• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah lahan rawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "makalah lahan rawa"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN

PENDIDIKAN DAN KEBU

DAN KEBUDAYAAN

DAYAAN

JURUSAN TEKNIK SIPIL

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS RIAU

FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS RIAU

Kampu

Kampus Bina Widys Bina Widya KM. 12,5 Sima KM. 12,5 Simpang Bapang Baruru -- PekanPekanbarubaru

 MAKALAH PLB

 MAKALAH PLB

 Lahan Rawa

 Lahan Rawa

Teknik Sipil

Teknik Sipil

 – 

 – 

 Universitas Riau

 Universitas Riau

DISUSUN OLEH:

DISUSUN OLEH:

A

AN

ND

DI

I W

WIIJ

JA

AY

YA

A

((1

11

10

07

71

11

14

43

36

65

5))

AR

ARI

I VER

VERA

A IND

INDRA

RA (110

(1107111

7111953

953))

NOP

NOPEMB

EMBER

ER TON

TONI

I (110

(1107111

7111965

965))

KELAS A

KELAS A

DOSEN PEMBIMBING:

DOSEN PEMBIMBING:

Ir Siswanto ,MT

Ir Siswanto ,MT

APRIL 2014

APRIL 2014

(2)

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah kesehatan dan kesempatan kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah Pengembangan Lahan Basah ini.

Pengembangan Lahan Basah ini.

Makalah ini bertujuan untuk memberikan pandangan kepada teman-teman Makalah ini bertujuan untuk memberikan pandangan kepada teman-teman mahasiswa tentang fungsi ekologis lahan rawa.

mahasiswa tentang fungsi ekologis lahan rawa.

Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing Ir Siswanto MT yang Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing Ir Siswanto MT yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini. Dan telah memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini. Dan  juga kepada

 juga kepada teman-teman yang teman-teman yang berperan penting daberperan penting dalam penyelesaialam penyelesaian makalah ini.n makalah ini. Penyusun menyada

Penyusun menyadari bahwa ri bahwa menyelesaikamenyelesaikan makalah ini n makalah ini masih terdapat banyak masih terdapat banyak  kekurangan dan kesalahan. Untuk itu,

kekurangan dan kesalahan. Untuk itu, penyuspenyusun mengharapkan masukan dan kritikanun mengharapkan masukan dan kritikan yang sifatnya membangun dalam penyempurnaan makalah ini.

yang sifatnya membangun dalam penyempurnaan makalah ini. Semo

Semoga makaga makalahlah ini dapaini dapat bermant bermanfaat bagfaat bagi rekan-rei rekan-rekan mahkan mahasisasiswa danwa dan penulis di kemudian hari.

penulis di kemudian hari.

Peka

Pekanbarnbaru, Aprilu, April 20142014

Penyusun Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN ... BAB II PEMBAHASAN ... BAB III KESIMPULAN ... DAFTAR PUSTAKA...

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki lahan rawa terluas di kawasan tropika dengan bahan sedimen yang terdiri atas tanah mineral, tanah gambut, atau kombinasi keduanya. Diperkirakan rawa yang ada di Indonesia layak untuk budidaya pertanian. Lahan rawa yang cocok untuk budidaya tanaman umumnya adalah yang bebas dari pirit minimal di zona perakaran, dan gambut tipis yang tetap bersifat hidrofilik. Lahan rawa merupakan lahan alternatif untuk  pengembangan pertanian. Lahan rawa terdiri atas lahan pasang surut dan lahan lebak. Sejarah pemanfaatan rawa dilatarbelakangi oleh kondisi kekurangan pangan yang dialami Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan

Lahan rawa (lebak dan pasang surut) memiliki potensi besar untuk  dijadikan pilihan strategis guna pengembangan areal produksi pertanian kedepan yang menghadapi tantangan makin kompleks, terutama untuk  mengimbangi penciutan lahan subur maupun peningkatan permintaan produksi, termasuk ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis

Pemanfaatan lahan rawa masih sangat terbatas akibat keterbatasan teknologi dan varietas. Untuk memanfaatkan lahan rawa tersebut, diperlukan teknologi yang dapat menghadapi permasalahan serius.

1.2 Rumusan Masalah

Hal-hal yang dibahas di dalam makalah ini yaitu : a. Pengertian lahan rawa

b. Klasifikasi wilayah rawa c. Luas lahan rawa

d. Potensi Lahan Rawa

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1

Lahan Rawa

Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis.

Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan perairan, selalu tergenang sepanjang tahun atau selama kurun waktu tertentu, genangannya relatif dangkal, dan terbentuk karena drainase yang terhambat.

Indonesia memiliki lahan rawa terluas di kawasan tropika dengan bahan sedimen yang terdiri atas tanah mineral, tanah gambut, atau kombinasi keduanya. Luas total lahan rawa belum dapat diidentifikasi secara pasti, ada yang menyebut luas lahan gambut Indonesia 34 juta ha, dan ada yang mengatakan 27,7 juta ha. Diperkirakan rawa yang layak untuk budidaya pertanian sekitar 6 - 7 juta ha. Lahan rawa yang cocok untuk budidaya tanaman umumnya adalah yang bebas dari pirit minimal di zona perakaran, dan gambut tipis yang tetap bersifat hidrofilik. Rawa yang tidak cocok untuk dikembangkan umumnya berupa gambut tebal dan tanah sulfat masam/berpirit pada jeluk yang dangkal.

Ekosistem lahan rawa bersifat rapuh yang rentan terhadap perubahan baik oleh karena alam (kekeringan, kebakaran, kebanjiran) maupun karena kesalahan pengelolaan (reklamasi, pembukaan, budidaya intensif). Jenis tanah di kawasan rawa tergolong tanah bermasalah yang mempunyai beragam kendala. Misalnya, tanah gambut mempunyai sifat kering tak balik dan mudah ambles. Tanah gambut mudah berubah menjadi bersifat hidrofob apabila mengalami kekeringan. Gambut yang menjadi hidrofob tidak dapat lagi mengikat air dan hara secara optimal seperti kemampuan semula. Selain itu, khusus tanah suffidik dan tanah sulfat masam mudah berubah apabila teroksidasi. Lapisan tanah (pirit) yang teroksidasi mudah berubah menjadi sangat masam (pH 2-3) dan meningkatnya kelarutan.

Ekosistem lahan rawa memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem lainnya. Lahan rawa dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut dan

(6)

lahan rawa non pasang surut (lebak). Lahan rawa pasang surut adalah lahan yang airnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut atau sungai, sedangkan lahan lebak adalah lahan yang airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang turun di wilayah setempat atau di daerah lainnya disekitar hulu.

Pengembangan lahan rawa mempunyai banyak keterkaitan dengan lingkungan yang sangat rumit karena hakekat rawa selain mempunyai fungsi produksi juga fungsi lingkungan. Apabila fungsi lingkungan ini menurun maka fungsi produksi akan terganggu. Oleh karena itu perencanaan pengembangan rawa harus dirancang sedemikian rupa untuk memadukan antara fungsi lahan sebagai produksi dan penyangga lingkungan agar saling menguntungkan atau konpensatif. Rancangan semacam inilah yang memungkinkan untuk tercapainya pertanian berkelanjutan di lahan rawa.

Fungsi air di lahan rawa antara lain:

a) sebagai tandon air di musim hujan, terutama di rawa belakang (backswamp);

b) sebagai pelepas air secara perlahan lahan bilamana sumber air hujan/debit air sungai menurun di musim kemarau (aliran dari rawa belakang ke sungai);

c) untuk mempertahankan suasana reduksi bilamana aliran lateral dalam tanah (seepage) sangat lambat. Di daerah rawa yang belum direklamasi, fungsi ini berjalan sangat bagus. Kelebihan air akan mengalir ke luar rawa melalui aliran permukaan yang terakumulasi dalam saluran alami sempit yang melebar ke arah sungai.

Pengelolaan air di lahan rawa dapat diartikan sebagai pemanfaatan air secara tepat untuk keperluan domestik, meningkatkan produksi tanaman, antara lain untuk kebutuhan evapotranspirasi, pembuangan kelebihan air, mencegah terbentuknya bahan toksik dan melindi elemen toksik yang terjadi, serta mencegah penurunan muka tanah. Pengelolaan air ini sebetulnya mencakup kuantitas dan kualitas yang diinginkan oleh tanaman yang dibudidayakan dan rumah tangga.

