• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2 Tinjauan Pustaka

2.1 Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC)

Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC) merupakan salah satu jenis fuel cell, yaitu

sistem penghasil energi listrik, yang bekerja berdasarkan prinsip elektrokimia dengan mengubah energi kimia menjadi energi listrik. Salah satu kelebihan dari PEMFC ini adalah suhu operasinya yang cenderung rendah, yaitu di bawah 1000C.

Gambar 2.1 Alat PEMFC

Komponen yang terdapat pada PEMFC meliputi anoda, katoda, dan membran elektrolit. Sesuai dengan prinsip elektrokimia, pada anoda terjadi reaksi oksidasi dan pada katoda terjadi reaksi reduksi. Bahan bakar PEMFC adalah gas hidrogen (H2) dan pembawa muatannya adalah ion H+ (proton). Di anoda, H

2 diubah menjadi ion proton H+ dan elektron. Proton akan terpermeasi melalui membran elektrolit menuju katoda dan di saat yang sama elektron juga akan mengalir di sepanjang sirkuit listrik, sehingga menghasikan energi listrik. Gas oksigen (O2) dialirkan ke katoda yang kemudian akan bereaksi dengan elektron dan proton H+ menghasilkan air. Berikut ini reaksi yang terjadi pada PEMFC:

Aliran elektron Hidrogen Oksigen Ion hidrogen H2O Membran elektrolit Katoda Anoda

(2)

4 O 2H O 2H : n keseluruha Reaksi O 2H O 4e 4H : Katoda 2e 2H H : Anoda 2 2 2 2 2 2 → + → + + + → − + − +

Kinerja dari PEMFC ditentukan oleh kualitas membran elektrolitnya. Pada membran ini terjadi transfer proton dari anoda ke katoda. Oleh karena itu, membran elektrolit pada PEMFC harus memiliki sifat penghantar proton yang baik. Selain itu, membran elektrolit PEMFC juga harus memiliki stabilitas kimia yang baik, kekuatan mekanik yang cukup, kontrol kelembapan yang baik, dan yang terpenting juga biaya produksi yang sesuai dengan aplikasi [http://www.fctec.com/fctec_types_pem.asp].

Evolusi membran untuk aplikasi fuel cell dimulai pada awal tahun 1959 oleh General

Electric (GE) dengan melakukan penelitian terhadap membran fenolik yang dibuat dari polimerisasi fenol-asam sulfonat dengan formaldehid. Membran ini memiliki kekuatan mekanik yang rendah dan masa pakai yang tidak lama, yaitu hanya sekitar 300-1000 jam, dengan power density sebesar 0,05-0,1 kW/m2. Selama tahun 1962-1965, GE mencoba meningkatkan power density dengan mengembangkan membran sulfonated polystirene

sulfonic acid yang dibuat dengan melarutkan polistiren-asam sulfonat dalam campuran etanol-kloroform yang dilanjutkan dengan sulfonasi pada temperatur ruang. Membran ini menunjukkan penyerapan air yang lebih baik dan power density sebesar 0,4-0,6 kW/m2. Penelitian lain yang dilakukan untuk meningkatkan kekuatan mekanik dan masa pakai membran adalah dengan membuat membran cross-linked polystyrene-divinylbenzene

sulfonic acid dalam matriks inert. Ternyata masa pakai membran tersebut adalah 1.000-10.000 jam dengan power density sebesar 0,75-0,8 kW/m2. Masalah utama dalam semua jenis membran yang telah dijelaskan di atas adalah kemampuan konduktivitas protonnya. Pada tahun 1970, Du Pont mengembangkan membran perfluorosulfonic acid yang lebih dikenal sebagai Nafion, yang tidak hanya menunjukkan kemampuan konduktivitas proton yang baik, tetapi juga memiliki masa pakai yang cukup lama, yaitu sekitar 104-105 jam. Hal ini menjadikan Nafion sering dijadikan standar membran PEMFC yang baik [Smitha, 2005]. Struktur Nafion ditunjukkan pada gambar 2.2 berikut ini.

