• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIABILITAS BENIH DAN PERTUMBUHAN AWAL BIBIT AKASIA KRASIKARPA (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.) DARI LIMA SUMBER BENIH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VIABILITAS BENIH DAN PERTUMBUHAN AWAL BIBIT AKASIA KRASIKARPA (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.) DARI LIMA SUMBER BENIH DI INDONESIA"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

VIABILITAS BENIH DAN PERTUMBUHAN AWAL BIBIT

AKASIA KRASIKARPA (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.)

DARI LIMA SUMBER BENIH DI INDONESIA

HANNY DWI PURWANI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

HANNY DWI PURWANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

iii

RINGKASAN

HANNY DWI PURWANI. Viabilitas Benih dan Pertumbuhan Awal Bibit Akasia Krasikarpa (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.) dari Lima Sumber Benih di Indonesia. Dibimbing oleh EDJE DJAMHURI dan NANING YUNIARTI.

Pembangunan hutan tanaman diperlukan untuk memenuhi kebutuhan industri kayu maupun bahan baku industri lainnya. Salah satu jenis yang prospektif untuk dikembangkan di hutan tanaman yaitu Acacia crassicarpa. Pemilihan jenis yang tepat dan penggunaan benih dari sumber yang baik merupakan kunci keberhasilan dalam pembangunan hutan tanaman. Sumber benih yang telah tersedia untuk jenis A. crassicarpa di antaranya berasal dari areal produksi benih (APB) dan kebun benih semai (KBS). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh sumber benih terhadap viabilitas benih, mutu fisik bibit, dan pertumbuhan awal A. crassicarpa di lapangan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan Mei 2012. Pengujian viabilitas benih dan mutu fisik bibit dilaksanakan di Rumah Kaca Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, sedangkan pengujian pertumbuhan awal dilaksanakan di Cikabayan, Kecamatan Darmaga, Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengujian viabilitas benih adalah rancangan acak lengkap (RAL), sedangkan pengujian mutu fisik bibit dan pertumbuhan awal di lapangan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL). Sumber benih yang diuji yaitu: APB Jambi (AJA), APB Parungpanjang (APP), APB Riau (ARA), KBS Palembang (KPL), dan KBS Riau (KRK). Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) viabilitas benih: daya berkecambah, laju perkecambahan, kecepatan tumbuh, nilai perkecambahan, (2) mutu fisik bibit: kekokohan semai, berat kering total, rasio pucuk akar, indeks mutu bibit, (3) pertumbuhan awal: persen hidup, riap tinggi, dan riap diameter.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber benih berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah benih, kekokohan semai, berat kering total, indeks mutu bibit, riap tinggi, dan riap diameter. Daya berkecambah benih A. crassicarpa yang berasal dari KBS cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari APB. Kekokohan semai dari bibit A. crassicarpa yang benihnya berasal dari KBS lebih baik dibandingkan dengan yang berasal dari APB. Berat kering total dan indeks mutu bibit A. crassicarpa yang benihnya berasal dari APB Parungpanjang dan KBS Palembang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari KBS Riau, APB Jambi, dan APB Riau. Riap tinggi dan riap diameter tanaman A. crassicarpa berumur tiga bulan yang benihnya berasal dari KBS cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari APB. Sumber benih KBS Palembang unggul dalam viabilitas benih, mutu fisik bibit, dan pertumbuhan awal A. crassicarpa di lapangan.

Kata kunci: Acacia crassicarpa, mutu fisik bibit, pertumbuhan awal, sumber benih, viabilitas benih

(4)

iv HANNY DWI PURWANI. Seed Viability and Initial Growth of Akasia Krasikarpa (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.) Seedlings from Five Seed Sources in Indonesia. Supervised by EDJE DJAMHURI and NANING YUNIARTI.

The development of forest plantation is needed for the timber industry and other industrial raw materials. One prospective species for development of forest plantation is Acacia crassicarpa. The selection of the right species of seeds from a good source is the key to the success in the development of forests plantation. Seed sources already available for species A. crassicarpa are those from the seed production areas (SPA) and seedling seed orchard (SSO). This research was aimed to examine the effect of seed sources on seed viability, physical quality of seedlings, and initial growth of A. crassicarpa on the field.

This research was conducted from October 2011 to May 2012. Seed viability and physical quality of seedlings were tested at the Greenhouse of Silviculture Division, Department of Silviculture, Faculty of Forestry IPB, while initial growth was tested in Cikabayan, Darmaga District, Bogor. The experiment to test the seed viability used a complete randomized design (CRD), while the testing of physical seedling quality and initial growth on the field used a complete randomized block design (CRBD). The seed sources tested were from Jambi SPA (AJA), Parungpanjang SPA (APP), Riau SPA (ARA), Palembang SSO (KPL), and Riau SSO (KRK). The parameters used in this research were (1) seed viability: germinating potential, germinating rate, growing speed, germinating value, (2) physical quality of seedlings: seedling strength, total dry weight, top root ratio, seedling quality index, (3) initial growth: survival percentage, height increment, and diameter increment.

The research results showed that the seed source significantly affected the germinating potential of seeds, seedling strength, total dry weight, seedling quality index, height increments, and diameter increments. The germinating potential of A. crassicarpa from SSO tended to be higher than those from SPA. The seedling strength of A. crassicarpa of which seeds were taken from SSO was better than those derived from SPA. The total dry weight and seedling quality index of A. crassicarpa which came from Parungpanjang SPA and Palembang SSO were higher than those taken from Riau SSO, Jambi SPA, and Riau SPA. The height and diameter increments of A. crassicarpa plants at the age of three months old, of which seeds were from SSO, tended to be higher than those from SPA. The seed source of Palembang SSO was superior for seed viability, physical quality of seedlings, and initial growth of A. crassicarpa on the field.

Keywords: Acacia crassicarpa, initial growth, physical quality of seedlings, seed sources, seed viability

(5)

v

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Viabilitas Benih dan Pertumbuhan Awal Bibit Akasia Krasikarpa (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.) dari Lima Sumber Benih di Indonesia” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Hanny Dwi Purwani NIM E44080035

(6)

vi

Judul Skripsi : Viabilitas Benih dan Pertumbuhan Awal Bibit

Akasia Krasikarpa (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.) dari Lima Sumber Benih di Indonesia

Nama : Hanny Dwi Purwani

NIM : E44080035

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota

Ir Edje Djamhuri Ir Naning Yuniarti NIP 19500215 197412 1 001 NIP 19670618 199203 2 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya.

Skripsi ini membahas hasil penelitian yang berjudul “Viabilitas Benih dan Pertumbuhan Awal Bibit Akasia Krasikarpa (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.) dari Lima Sumber Benih di Indonesia”. Skripsi ini diharapkan dapat membuka wacana keilmuan dalam bidang kehutanan terutama mengenai viabilitas benih, mutu fisik bibit, dan pertumbuhan awal A. crassicarpa dari beberapa sumber benih KBS dan APB. Selain itu, diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa mendatang.

Bogor, November 2012

(8)

viii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat serta hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ir Edje Djamhuri dan Ir Naning Yuniarti selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan ilmunya kepada penulis.

2. Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS dan Dr Ir Iin Ichwandi, MSc selaku ketua sidang dan dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran.

3. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor yang telah banyak membantu dan memfasilitasi dalam pengambilan bahan penelitian. 4. Staf dan pegawai Departemen Silvikultur, Laboratorium Silvikultur,

Laboratorium Entomologi Hutan, Laboratorium Pengaruh Hutan,

Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB, serta Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor atas fasilitas dan bantuan yang diberikan hingga terselesaikannya skripsi ini.

5. Ayah, ibu, kakak, adik, dan keluarga tercinta yang senantiasa selalu mendoakan, memberi dukungan, kasih sayang, dan semangat yang tiada henti.

6. Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) yang telah memberikan beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) sehingga penulis lebih fokus dalam menyelesaikan pendidikan di IPB.

7. Pak Muhtar, Pak Atang, dan sahabat-sahabat (Erik, Revi, Asep, Kak Putri, Agus, Ina, Gina, Rizky, Febry, Selly, Kak Rahmat, Darmalia, Imun, Novi, Dien, Santi, Muhaemin, Bambang, Iin, Vina, dan Mas Ozi) terima kasih atas doa, bantuan, dan ilmu yang diberikan kepada penulis.

8. Teman-teman mahasiswa Departemen Silvikultur angkatan 44, 45, dan 46 atas doa dan dukungan yang telah diberikan.

9. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga segala bantuan dan dukungannya dicatat sebagai pahala oleh Allah SWT.

(9)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 25 Januari 1990 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Purkon Suwanda, SPd dan Cucu Hermayati, SPd. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ciamis dan pada tahun yang sama diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI).

