commit to user
HUBUNGAN ANTARA STRES KRONIS PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DENGAN PENURUNAN LIBIDO SEKSUAL PADA PRIA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
MAULIA PRISMADANI G0008126
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seksualitas merupakan bagian integral dari kehidupan manusia.
Seksualitas didefinisikan sebagai kualitas manusia, perasaan paling dalam,
akrab, intim dari lubuk hati paling dalam, dapat berupa pengakuan,
penerimaan dan ekspresi diri manusia sebagai makhluk seksual (Salbiah,
2003). Seksualitas dan perasaan seksual manusia dimulai jauh sebelum bayi
lahir dan terus berlangsung hingga kehidupannya berakhir (Yuliadi, 2011).
Menurut Pangkahila dalam Agung (2009), seksualitas dalam perkawinan
mempunyai empat dimensi, yaitu prokreasi, rekreasi, relasi, dan institusi.
Tahap pertama dari total empat aktivitas seksual sebelum ereksi,
ejakulasi dan orgasme adalah gairah seks atau libido (Andhika, 2010). Libido
didefinisikan sebagai kebutuhan untuk aktivitas seksual (dorongan seksual)
dan sering dinyatakan sebagai perilaku mencari seks (Fouad et al., 2001).
Libido atau gairah seksual merupakan “bahan bakar” dari aktivitas seksual.
Tanpa libido seksual, hubungan seksual kurang berkualitas.
Banyak orang mengira libido ditimbulkan oleh hormon, padahal
kenyataannya tidak selalu demikian. Menurut Dr. Alex Pangkahila, Ph.D,
libido pada manusia lebih dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor
kejiwaan, fisik, lingkungan, dan pengalaman seksual (Andika, 2009). Jika
commit to user
libidonya juga akan normal. Sebaliknya, libido dapat terganggu jika salah
satunya terganggu.
Beberapa hasil penelitian telah menemukan hubungan antara kondisi
jiwa dengan gangguan libido seksual. Sebuah studi wawancara terstruktur
melaporkan bahwa 55 % laki-laki dengan hasrat seksual rendah memiliki
riwayat depresi berat, 12 % melaporkan peningkatan hasrat seksual dalam
kondisi stres, sedangkan 51 % melaporkan penurunan hasrat seksual dalam
kondisi stres (Brotto, 2010). Keadaan stres dapat bersumber pada frustasi,
konflik, tekanan, atau krisis. Salah satu bentuk frustasi yang datangnya dari
luar adalah bencana alam (Maramis, 2005a).
Bencana alam yang baru-baru ini terjadi di Indonesia adalah letusan
Gunung Merapi yang terletak di empat kabupaten, yaitu Magelang, Boyolali,
Klaten di Jawa Tengah dan Sleman di Yogyakarta (Muhammad, 2011). Salah
satu permasalahan yang timbul di kalangan pengungsi adalah permintaan
pembuatan “bilik asmara” bagi para pengungsi untuk memenuhi kebutuhan
seksual suami istri (Kurniawan, 2010). Letak hunian sementara para
pengungsi yang terlalu berdekatan satu sama lain menyebabkan
ketidaknyamanan dalam melakukan hubungan suami istri. Fungsi keberadaan
“bilik asmara” di kalangan pengungsi sendiri masih dipertanyakan. Di
tengah-tengah bencana alam dengan tingkat stressor yang tinggi apakah keberadaan
“bilik asmara” untuk memenuhi kebutuhan seksual suami istri tersebut
commit to user
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk menggali
hubungan antara stres kronis yang terjadi pasca letusan Gunung Merapi
dengan terjadinya penurunan libido seksual pada pria.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung
Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kronis
pasca letusan Gunung Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria.
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk dilakukannya
penelitian lebih lanjut mengenai stres kronis pasca bencana alam dan
penurunan libido seksual.
2. Aspek praktis
Jika diperoleh hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung
Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria maka diharapkan
hasil penelitian ini berguna sebagai bukti ilmiah untuk dilakukannya
tindakan preventif dan pengobatan dari aspek psikis terhadap korban
commit to user
4 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Libido Seksual
a. Definisi
Menurut Sigmund Freud, unsur seksual sangat dipengaruhi
oleh adanya suatu energi vital yang dinamakan libido. Pengertian
libido itu sendiri adalah energi vital yang sepenuhnya bersifat
kejiwaan dan tidak bisa dicampurkan dengan energi-energi fisik
yang bersumber pada kebutuhan-kebutuhan biologis, libido
bersumber pada seks (Sarwono, 2002a).
Freud mengemukakan bahwa manusia terlahir dengan
sejumlah insting (naluri). Insting-insting itu dapat digolongkan
dalam dua jenis, yaitu insting hidup (life instinct) dan insting
mati (death instinct). Insting hidup adalah naluri untuk
mempertahankan hidup dan keturunan, sedangkan insting mati
adalah naluri yang menyatakan bahwa pada suatu saat seseorang
itu akan mati. Mengenai insting hidup jelas dinyatakan sebagai
insting seksual dan energi-energi yang berasal dari insting
seksual inilah yang disebutnya sebagai libido atau dapat diartikan
commit to user
Insting-insting seksual mula-mula memang berkaitan erat
dengan bagian-bagian tubuh tertentu, yaitu bagian-bagian tubuh
yang dapat menimbulkan kepuasan seksual. Bagian-bagian tubuh
itu disebut daerah-daerah erogen (erogenous zones), yaitu mulut,
anus (pelepasan), dan alat kelamin. Namun, dengan
berkembangnya sistem kejiwaan manusia, rasa puas atau
ketegangan-ketegangan (tension) yang berasal dari daerah-daerah
erogen ini lama-kelamaan terlepas dari kaitannya dengan tubuh
dan menjadi dorongan-dorongan yang berdiri sendiri sendiri
(Sihite, 2010).