(3)

5

2.2 Polistiren

Polistiren merupakan salah satu jenis polimer aromatik yang dibuat dari monomer stiren. Gambar 2.3 menunjukkan struktur unit ulang polistiren. Polistiren merupakan polimer termoplastik yang berupa padatan pada suhu kamar dan dapat meleleh pada suhu tertentu. Polistiren ditemukan pertama kalinya oleh Eduard Simon pada tahun 1839. Beliau mengisolasi suatu senyawa dari resin alam. Setelah itu, Hermann Staudinger, seorang kimiawan, meneliti penemuan Eduard Simon dan menyatakan bahwa senyawa yang ditemukan oleh Simon merupakan senyawa yang terdiri dari rantai polimer stiren yang panjang. Polistiren merupakan polimer yang memiliki struktur rantai hidrokarbon panjang dengan tiap karbon terikat pada gugus fenil. Polistiren biasa digunakan dalam produksi barang-barang plastik atau diproduksi dalam bentuk foam seperti terlihat pada gambar 2.4 [http://en.wikipedia.org/wiki/Polystyrene].

Polistiren merupakan polimer linier yang memiliki struktur ataktik dalam produk komersialnya dan bersifat amorf. Temperatur transisi gelas dari polistiren sekitar 800C dan titik lelehnya sekitar 2300C. Polistiren dapat dinitrasi dengan asam nitrat dan dapat disulfonasi dengan asam sulfat. Polistiren relatif mudah difabrikasi karena sifatnya yang stabil dan mudah diproses dengan metoda injection-molding. Sebaliknya, polistiren mudah rusak oleh berbagai macam pelarut [Billmeyer, 1962].

Gambar 2.3Unit ulang polistiren Gambar 2.4 Polistiren dalam bentuk

foam

Polistiren dapat disintesis melalui reaksi polimerisasi adisi antara monomer stiren dengan inisiator benzoil peroksida. Seperti reaksi radikal pada umumnya, polimerisasi adisi juga melalui tahapan inisiasi, propagasi, dan terminasi. Gambar 2.5 dan 2.6 menunjukkan tahapan reaksi sintesis polistiren.

Gambar 2.5 Reaksi pembentukan dua senyawa radikal dari benzoil peroksida Benzoil peroksida

(4)

6

Gambar 2.6 Mekanisme reaksi adisi pada sintesis polistiren

2.3 Polistiren Tersulfonasi

Polistiren tersulfonasi merupakan bentuk modifikasi dari polistiren. Proses sulfonasi polistiren biasa dilakukan dengan mereaksikan polistiren dengan agen sulfonasi, yaitu asetil sulfat dengan menggunakan media pelarut diklorometana. Reaksi sulfonasi merupakan suatu reaksi substitusi yang bertujuan untuk mensubstitusi atom H dengan gugus SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbonnya. Polimer dan agen sulfonasi harus berada pada fase yang sama. Pelarut yang digunakan tidak boleh bereaksi dengan polimer maupun dengan agen sulfonasi [Jamal, 2007]. Gambar 2.7 menunjukkan reaksi pembentukan reagen sulfonasi dan reaksi sulfonasi polistiren.

Gambar 2.7 Reaksi sintesis polistiren tersulfonasi: (A) Reaksi sintesis asetil sulfat, (B) Reaksi sulfonasi polistiren

Polistiren tersulfonasi sering diaplikasikan untuk material ion exchange, membrane reverse

osmosis, ultrafiltrasi, dan komposit konduktif. Banyaknya gugus SO3H yang masuk dalam cincin aromatik polistiren dinyatakan dalam derajat substitusi atau lebih sering dikenal sebagai derajat sulfonasi. Penentuan derajat sulfonasi polistiren pada umumnya dilakukan dengan metoda titrasi asam-basa dengan NaOH dalam metanol sebagai titran dan fenolftalein

kalor

inisiasi

(5)

7 sebagai indikator titik akhir titrasi. Derajat sulfonasi polistiren dinyatakan dalam % massa unit ulang polistiren tersufonasi. Polistiren tersulfonasi memiliki sifat termal yang lebih rendah daripada polistiren. Polistiren mulai terdekomposisi pada suhu 3500C, sedangkan polistiren tersulfonasi sudah mulai terdekomposisi pada suhu 2000C. Namun, hal ini tidak mengganggu proses penggunaan polistiren tersulfonasi, selama dilakukan di bawah suhu 1800C [Martins, 2003].

