• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara stres kronis pasca letusan gunung merapi dengan penurunan libido seksual pada pria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan antara stres kronis pasca letusan gunung merapi dengan penurunan libido seksual pada pria"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

HUBUNGAN ANTARA STRES KRONIS PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DENGAN PENURUNAN LIBIDO SEKSUAL PADA PRIA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

MAULIA PRISMADANI G0008126

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

(3)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seksualitas merupakan bagian integral dari kehidupan manusia.

Seksualitas didefinisikan sebagai kualitas manusia, perasaan paling dalam,

akrab, intim dari lubuk hati paling dalam, dapat berupa pengakuan,

penerimaan dan ekspresi diri manusia sebagai makhluk seksual (Salbiah,

2003). Seksualitas dan perasaan seksual manusia dimulai jauh sebelum bayi

lahir dan terus berlangsung hingga kehidupannya berakhir (Yuliadi, 2011).

Menurut Pangkahila dalam Agung (2009), seksualitas dalam perkawinan

mempunyai empat dimensi, yaitu prokreasi, rekreasi, relasi, dan institusi.

Tahap pertama dari total empat aktivitas seksual sebelum ereksi,

ejakulasi dan orgasme adalah gairah seks atau libido (Andhika, 2010). Libido

didefinisikan sebagai kebutuhan untuk aktivitas seksual (dorongan seksual)

dan sering dinyatakan sebagai perilaku mencari seks (Fouad et al., 2001).

Libido atau gairah seksual merupakan “bahan bakar” dari aktivitas seksual.

Tanpa libido seksual, hubungan seksual kurang berkualitas.

Banyak orang mengira libido ditimbulkan oleh hormon, padahal

kenyataannya tidak selalu demikian. Menurut Dr. Alex Pangkahila, Ph.D,

libido pada manusia lebih dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor

kejiwaan, fisik, lingkungan, dan pengalaman seksual (Andika, 2009). Jika

(4)

commit to user

libidonya juga akan normal. Sebaliknya, libido dapat terganggu jika salah

satunya terganggu.

Beberapa hasil penelitian telah menemukan hubungan antara kondisi

jiwa dengan gangguan libido seksual. Sebuah studi wawancara terstruktur

melaporkan bahwa 55 % laki-laki dengan hasrat seksual rendah memiliki

riwayat depresi berat, 12 % melaporkan peningkatan hasrat seksual dalam

kondisi stres, sedangkan 51 % melaporkan penurunan hasrat seksual dalam

kondisi stres (Brotto, 2010). Keadaan stres dapat bersumber pada frustasi,

konflik, tekanan, atau krisis. Salah satu bentuk frustasi yang datangnya dari

luar adalah bencana alam (Maramis, 2005a).

Bencana alam yang baru-baru ini terjadi di Indonesia adalah letusan

Gunung Merapi yang terletak di empat kabupaten, yaitu Magelang, Boyolali,

Klaten di Jawa Tengah dan Sleman di Yogyakarta (Muhammad, 2011). Salah

satu permasalahan yang timbul di kalangan pengungsi adalah permintaan

pembuatan “bilik asmara” bagi para pengungsi untuk memenuhi kebutuhan

seksual suami istri (Kurniawan, 2010). Letak hunian sementara para

pengungsi yang terlalu berdekatan satu sama lain menyebabkan

ketidaknyamanan dalam melakukan hubungan suami istri. Fungsi keberadaan

“bilik asmara” di kalangan pengungsi sendiri masih dipertanyakan. Di

tengah-tengah bencana alam dengan tingkat stressor yang tinggi apakah keberadaan

“bilik asmara” untuk memenuhi kebutuhan seksual suami istri tersebut

(5)

commit to user

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk menggali

hubungan antara stres kronis yang terjadi pasca letusan Gunung Merapi

dengan terjadinya penurunan libido seksual pada pria.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung

Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kronis

pasca letusan Gunung Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk dilakukannya

penelitian lebih lanjut mengenai stres kronis pasca bencana alam dan

penurunan libido seksual.

