• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis terhadap Dua Puisi Penyair Amerika Claude McKay: Penelusuran Seluk- Beluk Kekuasaan Ras

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis terhadap Dua Puisi Penyair Amerika Claude McKay: Penelusuran Seluk- Beluk Kekuasaan Ras"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014

Journal Polingua

Scientific Journal of Linguistics, Literature and Education

Analisis terhadap Dua Puisi Penyair Amerika Claude McKay: Penelusuran Seluk-

Beluk Kekuasaan Ras

Gindho Rizano

Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Andalas, Indonesia E-mail: gindhorizano@gmail.com

Abstract— This article discusses two representative poems by a famous African-American writer, Claude Mckay. It seeks to interpret

the poems, “If We Must Die” and “Enslaved”, which both explore the issues racism and mental slavery, in the light of political approaches such as Marxist criticism and postcolonialism. The main findings of this article are: 1) that racism and violence that it entails are rooted in class conflict and 2) that McKay’s poems can be seen as a counter-hegemony of the ethnocentricity of white culture. Generally, it is hoped that this writing can promote historical and political readings of minority poets like Claude McKay.

Keywords— American literature, poetry, racism, class, claude mckay, critical theory

I. PENDAHULUAN

Claude McKay adalah salah satu dari sastrawan Amerika yang mempunyai latar identitas yang sangat dekat dengan penindasan dan perjuangan. Dia adalah seorang imigran dari Jamaika; salah satu penyair dan novelis terdepan gerakan Harlem Renaissance yang menyuarakan suara kaum minoritas kulit hitam Amerika pada 1920-an; dan seorang penganut sosialis yang teguh pada masa mudanya.

Latar belakang kehidupan sosial semasa dia hidup dan berkarya pun patut dicatat. McKay hidup ketika Amerika berkali-kali mengalami

masalah ekonomi dan ketidakstabilan sosial: kenaikan harga yang tak terkontrol, great depression dan dua kali perang dunia dengan segala efek negatifnya pada kehidupan bangsa Amerika. McKay juga hidup pada masa yang masih kental akan diskriminasi ras. Walau perbudakan telah jauh dihapus semenjak tuntasnya perang saudara Amerika pada tahun 1865, kaum kulit hitam, pada saat ia hidup masih tetap dianggap penduduk kelas dua. Bahkan, tidak jarang pembunuhan dan kekerasan secara masal dilakukan pada penduduk kulit hitam seperti pada rentetan peristiwa yang dinamai Red Summer atau

(2)

apa yang disebut Chicago Race Riot pada tahun 1919.

Identitas dan latarbelakang sosial tersebut tentunya mempengaruhi karya-karya McKay secara mendalam. Claude Mckay, bersama penulis kulit hitam seperti Langston Hughes, adalah orang-orang yang lantang berbicara mengenai ketidakadilan ras. Puisi bagi mereka, bukan hanya ekspresi pribadi seperti yang mungkin dipahami paham romantisme atau oleh kebanyakan pembaca awam, tetapi puisi juga merupakan suara emansipasi untuk mengangkat harkat martabat kaum mereka.

Tema ketidakadilan ras dan perjuangan kaum tetindas tampak jelas pada puisi-puisi McKay seperti dalam kumpulan puisi Harlem Shadows (1922) yang mengantarkannya pada popularitas

dalam dunia sastra1. Dalam kesempatan ini penulis

memilih dua puisi yang dianggap cukup mampu menghadirkan tema tersebut dengan baik, yaitu “If We Must Die” dan “Enslaved”.

Dua puisi McKay tersebut akan dibahas dengan pendekatan historisme (historical approach) atau

kontekstual, karena seperti yang duraikan

sebelumnya, latar belakang sosial mempunyai pengaruh yang kuat pada karya McKay. Untuk memahami karya lebih lanjut, penulis juga memakai apa yang disebut oleh kritikus Inggris

Terry Eagleton sebagai kritik sastra politis 2 ,

khususnya pendekatan Marxis dan poskolonial,

1 Lihat lebih lengkap dalam Cambridge Guide to Literature

in English. hal. 586.

2 Lihat bab terakhir dalam Teori Sastra: Sebuah Pengantar

Komprehensif keluaran Jalasutra.

mengingat karya-karya McKay tersebut memang sarat akan masalah relasi kekuasa.

