• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa penjajahan Belanda hingga menjelang akhir tahun 1989,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada masa penjajahan Belanda hingga menjelang akhir tahun 1989,"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masa penjajahan Belanda hingga menjelang akhir tahun 1989,

Pengadilan Agama di Indonesia eksis tanpa Undang-Undang tersendiri dan

terkesan hanya sebagai lembaga hukum pelengkap yang bertugas menceraikan

dan merujukkan saja. Setiap kasus waris yang timbul di masyarakat, hanya

diberikan "Fatwa Waris"

1

bukan penetapan apalagi putusan dari Pengadilan

Agama yang berwenang.

2

Oleh karena itu pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan dan

diundangkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3

Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang tersebut merupakan

rangkaian dari Undang-Undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan

peradilan di negara RI. Selain itu, Undang-Undang tersebut melengkapi

Undang-Undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985

3

jo. Undang-Undang

No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara No. 5

Tahun 1986 1986

4

jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004.

5

1

Fatwa waris ialah surat keterangan yang menyatakan bagian-bagian dari ahli waris berdasarkan hukum Islam. Norik Indrajit. Surat Keterangan Waris (online), (http://pewarisan.com. index.php?option=com_content&tas-view&did=40&itemd=1, diakses 6 mei 2009).

2

Muhammad Muslih. Hukum Acara Peradilan Agama (online), (http://pkpabhi.files.wordpress .com/2008/08/hkm-acara-peradilan-agama-m-muslihpdf, diakses 1 Mei 2009).

3

Isi UU No. 2 tahun 1986: tentang Susunan Pengadilan, Struktur, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Umum (online), (http://www.google.co.id /search?g=isi+UU+No.2+tahun+1986 8btng-telusuri 8 hl=id 8 sa=2, diakses 1 Mei 2009).

4

Isi UU No. 2 tahun 1986: tentang Susunan Pengadilan, Struktur, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Umum (online), (http://www.google.co.id /search?g=isi+UU+No.2+tahun+1986 8btng-telusuri 8 hl=id 8 sa=2, diakses 1 Mei 2009).

5

Isi UU No. 5 tahun 1986 tentang Tugas Pokok, Kedudukan, dan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, lihat UU No. 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

(2)

Memang agak terlambat lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989

tersebut dibandingkan dengan landasan lain bagi Peradilan Umum, Peradilan

Tata Usaha Negara, dan lainnya. Namun demikian dengan lahirnya

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kedudukan dan

kekuasaan Peradilan Agama setara dengan lembaga peradilan lainnya.

Yang patut disayangkan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tersebut

mengandung beberapa kelemahan. Di antaranya terdapat hak opsi dalam

penyelesaian perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam di

Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama tidak

berwenang menangani sengketa hak milik dan sebagainya. Dengan adanya

desakan dari praktisi hukum maupun masyarakat yang beragama Islam, maka

lahirlah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang merevisi dan melengkapi

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama di Indonesia.

6

Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara

perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang

dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989.

7

Dengan

demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara

Indonesia yang beragama Islam.

Setelah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 diperbaharui dengan

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 pada tanggal 20 Maret 2006, maka

6

Muslih, Hukum Acara …, 3.

7

lsi pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 adalah "Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini". Lihat Undang-Undang No. 7 Tahun 1989.

(3)

rumusan tersebut juga ikut berubah. Hal ini karena berkaitan dengan ruang

lingkup kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama bertambah, dengan

adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam Pasa1 2

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 adalah:

"Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu

8

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,

maka kewenangan Peradilan Agama bertambah yang semula hanya

berwenang mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang

dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah, kemudian

ditambah dengan kewenangan memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan

perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang

perkara sengketa ekonomi syariah.

9

Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi salah

satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya

yang berkaitan dengan mu'āmalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari'ah

tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari'ah, asuransi syari'ah,

8

Dalam definisi Pengadilan Agama tersebut kata "perdata" dihapus, hal ini dimaksudkan untuk: A. memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas Undang-Undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. B. untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syari'ah dalam melaksanakan kewenangan di bidang jinayah berdasarkan Qonun. Lihat, Muslih, Hukum Acara Peradilan Agama.

9

Dalam pasal 49 ayat 1 UU No. 3 Tahun 2006 tersebut dalam penjelasannya disebutkan, yang dimaksud dengan ekonomi syari'ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip syari'ah yang meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah, reksadana syari'ah, obligasi syari'ah, dan surat berharga jangka menengah syari'ah, sekuritas syari'ah, pembeayaan syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga keuangan syari'ah dan bisnis syari'ah. Lihat Dadan Muttaqien, Human Assesment Peradilan Agama Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (online), (http://journal.uli.ac. id/idex.php/JHI/article/view file/202/191, hal. 25, diakses 3 Mei 2009).

(4)

pasar modal syari'ah, dan pegadaian syari'ah. Perkembangan ini tentunya

juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam

pelaksanaannya, selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi

syari'ah harus melalui Peradilan Umum.

10

Menyadari hal ini, maka dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 atas

perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 maka ruang lingkup peradilan

agama diperluas yang semula hanya tiga bidang saja yang terdiri dari:

a. Perkawinan

b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam

c. Wakaf dan shadaqah

Dan apabila kita lihat pada Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ternyata

kewenangan Pengadilan Agama diperluas menjadi sembilan bidang yang

terdiri dari: Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Shadaqah,

Infaq dan Ekonomi syari’ah.

11

Dari observasi awal yang penulis lakukan di Pengadilan Agama maupun

Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun ternyata adanya pencabutan hak opsi

dan kewenangan-kewenangan baru di Pengadilan Agama dalam

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 menimbulkan banyak persepsi yang berbeda di

kalangan hakim Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Hakim

Pengadilan Agama berpendapat hak opsi tidak seharusny a diberikan karena

membuka kesempatan bagi umat Islam untuk menomorduakan hukum

10

Ibid.

11

Kelik Pramudya, Perubahan Kewenangan Pengadilan Agama Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 (online) (http://click-gtg.blogspot. Com/2008/06/perubahan-kewenangan-pengadilan-agama.htmm diakses 1 Mei 2009), 1.

(5)

Islam dan ketika hak opsi dihapus memang perkara waris orang Islam

diselesaikan di Pengadilan Agama, selain itu dihapusnya hak opsi juga berarti

memperkokoh eksistensi Pengadilan Agama.

12

Kemudian hakim Pengadilan

Negeri berpendapat, pemberian hak opsi waris lebih menjamin rasa keadilan

bagi para pihak yang berperkara dan dengan adanya

kewenangan-kewenangan baru di Pengadilan Agama akan mengurangi volume perkara

yang masuk di Pengadilan Negeri.

13

Untuk kewenangan baru di bidang ekonomi syari’ah hakim

Pengadilan Negeri berpendapat bahwa penyelesaian perkara itu diselesaikan

oleh Pengadilan Negeri karena hukum yang digunakan ialah hukum BW

(KUH Perdata).

14

Sedangkan hakim Pengadilan Agama berpendapat memang

seharusnya perkara ekonomi syari’ah itu diselesaikan oleh Pengadilan

Agama, karena itu merupakan perkara dalam ruang lingkup hukum Islam,

tapi sayangnya sampai saat ini belum ada hukum tersendiri yang mengatur

perkara tersebut.