2. Aspek praktis

Jika diperoleh hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung

Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria maka diharapkan

hasil penelitian ini berguna sebagai bukti ilmiah untuk dilakukannya

tindakan preventif dan pengobatan dari aspek psikis terhadap korban

(6)

commit to user

4 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Libido Seksual

a. Definisi

Menurut Sigmund Freud, unsur seksual sangat dipengaruhi

oleh adanya suatu energi vital yang dinamakan libido. Pengertian

libido itu sendiri adalah energi vital yang sepenuhnya bersifat

kejiwaan dan tidak bisa dicampurkan dengan energi-energi fisik

yang bersumber pada kebutuhan-kebutuhan biologis, libido

bersumber pada seks (Sarwono, 2002a).

Freud mengemukakan bahwa manusia terlahir dengan

sejumlah insting (naluri). Insting-insting itu dapat digolongkan

dalam dua jenis, yaitu insting hidup (life instinct) dan insting

mati (death instinct). Insting hidup adalah naluri untuk

mempertahankan hidup dan keturunan, sedangkan insting mati

adalah naluri yang menyatakan bahwa pada suatu saat seseorang

itu akan mati. Mengenai insting hidup jelas dinyatakan sebagai

insting seksual dan energi-energi yang berasal dari insting

seksual inilah yang disebutnya sebagai libido atau dapat diartikan

(7)

commit to user

Insting-insting seksual mula-mula memang berkaitan erat

dengan bagian-bagian tubuh tertentu, yaitu bagian-bagian tubuh

yang dapat menimbulkan kepuasan seksual. Bagian-bagian tubuh

itu disebut daerah-daerah erogen (erogenous zones), yaitu mulut,

anus (pelepasan), dan alat kelamin. Namun, dengan

berkembangnya sistem kejiwaan manusia, rasa puas atau

ketegangan-ketegangan (tension) yang berasal dari daerah-daerah

erogen ini lama-kelamaan terlepas dari kaitannya dengan tubuh

dan menjadi dorongan-dorongan yang berdiri sendiri sendiri

(Sihite, 2010).

Dalam tahapan perkembangan psikoseksual individu

sendiri dibagi ke dalam dua alur besar, dimana alur besar yang

pertama disebut tingkat pragenital yang terdiri dari tingkat oral,

anal dan falik. Sedangkan alur besar yang kedua terbagi ke dalam

tingkat laten dan tingkat genital (Sarwono, 2002c). Selanjutnya

akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Tingkat oral, pada tahapan ini berlangsung pada usia bayi

satu hari hingga satu tahun. Dalam fase ini pusat

kenikmatan bersumber pada daerah tubuh sekitar mulut;

2) Tingkat anal, terjadi pada usia satu tahun hingga empat

tahun, perkembangan psikoseksual pada masa ini dibagi

menjadi dua tahap yaitu, tahap anal eksklusif, di mana anak

(8)

commit to user

sedangkan tahap selanjutnya disebut tahap anal alternatif di

mana anak mendapatkan kepuasan seksual dengan menahan

tinja dalam perut;

3) Tingkat falik, terjadi pada usia empat sampai dengan enam

tahun inti dari perkembangan psikoseksual pada masa ini

adalah kompleks oedipoes. Kompleks oedipoes berarti cinta

seorang anak laki-laki kepada ibunya atau cinta seorang

anak perempuan kepada ayahnya. Di samping itu,

tanda-tanda pada periode ini antara lain, meningkatnya kegiatan

masturbasi, meningkatnya keinginan untuk bersentuhan

tubuh dengan anggota keluarga yang berlawanan jenis, dan

meningkatnya kecenderungan ekshibisionis;

4) Tingkat laten, adalah masa konsolidasi dalam

perkembangan psikoseksual. Tidak ada perkembangan atau

pertumbuhan baru. Mekanisme-mekanisme pertahanan

seksual yang sudah ada dimanfaatkan untuk penyesuaian

diri terhadap lingkungan, tetapi tidak ada

mekanisme-mekanisme baru yang dibentuk;

5) Tingkat genital, adalah penghubung antara masa anak-anak

dan dewasa. Ada tiga tahapan pada tahap ini yaitu, tahap

prapuber ditandai dengan meningkatnya kembali dorongan

libido, tahap puber yaitu ditandai dengan pertumbuhan

(9)

commit to user

kemampuan organik (ereksi), selanjutnya adalah tahap

adaptasi di mana remaja bersangkutan menyesuaikan diri

terhadap dorongan-dorongan seksual dan

perubahan-perubahan kondisi fisik yang tiba-tiba mengarah pada

bentuk kematangan fisik ke arah tahap individu dewasa.

b. Fisiologi Libido Seksual

Sedikit yang diketahui tentang dasar fisiologi libido.