Dalam tahapan perkembangan psikoseksual individu
sendiri dibagi ke dalam dua alur besar, dimana alur besar yang
pertama disebut tingkat pragenital yang terdiri dari tingkat oral,
anal dan falik. Sedangkan alur besar yang kedua terbagi ke dalam
tingkat laten dan tingkat genital (Sarwono, 2002c). Selanjutnya
akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Tingkat oral, pada tahapan ini berlangsung pada usia bayi
satu hari hingga satu tahun. Dalam fase ini pusat
kenikmatan bersumber pada daerah tubuh sekitar mulut;
2) Tingkat anal, terjadi pada usia satu tahun hingga empat
tahun, perkembangan psikoseksual pada masa ini dibagi
menjadi dua tahap yaitu, tahap anal eksklusif, di mana anak
commit to user
sedangkan tahap selanjutnya disebut tahap anal alternatif di
mana anak mendapatkan kepuasan seksual dengan menahan
tinja dalam perut;
3) Tingkat falik, terjadi pada usia empat sampai dengan enam
tahun inti dari perkembangan psikoseksual pada masa ini
adalah kompleks oedipoes. Kompleks oedipoes berarti cinta
seorang anak laki-laki kepada ibunya atau cinta seorang
anak perempuan kepada ayahnya. Di samping itu,
tanda-tanda pada periode ini antara lain, meningkatnya kegiatan
masturbasi, meningkatnya keinginan untuk bersentuhan
tubuh dengan anggota keluarga yang berlawanan jenis, dan
meningkatnya kecenderungan ekshibisionis;
4) Tingkat laten, adalah masa konsolidasi dalam
perkembangan psikoseksual. Tidak ada perkembangan atau
pertumbuhan baru. Mekanisme-mekanisme pertahanan
seksual yang sudah ada dimanfaatkan untuk penyesuaian
diri terhadap lingkungan, tetapi tidak ada
mekanisme-mekanisme baru yang dibentuk;
5) Tingkat genital, adalah penghubung antara masa anak-anak
dan dewasa. Ada tiga tahapan pada tahap ini yaitu, tahap
prapuber ditandai dengan meningkatnya kembali dorongan
libido, tahap puber yaitu ditandai dengan pertumbuhan
commit to user
kemampuan organik (ereksi), selanjutnya adalah tahap
adaptasi di mana remaja bersangkutan menyesuaikan diri
terhadap dorongan-dorongan seksual dan
perubahan-perubahan kondisi fisik yang tiba-tiba mengarah pada
bentuk kematangan fisik ke arah tahap individu dewasa.
b. Fisiologi Libido Seksual
Sedikit yang diketahui tentang dasar fisiologi libido.
Namun, diduga faktor-faktor seperti pengalaman seksual, latar
belakang perkembangan otak, faktor psikososial dan aktivasi
reseptor dopaminergik saraf tulang belakang serta hormon gonad
ikut berperan dalam pengaturan hasrat seksual pada pria (Fouad
et al., 2001). Beberapa bukti menunjukkan bahwa peran
neurotransmiter dopaminergik sentral sangat mendukung
stimulus perilaku seksual dan ereksi pada pria. Selanjutnya,
pengeluaran testosteron dari kopulasi distimulus oleh
peningkatan jumlah dopamin di daerah preoptik medial melalui
pengaturan sintesis NO (Fouad et al., 2001).
Peran aktivitas dopaminergik untuk stimulus perilaku
seksual pada manusia didukung oleh sejumlah hasil pengamatan
seperti (1) penggunaan dopamine agonis bromocriptine
apomorphine dan pergolide mesylate sering menimbulkan ereksi
penis secara spontan, (2) penggunaan levodopa prekursor
commit to user
atau munculnya emisi nokturnal pada 20-30 % pasien Parkinson
yang dirawat dengan agen tersebut, dan (3) penggunaan agen
farmakologis dengan efek antidopaminergik berkaitan dengan
penurunan libido dan disfungsi ereksi (Fouad et al., 2001).
Namun, agen farmakologis yang digunakan bisa merangsang
atau menghambat sistem lain termasuk adrenergik, kolinergik,
serotoninergik, dan histaminik yang dapat menurunkan libido
melalui penghambatan sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad atau
penghambatan aktivitas 5-α-reduktase (Fouad et al., 2001).
Peran androgen dalam mengatur perilaku seksual pada
laki-laki telah dibuktikan oleh Mooradian dalam Fouad (2001). Kadar
serum testosteron yang tinggi berkaitan dengan aktivitas seksual
yang lebih besar dan juga dapat mempersingkat latensi ereksi
melalui perangsangan erotis. Penarikan terapi androgen pada pria
hipogonadisme menyebabkan penurunan libido dalam 3-4
minggu dan disfungsi ereksi.
Dua hormon androgen yang mempengaruhi hasrat seksual
pria adalah testosteron (T) dan prolaktin (PRL). Segrave dan
Balon memperkirakan 200 – 350 mg/dL hormon testosteron
dibutuhkan untuk fungsi seksual normal. Pada keadaan
terangsang, hormon testosteron pria meningkat dengan cepat dari
10 hingga 35 nmol/L (atau sekitar 300 – 1000 mg/dL) (Windhu,
commit to user
Hormon testosteron pada pria terutama berasal dari testis,
tetapi dalam jumlah kecil berasal dari korteks adrenal. Kontrol
produksi hormon testosteron dimulai dari dalam hipotalamus
yang mensekresi GnRH. Gonadotropin-releasing hormone
kemudian menstimulus bagian anterior dari hipofisis untuk
menghasilkan baik LH maupun FSH yang bereaksi pada sel-sel
di dalam testis. Leutinizing hormone menyebabkan sel-sel Leydig
menghasilkan testosteron dan FSH menginduksi sel-sel Sertoli
untuk menghasilkan spermatozoa. Pada pria usia lanjut, fungsi
baik testis maupun aksis hipotalamus-hipofisis berkurang, yang
mempengaruhi produksi hormon testosteron yang juga berkurang
(Windhu, 2009a).
Prolaktin adalah hormon yang dihasilkan oleh hipofisis
anterior dan sekresi dipengaruhi oleh hipotalamus melalui
hypothalamic prolactininhibiting hormone (PIH) dan putative
prolactin-releasing hormone (PRH). Penurunan PRL pada pria
dan wanita menyebabkan berkurangnya hasrat seksual dan juga
kemungkinan masalah ereksi dan ejakulasi (Windhu, 2009a).
c. Perilaku Seksual pada Pria
1) Ereksi
Ereksi merupakan pengerasan penis yang dalam keadaan
normal lemas yang memungkinkannya masuk ke vagina.
commit to user
dalam penis, tetapi akibat pembengkakan penis oleh darah.
Penis sebagian besar terdiri dari jaringan erektil yang terdiri
dari tiga kolom ruang-ruang vaskuler seperti spons yang
berjalan di sepanjang organ. Apabila tidak terjadi
rangsangan seksual, jaringan erektil hanya berisi sedikit
darah karena arteriol dalam keadaan konstriksi. Akibatnya
penis tetap kecil dan lemas. Selama perangsangan seksual,
arteriol-arteriol itu berdilatasi dan jaringan erektil terisi
oleh darah, sehingga penis membesar baik panjang maupun
lebarnya serta menjadi lebih keras (kaku). Penimbunan
darah ini dan peningkatan ereksi terjadi karena penurunan
aliran darah vena. Vena-vena yang mendapat darah dari
jaringan erektil tertekan akibat pembengkakan yang
ditimbulkan oleh peningkatan aliran masuk darah arteri.