2.4 Kitin

Kitin untuk pertama kali diisolasi oleh seorang ilmuwan Perancis bernama Hendri Baraconnot pada tahun 1811, dari jamur dan diberi nama fungine. Pada tahun 1832, Odier menemukan senyawa yang sama dari kutikula serangga dan diberi nama kitin, yang berasal dari Bahasa Yunani yang berarti sampul atau baju. Kitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan arthropoda, annelida, molusca, dan nematoda. Kitin biasanya berkonjugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trakea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi. Kitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan molekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-β-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosamin). Struktur kitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang kedua pada kitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH3) sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin [Marganof, 2003].

Kitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10, merupakan zat padat yang tak berbentuk, tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya. Kitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit. Gambar 2.8 menunjukkan struktur kitin [Marganof, 2003].

(6)

8 Isolasi kitin dari limbah kulit udang meliputi tahap deproteinasi (penghilangan protein) dan demineralisasi (penghilangan mineral). Deproteinasi dilakukan dengan mereaksikan kulit udang dengan larutan NaOH 3,5%, sedangkan demineralisasi dilakukan dengan mereaksikan kulit udang dengan larutan HCl 1M [Thatte, 2004].

2.5 Kitosan

Kitosan yang disebut juga dengan β-1,4-2-amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan turunan dari kitin yang diperoleh melalui proses deasetilasi. Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi, yaitu asam amino, gugus hidroksil primer, dan gugus hidroksil sekunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan kitosan mempunyai banyak manfaat. Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air dan larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl, HNO3, dan H3PO4, serta tidak larut dalam H2SO4 [Muzzareli, 1986]. Kitosan memiliki berbagai macam manfaat, diantaranya sebagai penyerap limbah logam berat dalam air, untuk mengolah limbah cair, dan sebagai bahan pengganti formalin untuk pengawet makanan. Kitosan merupakan polimer biodegradasi dengan berat molekul yang besar dan memiliki struktur mirip dengan selulosa [Marganof, 2003].

Gambar 2.9 Struktur kitosan

Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin yang merupakan produk samping sumber daya alam perairan laut, khususnya udang. Limbah kepala udang mencapai 35%-50% dari total berat udang [Linawati, 2006]. Karakteristik kitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam organik, seperti asam asetat, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Kitosan merupakan polimer biodegradasi dengan berat molekul yang besar dan memiliki struktur mirip dengan selulosa [Yurnaliza, 2002].

Banyaknya jumlah gugus asetamida pada kitin yang terkonversi menjadi kitosan setelah proses deasetilasi biasa dinyatakan dengan derajat deasetilasi. Perhitungan derajat deasetilasi dapat dilakukan dengan metoda titrasi, UV-Vis, maupun FTIR, namun metoda yang paling sering digunakan adalah metoda FTIR karena cenderung lebih mudah dan sederhana. Proses deasetilasi merupakan proses substitusi gugus asetil dari kitin menjadi gugus amina (-NH2), menghasilkan senyawa kitosan. Oleh karena itu, derajat deasetilasi merupakan parameter yang penting dalam karakterisasi kitosan. Deasetilasi juga mempengaruhi tingkat

(7)

9 biodegradasi dan aktivitas imunologinya. Derajat deasetilasi dapat digunakan untuk membedakan kitin dan kitosan karena derajat deasetilasi menentukan kandungan gugus amino bebas yang terdapat dalam polimer. Gugus amino dalam kitosan seringkali menjadi gugus aktif dalam berbagai reaksi kimia. Derajat deasetilasi kitosan berkisar antara 56% sampai 99% dengan rata-rata 80%. Hal ini bergantung kepada sampel udang yang digunakan dan proses preparasinya [Marganof, 2003].