15

Dari fenomena di atas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana

pengaruh pencabutan hak opsi setelah adanya Undang-Undang No. 3 Tahun

2006 terhadap penerimaan perkara dan bagaimana respon hakim Pengadilan

Agama maupun Pengadilan Negeri terhadap adanya pencabutan hak opsi dan

kewenangan baru di Pengadilan Agama.

12

Lihat transkrip wawancara nomor: 01/1-W/F-1/19-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.

13

Lihat transkrip wawancara nomor: 02/2-W/F-1/7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.

14

Ibid

15

(6)

B. PENEGASAN ISTILAH

1. Hak Opsi: "Hak" disini adalah kekuasaan yang oleh hukum diberikan

kepada seseorang (badan hukum) karena perhubungan hukumnya dengan

seseorang (badan hukum) lain.

16

Hak opsi disini yaitu hak untuk memilih sistem hukum waris yang

dikehendaki para pihak berperkara sebagai acuan hukum yang akan

diterapkan dalam penyelesaian suatu perkara. Kalau yang dipilih hukum

Islam Peradilan Agama yang berwenang tapi kalau hukum adat atau

hukum Eropa, yang dipilih maka menjadi kewenangan Peradilan Negeri

atau Peradilan Umum.

17

2. Kewenangan Baru: Kewenangan baru disini ialah kewenangan absolut

Peradilan Agama.

3. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006: Undang-Undang ini merupakan

Undang-Undang tentang Peradilan Agama yang merupakan revisi dari

Undang-Undang No. 7 tahun 1989.

16

Hak dapat di bagi menjadi dua yaitu hak mutlak (absolut) dan hak relatif (nisbi) hak mutlak (absolut) adalah setiap kekuasaan mutlak yang oleh kukum diberikan kepada subjek hukum untuk berbuat sesuatu atau untuk bertindak buat kepentingannya. Hak mutlak ini di bagi menjadi 3 golongan yaitu hak asasi manusia, hak publik, absolut, dan sebagian dari privat yang terdiri dari hak pribadi manusia, hak keluarga dan hak-hak mengenai harta kekayaan. Sedangkan hak relatif (nisbi) adalah setiap kekuasaan yang oleh hukum di berikan kepada subyek hukum untuk memberi sesuatu. Hak relatif ini dibagi juga menjadi 3 golongan yaitu hak publik, relatif hak keluarga relatif, dan hak kekayaan relatif . Lihat, asisten Ahli pada jurusan syariah STAIN Ponorogo, Ilmu Hukum (Ponorogo; Lembaga penerbitan dan pengembangan ilmiah STAIN Ponorogo, 2005), 46-47.

17

M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), 160-161.

(7)

4. Peradilan Agama: Peradilan

18

Agama ialah salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai

perkara tertentu.

19

5. Peradilan umum: Ialah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan pada umumnya.

20

C. Fokus Penelitian

Berangkat dari uraian di atas, penelitian ini difokuskan pada:

1. Penerimaan perkara sebelum dan pasca Undang-Undang No. 3 Tahun

2006 di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun.

2. Respon hakim terhadap adanya pencabutan hak opsi dan perubahan serta

penambahan kewenangan baik di Pengadilan Agama maupun di

Pengadilan Negeri.

18

Kata Peradilan “berasal dari kata” adil dengan awalan “per” dengan imbuhan “an” yang berarti sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah urusan tentang adil, kata peradilan sebagai terjemahan dari “qadha” yang berarti memutuskan, melaksanakan, menyelesaikan, tentang adil. Lihat Depdikbud, kamus Besar Bahasa Indonesia cet. III (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 7. Lihat juga dalam Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir (kamus Arab Indonesia) Cet. III (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1130.

19

Lihat pasal 2 Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006.

20

Lihat UU No. 8 Tahun 2004 tentang peradilan umum, merupakan perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum.

(8)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka masalah penetitian dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana jumlah penerimaan perkara sebelum dan pasca

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang diberlakukan baik di Pengadilan Agama

maupun di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun?

2. Bagaimana respon hakim terhadap adanya pencabutan hak opsi dan

perubahan kewenangan baik di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan

Negeri Kabupaten Madiun?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menjelaskan

jumlah penerimaan perkara baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan

Negeri serta adanya pencabutan hak opsi yang sebelumnya diatur oleh

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan direvisi oleh Undang-Undang No. 3

Tahun 2006, yang didalamnya ada penambahan kewenangan baru, dalam hal

ini mampukah Pengadilan Agama menjalankan eksistensinya sebagai lembaga

hukum, secara spesifik deskripsi ini mencakup:

1. Penerimaan perkara sebelum dan pasca adanya Undang-Undang No. 3

Tahun 2006 di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.

2. Respon hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri terhadap adanya

pencabutan hak opsi dan kewenangan baru dalam Undang-Undang No. 3

Tahun 2006.

(9)

F. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, dari penelitian ini ditemukan pola penerimaan perkara

pasca Undang-Undang No 3 Tahun 2006 baik di Pengadilan Agama maupun

Pengadilan Negeri, serta adanya kewenangan baru di lingkungan Pengadilan

Agama, sehingga eksistensi dan perkembangan pengadilan 'tidak hanya

sebagai institusi hukum, melainkan juga sebagai institusi sosial yang mana

bukanlah sebuah institusi yang berdiri sendiri dan bekerja secara otonom.

Tetapi senantiasa berada dalam proses pertukaran (interaksi) dengan

lingkungannya.

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa syari'ah untuk

menambah wawasan mengenai kewenangan baru di Pengadilan Agama pasca

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang di dalamnya terdapat pencabutan

hak opsi bagi perkara waris dan kewenangan-kewenangan baru di dalamnya,

dan juga bagi dosen syariah atau tenaga pendidik dengan melihat kewenangan

baru di Pengadilan Agama pasca Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dalam

menentukan pola baru dalam pembelajaran, khususnya di Jurusan

Ahwalus-syahshiyah dalam menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang terdidik dan

mempunyai skill yang cukup untuk terjun di lapangan.

G. Telaah Pustaka

Sejauh pengetahuan penulis, telah banyak buku-buku, artikel-artikel,

dan tulisan-tulisan yang membahas tentang pencabutan hak opsi pada perkara

waris dan kewenangan baru di ruang lingkup Peradilan Agama, diantaranya

(10)

M. Yahya Harahap dalam bukunya “Kedudukan Kewenangan dan Acara

Peradilan Agama” dijelaskan bahwa terkait dengan pembagian warisan, ada

istilah yang disebut dengan istilah hak opsi. Adapun yang dimaksud dengan

hak opsi dalam perkara warisan ialah hak memilih hukum warisan apa yang

dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Hak opsi dalam

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dijumpai dalam bagian penjelasan umum

angka 2 alenia 6 yang berbunyi:

“Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara dapat

mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam

pembagian warisan”.

21

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 hak opsi

bagi perkara waris dinyatakan dihapus.

22

Kelik Pramudya dalam artikelnya yang berjudul “Perubahan

Kewenangan Pengadilan Agama menurut Undang-Undang No. 3 tahun 2006,

menjelaskan bahwa hapusnya hak opsi memberi efek positif bagi kepastian

hukum antara pihak yang bersengketa, dimana memberi kejelasan tentang

kewenangan badan peradilan mana yang akan memeriksa dan memutus

perkara tentang sengketa hak milik atau hak keperdataan lainnya.

