksanakan di BKPH Jati Lawang RKPH Kali Putih Purwokerto Jawa Tengah adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan

Mangkunegara IV, dan memahami sebuah pemikirannya tentang konsep kepemimpinan Jawa dalam Serat Wedhatama yang tidak lepas dari sumber ajaran agama Islam, eksplorasi tersebut

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penambahan lumpur sawit segar dan lumpur sawit fermentasi dalam ransum tidak berpengaruh

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Danga Kecamatan Aesesa Kabupaten Nagekeo Tahun 2016, dapat disimpulkan bahwa terdapat