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai staf divisi Scientific Improvement himpunan profesi

Tree Grower Community (TGC) periode tahun 2010 sampai dengan 2011.

Penulis juga aktif sebagai panitia kegiatan: Pameran Pengelolaan Hutan Lestari, Seminar HTR, Stadium General, dan Lacak Balak (2009), TGC In Action dan Belantara 46 (2010), serta Seminar Nasional dan Pelatihan Budidaya Jabon (2011).

Penulis berhasil lolos dalam program kreativitas mahasiswa (PKM) yang didanai DIKTI yaitu: PKM Penelitian (Rebung Bambu sebagai Zat Pengatur Tumbuh Alami Stek Pucuk Shorea leprosula) (2011) dan PKM Kewirausahaan yang berjudul Pendayagunaan Akar Alang-alang (Imperata cylindrica (L). Beauv) sebagai Minuman Sehat (2012). Pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2012, penulis memperoleh beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) dari IPB.

Kegiatan praktik yang telah dilakukan penulis di bidang kehutanan yaitu Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan Baturraden (2010), kemudian Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi, KPH Cianjur, Bandung, dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) (2011), serta melakukan Praktik Kerja Profesi (PKP) di KPH Kuningan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten (2012).

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Viabilitas Benih dan Pertumbuhan Awal Bibit Akasia Krasikarpa (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.) dari Lima Sumber Benih di Indonesia” dibimbing oleh Ir Edje Djamhuri dan Ir Naning Yuniarti.

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Viabilitas Benih ... 3

2.2 Pertumbuhan Awal Bibit... 3

2.2.1 Pertumbuhan Awal ... 3

2.2.2 Bibit ... 4

2.3 Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth ... 4

2.3.1 Taksonomi dan Botani ... 4

2.3.2 Penyebaran dan Persyaratan Tumbuh ... 5

2.3.3 Sifat Umum dan Kegunaan ... 5

2.3.4 Musim Buah ... 6

2.3.5 Pengumpulan Benih ... 6

2.3.6 Ekstraksi Benih ... 6

2.3.7 Pengujian Fisiologis (Daya Berkecambah) ... 7

2.3.8 Perlakuan Pendahuluan ... 7

2.3.9 Perkecambahan Benih ... 7

2.3.10 Penyapihan Bibit ... 7

2.3.11 Pemeliharaan Sapihan ... 8

2.4 Sumber Benih... 8

2.4.1 Standar Khusus Sumber Benih ... 9

2.4.1.1 Areal Produksi Benih (APB) ... 9

2.4.1.2 Kebun Benih Semai (KBS) ... 10

BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 12

3.2 Alat dan Bahan ... 12

3.3 Prosedur Penelitian ... 12

3.3.1 Persiapan Media ... 12

3.3.2 Perlakuan Pendahuluan ... 13

3.3.3 Penyemaian Benih ... 13

3.3.4 Penyapihan Semai ... 14

3.3.5 Pemeliharaan di Rumah Kaca ... 14

3.3.6 Pemanenan Bibit ... 15

3.3.7 Penurunan Kadar Air dan Penimbangan Berat Kering 15 3.3.8 Penyiapan Lahan ... 16

3.3.9 Pembuatan Desain Kelompok ... 16

(11)

xi

3.3.11 Pemeliharaan Bibit di Lapangan ... 18

3.3.12 Pengamatan di Lapangan ... 18 3.4 Parameter Penelitian ... 19 3.4.1 Viabilitas Benih ... 20 3.4.1.1 Daya Berkecambah (DB) ... 20 3.4.1.2 Laju Perkecambahan (LP) ... 20 3.4.1.3 Kecepatan Tumbuh (KT) ... 20 3.4.1.4 Nilai Perkecambahan (NP) ... 20

3.4.2 Mutu Fisik Bibit ... 21

3.4.2.1 Kekokohan Semai (KS) ... 21

3.4.2.2 Berat Kering Total (BKtot) ... 21

3.4.2.3 Rasio Pucuk Akar (RPA) ... 21

3.4.2.4 Indeks Mutu Bibit (IMB) ... 21

3.4.3 Pertumbuhan Awal ... 21

3.4.3.1 Persen Hidup ... 21

3.4.3.2 Riap Tinggi (RT) ... 22

3.4.3.3 Riap Diameter (RD) ... 22

3.5 Rancangan Percobaan ... 22

3.5.1 Pengujian Viabilitas Benih ... 22

3.5.2 Pengujian Mutu Fisik Bibit ... 23

3.5.3 Pengujian Pertumbuhan Awal ... 23

3.6 Analisis Data ... 24

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 25

4.2 Kondisi Umum Bahan Penelitian... 25

4.2.1 Asal Benih Penelitian ... 25

4.2.2 Media Penelitian ... 26

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ... 27

5.1.1 Viabilitas Benih ... 27

5.1.2 Mutu Fisik Bibit ... 29

5.1.3 Pertumbuhan Awal ... 31

5.2 Pembahasan... 34

5.2.1 Viabilitas Benih ... 34

5.2.2 Mutu Fisik Bibit ... 37

5.2.3 Pertumbuhan Awal ... 40

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 43

6.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Identitas kelas sumber benih A. crassicarpa yang diuji ... 26 2 Kriteria sifat kimia media yang digunakan ... 26 3 Rekapitulasi pengaruh kelas sumber benih terhadap viabilitas benih

A. crassicarpa ... 27 4 Kriteria standar daya berkecambah benih A. crassicarpa (BLTP 2000) 28 5 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh kelas sumber benih terhadap

viabilitas benih A. crassicarpa ... 28 6 Hasil uji Duncan pengaruh kelas sumber benih terhadap daya

berkecambah benih A. crassicarpa ... 29 7 Rekapitulasi pengaruh kelas sumber benih terhadap mutu fisik bibit

A. crassicarpa ... 29 8 Kriteria standar nilai kekokohan semai A. mangium (SNI 1999) ... 30 9 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok

terhadap mutu fisik bibit A. crassicarpa ... 30 10 Hasil uji Duncan pengaruh kelas sumber benih terhadap mutu fisik

bibit A. crassicarpa ... 30 11 Rekapitulasi pengaruh kelas sumber benih terhadap pertumbuhan

tanaman A. crassicarpa berumur tiga bulan ... 31 12 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok

terhadap pertumbuhan tanaman A. crassicarpa berumur tiga bulan ... 33 13 Hasil uji Duncan pengaruh kelas sumber benih terhadap pertumbuhan

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Ilustrasi pembangunan APB (Dephut 2009) ... 10

2 Ilustrasi pembangunan KBS (Dephut 2009) ... 11

3 Penyangraian media ... 13

4 Benih A. crassicarpa ... 13

5 Penyemaian benih ... 14

6 Semai A. crassicarpa yang telah disapih ... 14

7 Pemeliharaan di rumah kaca ... 14

8 Pemanenan bibit ... 15

9 Penurunan kadar air dan penimbangan berat kering ... 16

10 Kondisi lahan ... 16

11 Layout pengujian pertumbuhan awal A. crassicarpa di lapangan ... 17

12 Penanaman bibit ... 18

13 Pengamatan di lapangan ... 19

14 Grafik pengaruh kelas sumber benih terhadap daya berkecambah benih A. crassicarpa ... 28

15 Grafik pertumbuhan tinggi A. crassicarpa ... 32

16 Grafik pertumbuhan diameter A. crassicarpa ... 32

17 Perkecambahan benih A. crassicarpa ... 35

18 Bibit A. crassicarpa berumur 3 bulan ... 38

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data suhu dan curah hujan wilayah Darmaga tahun 2011 ... 48

2 Data suhu dan curah hujan wilayah Darmaga periode bulan Januari sampai dengan Mei 2012 ... 48

3 Hasil analisis media tanah dan pasir ... 49

4 Hasil analisis media sekam padi ... 49

5 Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah (SPPT 1983) ... 50

6 Rata-rata tinggi, diameter, berat kering pucuk, dan berat kering akar bibit A. crassicarpa di rumah kaca ... 50

7 Rata-rata tinggi A. crassicarpa di lapangan (cm) ... 50

8 Rata-rata persen perkecambahan benih A. crassicarpa ... 51

9 Rata-rata diameter A. crassicarpa di lapangan (mm) ... 51

10 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih terhadap daya berkecambah benih A. crassicarpa ... 52

11 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih terhadap laju perkecambahan benih A. crassicarpa ... 52

12 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih terhadap kecepatan tumbuh benih A. crassicarpa ... 52

13 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih terhadap nilai perkecambahan benih A. crassicarpa ... 52

14 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok terhadap kekokohan semai bibit A. crassicarpa ... 53

15 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok terhadap berat kering total bibit A. crassicarpa ... 53

16 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok terhadap rasio pucuk akar bibit A. crassicarpa... 53

17 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok terhadap indeks mutu bibit A. crassicarpa ... 53

18 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok terhadap persen hidup bibit A. crassicarpa ... 54

19 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok terhadap riap tinggi A. crassicarpa ... 54

20 Sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok terhadap riap diameter A. crassicarpa ... 54

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan kayu baik untuk pertukangan, maupun untuk bahan baku industri lainnya semakin meningkat. Sebaliknya, kemampuan hutan alam sebagai penyedia kayu semakin menurun. Cara untuk mengatasinya yaitu dengan membangun hutan tanaman (Khaerudin 1994).

