• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran pendidikan seni di dalam lembaga sekolah. menjadi perhatian pemerintah dan para ahli pendidikan di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran pendidikan seni di dalam lembaga sekolah. menjadi perhatian pemerintah dan para ahli pendidikan di"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

1

 

A. Latar Belakang

Kehadiran pendidikan seni di dalam lembaga sekolah menjadi perhatian pemerintah dan para ahli pendidikan di Indonesia, yaitu dengan dimasukkannya mata pelajaran seni ke dalam kurikulum seperti yang tercantum dalam undang-undang.

Bahan kajian seni dan budaya dimaksudkan untuk membentuk karakter Peserta Didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Bahan kajian seni mencakup menulis, menggambar/melukis, menyanyi, dan menari yang difokuskan pada seni budaya.1

Pendidikan seni sebagai mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan memiliki fungsi dan bobot yang sama dengan mata pelajaran lainnya.

Pendidikan seni, sebagai pendidikan estetika, memberi keseimbangan terhadap pendidikan yang bersifat logis-rasional, dan pendidikan etis-moral. Plato dalam Education Through Art karya Herbert Read mengatakan bahwa seni seharusnya menjadi

                                                                                                                         

1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 32 Tahun 2013, tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 77I ayat 1, huruf g. Sumber diunduh dari http://sindiker.dikti.go.id/dok/PP/PP32-2013PerubahanPP19-2005SNP.pdf, diakses pada tanggal 16 November 2015, pukul 10.02.

(2)

dasar pendidikan.2 Tesis tersebut didukung oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa seni sebagai subjek yang diperlukan untuk mendidik.3 Hal ini sesuai dengan definisi pendidikan yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya.4 Sesuai dengan salah satu fungsinya sebagai media belajar, seni memberikan materi belajar yang kompleks bagi anak5 yang hasilnya dapat dikembangkan dalam bidang lain.

Seni dianggap sebagai media yang tepat bagi pendidikan anak, karena seni menawarkan metode pendidikan dengan bermain. Seni mengajak anak bermain dengan imajinasinya. Sesuai dengan undang-undang yang menyatakan yang dimaksud dengan pengembangan seni mencakup perwujudan suasana

                                                                                                                         

2 Plato mengatakan “art should be the basic of education”, dikutip oleh Herbert Read, Education Through Art, (London: Faber and Faber, 1970), 1.

3 Aristoteles mengatakan “art as subject necessary for educating”, dikutip oleh Donna Kelly, Uncovering the History of Children’s Drawing and Art, (Westport: Praeger Publishers, 2004), 11.

4 Undang Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 5 Anak dalam penelitian ini adalah anak usia 3-6 tahun yang masih tergolong pada masa kanak-kanak awal. Anak pada masa kanak-kanak awal, memiliki presentase perkembangan otak yang pesat, di mana anak pada usia 0-6 tahun mempunyai potensi perkembangan otak mencapai 80%, sedangkan pada usia 17-18 tahun hanya berkembang sebanyak 20%. Sementara itu, teori neurosains modern menyatakan bahwa pada masa pertumbuhan tersebut

(golden ages) memungkinkan anak untuk mengembangkan kreativitas dan juga

terjadi tahapan pra-operasional dalam perkembangan kognitif. Anak pada usia 3-6 tahun mulai menjelaskan dunia dengan kata-kata dan gambar, meningkatkan pemikiran simbolis serta mendapatkan kemampuan untuk menggambarkan secara mental sebuah objek yang tidak ada. Oleh karenanya, pada usia tersebut anak akan sering melakukan kegiatan seni sebagai media penuangan imajinasinya. Periksa John W. Santrock, Child Development, (Jakarta: Erlangga, 2007), 49 dan 160.

(3)

untuk tumbuh-kembangnya apresiasi seni dalam konteks bermain. 6 Maka dari itu, pendidikan seni hakikatnya adalah mengutamakan aspek bermain yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pendidikan.

Art is fundamental in human process... Art is a dynamic and unifying activity, with great potential for the education of our children. The process of drawing, painting, or constructing is a complex one in which the child brings together diverse elements of his experience to make a new and meaningful whole. In the process of selecting, interpreting, and reforming these elements, he has given us more than a picture or sculpture; he has given us a part of himself: how he thinks, how he feels, and how he sees.7

Masih dalam perspektif pendidikan, seni dipandang sebagai salah satu alat atau media untuk memberikan keseimbangan antara intelektualitas dengan sensibilitas, rasionalitas, dan akal pikiran, agar manusia ‘memanusia’.8 Lebih lanjut, pendidikan seni juga dianggap sebagai media pendidikan yang memberikan serangkaian pengalaman estetik yang sangat besar pengaruhnya

                                                                                                                         

6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 32 Tahun 2013, tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 77G, ayat 1, tentang Struktur Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar. Sumber diunduh dari

http://sindiker.dikti.go.id/dok/PP/PP32-2013PerubahanPP19-2005SNP.pdf, diakses pada tanggal 16 November 2015, pukul 9.59.

7 Lowenfeld dan Lambert Brittain, Creative and Mental Growth, (New York: Macmillan Publishing, 1982), 3.

8 Maksud dari seni yang dapat ‘memanusia’ manusia adalah dengan seni, manusia dapat memainkan perasaan mereka dalam melihat fenomena kehidupan. Seni dapat mengajak individu untuk melihat objek dari berbagai arah, dan hal tersebut akan menjadikan manusia dapat lebih mendapatkan sifat manusianya yaitu dengan menggunakan akalnya, karena pada dasarnya manusia adalah mahkluk yang berakal. Lee A. Jacobus, Aesthetics and The Arts, (New York: McGraw-Hill Book Company, 1968), 5.

(4)

bagi perkembangan jiwa individu.9 Melalui pendidikan seni akan diperoleh internalisasi pengalaman estetik (aesthetic experience) yang berfungsi melatih kepekaan rasa yang tinggi. Melalui kepekaan ini, nantinya mental anak lebih mudah diisi dengan nilai religiusitas dan budi pekerti yang juga menjadi bagian dalam apa yang disebut dengan karakter. Selain itu, dengan pendidikan seni yang berkaitan erat dengan kreativitas, diharapkan anak mampu mengaplikasikan seni untuk menyelesaikan masalah di kehidupan sehari-harinya.

Seni menawarkan bahwa selalu ada cara untuk memandang objek yang multiperspektif, tidak ada disiplin yang lengkap secara keseluruhan, serta tidak ada sesuatu yang mempunyai kata akhir. Seni menawarkan dimensi-dimensi makna yang baru, bentuk-bentuk baru dari logika yang selama ini dinina-bobokkan oleh pendidikan modern. Melalui seni-lah seseorang didorong untuk melihat dan mendengar, menerobos lapisan permukaan kenyataan. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan seni dapat digolongkan ke dalam humanistic curriculum yang mengutamakan pembinaan kemanusiaan, bukan kurikulum sosial yang mengutamakan hasil praktis. Hal tersebut sesuai dengan konsep Aristoteles yang mengatakan bahwa proses pembentukan

                                                                                                                         

9 Herbert Read, Education Through Art, (London: Faber and Faber, 1970), 13.

(5)

pengetahuan berawal dari penginderaan yang kemudian diolah menjadi ide yang mengahsilkan sebuah pengetahuan.10 Sesuai dengan pendidikan seni anak, di mana anak terlebih dulu melakukan kegiatan seni, lalu merasakannya, dan pada akhirnya anak mampu mengambil konsep dari apa yang dilakukannya.