Prinsip yang diambil dalam kritik sastra Marxis di sini adalah pentingnya memahami sebuah karya sastra (bagian dari superstruktur budaya) dalam konteks struktur ekonomi dan dinamika proses sejarah (basis). Eagleton membahasakan bahwa dalam memahami karya sastra kita harus menghubungkan karya tersebut dengan konteks sosial: To understand literature, then, means understanding the social process of which it is part (2002:5). Pada praktiknya kritik sastra Marxis selalu menghubungkan isu dalam karya sastra (dalam kasus ini, rasisme) pada masalah-masalah atau kontradiksi dalam masyarakat kapitalis.

Ada pun konsep poskolonial yang berguna di sini adalah konsep „the other‟, yang dimaknai sebagai wacana negatif atau mitos yang diciptakan oleh kultur dominan terhadap kelompok terjajah dan minoritas. Dalam buku panduan teori sastra Critical Theory Today oleh Louis Tyson, disebutkan bahwa kelompok terjajah dan minoritas sering dikonstruksi sebagai kelompok barbar yang jahat dan inferior. (2006:420). Wacana tersebut disebarkan lewat berbagai media mempunyai setidaknya dua efek: sebuah legitimasi bagi kelompok penjajah untuk melakukan penindasan dan sebuah alat ideologis untuk membuat kaum minoritas atau terjajah merasa malu akan dirinya dan tunduk pada penjajah.

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dua

puisi Claude McKay tersebut dengan

menempatkannya dalam konteks sejarah dan kekuasaan yang memang berpengaruh dalam

(3)

penciptaan puisi-puisi tersebut. Selain itu, makalah ini juga diharapkan mampu memberikan pandangan mengenai seluk-beluk relasi kekuasaan ras yang terjadi di Amerika pada awal abad ke-20: mengapa ketimpangan bisa terjadi, bagaimana ia dipertahankan, dan apa usaha sastrawan seperti McKay dalam melawan ketimpangan tersebut?

II. ANALISIS “IF WE MUST DIE”: PENINDASAN YANG DIMOTIVASI OLEH MASALAH EKONOMI DAN

KAPITALISME

Jika dilihat dengan pembacaan intrinsik ala New Criticism, “If We Must Die” adalah puisi tentang harga diri. Pembicara (speaker) atau si-Aku dalam puisi digambarkan dalam keadaan bahaya; diserang dan dikepung oleh musuh yang lebih kuat dan lebih banyak; dan kekalahan sudah pasti akan menimpanya. Digambar dalam puisi tersebut pembicara yang memakai kata ganti “we” (kami) tidak ingin mati diburu seperti “babi” (hogs). Kelompok musuh di sini diibaratkan seperti sekelompok “anjing yang lapar dan gila” (mad and hungry dogs) yang menggonggong dan menghina si pembicara dan kelompoknya:

If we must die—let it not be like hogs Hunted and penned in an inglorious spot, While round us bark the mad and hungry dogs,

Making their mock at our accursed lot.

Namun, pembicara menegaskan bahwa walaupun ia dan kaumnya kalah dan mati, mereka harus mati dengan terhormat:

If we must die, O let us nobly die,

So that our precious blood may not be shed

Kutipan diatas mengisyaratkan bahwa „mati yang dengan terhormat‟ yang dimaksud adalah dengan kematian yang didahului oleh perlawanan terhadap penindas tersebut. Ini diperkuat oleh sebuah understatement yang provokatif: “What though before us lies the open grave?”(apalah yang terlentang di depan kita hanyalah kuburan yang terbuka?)

Hal ini dilanjutkan dengan ajakan untuk melawan para penindas apa pun yang terjadi. Si pembicara mengajak kelompoknya untuk dengan

berani melawan ”kawanan pembunuh yang

pengecut” (the murderous, cowardly pack), walau mereka tersudut dan pasti mati (pressed to the wall, dying):

Like men we'll face the murderous, cowardly pack,

Pressed to the wall, dying, but fighting back!

Pembicara mengobarkan api perjuangan pada kaumnya yang tertindas untuk mati dengan terhormat; mati dengan harga diri. Kita bisa saja kalah dan mati, namun jika kita menyerah dan pasrah saja kita akan mati sia-sia. Satu-satunya cara untuk mati terhormat adalah melawan dengan

melawan sampai titik darah penghabisan.

Demikianlah makna keseluruhan karya tersebut

(4)

Walau menjelaskan isi puisi, pembacaan intrinsik tersebut terasa kurang lengkap dan kurang cukup untuk pemahaman lebih lanjut mengenai puisi tersebut. Kita mungkin akan bertanya. Siapa yang melakukan penyerangan? Mengapa? Dan siapa yang diserang? Untuk itu, sangatlah berguna jika kita membaca puisi tersebut konteks spesifik dan historis.