Hutan tanaman pada saat ini memfokuskan pengembangan jenis tanaman cepat tumbuh dan berdaur pendek. Tujuannya yaitu untuk memenuhi kebutuhan kayu dalam waktu yang tidak lama dan tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang diinginkan. Salah satu jenis yang prospektif untuk dikembangkan di hutan tanaman yaitu Acacia crassicarpa.

A. crassicarpa termasuk jenis yang potensial untuk dikembangkan dalam

pembangunan hutan tanaman, reboisasi, dan rehabilitasi lahan. Doran dan Turnbull (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat, daya adaptasi yang luas, dan tahan terhadap kondisi yang kurang menguntungkan merupakan dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis ini. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan pulp dan kertas, kayu konstruksi, vinir, kayu komposit, dan kayu bakar.

Salah satu kunci keberhasilan dalam melakukan permudaan hutan secara buatan atau membangun hutan tanaman yaitu berupa pemilihan jenis yang tepat dan penggunaan benih atau bahan tanaman dari sumber yang baik. Cara utama dalam meningkatkan produktivitas hutan dan memenuhi kualifikasi hasil yang diharapkan yaitu dengan program pemuliaan pohon. Berkaitan dengan hal ini, maka penggunaan bahan tanaman dari sumber yang baik merupakan cara sederhana dalam menerapkan pemuliaan pohon (Indriyanto 2008).

Sumber benih yang telah tersedia untuk jenis A. crassicarpa di antaranya berasal dari areal produksi benih (APB) dan kebun benih semai (KBS). Mulawarman et al. (2002) menyatakan bahwa mutu benih yang berasal dari sumber benih KBS lebih unggul dibandingkan dengan APB.

(16)

Mutu bahan tanaman yang baik dapat dilihat dari viabilitas benih, mutu fisik bibit, dan pertumbuhan awalnya di lapangan. Viabilitas benih menurut Gordon (1992) dalam Zanzibar et al. (2003) adalah kemampuan yang dimiliki benih untuk berkecambah. Pramono dan Suhaendi (2006) menyatakan bahwa viabilitas benih dipengaruhi oleh faktor genetik (sumber benih) dan faktor lingkungan (teknik penanganan benihnya). Mutu fisik bibit menurut Wilson dan Jacobs (2005) dalam Sudrajat et al. (2010) mencerminkan berbagai parameter yang menentukan bibit dapat beradaptasi dan tumbuh setelah ditanam di lapangan. Pertumbuhan bibit di lapangan dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Iriantono dan Sudrajat (2002) menyatakan bahwa kedua faktor tersebut berperan penting terhadap fenotip sebuah pohon.

Saat ini, informasi mengenai viabilitas benih, mutu fisik bibit, dan pertumbuhan awal A. crassicarpa di lapangan dari sumber benih APB dan KBS masih sangat kurang. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penelitian mengenai viabilitas benih, mutu fisik bibit, dan pertumbuhan awal A. crassicarpa di lapangan dari sumber benih APB dan KBS perlu dilakukan.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh sumber benih terhadap viabilitas benih, mutu fisik bibit, dan pertumbuhan awal A. crassicarpa di lapangan.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menginformasikan sumber benih yang memiliki viabilitas benih, mutu fisik bibit, dan pertumbuhan awal terbaik. Selain itu, diharapkan dapat mendukung program pengadaan benih bermutu dalam pembangunan hutan tanaman.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Viabilitas Benih

Viabilitas benih menurut Gordon (1992) dalam Zanzibar et al. (2003) adalah kemampuan yang dimiliki benih untuk berkecambah. Dephut (2011) mendefinisikan benih adalah bahan tanaman yang berupa bahan generatif atau bahan vegetatif yang digunakan untuk pengembangbiakan tanaman hutan. Viabilitas benih merupakan refleksi dari mutu benih (Zanzibar et al. 2003).

Viabilitas benih dapat dideteksi melalui beberapa pendekatan, pendekatan yang paling lazim digunakan yaitu pendekatan fisiologis. Metode pendekatan fisiologis ini dibagi menjadi metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung yaitu apabila pengamatan dilakukan pada setiap individu benih, sedangkan metode tidak langsung yaitu apabila pengamatannya dilakukan terhadap sejumlah benih sekaligus (Zanzibar et al. 2003).

Deteksi viabilitas benih dari gejala pertumbuhannya disebut penilaian dengan indikasi langsung, sedangkan penilaian viabilitas benih dari gejala metabolisme dan bentuk fisiknya tanpa memperhatikan gejala pertumbuhannya disebut pendekatan dengan indikasi tidak langsung. Pengujian viabilitas benih dengan menggunakan indikator pertumbuhan kecambahnya sering disebut dengan indikasi langsung, yaitu yang dinilai berupa kenormalan pertumbuhan kecambah dan dilakukan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan metode pengujian yang didasarkan pada proses metabolisme benih yang merupakan indikasi tidak langsung disebut dengan uji cepat. Waktu yang diperlukan untuk pengujian viabilitas benih pohon hutan berkisar antara 7−30 hari tergantung pada jenis benihnya (Zanzibar et al. 2003).

2.2 Pertumbuhan Awal Bibit 2.2.1 Pertumbuhan Awal

Pertumbuhan merupakan proses yang penting dalam kehidupan dan perkembangbiakan suatu jenis. Pertumbuhan dalam arti sempit berarti pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan pembesaran sel (peningkatan ukuran). Proses ini merupakan proses yang bersifat irreversible (Gardner et al. 2008).

(18)

Pertumbuhan bibit di lapangan dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Kedua faktor ini berperan penting terhadap fenotip sebuah pohon (Iriantono dan Sudrajat 2002). Sutrisno (1998) dalam Rohandi dan Widyani (2010) menyatakan bahwa tanaman yang masih muda belum sepenuhnya menampilkan potensi genetik yang dimilikinya.

Riap pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan volume pohon atau tegakan per satuan waktu tertentu. Riap juga digunakan untuk menyatakan pertambahan nilai tegakan atau pertambahan diameter atau tinggi pohon setiap tahun (Arief 2001). Riap dibedakan ke dalam riap tahunan berjalan (Current

Annual Increment/CAI), riap periodik (Periodic Increment/PI), dan riap rata-rata

tahunan (Mean Annual Increment/MAI). CAI adalah riap selama tahun berjalan, PI adalah riap selama periode tertentu, sedangkan MAI adalah riap rata-rata per tahun sampai periode waktu tertentu.

2.2.2 Bibit

Bibit adalah tumbuhan muda hasil pengembangbiakan secara generatif atau secara vegetatif. Mutu bibit merupakan ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan bibit untuk beradaptasi dan tumbuh setelah penanaman (Sudrajat et al. 2010).

2.3 Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. 2.3.1 Taksonomi dan Botani

Klasifikasi Acacia crassicarpa dalam taksonomi tumbuhan yaitu sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Acacia

(19)

5

A. crassicarpa termasuk pohon yang dapat mencapai tinggi 20 m, tetapi

kadang-kadang dapat mencapai tinggi 30 m (Doran dan Turnbull 1997). Lemmens et al. (1995) menyatakan bahwa pohon A. crassicarpa dapat mencapai diameter 50 cm. Kulit batang luarnya berwarna coklat keabuan dan keras, sedangkan kulit batang dalamnya berwarna merah dan berserat. Daunnya berbentuk seperti bulan sabit dengan panjang 8−27 cm dan lebar 1−4,5 cm berwarna hijau keabuan serta memiliki tiga urat daun utama yang jelas. Bunganya berwarna kuning cerah dengan panjang 4−7 cm dan tangkai bunganya tebal dengan panjang 5−10 mm. Mahkota bunganya terdiri dari lima helai yang panjangnya 1,3−1,6 mm, biseksual, daun kelopak bunganya memiliki panjang 0,5−0,7 mm, benang sari panjangnya 2−3 mm, buah kering berwarna coklat kusam berbentuk bulat telur dengan panjang 5−8 cm dan lebar 2−4 cm. Benihnya berwarna hitam mengkilap berbentuk bulat lonjong dengan panjang 5−6 mm dan lebar 2−3 mm (Prohati 2011).