23

Di dalam artikelnya yang berjudul “Persepsi hakim Pengadilan Agama

dan Pengadilan Negeri pasca amandemen Undang-Undang No. 7 tahun 1989”,

Dewi Siti Muzaidah menjelaskan bahwa adanya pencabutan hak opsi tersebut

menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan hakim baik di Pengadilan

Agama dan Pengadilan Negeri, hakim Pengadilan Agama berpendapat hak

opsi tak seharusnya diberikan karena membuka kesempatan bagi umat Islam

21

Harahap, Kedudukan …., 160.

22

Lihat Penjelasan umum UU No. 3 tahun 2006.

23

(11)

untuk menomorduakan hukum waris Islam, ketika hak opsi dihapus, memang

seharusnya perkara waris orang Islam diselesaikan di Pengadilan Agama,

selain itu dihapusnya hak opsi juga berarti memperkokoh eksistensi

Pengadilan Agama. Kemudian Hakim Pengadilan Negeri berpendapat,

pemberian hak opsi waris lebih menjamin rasa keadilan, ketika hak opsi

dihapus akan mempermudah kinerja hakim dan mengurangi volume perkara

yang masuk di Pengadilan Negeri.

24

Abdul Ghofur Anshori dalam bukunya “Peradilan Agama Pasca UU

No. 3 Tahun 2006: sejarah, kedudukan, dan kewenangan, di dalam buku ini

dibahas secara komprehensif mengenai Peradilan Agama di Indonesia yang

dimulai dengan sejarah Peradilan Agama pasca kolonial hingga Peradilan

Agama pasca Undang-Undang No. 3 tahun 2006 yang poin intinya adalah

berupa kewenangan Peradilan Agama dalam menerima, memeriksa, dan

memutus sengketa di bidang ekonomi, syariah, dan pembahasan mengenai

Peradilan Syariah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

25

Dalam artikelnya yang berjudul ”Paradigma Baru Peradilan Agama”,

Ahsan Dawi Mansur menjelaskan bahwa kewenangan peradilan agama yang

semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia

(SDM) aparatur pengadilan, sarana dan prasarana yang memadai, serta

ketentuan hukum yang aplikatif. Dengan demikian paradigma baru peradilan

24

Dewi Siti Muzaidah, Persepsi Hakim PA dan PN pasca Amandemen UU No. 7 Tahun 1989, (online), (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&jd=jtptiair-gdl-51-2007-dewisitimu, diakses 10 Juni 2009).

25

Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama Pasca UU No. 3 Tahun 2006: Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan (Yogyakarta: UII Press, 2007).

(12)

agama benar-benar dapat menjawab tuntutan dan problem hukum yang

berkembang di masyarakat.

26

Dari buku-buku, artikel-artikel, dan penelitian-penelitian di atas belum

ada yang membahas secara spesifik penerimaan perkara pasca

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti

lebih jauh dampak adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 terhadap

penerimaan perkara baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri

Kabupaten Madiun.

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metodologi penelitian yang

menggunakan

pendekatan

kualitatif,

27

yaitu

prosedur

penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan perilaku yang dapat dialami.

28

Ciri khas penelitian

kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta,

sebab peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya.

29

Untuk itu, dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen kunci,

26

Ahsan Dawi Mansur, Paradigma Baru Peradilan Agama (online), (http://www.pawonosari.net/asset/paradigma-baru-pa.pdf., diakses 20 Mei 2009).

27

Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan gejala holistik-kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrument kunci. Basuki, “Pengantar Metodologi Penelitian”, 2. Naskan tidak diterbitkan, Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005).

28

Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 3.

29

Pengamatan berperan serta adalah sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek, dan selama tu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan catatan tersebut berlaku tanpa gangguan. Ibid., 17.

(13)

partisipan penuh sekaligus pengumpul data, sedangkan instrumen yang

lain sebagai penunjang.

2. Lokasi Penelitian

Penulis mengadakan penelitian ini di Pengadilan Agama Kabupaten

Madiun yang beralamat di Jalan Raya Tiron km 6 Nglames, Madiun dan

Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun yang beralamat di jalan Soekarno

Hatta No. 15 Demangan Madiun.

3. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah

subyek dari mana data tersebut dapat diperoleh.

30

Sedangkan dalam

penelitian ini penulis sengaja menggunakan sumber data primer yakni

semua yang diperoleh dari penelitian lapangan dan beberapa teks yang

berkaitan dengan pencabutan hak opsi pada perkara waris dalam

Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dan kewenangan baru di Pengadilan Agama.

Sedangkan sumber data sekunder penulis ambil dari buku-buku atau

tulisan-tulisan lainnya yang secara langsung maupun tidak berhubungan

dengan obyek penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis

menggunakan metode sebagai berikut:

a. Metode interview, yaitu wawancara yang dilakukan kepada subyek

penelitian berdasarkan pada tujuan penelitian.

30

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 107.

(14)

b. Metode dokumentasi, yaitu mencari data dengan cara mengumpulkan

dan mengamati data-data yang berupa laporan tahunan tentang

masuknya perkara baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan

Negeri dan catatan-catatan yang valid yang berhubungan dengan

obyek penelitian.

5. Teknik Pengolahan Data

Dalam pembahasan permasalahan skripsi ini penulis menggunakan

metode pengolahan data sebagai berikut:

a. Editing

: pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh

terutama dari segi perlengkapannya, keselarasan

satu dengan yang lainnya.

b. Organizing

: penyusunan data secara sistematika dalam bentuk

paparan sebagaimana yang telah direncanakan

sesuai dengan rumusan masalah.

c. Penemuan hasil : penganalisaan

lanjutan

terhadap

hasil

pengorganisasian

data

sehingga

diperoleh

kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan

masalah.

6. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis data kualitatif mengikuti konsep yang diberikan Miles &

Huberman. Miles & Huberman mengemukakan bahwa aktifitas dalam

analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara

(15)

terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas dan

datanya sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data terdiri dari:

a. Collection

: Pengumpulan data.

b. Reduksi

: membuang

data

yang

tidak

penting

dan

memgambil data yang penting.

c. Display

: memasukkan hasil reduksi ke dalam pola-pola.

d. Conclusion

: penarikan kesimpulan yang mana dalam penelitian

ini kesimpulan awal masih bersifat sementara dan

akan berubah bila ditemukan data-data baru dan

bukti-bukti kuat di lapangan.

Kemudian model interaktif dalam analisis data ditunjukkan pada gambar

berikut:

31

7. Tahap-tahap dan Jadwal Penelitian

Dalam penelitian ini ada 3 (tiga) tahapan penelitian, dan ditambah

dengan tahap terakhir dari penelitian yaitu tahap penulisan laporan hasil

penelitian. Tahap-tahap penelitian tersebut adalah sebagai berikut dibawah

ini:

31

Mattew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Terj. Tjetjep Kohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), 20.