Dari sudut pandang historis, puisi ini merupakan respon McKay terhadap kerusuhan antar ras, atau lebih tepatnya, penyerangan masal

kelompok-kelompok kulit putih terhadap

masyarakat kulit hitam yang terjadi di Amerika pada musim panas tahun 1919. Dilaporkan telah terjadi kerusuhan diberbagai tempat di Amerika pada tahun itu, terutama di Chicago yang menelan korban sebanyak 38 orang, ratusan luka-luka dan sekitar seribu masyarakat kulit hitam kehilangan

rumah.3 Dengan konteks ini jelaslah bahwa kaum

yang ditindas dalam puisi diatas adalah minoritas kulit hitam dan para penyerang adalah kelompok- kelompok kulit putih.

Pembacaan secara historis ini akan

mengantarkan pada isu pokok dari puisi ini, yaitu masalah kebencian yang akut terhadap ras minoritas dan masalah relasi kuasa. Dalam puisi ini kita dapat melihat bagaimana kebencian kepada „the other‟ sudah memuncak pada pembantaian; kita juga melihat bagaimana pihak mayoritas dapat saja merongrong kaum minoritas; dan kita juga dapat mendengar rintihan dan perlawanan kaum tetindas kulit hitam di Amerika.

Namun, pemahaman kontekstual ini pun masih meninggalkan pertanyaan yang krusial: kenapa hal ini terjadi? Apakah penyebab kebencian terhadap ras kulit hitam sedemikian kuatnya hingga berujung pada pembantaian?

Salah satu jawaban yang mungkin adalah faktor ekonomi. Faktor yang dipercaya, jika dari sudut pandang filsafat materialis, sebagai basis dari segala kejadian sosial dalam masyarakat. Tidak bisa disangkal awalnya terjadi perbudakan dimotivasi oleh kepentingan ekonomi. Masyarakat Eropa yang baru saja membuat koloni-koloni pada abad ke-17 memerlukan tenaga kerja untuk

memenuhi kebutuhan mereka. Solusi yang

ditawarkan oleh kapitalisme untuk hal tersebut adalah perdagangan manusia yang di-impor dari Afrika dan dilaksanakan oleh negara-negara imperialis Eropa.

Motivasi yang serupa juga terjadi pada awal abad ke-20. Amerika pada tahun 1919 adalah negara dengan masalah ekonomi yang cukup

parah. Harga-harga melambung tinggi dan

pengangguran dimana-mana sehingga persaingan

untuk bekerja sangat tinggi. 4 Di sinilah rasisme

mencapai puncaknya. Sebagian dari kaum kulit putih saat itu hidup dengan pandangan bahwa merekalah pemilik negara yang syah melihat minoritas kulit hitam sebagai pesaing dalam mendapatkan pekerjaan. Berikutnya yang terjadi adalah kerusuhan di berbagai kota yang menelan korban nyawa terutama dari kulit hitam.

Walau faktor ekonomi dapat menjelaskan asal- usul kekuasaan satu kelompok terhadap yang

(5)

lainnya, kita masih dibenturkan pada satu masalah yang signifikan. Faktor ekonomi saja tidak akan

memadai untuk menjelaskan bagaimana

ketidakadilan itu dipertahankan selama berabad- abad. Masalah ini tidak disentuh oleh puisi ini. Namun, puisi McKay lainnya yang berjudul “Enslaved” dapat memperlihatkan bagaimana kebencian terhadap ras kulit hitam dipertahankan dan dilegitimasi.

III. ANALISIS “ENSLAVED”: BUDAYA SEBAGAI ALAT PENINDAS SEKALIGUS PERLAWANAN

Berbeda dengan “If We Must Die” yang hanya fokus pada satu kejadian, puisi “Enslaved” mempunyai cakupan waktu yang lebih luas; dimulai dari zaman perbudakan hingga pada masa puisi ini ditulis.

Puisi ini dimulai dengan kontemplasi McKay tentang nasib kaum kulit hitam di Amerika yang telah lama berabad-abad “diremehkan” (despised) dan “ditindas” (oppressed):

Oh when I think of my long-suffering race, For weary centuries despised, oppressed, Enslaved and lynched, denied a human place

In the great life line of the Christian West;

Dalam larik tiga dan empat, McKay menyatakan bagaimana pihak barat yang monokultur dan etnosentris tidak menyediakan tempat bagi orang kulit hitam. Budaya barat yang dihadirkan dengan „Christian West‟ membuat apa-apa di luar ras dan

agama mereka menjadi the other yang patut disisihkan dan dikuasai. Di sini kita dapat melihat

bagaimana ketimpangan kekuasaan dapat

dipertahankan, yaitu lewat budaya.