Respons ini mengubah penis menjadi organ yang mengeras
dan memanjang serta mampu masuk menembus vagina
(Sherwood, 2002). Refleks ereksi adalah suatu reaksi spinal
yang dipicu oleh stimulasi mekanoreseptor yang sangat
peka di glans penis, yang menutupi ujung penis. Hal ini
memicu peningkatan aktivitas parasimpatis dan penurunan
aktivitas simpatis ke arteriol-arteriol penis, sehingga terjadi
commit to user
2) Ejakulasi
Seperti ereksi, ejakulasi dilakukan oleh refleks spinal.
Rangsangan taktil dan psikis yang memicu ereksi akan
menyebabkan ejakulasi jika tingkat perangsangan menguat
sampai ke puncak. Respon ejakulasi berlangsung dalam dua
fase, yaitu emisi dan ekspulsi. Fase emisi merupakan
pengosongan sperma dan sekresi kelenjar seks tambahan
(semen) ke dalam uretra. Sedangkan ekspulsi merupakan
penyemprotan dengan kuat dan ekspulsif semen dari penis
(Sherwood, 2002).
d. Peran Hormon Seks
Androgen, khususnya testoren, diperlukan, meskipun tidak
mutlak, untuk timbulnya nafsu seks pada laki-laki. Namun pada
laki-laki dengan fungsi gonad normal, ternyata tidak ada korelasi
antara kadar testosteron darah dengan nafsu berahi, kegiatan
seks, ataupun fungsi ereksi (Setiadji, 2006).
Pada laki-laki yang mengalami kastrasi yang menurunkan
kadar testosteron sampai 90 %, atau oleh sebab lain yang
menyebabkan menurunnya kadar androgen, secara umum terjadi
penurunan libido dan kadang-kadang berkurangnya fungsi ereksi
dan ejakulasi (Setiadji, 2006). Pemberian testosteron
mengembalikan timbulnya nafsu seks dan kegiatan seksual pada
commit to user
dilakukan kastrasi pada manusia, gejala yang timbul dapat
bervariasi dari hilangnya sama sekali libido sampai kegiatan seks
yang normal (Setiadji, 2006).
2. Gangguan Libido Seksual
a. Definisi
Gangguan hasrat seksual didefinisikan sebagai tidak adanya
atau berkurangnya rasa ketertarikan atau hasrat seksual. Dalam
hal ini tidak ada pikiran atau fantasi seksual dan respons terhadap
hasrat seksual tersebut. Motivasi sebagai faktor pendorong untuk
berusaha membangkitkan gairah seksual jarang atau bahkan tidak
ada. Hilangnya ketertarikan atau kurangnya hasrat seksual
berhubungan dengan model respons seksual manusia (Windhu,
2009b).
b. Klasifikasi Gangguan Libido Seksual
Secara umum gangguan seksual diklasifikasikan di dalam
edisi keempat The Text Revision dari Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR). Satu bagian di dalam
DSM-IV-TR diberi judul ”Sexual and Gender Disorders”.
Gangguan seksual yang berhubungan dengan siklus respons
seksual (Sex Response Cycle = SRC) membagi gangguan ini
menjadi tiga bagian, yaitu hasrat atau desire, rangsangan/respons
seksual, dan orgasme, dengan gangguan masing-masing
commit to user
DSM-IV-TR kategori Sexual and Gender Disorder dibagi
menjadi tiga bagian, satu di antaranya adalah disfungsi seksual.
Satu dari kelompok disfungsi seksual adalah gangguan hasrat
seksual (Sexual Desire Disorder = SDD), yang meliputi dua
bagian (1) gangguan hasrat seksual hipoaktif (Hypoactive Sexual
Desire Disorder = HSDD) dan (2) gangguan ketidakinginan
terhadap seks (Sexual Aversion Disorder = SAD) (Windhu,
2009b).
c. Faktor yang Menyebabkan Gangguan Libido Seksual
Gangguan hasrat/keinginan seksual (SDD) pada pria dapat
diakibatkan oleh endocrinopathy yang berhubungan dengan
libido. Gangguan hasrat seksual ini dapat disebabkan karena
faktor usia. Gangguan ini bisa jadi merupakan bagian dari
gangguan psikologis, seperti depresi, gangguan ketakutan, dan
efek samping narkoba. Memahami problem gangguan hasrat
seksual pria dari sisi etiologi sangatlah kompleks karena
melibatkan aspek biologis, psikologis, dan antarpersonal
(Setiadji, 2006).
d. Diagnosis Penurunan Libido Seksual
Deskripsi HSDD di dalam DSM-IV-TR, terdapat tiga
kriteria untuk melakukan diagnosis (1) defisiensi atau ketiadaan
fantasi seksual dan hasrat untuk aktivitas seksual, (2) adanya
commit to user
gangguan sebagai akibat kondisi medis atau kejiwaan atau akibat
kekerasan seksual (Windhu, 2009b).
e. Penanganan Penurunan Libido Seksual
Penanganan gangguan hasrat seksual hipoaktif pada pria
dilakukan terutama dengan terapi hormon. Terapi hormon ini
khususnya dilakukan pada seorang yang menderita
hipothyroidisme, hiperprolaktinemia, dan hipogonadisme.
Hipothyroidisme telah diketahui berhubungan dengan penurunan
libido seksual. Perubahan ke arah euthyroid mempunyai korelasi
dengan peningkatan libido. Hasrat seksual yang rendah akibat
kelelahan dapat dilakukan dengan mencari gejala
hiperprolaktinemia (Windhu, 2009c).
Rekomendasi lain adalah dengan mencoba mengubah kadar
serum testosteron ke normal. Beberapa terapi dapat dilakukan,
meliputi pemberian 75-100 mg testosterone enanthate atau
cyprioate yang diberikan setiap minggu, 1 – 2 tablet 5 mg
testosteron tiap malam, 5 – 10 mg gel testosteron yang diberikan
tiap hari, 30 mg tablet bioadhesive buccal testosterone yang
diberikan setiap 12 jam. Namun, terapi ini tidak dapat dilakukan
dalam jangka waktu lama. Efek samping testosteron adalah
hipertropi prostat, meningkatnya erithropoiesis, ginekomastia,
dan retensi cairan yang dapat mengakibatkan hipertensi dan
commit to user 3. Stres
a. Definisi
Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan
perilaku dari manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan
mengatur baik tekanan internal maupun eksternal. Sedangkan
stresor adalah kejadian, situasi, seseorang atau suatu objek yang
dilihat sebagai unsur yang menimbulkan stres dan menyebabkan
reaksi stres sebagai hasilnya (Suyono, 2002).
