• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. penelitian ini khususnya tentang strategi pengembangan pariwisata antara lain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. penelitian ini khususnya tentang strategi pengembangan pariwisata antara lain"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Kajian Pustaka

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian ini khususnya tentang strategi pengembangan pariwisata antara lain sebagai berikut:

Partomo (2004) dalam tesisnya berjudul “Formulasi Strategi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango” mengungkapkan bahwa ada enam formulasi strategi dalam pengembangan ekowisata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yaitu pengembangan produk ekowisata, kerjasama dengan swasta untuk pengembangan ekowisata, mengefektifkan program interpretasi kepada pengunjung, pengembangan strategi pemasaran ekowisata, tindakan represif untuk mempertahankan ekosistem, serta optimalisasi sumberdaya manusia.

Wiranatha, dkk (2009) dalam studi “Pengembangan Ekowisata Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatra Utara” mengungkapkan bahwa dilihat dari perspektif ekonomi, beberapa indikator yang dapat menunjukkan manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata, antara lain: peluang kerja, nilai tambah yang diterima oleh masyarakat, dan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selama kunjungan wisatawan di kawasan Tangkahan, sebanyak 50% responden wisatawan mengatakan tinggal lebih dari sehari di kawasan ekowisata Tangkahan. Sebanyak 66,7% dari wisatawan yang berkunjung ke kawasan ekowisata Tangkahan ini melakukan

(2)

pengeluaran lebih dari Rp. 1.000.000 selama kunjungan mereka, dan sebagian besar (94,4%) dari para responden wisatawan ini mengatakan mereka menginap di akomodasi wisata. Secara ekonomi, kondisi ini akan mampu menciptakan peluang usaha dan peluang kerja yang signifikan bagi masyarakat Tangkahan. Hal ini tentu berimplikasi positif bagi masyarakat setempat dan juga pemerintah daerah.

Arsana (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Strategi Pengembangan Kawasan Masceti Sebagai Daya Tarik Wisata Alam Berbasis Masyarakat di Desa Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar” mengungkapkan bahwa, ada 3 alasan yang melatarbelakangi sikap persetujuan responden terhadap pengembangan kawasan Masceti sebagai destinasi wisata alam: 1) pengembangan kawasan Masceti sebagai daya tarik wisata alam, akan dapat meningkatkan perekonomian warga sekitarnya. Mereka berpandangan bahwa dengan dikembangkannya kawasan Masceti sebagai destinasi wisata, secara otomatis akan memberikan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat dan meningkatkan penghasilan para petani serta menambah pemasukan terhadap kas desa adat; 2) pengembangan wisata alam akan menunjang kelestarian lingkungan. Masyarakat memiliki kesadaran dan memahami dengan baik karakteristik wisatawan yang akan berkunjung ke destinasi wisata adalah sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap lingkungan dan memperhatikan keindahan alam; 3) dengan dikembangkannya kawasan Masceti sebagai destinasi wisata alam, maka ada beberapa jalur yang akan dilalui wisatawan sehingga memerlukan penataan terutama di sepanjang jalan menuju Pancoran 11 di lembah sungai Pekirisan.

(3)

Rero (2011) dalam tesisnya yang berjudul “Strategi Pengembangan Daya Tarik Wisata Spiritual di Kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur” mengungkapkan bahwa terdapat beberapa fasilitas yang mempengaruhi kepuasan wisatawan berkunjung ke Kota Larantuka, yaitu antara lain: kebersihan dan kelestarian lingkungan, ketersediaan sarana pariwisata, tempat parkir, toilet umum, warung dan pedagang kaki lima. Menurut jawaban responden menyatakan bahwa kebersihan dan kelestarian Kota Larantuka merupakan salah satu modal utama dalam pengembangan daya tarik wisata spiritual. Wisatawan spiritual akan cenderung mencari tempat yang nyaman dan tenang dalam melakukan kegiatan prosesi jumat agung.