Perhitungan derajat deasetilasi dengan metoda FTIR pertama kali ditemukan oleh Moore and Roberts pada tahun 1980. Metoda ini merupakan metoda yang paling umum digunakan untuk penentuan derajat deasetilasi. Metoda FTIR menggunakan baseline untuk perhitungan nilai derajat deasetilasi. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan argumentasi dalam pembacaan baseline yang pada akhirnya dapat menyebabkan perbedaan hasil nilai derajat deasetilasi. Selain itu, preparasi sampel yang akan diukur dengan FTIR, serta tipe dan kondisi instrumen yang digunakan juga dapat mempengaruhi analisis sampel [Khan, 2002]. Berikut ini adalah rumus yang digunakan untuk menghitung nilai derajat deasetilasi dengan metoda FTIR:

DD = 100 – [(A1655 / A3450) x 100/1.33] (persamaan 2.1)

A1655: absorbansi gugus asetamida A3450: absorbansi gugus hidroksil

2.6 Polyblend

Polyblend merupakan campuran fisis dua atau lebih jenis polimer untuk mendapatkan material baru yang memiliki sifat gabungan antara kedua polimer yang dicampurkan.

Polyblend terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Miscible polyblend, yaitu polyblend yang saling larut dalam satu jenis pelarut. Miscible

polyblend memiliki satu temperatur transisi gelas. Contohnya: polyblend antara polieter keton tersulfonasi dengan polieter sulfon.

2. Immiscible polyblend, yaitu polyblend yang tidak saling larut dalam satu jenis pelarut.

Immiscible polyblend memiliki dua temperatur transisi gelas. Contohnya: polyblend antara polistiren dengan polibutadiena, dan polyblend antara polietilen tereftalat dengan polivinil alkohol.

Pembuatan polyblend dapat dilakukan dengan metoda pelarutan dan metoda pelelehan. Metoda pelarutan biasanya dilakukan untuk membuat miscible polyblend, sedangkan metoda pelelehan biasanya dialakukan untuk membuat immiscible polyblend. Pada proses pelarutan,

(8)

10 polimer-polimer yang akan dicampurkan dilarutkan dalam suatu pelarut tertentu sampai homogen, sedangkan pada proses pelelahan, polimer-polimer yang akan dibuat menjadi

polyblend dicampurkan dalam bentuk padatannya, kemudian dilelehkan dan dicetak pada suhu dan tekanan tertentu [Rahmawati, 2007].

2.7 Analisis Polyblend

Analisis polyblend bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh polyblend. Analisis polyblend meliputi analisis massa molekul, analisis gugus fungsi, analisis termal, dan analisis mekanik. Analisis tambahan lainnya juga dapat dilakukan bergantung pada aplikasi polimer tersebut. Untuk aplikasi membran PEMFC, pada umumnya dilakukan juga analisis swelling (derajat penggembungan), Ion Exchange Capacity (kapasitas penukar ion), dan konduktivitas.

2.7.1 Analisis Sifat Fisik

a) Massa Molekul Polimer

Penentuan massa molekul polimer sangat penting karena hal ini menentukan sifat kimia dari polimer, misalnya sifat temperatur transisi gelasnya dan sifat mekaniknya. Jika massa molekulnya terlalu rendah, temperatur transisi dan kekuatan mekaniknya akan menjadi rendah pula. Tidak seperti molekul kecil, pada polimer massa molekulnya bukan merupakan nilai yang pasti. Oleh karena itu, massa molekul polimer lebih sering disebut sebagai distribusi massa molekul atau massa molekul rata-rata. Massa molekul rata-rata dapat diartikan sebagai total massa polimer dibagi dengan jumlah molekul polimer [http://www.ias.ac.in/initiat/sci_ed/resources/chemistry/MolWeight.pdf]. Konsep massa molekul relatif polimer terdiri dari empat jenis, yaitu:

Mn : massa molekul relatif rata-rata jumlah Mw : massa molekul relatif rata-rata berat Mz : massa molekul relatif rata-rata Z

(9)

11

Gambar 2.10Kurva distribusi massa molekul polimer

Massa molekul polimer biasa dihitung dengan menggunakan alat Gel Permeation

Chromatography (GPC) atau dengan metoda viskometri menggunakan Viskometer Oswald. Pada penentuan massa molekul polimer dengan metoda viskometri, dilakukan pendekatan melalui perhitungan viskositas relatif, viskositas spesifik, viskositas reduksi, dan viskositas intrinsik.

