• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 SEMIOTIKA BAHASA PAMFLET. Semiotika adalah ilmu tentang tanda, istilah ini berasal dari kata Yunani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 SEMIOTIKA BAHASA PAMFLET. Semiotika adalah ilmu tentang tanda, istilah ini berasal dari kata Yunani"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

SEMIOTIKA BAHASA PAMFLET

3.1Ihwal Semiotika

Semiotika adalah ilmu tentang tanda, istilah ini berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest: 1993). Nöth (1995) menguraikan asal-usul semiotika; secara etimologi. Semiotika dihubungkan dengan kata Yunani δζγν =sign dan δζγνάλ = signal, sign. Tanda terdapat di mana-mana: ‘kata’ adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya.

Ferdinand de Saussure sebagai peletak dasar ilmu bahasa mengemukakan bahwa bahasa adalah gejala dan dapat dijadikan obyek studi. Salah satu titik tolak Saussure adalah bahasa harus dipelajari sebagai suatu sistem tanda; tetapi ia pun menjelaskan bahwa tanda bahasa bukanlah satu-satunya tanda. Atas dasar itu muncullah pemikirannya, bahwa ilmu bahasa, yang dianggap sebagai studi mengenai jenis tanda tertentu, mestinya mendapatkan tempat di dalam ilmu tanda (Zoest: 1993).

“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure,” kata John Lyon (1995:38). Saussure terkenal dengan teori tandanya, bahkan pemikirannya tidak ia bukukan tapi karena murid-muridnya Saussure mengumpulkan catatannya

(2)

menjadi sebuah outline. Hingga akhirnya disusun menjadi sebuah buku yang berjudul Course in General Lingustics. Dari bukunya tersebut lahirlah lima pandangan dari Saussure yang kemudian menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yaitu: (1) signifier (penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole (tuturan,ujaran); (4) syncronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik); (5) syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik) (Saussure :1988).

Aliran semiotik sistematis dipelopori oleh dua tokoh terakhir, yaitu Ferdinand de Sausure (1857-1913) dan Charles Sandera Pierce (1839-1914) (Nöth, 1995). Saussure mengembangkan bahasa sebagai suatu sistem tanda. Bahasa adalah alat komunikasi yang terdiri atas sejumlah ujaran yang masing-masing dilihat sebagai tanda, yakni satuan yang terdiri atas dua muka yaitu significant (citra bunyi, signifier atau penanda) yang harus disertai oleh signifie (makna, konsep, signified atau petanda). Suatu ujaran hanya berlaku sebagai tanda jika terdiri atas penanda dan petanda (Widjojo, 2004).

Sementara itu, Peirce melihat tanda sebagai suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang ditangkap oleh pancaindra. Fungsi esensial sebuah tanda menurutnya adalah membuat sesuatu efisien, baik dalam komunikasi kita dengan orang lain, maupun dalam pemikiran dan pemahaman kita tentang dunia.

Dalam teorinya, “sesuatu” yang pertama –yang “konkret”- adalah suatu perwakilan yang disebut representamen (atau ground), sedangkan “sesuatu” yang ada di dalam kognisi disebut object. Proses hubungan dari representamen ke object disebut semiosis (semeion, Yun. ‘tanda’). Dalam pemaknaan suatu tanda,

(3)

proses semiosis ini belum lengkap karena kemudian ada satu proses lagi yang merupakan lanjutan yang disebut interpretant (proses penafsiran).

3.2Semiotik Pierce

Peirce mengungkapkan bahwa semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Proses mewakili itu terjadi pada saat representamen itu ditetapkan hubungannya dengan yang diwakilinya dan kemudian diberi penafsiran. Proses itu disebut semiosis. Semiosis adalah suatu proses di mana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yakni yang representamennya mewakili yang diwakilinya. Proses antara representamen menuju objek akan membentuk makna bahasa dari pamflet tersebut tau yang bisa disebut dengan makna leksikal.

Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Tanda merujuk pada sesuatu yang kemudian membuat suatu tanda yang lebih berkembang dalam pikiran orang tersebut. Pierce ( Zoest, 1993) lebih lanjut memberikan beberapa batasan mengenai tanda, yaitu:

1. Tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Tanda harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat tampak, tetapi bagaimana hal itu terjadi tidak begitu penting, yang penting adalah tandanya.

2. Tanda itu menunjuk pada sesuatu yang lain atau menghubungkan pada atau mewakili (mempunyai sifat representatif).

(4)

4. Sesuatu merupakan tanda atas dasar satu sama lain (adanya ground). Artinya, sesuatu tidak bisa langsung menjadi tanda namun harus didasari oleh adanya pengetahuan yang melatarbelakanginya.

Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut representamen. Konsekuensinya, tanda (sign/representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni representamen, objek, dan interpretan.

OBJEK

REPRESENTAMEN INTERPRETAN (Diagram Segi Tiga Tanda Pierce)

3.2.1 Tiga Dimensi Tanda 3.2.1.1 Representamen

Representamen adalah ‘bentuk fisik sebuah tanda’ (Marcel Danessi dalam Christomy, 2004). Walaupun nantinya, dalam proses semiosis, representamen bisa berubah menjadi sesuatu yang berada dalam kognisi.

Kemampuan atau kadar representasi (kegiatan dalam kognisi manusia untuk mengaitkan representamen dengan pengetahuan dan pengalamannya) tidak sama. Pada tahap awal, tanda baru hanya dilihat sifatnya saja – yakni bahwa suatu fenomena adalah tanda – dan disebut qualisign.

(5)

3.2.1.2 Objek

Objek adalah sesuatu yang ada dalam kognisi seseorang atau sekelompok orang. Sebuah tanda (representamen) mengacu kepada objeknya melalui tiga cara. Hubungan antara tanda dan objek dilihat Pierce berdasarkan ketercerapan, yakni icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol).

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke objek melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi atau perjanjian masyarakat.

3.2.1.3 Interpretan

Interpretan adalah proses penafsiran seseorang atau sekelompok orang yang menghubungkan antara representamen dengan objek. Proses ini adalah kegiatan yang sangat penting dalam semiotik signifikasi.

(6)

Menurut Eco (dalam Hoed, 2001), interpretan harus mencakup tiga kategori semiotik sebagai berikut.

1) Merupakan makna suatu tanda yang dilihat sebagai suatu satuan budaya yang diwujudkan juga melalui tanda –tanda yang lain yang tidak tergantung dari tanda pertama.

Pemakna tanda (manusia tertentu) melakukan penafsiran yang bertolak dari apa yang terdapat dalam kognisi pertama setelah menangkap representamen, yakni objek. Akan tetapi, proses interpretasi pasti dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, dan ideologi pemakna tersebut. Dengan demikian, pada tahap interpretan, representamen cenderung tidak lagi diperhatikan atau diperhitungkan. Pada proses semiosis selanjutnya – setelah interpretan berubah menjadi representamen baru – ada kecenderungan proses semiosis makin menjauhi representamen pertama.

2) Merupakan analisis komponen yang membagi-bagi suatu satuan

budaya menjadi komponen-komponen berdasarkan maknanya. Pemakna dapat mengemas sendiri hasil interpretasinya itu sesuai dengan penerus dari kebudayaan. Ia dapat memilah-milah dan mengelompokkannya sesuai dengan cara ia sendiri.

3) Setiap satuan yang membentuk makna satuan budaya itu dapat

(7)

juga dapat mengalami analisis komponen sendiri dan menjadi bagian dari sistem lain.

Pemakna dapat mengaitkan representamen yang diinterpretasikannya itu pada unsur kebudayaan yang dikenalnya yang mungkin berasal dari representamen lain. Hal ini terjadi karena sifatnya tidak terbatas dan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang melatari sang pemakna.

Berdasarkan Interpretan, tanda (sign, representamen) terbagi dari rhema, dicent sign atau proposisi, dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign (proposisi) adalah tanda yang sesuai dengan kenyataan, sedangkan argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.