2.2 Konsep

2.2.1 Konsep pariwisata

Pariwisata adalah salah satu dari industri gaya baru, yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam negara penerima wisatawan. Lagi pula pariwisata sebagai suatu sektor yang kompleks, meliputi industri-industri dalam arti yang klasik, seperti misalnya industry kerajinan tangan dan industri cinderamata. Penginapan dan transportasi juga secara ekonomi dipandang sebagai industri (Wahab, 2003 : 5).

Menurut MacIntos, dalam Pitana dan Diarat, (2009:45), “tourism is the sum of phenomena and relationship arising from the interaction of tourists, business suppliers, host government, host communites, in the process of attracting and hosting these tourists and other visitors”.

(4)

Menurut Guyer-Freuler di dalam bukunya yang berjudul Handbuch des Schweizerischen Volkswirtschaft, yang dialih bahasakan oleh Pendit (2006 : 34), merumuskan Pariwisata dalam arti modern adalah merupakan gejala zaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan atas kesehatan dan pergantian hawa, penilaian yang sadar dan menumbuh terhadap keindahan alam, kesenangan dan kenikmatan alam semesta, dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas dalam masyarakat sebagai hasil perkembangan perniagaan, industri dan perdagangan serta penyempurnaan alat-alat pengangkutan.

Pariwisata dapat disimpulkan sebagai keseluruhan hubungan dan fenomena yang timbul dari berbagai macam kegiatan wisata yang didukung dengan berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah di suatu daerah tujuan wisata. 2.2.2 Sumber daya pariwisata

Potensi wisata adalah semua daya tarik wisata (alam, budaya, buatan) yang memerlukan banyak penanganan agar dapat memberikan nilai daya tarik bagi wisatawan. Misalnya, gunung tinggi dan indah dipandang atau pantai landai berpasir putih dipulau terisolasi termasuk potensi wisata karena mempunyai peluang untuk dijadikan sebagai daya tarik wisata. Semuanya masih tergolong embrio daerah tujuan wisata (DTW). Setelah unsur-unsur aksesibilitas, amenitas, dan hospitality menyatu dengan destinasi wisata tersebut maka ia merupakan produk wisata (Damanik dan Weber, 2006: 11).

(5)

“Resource are not, they become; they are not static but expand and contract in response to human wants and human actions…Resource are attributes of the natural world that are no more than natural stuff until a combination of increased knowledge, expanding technology, and changing individual and societal objectives result in their presence being preceived, their cappacity to satisfy human wan” (Zimmermann dalam Pitana dan Diarta, 2009:68).

Sumber daya merupakan atribut alam yang bersifat netral sampai ada campur tangan manusia dari luar untuk mengubahnya agar dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan manusia itu. Dalam konteks pariwisata, sumber daya diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk dikembangkan guna mendukung pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Damanik dan Weber yang dikutip dari Pitana dan Diarta, (2009:70) sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata alam adalah: (1) Keajaiban dan keindahan alam (topografi); (2) Keragaman flora; (3) Keragaman fauna; (4) Kehidupan satwa liar; (5) vegetasi alam; (6) Ekosistem yang belum terjamah manusia; (7) rekreasi perairan (danau, sungai, air terjun, pantai); (8) Lintas alam (trekking, rafting, dan lain-lain); (9) Objek megalitik; (10) Suhu dan kelembaban udara yang nyaman; (11) Curah hujan yang normal, dan lain sebagainya.

2.2.3 Konsep strategi

Strategi adalah sebuah metode atau cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Seperti yang dikemukan oleh Evans, dkk, (2003: 9) bahwa kata strategi kadang-kadang digunakan oleh sebagian orang sebagai cara untuk menggantikan kata rencana. Hal ini cenderung dilakukan secara sengaja untuk memantau keberhasilan proses kerja dari awal hingga akhir sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, seperti kutipan di bawah ini.

(6)

"A ‘strategic’ is a means to achieve a desired end. As Evans et al. (2003:9) observed, ‘A plan is probably the way in wich most people use the word strategy. It tends to imply something that is intentionally put in train and its progress monitored from the start to a predetermined finish’. Porter (1980: xvi), who focused on the idea of thinking competitively, stated that ‘essentially, developing a competitive strategy is developing a broad formula for how a business is going to compete, what its goals should be, and what polices will be needed to carry out this goals’. Strategic planning is the proses by wich organizations effectively adap to their environment over time by integrating planning and management in a single process and seeks to deal with the following questions”:

 Where are we now? – Check (monitor and evaluate).  Where do we want to get to? – Plan.