Definisi stres yang paling sering digunakan adalah definisi
Lazarus dan Launier dalam Yuliadi (2010a) yang
menitikberatkan pada hubungan antara individu dengan
lingkungannya. Stres merupakan konsekuensi dari proses
penilaian individu, yakni pengukuran apakah sumber daya yang
dimilikinya cukup untuk menghadapi tuntutan dari lingkungan.
Maramis (2005a) mendefinisikan stres sebagai segala
masalah atau tuntutan penyesuaian diri yang mengganggu, dan
jika tidak dapat diatasi dengan tuntas dapat menimbulkan
gangguan ragawi maupun gangguan jiwa.
Stres dibedakan menjadi dua yaitu stres yang merugikan
dan merusak yang disebut distres, dan stres yang positif dan
menguntungkan, yang disebut eustres. Setiap individu
mempunyai reaksi yang berbeda terhadap jenis stres, dalam
commit to user
putus asa tetapi bagi individu lain justru dapat menjadi dorongan
baginya untuk lebih baik. Stres akan berpengaruh negatif apabila
kemampuan adaptasinya kurang atau stresor yang ada terlalu
besar atau melampaui batas kemampuan adaptasinya
(Tanumidjojo et al., 2004).
b. Penyebab Stres
Smet dalam Umam (2010) menyimpulkan bahwa stres
dapat bersumber dari:
1) Penilaian kognitif (cognitive appraisal)
Stres adalah pengalaman subyektif yang didasarkan atas
persepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di
lingkungan.
2) Pengalaman (experience)
Suatu situasi yang tergantung pada tingkat keakraban
dengan situasi, keterbukaan semula (previous exposure),
proses belajar, kemampuan nyata dan konsep
reinforcement.
3) Tuntutan (demand)
Tekanan, keinginan, atau rangsangan-rangsangan yang
segera sifatnya yang mempengaruhi cara-cara tuntutan yang
commit to user
4) Pengaruh interpersonal (interpersonal influence)
Ada tidaknya seseorang, faktor situasional dan latar
belakang mempengaruhi pengalaman subjektif, respon dan
perilaku coping. Hal ini dapat menimbulkan akibat positif
dan negatif. Kehadiran orang lain dapat menimbulkan
sumber kekacauan dan kegalauan yang tidak diinginkan,
tetapi bisa juga merupakan sesuatu yang dapat memberikan
dukungan, meningkatkan harga diri, memberikan
konfirmasi nilai-nilai dan identitas personal. Melalui
pengalaman belajar dapat dicapai peningkatan kesadaran
dan pemahaman akibat stres yang potensial.
5) Keadaan stres (a state of stress)
Ini merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang
dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan untuk
menemukan tuntutan tersebut. Proses yang mengikuti
keadaan stres ini merupakan proses coping serta
konsekuensi dari penerapan strategi coping. Coping sendiri
diartikan sebagai usaha meningkatkan sumber daya pribadi
dalam mengendalikan dan mengurangi situasi yang
menekan. (Heiman et al., 2005)
c. Fisiologi Stres
Guyton dan Hall (2007) menerangkan bahwa stres fisik
commit to user
pada tubuh, keadaan ini biasa disebut respon stres simpatis.
Sistem simpatis dapat teraktivasi dengan kuat pada berbagai
keadaan emosi, contohnya pada keadaan marah ataupun kecewa,
sehingga timbul rangsangan terhadap hipotalamus, sinyal-sinyal
yang dijalarkan ke bawah melalui formatio retikularis otak dan
masuk ke medula spinalis akan menyebabkan pelepasan impuls
simpatis yang masif, dan terjadi respon simpatis sebagai berikut:
1) Peningkatan tekanan arteri
2) Peningkatan kekuatan otot serta aliran darah ke otot dan
terjadi penurunan aliran darah ke organ, terutama
gastrointestinal dan ginjal
3) Peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh
4) Peningkatan konsentrasi glukosa darah dan proses glikolisis
di hati dan otot
5) Peningkatan kecepatan koagulasi darah dan aktivitas
mental.
Guyton dan Hall (2007) juga menambahkan bahwa secara
fisiologis hampir semua jenis stres ditandai dengan peningkatan
hormon kortisol dalam darah. Dalam waktu beberapa menit saja
sudah dapat meningkatkan sekresi ACTH dan akibatnya sekresi
kortisol juga akan sangat meningkat, bahkan dapat mencapai 20
kali lipat dari keadaan normal. Selain stres mental, terdapat pula
commit to user
peningkatan kecepatan sekresi kortisol secara bermakna oleh
korteks adrenal, antara lain:
1) Hampir semua jenis trauma, termasuk tindakan
pembedahan
2) Infeksi
3) Kepanasan atau kedinginan yang hebat
4) Penyuntikan norepineprin dan obat-obatan simpatomimetik
lainnya
5) Penyuntikan bahan yang bersifat nekrolisis di bawah kulit
6) Mengekang tubuh hingga tidak bisa bergerak
Kortisol sebagai produk dari glukokortioid korteks adrenal
yang dihasilkan pada zona fasikulata dan zona retikularis dapat
mempengaruhi metabolisme protein, karbohidrat, dan lipid. Pada
tahap selanjutnya kortisol juga akan berpengaruh terhadap
keseimbangan metabolisme tubuh seluruhnya. Pada stres yang
berkepanjangan metabolisme tubuh menyimpang dari fungsi
normal, sehingga dapat berdampak pada kesehatan yang
menurun (Guyton dan Hall, 2007).
Sekresi ACTH diatur secara umpan balik oleh steroid yang
beredar, pada manusia kortisol adalah regulator yang penting.
Kortisol bebas di dalam darah memiliki umpan balik negatif
terhadap pelepasan hormon pelepas kortikotropin (corticotropin
commit to user
kortikotrof hipofisis. CRH turun melalui vena-vena sistem portal
hipofisis ke hipofisis anterior dan memicu sekresi ACTH
(Guyton dan Hall, 2007).
Respons CRH terhadap umpan balik negatif mengikuti
irama diurnal, sehingga pada pagi hari ACTH dan kortisol dalam
jumlah yang lebih besar dan lebih kecil menjelang malam hari.