3.2.2 Tanda dan Semiosis

Pierce (dikutip Nöth, 1995: 42) mengemukakan bahwa semiosis merupakan “tripple conection of sign, signified, cognition produced in the mind”. Pada halaman yang sama Nöth mengutip lagi Pierce, ‘nothing is a sign unless it is interpreted as a sign”. Kata sign memang berarti tanda, tetapi yang dimaksud adalah representamen. Namun, sebenarnya yang menjadi fokus dalam kajian semiotik adalah semiosis itulah dan bukan sekadar tanda. Pierce menyebut proses semiosis seperti di atas sebagai proses “triadik” karena mencakup tiga unsur secara bersama, yakni representamen (disingkat R), hal yang diwakilinya, kita sebut objek (disingkat O), dan penafsiran yang terjadi pada pikiran seseorang pada

(8)

waktu menangkap R dan O kita sebut interpretan (disingkat I). Sebenarnya, seluruh proses semiosis adalah proses kognisi karena semiosis terjadi hanya jika ada proses kognisi itu.

Proses semiosis sebenarnya tidak ada hentinya. Demikian pula proses kognisi, yaitu interpretasi, pada dasarnya dapat berjalan terus selama sebuah tanda ditangkap dan diperhatikan. Secara teoretis hal itu digambarkan sebagai hubungan antara representamen, objek, dan interpretan (I), yang I dapat berubah menjadi R baru yang dikaitkan dengan O baru sehingga menghasilkan I baru, dan pada gilirannya menjadi R baru dan seterusnya. Dengan demikian, proses triadik itu berjalan terus menjadi suatu proses berlanjut atau proses gethok tular seperti pada gambar di bawah ini.

Proses Semiosis Berlanjut

R1>O1>{I1>R2}>O2>{I2>R3}>O3>{O3>R4}...

O1 O2 O3 O4

R1 I1 / R2 I2 / R3 I3 / R4 I4 / R5...

(9)

Pada gambar di atas, {I1/R2}, {I2/R3}, dan {I3/R4} merupakan proses kognisi, yaitu suatu hasil interpretasi beralih menjadi tanda baru yang mengacu pada objek baru dan interpretan baru, dan begitu seterusnya. Namun, menurut Eco (dalam Hoed:2001) proses semiosis tersebut mempunyai batasan. Proses semiosis berlanjut pada akhirnya akan dibatasi oleh apa yang disebutnya sebagai “consesual judement” (pendapat bersama). Ia mengemukakan bahwa meskipun pada diri kita ada yang disebut sebagai “hermeneutik semiosis and drift”, yakni suatu proses kognitif yang digambarkannya sebagai “everything can recall everything else”, suatu tanda tidak berada dalam suatu kekosongan. Suatu tanda berada dalam lingkungan budaya tertentu yang membatasi proses semiosis berlanjut itu karena adanya kristalisasi yang membentuk penafsiran yang tetap (interpretan yang tetap).

3.3.3 Hubungan Teori Semiotik Pierce dengan Objek Kajian

Dalam kehidupannya, manusia membutuhkan informasi. Pemenuhan kebutuhan tersebut salah satu di antaranya didapat dari informasi yang berupa iklan atau bewara berupa pamflet. Setelah melihat dan membaca pamflet, dalam diri manusia itu tentunya akan terjadi sebuah proses yang dinamakan proses persepsi. Proses ini dapat dimaknai sebagai proses penerimaan inderawi dan penafsirannya.

Pesan yang terdapat dalam pamflet yang terdiri atas tanda verbal dan nonverbal. Kemampuan kita dalam membaca bahasa tersebut (tanda verbal dan nonverbal) merupakan sebuah proses berpikir berdasarkan pengetahuan yang

(10)

dimilikinya. Karakter utama bahasa iklan atau pamflet adalah melalui kekuatannya membentuk pengalaman di dalam kognisi manusia dan juga pemaknaan dari bahasa pamflet tersebut dari makna leksikalnya.

Jadi, proses komunikasi yang terjadi dalam periklanan pasti melibatkan suatu proses persepsi yang mengakibatkan terjadinya penafsiran yang berulang sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya. Supaya penafsiran dalam pamflet itu terkendali maka dipilihlah sebuah metodologi yang dapat melihat proses penafsiran tersebut, yaitu semiotik Pierce (dasar dari teori semiotik ini adalah proses kognitif yang dinamakan dengan proses semiosis).