Berlanjut pada interpretasi dari tesis Plato dan Aristoteles, maka pembicaraan tentang seni sebagai sarana pendidikan dapat mengacu pada beberapa arah. Salah satunya adalah pada seni yang menawarkan cara-cara bebas dalam pelaksanaan pendidikan mata pelajaran selain seni dari wacana sistem yang telah dibuat dalam kurikulum. Maka dari itu, dipilihlah sanggar sebagai representasi atas wacana kebebasan kurikulum tersebut. Status sanggar sebagai lembaga pendidikan non-formal seharusnya juga membuat sanggar sedikit lebih bebas daripada lembaga formal.

                                                                                                                         

10 Artistoteles menjelaskan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dari alam semesta melalui proses indrawi yang kemudian diolah menjadi ide. Berangkat dari pengindraan, manusia mempersepsi segala hal yang ada di alam semesta, lalu dengan abstraksi menghasilkan ide. Proses ini dimulai ketika objek eksternal mengirim bentuk energi tertentu yang diterima oleh indra. Benak manusia kemudian menyatukan hasil pengindraan dari seluruh indra manusia dan memberi makna pada objek yang sedang diindrai yang mana tahap ini disebut sebagai persepsi. Persepsi kemudian menghasilkan citra indrawi, lalu terjadi proses imajinasi. Lalu terjadilah pembentukan ide atau konsep yang abstrak dan universal. Periksa Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 28-29. Di dalam konteks pendidikan seni anak, Ki Hadjar Dewantara memiliki konsep telu nga (3 nga), ngerti, ngrasani, nglakoni. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pendidikan seni anak, maka konsep tersebut dibalik menjadi nglakoni (melakukan), di mana anak-anak akan melakukan kegiatan berkesenian terlebih dahulu. Selanjutnya ngrasani (merasakan), di mana anak mulai bisa merasakan, dan pada akhirnya akan mengantarkan anak pada ngerti (mengetahui). Periksa Dwi Marianto, “Berpijak pada Kesekarangan untuk Mereorientasi Pendidikan Seni”, dalam Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Seni, Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia, Prosiding: Universitas Negeri Surabaya, 2014, 3.

(6)

Perkembangan lembaga pendidikan seni di Indonesia dimulai pada tahun 1947 yang ditandai dengan dibentuknya pendidikan seni rupa akademik di Bandung, dan pada awal tahun 1950 didirikan pendidikan akademik seni rupa yang kedua di Yogyakarta. Sejak saat itu seniman-seniman Indonesia dilahirkan oleh lembaga-lembaga akademik tersebut.

Kelompok seni atau sanggar lukis pada dasarnya merupakan sarana belajar untuk mencari aliran seni dirinya masing-masing. Para anggota kelompok tersebut menerima ilmu tentang seni dan kemudian berkembang ke arah pencarian masing-masing. Prinsip tersebut sejak awal telah ditanamkan oleh Sudjojono yang mengatakan bahwa seniman tidak bisa saling meniru, dimana masing-masing dipicu untuk menemukan otentitas dirinya dan dengan demikian juga identitas kesenirupaannya, yang tema atau objek lukisan boleh sama namun cara melukisnya berbeda.11 Hal tersebut menunjukkan awal mula tujuan didirikannya lembaga (sanggar) seni yang

                                                                                                                         

11 Sudjojono menekankan bahwa dalam sistem sanggar atau kelompok seni, hal yang terpenting selain hasil akhir karya adalah orisinalitas dan kreasi saat proses berkarya. Periksa Jakob Sumardjo, Asal Usul Seni Rupa Modern

Indonesia, (Bandung: Kelir, 2009), 95. Di dalam ketidaktahuan sistem

akademik, justru para seniman Indonesia menemukan kekuatan seni-nya yang disebut sebagai the strength of ignorance yang terletak pada faktor non-akademiknya. Strength of ignorance berarti kekuatan dari ketidaktahuan. Hal tersebut menganalogikan ketidaktahuan mengenai aturan-aturan dalam berkesenian yang justru berakibat pada kreativitas dalam penciptaan karya seni. Para perintis seniman Indonesia saat itu terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok gaya mooi-indie yang berkarya dengan konsep dan aturan kolonial, dan gaya seniman otodidak. Periksa Jakob Sumardjo, 2009, 109-111.

(7)

menjunjung tinggi kebebasan seniman. Seniman dalam sanggar boleh belajar dari siapa saja dan dari mana saja, namun hasilnya tergantung dari kemampuan untuk menemukan gaya seni-nya masing-masing. Hal tersebut sesuai dengan hakikat pendidikan seni yang mengutamakan kebebasan murid dalam proses berkesenian. Kebebasan tersebut seharusnya diterapkan dalam proses pendidikan seni.

Merujuk dari sejarah perkembangan sanggar di Indonesia, dewasa ini banyak bermunculan sanggar seni anak. Yogyakarta yang dijuluki sebagai kota pelajar, juga mengalami trend demikian.12 Hal tersebut didukung oleh kampanye tentang otak kiri dan otak kanan yang sedikit memengaruhi orang tua dalam menentukan pendidikan anaknya. Maka, orang tua mulai memperhatikan pendidikan seni untuk anaknya, dan dipilihlah sanggar sebagai sarana pemfasilitasian pendidikan otak kanan untuk anak.

Sanggar merupakan salah satu lembaga pendidikan seni non-formal13 yang di zaman modern ini dianggap lebih efektif jika

                                                                                                                         

12 Terdapat tulisan dari Yuswantoro Adi yang merupakan pemerhati pendidikan seni anak, juga salah satu pendiri Art For Children di Taman Budaya Yogyakarta. Tulisan dari Yuswantoro yang mengatakan bahwa saat ini telah menjamur sanggar-sanggar seni di Yogyakarta. Hal tersebut secara tidak langsung menimbulkan keseragaman gaya dalam berkesenian. Tulisan ini dimuat di Kompas, yang dapat diunduh versi online di http://regional.kompas.com/read/2010/07/13/20393599/Sanggar.Lukis.Anak .Menjamur.di.Yogya.

13 Pendidikan non-formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan

(8)

dibandingkan dengan pendidikan seni di lembaga formal. Hal tersebut dikarenakan sanggar dianggap lebih mampu memperhatikan muridnya, sehingga lebih fokus dalam proses pendidikannya.14 Namun, seiring dengan bermunculannya sanggar seni di Yogyakarta, juga terjadi persaingan yang kompleks, yaitu persaingan antar sanggar, guru, dan orang tua (baik dirinya sendiri atau melalui anaknya).

Pendidikan seni anak di sanggar yang masih dalam ruang lingkup pendidikan seni anak sekarang sudah menjadi ajang prestise, baik manajemen, guru, dan orang tua. Hal tersebut berpengaruh pada indikator keberhasilan pendidikan seni anak yang saat ini diukur dari bagaimana anak ‘berprestasi’.

Seiring menjamurnya sanggar seni lukis anak di Yogyakarta, juga terjadi pada banyaknya perhelatan lomba lukis anak. Lomba lukis anak disebut-sebut sebagai salah satu pemfasilitasan potensi seni anak. Sanggar melihat peluang tersebut untuk menjadikan lomba lukis anak sebagai salah satu ajang mereka untuk

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              non-formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal. Pendidikan non-formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Sumber diperoleh dari Undang-undang No.20 Tahun 2003, Pasal 13 ayat 1 tentang jalur pendidikan nasional. Diunduh dari http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf, pada tanggal 2 Juni 2015, jam 9.38.

14 Dikatakan lebih mampu memperhatikan muridnya, karena sanggar memiliki jumlah murid yang sedikit jika dibandingkan dengan murid di sekolah. Lebih lanjut, pembelajaran lebih fokus karena guru lebih mampu mengendalikan kelasnya dikarenakan pembagian murid yang diatur oleh manajemen.