Data collection Data display Data reduction Conclussions: Drawing/verifying

(16)

a. Tahap Pra Lapangan, yang meliputi: menyusun rancangan penelitian,

memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajagi dan

menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan,

menyiapkan perlengkapan penelitian dan yang menyangkut persoalan

etika penelitian.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan, yang meliputi: memahami latar penelitian

dan persiapan diri, memasuki lapangan dan berperan serta sambil

mengumpulkan data.

c. Tahap Analisis Data, yang meliputi: analisis data selama pengumpulan

data dan setelah pengumpulan data.

d. Tahap Penulisan Hasil Laporan Penelitian

I. Sistematika Pembahasan

Agar penulis memperoleh bentuk tulisan yang ilmiah sistematis dan

kronologis, maka penulis memaparkan beberapa bab yang secara sistematis

terurai sebagai berikut:

Bab I

: Di dalam skripsi ini diawali dengan bab pendahuluan secara

implisit merupakan pola awal untuk kesinambungan bagi

bab-bab selanjutnya. Karena dari bab ini dapat diketahui

kemana arah pembahasan dan pembatasan permasalahan

yang ada. Dengan demikian terlebih dahulu penyusun

memaparkan beberapa uraian yang meliputi: latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

(17)

penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, tahap-tahap

penelitian,

dan

jadwal

penelitian

serta

sistematika

pembahasan.

Bab II

: Berisi tentang dinamika hukum dalam sejarah Perjalanan

Peradilan

Agama.

Sesudah

itu

dipaparkan

tentang

munculnya sistem Peradilan Agama di masa awal Islam

masuk di Nusantara sampai pada kolonialisme pada sub bab

pertama. Dan pembahasan dibagi dalam beberapa periode

yang telah dipetakan: masa awal pelembagaan hukum Islam,

masa kolonialisme atau VOC, masa kolonialisme Belanda,

masa

kolonialisme

Jepang.

Pada

sub

bab

kedua

perkembangan

Peradilan

Agama

pada

masa

awal

kemerdekaan. Pada sub bab ketiga pasca Orde Lama sampai

diundangkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Pada

sub bab keempat menerangkan tentang hak opsi dalam

sengketa waris dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989

butir 2 alenia 6, kemudian yang terakhir sub bab kelima

menerangkan tentang adanya pencabutan hak opsi dalam

sengketa waris dan penambahan kewenangan baru di

Pengadilan Agama.

Bab III : Berisi tentang penerimaan perkara di Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Agama Kabupaten Madiun serta kewenangan

baru pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dan respon

(18)

hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten

Madiun akan adanya pencabutan hak opsi waris dan

kewenangan baru di Pengadilan Agama.

Bab IV : Berisi tentang analisa terhadap prosedur penerimaan perkara

di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri Kabupaten

Madiun sebelum dan pasca Undang-Undang No. 3 Tahun

2006 pada sub bab pertama, kemudian dalam sub bab kedua

dipaparkan analisa terhadap respon hakim Pengadilan

Agama maupun Pengadilan Negeri terkait pencabutan hak

opsi dan kewenangan baru dalam Undang-Undang tersebut.

Bab V

: Bagian akhir dari penyusunan skripsi ini berisi tentang

(19)

BAB II

DINAMIKA SEJARAH PERJALANAN PERADILAN AGAMA DAN PERADILAN NEGERI

A. Pengadilan Agama

1. Sejarah Peradilan Agama

a. Peradilan Agama Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda terdapat beberapa lingkungan Peradilan yang mempunyai susunan, wilayah, dan kekuasaan yang berbeda-beda sebagai berikut:32

1) Peradilan Pemerintah (Governements Rechtspraak), tersebar di seluruh wilayah Hindia Belanda yang terdiri dari Peradilan untuk golongan Eropa disebut Landrechter (peradilan tingkat pertama), Raad van Justitie (peradilan tingkat kasasi). Untuk golongan Indonesia dilakukan oleh Landraad dan Landgerecht (Pengadilan Kabupaten dan Pengadilan Negeri).

2) Peradilan Swapraja. Peradilan Swapraja terdapat di seluruh daerah Swapraja dan berlaku bagi warga Swapraja.

3) Peradilan Adat. Peradilan ini berlaku untuk daerah diluar Jawa dan Madura. 4) Peradilan Agama. Peradilan Agama ada yang diatur langsung oleh Pemerintah

Kolonial Belanda dan ada yang didirikan di daerah Swapraja oleh Kepala Swapraja atau Kepala Adat.

5) Peradilan Desa. Peradilan Desa memutuskan perkara-perkara yang menyangkut perselisihan masyarakat desa, hakim bersifat mendamaikan.

Pemerintah Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa Undang-Undang Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam. Pengakuan ini tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada pasal 78. Reglement op de belied der Regeerings van Nederlandsch Indie disingkat dengan Regeerings

32

Cik Hasan Basri, Peadilan Agama di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 2000), 116. 19

(20)

Reglement (RR) Staatsblad Tahun 1854 Nomor 129 dan Staatsblad Tahun 1855 Nomor 2. Peraturan ini secara tegas mengakui bahwa telah diberlakukan Undang-Undang Agama (Godsdientige Wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.33

Pasal 78 RR berbunyi: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut Undang-Undang Agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka”.

Pemerintah Belanda secara tegas telah membentuk Peradilan Agama berdasarkan Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Kekuasaan dan wewenang Peradilan Agama terbatas pada masalah-masalah muamalah yang bersifat pribadi. Masalah-masalah ibadah seperti puasa, salat, zakat tidak merupakan masalah yang dibawa ke Peradilan Agama. Hukum mu’āmalah terbatas pada masalah nikah, cerai, rujuk, dan lain-lain.34

Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu itu menurut penulis Belanda Van de Berg mengemukakan sebuah teori yang disebut Teori Receptio Complexu yang artinya bagi orang Islam berlaku hukum Islam walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan.

Teori Receptio in Complexu yang dikemukakan Van de Berg mendapat kritikan tajam oleh Snouck Horgronje karena Teori Receptio in Complexu bertentangan dengan kepentingan-kepentingan pemerintah Hindia Belanda dan akhirnya mengemukakan Teori Receptio yang menurut teori ini hukum yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat asli. Hukum Islam telah berpengaruh dalam

33

M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama (Jakarta: Ind.Hill.Co, 1991), 65.

34

Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia (Bandung: Alumni, 2003), 20.

(21)

Hukum Adat. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh Hukum Adat.35

Teori Receptio bertujuan untuk mengurangi peranan hukum Islam dengan mengedepankan Hukum Adat atau bahkan mengganti hukum Islam dengan Hukum Adat. Selain itu bertujuan untuk memperkuat Pemerintah Kolonial dan adanya kepentingan Pemerintah Kolonial dalam penyebaran agama Kristen di wilayah Hindia Belanda.

Karena pengaruh Teori Receptio pasal 78 RR Staatsblad Tahun 1885 Nomor 2 mengalami beberapa kali perubahan dengan Staatsblad Tahun 1904 Nomor 304 dan Staatsblad 1907 Nomor 204, kemudian diubah lagi menjadi Staatsblad Tahun 1919 Nomor 286 dan 621. Perubahan-perubahan itu semakin mengurangi peranan hukum Islam diberlakukan bagi penduduk Hindia Belanda.36

Pada Tahun 1925 Regeeerings Reglement (RR) yang merupakan Undang-Undang dasar bagi Hindia Belanda diubah menjadi Wet op de Staats Inrichting van Nederlands Indie (Indische Staatsregeling). Berdasarkan Staatsblad Tahun 1925 Nomor 416 pasal 78 RR (1919) tidak mengalami perubahan isi. Karena teksnya membingungkan maka dengan Staatsblad 1925 Nomor 447 pasal 131 IS keseluruhan teks diubah.