2.3.2 Penyebaran dan Persyaratan Tumbuh

A. crassicarpa tumbuh alami di Papua New Guinea, Irian Jaya bagian

selatan, Irian Jaya bagian tenggara, Australia bagian selatan, Townsville sampai dengan Semenanjung Cape York, Queensland (Australia). A. crassicarpa mampu tumbuh pada kondisi lahan yang sangat asam (pH 3,5−6) serta mempunyai ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik (Widyani et al. 2004).

A. crassicarpa tumbuh pada ketinggian 5−200 m dpl, di dekat laut tumbuh

pada ketinggian 450 m dpl dengan curah hujan 1000−3500 mm/tahun. Jenis ini banyak ditemukan di daerah humid dan sub humid yang mempunyai suhu maksimum rata-rata 32ºC−34ºC, suhu minimum rata-rata 12ºC−21ºC, dan suhu harian maksimum 32ºC (Doran dan Turnbull 1997). A. crassicarpa toleran terhadap berbagai tempat tumbuh dan tipe tanah. Selain itu, dapat tumbuh pada tanah berpasir, lumpur, tanah yang berdrainase kurang baik, dan di dekat laut (Widyani et al. 2004).

2.3.3 Sifat Umum dan Kegunaan

A. crassicarpa termasuk salah satu jenis potensial untuk rehabilitasi lahan

(20)

tanah, pertumbuhannya cepat, dan mampu memfiksasi nitrogen dengan baik. Selain itu, jenis ini banyak dijumpai pada daerah beriklim basah dan berkelembaban rendah (Suita dan Sudrajat 2003). Turnbull et al. (1983) dalam Widyati (2011) menyatakan A. crassicarpa menghasilkan banyak percabangan (tajuknya melebar) apabila tumbuh pada lahan yang terbuka. Kayu A. crassicarpa mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Kayunya dapat digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas, kayu konstruksi, furniture, bahan pembuatan kapal, bahan pembuatan lantai, dan vinir (Doran dan Turnbull 1997).

2.3.4 Musim Buah

A. crassicarpa mulai berbunga paling lambat 18 bulan setelah penanaman,

sedangkan produksi benihnya melimpah setelah 4 tahun. Benih masak setelah 5−6 bulan berbunga. A. crassicarpa di daerah alaminya, berbunga pada bulan Juni sampai dengan bulan September dan buahnya mulai masak dari bulan Oktober sampai dengan bulan Maret (Widyani et al. 2004).

2.3.5 Pengumpulan Benih

Buah A. crassicarpa berbentuk polong. Pengumpulan polong dilakukan dengan cara dipanjat, kemudian buah yang sudah tua dipetik baik dengan tangan maupun dengan alat pemotong atau galah berkait. Buah (polong) yang masak berwarna coklat dan benih berwarna hitam mengkilap berbentuk bulat lonjong dengan warna funikel (tangkai benih) krem atau kuning pucat. Buah yang terlalu masak akan membuka dan benihnya berhamburan keluar. Jumlah benih per 1 kg yaitu 48.828−48.876 butir (Widyani et al. 2004).

2.3.6 Ekstraksi Benih

Ekstraksi dilakukan dengan cara menjemur polong di bawah sinar matahari selama 3−4 hari sampai polong merekah (terbuka), sehingga benih dapat dengan mudah dikeluarkan. Funikel (tangkai benih) dihilangkan dengan cara menjemur benih selama 1−2 hari. Funikelnya dilepaskan dengan cara menggosok benih dengan telapak tangan menggunakan alas. Benih dipisahkan dari kotorannya dengan cara ditampi (Widyani et al. 2004).

(21)

7

2.3.7 Pengujian fisiologis (Daya Berkecambah)

Daya berkecambah benih memberikan informasi kepada pemakai benih akan kemampuan benih tumbuh normal menjadi tanaman yang berproduksi wajar dalam keadaan biofisik lapangan yang serba optimum (Sutopo 2010). Widyani et

al. (2004) menyatakan bahwa benih A. crassicarpa sebaiknya dikecambahkan

pada media tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1.

2.3.8 Perlakuan Pendahuluan

Kulit benih A. crassicarpa sangat keras, resisten terhadap pengikisan, dan tertutup oleh lapisan seperti lilin serta memiliki permeabilitas yang sangat tinggi terhadap air. Perlakuan pendahuluan sebelum perkecambahannya yaitu dengan cara mencabik kulit benih pada punggung endospermanya atau dengan perendaman air panas selama 6 menit kemudian direndam dalam air dingin selama 1 jam (Widyani et al. 2004). Hasil penelitian Nikvonda (2000) menginformasikan bahwa perlakuan pematahan dormansi dengan cara pencabikan kulit pada punggung endosperma memerlukan waktu yang paling singkat untuk berkecambah.

2.3.9 Perkecambahan Benih

Suita dan Sudrajat (2003) menginformasikan bahwa media perkecambahan yang paling sesuai untuk A. crassicarpa yaitu campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1 (v/v). Semua media baik tanah maupun pasir harus steril untuk menghindari serangan jamur yang dapat menyerang benih sehingga dapat menghasilkan kecambah yang sehat. Bak tabur atau nampan plastik yang akan digunakan, di bagian bawahnya harus diberi beberapa lubang untuk meloloskan air siraman. Bak tabur diisi dengan media sampai ketebalan ± 5 cm, kemudian diratakan. Sebelum benih ditabur, sebaiknya disiram dulu agar medianya basah dan permukaannya rata. Selanjutnya benih ditabur pada media yang sudah dipersiapkan tersebut.

2.3.10 Penyapihan Bibit

Pemindahan bibit ke media sapih dilakukan setelah berumur ± 2 minggu. Pembibitan jenis A. crassicarpa sebaiknya menggunakan media semai campuran

(22)

tanah dan sekam padi (5:1) dan 0,5 gram TSP. Media diisikan ke dalam polibag berukuran 10 cm x 15 cm yang telah diberi lubang agar mudah meloloskan air siraman. Media tersebut diisikan dengan cara menuangkan ke dalam wadah sampai penuh dan dipadatkan. Wadah-wadah yang sudah diisi media disusun dan diatur di areal naungan (shading net). Setelah itu disiram agar lebih basah pada saat ditanami kecambah. Bibit yang siap disapih harus diseleksi yaitu yang memiliki batang yang tidak bengkok (lurus). Kecambah yang sudah diseleksi, dicabut dan dipindahkan ke dalam wadah sementara (baskom) yang diisi air agar kecambahnya tidak kering. Pencabutan kecambah dilakukan secara hati-hati agar tidak rusak. Kecambah yang dicabut segera ditanam dan tidak dibiarkan terlalu lama. Penanaman kecambah dilakukan dengan cara melubangi terlebih dahulu media dalam wadah sedalam mungkin agar akar tidak patah (Suita dan Sudrajat 2003).

2.3.11 Pemeliharaan Sapihan

Pemeliharaan sapihan di areal persemaian (shaded area) terdiri dari penyiraman dan penyulaman. Penyiraman dilakukan tiap pagi dan sore. Penyulaman bertujuan untuk mengganti kecambah yang tidak tumbuh (mati) atau kecambah yang tumbuhnya kurang baik dengan kecambah baru dari sapihan. Penambahan kompos sabut kelapa dan pemberian pupuk TSP 3 butir per kantong dilakukan ketika semai sudah berumur 2 bulan. Bibit siap tanam setelah berumur 3 bulan (Suita dan Sudrajat 2003).

2.4 Sumber Benih

Sumber benih adalah pohon atau tegakan yang digunakan sebagai tempat pengumpulan benih (Mulawarman et al. 2002). Klasifikasi sumber benih berdasarkan materi genetik yang digunakan untuk membangunnya menurut Dephut (2009) dibedakan sebagai berikut:

a. Tegakan benih teridentifikasi (TBT), yaitu sumber benih dengan kualitas tegakan rata-rata, yang ditunjuk dari hutan alam atau hutan tanaman dan lokasinya teridentifikasi dengan tepat.

b. Tegakan benih terseleksi (TBS), yaitu sumber benih yang berasal dari TBT dengan kualitas tegakan di atas rata-rata.

(23)

9

c. Areal produksi benih (APB), yaitu sumber benih yang dibangun khusus atau berasal dari TBT atau TBS yang ditingkatkan kualitasnya melalui penebangan pohon-pohon yang fenotipanya tidak baik.

d. Tegakan benih provenan (TBP), yaitu sumber benih yang dibangun dari benih yang provenannya telah teruji.

e. Kebun benih semai (KBS), yaitu sumber benih yang dibangun dari bahan generatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakuan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan untuk memproduksi materi generatif.

f. Kebun benih klon (KBK), yaitu sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakuan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan untuk memproduksi materi generatif.

g. Kebun pangkas (KP), yaitu sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari klon unggul berdasarkan hasil uji klon untuk memproduksi materi vegetatif.