(9)

berpromosi dan mencari laba. Hal tersebut dilakukan dengan cara membuat asumsi masyarakat sebagai sanggar pencetak pemenang lomba. Sanggar dalam program pendidikannya, peka terhadap selera masyarakat terkait lukisan anak, dan mengadopsinya dalam program pendidikannya.

Di sanggar, pendidikan seni difokuskan pada masalah teknik berkarya. Namun, kenyataannya sanggar-sanggar mempromosikan pendidikan seni yang dimilikinya sebagai media pembelajaran dan pemahaman anak. Salah satu sanggar yang memberikan pendidikan seni lukis yang kompleks bagi anak adalah Globalart.15 Globalart merupakan sanggar seni lukis anak yang berasal dari Malaysia. Globalart memiliki slogan ‘think creative’ yang menjadi daya jual utama dari sanggar ini. Melalui slogannya, Globalart mempromosikan pendidikan seni yang normatif.

Globalart memberikan antusiasme orang tua terhadap pendidikan seni. Globalart yang dikelola secara profesional memberikan daya tarik bagi orang tua modern untuk mempercayakan pendidikan seni anaknya kepada Globalart. Selain profesionalitas, Globalart memberikan tawaran bersifat simbolis, yaitu prestise bagi orang tua. Dari namanya ‘global’

                                                                                                                         

15 Globalart merupakan sanggar seni lukis yang kompleks karena di dalam promosinya, Globalart menawarkan segala bentuk pendidikan melalui seni yang pada nantinya memberikan kemampuan anak untuk memcahkan masalah di kehidupan sehari-hari.

(10)

orang tua diberikan pengertian tentang status Globalart sebagai sanggar seni yang bersifat global, yang tersebar di beberapa negara di dunia. Globalart juga menawarkan dan menjanjikan prestasi yang akan dicapai anak dalam berkesenian. Maka dari itu, Globalart telah menjadi buruan baru oleh orang tua kelas menengah ke atas dalam mencari status, citra diri, prestise sebagai pembentuk selera dalam pendidikan seni lukis anak yang membedakan diri dari orang tua lainnya.

Terlepas dari keberhasilan Globalart yang diukur dari banyaknya siswa, partisipasi lomba, perkembangan media promosi, yang kesemuanya tersebut menghasilkan berbagai prestasi, tentunya Globalart memiliki perhitungan yang matang dalam hal manajemen. Dengan demikian, seolah-olah tidak ada kaitan langsung di antara popularitas gagasan melalui slogan, metode, bahkan nama perusahaan, dengan keunggulan isi gagasan tersebut. Hal tersebut juga terjadi di proses pendidikan seni di Globalart, yang di dalamnya terdapat upaya pendisiplinan, baik dalam ruang belajar maupun kurikulum dan ideologi yang melandasinya. Pendisiplinan dalam hal ini merujuk pada istilah kekerasan simbolik yang digambarkan oleh Bourdieu. Kekerasan simbolik merupakan salah satu cara dari Globalart untuk menanamkan ideologinya kepada para anggotanya.

(11)

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa terjadi konstruksi selera dalam pendidikan seni lukis anak di Globalart.

2. Bagaimanakah kekerasan simbolik terjadi sebagai mekanisme dari konstruksi selera di Globalart dan wacana yang ditimbulkannya.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Menjelaskan terjadinya konstruksi selera yang didasari oleh pertarungan modal yang dimiliki agen yang dipertaruhkan dalam dunia pendidikan seni lukis anak di Globalart, sehingga diketahui representasi prestise yang ditampilkan agen untuk mendapatkan posisi dominan.

2. Menjelaskan kekerasan simbolik sebagai pelaksanaan terjadinya komodifikasi pendidikan seni, sehingga dapat dilihat pergeseran hakikat pendidikan seni yang terjadi saat ini.

Setelah beberapa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam permasalahan diperoleh dengan jelas, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara lain:

1. Berkontribusi pada tataran teoritis mengenai mekanisme kekerasan simbolik yang terjadi dalam dunia pendidikan seni yang bersifat modular.

(12)

2. Memberikan alternatif pemikiran bagaimana suatu penelitian empiris tentang pendidikan seni dapat juga memiliki dasar teoritis yang dapat mengkritisi tanpa meninggalkan dirinya dalam tataran empiris.

3. Turut mengembangkan pemakaian metode multidisiplin dalam hal ini adalah perpaduan antara kajian seni pada pengkajian karya lukis anak, dan cultural studies untuk meneliti fenomena sosial masa kini, terutama yang berkaitan dengan hubungan ekonomi, gaya hidup, dan pendidikan. Selama ini sebagian besar penelitian dalam konteks pendidikan hanya melihat sisi pembelajaran, proses, dan hal yang terlihat fisik saja, dengan demikian penelitian ini memberikan alternatif metode yang dapat melengkapi metode-metode penelitian lainnya yang sering digunakan dalam penelitian pendidikan.

4. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memahami fenomena komodifikasi pendidikan seni. Dengan menggunakan model penelitian ini, keganjilan dalam pendidikan seni lainnya juga dapat lebih mudah diteliti sehingga dapat memperluas pemahaman tentang relasi kuasa, kelas-kelas sosial, dan habitus dalam arena pendidikan seni.

5. Penelitian ini juga bermanfaat untuk membangun pemahaman yang berguna sebagai jembatan penghubung antara manajemen lembaga pendidikan, guru, dan orang tua demi

(13)

mengurangi terjadinya pergeseran dalam pendidikan seni anak. Dengan penelitian ini, apa yang selama ini tidak terjelaskan secara empiris (meskipun selalu menjadi wacana) dan menjadi penyebab gesekan antara manajemen lembaga pendidikan, guru, dan orang tua, dapat lebih teranalisis sehingga dapat disusun mekanisme rekonsiliasi yang lebih baik diantara mereka. Dengan memperoleh manfaat praktis ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk juga dapat memahami bahwa pendidikan seni saat ini telah bergeser, dan semakin menenggelamkan peran seni dalam kehidupan anak.

D. Tinjauan Pustaka

Hakikat seni dalam pendidikan menjadi sebuah bahasan dalam buku Konsep Pendidikan Seni karya Hajar Pamadhi (2012). Pamadhi mencoba menjelaskan hakikat atau peranan seni dalam dunia pendidikan dengan menggunakan seni tradisi dan menerapkannya dalam konsep pendidikan seni modern. Pendidikan seni tidak hanya sebagai pelatihan membuat karya seni, namun pendidikan seni juga membentuk siswa untuk belajar dengan tangan sebagai keterampilan, kepala sebagai pengembangan pikiran, dan hati sebagai rasa dalam proses berkarya seni yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran. Berkaitan dengan anak, Pamadhi menjelaskan mengenai

(14)

pendidikan seni yang menempati peranan penting dalam perkembangan anak. Jika pendidikan seni dipahami dan diajarkan sesuai dengan fungsi pendidikan seni yang mengacu pada humanistic curriculum, maka seni akan membentuk pola berpikir anak untuk berpikir kreatif dan dapat digunakan sebagai problem solving dalam kehidupan sehari-hari.16 Secara garis besar buku karya Pamadhi membahas mengenai posisi seni dalam pendidikan, dan tidak membahas mengenai kritik terhadap pendidikan seni, serta tidak menjelaskan pendidikan seni melalui perspektif cultural studies beserta masalah dalam konteks tersebut.

Buku berjudul Children and Their Art: Methods for the Elementary School oleh Al Hurwitz dan Michael Day (2007), menjelaskan secara kompleks mengenai metode mengajar seni untuk anak. Fondasi dari pendidikan seni untuk anak adalah sebagai pembentuk kemampuan sosial anak, dalam kata lain seni berfungsi untuk kemampuan sosialisasi anak dengan lingkungannya melalui karya seni. Lebih lanjut, buku ini memaparkan metode guru dalam mengajar seni yang mengarahkan pada pendekatan seni sebagai media bermain dan penuangan ekspresi anak.