Hukum Islam sama sekali tidak mempunyai kedudukan yang mandiri setelah pasal 78 RR diubah dengan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 221 pasal 134 ayat (2) IS yang bunyinya:

“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh Hukum Adat mereka dan sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonansi”.37

Adanya perubahan bunyi pasal 134 ayat (2) IS maka terjadi pengurangan wewenang kekuasaan Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Jika dalam Staatsblad Tahun 1882 Nomor 182 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan

35

Ramulyo, Beberapa Masalah ..., 67.

36

Ibid.

37

(22)

Madura kekuasaan Pengadilan Agama lebih luas sedangkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 tentang Kewenangan Peradilan Agama Jawa dan Madura, dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 610 tentang Pembentukan Pengadilan Tingkat Banding (Hot Voor Islamietische Zaken) atau mahkamah Islam Tinggi kekuasaan Peradilan Agama semakin berkurang.38

Kekuasaan dan kewenangan Peradilan Agama Jawa dan Madura meliputi: 1) Perselisihan hukum antara suami istri yang beragama Islam.

2) Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, perceraian antara orang-orang Islam yang harus diputus oleh hakim agama.

3) Menyatakan perceraian.

4) Menyatakan bahwa syarat-syarat taklik talak sudah berlaku. 5) Perkara mahar atau mas kawin.

6) Perkara nafkah wajib suami kepada istri.

Di luar Jawa dan Madura Peradilan Agama dibentuk Pemerintah Kolonial Belanda berdasarkan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639 tentang Pengaturan dan Pembentukan Kerapatan Qadî Besar. Kewenangan dan kekuasaan mengadili Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura meliputi juga perkara warisan. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura lebih luas daripada kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura.39

b. Peradilan Agama Masa Pendudukan Jepang

Penaklukan Jepang atas wilayah Indonesia hanya memakan waktu kurang dari dua bulan. Jawa jatuh satu minggu pada 8 Maret 1942. Dalam arti sebenarnya, Pemerintah Belanda dengan semua bentuk kehebatan solidaritasnya, secara praktis, dan efisien, hancur dalam sekecap mata.40 Peristiwa ini menandai titik balik yang sangat kentara dalam sejarah Indonesia. Penaklukan Jepang atas kepulauan

38

Hamami, Kedudukan dan Eksistensi …, 21.

39

Ramulyo, Beberapa Masalah, 109-111.

40

Antony Reid, The Indonesian National Revolution 1945-1950 (Connecticut: Green, Wood Press, 1974), 10.

(23)

nusantara ini dan atas Asia Tenggara secara umum, merupakan pukulan telak bagi harga diri Barat.41

Dalam aspek perkembangan hukum, masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perubahan yang mendasar tentang posisi pengadilan agama. Karena berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No. 1 Tahun 1942 menyatakan, semua badan pemerintah beserta wewenangnya, semua undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan yang lama dianggap masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang.

Kemudian dekrit No. 14 Tahun 1942 tanggal 29 April menetapkan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja nama-namanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam bahasa Jepang, untuk nama kedudukan para pejabat dan nama kantor, sementara fungsi dan wewenangnya sama dengan masa kolonial Belanda.42 Penggantian nama terjadi, misalnya Pengadilan Distrik diganti dengan Gun Hooin, Pengadilan Kabupaten diganti dengan Ken Hooin, Rad van justitie (pengadilan negeri) diganti dengan Tihoo Hooin, sementara Pengadilan Agama diganti dengan nama Sooryo Hooin.

Pada saat yang sama pengadilan Residensi dan Raad van Justitie bagi golongan Eropa, keduanya sebagai pengadilan tingkat pertama dihapus, sehingga seluruh perkara banding yang telah diajukan kepadanya sebelum dekrit Nomor 14 Tahun 1942 ini dianggap tidak pernah diajukan. Disamping itu, sejak waktu ini didirikan Pengadilan Militer yang harus mengadili orang-orang dalam golongan tertentu.

41

Ratna Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998), 50.

42

(24)

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1942 tanggal 26 September 1942 mencabut dekrit Nomor 14 Tahun 1942, dan menetapkan tetap berlakunya semua pengadilan yang sudah ada dengan tambahan berdirinya kembali Kootoo Hooin dan Saikoo Hooin dengan tugas wewenangnya pada waktu sebelumnya, yaitu masa pemerintah Belanda. Yang dimaksud dengan Kootoo Hooin adalah pengadilan biasa untuk perkara perdata dan pidana bagi golongan Eropa termasuk Tiong Hoa. Sedang yang dimaksud dengan Saikoo Hooin adalah Pengadilan Tertinggi yang mengadili perkara pidana bagi pejabat tinggi yang juga merupakan pengadilan banding baik untuk perkara perdata maupun pidana.

Pada masa pendudukan Jepang, meski belum sempat diterapkan, kedudukan peradilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah balatentara Jepang (Guiseikanbu) mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka maksud Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, yaitu bagaimana sikap Dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia merdeka kelak. Pada 14 April 1945 Dewan memberi jawaban sebagai berikut:

“Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai pengadilan istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli agama.43

Masa pendudukan Jepang ini ahli-ahli hukum Indonesia memikirkan untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari Soepomo, penasihat Departemen Kehadikan ketika itu dan ahli hukum adat. Ia setuju agar hukum Islam tidak berlaku dan ingin menegakkan hukum adat. Dalam hal ini ia setuju dengan pendapat kalangan ahli hukum Belanda. Tetapi usul Soepomo dalam suatu laporan tentang pengadilan agama itu diabaikan oleh Jepang saja, karena khawatir akan

43

Zuffran Sabrie, Peradilan Agama di Indonesia,: Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya (Jakarta: DEPAG RI, 1999), 19.

(25)

menimbulkan protes dari umat Islam.44 Kebijakan Pemerintah Bala Tentara Jepang untuk tidak mengganggu gugat persoalan agama, sebab tindakan itu dapat merusak ketenteraman konsentrasi Jepang. Oleh sebab itu Jepang memilih untuk tidak ikut campur soal urusan agama umat.

c. Peradilan Agama Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan pemerintah nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946.

Sebelum merdeka, pegawai Pengadilan Agama dan hakim tidak mendapat gaji tetap dan honorarium dari pemerintah, maka setelah merdeka anggaran belanja pengadilan agama disediakan oleh pemerintah. Meski Ketua Pengadilan Agama mendapat gaji pada masa kolonial Belanda, tetapi ketika itu gaji itu diberikan bukan atas nama sebagai pegawai pengadilan agama, tetapi menerima gaji sebagai Islamitisch Adviseur pada Landraad.

Peraturan sementara yang mengatur peradilan agama tercantum dalam Verodening 8 Nopember 1946 dari Chief Commanding Officer Alied Militery Administration Civil Affairs Branch. Melalui Verodening ditetapkan adanya pengadilan penghulu (Penghoeloe gerecht) yang terdiri seorang ahli hukum Islam sebagai ketua yang dibantu oleh dua orang anggota dan seorang panitera, sedangkan wewenangnya sama dengan Priesterraad sebelumnya.

Sejalan dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, dasar dan wewenang kekuasaan peradilan agama masih tetap berlaku sebagaimana sebelum Proklamasi, baik di Jawa dan Madura, di Kalimantan Selatan maupun di daerah-daerah lain.