 How do we get there? – Do (action). (Hall, 2008: 113).

Menurut Steiner dan Miner dalam bukunya kebijakan dan strategi manajemen mengemukakan bahwa “Strategi adalah penetapan misi perusahaan, penetapan sasaran organisasi dengan mengingat kekuatan internal dan eksternal, perumusan kebijakan dan strategi tertentu untuk mencapai sasaran dan memastikan implementasinya secara tepat, sehingga tujuan dan sasaran utama organisasi tercapai” (http://asepruli.blogspot.com/2009/06/konsep-strategi.html).

Konsep strategi menurut Chandler dalam Rangkuti (2005:3) mengemukakan bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi sumber daya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Dalam hubungannya dengan perencanaan strategi mempunyai tujuan agar perusahaan dapat melihat secara obyektif kondisi internal dan eksternal, sehingga perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Perencanaan strategis penting

(7)

untuk memperoleh keunggulan bersaing dan memiliki produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dan dukungan sumber daya yang ada. Strategi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kesatuan rencana yang konprehensif dan terpadu untuk mencapai tujuan pembangunan kawasan pariwisata yang dapat memberikan manfaat positif bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat didalamnya dengan mempertimbangkan kondisi internal dan eksternal kawasan pariwisata. Dalam hal ini strategi pengembangan kawasan Gunung Tatamailau, Desa Nunomogue sebagai daya tarik wisata.

2.2.4 Konsep pengembangan

Dalam pengembangan pariwisata, baik pengembangan destinasi pariwisata maupun pengembangan potensi daya tarik wisata pada umumnya merupakan bagian dari sebuah strategi dalam upaya mamajukan, memperbaiki dan meningkatkan kondisi kepariwisataan terhadap suatu daya tarik wisata yang diawali dengan perencanaan yang matang dan bersifat holistik dengan memperhatikan berbagai potensi dan kondisi riil daerah setempat, sehingga memberikan nilai tambah dan bermanfaat bagi masyarakat di sekitar destinasi wisata, pemerintah daerah dan wisatawan. Alwi dkk, (2005:538) mendefinisikan pengembangan adalah suatu proses, cara, perbuatan mengembangkan sesuatu menjadi lebih baik, maju sempurna dan berguna. Jadi pengembangan pariwisata merupakan suatu proses/aktivitas memajukan pariwisata yang ditata sedemikian rupa dengan memajukan atau memilihara yang sudah ada agar menjadi menarik dan lebih berkembang.

(8)

Konsep pengembangan pariwisata yang dikutip dari (http://www.scribd.com/doc/27064086/A), diakses tanggal 25 Nov 2011, mengatakan bahwa pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya pariwisata mengintegrasikan segala bentuk aspek di luar pariwisata yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung akan kelangsungan pengembangan pariwisata. Menurut Swarbrooke, yang dikutip dari (http://www.scribd.com, diakses 25/11/2011) terdapat beberapa jenis pengembangan, yaitu:

a) Keseluruhan dengan tujuan baru, membangun atraksi di situs yang tadinya tidak digunakan sebagai atraksi.

b) Tujuan baru, membangun atraksi pada situs yang sebelumnya telah digunakan sebagai atraksi.

c) Pengembangan baru secara keseluruhan pada keberadaan atraksi yang dibangun untuk menarik pengunjung lebih banyak dan untuk membuat atraksi tersebut dapat mencapai pasar yang lebih luas, dengan meraih pangsa pasar yang baru.

d) Pengembangan baru pada keberadaan atraksi yang bertujuan untuk meningkatkan fasilitas pengunjung atau mengantisipasi meningkatnya pengeluaran sekunder oleh pengunjung.

e) Penciptaan kegiatan-kegiatan baru atau tahapan dari kegiatan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain dimana kegiatan tersebut memerlukan modifikasi bangunan dan struktur.