                                                                                                                         

16 Mengajar seni dengan metode yang sesuai dan tidak menuntut anak untuk selalu melakukan hal yang sama dengan gurunya termasuk dalam hal berkarya seni, namun memberikan kebebasan kepada anak dalam melakukan kreasi atas ide dan gagasannya ke dalam karya seni.

(15)

Penelitian berjudul “Searching for the Shape of Content in A Studio Based Approach to Art Education” oleh Lisa Schoenfielder (1996), berisi tentang pengelolaan rancangan pembelajaran dan strategi mengajar seni oleh guru di sanggar. Di penelitiannya, Lisa menekankan pada perencanaan kurikulum yang berpedoman pada dokumentasi hasil belajar siswa. Menurut Lisa, rancangan pembelajaran yang dibuat oleh guru berdasarkan kurikulum yang dibuat perusahaan (dalam hal ini adalah sanggar) dirasa tidak tepat jika dilakukan pada pendidikan seni. Hal tersebut dikarenakan setiap hari murid berpotensi untuk melakukan loncatan kualitatif dalam hal berkesenian, sehingga rancangan pembelajaran yang bersifat tahunan dan berpedoman pada kurikulum dianggap tidak tepat. Maka dari itu, Lisa menawarkan rancangan harian yang dianggap mampu memberikan evaluasi dan menentukan materi yang tepat bagi anak. Lebih lanjut, dengan metode demikian, seni dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran lainnya sehingga siswa dapat memahami materi sesuai dengan yang mereka butuhkan. Penelitian ini fokus kepada metode pengelolaan kelas dan bagaimana siswa dalam pembelajaran seni.

Sebagai sebuah bahasan yang kompleks mengenai pembelajaran seni, karya-karya di atas dapat dikatakan sebagai peta mutakhir pendidikan seni, namun tidak ditemukan

(16)

bagaimana politik dalam pendidikan seni anak. Selain itu, karya di atas juga tidak ditemukan mengenai seni sebagai gaya hidup lingkungan sekitar anak. Secara umum kajian yang dilakukan bermuara pada masalah metode pembelajaran.

Buku oleh Paulo Freire yang berjudul Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (2007), berisi kritik dan argumen pribadi Freire mengenai krisis pendidikan di Amerika. Sekolah dianggap gagal mewujudkan tujuannya untuk memenuhi tuntutan kapitalisme dan ekonomi pasar, dengan kata lain hal tersebut kontras dengan pandangan kelompok radikal kiri yang mengatakan bahwa sekolah dengan sistem yang terlalu pragmatik tidak lebih dari sekedar pasar yang menawarkan buruh. Sebagai produsen tenaga kerja, sekolah secara halus membekali siswanya dengan pengetahuan dan keterampilan, dan sekolah secara sosial berfungsi sebagai pendukung sistem ekonomi kapitalis dan dominasi tertentu. Sekolah umum tersebut tidak menghasilkan pemikiran kritis dan tindakan transformatif. Seperti halnya dengan tempat kerja dan pabrik budaya massa, sekolah telah menjadi alat reproduksi ekonomi dan budaya. Buku ini membahas mengenai politik pendidikan di Amerika dan lebih menekankan pada metode penyampaian guru kepada siswa dalam kegiatan belajar mengajar sebagai solusi masalah pendidikan di Amerika.

(17)

Lebih lanjut, buku ini tidak membahas bagaimana proses reproduksi ekonomi dan budaya terjadi di pendidikan seni anak.

Pendidikan saat ini seolah mati suri karena dibunuh oleh kurikulum yang kaku. Keberadaan pendidikan seni menjadi salah satu alternatif cara yang diyakini Freire mampu mempraktikkan konsepnya, yaitu pendidikan yang membebaskan melalui konsientisasi atau penyadaran. Namun, di tengah praktik pembebasan melalui pendidikan seni yang bertujuan mendorong siswa untuk meningkatkan kemampuan apresiasi, ekspresi, dan kreativitas siswa ternyata ditemukan anomi17 dalam pendidikan seni itu sendiri. Penelitian ini menjunjukkan bahwa meskipun apresiasi, ekspresi, dan kreativitas siswa benar-benar tertuang saat berkarya, namun siswa terbelenggu oleh kurikulum yang ditetapkan sekolah dan metode guru dalam mengajar. Bahasan tersebut merupakan garis besar penelitian yang dilakukan oleh Dorkas Alfianne Jisa (2014) yang berjudul “Pendidikan Seni di Yogyakarta: Membebaskan atau Membelenggu”. Penelitian ini

                                                                                                                         

17 Emile Durkheim (1897) mengungkapkan bahwa anomi akan terjadi bila pembagian kerja tidak menghasilkan solidaritas, yaitu jika hubungan antara organ-organ tidak menurut aturan. Pada awalnya teori anomi muncul dan terjadi sebagai akibat karena kesenjangan antara industrialisasi, teknologisasi, dan urbanisasi di satu pihak, dan konservatisme budaya tradisional di lain pihak. Anomi dalam penelitian Dorkas Alfianne Jisa ini menekankan bahwa anomi timbul ketika siswa sedang mengalami proses peralihan. Mereka keluar dari sistem sekolah yang terlalu kaku kemudian mereka masuk ke dalam sekolah berbasis seni, yang mengutamakan apresiasi, ekspresi, dan kreativitas. Di saat seperti ini siswa dapat kehilangan pegangan. Dalam keadaan seperti itu, norma tidak lagi disadari, maka dapat menimbulkan berbagai pola tindakan yang mengancam kelangsungan proses belajar mengajar.

(18)

bertujuan untuk mengetahui penyebab reproduksi anomi dari praktik pembebasan dalam pendidikan seni.

Penelitian berjudul “Dimensi Estetik Seni Rupa Ruang Publik di Yogyakarta Relevansinya bagi Pengembangan Pendidikan Seni di Indonesia” yang ditulis oleh Hajar Pamadhi (2015). Penelitian ini berisi tentang deskripsi hakikat karya seni rupa ruang publik di Yogyakarta dan dimensi-dimensi estetika yang terkandung di dalamnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari kajian terhadap seni rupa ruang publik, maka dasar pendidikan seni adalah pendidikan estetika. Lebih lanjut, asas pembelajaran pendidikan seni adalah berekspresi bebas, diskoveri bersifat inspiratif-inovatif dan kreativitas. Secara garis besar penelitian ini berisi tentang landasan pembelajaran dalam pendidikan seni, namun penelitian ini tidak membahas tentang pengaruh prestise dalam pembelajaran pendidikan seni.

“Conceptions of Art: a Case Study of Elementary Teachers, a Principal, and an Art Teacher” adalah penelitian yang dilakukan oleh Miraglia (2006) menjelaskan mengenai sekolah yang meremehkan mata pelajaran seni yang pada akhirnya mengubah konsep dan cara mengajar guru seni. Kurikulum yang diterapkan oleh sistem sekolah bertolak belakang dengan konsep pendidikan seni yang dimiliki guru seni. Sekolah lebih mementingkan mata pelajaran seperti matematika, logika, dan bahasa verbal, namun

(19)

sistem sekolah tidak memahami arti dan peran seni dalam dunia pendidikan. Hal tersebut baik langsung maupun tidak langsung memengaruhi standar mata pelajaran seni yang berakibat pada bergesernya konsep mengajar oleh guru seni, dimana guru seni mengajar sesuai degan sistem dan kultur sekolah. Hampir sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Miraglia, penelitian yang penulis lakukan menekankan kesesuaian konsep mengajar guru dengan filsafat pendidikan seni, namun penelitian yang Miraglia lakukan tidak melihat aspek politik dan pergeseran identitas diri (guru) dalam pembelajaran seni di sanggar, serta agen yang menyebabkan sanggar menjadi sebuah gaya hidup di masa kekinian.