3.3IKLAN dan PAMFLET 3.3.1 Iklan

Iklan adalah penyampaian pesan untuk mempersuasi khalayak sasaran tertentu untuk menerima produk, jasa, atau gagasan dengan mengeluarkan biaya untuk ruang dan waktu dalam bentuk yang tertentu (Jameisson dalam Hoed :2001).

Komunikasi periklanan tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar, warna, bunyi, dll. Iklan disampaikan melalui dua saluran media massa, yaitu (1) media cetak (surat kabar, majalah, brosur, dan papan iklan atau billboard) dan (2) media elektronis (radio, televisi, film). Pengirim pesan adalah, misalnya, penjual produk, sedangkan penerimanya adalah khalayak ramai yang menjadi sasaran. Karena pembuatan iklan sering tidak dapat dilakukan sendiri oleh penjual produk, maka biasanya

(11)

diserahkan kepada pembuat iklan atau biro iklan. Biro iklan merekayasa iklan itu agar menjadi efektif sampai kepada khalayak sasarannya sesuai apa yang diinginkan penjual produk.

Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas tanda baik yang verbal maupun nonverbal. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam radio, televisi, dan film. Bagaimana tanda tersebut dimanfaatkan dalam sebuah iklan, dan objek apa yang ditunjuk, hal inilah yang akan dibahas.

(1) Indeks, Ikon, dan simbol sebagai Petanda

Tanda yang digunakan dalam iklan ada dua jenis, yaitu yang verbal dan nonverbal. tanda verbal adalah bahasa yang kita kenal, tanda yang nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang secara tidak khusus meniru rupa dan warna yang serupa atas bentuk realitas.

(2) Objek

Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya. Di sini harus dicatat bahwa tanda verbal dan nonverbal termasuk yang ikonis diciptakan agar dalam kognisi khalayak dihubungkan dengan objek tersebut. Jadi, iklan berfungsi konatif, yakni menyampaikan pesan dari pengirim (P1, pengiklan) kepada penerima (P2, kelompok sasaran) dengan tujuan mempengaruhi P2 agar menghubungkan petanda dengan objek tertentu. Jadi, petanda dan objeknya ditentukan lebih dulu oleh P1. selain berfungsi sebagai konatif, iklan juga berfungsi fatik. Fungsi ini bermaksud menarik perhatian khalayak untuk dibaca atau dilihat untuk dipahami isinya.

(12)

(3) Penafsiran dalam Iklan

Yang penting dalam penciptaan iklan adalah penafsiran P2 dalam proses interpretan. Jadi, sebuah kata seperti Jarum meskipun dasarnya mengacu pada rokok, tapi selanjutnya rokok ini ditafsirkan sebagai ‘rokok semua kalangan’, ‘rokoknya petualang’,‘perusahaan rokok yang selalu eksis dalam dunia musik dan olah raga, dan seterusnya. Penafsiran yang bertahap-tahap itu merupakan segi penting dalam iklan. Proses ini disebut sebagai semiosis.

3.3.1. Positioning

Positioning adalah suatu proses atau upaya untuk menempatkan suatu produk, merek, perusahaan, individu, atau apa saja dalam alam pikiran mereka yang dianggap sebagai sasaran atau konsumennya. Upaya ini dianggap perlu karena situasi masyarakat atau pasar konsumen sudah over communicated (Kasali, 1995). Supaya lebih dapat dipahami dalam konteks semiotika, positioning diartikan sebagai penempatan suatu produk dalam citra khalayak sasaran iklan.

Konsep positioning dapat digunakan sebagai strategi dalam kampanye periklanan. Menurut Aecker (dalam Kasali :1995) terdapat beberapa cara untuk melakukan strategi positioning. Strategi ini dapat diterapkan melalui berbagai hal berikut:

1) penonjolan karakteristik produk, 2) penonjolan harga dan mutu, 3) penonjolan penggunaannya,

(13)

5) positioning menurut kelas produk,

6) positioning dengan menggunakan simbol-simbol budaya, dan

7) positioning langsung terhadap pesaing.