(9)

Selanjutnya, Cooper, et al (dalam Suwena dan Widyatmaja, 2010:88) mengungkapkan bahwa Daerah Tujuan Wisata harus didukung empat komponen utama atau yang dikenal “4A” yaitu: a) Atraksi (attraction), b) aksesibilitas (access), c) Fasilitas (aminities), dan d) Pelayanan Tambahan (uncillary service). 1. Attraction (daya tarik wisata)

Menurut Warpani (2007: 30-31), daya tarik wisata adalah elemen yang menjadi faktor penyebab/pemicu pariwisata, menjadi magnet suatu daerah. Tanpa daya tarik wisata, apapun bentuknya, tidak akan terjadi pariwisata. Barangkali dapat dikatakan bahwa daya tarik inilah mata dagang utama suatu DTW. Oleh karena itu, keunikan daya tarik wisata memiliki makna amat penting yang harus dijaga keunikan dan kelestariannya untuk memelihara dan mengembangkan pasar wisata suatu DTW. Selanjutnya ditambahkan bahwa daya tarik wisata merupakan komponen utama pariwisata, namun acapkali karakter daya tarik itu tidak cukup kuat untuk menahan wisatawan agar tinggal lebih lama dan/atau menarik wisatawan agar datang kembali pada saat lain. Dalam upaya menahan wisatawan untuk tinggal lebih lama dan berkunjung kembali, maka daya tarik wisata di suatu DTW diperkuat dengan suguhan pertunjukkan atau diciptakan suatu peristiwa, artinya selain daya tarik wisata yang sudah ada, apa lagi yang dapat dinikmati, dilihat, ditonton, dilakukan, diperoleh oleh para wisatawan selama berkunjung, sedemikian rupa sehingga memberikan kesan yang memikat.

Menurut Pitana dan Diarta (2009: 130) atraksi destinasi merupakan elemen-elemen yang terkandung dalam destinasi dan lingkungan di dalamnya yang secara individual atau kombinasinya memegang peranan penting dalam

(10)

memotivasi wisatawan untuk berkunjung ke destinasi tersebut. Atraksi destinasi bisa berupa atraksi alam, seperti landscape, pantai, pegunungan, iklim, lembah; atraksi buatan seperti kota bersejarah, taman dan resort; atraksi budaya seperti atraksi teatrikal, drama, festival, museum dan galeri, dan atraksi sosial seperti kesempatan berbaur dengan masyarakat di daerah tujuan wisata dan ikut mengalami cara hidup bersama mereka.

Menurut Hadinoto (1996: 18) yang diartikan atraksi wista adalah atraksi yang diidentifikasikan dalam suatu penelitian, dan tela dikembangkan menjadi atraksi wisata berkualitas dan memiliki aksesibilitas baik. Beberapa studi yang telah dilakukan untuk mengetahui urutan pentingnya sifat/ciri daya tarik wisata, adalah sebagai berikut:

 PATA 1967 menghasilkan urutan: 1. Masyarakat ramah dan hangat 2. Akomodasi nyaman

3. Pemandangan alam yang indah 4. Harga-harga layak

5. Adat-istiadat dan kehidupa masyarakat  American Express 1997 memberikan urutan:

1. Pemandangan alam indah 2. Sikap ramah penduduk local 3. Akomodasi layak

4. Istirahat dan santai 5. Tarif penerbangan

(11)

 Penduduk Hongkong menurut PATA 1984 memberikan urutan: 1. Pemandangan alam indah

2. Masyarakat ramah dan hormat 3. Akomodasi baik, modern 4. Tidak mahal untuk dikunjungi

5. Stabilitas politik dari Negara yang dikunjungi

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa atraksi atau daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi penyebab wisatawan mengunjungi suatu daerah tertentu karena terdapat sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat, baik itu daya tarik wisata alam maupun binaan atau buatan manusia. Yang termasuk dalam daya tarik wisata alam diantaranya iklim, pemandangan, flora dan fauna serta keunikan alam lainnya. Sedangkan daya tarik wisata binaan atau cultural attraction mencakup sejarah, arkeologi, religi dan kehidupan tradisional.