Selama revolusi fisik pada umumnya tidak ada perubahan tentang dasar peraturan peradilan agama secara prinsipal, selain usaha-usaha pelestarian peradilan agama itu sendiri. Selama revolusi fisik yang patut dicermati adalah:

44

(26)

Pertama, keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk menggantikan ordonansi NTR dahulu. Karena berdasarkan pertimbangan bahwa peraturan nikah, talak dan rujuk seperti yang diatur di dalam Huwelijksordonantie S. 1929 No. 348 jo. s. 1931 No. 467, vorszenlandsche huelijksordonantie Buitengewesten 8. 1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan sedangkan pembuatan peraturan baru mengenai hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu singkat, maka sambil menunggu peraturan baru untuk memenuhi keperluan yang sangat mendesak, pada tanggal 21 Nopember 1946 disahkan dan diundangkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Undang-Undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Dengan keluarnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, maka segera diambil tindakan dengan jalan memisahkan urusan Pendaftaran Nikah, Talak dan Rujuk dari Pengadilan Agama. Penghulu Kepala yang tadinya merangkap Ketua Pengadilan Agama tidak lagi mencampuri urusan pengadilan dan oleh sebab itu terbentuklah penghulu kabupaten yang diserahi urusan kepenghuluan disamping Penghulu Hakim yang dikhususkan menangani pengadilan agama saja dengan mendapat gaji dan tingkat serta kedudukan sebagai penghulu kepala. Seluruh biaya tata usaha pengadilan menjadi tanggungjawab negara, sedangkan pegawai-pegawainya panitera dibayar dengan gaji tetap dan ongkos perkara harus disetorkan ke Kas Negara.45

Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1947 tentang penetapan formasi pengadilan agama terpisah dari penghulu Kabupaten, dengan kata lain pemisahan tugas antara Penghulu Kabupaten sebagai Kepala Pegawai Pencatat Nikah dan urusan kepenghuluan lainnya dengan penghulu hakim sebagai ketua pengadilan agama, juga sebagai Qadî hakim shyar’î.

45

(27)

Ketiga, keluarnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 yang tidak pernah dinyatakan berlaku, isinya antara lain dihapuskannya susunan pengadilan agama yang telah ada selama ini, tetapi materi hukum yang menjadi wewenangnya ditampung dan dimasukkan di pengadilan negeri yang secara istimewa diputus oleh dua orang hakim ahli agama disamping hakim yang beragama Islam sebagai ketua. Kewenangan Pengadilan Agama dimasukkan dalam Pengadilan Umum secara istimewa yang diatur dalam pasal 35 ayat (2), pasal 75 dan pasal 33. Undang-Undang ini merupakan aturan yang penting tentang peradilan dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Yogyakarta. Undang-Undang ini bermaksud mengatur mengenai peradilan dan sekaligus mencabut serta menyempurnakan isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksanaan yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947. Sehubungan dengan lingkungan Peradilan, Undang-Undang ini menetapkan tiga lingkungan Peradilan yaitu; (1) Peradilan Umum, (2) Peradilan Tata Usaha Negara dan (3) Peradilan Ketentaraan.

Dari ketentuan di atas ternyata tidak ada lingkungan tersendiri dari Peradilan Agama. Lalu bagaimana dengan Peradilan Agama yang pada waktu itu telah ada? Tidak ada ketentuan yang tegas menghapuskan Peradilan Agama. Dalam Pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum agamanya, harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang Hakim yang beragama Islam, sebagai Ketua dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.

Pasal 53 dan Pasal 75 menentukan bahwa dalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, ada satu bagian yang memeriksa dan memutus perkara-perkara yang sebelumnya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri dalam peradilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi dalam peradilan tingkat banding dan Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi.

(28)

Perbedaan antara bagian Islam dari Pengadilan ini dan bagian lain ialah bahwa bagian Islam, juga dalam peradilan tingkat (Pengadilan Negeri) memutus dengan 3 (tiga) Hakim dan dalam semua tingkatan peradilan dengan seorang Hakim Ahli Agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman. Undang-Undang ini ditetapkan oleh Wakil Presiden pada tanggal 8 Juli 1948. Menurut ketentuan Pasal 72, berlakunya Undang-Undang akan ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. Terhadap policy Undang-Undang ini timbul reaksi dari berbagai pihak. Dari ulama Sumatera seperti Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan menolak kehadiran Undang-Undang tersebut dan mengusulkan agar Mahkamah Syari’ah yang sudah ada tetap berjalan dan itu yang diatur oleh Menteri Agama dan Menteri Kehakiman. Dengan banyaknya reaksi tersebut, dan karena Undang-Undang tersebut tidak sesuai dengan kesadaran masyarakat, Undang-Undang tersebut tidak pernah dinyatakan berlaku.46

Keempat, keputusan Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj 229/72 tanggal 2 April 1948 dan peraturan yang tercantum dalam Javaassche Courant 1946 No. 32 dan 39 Tahun 1948 nomor 25, dan 1949 No. 29 dan 65 menentukan bahwa di daerah-daerah yang dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan Priesterraad diubah menjadi penghulu Gerecht. Mungkin berdasarkan peraturan Darurat Markas Besar Komando Jawa No. 46/MBKD/49 tentang pengadilan pemerintah militer, atas kebijaksanaan komandan sub teritorial comando dibentuk pengadilan agama darurat di beberapa tempat. Disamping itu juga dibentuk Majelis Ulama yang bertindak sebagai pengadilan Bandingan mengimbangi Mahkamah Islam Tinggi yang ketika itu sudah pindah di Surakarta. Itulah sebabnya di Jawa dan Madura terdapat 80 pengadilan agama dan satu cabang Bawean yang tergabung

46

(29)

dengan mahkamah Islam tinggi sebelum agresi militer I Tahun 1947, setelah perjanjian Renville jumlah pengadilan agama itu 41 buah pengadilan.47

Sedangkan yang terjadi di luar Jawa dan Madura pada saat itu dapat dilihat dari indikasi berikut. Pertama, dibeberapa daerah Sumatera sebagai hasil revolusi kemerdekaan, semenjak 1 Agustus 1946 terbentuk Mahkamah Syari’iyah di daerah Aceh, Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung, yang semua itu oleh pemerintah pusat darurat di Pematang Siantar diakui sah dengan surat kawatnya 13 Januari 1947. Kedua, di daerah-daerah lain seperti Kalimantan barat dan Kalimantan Timur yang masing-masing dengan Mahkamah Balai Agamanya dan Majelis Agama Islamnya, di Sulawesi, di Nusa Tenggara dan di Maluku semuanya dengan Hakim syara’nya baik yang berasal dari Godsdientige Rechters maupun dari Mohammedaansche Godsdientige Beambte, dasar pelestarian peradilan agamanya berdasarkan peraturan swapraja dan peraturan adat meskipun atas kuasa sempat termasuk Kerapatan Qadlî di Kalimantan Selatan.48

Dengan penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949 oleh Belanda kepada Indonesia kemudian terbentuk Negara Kesatuan RI pada 17 Agustus 1950. maka berdasarkan pasal 192 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, keduanya tentang peraturan peralihan, selanjutnya atas dasar ketentuan Peraturan Pemulihan, yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 1950, semua peraturan darurat itu dihapuskan yang pada akhirnya tetap berlaku Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura, dan Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.49

Peradilan agama di luar kedua daerah di atas, dengan keluarnya Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, persoalannya dapat diatasi. Undang-Undang-Undang-Undang ini menyebutkan tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan

47

Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif,: Sejarah Lembaga Islam di Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), 33-36.