Nilai rujukan untuk harga normal kortisol berbeda antara
pemeriksaan yang dilakukan pada pagi hari dan sore hari. Pada
pagi hari nilai rujukan normal untuk kortisol antara 5-25 µg/dl,
sementara untuk sore hari nilai rujukan normalnya antara
2,5-12,5 µg/dl. Pemeriksaan kadar kortisol darah dapat digunakan
sebagai prediktor stres yang terjadi pada seseorang (Guyton dan
Hall, 2007).
d. Reaksi Tubuh terhadap Stres
Hans Seyle (dalam Suyono, 2002), merancang suatu konsep
mengenai reaksi tubuh terhadap stres yang disebut dengan
respons adaptasi umum terhadap stres. Konsep ini
menggambarkan respons tubuh terhadap stres menjadi tiga
tahapan dasar yaitu:
1) Tanggapan terhadap bahaya (alarm reaction)
Terjadi saat mulai terasa ancaman atau sesuatu yang tidak
commit to user
2) Tanggapan fisik atau tahap perlawanan (stage of resistance)
Tidak sehebat reaksi pertama tetapi reaksi hormonal tubuh
masih tinggi, secara nyata dilakukan upaya penanganan
terhadap stres yang terjadi, bisa dengan “coping” bisa juga
dengan “fighting”, apabila stresor dapat ditiadakan tubuh
akan kembali ke kondisi normal.
3) Tahap kelelahan (stage of exhaustion), pada tahap ini tubuh
tidak lagi memberikan respon terhadap stres karena
kepayahan, kehabisan energi.
Kondisi ini berbahaya karena mekanisme pertahanan tubuh
telah menyerah, jika berlanjut cukup lama maka individu akan
terserang dari “penyakit stres”, seperti migrain kepala, denyut
jantung yang tidak teratur, atau bahkan sakit mental seperti
depresi. Ketiga tahapan ini tidak selalu terjadi pada setiap
manusia yang mengalami stres karena tergantung pada daya
tahan mental setiap individu.
e. Derajat Stres
Menurut Hawari dalam Sriati (2008) stres timbul secara
lambat dan tidak disadari kapan munculnya. Adapun derajat stres
menurut Hawari dalam Sriati (2008) dibagi ke dalam 6 tingkatan,
commit to user 1) Stres tingkat I
Merupakan tahap ringan, biasanya disertai semangat yang
besar, penglihatan tajam tidak seperti biasanya, gugup yang
berlebihan. Pada tahap ini biasanya menyenangkan namun
tanpa disadari cadangan energinya menipis.
2) Stres tingkat II
Pada tahap ini mulai muncul keluhan karena cadangan
energi tidak cukup lagi untuk sepanjang hari. Keluhannya
antara lain letih pada waktu pagi hari, lelah setelah makan
siang dan menjelang sore serta ada gangguan otot dan
pencernaan.
3) Stres tingkat III
Tahap ini gejala semakin terasa dan mulai mengalami
gangguan tidur, dan rasa ingin pingsan. Pada tahap ini
sebaiknya penderita berkonsultasi dengan dokter.
4) Stres tingkat IV
Tahap ini keadaan semakin memburuk yang ditunjukkan
oleh kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit,
konsentrasi menurun, sulit tidur, dan ada rasa takut yang
tak terdefinisikan.
5) Stres tingkat V
Keadaan ini merupakan kelanjutan dari tahap IV, gejala
commit to user 6) Stres tingkat VI
Pada tahap ini penderita harus dibawa ke ICCU, karena
gejalanya sangat membahayakan seperti jantung berdebar
sangat keras karena zat adrenalin yang dihasilkan karena
stres cukup tinggi, sesak nafas, badan gemetar, tubuh
dingin dan berkeringat, tenaga tidak ada sama sekali
bahkan tak jarang pingsan.
f. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres
Ada tiga faktor utama yang menurut beberapa ahli
menyebabkan timbulnya stres, yaitu:
1) Faktor biologik
Faktor ini berasal dari adanya kerusakan atau gangguan
fisik atau organ tubuh individu itu sendiri. Misalnya:
terganggunya pola normal dari aktivitas fisiologis, infeksi,
serangan berbagai macam penyakit, kurang gizi, kelelahan
dan cacat tubuh (Sue et al., dalam Yuliadi, 2010a;
Maramis, 2005b).
2) Faktor psikologik
Faktor ini berhubungan dengan keadaan psikis individu.
Dikatakan bahwa sumber-sumber stres psikologik itu dapat
berupa:
a) Frustrasi, timbul bila ada aral melintang antara
commit to user
Ada frustasi yang datang dari luar, misalnya: bencana
alam, kecelakaan, kematian seseorang yang dicintai,
norma-norma dan adat-istiadat. Sebaliknya frustrasi
yang berasal dari dalam individu, seperti: cacat
badaniah, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga
penilaian diri sendiri menjadi tidak enak, merupakan
frustrasi yang berhubungan dengan kebutuhan rasa
harga diri (Maramis, 2005b).
b) Konflik, bila orang/individu tidak tahan memilih
antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan.
Misalnya: memilih mengurus rumah tangga atau aktif
di kegiatan kantor (Maramis, 2005b).
c) Tekanan, yaitu sesuatu yang dirasakan menjadi beban
bagi individu. Tekanan dari dalam dapat disebabkan
individu mempunyai harapan yang sangat tinggi
terhadap dirinya namun tidak disesuaikan dengan
kemampuannya sendiri atau tidak mau menerima
dirinya dengan apa adanya, tidak berani atau bahkan
terlalu bertanggung jawab terhadap sesuatu tetapi
dilakukan secara berlebih-lebihan. Tekanan dari luar,
misalnya: atasan di kantor menuntut pekerjaan cepat
commit to user
mendesak (Sue et al., dalam Yuliadi, 2010a; Maramis,
2005b).
d) Krisis, bila keseimbangan yang ada terganggu secara
tiba-tiba sehingga menimbulkan stres yang berat. Hal
ini bisa disebabkan oleh kecelakaan, kegagalan usaha
ataupun kematian (Maramis, 2005b).
3) Faktor sosial
Faktor ini berkaitan dengan lingkungan sekitar, seperti
pergaulan dan kegiatan sosial dalam masyarakat (Sue et al.,
dalam Yuliadi, 2010a; Maramis, 2005b).
g. Pengukuran Stres
Selain dari gejala fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium
terhadap kadar kortisol, stres dapat di screening dengan General
Health Quesionnaire (GHQ). GHQ dapat digunakan untuk
mengukur tingkat stres, GHQ adalah sebuah instrumen screening
dengan model self administration. GHQ dirancang untuk melihat
4 elemen stres yang teridentifikasi: depresion, anxiety, social
impairment, dan hipochondriasis (terutama diindikasikan oleh
symtomp organic). GHQ tidak cenderung untuk mendeteksi
beberapa kondisi sakit seperti depresi schizofrenia atau psikotik.