2. Accesibility (aksesibilitas)

Salah satu komponen infrastruktur yang penting dalam destinasi adalah aksesibilitas. Menurut Suwantoro (2004:21), prasarana pariwisata adalah sumber daya alam dan sumber daya buatan manusia yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannya didaerah tujuan wisata, seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi, terminal, jembatan dan lain sebagainya. Untuk kesiapan destinasi pariwisata yang akan dikunjungi oleh wisatawan di daerah tujuan wisata tersebut perlu dibangun disesuaikan dengan lokasi dan kondisi destinasi wisata yang bersangkutan.

(12)

Menurut Yoeti (2008:16) yang dimaksud dengan aksesibilitas adalah semua kemudahan yang diberikan bukan hanya kepada calon wisatawan yang ingin berkunjung, akan tetapi juga kemudahan selama melakukan perjalanan di daerah tujuan wisata yang dikunjungi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: airport, seaport, station, higway (jalan raya besar), bridges, telecommunication, atau transportation, electric and water supply. Pada dasarnya semua prasarana yang memberikan kemudahan bagi wisatawan untuk datang berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata, tanpa itu tidak mungkin pariwisata dikembangkan sebagai suatu industri.

Menurut Pitana dan Diarta (2009: 130) aksesibilitas merupakan mudah atau sulitnya wisatawan menjangkau destinasi yang diinginkannya. Akses berkaitan dengan infrastruktur transportasi, seperti lapangan udara, terminal bus dan kereta api, jalan tol, rel kerata api, dan sejenisnya. Termasuk di dalamnya teknologi transportasi yang mampu menghemat waktu dan biaya untuk menjangkau destinasi wisata tersebut.

3. Aminities (fasilitas)

Dalam pengembangan sebuah destinasi wisata dibutuhkan adanya fasilitas yang berfungsi sebagai pelengkap dan untuk memenuhi berbagai kebutuhan wisatawan yang bermacam- macam. Menurut Suwantoro (2004:22), Sarana wisata merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya. Pembangunan sarana wiata di daerah tujuan wisata maupun destinasi wisata tertentu harus disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan baik secara kuantitatif maupun

(13)

kualitatif. Lebih dari itu selera pasarpun dapat menentukan tuntunan sarana yang dimaksud. Berbagai sarana yang harus disediakan didaerah tujuan wisata ialah: hotel, biro perjalanan, alat transportasi, restoran dan rumah makan serta sarana pendukung lainnya. Tak semua destinasi wisata memerlukan sarana yang sama atau lengkap. Pengadaan sarana tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan.

Menurut Cooper, et al (dalam Suwena dan Widyatmaja, 2010: 90) fasilitas (amenities) adalah segala macam prasarana dan sarana yang diperlukan oleh wisatawan selama berada di daerah tujuan wisata. Sarana dan prasarana yang dimaksud seperti: akomodasi, usaha makanan dan minuman, transportasi dan infrastruktur.

4. Ancillary service (pelayanan tambahan)

Ancillary service sering disebut juga pelengkap yang harus disediakan oleh pemerintah daerah tujuan wisata, baik untuk wisatawan maupun untuk pelaku pariwisata. Pelayanan yang disediakan termasuk: pemasaran, pembangunan fisik, dan mengkoordinir segala macam aktivitas dengan peraturan perundang-undangan baik di destinasi wisata maupun di jalan raya. Misalkan, wisatawan memperoleh pelayanan informasi di Tourism Information Center (TIC), baik berupa penjelasan langsung maupun bahan cetak seperti brosur, buku leaflet, poster, peta dan lain sebagainya. Jasa pendukung lainnya yang sangat penting adalah jasa pemandu. Pemandu harus memahami informasi mengenai daerah tempat ia bekerja. Pengetahuan tentang pelayanan dan keramatamahan juga sangat diperlukan. Pemandu tidak hanya sekedar memberikan informasi, tapi juga harus dapat