(7)

2.2 Klasifikasi Wilayah Rawa

Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, dan cekungan-cekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran banjir sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau. Mereka tersebar di dataran rendah, dataran berketinggian sedang, dan dataran tinggi. Lahan rawa yang tersebar di dataran berketinggian sedang dan dataran tinggi, umumnya sempit atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang terdapat di dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan.

Pada kedua wilayah terakhir ini, karena posisinya bersambungan dengan laut terbuka, pengaruh pasang surut dari laut sangat dominan. Di bagian muara sungai dekat laut, pengaruh pasang surut sangat dominan, dan ke arah hulu atau daratan, pengaruhnya semakin berkurang sejalan dengan semakin jauhnya  jarak dari laut. Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu

pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992), dan agak  mendetail oleh Subagyo (1997). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah:

Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar

Zona Ill : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut 2.2.1 Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau

Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulau-pulau delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana pengaruh pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai “tidal wetlands”, yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin.

Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air payau ini, di pantai timur pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi,

(8)

dan Riau, umumnya masuk ke dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai besar sejauh dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah ini, karena pengaruh air laut/salin atau air payau, tanahnya mengandung garamgaram yang tinggi, dikatagorikan sebagai tipologi lahan salin, dan tidak  sesuai untuk lahan pertanian.

Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke arah hulu dari muara sungai, tergantung dari bentuk  estuari, yaitu bagian muara sungai yang melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air pasang dan surut terjadi. Jika bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapat mencapai sekitar 10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila relative sempit dan sungai berkelok, pengaruh air asin/salin hanya mencapai  jarak 5-10 km dari muara sungai. Sementara dari laut/ sungai ke arah daratan

Pulau Delta, atau ke arah wilayah pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat mencapai sekitar 4-5 km.

2.2.2 Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar

Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu sungaI. Di wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari ( semi diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin/salin, yang dominan adalah pengaruh air-tawar ( fresh-water ) dari sungai sendiri. Walaupun begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai.

Di daerah tropika yang beriklim munson, yang dicirikan oleh adanya musim hujan dan musim kemarau, di musim hujan ditandai oleh volume air sungai yang meningkat, berakibat bertambah besarnya pengaruh air pasang ke daratan kirikanan sungai besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan air pasang ke arah hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan yang dibawa air pasang, mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai. Pengendapan bahan halus yang terjadi secara periodik selama ber-abad-abad akhirnya membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural levee), yang jelas

(9)

terlihat ke arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena pengaruh pasang surut, ke arah hilir dan di muara sungai besar.

Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai, tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan kelak-kelok  sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai contoh, kota Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih terasa, tetapi relative sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di muara Anjir Talaran di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, yang berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut relatif masih agak  kuat.

Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim kemarau pada tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S. Inderagiri: 146 dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara sungai. Di Kalimantan, S. Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan S. Barito 158 dan 68 km dari muara sungai. Di Papua, S. Mamberamo: 30 dan 8 km, S. Lorenz (pantai selatan, barat Agats) 103 dan 63 km, dan S. Digul (barat Merauke) 272 dan 58 km dari muara sungai (Nedeco/Euroconsult-Biec,1984). 2.2.3 Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan dimulai di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut. Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai bagian tengah pada sungai-sungai besar. Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir ( floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya, sampai dataran banjir bermeander ( meandering floodplains), termasuk bekas aliran sungai tua (old river beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes) pada sungai-sungai besar yang lebih tua perkembangannya. Pengaruh sungai yang sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman, yang menggenangi dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar. Peningkatan debit sungai yang sangat besar selama musim hujan, "verval" sungai atau perbedaan penurunan tanah dasar sungai yang rendah, sehingga

(10)

aliran sungai melambat, ditambah tekanan balik arus air pasang dari muara, mengakibatkan air sungai seakan-akan "berhenti" (stagnant ), sehingga menimbulkan genangan banjir yang meluas. Tergantung dari letak dan posisi lahan di landscape, genangan dapat berlangsung dari sekitar satu bulan sampai lebih dari enam bulan. Sejalan dengan perubahan musim yang ditandai dengan berkurangnya curah hujan, genangan air banjir secara berangsur-angsur akan surut sejalan dengan perubahan musim ke musim kemarau berikutnya.