Versi dasar dari GHQ terdiri atas 60 item dari Goldberg (dalam
Yuliadi, 2010a) merekomendasikan untuk menggunakan semua
commit to user
Menurut Goldberg (dalam Yuliadi, 2010a) ada beberapa
versi GHQ yang telah dikembangkan, yaitu GHQ-60, GHQ-30,
GHQ-20 dan GHQ-12. Goldberg merekomendasi untuk
menggunakan seluruh item GHQ jika memungkinkan, yaitu 60
item dengan pilihan jawaban ya atau tidak. Kuesioner ini telah
teruji reliabilitas dan validitasnya. Reliabilitas diukur dengan
beberapa teknik, yaitu: korelasi testretest setelah 6 bulan adalah
0,90 (N= 20) ketika stabilitas dari pasien dikonfirmas melalui
sebuah pengujian psychiatric terstandard untuk 65 pasien lain
yang menentukan kondisi diri sendiri seperti diingatkan “sesuatu
yang sama” koefisien retestnya adalah 0,75. Reliabilitas split-half
pada versi 60 item adalah 0,95 untuk 853 responden.
Studi reliabilitas terhadap instrumen ini telah dilakukan di
beberapa negara dan telah menggunakan prosedur pembanding
yang terarah. Goldberg telah memberikan tabel rangkuman
empat studi yang membandingkan GHQ-60 dengan interview
psikiatrik terstandard yang dikembangkan lainnya (lebih jelas
commit to user
Tabel 2.1 Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas GHQ dengan Kuesioner Screening Stres yang Lain
Sensitivity (%) Specivicity (%)
GHQ 60 95,7 87,8
GHQ 30 85,0 79,5
Cornell Index 73,8 81,7
HOS (Macmillian) 75-84 54-68
22-Item Scale (Langner) 73,5 17,8
(Goldberg dalam Yuliadi, 2010a)
Interpretasi hasil dari GHQ bernilai positif untuk stres jika
minimal didapatkan nilai 12 poin dari 60 item pertanyaan GHQ,
setiap jawaban “ya” dinilai sebagai 1 poin (Goldberg dalam
Yuliadi, 2010a).
4. Letusan Gunung Merapi
Secara geografis dan demografis Indonesia merupakan wilayah
yang rawan bencana, baik bencana alam (natural disaster) maupun
bencana karena ulah manusia (man-made disaster). Bencana alam
yang terjadi antara lain gempa bumi (karena Indonesia dilewati
lempeng kerak Hindia Australia, Pasifik, dan Eurasia) dan tsunami
yang biasanya menyertai gempa bumi, banjir (akibat dari banyaknya
sungai), gunung meletus (hampir semua pulau di Indonesia terdapat
gunung berapi), tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan
commit to user
Bencana alam yang baru-baru ini terjadi di Indonesia adalah
letusan Gunung Merapi yang terletak di empat kabupaten, yaitu
Magelang, Boyolali, Klaten di Jawa Tengah dan Sleman di Yogyakarta
(Muhammad, 2011). Salah satu permasalahan yang timbul di kalangan
pengungsi adalah permintaan pembuatan “bilik asmara” bagi para
pengungsi untuk memenuhi kebutuhan seksual suami istri (Kurniawan,
2010).
Seringkali bencana datang secara mendadak yang menimbulkan
situasi stres berat yang datang bersamaan, antara lain ketidakberdayaan
individu, hancurnya struktur kehidupan sehari-hari, kerusakan materi,
dan kehilangan sanak keluarga. Tidak jarang orang-orang ini harus
mengungsi dan beradaptasi dengan tempat yang baru. Keadaan ini
menimbulkan stres (Departemen Kesehatan RI, 2006).
5. Hubungan Stres Kronis Pasca Letusan Gunung Merapi dengan
Penurunan Libido Seksual pada Pria
Masyarakat korban letusan Gunung Merapi akan menghadapi
stressor sosioekonomi yang besar, seperti kehilangan tempat tinggal,
keluarga, pekerjaan, dan sebagainya. Kondisi tersebut yang
berlangsung lama dapat menimbulkan stres kronis di kalangan korban
bencana alam. Secara fisiologis, hampir semua jenis stres ditandai
dengan adanya peningkatan hormon kortisol di dalam darah. Stres
commit to user
peningkatan kadar kortisol sebagai hormon stres tubuh yang utama
dalam waktu lama (Guyton dan Hall, 2007).
Sekresi kortisol yang tinggi akibat stres akan memberikan
rangsangan ke sistem limbik otak. Rangsangan ini kemudian masuk ke
hipotalamus dan dapat mengurangi kecepatan sekresi GnRH oleh
hipotalamus, sehingga produksi LH dan FSH di hipofisis anterior
mengalami penurunan (Yuliadi, 2010b). Hal ini dapat mempengaruhi
fungsi seksual dan reproduksi pria, salah satunya penurunan sekresi
testosteron oleh sel Leydig. Penurunan testosteron akan berakibat
terjadinya penurunan libido (Setiadji, 2006).
Selain kadar kortisol yang tinggi, stres juga berpengaruh pada
sistem dopaminergik di korteks prefrontalis. Pada kondisi stres kronis
terjadi penurunan kadar dopamin (Pasiak et al., 2005). Penurunan
kadar dopamin menyebabkan stimulus melalui sintesis NO untuk
pengeluaran testosteron dari kopulasi berkurang. Hal ini juga akan
commit to user B. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: feedback negatif
: mempengaruhi tetapi tidak diteliti
commit to user C. Hipotesis
Ada hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung Merapi
commit to user
32 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif epidemiologi
observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu peneliti
mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel
terikat (efek) yang diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief,
2003).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
C. Subjek Penelitian
1. Kriteria inklusi
a. Bersedia sebagai responden penelitian
b. Pria usia 30-40 tahun
c. Menikah (memiliki istri sah, bukan poligami, bukan istri siri atau
istri sambungan)
d. Lama perkawinan > 2 tahun dan telah memiliki minimal 1 anak
e. Kondisi ekonomi baik, berpenghasilan cukup
commit to user
g. Bertempat tinggal di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta
h. Lulus screening Lie-scale Minnesota Multiphasic Personality
Inventory (LMMPI).
2. Kriteria eksklusi
a. Tidak bersedia sebagai responden penelitian
b. Tidak lulus screening LMMPI
c. Memiliki riwayat penyakit kronis
d. Memiliki kelainan pada alat genital.
D. Teknik Sampling
Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan teknik
Purposive Random Sampling, yaitu suatu teknik pemilihan sampel yang
dipilih berdasarkan kelompok yang sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian
subjek dipilih secara acak, sehingga setiap subjek dalam populasi yang telah
dikelompokkan memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih (Arief,
2003).