(14)

meningkatkan kesadaran wisatawan untuk menghormati alam dan budaya setempat. Jasa pendukung tersebut sangat tergantung pada daerah tujuan wisata, semakin terpencil, maka jasa pendukung akan semakin minim. Namun hal ini umumnya dapat dimaklumi karena wisatawan yang memilih pergi ketempat terpencil sudah mempersiapkan diri dengan kondisi lapangan yang terbatas. 2.2.5 Persepsi

Kata persepsi berasal dari bahasa asing “perception” yang telah di Indonesiakan, yang mengandung pengertian penglihatan atau daya memahami / menanggapi. Persepsi merupakan masalah penting dan menarik untuk dikaji, sehingga para ahli menempatkan persepsi sebagai problema sentral pada beberapa penelitiannya, apabila dikaitkan dengan penelitian ini, persepsi masyarakat sangat diperlukan untuk mengetahui prilaku manusia dalam kehidupan sehari-harinya, maka persepsi seseorang akan memberikan corak pada perilaku sehari-hari terhadap beberapa objek yang ada di sekitarnya, baik objek benda mati maupun objek benda hidup.

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu suatu proses yang diterima stimulus individu melalui alat reseptor yaitu alat indera. Proses penginderaan ini tidak terlepas dari proses persepsi. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia eksternal. Gibson (1986) dalam Kusherdyana (2011: 17), mengemukakan bahwa persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Dengan kata lain persepsi mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang

(15)

diorganisasikan dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap.

Dari pengertian persepsi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, persepsi masyarakat merupakan proses dari suatu aktivitas dimana secara individu atau kelompok menggunakan indrianya untuk memandang, menilai serta mengevaluasi besarnya perasaan suka atau tidak suka, perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek tertentu sehingga tercipatanya suatu gambaran yang berarti.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Pengembangan pariwisata

Dalam pengembangan pariwisata, baik pengembangan destinasi pariwisata maupun pengembangan daya tarik wisata pada umumnya merupakan bagian dari sebuah strategi dalam upaya mamajukan, memperbaiki dan meningkatkan kondisi kepariwisataan terhadap suatu daya tarik wisata yang diawali dengan perencanaan yang matang dan bersifat holistik dengan memperhatikan berbagai potensi dan kondisi riil daerah setempat, sehingga memberikan nilai tambah dan bermanfaat bagi masyarakat di sekitar destinasi wisata, pemerintah daerah dan wisatawan. Alwi, dkk, (2005:538) mendefinisikan pengembangan adalah suatu proses, cara, perbuatan mengembangkan sesuatu menjadi lebih baik, maju sempurna dan berguna. Jadi pengembangan pariwisata merupakan suatu proses/aktivitas memajukan pariwisata yang ditata sedemikian rupa dengan memajukan atau memilihara yang sudah ada agar menjadi menarik dan lebih berkembang.

(16)

Pariwisata adalah salah satu dari industri gaya baru, yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam Negara penerima wisatawan. Lagi pula pariwisata sebagai suatu sektor yang kompleks, meliputi industri-industri dalam arti yang klasik, seperti misalnya industry kerajinan tangan dan industri cenderamata. Penginapan dan transportasi juga secara ekonomi dipandang sebagai industri (Wahab, 2003:5).

Guyer-Freuler di dalam dalam Pendit (2006: 34), merumuskan pariwisata dalam arti modern adalah merupakan gejala zaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan atas kesehatan dan pergantian hawa, penilaian yang sadar dan menumbuh terhadap keindahan alam, kesenangan dan kenikmatan alam semesta, dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas dalam masyarakat sebagai hasil perkembangan perniagaan, industri dan perdagangan serta penyempurnaan alat-alat pengangkutan.

Pariwisata dapat disimpulkan sebagai keseluruhan hubungan dan fenomena yang timbul dari berbagai macam kegiatan wisata yang didukung dengan berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah di suatu daerah tujuan wisata.

Menurut Swarbrooke, yang dikutip dari (http://www.scribd.com), diakses tanggal 25 Nov 2011, pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya pariwisata mengintegrasikan segala bentuk aspek di luar pariwisata yang berkaitan

(17)

secara langsung maupun tidak langsung akan kelangsungan pengembangan pariwisata.