Viskositas relatif: perbandingan viskositas larutan polimer (η) terhadap viskositas pelarut (η0).

0

r η

η

η = (persamaan 2.2)

Viskositas spesifik: kenaikan relatif viskositas larutan terhadap viskositas pelarut.

0 0 sp η η η η = − (persamaan 2.3)

Viskositas tereduksi: viskositas spesifik dibagi dengan konsentrasi larutan polimer.

C η

ηred = sp (persamaan 2.4)

Viskositas instrinsik: nilai viskositas tereduksi pada pengenceran tak hingga.

[ ]

C η η sp 0 C

lim

= (persamaan 2.5)

Untuk pengukuran dengan Viskometer Oswald (pada suhu dan penggunaan viskometer yang sama), berlaku persamaan:

0 0 0 ρ t t ρ η η ⋅ ⋅ = (persamaan 2.6)

Dengan persamaan empiris Mark-Houwink, dapat ditentukan nilai Mv dari polimer yang diukur [Radiman, 2004].

[ ]

a Mv K η = ⋅

(persamaan 2.7) Berat molekul Fraksi berat

(10)

12

b) Swelling

Swelling dapat diartikan sebagai derajat penggembungan. Swelling menunjukkan seberapa besar rantai polimer dapat mengembang pada saat berinteraksi dengan pelarut pada rentang waktu tertentu. Swelling ini berkaitan dengan proses pelarutan. Pada prinsipnya, pelarutan terdiri dari dua tahap, yaitu swelling yang merupakan pengembangan rantai polimer, dan pelarutan. Ciri-ciri dari swelling adalah terjadinya peningkatan massa dan volume polimer.

Swelling terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

- Unlimited swelling (tak hingga), yaitu swelling yang berlanjut ke tahap pelarutan. Hal ini dapat terjadi pada polimer yang larut dalam pelarut yang digunakan untuk analisis swelling.

- Limited swelling (terbatas), yaitu swelling yang tidak berlanjut ke tahap pelarutan

Pengukuran nilai swelling polimer cukup penting karena berkaitan dengan aplikasi polimer. Penentuan swelling biasanya dilakukan dengan merendam membran polimer dalam suatu pelarut dan dalam jangka waktu tertentu, lalu menimbang massa polimer sebelum dan sesudah direndam. Pelarut yang umum digunakan untuk swelling adalah air, sedangkan waktu perendaman biasanya 24 jam. Perhitungan swelling dapat dilakukan dengan membandingkan nilai massa pelarut yang masuk ke rantai polimer dengan massa polimer sebelum direndam dalam pelarut [Smitha, 2004]:

% 100 % 0 × ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = o w w w swelling

(persamaan 2.8)

w0 = massa polimer sebelum swelling w = massa polimer setelah swelling

c. Ion Exchange Capacity (IEC)

Ion Exchange Capacity (IEC) menyatakan nilai kapasitas penukar ion dari polimer

bermuatan. Nilai IEC polimer untuk membran PEMFC biasanya ditentukan dengan menggunakan metoda titrasi, dimana sejumlah tertentu membran polimer yang telah ditimbang massanya direndam dalam larutan asam atau basa bergantung pada sifat gugus fungsinya, kemudian dititrasi dengan larutan basa atau asam. Untuk polimer penukar kation, larutan untuk perendaman adalah larutan asam, sedangkan untuk polimer penukar anion adalah sebaliknya.