Besar sampel yang diperlukan untuk rancangan penelitian cross
sectional ditentukan dengan rumus:
ᘠ 㠘. .
dengan:
p : perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada
populasi (50%)
commit to user
Zα : nilai statistic Z pada kurve normal standart pada tingkat
kemaknaan α
d : presisi absolute yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi
populasi, misalnya +/- 5%
(Muhammad, 2004)
maka dari rumus tersebut didapatkan:
ᘠ 1,96 . 0,5 .0,50,05 384
Jadi, besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah
sebanyak 384 sampel.
Namun, dikarenakan keterbatasan waktu dan jumlah sampel yang
commit to user E. Rancangan Penelitian
Kriteria Inklusi
Formulir Biodata +
Kuesioner LMMPI
GHQ Questionnaire
+
HSDD Screener
Stres kronis (+) Penurunan
Libido (+)
Populasi
Sampel
Uji Koefisien Kontingensi Stres kronis (+)
Penurunan Libido (-)
Stres kronis (-) Penurunan
Libido (-)
Stres kronis (-) Penurunan
commit to user F. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : stres kronis
2. Variabel terikat : penurunan libido seksual
3. Variabel luar
a. Terkendali : usia
b. Tak terkendali : pengalaman seksual, kondisi fisik, lingkungan.
G. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas
Stres kronis merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan
perilaku dari manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan
mengatur baik tekanan internal maupun eksternal yang bersifat kronis
(Suyono, 2002). Stres dalam penelitian ini adalah keadaan pada
responden penelitian, diukur dengan GHQ-60 (General Health
Quesionnaire). Interpretasi hasil dari GHQ bernilai positif untuk stres
jika minimal didapatkan nilai 12 poin dari 60 item pertanyaan GHQ.
Nilai minimal dari GHQ adalah 0, sedangkan nilai maksimalnya
adalah 60, setiap jawaban “ya” dinilai sebagai 1 poin (Goldberg dalam
Yuliadi, 2010). GHQ-60 (General Health Quesionnaire) mempunyai
sensitivitas 95% dan spesivisitas sebesar 87,8%, lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kuesioner screening stres lainnya.
Skala pengukuran : nominal dikotomik, yaitu stres kronis positif
commit to user 2. Variabel terikat
Penurunan libido seksual merupakan salah satu gangguan libido
seksual. Penurunan libido seksual adalah berkurangnya fantasi seksual
atau pikiran dan atau keinginan untuk melakukan aktivitas seksual dari
responden penelitian, diukur dengan menggunakan Hypoactive Sexual
Desire Disorder (HSDD) Screener. Interpretasi hasil bernilai positif
untuk penurunan hasrat seksual jika minimal didapatkan nilai 7 poin
dari 4 item pertanyaan HSDD Screener. Nilai minimal adalah 0,
sedangkan nilai maksimal adalah 16, disertai lima pertanyaan
konfirmasi untuk membantu diagnosis. Nilai 0 untuk jawaban “tidak
kesulitan sama sekali” dan “tidak peduli sama sekali”, nilai 4 untuk
jawaban “sangat sulit” dan “sangat peduli” dengan nilai 1, 2, dan 3
disesuaikan sebagai suatu tingkatan (Leiblum et al., 2006).
Skala pengukuran : nominal dikotomik, yaitu penurunan libido
seksual positif (+) dan penurunan libido
seksual negatif (-).
H. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan media kuesioner baku yang telah diuji
validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner yang digunakan yaitu:
1. Formulir biodata
2. Lie Minnesota Multyphasic Personality Inventory (LMMPI) (Graham,
commit to user
3. General Health Questionnaire (GHQ)(Goldberg, 1972 dalam Yuliadi,
2010a)
4. Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD) Screener (Leiblum et al.,
2006).
I. Cara Kerja
1. Responden mengisi data identitas diri
2. Mengisi angket Lie-scale Minniesota Multiphase Personality Inventory
(LMMPI) dimana yang memenuhi syarat sebagai subjek penelitian
yaitu apabila jawaban “tidak” ≤ 10
3. Mengisi kuesioner General Health Questionnaire (GHQ) serta
kuesioner Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD) Screener
4. Setelah diperoleh skor dari skala setiap variabel yang berupa skala
nominal, dilakukan uji Koefisien Kontigensi (C).
J. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini di uji dengan metode statistik
uji Koefisien Kontingensi (C). Dalam mencari Koefisien Kontingensi,
terlebih dahulu mencari Chi Square ( ) dalam tabel 2 x 2.
Formula untuk Koefisien Kontingensi adalah :
C x
x N
dimana :
N : jumlah responden
commit to user
Untuk mencari x2 dapat dilakukan dengan rumus umum:
x O E
E
dimana :
O : frekuensi Observasi
E : frekuensi Ekspektasi/harapan, yang diperoleh dengan rumus :
E
∑ ꃘúƼĖ 閨úᘠ 㠘Ė̊úƼĖ ᘠĖ úĖE ᘠ閨ú
∑ ú 閨úᘠ 㠘Ė̊úƼĖ ᘠĖ úĖE ᘠ閨ú
(Handoko, 2007)
dengan tabel kontingensi 2x2 sebagai berikut :
Penurunan libido seksual
Total
Negatif Positif
Stres kronis A B a + b
Tidak stres kronis C D c + d
Total a + c b + d N
a = Stres kronis, penurunan libido seksual negatif
b = Stres kronis, penurunan libido seksual positif
c = Tidak stres kronis, penurunan libido seksual negatif
commit to user
Jadi, untuk menghitung frekuensi harapan pada tiap-tiap sel dapat
digunakan rumus :
쵸쵸 ú ̊ ú ꃘ
쵸 ꃘ 㠘 ú ꃘ
쵸 ú ̊ ̊ 㠘
ꃘ 㠘 ̊ 㠘
dengan :
N = a + b + c + d
Karena kedua variabel (karakteristik, kriteria) dikategorikan
masing-masing menjadi dua, analisis bisa dilakukan dengan rumus alternatif statistik
x2 yang lebih pendek, yaitu :
x
N ad bc
a b c d a c b d
commit to user Kriteria penerimaan hipotesa :
Uji Chi Square dengan derajat signifikasi 5%
Nilai χ2
hitung dibandingkan dengan χ2 tabel dengan tingkat kemaknaan a =
0,05.
Dan nilai derajat bebas dihitung dengan rumus :
Derajat bebas = ( r – 1) ( c – 1)
dengan :
r = jumlah baris
c = jumlah kolom
Keputusan :
H0 = Tidak ada hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung
Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria.
H1 = Ada hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung Merapi
dengan penurunan libido seksual pada pria.
H0 ditolak dan H1 diterima bila χ2hitung lebih besar atau sama dengan χ2tabel,
berarti terdapat perbedaan yang bermakna.