3.3.2. Tipografi

Tipografi adalah seni memilih jenis huruf, dari ratusan jumlah rancangan atau desain huruf yang tersedia; menggabungkannya dengan jenis huruf yang berbeda; menggabungkan sejumlah kata yang sesuai dengan ruang yang tersedia; dan menandai naskah untuk proses typesetting, menggunakan ketebalan dan ukuran huruf yang berbeda (Jefkins: 1996).

Tipografi yang baik mengarahkan pada keterbacaan, kemenarikan, dan desain huruf tertentu dapat menciptakan gaya (style) dan karakter atau menjadi karakteristik subjek yang diiklankan.

Menurut James Craig (dalam Kasali :1995) terdapat lima jenis huruf yang mencitrakan hal yang berbeda, yaitu:

1) Roman

Ciri dari huruf ini adalah memiliki sirip/kaki/serif yang berbentuk lancip pada ujungnya. Kesan yang ditimbulkan adalah klasik, anggun, lemah gemulai dan feminin.

2) Egyptian

Ciri dari huruf ini adalah memiliki sirip/kaki/serif yang berbentuk persegi seperti papan. Jenis huruf ini mencitrakan kokoh, kuat, kekar, dan stabil. 3) San Serif

(14)

Pengertian san serif adalah tanpa sirip/kaki. Jenis huruf ini mencitrakan modern, kontemporer, dan efisien.

4) Script

Huruf ini menyerupai goresan tangan yang dikerjakan dengan pena, kuas atau pensil tajam dan biasanya miring ke kanan. Jenis huruf ini mencitrakan sifat pribadi dan akrab.

5) Miscellaneous

Huruf jenis ini merupakan pengembangan dari bentuk-bentuk yang sudah ada. Ditambah hiasan dan ornamen, atau garis-garis dekoratif. Jenis huruf ini mencitrakan dekoratif dan ornamental.

3.3.3. Warna

Warna memegang peranan penting dalam sebuah iklan, yakni untuk mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan dari iklan tersebut. Warna juga mempunyai fungsi untuk memperkuat aspek identitas.

Menurut pakar Psikologi, J. Linschoten dan Mansyur (dalam Kasali :1995) warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna itu mempengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita terhadap pelbagai benda.

Di bawah ini dipaparkan potensi karakter warna yang mampu memberikan kesan pada seseorang, antara lain sebagai berikut:

(15)

1) hitam, sebagai warna tertua dengan sendirinya menjadi lambang kegelapan (hal emosi), berkabung, misterius, konservatif, berwibawa, dan berbobot.

2) putih, sebagai warna paling terang, melambangkan cahaya, suci, elegan, bersih, segar-murni, dan sportif.

3) Abu-abu, merupakan warna yang paling netral dengan tidak adanya sifat atau kehidupan spesifik, maskulin, serius, netral, dan daya tarik. 4) Merah, bersifat menaklukkan, semangat, ekspansif (meluas), dominan

(berkuasa), aktif , dinamis,dan vital.

5) Kuning, dengan sinarnya yang bersifat kurang dalam, merupakan wakil dari hal atau benda yang bersifat cahaya, momentum, dan mengesankan sesuatu.

6) Biru, melambangkan kesan tenang, sendu dan ilmu pengetahuan. Warna ini juga menimbulkan kesan dalamnya sesuatu (dediepte), sifat yang tak terhingga dan transenden. Di samping itu, memiliki sifat tantangan.

7) Hijau, mempunyai sifat keseimbangan dan selaras, membangkitkan ketenangan dan tempat mengumpulkan daya-daya baru.

8) Oranye melambangkan kesan kekuatan, kehangatan, aktivitas, keramah tamahan, dan kegembiraan.

9) Kuning melambangkan kesan hangat, kegembiraan, keceriaan, kemeriahan, dan pencerahan.