(11)

2.3 Luas Lahan Rawa

Belum seluruh wilayah lahan rawa di Indonesia diteliti cukup intensif. Dari ketiga pulau besar, Sumatera, Kalimantan, dan Papua, hanya lahan rawa pasang surut di pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung) telah banyak diteliti dan dipetakan tanahnya antara tahun 1969-1980 dalam rangka pelaksanaan P4S (Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut), Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (sekarang, Departemen Kimpraswil). Seluruh wilayah Pulau Sumatera, termasuk wilayah lahan rawanya, kemudian dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau oleh proyek  LREP-I ( Land Resource Evaluation and Planning Project ) Pusat Penelitian Tanah (sekarang Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian), antara tahun 1986-1990.

Di Papua, baru wilayah di sekitar Merauke, yakni daerah S. Digul-Kabupaten Merauke, dan daerah S. Digul-Pantai Kasuari, seluas 3,7 juta ha sudah dipetakan pada tingkat tinjau oleh Pusat Penelitian Tanah untuk  pengembangan wilayah di tempat tersebut (Puslittan, 1985, 1986). Wilayah rawa lainnya, seperti di sekitar Teluk Berau-Bintuni, dan di pantai utara pulau antara Nabire dan Sarmi belum pernah diteliti tanahnya. Tim peneliti Nedeco/Euroconsult-Biec yang melakukan “Nationwide study of coastal and  near coastal swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya” pada tahun 1982-1984, diperkirakan pernah meneliti sebagian lahan rawa, khususnya di pantai selatan Pulau Papua ini. Selama pelaksanaan P4S antara tahun 1969-1984, lahan rawa di Papua belum sempat tertangani oleh pemerintah pusat.

Oleh karena tidak lengkapnya data dan informasi lahan rawa, maka data luas lahan rawa di Indonesia belum dapat ditentukan secara lebih pasti dan akurat. Luas lahan rawa masih bersifat perkiraan, dan estimasi yang dilakukan oleh beberapa peneliti atau instansi lain, menunjukkan luas lahan rawa yang bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 1.1

Data luas lahan rawa pertama kali dikemukakan oleh Mulyadi (1977), yaitu sekitar 39,42 juta ha, sudah termasuk lahan rawa lebak. Data ini kemudian digunakan oleh Direktorat Rawa, Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat Rawa, 1992; Sugeng, 1992) untuk perencanaan pengembangan lahan rawa.

(12)

Sementara itu, Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) bekerja sama dengan Direktorat Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum melaksanakan studi nasional lahan pantai di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), tidak  termasuk pulau Sulawesi, memperoleh luas lahan rawa di ketiga pulau tersebut sebesar 23,5 juta ha.

Selanjutnya, Subagyo et al. (1990) dalam Studi ''wetsoils" di Indonesia, memperoleh luas lahan basah, termasuk lahan sawah di empat pulau besar plus Maluku sebesar 43.124.250 ha. Apabila dikurangi luas lahan sawah di lima pulau/kepulauan tersebut, seluas 4.027.102 ha (data BPS, 2000), maka diperoleh luas lahan rawa seluas 39.097.148 ha.

Studi yang lebih mendetail dilakukan Nugroho et al. (1991) untuk  menentukan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai di Indonesia. Dengan menggunakan peta dasar "Tactical Ploatage Chart" (TPC) berskala 1:500.000 yang berjumlah 49 lembar, dan berbagai sumber informasi, utamanya dari Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), peta-peta satuan lahan dan tanah P. Sumatera dan LREP-I 1990, peta-peta sistem lahan dan RePPProT 1991, dan berbagai peta tanah dari dokumentasi Puslittanah dan Agroklimat, diperoleh luas lahan rawa 33.413.560 ha.

(13)

2.5

Potensi Lahan Rawa

Dari segi ekonomi lahan rawa mempunyai keragaman lingkungan fisik, sifat dan watak tanah, kesuburan tanah, dan tingkat produktivitas lahan. Sebagai akibatnya keragaman hasil produksi tanaman dan pendapatan petani akan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya, terlebih lagi apabila terdapat perbedaan dalam pemberian masukan, teknologi budidaya dan pengelolaan lahan. Lahan rawa berpotensi menjadi alternatif yang potensial diusahakan, umumnya untuk bidang pertanian.

(14)

Pemanfaatan hutan rawa utamanya lahan gambut untuk  pengembangan pertanian tanaman pangan dan perkebunan menghadapi kendala yang cukup berat, terutama dalam mengelola dan mempertahankan produktivitas lahan. Keberhasilan pengembangan lahan gambut di suatu wilayah tidak menjadi jaminan bahwa di tempat lain akan berhasil pula.