McKay kemudian berargumen bahwa penjajah barat menyebabkan kaum kulit hitam kehilangan rumah mereka:

And in the Black Land disinherited, Robbed in the ancient country of its birth, My heart grows sick with hate, becomes as lead,

For this my race that has no home on earth.

Pertama-tama orang kulit hitam „dirampok‟ (robbed) dari negerinya, dan di tempat tinggal yang baru pun, yaitu Amerika, tidak bisa disebut rumah oleh mereka. Bagaimana mungkin di tempat kita direndahkan, diperas dan dipaksa bekerja untuk kebutuhan orang lain, menjadi rumah bagi kita? Lewat larik-larik ini kita juga dapat melihat bagaimana kaum kulit hitam sebenarnya juga dicabut dari akar kebudayaannya mereka karena terpisahnya dengan tempat asal mereka.

Pada baris-baris selanjutnya nada (tone) puisi ini mulai beranjak dari sekedar perenungan pada kemarahan. Pembicara puisi atau si-Aku menginginkan dunia kaum penindas hancur sepenuhnya ditelan „rahim‟ (womb) bumi atau menguap sebagai „asap pengorbanan‟ (sacrificial

(6)

Then from the dark depths of my soul I cry To the avenging angel to consume The white man's world of wonders utterly: Let it be swallowed up in earth's vast womb,

Or upward roll as sacrificial smoke To liberate my people from its yoke!

Namun, tidaklah bijak melihat puisi ini sebagai kemarahan belaka. McKay dalam puisi ini mengisyaratkan strategi perjuangan melawan penindasan atau ketidakadilan ras. Perjuangan yang dimaksud disini bukanlah dengan kekuatan fisik, tetapi perjuangan melawan „dunia keajaiban kulit putih‟ (white men‟s world of wonders). „Dunia keajaiban‟ ini bisa dinterpretasikan sebagai wacana-wacana atau ideologi etnosentris yang ditanamkan pada kaum kulit hitam semenjak awal sejarah perbudakan; bahwa kaum kulit putih adalah makhluk superior dengan kebudayaan yang

jauh lebih maju; bahwa mereka pantas

mendominasi kaum kulit hitam yang “barbar”, “tidak beradab” dan berbagai label negatif lainnya.

Apa yang diisyaratkan oleh McKay dan juga penulis-penulis Harlem Renaissance lainnya adalah terbentuknya budaya kolektif kaum kulit hitam yang mampu berfungsi sebagai identitas mereka; sehingga mereka dapat dengan bangga hidup dalam kemerdekaan; sehingga mereka tidak lagi didominasi oleh „dunia keajaiban‟ tersebut. Budaya kulit hitam diharapkan juga menjadi

counter-hegemony terhadap pemahaman-

pemahaman dunia atau wacana-wacana tersebut

yang hanya menguntungkan pihak tertentu dan menindas pihak lainnya.

IV. KESIMPULAN

Dua puisi McKay merupakan dokumen dan saksi sejarah akan diskriminasi serta penindasan dari satu ras terhadap ras yang lain. Puisi-puisi ini juga merupakan suara lantang yang melawan segala bentuk penindasan.

Sangatlah menarik bagaimana pembacaan kritis terhadap puisi-puisi tersebut akan menjelaskan akar dari diskriminasi tersebut beserta proses bagaimana ia dipertahankan. Kita telah melihat ekonomi sebagai faktor „basis‟ yang menciptakan persaingan dan ketidakadilan. Kita juga melihat peran budaya dan wacana etnosentris yang terus- menerus dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Amerika. Sangatlah menarik bahwa puisi-puisi ini tidak sekedar merefleksikan kenyataan pahit ini, tapi memberikan semangat perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan bagi yang tertindas, serta membuat pembaca awas dan terbangun akan kesewenang-wenangan di sekeliling mereka.

Penafsiran terhadap dua puisi Claude McKay tersebut juga memperlihatkan strategi dalam melawan diskriminasi dan ketidakadilan ras. Yang diperlukan bukanlah sekedar kekuatan fisik, namun seperti yang ditunjukkan khususnya oleh puisi „Enslaved‟, kita harus mulai mempertanyakan dan melawan fondasi yang membuat diskriminasi itu terjadi, yaitu wacana atau pola berpikir yang etnosentris dan ekses

(7)

sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan manusia layaknya barang. Rasisme dan perbudakan fisik maupun mental, bukanlah sesuatu yang di-amini. Namun merupakan masalah yang harus terus-menerus dipertanyakan,

If We Must Die

LAMPIRAN

diantisipasi, dan ditanggulangi.