H0 diterima dan H1 ditolak bila χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel, berarti tidak
commit to user
42 BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di hunian sementara (shelter) Plosokerep,
Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta
pada Bulan April 2011. Subjek penelitian adalah pria berusia 30-40 tahun,
bersedia sebagai responden penelitian, telah menikah (memiliki istri sah, bukan
poligami, bukan istri siri atau istri sambungan), lama perkawinan > 2 tahun dan
telah memiliki minimal 1 anak, kondisi ekonomi baik, berpenghasilan cukup,
pendidikan minimal Sekolah Menengah Pertama (SMP), lulus screening Lie-scale
Minnesota Multiphasic Personality Inventory (LMMPI), serta bertempat tinggal
di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala dukuh.
Berdasarkan daftar identitas warga yang diperoleh dari kepala dukuh,
mahasiswa melaksanakan pengumpulan data dan diperoleh 30 sampel yang
memenuhi kriteria inklusi serta 12 sampel yang tidak memenuhi kriteria inklusi
karena pendidikan terakhir SD, 4 orang di antaranya tidak lulus screening
LMMPI, dan 1 orang di antaranya memiliki riwayat sakit pada penis, yaitu cedera
akibat trauma tajam selama satu bulan.
Data penelitian diperoleh dari GHQ untuk stres kronis dan HSDD screener
commit to user
Tabel 4.1 Distribusi Penurunan Libido Seksual pada Pria Pasca Letusan Gunung Merapi Berdasarkan Usia
Tabel 4.2 Distribusi Penurunan Libido Seksual pada Pria Pasca Letusan Gunung Merapi Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan Penurunan libido
seksual (+)
commit to user
(33,33 %) dan lulusan STM/SLTA/SMA sebanyak 3 sampel (10 %). Sedangkan
pada penurunan libido seksual negatif didapatkan sampel dengan lulusan SMP
sebanyak 10 sampel (33,33 %) dan lulusan STM/ SLTA/ SMA sebanyak 7 sampel
(23,33 %).
Tabel 4.3 Distribusi Penurunan Libido Seksual pada Pria Pasca Letusan Gunung Merapi dengan Stres Kronis (+) dan Stres Kronis (-).
Kondisi stres Penurunan libido
seksual (-)
commit to user
Data hasil penelitian diuji secara statistik dengan uji Chi-Square dilanjutkan
dengan uji coefisien contingency (C) menggunakan software SPSS 17.0 for
Windows (data terlampir). Hasil perhitungan SPSS menunjukkan nilai Asymp. sig.
yaitu p = 0,06 yang berarti p > 0,05 artinya secara statistik tidak ada hubungan
yang signifikan antara stres kronis pasca letusan Gunung Merapi dengan
penurunan libido seksual pada pria, karena besarnya hubungan hanya 0,324 atau
commit to user
46 BAB V
PEMBAHASAN
Pada tabel 4.1 diketahui bahwa jumlah sampel yang mengalami penurunan
libido seksual positif dengan persentase terbesar terdapat pada interval usia 36-40
tahun yaitu 9 sampel (30 %), sedangkan persentase terkecil pada interval usia
30-35 tahun yaitu 4 sampel (13,33 %). Hasil ini menunjukkan bahwa seiring dengan
bertambahnya usia maka seseorang akan lebih mudah mengalami stres sehingga
dapat menyebabkan penurunan libido seksual. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Sadarjoen (2005) bahwa usia yang semakin lanjut lebih rentan
terhadap stres, baik itu stres dalam perkawinan maupun stres sosial.
Pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa insiden penurunan libido seksual lebih
banyak ditemukan pada sampel lulusan SMP, yaitu sebanyak 10 sampel (33,33
%), sedangkan pada sampel lulusan STM/SLTA/SMA sebanyak 3 sampel (10 %).
Hasil ini membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin
mudah seseorang beradaptasi terhadap stres yang dihadapi sehingga mencegah
terjadinya penurunan libido seksual. Hal ini didukung oleh pendapat Smet dalam
Umam (2010) bahwa pengalaman berupa proses belajar dan pengaruh
interpersonal dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman seseorang dalam
mengendalikan dan mengurangi situasi yang menekan.
Setelah dilakukan penelitian dengan jumlah sampel 30, berdasarkan tabel
commit to user
kronis pasca letusan Gunung Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria,
hal ini dibuktikan dengan nilai p > 0,05. Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa dalam kondisi stres, kadar kortisol seseorang akan meningkat
dan menyebabkan sekresi testosteron menurun akibatnya terjadi penurunan libido
seksual seperti yang telah diuraikan pada kerangka pemikiran (Guyton dan Hall,
2007; Setiadji, 2006; Fouad et al., 2001). Nampaknya hal ini disebabkan karena
keadaan stres ini telah berlangsung 6 bulan sejak terjadinya bencana sehingga
memungkinkan seseorang telah mengalami proses adaptasi.
Kondisi stres yang berlangsung lama ternyata memungkinkan seseorang
mengalami proses adaptasi seiring dengan berjalannya waktu. Terdapat suatu
penelitian yang menyebutkan bahwa untuk dapat menimbulkan penurunan hasrat
seksual, kondisi stres yang dialami harus terjadi dalam waktu dan kondisi yang
bersamaan (Broto, 2010). Hal ini terbukti melalui proses wawancara yang
dilakukan terhadap seorang responden berinisial “S” yang mengaku mengalami
penurunan libido seksual sekitar 1-2 minggu pasca terjadinya bencana, dalam hal
ini responden belum mampu beradaptasi dengan kondisi yang dialaminya.
Meskipun secara statistik hasil penelitian ini tidak bermakna, dari data
penelitian didapatkan 13 orang yang mengalami penurunan libido seksual dalam
kondisi stres kronis. Hal ini tentunya berkaitan dengan kemampuan setiap
individu dalam mengendalikan situasi stres yang potensial. Selain rendahnya
kemampuan adaptasi, penilaian kognitif setiap individu, besarnya stressor,
pengalaman yang kurang, dan tuntutan yang timbul melalui hubungan
commit to user
seseorang beradaptasi. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan faktor perancu di luar
commit to user
49 BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara statistik
tidak ada hubungan yang bermakna antara stres kronis pasca letusan Gunung
Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria.
B. Saran
1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor perancu di
luar kendali peneliti seperti faktor lingkungan dan konflik perkawinan.
2. Sebaiknya untuk pemeriksaan screening stres kronis dan penurunan libido
seksual selain dengan kuesioner juga dilengkapi dengan pemeriksaan
laboratorium kadar kortisol darah dan testosteron.
3. Sebaiknya letak hunian sementara bagi pengungsi tidak terlalu dekat satu
sama lain untuk menunjang kenyamanan dalam melakukan hubungan