Pemanfaatan lahan yang tidak cermat dan tidak sesuai dengan karakteristiknya dapat merusak keseimbangan ekologis wilayah. Berkurang atau hilangnya kawasan hutan rawa gambut akan menurunkan kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan banjir pada musim hujan serta kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau. Upaya pendalaman saluran untuk mengatasi banjir, dan pembuatan saluran baru untuk mempercepat pengeluaran air justru menimbulkan dampak yang lebih buruk,yaitu lahan pertanian di sekitarnya menjadi kering dan masam, tidak produktif, dan akhirnya menjadi lahan tidur, bongkor, dan mudah terbakar. Hutan rawa gambut mempunyai nilai konservasi yang sangat tinggi dan fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi hidrologi,cadangan karbon, dan biodiversitas yang penting untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa. Jika ekosistemnya terganggu maka intensitas dan frekuensi bencana alam akan makin sering terjadi, bahkan lahan gambut tidak hanya dapat menjadi sumber CO2, tetapi juga gas rumah kaca lainnya seperti metana (CH4) dan nitrousoksida (N2O).

Pengembangan lahan gambut untuk pertanian menghadapi banyak  kendala, antara lain: (1) tingkat kesuburan tanah rendah, pH tanah masam, kandungan unsur hara NPK relatif rendah, dan kahat unsur mikro Cu, Bo, Mn dan Zn; (2) penurunan permukaan tanah yang besar setelah di-drainase; (3) daya tahan (bearing capa-city) rendah sehingga tanaman pohon dapat tumbang, dan; (4) sifat mengkerut tak balik, yang dapat menurunkan daya retensi air dan membuatnya peka erosi.Sehubungan dengan hal itu, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian pada awalnya memerlukan investasi yang besar.

Potensi dan Kesesuian Lahan Rawa Gambut untuk Pertanian

Potensi lahan gambut untuk pengembangan pertanian dipengaruhi oleh kesuburan alami gambut dan tingkat manajemen usaha tani yang diterapkan. Produktivitas usaha tani lahan gambut pada tingkat petani, dengan input rendah sampai sedang, berbeda dengan produktivitas lahan gambut

(15)

dengan tingkat manajemen tinggi yang biasanya diterapkan oleh swasta atau perusahaan besar. Tanaman yang dapat digunakan untuk memanfaatkan lahan rawa gambut misalnya :

a. Padi Sawah

Lahan rawa gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah tanah bergambut (teballapisan gambut 20-50 cm) dan gambutdangkal (0,5-1,0 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m). Lahan rawa gambut dengan ketebalan lebih dari 2 m tidak sesuai untuk padi; tanaman tidak  dapat membentuk gabah karena kahat unsur mikro, khususnya Cu.

b. Tanaman Palawija, Hortikultura, dan Tanaman Lahan Kering Semusim Lahan rawa gambut yang sesuai untuk tanaman pangan semusim adalah gambut dangkal dan gambut sedang (ketebalan gambut 1-2 m). Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu dalam dan turun secara drastis, serta mencegah terjadinya gejala kering tak balik, penurunan permukaan gambut yang berlebihan danoksidasi lapisan yang mengandung bahan sulfidik (pirit).

Penggunaan lahan rawa pasang surut yang bertopografi datar untuk  tanaman pangan lahan kering umumnya dengan menerapkan sistem ’surjan’. Dalam sistem ini, lahan secara bersamaan dimanfaatkan untuk  padi sawah (pada tabukan) dan tanaman lahan kering (pada pematang).Tujuan utamanya adalah untuk memanfaatkan lahan secara optimal melalui pengelolaan air yang tepat. Pengembangan surjan memberikan keuntungan komparatif berupa: (1) produksi lebih stabil, terutama untuk tanaman padi; (2) pengelolaan tanah dan pemeliharaan tanaman lebih murah; (3) intensitas tanaman lebih tinggi; dan (4) kemungkinan diversifikasi lebih besar.Pembuatan surjan di lahan rawa perlu memperhatikan beberapa faktor, yaitu kedalaman lapisan bahan sulfidik (pirit), tipe luapan air, ketebalan gambut, dan peruntukan lahan atau jenis komoditas yang akan dikembangkan.