2.4.1 Standar Khusus Sumber Benih

Sumber benih yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari APB dan KBS. Dephut (2009) menetapkan standar khusus sumber benih untuk APB dan KBS sebagai berikut:

2.4.1.1 Areal Produksi Benih (APB)

Areal produksi benih berasal dari tegakan di hutan alam atau hutan tanaman. Apabila tegakan berasal dari hutan tanaman, maka dapat berasal dari konversi tegakan yang ada atau dibangun khusus untuk APB. Asal-usul benih untuk tegakan yang dikonversi sebagai APB sebaiknya diketahui, sedangkan apabila dibangun khusus untuk APB asal usul benihnya harus diketahui. Lot benih untuk membangun APB minimal berasal dari 25 pohon induk untuk menjaga keragaman genetiknya. Kualitas tegakan APB berada di atas TBS. Penjarangan dilakukan untuk mempertahankan pohon-pohon yang terbaik dan meningkatkan produksi benih. Jumlah pohon minimal setelah penjarangan yaitu 25 pohon dalam satu hamparan. Pembangunan APB memerlukan jalur isolasi untuk mencegah

(24)

kontaminasi serbuk sari dari luar. Ilustrasi pembangunan APB dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ilustrasi pembangunan APB (Dephut 2009)

2.4.1.2 Kebun Benih Semai (KBS)

Benih untuk membangun KBS berasal dari hutan alam atau hutan tanaman. Famili yang digunakan untuk membangun KBS berasal dari pohon induk atau pohon plus. Identitas famili dicantumkan di peta (rancangan kebun) atau tanda famili di lapangan. Penjarangan dilakukan untuk mempertahankan famili-famili terbaik dan meningkatkan produksi benih. Penjarangan dilakukan berdasarkan metode seleksi sesuai dengan hasil uji keturunan. Jumlah pohon setelah penjarangan yaitu 25 famili. KBS memiliki kualitas genotipa baik. Pembangunan KBS memerlukan jalur isolasi untuk mencegah kontaminasi serbuk sari dari luar. Ilustrasi pembangunan KBS dapat dilihat pada Gambar 2.

(25)

11

(26)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama tujuh bulan yaitu pada 30 Oktober 2011 sampai dengan 19 Mei 2012. Pengujian viabilitas benih dan mutu fisik bibit dilaksanakan di Rumah Kaca Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, sedangkan pengujian pertumbuhan awal A. crassicarpa dilaksanakan di Cikabayan, Kecamatan Darmaga, Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: bak tabur ukuran 30 cm x 40 cm x 10 cm, pisau cutter, polibag ukuran 10 cm x 15 cm, kamera digital, gembor, paku, wajan, kompor gas, tabung gas, spidol permanen, kantong plastik, label, alat tulis, penggaris, meteran, kaliper digital, tusuk gigi, kertas koran, oven, timbangan, GPS, ember, ajir, dan tali rafia. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: benih A. crassicarpa dari lima sumber benih yaitu APB (Jambi, Parungpanjang, dan Riau) serta KBS (Palembang dan Riau), tanah dan pasir (1:1) sebagai media semai, tanah dan sekam padi (5:1) sebagai media sapih, pupuk TSP, herbisida, furadan, pupuk kandang, dan pupuk NPK.

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Persiapan Media

Media semai menggunakan tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1, sedangkan media sapih menggunakan tanah dan sekam padi dengan perbandingan 5:1. Sebelum digunakan, media tersebut diayak terlebih dahulu kemudian disterilisasi dengan cara disangrai selama 1 jam. Media semai dimasukkan ke dalam bak tabur, sedangkan media sapih dimasukkan ke dalam polibag yang telah disiapkan. Bak tabur dan polibag selanjutnya diberi label berdasarkan sumber benihnya. Penyangraian media semai dan media sapih disajikan pada Gambar 3.

(27)

13

Gambar 3 Penyangraian media: a) media semai; b) media sapih

3.3.2 Perlakuan pendahuluan

Benih A. crassicarpa, sebelum disemai terlebih dahulu diberi perlakuan pendahuluan untuk mematahkan dormansinya. Perlakuan pendahuluan yang dilakukan yaitu dengan mencabik kulit benihnya (bagian punggung endospermanya) dengan menggunakan pisau cutter secara hati-hati. Benih A.

crassicarpa sebelum dan setelah dicabik kulit benihnya disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Benih A. crassicarpa: a) sebelum dicabik kulit benihnya; b) setelah dicabik kulit benihnya

3.3.3 Penyemaian Benih

Benih A. crassicarpa disemai secara merata ke dalam bak tabur yang telah disiapkan. Benih yang telah disemai, kemudian ditaburi di bagian atasnya dengan pasir halus. Penyiraman dilakukan 1−2 kali sehari disesuaikan dengan kondisi kelembaban media. Pengujian perkecambahan dilakukan di rumah kaca selama 30 hari. Benih A. crassicarpa yang telah disemai dan penempatan bak tabur di rumah kaca disajikan pada Gambar 5.

b a

(28)

Gambar 5 Penyemaian benih: a) benih A. crassicarpa yang telah disemai ke dalam bak tabur; b) penempatan bak tabur di rumah kaca

3.3.4 Penyapihan Semai

Semai yang telah berumur 1 bulan, kemudian dicabut secara hati-hati dengan tidak merusak akarnya. Semai tersebut kemudian disapih ke dalam polibag berisi media sapih yang telah disiapkan. Semai A. crassicarpa yang telah disapih disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Semai A. crassicarpa yang telah disapih

3.3.5 Pemeliharaan di Rumah Kaca

Pemeliharaan yang dilakukan di rumah kaca meliputi: penyiraman dan pemupukan. Penyiraman dilakukan secara rutin 1−2 kali sehari disesuaikan dengan kondisi kelembaban media. Pemupukan dilakukan pada umur 2 bulan setelah penyapihan dengan pupuk TSP (dosis 1 gram setiap polibag). Bibit A.

crassicarpa setelah disiram dan setelah dipupuk TSP dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Pemeliharaan di rumah kaca: a) bibit setelah disiram; b) bibit setelah dipupuk TSP

a

b a

(29)

15

3.3.6 Pemanenan Bibit

Pemanenan bibit A. crassicarpa dilakukan setelah bibit berumur 3 bulan dari penyapihan. Sebelum dipanen dilakukan pengukuran tinggi dan diameter bibitnya terlebih dahulu. Setelah itu, dilakukan pemisahan bagian pucuk dan bagian akarnya. Kegiatan pemanenan bibit A. crassicarpa disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Pemanenan bibit: a) pengukuran tinggi; b) pengukuran diameter; c) bagian pucuk dan akar; d) bagian pucuk; e) bagian akar

3.3.7 Penurunan Kadar Air dan Penimbangan Berat Kering

Bibit A. crassicarpa yang telah dipisahkan bagian pucuk dan bagian akarnya, kemudian dibungkus kertas koran, dan diberi label. Setelah itu, dilakukan penurunan kadar air bagian pucuk dan bagian akarnya pada suhu 60ºC selama 72 jam. Bagian pucuk dan bagian akar yang telah diturunkan kadar airnya, kemudian ditimbang berat kering masing-masing bagiannya. Kegiatan penurunan kadar air dan penimbangan berat kering bagian pucuk dan akar bibit A.

crassicarpa dapat dilihat pada Gambar 9.

a b

(30)

Gambar 9 Penurunan kadar air dan penimbangan berat kering: a) penurunan kadar air bagian pucuk dan akar; b) suhu penurunan kadar air; c) bagian pucuk dan akar yang telah diturunkan kadar airnya; d) penimbangan bagian pucuk yang telah diturunkan kadar airnya; e) penimbangan bagian akar yang telah diturunkan kadar airnya

3.3.8 Penyiapan Lahan

Lahan dibersihkan dengan menggunakan mesin dan herbisida. Lahan untuk penanaman harus bersih dari gulma dan semak belukar agar bibit yang ditanam dapat tumbuh dengan baik. Kondisi lahan sebelum dan setelah dibersihkan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Kondisi lahan: a) sebelum dibersihkan; b) setelah dibersihkan

3.3.9 Pembuatan Desain Kelompok

Setelah lahan dibersihkan dari berbagai gulma dan semak belukar, kemudian didesain areal tanam yang dibagi menjadi 3 kelompok. Jarak tanam setiap sumber benih (1 m x 1 m) dan jarak antar kelompok (1 m x 1 m) dengan

d

a b c

e

(31)

17

ukuran lubang tanam (15 cm x 15 cm x 15 cm). Layout pengujian pertumbuhan awal A. crassicarpa di lapangan disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Layout pengujian pertumbuhan awal A. crassicarpa di lapangan

3.3.10 Penanaman Bibit di Lapangan

Bibit yang telah berumur 3 bulan, diangkut dari rumah kaca kemudian ditanam di lapangan untuk dilakukan pengujian pertumbuhan awalnya. Pemasangan ajir dilakukan pada setiap lubang tanam. Setiap kelompok diberi tanda batas dengan menggunakan tali rafia. Pengepakan dan pelabelan bibit, pemberian ajir dan penandaan batas setiap kelompok pengujian, serta bibit

(32)

Gambar 12 Penanaman bibit: a) pengepakan dan pelabelan bibit; b) pemberian ajir dan penandaan batas setiap kelompok pengujian; c) bibit A. crassicarpa setelah ditanam di lapangan

3.3.11 Pemeliharaan Bibit di Lapangan

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi: penyiraman, pemberian furadan, penyiangan gulma, dan pemupukan. Penyiraman dilakukan sebanyak 1−2 kali sehari apabila tidak ada hujan, pemberian furadan dilakukan setiap seminggu sekali dengan dosis 10 gram setiap lubang tanam. Penyiangan gulma dilakukan setiap seminggu sekali.

Pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang dilakukan sebanyak 2 kali yaitu minggu kesatu setelah penanaman dan minggu keenam setelah penanaman sebanyak 200 gram setiap tanaman. Pemupukan dengan menggunakan pupuk NPK dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada minggu ketiga, kelima, dan ketujuh setelah penanaman dengan dosis 10 gram setiap tanaman.

3.3.12 Pengamatan di Lapangan

Pengamatan yang dilakukan di lapangan yaitu: pengukuran tinggi, diameter, dan jumlah bibit yang hidup di lapangan. Pengukuran tinggi, diameter, dan jumlah bibit yang hidup di lapangan dilakukan setiap satu minggu sekali, mulai dari awal penanaman sampai dengan umur 3 bulan di lapangan.

Pengukuran tinggi dilakukan dengan menggunakan penggaris atau meteran, mulai dari pangkal sampai dengan titik tumbuh pucuk semai. Diameter bibit diukur 1 cm di atas permukaan tanah yang telah ditandai. Penghitungan jumlah bibit yang hidup di lapangan dilakukan dengan mengamati satu-persatu bibit yang ditanam. Bibit yang mati atau mengalami patah batang/pucuk dianggap mati.

(33)

19

Pengukuran tinggi dan diameter bibit, bibit yang mati, bibit yang mengalami patah batang, dan bibit yang mengalami patah pucuk dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Pengamatan di lapangan: a) pengukuran tinggi; b) pengukuran diameter; c) bibit yang mati; d) bibit yang mengalami patah batang; e) bibit yang mengalami patah pucuk

3.4 Parameter Penelitian

Parameter yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1) viabilitas benih: (a) daya berkecambah (DB), (b) laju perkecambahan (LP), (c) kecepatan tumbuh (KT), dan (d) nilai perkecambahan (NP), (2) mutu fisik bibit: (a) kekokohan semai (KS), (b) berat kering total (BKtot), (c) rasio pucuk akar (RPA), dan (d) indeks mutu bibit (IMB), (3) pertumbuhan awal: (a) persen hidup, (b) riap tinggi (RT), dan (c) riap diameter (RD).

d e

c b

(34)

3.4.1 Viabilitas Benih

3.4.1.1 Daya Berkecambah (DB)

Daya berkecambah menunjukkan jumlah kecambah normal yang dapat dihasilkan oleh benih murni pada kondisi lingkungan tertentu dalam jangka waktu yang ditetapkan (Sutopo 2010). Daya berkecambah dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

DB = Jumlah benih yang berkecambah normal

Jumlah benih yang diuji x 100%

3.4.1.2 Laju Perkecambahan (LP)

Laju perkecambahan dapat diukur dengan menghitung jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikel atau plumula (Sutopo 2010). Laju perkecambahan dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

LP = n1 x t1 + n2 x t2 + ⋯ + (ni x ti) Jumlah total benih yang berkecambah ni = jumlah benih yang berkecambah pada satuan waktu tertentu

ti = jumlah waktu antara awal pengujian sampai dengan akhir dari interval tertentu suatu pengamatan

3.4.1.3 Kecepatan Tumbuh (KT)

Kecepatan tumbuh benih dihitung berdasarkan jumlah benih normal yang tumbuh setiap hari atau per etmal (etmal = 24 jam). Kecepatan tumbuh dapat dihitung berdasarkan rumus Maguire (Bramasto et al. 2002a) yaitu:

KT = x1 e1 + x2 e2+ ⋯ + xi ei xi = persentase kecambah normal pada pengamatan ke-i ei = pengamatan hari ke-i

3.4.1.4 Nilai Perkecambahan (NP)

Nilai perkecambahan yaitu indeks yang menyatakan kecepatan dan kesempurnaan benih untuk berkecambah. Nilai perkecambahan dapat dihitung berdasarkan rumus Czabator (Sutopo 2010) yaitu:

GV (%) = PV X FGD PV = % perkecambahan tertinggi

Jumlah hari untuk mencapainya FGD = % perkecambahan pada akhir pengamatan

(35)

21

GV = nilai perkecambahan

PV = nilai puncak perkecambahan FGD = rata-rata perkecambahan harian 3.4.2 Mutu Fisik Bibit

3.4.2.1 Kekokohan Semai (KS)

Nilai kekokohan semai diperoleh dari perbandingan tinggi dan diameter semai. Rumus kekokohan semai menurut (Jayusman 2011) yaitu:

KS = Tinggi semai (cm) Diameter semai (mm)

3.4.2.2 Berat Kering Total (BKtot)

Berat kering total (BKtot) diperoleh dengan menjumlahkan secara langsung berat kering pucuk dengan berat kering akar (Heriyanto dan Siregar 2004). Rumus berat kering total yaitu:

BKtot = berat kering pucuk + berat kering akar 3.4.2.3 Rasio Pucuk Akar (RPA)

Rasio pucuk akar diperoleh dengan membandingkan berat kering pucuk dan berat kering akar semai (Heriyanto dan Siregar 2004). Rumusnya yaitu:

RPA = Berat kering pucuk (g) Berat kering akar (g)

3.4.2.4 Indeks Mutu Bibit (IMB)

Nilai indeks mutu bibit merupakan suatu parameter untuk mengetahui kemampuan hidup bibit di lapangan. Nilai indeks mutu bibit dihitung menurut rumus Dickson (Kurniaty et al. 2010).

IMB = Tinggi semai (cm)Berat kering total semai (g) Diameter semai (mm)+

Berat kering pucuk (g) Berat kering akar (g)

3.4.3 Pertumbuhan Awal 3.4.3.1 Persen Hidup

Nilai persen hidup diperoleh dari perbandingan jumlah bibit yang hidup dengan jumlah bibit yang ditanam di lapangan pada akhir pengamatan. Rumus persen hidup yaitu:

(36)

Persen hidup = Jumlah bibit yang hidup

Jumlah bibit yang ditanam x 100% 3.4.3.2 Riap Tinggi (RT)

Perhitungan riap tinggi mingguan berjalan berdasarkan rumus turunan Prodan (Astrinata 2012). Rumus riap tinggi yaitu:

RT = (Hn + 1 − Hn)/(Tn + 1 − Tn)

Tn 0

Tn Hn+1 = tinggi pada minggu ke-n+1

Hn = tinggi pada minggu ke-n

Tn = minggu pengukuran ke-n 3.4.3.3 Riap Diameter (RD)

Perhitungan riap diameter mingguan berjalan berdasarkan rumus turunan Prodan (Astrinata 2012). Riap diameter dihitung berdasarkan rumus:

RD = (Dn + 1 − Dn)/(Tn + 1 − Tn)

Tn 0

Tn Dn+1 = diameter pada minggu ke-n+1

Dn = diameter pada minggu ke-n

Tn = minggu pengukuran ke-n 3.5 Rancangan Percobaan 3.5.1 Pengujian Viabilitas Benih

Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengujian viabilitas benih adalah rancangan acak lengkap (RAL). Jumlah benih yang digunakan dari masing-masing sumber benih yaitu 100 benih sebanyak 4 replikasi, sehingga jumlah benih yang dibutuhkan untuk satu sumber benih yaitu 1 x 100 x 4 = 400 benih. Jumlah benih yang dibutuhkan untuk kelima sumber benih yaitu 5 x 400 = 2000 benih. Kelima sumber benih yang diuji yaitu:

AJA = APB Jambi

APP = APB Parungpanjang ARA = APB Riau

KPL = KBS Palembang KRK = KBS Riau

Model RAL yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) yaitu: Yij = μ + τi + εij

i = 1, 2, ..., t dan j = 1, 2, ..., r

Yij = nilai pengamatan pada sumber benih ke-i dan ulangan ke-j

(37)

23

τi = pengaruh sumber benih ke-i

εij = pengaruh acak pada sumber benih ke-i dan ulangan ke-j

3.5.2 Pengujian Mutu Fisik Bibit

Pengujian mutu fisik bibit menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dengan 10 bibit setiap sumber benih sebanyak tiga replikasi, sehingga jumlah bibit yang dibutuhkan untuk setiap sumber benih yaitu 1 x 3 x 10 = 30 bibit. Jumlah bibit yang dibutuhkan untuk kelima sumber benih yaitu 5 x 30 = 150 bibit. Kelima sumber benih yang diuji yaitu:

AJA = APB Jambi

APP = APB Parungpanjang ARA = APB Riau

KPL = KBS Palembang KRK = KBS Riau

Model RAKL yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) yaitu:

Yij = μ + τi + βj + εij

i = 1, 2, ..., t dan j = 1, 2, ..., r

Yij = nilai pengamatan pada sumber benih ke-i dan kelompok ke-j

µ = rataan umum

τi = pengaruh sumber benih ke-i

βj = pengaruh kelompok ke-j

εij = pengaruh acak pada sumber benih ke-i dan kelompok ke-j

3.5.3 Pengujian Pertumbuhan Awal

Pengujian pertumbuhan awal A. crassicarpa di lapangan menggunakan RAKL dengan 10 bibit setiap sumber benih sebanyak tiga replikasi, sehingga jumlah bibit yang dibutuhkan untuk setiap sumber benih yaitu 1 x 3 x 10 = 30 bibit. Jumlah bibit yang dibutuhkan untuk kelima sumber benih yaitu 5 x 30 = 150 bibit. Kelima sumber benih yang diuji yaitu:

AJA = APB Jambi

APP = APB Parungpanjang ARA = APB Riau

KPL = KBS Palembang KRK = KBS Riau

Model RAKL yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) yaitu:

Yij = μ + τi + βj + εij

(38)

Yij = nilai pengamatan pada sumber benih ke-i dan kelompok ke-j

µ = rataan umum

τi = pengaruh sumber benih ke-i

βj = pengaruh kelompok ke-j

εij = pengaruh acak pada sumber benih ke-i dan kelompok ke-j

3.6 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) dengan uji F. Selanjutnya dilakukan pengujian perlakuan dengan kriteria uji menurut Hanafiah (2005) sebagai berikut:

F hitung ≥ F tabel, maka tolak H0

F hitung < F tabel, maka terima H0

Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), bentuk hipotesis yang diuji dalam RAL yaitu:

H0: τ1 = ... = τ5 = 0 (sumber benih tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

H1: paling sedikit ada satu i; τi ≠ 0

Bentuk hipotesis yang diuji dalam RAKL menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) yaitu:

Pengaruh sumber benih:

H0: τ1 = ...= τ5 = 0 (sumber benih tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

H1: paling sedikit ada satu i; τi ≠ 0

Pengaruh kelompok:

H0: β1 = ... = β3 = 0 (kelompok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

H1: paling sedikit ada satu j; βj ≠ 0

Apabila berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Office Excel 2007 dan SAS versi 9.0.

(39)

BAB IV

KONDISI UMUM

4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Secara geografis wilayah Darmaga terletak pada perpotongan garis 06º3’ LS dan 106º44’ BT. Tipe iklim wilayah Darmaga termasuk tipe A (klasifikasi Schmidt dan Ferguson) dengan jenis tanah latosol. Ketinggian lokasi penelitian (Cikabayan, Kecamatan Darmaga, Bogor) adalah 191 m dpl. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3552 mm dengan kelembaban nisbi rata-rata-rata-rata per tahun di atas 80% dan suhu rata-rata sepanjang tahun sebesar 25ºC. Rata-rata suhu wilayah Darmaga pada tahun 2011 berkisar antara 25,1ºC−26,3ºC, sedangkan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2012 rata-rata suhunya berkisar antara 25,1ºC−26,1ºC. Curah hujan wilayah Darmaga pada tahun 2011 berkisar antara 86−457,7 mm dengan curah hujan terendah pada bulan Februari dan tertinggi pada bulan November. Curah hujan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2012 berkisar antara 136−548,9 mm dengan curah hujan terendah pada bulan Maret dan tertinggi pada bulan Februari. Data suhu dan curah hujan pada tahun 2011 dilampirkan pada Lampiran 1, sedangkan data suhu dan curah hujan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2012 dilampirkan pada Lampiran 2.

4.2 Kondisi Umum Bahan Penelitian 4.2.1 Asal Benih Penelitian

Benih A. crassicarpa yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lima sumber benih yaitu: APB (Jambi, Parungpanjang, dan Riau) dan KBS (Palembang dan Riau). Benih yang berasal dari APB Jambi diperoleh dari PT. Wira Karya Sakti yang berasal dari Papua New Guinea, benih yang berasal dari APB Parungpanjang diperoleh dari Hutan Penelitian Parungpanjang di bawah Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor yang benihnya berasal dari Papua New Guinea, dan benih yang berasal dari APB Riau diperoleh dari PT. Arara Abadi yang benihnya berasal dari Papua New Guinea.

Benih yang berasal dari KBS Palembang diperoleh dari PT. Musi Hutan Persada yang benihnya berasal dari Merauke, sedangkan benih yang berasal dari KBS Riau diperoleh dari PT. Arara Abadi yang benihnya berasal dari Papua New

(40)

Guinea. Rincian identitas kelas sumber benih A. crassicarpa yang diuji dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Identitas kelas sumber benih A. crassicarpa yang diuji

No Sumber benih Asal benih Tahun

tanam

Curah hujan (mm/tahun)

Ketinggian

(m dpl) Jenis tanah

1 APB Jambi, PT. Wira

Karya Sakti

Papua New Guinea 2002 2289 0−30 ultisol

2 APB Parungpanjang,

Hutan Penelitian Parungpanjang

Papua New Guinea 1998 2000−2500 52 podsolik

haplik

3 APB Riau, PT. Arara

Abadi

Papua New Guinea 2007 2260 52−58 podsolik

merah kuning

4 KBS Palembang, PT.

Musi Hutan Persada

Merauke, Irian Jaya 1996 2082 115 podsolik

merah kuning

5 KBS Riau, PT. Arara

Abadi

Papua New Guinea 2007 2260 52−58 podsolik

merah kuning

4.2.2 Media Penelitian

Media semai dan media sapih yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari wilayah Darmaga, Bogor. Kriteria sifat kimia media yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis tanah dan pasir dilampirkan pada Lampiran 3, sedangkan hasil analisis sekam padi dilampirkan pada Lampiran 4. Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah menurut SPPT (1983) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dilampirkan pada Lampiran 5.

Tabel 2 Kriteria sifat kimia media yang digunakan

Sifat kimia tanah Kriteria

pasir + tanah tanah sekam padi

C (%) sangat rendah rendah sangat tinggi

N (%) sangat rendah rendah tinggi

P2O5 HCl (mg/100g) sangat rendah sangat rendah -

P2O5 Bray (ppm) sangat rendah sangat rendah -

K2O HCl 25% (mg/100g) sangat rendah sangat rendah -

KTK (me/100g) rendah rendah -

K (me/100g) sedang sedang -

Na (me/100g) sedang rendah -

Mg (me/100g) sedang sangat rendah sangat rendah

Ca (me/100g) rendah rendah sangat rendah

Kejenuhan basa (%) sangat tinggi sedang -

(41)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Viabilitas Benih

Parameter viabilitas benih yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari: daya berkecambah, laju perkecambahan, kecepatan tumbuh, dan nilai perkecambahan. Rekapitulasi hasil pengamatan setiap parameter viabilitas benih

A. crassicarpa sebagai respon dari sumber benih APB Jambi (AJA), APB

Parungpanjang (APP), APB Riau (ARA), KBS Palembang (KPL), dan KBS Riau (KRK) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rekapitulasi pengaruh kelas sumber benih terhadap viabilitas benih

A. crassicarpa

No Parameter

Sumber benih

APB KBS

AJA APP ARA KPL KRK

1 Daya berkecambah (%) 60,33 72,33 58,00 65,67 65,00 2 Laju perkecambahan (etmal) 7,93 7,62 8,59 7,61 7,64 3 Kecepatan tumbuh (%/etmal) 8,67 10,60 7,49 10,08 9,09 4 Nilai perkecambahan 6,29 8,25 7,13 6,68 9,43

Benih A. crassicarpa dari kelima sumber benih yang diuji mulai berkecambah pada hari ke-3 setelah ditanam, kemudian meningkat dengan puncak perkecambahan terjadi pada hari ke-8 setelah ditanam, dan mulai terjadi penurunan perkecambahan setelah hari ke-13. Jumlah benih yang berkecambah dari kelima sumber benih yang diuji sampai dengan akhir dilakukannya pengamatan (hari ke-30) cukup beragam. Benih A. crassicarpa dari sumber benih AJA daya berkecambahnya mencapai 60,33%, benih dari sumber benih APP memiliki daya berkecambah tertinggi sebesar 72,33%, benih dari sumber benih ARA memiliki daya berkecambah terendah sebesar 58%, benih dari sumber benih KPL daya berkecambahnya mencapai 65,67%, dan benih dari sumber benih KRK daya berkecambahnya mencapai 65%. Grafik pengaruh kelas sumber benih terhadap daya berkecambah benih A. crassicarpa disajikan pada Gambar 14.