Nilai IEC dinyatakan dalam satuan miliekuivalen per gram polimer atau membran [Wan, 2006]. Berikut ini contoh rumus untuk penentuan nilai IEC polimer penukar kation:

(11)

13 m n n g meq IEC( / )=( 0 − ) (persamaan 2.9)

n0 = mol larutan asam tanpa membran polimer n = mol larutan asam setelah perendaman polimer m = massa membran atau polimer

d.

Konduktivitas

Konduktivitas listrik biasanya digunakan untuk menyatakan sifat listrik dari suatu material. Konduktivitas merupakan kebalikan dari resistivitas:

σ = 1/ρ (persamaan 2.10)

Satuan konduktivitas yang umum adalah S/m. Berdasarkan sifat konduktivitasnya, material dibagi mejadi tiga, yaitu konduktor, semikonduktor, dan isolator. Logam biasanya merupakan konduktor yang baik, dengan konduktivitas sekitar 107 S/m, sedangkan isolator memiliki konduktivitas sekitar 10-10 sampai 10-20 S/m. Konduktivitas semikonduktor berada diantara keduanya, yaitu bernilai sekitar 10-6 sampai 104 S/cm. Arus listrik dihasilkan dari pergerakan partikel bermuatan listrik sebagai respon dari adanya medan listrik. Pada material padat, arusnya dihasilkan dari aliran elektron, sehingga proses ini disebut sebagai konduktivitas elektron, sedangkan pada material ionik arusnya dihasilkan dari pergerakan ion bermuatan. Sebagian besar polimer merupakan material dengan konduktivitas elektron yang rendah. Hal ini disebabkan karena pindahnya elektron bebas yang berpartisipasi dalam proses konduksi rendah [Callister,2001].

2.7.2 Analisis Gugus Fungsi

Metoda yang umum digunakan untuk analisis gugus fungsi adalah spektroskopi infra merah. Prinsip dasar penggunaan metode spektroskopi infra merah adalah tingkat vibrasi yang berbeda-beda bagi tiap gugus fungsi sebagai akibat penyerapan sinar infra merah yang tidak sama. Hal ini bergantung pada amplitudo serapan. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran dengan menggunakan FTIR, yaitu lebar celah (slit), gain,

scanning, dan periode. Hasil yang didapatkan dari pengukuran menggunakan FTIR adalah

spektrum dimana kurva yang terbentuk adalah kurva dengan garis horizontal merupakan bilangan gelombang dan garis vertikal merupakan % transmitan.

(12)

14 Terdapat dua cara penyiapan sampel untuk analisis FTIR, yaitu dengan cara Nujol Mull dan Pellet KBr. Namun, cara Pellet KBr lebih sering digunakan. Pada metode Nujol Mull, sampel disiapkan dengan wujud larutan, dimana partikel larutan akan lebih terdistribusi merata. Tahapan yang dilakukan dalam cara Nujol Mull ini adalah dengan menggerus serbuk sampai halus sekali, kemudian serbuk disuspensikan dalam Nujol Mull, yaitu minyak mineral yang sangat murni, mengandung C20-C30 hidrokarbon alkana. Hasilnya berupa pasta yang selanjutnya dioleskan dan ditekan pada dua sel window membentuk lapisan tipis berupa film dari partikel-partikel kecil yang tersuspensi dalam minyak. Di sisi lain, pada metoda Pellet KBr, sampel disiapkan dalam wujud padat. Hal ini menyebabkan distribusi bergantung pada proses penekanan (pressing). Pellet disiapkan setipis mungkin supaya dapat dilewati oleh sinar. Dalam proses penyiapan sampel dengan metoda ini, semua tahapan prosedur dihindarkan dari penggunaan air yang akan mempengaruhi hasil serapan sinar pada analisis spektrum [Handayani, 2006].