Penelitian berjudul “Bimbel Sebagai Artikulasi Gaya Hidup Orang Tua di Yogyakarta” yang dilakukan oleh Aline Novita Dewi (2015) menjelaskan bagaimana bimbingan belajar (bimbel) telah menjadi ajang prestise orang tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam memilih bimbingan belajar, orangtua menyesuaikan dengan standar gaya hidup mereka. Melalui cara tersebut, orangtua mengkonsumsi bimbingan belajar menurut selera dan modal yang dimiliki. Praktik konsumsi bimbingan belajar seperti ini bukan untuk kepentingan anak semata, namun demi menaikkan status sosial orang tua pula. Nilai prestise yang dimiliki oleh bimbingan belajar diadopsi oleh orangtua, karena

(20)

beranggapan anak yang les di bimbingan belajar tertentu adalah anak-anak dari keluarga mampu (kelas menengah ke atas). Bimbingan belajar sebagai pelaku kapitalisme pendidikan berperan dalam pengklasifikasian kelas sosial melalui paket belajar yang ditawarkan untuk menegaskan posisi sosial orangtua. Secara garis besar, ruang lingkup penelitian ini pada pendidikan umum, bukan membahas pendidikan seni dan wacana yang berkembang dalam konteks tersebut. Lebih lanjut, penelitian ini tidak membahas mengenai kekerasan simbolik yang terjadi dalam dunia pendidikan.

Dari seluruh tinjauan pustaka yang telah dijabarkan di atas, tidak ada yang menghubungkan praktik pendidikan seni dan wacana terkait dengan penggambaran Pierre Bourdieu mengenai arena produksi kultural. Selain itu, berdasarkan tinjauan pustaka di atas semakin menunjukkan bahwa pendidikan seni bukan menjadi salah satu bidang yang penting dan mendasar bagi pendidikan anak karena seni menjadi salah satu ranah yang paling menyenangkan untuk dieksploitasi dan dipolitisasi. Hal tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung membuat posisi seni semakin diremehkan dalam wacana pendidikan anak. Dengan melakukan telaah terhadap berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka manfaat tinjauan pustaka bagi penelitian ini adalah untuk memetakan posisi penelitian diantara

(21)

penelitian sejenis. Dengan demikian orisinalitas penelitian dapat terjaga dan dapat dipertanggungjawabkan.

E. Landasan Teori

Untuk menjelaskan mengenai konstruksi selera dalam pendidikan seni lukis anak di Globalart, digunakan teori habitus, modal, dan ranah (field) milik Pierre Bourdieu. Hubungan habitus, modal, dan ranah bertaut secara langsung dan bertujuan menerangkan aktivitas pendidikan seni di Globalart sebagai praktik sosial.

Teori dari Pierre Bourdieu tersebut diawali dengan konsep habitus18 yang menjelaskan posisi individu antara keindividuannya dalam sistem sosial dan bagaimana keduanya saling berdinamika. Habitus menggambarkan serangkaian kecenderungan yang mendorong pelaku sosial untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Kecenderungan inilah yang nantinya melahirkan praktik-praktik, persepsi-persepsi, dan

                                                                                                                         

18 Habitus adalah sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan, struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur struktur-struktur (structured structures predisposed to

function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan

dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan atas cara yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’ secara objektif, tetapi bukan suatu keharusan terhadap aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus menjadi produk tindakan perorganisasian seorang pelaku. Lihat Pierre Bourdieu, Logic of Practice, (Stanford: Stanford University Press, 1990), 53; dan Pierre Bourdieu, Outline of A

(22)

perilaku yang tetap, teratur, yang kemudian menjadi kebiasaan yang tidak dipertanyakan lagi aturan-aturan yang melatarbelakanginya.19

Habitus tidak dapat dilepaskan dari Globalart sebagai ranah terjadinya praktik pendidikan seni yang dilihat sebagai praktik sosial. Ranah dipahami Bourdieu sebagai sebuah arena sosial yang didalamnya terdapat perjuangan untuk memperebutkan sumber pertaruhan dengan akses terbatas. Hal tersebut seperti kemampuan intelektual, kekuasaan politik, prestise, dan kelas sosial. Bagi Bourdieu, konsep ranah merujuk pada ruang sosial yang terstruktur, terorganisir secara hirarkis, dan menciptakan ketidaksetaraan objektif dalam pendistribusian berbagai modal, salah satunya modal simbolik.

Karakteristik modal dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi serta ranah selaku tempat beroperasinya modal-modal. Ranah pendidikan senantiasa dilingkupi oleh relasi kekuasaan objektif berdasarkan pada jenis-jenis modal yang digabungkan dengan habitus.

Agen dalam penelitian ini adalah pemimpin perusahaan (manajemen), guru, orang tua, dan anak, memiliki modal-modal yang akan dikonversikan ke modal lainnya, untuk mendapatkan posisi istimewa atau posisi yang berkuasa. Selain itu, sebagai

                                                                                                                          19 Pierre Bourdieu, 1990, 43.

(23)

arena permainan kontestatif, dunia pendidikan seni di Globalart mengandung kompetisi antar pelaku.

Di dalam konteks relasi pendidikan dengan relasi kekuasaan, muncul konsep kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik menurut Bourdieu adalah sebuah 'bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak', yang menyembunyikan di baliknya pemaksaan dominasi.20 Kekerasan simbolik bukanlah sekedar bentuk dominasi melalui bahasa dan (media) komunikasi; kekerasan simbolik adalah penggunaan dominasi sedemikian rupa sehingga dominasi tersebut 'diakui secara salah' (mis-recognized) dan meskipun demikian 'diakui' (recognized) sebagai legitimate.

Istilah ini digunakan untuk menjelaskan kekerasan khusus dalam mekanisme bahasa dan kekuasaan, yaitu kekerasan yang halus dan tidak tampak, yang tidak dikenal, atau hanya dikenal dengan menyembunyikan mekanisme tempatnya bergantung. Konsep ini menggiring manusia ke arah mekanisme sosial, yang di dalamnya relasi komunikasi saling bertautan dengan relasi kekuasaan.

Kekerasan simbolik merupakan mekanisme dari proses konstruksi selera yang ditanamkan oleh Globalart sebagai pemegang kekuasaan. Selera mengklasifikasikan objek yang

                                                                                                                         

20 Pierre Bourdieu, Outline of A Theory of Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 65.

(24)

hendak dipilih, dan juga mengklasifikasikan pengklasifikasiannya.21 Selain tentang selera, sistem kekuasaan cenderung untuk melanggengkan posisinya yang dominan dengan mendominasi arena pendidikan seni di Globalart, dari simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi, makna-makna yang dipertukarkan di dalam proses pendidikan di Globalart, serta interpretasi terhadap makna-makna tersebut.

Di dalam proses dominasi tersebut, terjadi kekerasan simbolik yang sangat halus, tetapi orang yang didominasi secara simbolik tersebut tidak menyadari adanya pemaksaan dengan menerima pemaksaan tersebut sebagai sesuatu yang memang seharusnya begitu. Prinsip simbolik ini diketahui dan diterima baik oleh pihak yang menguasai dan yang dikuasai. Prinsip ini berupa bahasa, cara berpikir, cara kerja dan cara bertindak sehingga akan menentukan cara melihat, merasakan, berpikir, dan dalam individu bertindak.22

Manifestasi kekerasan simbolik ini bisa terjadi pada semua relasi sosial dalam realitas kehidupan. Dominasi simbolik ini memiliki efektivitas yang cukup tinggi dan aman karena yang terdominasi tidak menyadari kekerasan dan pemaksaan simboliknya, bahkan menerima dominasi tersebut sebagai

                                                                                                                         

21 Pengantar yang ditulis oleh Randal Johnson, dalam Pierre Bourdieu,

Arena Produksi Kultural, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2015), ix.