48

Ibid., 38-39.

49

(30)

susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Diantara isi pokok-pokok Undang-Undang tersebut adalah; pertama, semua bentuk peradilan zaman pre-federal serta penuntut padanya dihapus dan diganti dengan Pengadilan Negeri dan Kejaksanaan Pengadilan Tinggi. Kedua, semua bentuk Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat secara berangsur-angsur dihapus dan kekuasaannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri. Ketiga, Peradilan Agama yang merupakan bagian tersendiri dari peradilan Swapraja dan peradilan adat tidak turut dihapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah.

Peradilan Agama sebagai pelaksanaan Undang-Undang Darurat adalah badan-badan Peradilan Agama yang ada dalam lingkungan Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat, jika Peradilan Agama itu menurut hukum yang hidup tersendiri dari kedua pengadilan tersebut tidak turut dihapus, melainkan oleh pemerintah daerah diserahkan pengurusannya kepada Departemen Agama, selanjutnya diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Untuk mengimbangi situasi politik pemerintahan, Tahun 1957 diajukan usul pembentukan Mahkamah Syari’ah di daerah Aceh yang ternyata mendapat restu pemerintah dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1957 tanggal 6 Juni 1957. Kemudian agar dapat diselesaikan peradilan agama di luar Jawa dan madura seluruhnya, pemerintah dalam sidang kabinetnya 26 Agustus 1957 menyetujui dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah yang berlaku di luar Jawa dan Madura selain daerah Kalimantan Selatan.50

Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1957, maka di Indonesia ada tiga macam peraturan tentang susunan dan kekuasaan peradilan agama, yaitu:

1) Stbl./ 1882 No. 152 jo. Stbl. 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura. 2) Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk daerah Kalimantan Selatan.

50

(31)

3) Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 99 untuk daerah-daerah selain Jawa dan Madura dan Kalimantan Selatan.51

Perkembangan selanjutnya setelah Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1957 dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang muncul kemudian, sebagai peraturan yang memberikan yurisdiksi yang lebih besar kepada pengadilan di luar Jawa dan Madura, yaitu;

1) Penetapan Menteri Agama No. 8 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah di Sumatera yaitu:

a) Di daerah Aceh, dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Kutaraja (Banda Aceh);

b) Di daerah Sumatera Utara, dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Medan;

c) Di daerah Sumatera Barat, Jambi dan Riau, dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Padang;

d) Di daerah Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung, dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Palembang.

2) Penetapan Menteri Agama No. 4 Tahun 1958 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah di daerah Kalimantan (minus daerah Kerapatan Qadlî). Dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Banjarmasin.

3) Penetapan Menteri No. 5 Tahun 1958, tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah di daerah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Ujungpandang (sekarang Makasar).52

51

Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 75-76.

52

M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), 31-32.

(32)

Pada Tahun 1970, pemerintah lebih mempertegas keberadaan Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan; ada empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh pengadilan tersebut disejajarkan posisinya secara hukum dan berinduk kepada Mahkamah Agung. Dengan adanya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 ini, maka kekuatan Peradilan Agama sama dengan pengadilan-pengadilan lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Pada Tahun 1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang memperkuat bagi kedudukan Pengadilan Agama, yaitu dengan diberikannya hak bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Dalam kenyataannya, Pengadilan Agama masih memerlukan pengakuan dan pengesahan dari Pengadilan Negeri, bahkan Pengadilan Negeri dapat meninjau keputusan Pengadilan Agama tersebut. Sekalipun pada Tahun 1974 dikeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang juga mengatur yurisdiksi Pengadilan Agama, seluruh keputusan Pengadilan Agama tetap harus mendapatkan atau meminta pengukuhan eksekusi (executoir verklaaring) dari Pengadilan Negeri. Hal ini dapat dinyatakan bahwa keputusan Pengadilan Agama berada di bawah Pengadilan Negeri.

Pada sisi lain, Tahun 1980 lahir pula keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang penyeragaman nama lembaga menjadi sebutan Pengadilan Agama. Dengan demikian, Kerapatan Qadlî di Kalimantan, Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura, disebut dengan nama Pengadilan agama. Kerapatan Qadlî Besar di Kalimantan Selatan dan Mahkamah Syari’ah propinsi di luar Jawa dan Madura sebagai pengadilan banding, disebut Pengadilan Tinggi Agama. Selain nama dan letaknya yang seragam, disetiap Kabupaten tempat adanya Pengadilan Tinggi Agama. Bersama-sama dengan keempat lingkungan peradilan,

(33)

Peradilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama berpuncak pada Mahkamah Agung, yang mengawasi penyelenggaraan peradilan di tanah air ini.53

Pada sisi untuk memperbaiki kekurangan pengadilan agama untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, 8 Desember 1988 Presiden Republik Indonesia menyampaikan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agama (RUUPA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibicarakan dan disetujui menjadi Undang-Undang menggantikan semua peraturan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan UUPK No. 14 Tahun 1970. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, 14 Desember 1989 Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agama (RUUPA) disetujui menjadi Undang-Undang, yang mengatur secara khusus Pengadilan Agama di Indonesia, kemudian dikenal dengan Undang No. 7 Tahun 1989. Dengan Undang-Undang ini semakin mantap kedudukan Pengadilan Agama sebagai satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam rangka menegakkan hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkawinan kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang telah menjadi hukum positif. Ini berarti Pengadilan Agama sebagai peradilan negara telah sama dan sederajat kedudukannya dengan semua Peradilan Umum, Militer, Tata Usaha Negara di Indonesia, dengan alat perlengkapan yang sama pula. Nama, susunan, kekuasaan dan hukum acaranya telah seragam untuk seluruh Indonesia.54

d. Peradilan Agama Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru terdapat perubahan dalam penataan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pada Tahun 1970 telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan pasal 10 ayat (1) Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia

53

Mohammad Daud Ali & Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 114.

54

(34)

disamping peradilan lainnya. Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sejajar dan sama dengan peradilan lainnya.

Kedudukan Peradilan Agama semakin kokoh dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama semakin bertambah luas.55

Selain Peradilan Agama mempunyai kewenangan yang semakin luas. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menempatkan Peradilan Agama berada di bawah bayang-bayang Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam pasal 63 ayat (2) yang berbunyi:

“Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum”.56 Peradilan Agama bukan lagi merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berdiri sendiri karena putusan Pengadilan Agama harus mendapat pengukuhan dari Peradilan Umum dan Peradilan Agama tidak dapat melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau eksekusi sendiri karena tidak ada perangkat juru sita, eksekusi menjadi kewenangan Peradilan Umum.57

Sampai dengan Tahun 1977 belum ada hukum acara yang mengatur Peradilan Agama secara tersendiri sebagaimana dikendaki Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 maka perkara-perkara Peradilan Agama yang sampai pada upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1977 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor MA/Pem/0921/1977.

Peraturan ini menghapus Mahkamah Islam Tinggi dan Kerapatan Qadi Besar maupun Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah Propinsi yang berfungsi

55

Bisri, Peradilan Agama…, 124.

56

Ramulyo, Beberapa Masalah …, 120.