2.3.2 Teori siklus destinasi wisata

Menurut Butler, (2006: 5-8) dalam bukunya The Tourism Area Life Cycle, secara teoritis ada enam tahap pengembangan pariwisata yaitu:

1) Tahap penemuan (exploration); pada tahap ini daerah tujuan wisata ditemukan oleh sejumlah orang sebagai wilayah wisata baru. Mereka umumnya para pengembara, petualang, dan atau pecinta alam. Motif para pengembara pada dasarnya adalah eksplorasi, berburu, santai, atau sekedar menyalurkan hasrat kecintaan pada kehidupan alamiah. Di daerah tujuan wisata ini para pengembara tidak memiliki pengharapan untuk perlakukan secara profesional. 2) Tahap keterlibatan (involvement); pada tahap ini, inisiatif masyarakat lokal

menyediakan fasilitas akomodasi wisatawan, kemudian promosi daerah wisata dimulai dengan dibantu keterlibatan pemerintah. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah wisatawan. Tipe wisatapun mulai berubah, fasilitas kepariwisataanpun mulai bermunculan, ini terjadi karena tipe wisatawan berbeda dan sudah mengginkan pelayanan yang profesional, sementara itu kesadaran wisata dan gaya taraf hidup masyarakat setempat mulai mengalami peningkatan dan pemerintah pun mulai ikut campur dalam pembangunan serta prasarana dan sarana kepariwisataan. Dalam pengelolaan berbagai fasilitas kepariwisataan tersebut semua itu dilakukan semata-mata sebagai tanggapan dan inisiatif lokal yang bersifat spontan, belum terkoordinasi dan memenuhi standar kepariwisataan.

(18)

3) Tahap pengembangan/pembangunan (development); pada tahap ini jumlah wisatawan yang datang meningkat tajam. Pada musim puncak, wisatawan bisa menyamai, bahkan melebihi jumlah penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaruhi fasilitas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah rusaknya fasilitas dan lingkungan mulai terjadi.

4) Tahap konsilidasi dan interelasi (consolidation), pada tahap ini, tingkat pertumbuhan sudah mulai menurun walaupun jumlah wisata masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan kecenderungan terjadinya monopoli sangat kuat.

5) Tahap kestabilan (stagnation); pada tahap ini, jumlah wisatawan yang datang pada musim ramai, tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan pariwisata, ini disadari bahwa kunjungan ulang wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan komponen-komponen lain pendukungnya sangat dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan wisatawan mungkin mengalami masalah lingkungan, sosial dan ekonomi. 6) Tahap penurunan kwalitas (decline) atau kelahiran baru (rejuvenation);

pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui semula dan menjadi resort baru. Kepemilikan berpeluang kuat untuk berubah, dan fasilitas pariwisata, seperti akomodasi akan berubah pemanfaatanya, akhimya pengambil kebijakan mengakui tingkatan ini dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai “kelahiran baru”. Selanjutnya terjadi kebijaksanaan

(19)

baru dalam berbagai bidang seperti pemanfaatan, pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah tujuan wisata tersebut.

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini diawali adanya fenomena yang terjadi terhadap pengembangan potensi daya tarik wisata Gunung Tatamailau yang terletak di Desa Nunomogue, Kecamatan Hatubuilico, Kabupaten Ainaro Timor Leste. Gunung Tatamailau disebut sebagai salah satu destinasi wisata yang ada di Timor Leste karena adanya tamu atau wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut, namun ditinjau dari aspek pariwisata belum didukung oleh empat komponen utama pariwisata sebagai prasyarat dasar suatu destinasi yaitu atraksi, aksesibilitas, amenitas, dan ancillary service (Cooper et, al dalam Suwena dan Widyatmaja, 2010:88) untuk mendukung kegiatan wisatawan selama berada di lokasi wisata. Prasarana pariwisata kurang menunjang, fasilitas pelayanan pariwisata sangat terbatas, dan status pengelolaan Gunung Tatamailau sebagai destinasi wisata yang dikelola secara professional belum jelas, sehingga untuk mewujudkan pengembangan pariwisata sebagai destinasi wisata diperlukan adanya konsep atau model yang merupakan abstraksi dari kajian pustaka.