(42)

Gambar 14 Grafik pengaruh kelas sumber benih terhadap daya berkecambah benih A. crassicarpa

Kriteria daya berkecambah benih yang diuji menurut BLTP (2000) dalam Danu et al. (2006) termasuk mutu C untuk daya berkecambah benih A.

crassicarpa dari sumber benih AJA, APP, KPL, dan KRK, sedangkan daya

berkecambah benih dari sumber benih ARA termasuk mutu D. Standar mutu benih A. crassicarpa menurut BLTP (2000) dalam Danu et al. (2006) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kriteria standar daya berkecambah benih A. crassicarpa (BLTP 2000)

No Kriteria mutu Daya berkecambah (%)

1 Mutu A >90%

2 Mutu B 80−89%

3 Mutu C 60−79%

4 Mutu D 50−59%

Sumber benih memberikan pengaruh yang beragam terhadap parameter viabilitas benih yang diamati. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh kelas sumber benih terhadap viabilitas benih A. crassicarpa dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh kelas sumber benih terhadap viabilitas benih A. crassicarpa

No Parameter viabilitas benih Sumber benih

1 Daya berkecambah (DB) *

2 Laju perkecambahan (LP) tn

3 Kecepatan tumbuh (KT) tn

4 Nilai perkecambahan (NP) tn

tn = tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05; * = berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05 Hasil sidik ragam (Tabel 5) menunjukkan bahwa sumber benih hanya berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah benih A. crassicarpa. Hasil uji

0 20 40 60 80 0 3 5 7 8 13 20 30 P er k ec am b ah an ( %) Periode pengamatan (HST)

AJA = APB Jambi

APP = APB Parungpanjang ARA = APB Riau

KPL = KBS Palembang KRK = KBS Riau

(43)

29

Duncan pengaruh kelas sumber benih terhadap daya berkecambah benih A.

crassicarpa disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji Duncan pengaruh kelas sumber benih terhadap daya berkecambah benih A. crassicarpa

No Sumber benih Daya berkecambah (%)

1 AJA 51,00b

2 APP 58,27a

3 ARA 49,61b

4 KPL 54,22ab

5 KRK 53,75ab

huruf yang sama di belakang angka menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada taraf uji F 0,05

Hasil uji Duncan (Tabel 6) menunjukkan bahwa benih dari sumber benih APP yang disimpan selama 2 bulan memiliki daya berkecambah tertinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan sumber benih KPL dan KRK. Benih dari sumber benih ARA yang disimpan selama 7 bulan memiliki daya berkecambah terendah, tetapi tidak berbeda nyata dengan sumber benih AJA, KRK, dan KPL.

5.1.2 Mutu Fisik Bibit

Parameter mutu fisik bibit yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari: kekokohan semai, berat kering total, rasio pucuk akar, dan indeks mutu bibit. Rekapitulasi mutu fisik bibit A. crassicarpa sebagai respon dari kelima sumber benih yang diuji dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Rekapitulasi pengaruh kelas sumber benih terhadap mutu fisik

bibit A. crassicarpa

No Parameter mutu fisik bibit

Sumber benih

APB KBS

AJA APP ARA KPL KRK

1 Kekokohan semai 13,190 13,908 14,708 11,317 11,801 2 Berat kering total (g) 0,273 0,514 0,301 0,497 0,299 3 Rasio pucuk akar 8,596 8,689 8,270 8,294 8,005 4 Indeks mutu bibit 0,012 0,023 0,014 0,026 0,016

Nilai kekokohan semai hasil penelitian ini berkisar antara 11,317−14,708. Kekokohan semai A. crassicarpa berdasarkan standar mutu bibit tanaman hutan untuk jenis A. mangium menurut SNI (1999) dalam Danu et al. (2006), maka kekokohan semai bibit yang benihnya berasal dari sumber benih KPL dan KRK

(44)

termasuk mutu P (mutu pertama), sedangkan bibit yang benihnya berasal dari sumber benih AJA, APP, dan ARA termasuk mutu D (mutu kedua). Kriteria standar nilai kekokohan semai A. mangium dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Kriteria standar nilai kekokohan semai A. mangium (SNI 1999)

No Kriteria mutu Kekokohan semai

1 Mutu P 7−12

2 Mutu D <7−>12

Sumber benih dan kelompok memberikan pengaruh yang beragam terhadap parameter mutu fisik bibit yang diamati. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok terhadap mutu fisik bibit A. crassicarpa dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh kelas sumber benih dan kelompok terhadap mutu fisik bibit A. crassicarpa

No Parameter mutu fisik bibit Sumber benih Kelompok

1 Kekokohan semai (KS) ** tn

2 Berat kering total (BKtot) ** **

3 Rasio pucuk akar (RPA) tn *

4 Indeks mutu bibit (IMB) ** **

tn = tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05; * = berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05; ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F 0,01

Hasil sidik ragam (Tabel 9) menunjukkan bahwa sumber benih berpengaruh sangat nyata terhadap semua parameter mutu fisik bibit, kecuali terhadap rasio pucuk akar. Kelompok berpengaruh nyata terhadap rasio pucuk akar dan berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering total dan indeks mutu bibit. Hasil uji Duncan pengaruh kelas sumber benih terhadap kekokohan semai, berat kering total, dan indeks mutu bibit dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil uji Duncan pengaruh kelas sumber benih terhadap mutu fisik bibit A. crassicarpa

No Parameter

Sumber benih

APB KBS

AJA APP ARA KPL KRK

1 Kekokohan semai 13,190bc 13,908c 14,708c 11,317a 11,801ab

2 Berat kering total (g) 0,273b 0,514a 0,301b 0,497a 0,299b

3 Indeks mutu bibit 0,012b 0,023a 0,014b 0,026a 0,016b

huruf yang sama di belakang angka pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada taraf uji F 0,05

Gambar

Gambar 1  Ilustrasi pembangunan APB (Dephut 2009)
Gambar 2  Ilustrasi pembangunan KBS (Dephut 2009)
Gambar 3  Penyangraian media: a) media semai; b) media sapih  3.3.2  Perlakuan pendahuluan
Gambar  5  Penyemaian  benih:  a)  benih  A.  crassicarpa  yang  telah  disemai  ke  dalam bak tabur;  b) penempatan bak tabur di rumah kaca
+7

Referensi

Dokumen terkait

1 Viabilitas benih yang terbaik sampai 4 bulan penyimpanan pada kadar air awal benih 9% yang memiliki daya berkecambah yang paling tinggi sebesar 62.78%, kecepatan perkecambahan

sedalgkan benih non viabel dilul~julckan oleh adrll~ya bagian radikel dan plulnula yang benvanla putilhercak putih atau pada ndikel benvan~a 111srah niuda lebih dari

Skarifikasi mekanik dengan pelukaan gunting kuku menunjukkan viabilitas benih saga manis tertinggi; daya berkecambah sebesar 100%, kecepatan perkecambahan sebesar 23,22 %/hari,

Benih yang dipanen pada 30-40% kuning mempunyai persentase perkecambahan, laju perkecambahan, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan yang berbeda nyata lebih

Hasil uji Duncan terhadap empat parameter perkecambahan, yaitu daya berkecambah, laju perkecambahan, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan menunjukkan bahwa

Berbeda dari parameter ke- serempakan tumbuh, pada parameter mutu fisiologis benih lainnya yaitu daya berkecambah, laju perkecambahan, ke- cepatan tumbuh dan indeks

menunjukkan pengaruh yang lebih baik pada peubah viabilitas (daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal) dan peubah vigor benih (kecepatan tumbuh dan

Hasil penelitian menunjukkan perendaman berbagai ZPT berpengaruh terhadap perkecambahan benih kapas untuk parameter keserempakan tumbuh, daya berkecambah, kecepatan