57

(35)

sebagai Pengadilan Tingkat Banding dan sekaligus Pengadilan Tertinggi dalam lingkungan Peradilan Agama.58

Karena belum adanya keseragaman nama pada Peradilan Agama, pada Tahun 1980 Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980 yang dengan Keputusan ini Pengadilan Tingkat Pertama bernama Pengadilan Agama dan Pengadilan Tingkat Banding bernama Pengadilan Tinggi Agama.59

Pada Tahun 1989 baru dapat terwujud apa yang menjadi kehendak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 mengenai peraturan yang tersendiri yang mengatur tentang Peradilan Agama dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.60

Undang-Undang ini mengembalikan kedudukan Peradilan Agama kepada kedudukan semula sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dan sejajar dengan peradilan yang lain. Peradilan agama sudah tidak lagi tergantung pada Peradilan Umum, Peradilan Agama sudah dapat melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau eksekusi dan telah mempunyai juru sita.

Undang-Undang ini merupakan keseragaman hukum di bidang Peradilan Agama yang sebelumnya diatur dalam peraturan-peraturan yang beraneka ragam. Peradilan Agama telah mempunyai hukum acara tersendiri dalam pemeriksaan perkara di pengadilan selain berlaku pula hukum acara pada Peradilan Umum.61 2. Hak Opsi Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 angka 2 alenia 6

Yang dimaksud dengan hak “opsi” dalam perkara warisan ialah hak memilih hukum warisan apa yang dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Hak opsi dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dijumpai dalam bagian Penjelasan Umum angka 2 alinea keenam, yang berbunyi:

58

Hamami, Kedudukan dan Eksistensi, 28.

59

Ibid.

60

Bisri, Peradilan Agama …, 125.

61

(36)

“Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan”.62

Ketentuan hak opsi ini didahului oleh kalimat alinea kelima yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bidang hukum kewarisan yang menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama mengadili perkaranya bagi mereka yang beragama Islam meliputi aspek hukum penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam. Penjelasan inilah yang ditimpali alinea keenam dengan ketentuan hak opsi para ahli waris memilih hukum waris yang mereka sukai. Jadi sesudah Penjelasan Umum angka 2 alinea kelima memberi penegasan tentang berlakunya hukum waris Islam bagi mereka yang beragama Islam dan kewenangan mengadili perkaranya menurut Pasal 49 jatuh menjadi kompetensi absolut lingkungan Peradilan Agama maka penegasan ketentuan itu “dianulir” atau barangkali dimentahkan kembali oleh Penjelasan Umum angka 2 alinea keenam, dengan cara memberi hak “opsi” atau “hak pilih” bagi para pihak yang berperkara. Ini berarti pihak yang berperkara diberi keleluasaan oleh Undang-Undang, apakah dalam pelaksanaan pembagian harta peninggalan dilakukan berdasarkan hukum Islam. Penjelasan ini memberi hak untuk memilih hukum warisan mana yang akan mereka pilih dalam penyelesaian pembagian harta warisan. Hal ini berkaitan erat dengan sistem tata hukum yang berlaku di Indonesia. Kita mengenal tiga sistem tata hukum yang berlaku. Sistem tata hukum Eropa yang juga mengatur hukum warisan yang terdapat dalam Buku Kedua KUH Perdata bab XII, XIII, XIV. XV, XVI, XVII, dan Bab XVIII, mulai dari pasal 830 sampai pasal 1130. Kedua sistem tata hukum Adat yang juga berisi aturan tentang hukum warusan Adat. Tata hukum Islam Adat disamping bersifat tradisional dan standar, sudah banyak berubah baik oleh karena pengaruh pertumbuhan dan perkembangan nilai. Perkembangan dan perubahannya terutama melalui jalur putusan-putusan peradilan yang melahirkan yurisprudensi yang mengandung

62

(37)

penerobosan terhadap nilai hukum warisan tradisional ke arah yang lebih berdimensi perikemanusiaan dan kesederajatan hak mewaris antara anak laki-laki dengan anak perempuan dan antara janda dengan duda, sehingga lahir hukum Adat “Warisan Baru” yang dikembangkan sesudah perang dunia kedua. Ketiga ialah sistem tata hukum yang diperlukan kepada golongan rakyat yang beragama Islam. Menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sistem tata hukum warisan yang diperlakukan kepada golongan rakyat yang beragama Islam, termasuk hukum warisan Islam. Jika hak opsi yang ditentukan dalam Penjelasan Umum dihubungkan dengan sistem tata hukum dimaksud, berarti Undang-Undang memberi kebebasan bagi masyarakat pencari keadilan untuk menentukan pilihan hukum kepada salah satu sistem tata hukum dimaksud. Mereka boleh menjatuhkan pilihan kepada Hukum Waris Eropa, Warisan, Adat, atau Warisan Hukum Islam. Dengan demikian sepanjang mengenai bidang hukum warisan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 menganut asas “hak opsi”.63

Kita tidak tahu persis apa sebab hak opsi diperbolehkan dalam bidang hukum warisan saja. Kenapa hak ini tidak meliputi bidang perkawinan? Kalau dari sudut pendekatan rasio, pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara bidang hukum warisan dengan bidang hukum perkawinan. Kedua-duanya, sama-sama berada dalam bidang hukum perdata. Pada umumnya setiap bidang hukum perdata ditinjau dari segi doktrin adalah bersifat “mengatur” atau reglen, tidak bersifat “memaksa” atau dwingend. Karena itu bisa disingkirkan melalui “persetujuan” antara pihak yang bersengketa. Barangkali hak opsi hanya diperbolehkan sepanjang mengenai hukum warisan, terletak pada motivasi tersembunyi. Ada suara-suara yang melontarkan bahwa hukum warisan Islam mengandung cacat diskriminasi terutama dari aspek jumlah porsi antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Menurut fikih standar serta bertitik tolak dari ketentuan Surat An-Nisâ ayat 11, secara tafsil dan sarih telah ditentukan batas jumlah besarnya bagian anak lelaki dengan anak perempuan yakni 1:2. Pada umumnya jumhūr Ulama menetapkan rumusan ayat ini dikualifikasi bersifat qath’î. Perbandingan pembagian

63

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: (1) Gaya Kepemimpinan, dan Motivasi Kerja secara bersama-sama tidak berpengaruh dan tidak

 Disampaikan kepada seluruh jemaat bahwa Minggu, 10 September 2017 akan menggunakan Tata Ibadah dari Majelis Sinode GPIB dalam rangka HUT ke – 58 Pelkat PA.. Hutomo H.S

Apabila pihak regulator di suatu negara anggota telah dapat menentukan adanya bahaya dari produk pangan dan menunjukkan resiko terhadap kesehatan dan kehidupan

baru, selain itu JPSM juga berkontribusi mengurangi volume sampah 30%. Pendekatan komunikasi pembangunan dalam kegiatan literasi yang dilakukan adalah pertemuan secara

Fungsi terkait untuk menangani permasalahan tersebut biasanya pakai trigger mas, namun sepengetahuan saya, di MySQL kita tidak dapat memanipulasi row pada tabel yang

Permasalahan yang akan diteliti adalah tanggung jawab negara Arab Saudi atas pejabat diplomatiknya yang melakukan pelanggaran hukum di negara penerima (dalam kasus

Menimbang, bahwa berdasarkan pemeriksaan setempat, Majelis Hakim berpendapat gambar lokasi tanah dalam surat ukur ketiga Sertipikat Hak Milik milik Penggugat tidak

Dana pinjaman ini berasal dari zakat dan infaq beberapa pihak yang digulirkan oleh pengelola kepada masyarakat, atas dasar ini penulis menduga bahwa model