22 Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan

(25)

kebenaran yang absah sehingga taken for granted. Agar dominasi ini berjalan secara efektif, maka perlu dilakukan sosialisasi dan normalisasi secara terus-menerus sehingga simbol-simbol dan pemaknaan dari kelompok dominan dapat memperoleh penerimaan publik.

Teori ini dianggap tepat untuk membedah praktik pendidikan seni di Globalart yang di dalamnya terdapat konstruksi selera, karena untuk mendapatkan penerimaan publik, pendidikan merupakan salah satu alat ideologis kelompok dominan untuk menanamkan ide-ide hegemonisnya. Dalam konteks ini, Louis Althuser dalam Essays on Ideology, mengklasifikasikan kelompok ideologi menjadi dua, yakni aparat negara represif (presiden, menteri, tentara nasional, lembaga kehakiman) dan aparat negara ideologis (lembaga keagamaan, pendidikan, seni, LSM, media massa).23 Kelompok yang pertama berupaya mempertahankan dominasi kekuasaan lewat cara-cara represif, sementara yang kedua berusaha memperjuangkan dominasi lewat ide-ide.24

Pendidikan merupakan bagian dari struktur material dan institusi yang berperan dalam mengembangkan dan meyebarluaskan ide-ide hegemonis dari kepentingan tertentu

                                                                                                                         

23

http://www.unipune.ac.in/snc/cssh/ipq/english/IPQ/21-25%20volumes/22%2004/PDF/22-4-5.pdf, diunduh pada 16 November 2015, pukul 09.34.

(26)

sehingga diterima oleh masyarakat (publik). Dengan menggunakan bahasa dan simbol-simbol tertentu, ide-ide hegemonis dapat disebarluaskan dan mendapatkan penerimaan publik. Dengan mekanisme persuasif, bukan represif, pengetahuan dan kebenaran diproduksi dan direproduksi melalui pendidikan sehingga dominasi kekuasaan tertentu dapat berlangsung dan diterima masyarakat.

Dengan demikian, pendidikan merupakan sarana atau alat yang signifikan bagi kelompok dominan untuk menanamkan pengetahuan dan kepentingannya. Melalui berbagai program-program melalui pendidikan, konsep-konsep atau ide-ide diinternalisasikan kepada masyarakat secara terus-menerus dan bersifat persuasif. Sosialisasi, normalisasi, serta kontrol selalu dilakukan sehingga proses dominasi berjalan secara laten dan tanpa disadari konsumen media menerima ide-ide tersebut sebagai common sense.25

Di dalam buku Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984), Bourdieu meneliti preferensi estetis antara kelompok yang berlainan dalam sebuah masyarakat. Terkait dengan struktur kelas sosial, Bourdieu menyebut distinction

                                                                                                                         

25 Periksa buku Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), 216-239.

(27)

sebagai proses terbentuknya kelas melalui habitus.26 Distinction dalam ruang sosial ditunjukkan dengan menampilkan selera yang berbeda dari individu yang lain. Selera membantu memberikan pemahaman mengenai posisi seseorang di dalam tatanan sosial. Seseorang yang dibekali modal, gaya hidup, dan selera, memungkinkan menciptakan perbedaan status.

Selera menyatukan individu yang memiliki preferensi serupa seperti kelas atas dengan kelas atas, kelas menengah dengan kelas menengah, kelas bawah dengan kelas bawah, dan membedakan diri dari kelas yang dianggap mempunyai preferensi berbeda. Seseorang dapat mengklasifikasikan dirinya sendiri dan mengkategorikan orang lain menurut selera yang diperlihatkan. Melalui sebuah proses terwujudlah posisi, kelas, dan kekuasaan yang dimiliki oleh orang tua yang mengarahkannya pada selera gaya hidup yang berbeda dengan yang lain.

Bourdieu juga menjelaskan bagaimana selera dibentuk secara sosial dan sekaligus menjadi pembeda status sosial.27 Selera bukanlah sesuatu yang alamiah, tetapi produk konstruksi sosial yang dibentuk melalui pendidikan dan pengasuhan. Selera dibentuk melalui relasi antara habitus, modal, dan ranah.

Di dalam konteks ini, kelompok dominan dalam dunia

                                                                                                                         

26 Pierre Bourdieu, Distinction:A Social Critique of the Judgement of Taste, (New York: Routledge, 1984), 183-185.

(28)

pendidikan di Globalart melakukan kekerasan atau pemaksaan secara simbolik terhadap dunia anak, ketika pendidikan seni keluar dari hakikatnya, yaitu sebagai media bermain anak dengan imajinasinya. Maka dari itu, digunakan teori milik Herbert Read yang mengatakan bahwa pendidikan seni merupakan pendidikan kreatif yang menjadi dasar pengembangan manusia yang kesemuanya itu merupakan bentuk dari pendidikan estetika.28 Teori Herbert Read digunakan untuk mengkaji slogan think creative yang dimiliki Globalart dan melihat bagaimana slogan tersebut diimplementasikan dalam proses pendidikan seni di Globalart.

Teori Herbert Read di atas didukung oleh teori Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan anak. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa permainan anak adalah pendidikan.29 Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga menekankan kebebasan dalam pendidikan anak.30 Konsep-konsep pendidikan anak milik Ki Hadjar Dewantara tersebut digunakan untuk menganalisis proses pendidikan seni anak yang terjadi di Globalart.

                                                                                                                         

28 Herbert Read, 1970, 1 dan 11.

29 Ki Hadjar Dewantara, Buku I: Pendidikan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2004), 241-242.

30 “Ganjaran dan hukuman itu tidak diberikan, untuk menjaga jangan sampai anak biasa bertenaga hanya kalau ada untung (ganjaran) atau hanya takut akan mendapat hukuman”, Ki Hadjar Dewantara, 2004, 399-400.

(29)

F. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Peneliti menggunakan kualitatif karena peneliti bermaksud untuk mendeskripsikan, menginterpretasi, dan menganalisis kondisi-kondisi yang terjadi secara mendalam, tanpa mengubah fakta yang terjadi. Oleh karenanya, penelitian kualitatif juga disebut sebagai penelitian naturalistik, yang merupakan penelitian dengan melihat fakta yang ada di lapangan secara apa adanya.

Fokus dari penelitian ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang memengaruhi hakikat pendidikan seni anak. Relasi ini terpusat pada makna sehari-hari dari nilai, benda-benda material atau simbolis, norma yang digunakan untuk menjalani hidup sehari-hari. Sesuai dengan karakteristik tersebut, penelitian ini berusaha mendapatkan informasi yang mendalam mengenai habitus yang memengaruhi selera, dan kekerasan simbolik sebagai mekanismenya, yang terjadi dalam arena dunia pendidikan seni di Globalart. Maka dari itu, digunakanlah pendekatan studi kasus.31 Di dalam pendekatan studi kasus, data yang dihasilkan dari teknik pengumpulan data dengan wawancara lebih mendominasi. Hal tersebut bertujuan agar data yang diperoleh dapat membedah

                                                                                                                         

31 Pendekatan studi kasus adalah deksripsi dan analisis intensif terhadap sebuah fenomena, kasus, atau individu Eugene Zechmeister, dkk.,

(30)

dan menelaah secara detail dan mendalam mengenai kasus pendidikan seni lukis anak di Globalart.