Para penyair telah melakukan perjuangan ini dari masa ke masa seperti yang dicontohkan oleh Claude McKay. Kritikus dan akademisi pun melakukan hal yang serupa dengan membahas karya-karya tersebut dalam konteks historis dan relasi kuasa.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bekker, Eddie. “Chronology On The History Of Slavery And Racism 1830 – The End”. A Chronology of American Slavery. (1999). <http://innercity.org/holt/chron_1830_end.html> (Diakses 11 Mar. 2008)

[2] Benson, Eugene, dan Conolly, L.W. (1994). Encyclopedia of Post-

Colonial Literature in English. London: Routledge.

[3] Eagleton, Terry. (2006). Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. (Terj.). Jogjakarta: Jalasutera.

If we must die, let it not be like hogs Hunted and penned in an inglorious spot, While round us bark the mad and hungry dogs, Making their mock at our accursed lot.

If we must die, O let us nobly die,

So that our precious blood may not be shed In vain; then even the monsters we defy

Shall be constrained to honor us though dead! O kinsmen we must meet the common foe! Though far outnumbered let us show us brave, And for their thousand blows deal one deathblow! What though before us lies the open grave?

Like men we'll face the murderous, cowardly pack,

Pressed to the wall, dying, but fighting back!

[4]

Routledge: London.

(2002). Marxism and Literary Criticism.

Claude McKay

[5] Encyclopedia Brittanica Team. “Chicago Race Riot of 1919”.

Encyclopedia Britannica.(2015)

[6] <http://www.britannica.com/EBchecked/topic/110488/Chicago- Race-Riot-of-1919 > (Diakses 2 Januari 2015)

[7] Giles, Freda S. “Claude‟s McKay‟s Life”. Modern American Poetry.

University of Illinois. (2000)

<http://www.english.uiuc.edu/maps/poets/m_r/mckay/life.htm> (Diakses 8 Mar. 2008)

[8] McKay, Claude. Harlem Shadows. (1922). Poet‟s Corner.(1999). <http://www.theotherpages.org/poems/mckay02.html> (Diakses 9 Mar. 2008)

[9] Ousby, Ian. (1993). Cambridge Guide to Literature in English. United Kingdom: Cambridge University Press.

[10] Tyson, Louis. (2006). Critical Theory Today: A User-Friendly Guide. (Edisi Ke-2). Routledge: New York.

Enslaved

Oh when I think of my long-suffering race, For weary centuries despised, oppressed, Enslaved and lynched, denied a human place In the great life line of the Christian West; And in the Black Land disinherited, Robbed in the ancient country of its birth, My heart grows sick with hate, becomes as lead, For this my race that has no home on earth.

(8)

Then from the dark depths of my soul I cry To the avenging angel to consume

The white man's world of wonders utterly: Let it be swallowed up in earth's vast womb, Or upward roll as sacrificial smoke

To liberate my people from its yoke!

Referensi

Dokumen terkait

Produk  keripik  jagung  ini  sangat  tepat  untuk  memenuhi  kebutuhan  akan  makanan  ringan  yang  sehat  karena  kebutuhan  konsumen  yang  semakin  sadar 

☺  !andakan (&#34;) di  di atas kertas $a%a&amp;an untuk ken'ataanken'ataan 'an *eli+atkan &amp;eker$aan &amp;eker$aan 'an anda tidak suka atau tidak +er*inat... A

&#34;umla' komponen dalam suatu sistem merupakan !umla' minimum dari spesi ang secara kimia independen ang diperlukan untuk menatakan komposisi setiap fasa ang secara

Berdasarkan hasil persentase kepuasaan masyarakat yakni dengan indikator tanggungjawab dengan item pertanyaan tanggung jawab petugas dalam mengerjakan tugasnya,

Arsana (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Strategi Pengembangan Kawasan Masceti Sebagai Daya Tarik Wisata Alam Berbasis Masyarakat di Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh,

No Kriteria Satuan Yoghurt tanpa perlakuan panas setelah fermentasi.. Yoghurt dengan perlakuan panas

Jones (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) menyatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Jadi,

Metode lagu merupakan metode yang sagat mantap bagi upaya mendidik anak dalam kandungan, lebih-lebih jika yang dilagukan itu kalimah-kalimah thayibbah, seperti Lailaha