Atas dasar pemikiran di atas maka dirumuskan masalah, antara lain:

(1) Bagaimana potensi daya tarik wisata dan fasilitas pelayanan pariwisata di Gunung Tatamailau berdasarkan persepsi wisatawan?

(2) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengembangan pariwisata di Gunung Tatamailau, Desa Nunomogue?

(20)

(3) Bagaimana strategi pengembangan pariwisata di Gunung Tatamailau, Desa Nunomogue, Kecamatan Hatubuilico?

Permasalahan yang telah diuraikan di atas dapat diselesaikan dengan menggunakan konsep-konsep dan teori-teori yang relevan sehingga dapat merumuskan strategi pengembangan pariwisata berdasarkan pada potensi daya tarik wisata yang ada di Gunung Tatamailaum dengan melibatkan semua pihak (stakeholder) secara terpadu baik pemerintah, pihak swasta, ataupun masyarakat setempat. Analisis IFAS – EFAS (Rangkuti, 2005) digunakan untuk mengetahui faktor-fator internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) di Gunung Tatamailau. Setelah itu dalam matriks internal-eksternal (IE) untuk menentukan posisi grand strategy kawasan Gunung Tatamailau, dan menggunakan analisis SOWT untuk merumuskan strategi alternatif pengembangan pariwisata Gunung Tatamailau.

Dari hasil analisis tersebut, adanya suatu rekomendasi yang ditujukan kepada stakeholder (pemerintah, pihak swasta dan masyarakat) dalam rangka mengembangkan potensi pariwisata Gunung Tatamailau sebagai destinasi wisata di Desa Nunomogue, Kecamatan Hatubuilico, Kabupaten Ainaro, Timor Leste. Model penelitian digambarkan seperti pada Gambar 2.1.

(21)

Gambar 2.1 Model Penelitian Rumusan Masalah:

1. Bagaimana potensi daya tarik wisata dan fasilitas pelayanan pariwisata di GTML berdasarkan persepsi wisatawan? 2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengembangan Pariwisata di GTML? 3. Bagaimana merumuskan strategi pengembangan pariwisata di GTML? Potensi Pengembangan Pariwisata Gunung Tatamailau Desa Nunomogue Lingkungan Internal:  Kekuatan  Kelemahan Lingkungan Eksternal:  Peluang  Ancaman

Matriks Internal Eksternal IE Matriks IFAS Strategi Pengembangan Pariwisata Gunung Tatamailau Kawasan Pariwisata Gunung Tatamailau Teori: 1. Pengembangan Pariwisata 2. Siklus Destinasi Wisata Analisis SWOT Matriks EFAS

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah sebetulnya bukan tidak memahami penderitaan dan tekanan kemiskinan yang dialami masyarakat desa pesisir khususnya para nelayan, salah satu program pembangunan

Fitofarmaka harus memenuhi kriteria yang terdiri dari aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik, telah dilakukan

Tujuan utama pembibitan adalah mempersiapkan bibit yang baik dan seragam, karena hal tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan penanaman dilapangan dan untuk

Batas toleransi kadar Aflatoksin, sebagaimana telah tercantum pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Pakan maupun perubahannya, pada Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan dan pada

Manfaat secara akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang teknik pertambangan khususnya

Namun sekarang ini lambat laun potensi sumber daya alam Desa Sariwangi yang sebelumnya merupakan areal pertanian dataran tinggi/peladang penghasil palawija dan bunga- bunga kini

exigua dilakukan pada pertanaman bawang merah yang berumur 12 HST (bulan baru), 19 HST (bulan setengah), dan 26 HST (bulan penuh) (Tabel 1) pada setiap kondisi sinar

Of Imagery, Critical Thinking, And Asthma Education On Symptoms And Mood State In Adult Asthma Patients 3 , Nature-Based Guided Imagery as an Intervention for