2.7.3 Analisis Mekanik

Sifat mekanik material meliputi stress dan strain. Pengukuran kekuatan mekanik dapat dilakukan dengan uji tarik, uji kompresi, uji geser, dan uji torsional. Uji kekuatan mekanik pada umumnya diukur dengan uji tarik, dimana suatu sampel material dengan ukuran tertentu diberikan gaya dan ditarik hingga putus. Data yang didapatkan adalah kurva stress dan strain. Dari nilai stress dan strain ini dapat dihitung nilai Modulus Elastisitasnya [Callister, 2001]. Gambar 2.11 dan 2.12 menunjukkan skema umum alat uji tarik dan kurva

stress-strain.

Gambar 2.11 Skema umum alat uji tarik Gambar 2.12 Kurva stress-strain

Material

Gaya yang diberikan

(13)

15 ε σ ε σ = Δ = − = = E l l l l l strain A F stress 0 0 0 ) ( ) (

(persamaan 2.11)

2.7.4 Analisis Termal

Analisis termal memperlihatkan respon dari material terhadap kalor yang diberikan kepadanya. Pada polimer, transfer energi dilakukan melalui mekanisme vibrasi dan rotasi rantai molekul. Sifat termal pada polimer dipengaruhi oleh sifat kristalinitasnya. Polimer kristalin biasanya memiliki kekuatan termal yang lebih tinggi karena vibrasi dalam rantai polimernya lebih teratur daripada polimer amorf [Callister, 2001]. Sifat termal polimer dapat dianalisis dengan menggunakan Thermal Gravity Analysis (TGA) atau Differential Scanning

Calorimetry (DSC) dimana sejumlah sampel polimer dipanaskan pada rentang suhu tertentu.

Hasil analisis dengan TGA adalah termogram yang menunjukkan laju dekomposisi polimer. Dari DSC dapat ditentukan temperatur transisi gelas (Tg) dan dari TGA dapat ditentukan temperatur dekomposisi. Gambar 2.13 menunjukkan kurva DSC. Dari kurva ini dapat dianalisis temperatur transisi gelas dan temperatur titik leleh dari suatu polimer, sedangkan gambar 2.14 menunjukkan kurva TGA dari salah satu jenis polimer, yaitu Nilon. Kurva ini menunjukkan laju pengurangan massa polimer akibat pemanasan.

Gambar 2.13 Kurva DSC Gambar 2.14 Kurva TGA Nilon

Kristalisasi Temperatur Transisi Gelas (Tg) Titik leleh (Tm) Temperatur Heat flow (mW) Nilon 6,6

Gambar

Gambar 2.1 Alat PEMFC
Gambar 2.5 Reaksi pembentukan dua senyawa radikal dari benzoil peroksida
Gambar 2.7 Reaksi sintesis polistiren tersulfonasi:
Gambar 2.8 Struktur kitin
+4

Referensi

Dokumen terkait

SUAKA melibatkan para pakar dari berbagai lembaga yang memiliki pengetahuan dan       pengalaman yang memadai sebagai narasumber dalam kegiatan Upgrading Session sehingga      

Metode kuantitatif (dilakukan pada tahun pertama) digunakan dengan metode pengebaran kusioner terhadap responden, sedangkan metode kualitatif (dilakukan pada

Jalan Kabupeten Jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota Kecamatan, antaribukota Kecamatan,

Kesimpulannya adalah tingkat pengetahuan gejala klinis malaria masyarakat Bayah tergolong kurang dan tidak berhubungan dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

Anthrax umumnya sebagian besar ditemukan pada vertebrata, baik ternak maupun liar, seperti kambing, domba, sapi, unta, rusa dan herbivora lain, tetapi dapat juga

Hasil enciphering kemudian dipermutasi dengan matriks permutasi balikan (invers initial permutation atau IP -1 ) menjadi blok

“Pengaruh Profitabilitas, Risiko Keuangan, Nilai Perusahaan, dan Struktur Kepemilikan Terhadap Praktik Perataan Laba ( Income Smoothing ) Pada Perusahaan Manufaktur

Sensor infra merah kanan2 kanan1 dan kiri2 kiri1 berfungsi untuk mendeteksi burung walet dari dalam sarang yaitu apabila ada burung walet yang keluar maka