(16)

3.3.4 Garis

Garis merupakan benda dua dimensi tipis memanjang. Garis memiliki kemampuan untuk mengungkapkan suasana. Suasana yang tercipta dari sebuah garis terjadi karena proses stimulasi dari bentuk-bentuk sederhana yang sering kita lihat di sekitar kita, yang terwakili dari bentuk garis tersebut.

Menurut James Craig (dalam Kasali, 1995) garis mempunyai makna beserta asosiasi yang ditimbulkannya.

1) Horizon : memberi sugesti ketenangan atau hal yang tak bergerak.

2) Vertikal : stabilitas, kekuatan atau kemegahan.

3) Diagonal : tidak stabil, sesuatu yang bergerak atau dinamika.

4) Lengkung S : grace, keanggunan.

5) Zig-zag : bergairah, semangat, dinamika atau gerak cepat.

6) Pyramid : stabil, megah, dan kuat.

7) Spiral : kelahiran atau generative forces.

8) Rounded Arch : lengkung bulat mengesankan kekokohan.

Dari penjabaran di atas dapat kita lihat apa itu iklan dan apa saja yang mempengaruhi suatu iklan. Dalam penelitian ini mengambil salah satu jenis iklan yaitu pamflet. Pamflet adalah salah satu jenis sarana iklan namun dalam pamflet

(17)

biasanya membewarakan suatu acara ataupun menyampaikan berbagai aspirasi yang ditujukan untuk perorangan atau golongan tertentu. Maka jika dilihat dari sisi semiotik pamflet terdiri dari penanda dan petanda yang berupa interperetan maka dengan teori semiotik Pierce inilah akan di analisis bagaimana suatu penafsiran akan mempengaruhi bahasa yang nantinya apakah bahasa tersebut menjadi suatu mitos dalam masyarakat juga.

3.3.2 Semiotika Pamflet

Kita masih belum sepakat, apakah semiotik itu ilmu atau metode analisis. Perdebatan masih sengit di antara para ahli semiotik. Semiotik dipandang sebagai ilmu karena (1) sudah dapat menunjukkan dirinya sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri, (2) sudah memiliki perangkat metodologi yang diturunkan dari teorinya, (3) sudah dapat menghasilkan sejumlah hipotesis, (4) sudah dapat digunakan untuk melakukan prediksi, dan (5) temuan-temuannya memberikan kemungkinan untuk mengubah pandangan tentang dunia obyektif (Danessi dan Perron dalam Hoed :2001). Terlepas dari permasalahan tersebut, semiotika atau semiotik dalam penelitian ini digunakan sebagai metode analisis.

Pamflet adalah bagian dari iklan ditinjau dari semiotik sebagai suatu upaya menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat penanda dan petanda dalam suatu sistem. Jika terjadi hubungan antara penanda dan petanda, maka akan diketahui interpretan dalam pamflet tersebut. Dengan demikian, semiotik memandang iklan sebagai tanda yang terdiri atas penada dan petanda oleh sebuah iklan dalam hal ini pamflet.

(18)

Berdasarkan prinsip di atas, kita akan melihat iklan sebagai suatu kesatuan yang terdiri atas unsur verbal (unsur kebahasaan) dan unsur nonverbal. Unsur verbal biasanya bersifat linear, sedangkan nonverbal bersifat nonlinear. Unsur verbal mengambil waktu dan tidak mengikuti urutan yang ketat dalam pemahamannya (Martinet dalam Hoed:2001).

Eco (dalam Hoed:2001) mengemukakan bahwa suatu teks merupakan suatu karya terbuka (opera operta), yang terbuka pada berbagai interpretasi melalui proses semiosis. Namun, Nöth (1995) berpendapat bahwa teks iklan adalah sebuah teks tertutup karena apa yang berada di balik teks itu sudah dipahami oleh penerima iklan. Jadi, meskipun teks berbunyi Nikmatilah X, maknanya adalah Belilah X. Dengan demikian, iklan akan didekati dan diterangkan dengan semiotik sebagai gabungan pemakaian tanda dengan penanda dan petanda.