c. Tanaman Tahunan/Perkebunan

Lahan rawa gambut yang sesuai untuk tanaman tahunan/perkebunan adalah yang memiliki ketebalan gambut 2-3 m. Beberapa tanaman yang dapat tumbuh baik adalah lain, karet, kelapa sawit, kopi, kakao, rami dan sagu. Seperti pada tanaman semusim, pengelolaan air pada tanaman

(16)

perkebunan perlu diperhatikan dengan seksama. Pengeluaran air secara berlebihan akan menyebabkan gambut menjadi kering dan berpotensi mudah terbakar. Untuk menjaga keseimbangan ekologis, kedalaman saluran drainase untuk tanaman karet disarankan sekitar 20 cm dan untuk  tanaman kelapa sawit maksimal 80 cm. Pada lahan rawa gambut dengan ketebalan lebih dari 3 m, tanpa input dan manajemen tingkat tinggi, tanaman tidak produktif. Pemanfaatan lahan gambut dalam, lebih dari 3 m, untuk pengembangan pertanian menghadapi berbagai kendala, terutama pada tingkat manajemen rendah sampai sedang. Pertumbuhan tanaman terganggu karena kesuburan tanah rendah dan kahat unsur hara mikro, di samping kesulitan dalam mendesain saluran drainase. Tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit, masih dapat dikembangkan pada lahan rawa gambut yang tidak terlalu dalam bila disertai dengan pengelolaan air yang memadai dan pemberian amelioran.

2.6 Upaya Peningkatan Produktivitas Lahan Rawa

Produktivitas lahan rawa dapat ditingkatkan melalui pendekatan varietas, pengelolaan hara dan air serta penataan lahan. Bila dilakukan optimalisasi lahan rawa dengan teknologi inovasi baru khusus untuk lahan rawa. Untuk meningkatkan produktivitas pertanian di lahan rawa diperlukan pendekatan yang holistik menyangkut aspek perbaikan agrofisik lahan (tanah, air, dan tanaman) dan kemampuan sosial ekonomi (modal, kelembagaan, dan adaibudaya). Keragaman hasil yang dicapai pertanian lahan rawa cukup memadai walaupun masih beragam akibat keberagaman dari sifat agrofisik  lahan (tipologi lahan, tipe luapan, mintakat perairan), teknologi pengelolaan, dan penggunaan masukan (input) seperti varietas, kapur, pupuk, dan lainnya.

Produktivitas tanaman yang dapat dicapai di lahan rawa tergantung pada tingkat kendala dan ketepatan pengelolaan. Namun seperti pada umumnya petani, penanganan pasca panen, termasuk pengelolaan hasil masih lemah, terkait juga dengan pemasaran hasil yang terbatas sehingga diperlukan dukungan kelembagaan yang baik dan profesional serta komitmen pemerintah propinsi/kabupaten dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani rawa.

(17)

Selain tanaman pangan (padi, palawija, dan umbi-umbian) dan perkebunan (karet, kelapa, kelapa sawit), beberapa tanaman sayur-mayur (kubis, tom at, selada, dan cabai) dan buah-buah seperti rambutan, yang memadai dengan pengelolaan yang baik.

Pengelolaan secara hati-hati dari berbagai aspek sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pemanfaatan rawa. Teknologi pengelolaan lahan rawa meliputi :

(1) Pengelolaan air;

Pengelolaan air yang tepat merupakan kunci keberhasilan pengelolaan lahan rawa.

Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air dibedakan menjadi :

a. pengelolaan air makro yaitu penguasaan air pada tingkat kawasan reklamasi dan

b. pengelolaan air mikro, yaitu pengaturan air pada tingkat tersier dan petak petani.

(2) Pengolahan tanah;

a. biasanya tanah mineral di lahan rawa itu lembek atau sudah melumpur di waktu lahan digenangi.

b. oleh karena itu petani biasanya hanya menggunakan tajuk atau melaksanakan pengolahan tanah minimum. Namun ada lahan yang telah lama dibuka biasanya tanahnya telah mengeras membentuk  bongkah-bongkah.