1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek atau objek penelitian, tetapi oleh Spradley dinamakan sebagai situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergis.32 Situasi sosial tersebut dapat dinyatakan sebagai objek penelitian yang ingin dipahami secara mendalam tentang apa yang terjadi di dalamnya. Pada situasi sosial atau objek penelitian, peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas (activity) orang-orang (actors) yang ada pada tempat (place) tertentu.

Aktivitas penelitian ini adalah praktik pendidikan seni lukis anak yang bertempat di Globalart Yogyakarta.33 Yogyakarta dipilih karena Yogyakarta merupakan kota pelajar dan kota budaya, yang

                                                                                                                         

32 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), 297.

33 Anak dalam penelitian ini adalah anak usia 3-6 tahun yang masih tergolong pada masa kanak-kanak awal. Anak pada masa kanak-kanak awal, memiliki presentase perkembangan otak yang pesat, di mana anak pada usia 0-6 tahun mempunyai potensi perkembangan otak mencapai 80%, sedangkan pada usia 17-18 tahun hanya berkembang sebanyak 20%. Sementara itu, teori neurosains modern menyatakan bahwa pada masa pertumbuhan tersebut

(golden ages) memungkinkan anak untuk mengembangkan kreativitas dan juga

terjadi tahapan pra-operasional dalam perkembangan kognitif. Anak pada usia 3-6 tahun mulai menjelaskan dunia dengan kata-kata dan gambar, meningkatkan pemikiran simbolis serta mendapatkan kemampuan untuk menggambarkan secara mental sebuah objek yang tidak ada. Oleh karenanya, pada usia tersebut anak akan sering melakukan kegiatan seni sebagai media penuangan imajinasinya. Periksa John W. Santrock, 2007, 49 dan 160.

(31)

secara singkat dapat dikaitkan erat dengan dunia pendidikan seni. Globalart dipilih karena memiliki manajemen atau pengelolaan yang baik. Hal tersebut akan dicari relasinya dengan sisi artistik, ditinjau dari proses pendidikan seni anak di Globalart. Pelaku yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah manajemen, guru, dan orang tua, sedangkan pelaku sekunder adalah anak (murid) di Globalart.

Di dalam menentukan sumber data penelitian, digunakan teknik purposive yang merupakan teknik pengambilan sumber data berdasarkan tujuan penelitian yang akan diteliti. Kriteria-kriteria ini penting agar sumber data yang dipilih bersifat representatif terhadap situasi sosial dari penelitian sehingga valid dalam menentukan data. Agar memperoleh pemahaman yang lebih dalam untuk melengkapi data penelitian, peneliti dibantu oleh tujuh orang informan utama dengan rincian empat orang tua, dan tiga lainnya semuanya adalah guru, alumni guru Globalart, dan pemerhati anak. Tujuh orang tersebut dipilih berdasarkan justifikasi peneliti terhadap pengalaman dan pengetahuan mereka terhadap dunia pendidikan seni anak. Terdapat empat kriteria yang digunakan untuk memilih informan dalam penelitian ini. Kriteria pertama adalah waktu keterlibatan dalam dunia pendidikan seni anak di Globalart. Kriteria ini digunakan sebagai acuan tentang kemampuan dan ketepatan informan menjawab

(32)

pertanyaan yang diajukan. Kriteria kedua adalah motivasi masuk dunia pendidikan seni anak. Penggunaan kriteria ini bertujuan untuk melihat pola pilihan dan kepemilikan modal yang dimiliki informan untuk menjadikan dirinya berbeda. Kriteria ketiga adalah proses ‘pembelian’ yang telah dialami informan untuk mendapatkan prestise yang dipertaruhkan di Globalart. Kriteria ini digunakan untuk melihat pola-pola kekerasan simbolik yang terjadi ketika informan mempertaruhkan posisinya di Globalart. Kriteria keempat adalah peran informan dalam dunia pendidikan seni anak. Dengan menggunakan kriteria ini maka dapat diperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang dunia pendidikan seni anak. 2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dari teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Teknik ini merujuk pada pengumpulan data yang diperoleh melalui sejumlah literatur kepustakaan.

Sebelum melalukan observasi, peneliti menghimpun berbagai literatur yang berhubungan dengan perkembangan seni rupa di Yogyakarta, perkembangan pendidikan seni rupa di Yogyakarta, seni rupa anak di Yogyakarta, lomba seni rupa anak, kegiatan Globalart, kurikulum Globalart, dan prestasi Globalart yang terdapat di internet atau dokumen lain dan dinilai relevan dengan penelitian ini. Melalui studi pustaka tersebut akan

(33)

diperoleh gambaran atau pemetaan tentang bagaimana perkembangan dunia pendidikan seni rupa diwacanakan dan terepresentasikan dalam praktik pendidikan seni anak di Globalart.

Setelah diperoleh gambaran umum tentang pendidikan seni rupa anak di Globalart, peneliti melakukan studi ke lapangan penelitian untuk melakukan observasi. Observasi dilakukan untuk membuka wacana peneliti mengenai kasus yang diteliti. Selain itu peneliti juga dapat memperoleh gambaran secara lebih mendalam dari permasalahan yang diteliti. Observasi dilakukan di lingkungan Globalart (termasuk ketika Globalart menyelenggarakan lomba di mall). Melalui observasi dapat diperoleh data mengenai pendekatan pendidikan seni rupa anak, pengelolaan sanggar, dan proses berkarya anak Globalart.

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur, yaitu wawancara bersifat bebas di mana peneliti tidak perlu menggunakan daftar pertanyaan wawancara yang telah terstruktur secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data, namun peneliti tetap menggunakan pedoman wawancara berupa garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.34 Wawancara tidak terstruktur juga diharapkan mampu memberikan data yang

                                                                                                                          34 Sugiyono, 2011, 320.

(34)

akurat, karena informan memiliki kebebasan dan kesempatan untuk mengeluarkan pemikiran, pendapat, dan perasaannya tanpa diatur ketat oleh peneliti.35

Wawancara dilakukan terhadap ketujuh informan yang telah dipilih. Ketujuh orang informan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan kriteria pemilihan sumber data, dan dapat memberikan gambaran umum anggota Globalart sehingga dapat memberikan informasi yang mendalam berkaitan dengan habitus, dan modal-modal dalam arena dunia imajiner Globalart. Informan pertama adalah Melati (nama disamarkan) yang telah terlibat dalam dunia pendidikan seni di Globalart sejak 2011. Saat itu yang menjadi peserta didik di Globalart adalah anak pertamanya, dan dilanjutkan oleh anak keduanya di tahun 2014. Informan ini dianggap penting karena mengetahui secara umum perkembangan dan perjalanan Globalart di Yogyakarta. Selain alasan tersebut, Melati memiliki dua orang anak yang memiliki IQ di atas rata-rata. Keduanya pernah menjuarai olimpiade matematika di Singapura. Maka dari itu, sebagai penyeimbang otak kiri yang dianggap mendominasi anaknya, diikutsertakanlah anaknya ke Globalart. Informan ini dipilih juga berdasarkan pertimbangan motivasi memasukkan anaknya ke Globalart.

                                                                                                                         

35 S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 2003), 72.

(35)

Informan kedua adalah Mawar (nama disamarkan) yang memilih memasukkan anaknya ke Globalart karena dirinya tidak memiliki waktu untuk ‘mendidik’ anaknya di rumah. Mawar memiliki kesibukan sebagai wanita karir, sehingga waktunya di rumah sering digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan kantor. Mawar memberikan fasilitas pendidikan tambahan kepada anaknya dari hari Senin sampai Jumat, dari jam 15.00 sampai 20.30. Informan ini dianggap penting karena dapat mewakili orang tua modern yang gila kerja.