3.4 Dampak Komunikasi

Dampak komunikasi adalah dampak pada reorganisasi kognisi yang terjadi dalam proses semiosis, yaitu komponen interpretan yang membentuk opini seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu produk atau jasa yang diiklankan atau apapun itu yang jenisnya memberitahukan khalayak ramai. Menurut Hoed (2001), apabila pembentukan opini ini terjadi tentang suatu jenis produk atau jasa dan kekerapannya cukup tinggi maka dapat dikatakan mulai terjadi suatu proses transformasi budaya. Dampak komunikasi bermacam-macam, tetapi di antara beberapa yang penting adalah penerjemahan budaya, dan transformasi budaya.

(19)

3.4.1 Penerjemahan Budaya

Penerjemahan budaya (cultural translation atau intercultural translation) dikemukakan Finnegan dan Horton (Hoed, 2001), yakni penafsiran suatu konsep asing oleh suatu masyarakat dengan konsepnya sendiri. Ini terjadi pada beberapa iklan yang kemudian terpaksa ditarik dari peredaran.

3.4.2 Transformasi Budaya

Istilah transformasi budaya menurut Hoed (2001) mengandung arti bahwa kehidupan dalam masyarakat kita telah dan/atau sedang mengalami perubahan. Sepanjang sejarah, manusia dalam masyarakatnya menjalani pengalaman, dalam pengalaman itu manusia merasakan realitas fisik dan menerima pengetahuan.

Di dalam masyarakat, manusia berinteraksi satu sama lain dan interaksi itu menambah pengalamannya. Akan tetapi, manusia tidak selalu mengalami realitas fisik dan menerima pengetahuan itu secara langsung. Ia menerima pengalamannya melalui suatu perantara (medium). Jadi, pengalaman itu diterimanya secara tidak langsung melalui apa yang disebut medium (komunikasi) itu. Dengan adanya kemajuan teknologi, khususnya komunikasi elektronik, yakni televisi maka penyampaian realitas melalui medium itu menjadi lebih cepat dan, yang sangat penting, semakin lebih mendekati pengalaman aslinya.

Lepas dari tingkat pendidikan seseorang, teralihnya pengalaman melalui medium komunikasi itu membuat setiap orang menggunakan kemampuan kognitifnya, yaitu kemampuan untuk menangkap pengalaman dengan otaknya

(20)

sehingga ia dikatakan mempunyai pengetahuan tentang realitas tertentu. Pengetahuan itu, pada gilirannya, dapat menentukan corak prilakunya.

Transformasi budaya merupakan perubahan pola tingkah laku yang disebabkan oleh adanya sejumlah pengalaman baru yang langsung atau tidak langsung menjadi pengetahuan sekelompok orang yang menjadi anggota suatu masyarakat. Jadi, pengetahuan baru itu telah mengakibatkan perubahan pada tingkat kognisi yang dimiliki secara kolektif oleh suatu masyarakat budaya.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mempelajari BBM ini, terutama agar dapat menerapkan model- model pembelajaran yang terdapat dalam BBM ini Anda diharapkan sudah memiliki pengetahuan tentang

beberapa jenis tanaman, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada.. tanaman Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) dan Rotating Trio Exchange (RTE) pada siswa kelas VIII MTsN 5 Tulungagung. Manakah yang lebih

Studi proses pengolahan koktail dari tanaman nipah (Nypa fruticans wurmb) (kajian kadar gula sirup dan tingkat kematangan buah).

Belahan dilapis menurut bentuk yaitu belahan dilapis dengan kain lain yang sama bentuknya. Belahan ini banyak digunakan pada tengah muka pakaian, tengah belakang atau pun ujung

Analisis pola pita isozim peroksidase menunjukkan kultivar Beta 1, Beta 2 dan Papua Solossa memiliki pola pita yang berbeda (baik secara kualitatif maupun

Oleh demikian adalah penting untuk memastikan bahawa keusahawanan diserapkan ke dalam pendidikan vokasional dan budaya keusahawanan dipupuk melalui sistem pendidikan teknik

Jenis penelitian yang digunakan Observasional analitik dengan desain Case Control Studi, yang bertujuan untuk mengetahui berapa besar faktor risiko (variabel independen)