(3) ameliorasi dan pemupukan; (4) Pola tanam ;

(5) Pemberantasan hama dan penyakit;

a. hama dan penyakit ini mampu mengagalkan panen sampai 100%. Karenanya pengendalian hama dan penyakit untuk menjaga produktivitas sangat diperlukan.

b. faktor penting teknis produksi untuk meningkatkan produktivitas sawah di lahan rawa adalah pengendalian hama dan penyakit. Kondisi lahan rawa yang panas dan lembab sangat cocok bagi perkembangan hama dan penyakit tanaman. Hama-hama penting di sawah rawa adalah

(18)

tikus, wereng coklat dan penggerek batang untuk padi dan penggerek  polong untuk kedelai.

(6) Panen dan pasca panen.

Pemanfaatan lahan rawa yang bijak serta pengelolaan yang serasi dengan karakteristik, sifat dan perilakunya serta didukung oleh pembangunan prasarana fisik (terutama tata air), sarana, pembinaan sumberdaya manusia dan penerapan teknologi spesifik lokasi diharapkan dijadikan dasar pengembangan lahan rawa secara lestari dan berwawasan lingkungan. Konsep pemanfaatan rawa sebaiknya berupa pengubahan peruntukan tanpa harus mengubah fungsi rawanya. Kalau mengubah fungsi (tandon air) rawa, maka rawa menjadi lahan kering (tadah hujan) yang kualitas lahan keringnya tidak sama dengan lahan kering bentukan alam.

Permasalahan yang selama ini ditemui dalam pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian adalah:

1) sistem tata air yang belum terkendali, 2) rendahnya tingkat kesuburan tanah,

3) masalah biologi berupa gangguan hama, penyakit dan gulma,

4) masalah sosial ekonomi seperti tenaga kerja, keterbatasan modal, tingkat pendidikan, pemberdayaan petani, kelembagaan, status tanah, tenaga penggarap, koordinasi, serta sarana dan prasarana yang kurang memadai.

(19)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Indonesia memiliki lahan rawa terluas, hal ini dapat dimanfaatkan karena lahan rawa merupakan lahan alternatif untuk dikembangkan khususnya di bidang pertanian. Lahan rawa memiliki potensi yang sangat besar untuk  dimanfaatkan, hal ini dapat dilihat dari sifat dan karakteristik lahan rawa yang merupakan lahan peralihan diantara sistem daratan maupun sistem perairan, sepanjang tahun atau dalam waktu yang panjang dalam setahun selalu tergenang air, permukaan air tanahnya dangkal, topografinya relatif datar, dan sebagian besar lahan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa harus dengan pengelolaan yang baik dan secara hati-hati dari berbagai aspek untuk  mendukung keberhasilan pemanfaatan rawa. Teknologi pengelolaan lahan rawa meliputi :

(1) pengelolaan air; (2) pengolahan tanah;

(3) ameliorasi dan pemupukan; (4) pola tanam;

(5) pemberantasan hama dan penyakit; (6) panen dan pasca panen.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

http://henggarrisa.wordpress.com/2012/11/29/sekilas-tentang-rawa/ 

http://faulinamilianieali.blogspot.com/2012/01/produktivitas-lahan-rawa.html

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Departemen Pertanian, 2006

Referensi

Dokumen terkait

menggunakan sandhangan mandaswara (pengkal). Hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa kurangnya pemahaman serta daya tarik siswa dalam mempelajari sandhangan mandaswara

Berdasarkan penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d yang dimaksud dengan jaksa dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu yang diatur oleh undang- undang ialah

3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang telah disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh

Sarana ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga yang diperuntukan untuk 2500-7000 jiwa tang terdapat di Villa Kota Bunga menurut peraturan adalah taman atau

1 1 10 18 Pendidikan dan pelatihan keterampilan Jumlah peserta pencari kerja yang Tamansari 20 orang 79,078,000 APBD II Prioritas 40 orang 160,000,000. bagi pencari

Perolehan asam lemak tertinggi dicapai pada hidrolisis dengan penambahan volume buffer 5% terhadap air yang ditambahkan, suhu reaksi 50°C dan rasio air dedak 1:5

Kesimpulannya, asas percukaian yang lebih meluas serta yang dikenakan pada satu kadar melalui pengenalan GST akan memudahkan kerajaan mengurus dan mentadbir sistem tersebut dan ia

Jawab: yaitu dengan meyakini bahwa Allah SWT itu mempunyai sifat maha berbicara (kalam) dan sesungguhnya Berbicaranya Allah SWT itu tidaklah sama dengan berbicaranya kita