Informan ketiga adalah Lily (nama disamarkan), seorang wirausaha pakaian dan properti. Ketika antar-jemput anaknya di Globalart, Lily selalu menggunakan pakaian, dan beberapa kali menggunakan mobil yang berbeda. Dari hasil observasi, Lily merupakan sumber perhatian para orang tua lainnya di Globalart, dan yang paling dihormati di Globalart. Informan ini dianggap penting karena dianggap mampu mewakili gaya hidup modern orang tua di Globalart, dan dianggap memiliki modal ekonomi yang besar sehingga dianggap mampu menjelaskan pola konsumsi anggota Globalart secara lebih detail.

Informan keempat adalah Krisan (nama disamarkan) merupakan pasangan muda yang baru memasukkan anaknya ke Globalart selama 8 bulan. Informan ini dipilih karena dapat

(36)

memberikan gambaran tentang orang tua yang memberikan fasilitas pengembangan potensi anak. Selain itu informan ini dipilih atas pengalamannya sebagai anggota baru Globalart agar dapat diterima dan memperoleh posisi dalam dunia pendidikan seni di Globalart.

Selain empat orang informan di atas, terdapat tiga informan lainnya yang merupakan guru les privat, guru seni rupa anak, mantan guru di Globalart, dan pemerhati anak. Melanjutkan dari informan-informan di atas, informan kelima adalah Yuni (nama disamarkan) yang merupakan alumni dari universitas keguruan dan mantan guru di Globalart. Informan ini dipilih karena dianggap mengetahui secara detail bagaimana praktik pendidikan seni di Globalart berlangsung. Selain itu, Yuni dianggap mampu memberikan data yang akurat baik dalam pendidikan seni sampai manajemen di Globalart, mengingat dirinya pernah menjadi anggota Globalart.

Informan keenam adalah Yudi (nama disamarkan), seorang guru seni anak. Yudi dipilih karena pengalamannya di bidang pendidikan seni anak non-formal. Yudi memiliki cara mengajar yang menjadikan anak sebagai subjek. Hal ini menjadi menarik karena trend kesekarangan di mana guru sering menjadikan anak sebagai objek pendidikan. Maka terkait penelitian ini, Yudi diharapkan mampu memberi perspektif yang berbeda dari guru

(37)

pendidikan seni anak non-formal.

Informan ketujuh adalah Yuki (nama disamarkan), seorang guru senior yang telah lama mendedikasikan dirinya untuk pendidikan seni anak. Selain itu, Yuki juga merupakan salah satu pendiri sanggar di Yogyakarta. Pengalaman Yuki dalam dunia pendidikan seni anak menjadi alasan dirinya dipilih sebagai informan.

Selain tujuh informan di atas, wawancara juga dilakukan terhadap front office Globalart, para pemerhati seni anak, dan guru-guru sanggar lain yang dijumpai ketika penelitian berlangsung. Setelah dilakukan wawancara maka data yang diperoleh akan digunakan untuk mengeksplorasi tidak hanya pengalaman dari anggota Globalart tersebut tapi juga kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan pengalaman serta perilaku sosial terjadi. Dengan menggunakan metode ini, perilaku anggota Globalart dapat dilihat tidak hanya sebagai suatu tindakan yang ditentukan oleh struktur atau agen saja, tapi juga dapat dilihat relasi diantara keduanya. Dengan demikian penelitian ini lebih berfokus pada proses yang diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih lengkap dan mendalam tentang berbagai aspek yang diteliti seperti tentang relasi sosial dalam membentuk praktik reproduksi dan konsumsi citra simbolik melalui program pendidikan seni di Globalart.

(38)

Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan tersebut, data yang diperoleh akan dianalisis berdasarkan peran-peran setiap pelaku dalam arena pendidikan seni di Globalart dan/atau di pendidikan seni saat ini yang dilengkapi dengan analisis data-data sekunder yang relevan. Dengan demikian akan diperoleh pemahaman tentang relasi yang terjadi pada arena tersebut. Untuk mengetahui mekanisme kekerasan simbolik dari pendidikan seni anak di Globalart, analisis wawancara akan digabungkan dengan analisis pada beberapa tanda-tanda yang umum digunakan dan dilihat oleh para anggota Globalart seperti brosur, slogan, prestasi, alat dan bahan khas Globalart, lukisan anak khas Globalart, pola mengajar, pola pendidikan seni di Globalart, iklan, seragam serta keseragaman Globalart.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan skema interaktif milik Miles dan Huberman. Analisis data Miles dan Huberman digunakan secara serempak mulai dari proses pengumpulan data, reduksi data yang

(39)

didalamnya terdapat identifikasi dan klasifikasi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.36

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari 4 Bab. Pembahasan dalam Bab I yaitu pendahuluan yang merupakan pengantar berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi tentang prestise yang dilakukan agen sosial melalui pendidikan seni rupa anak di Globalart. Bahasan pertama pada Bab II adalah bagaimana Globalart mengkonstruksi selera kaum borjuis, mengingat Globalart merupakan gambaran sanggar kelas menengah ke atas di Yogyakarta. Bahasan kedua diawali dengan peneliti yang melihat Globalart yang berada dalam struktur kelas yang di dalamnya terdapat kelas-kelas pula. Maka dari itu, akan dibahas mengenai konfigurasi modal dalam mencapai posisi dominan di Globalart sebagai arena sosial. Setelah semua teridentifkasi dan terjabarkan dengan jelas, maka pembahasan dilanjutkan pada persaingan para agen sosial di Globalart.

                                                                                                                         

36 Milles & Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), 15-21.

(40)

Bab III membahas mengenai implementasi atas komodifiaksi pendidikan seni rupa anak di Globalart. Kekerasan simbolik terjadi sebagai mekanisme konstruksi selera oleh para agen, selain untuk menempati posisi dominan dalam suatu arena sosial, juga sebagai upaya unutk menyamakan selera para anggotanya. Para agen menyingkirkan hakikat pendidikan seni rupa anak, dan mengutamakan bagaimana citra dirinya terbentuk melalui pendidikan seni rupa anak yang ditinjau dari perspektif prestise. Lebih lanjut, Bab ini akan mempertanyakan ‘kreativitas’ yang merupakan implikasi dari konstruksi selera dalam pendidikan seni yang terjadi di Globalart, yang pada akhirnya akan mempertanyakan pula posisi anak dalam pendidikan seni. Terakhir, Bab IV berisi kesimpulan tentang bagaimana proses konstruksi selera di Globalart dan dinamika kekerasan simbolik sebagai mekanismenya.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengolahan data yang dilakukan yaitu pemeriksaan (editing), (coding), dan tabulasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis tabel frekuensi

Analisis komponen utama (AKU) terhadap rataan spektrum inframerah yang dihasilkan dari kombinasi segitiga kisi 6 ekstrak SDSBL menghasilkan jumlah proporsi kumulatif KU 1 dan KU

Keseimbangan labil : Sebuah pararel epipedum miring ( balok miring ) yang bidang diagonalnya AB tegak lurus pada bidang alasnya diletakkan diatas bidang datar, maka ia dalam

Dari hasil pengujian yang dapat dilihat dari Tabel 4.11 diatas tahap pengujian yang menunjukkan rata-rata nilai error terkecil adalah pada percobaan jumlah

Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila aparat yang berwenang telah menjatuhkan

Oleh karena itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau substansial dan syarat yang sangat mendasar adalah

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk merancang campuran beton mutu tinggi dengan bahan tambah superplasticizer dan

Dalam teks, muncul kata-kata tertentu yang dominan dan dinaturalisasikan kepada pembaca. Kata tersebut selalu diulang-ulang dalam berbagai peristiwa tutur. Kata-kata