Namun, diduga faktor-faktor seperti pengalaman seksual, latar

belakang perkembangan otak, faktor psikososial dan aktivasi

reseptor dopaminergik saraf tulang belakang serta hormon gonad

ikut berperan dalam pengaturan hasrat seksual pada pria (Fouad

et al., 2001). Beberapa bukti menunjukkan bahwa peran

neurotransmiter dopaminergik sentral sangat mendukung

stimulus perilaku seksual dan ereksi pada pria. Selanjutnya,

pengeluaran testosteron dari kopulasi distimulus oleh

peningkatan jumlah dopamin di daerah preoptik medial melalui

pengaturan sintesis NO (Fouad et al., 2001).

Peran aktivitas dopaminergik untuk stimulus perilaku

seksual pada manusia didukung oleh sejumlah hasil pengamatan

seperti (1) penggunaan dopamine agonis bromocriptine

apomorphine dan pergolide mesylate sering menimbulkan ereksi

penis secara spontan, (2) penggunaan levodopa prekursor

(10)

commit to user

atau munculnya emisi nokturnal pada 20-30 % pasien Parkinson

yang dirawat dengan agen tersebut, dan (3) penggunaan agen

farmakologis dengan efek antidopaminergik berkaitan dengan

penurunan libido dan disfungsi ereksi (Fouad et al., 2001).

Namun, agen farmakologis yang digunakan bisa merangsang

atau menghambat sistem lain termasuk adrenergik, kolinergik,

serotoninergik, dan histaminik yang dapat menurunkan libido

melalui penghambatan sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad atau

penghambatan aktivitas 5-α-reduktase (Fouad et al., 2001).

Peran androgen dalam mengatur perilaku seksual pada

laki-laki telah dibuktikan oleh Mooradian dalam Fouad (2001). Kadar

serum testosteron yang tinggi berkaitan dengan aktivitas seksual

yang lebih besar dan juga dapat mempersingkat latensi ereksi

melalui perangsangan erotis. Penarikan terapi androgen pada pria

hipogonadisme menyebabkan penurunan libido dalam 3-4

minggu dan disfungsi ereksi.

Dua hormon androgen yang mempengaruhi hasrat seksual

pria adalah testosteron (T) dan prolaktin (PRL). Segrave dan

Balon memperkirakan 200 – 350 mg/dL hormon testosteron

dibutuhkan untuk fungsi seksual normal. Pada keadaan

terangsang, hormon testosteron pria meningkat dengan cepat dari

10 hingga 35 nmol/L (atau sekitar 300 – 1000 mg/dL) (Windhu,

(11)

commit to user

Hormon testosteron pada pria terutama berasal dari testis,

tetapi dalam jumlah kecil berasal dari korteks adrenal. Kontrol

produksi hormon testosteron dimulai dari dalam hipotalamus

yang mensekresi GnRH. Gonadotropin-releasing hormone

kemudian menstimulus bagian anterior dari hipofisis untuk

menghasilkan baik LH maupun FSH yang bereaksi pada sel-sel

di dalam testis. Leutinizing hormone menyebabkan sel-sel Leydig

menghasilkan testosteron dan FSH menginduksi sel-sel Sertoli

untuk menghasilkan spermatozoa. Pada pria usia lanjut, fungsi

baik testis maupun aksis hipotalamus-hipofisis berkurang, yang

mempengaruhi produksi hormon testosteron yang juga berkurang

(Windhu, 2009a).

Prolaktin adalah hormon yang dihasilkan oleh hipofisis

anterior dan sekresi dipengaruhi oleh hipotalamus melalui

hypothalamic prolactininhibiting hormone (PIH) dan putative

prolactin-releasing hormone (PRH). Penurunan PRL pada pria

dan wanita menyebabkan berkurangnya hasrat seksual dan juga

kemungkinan masalah ereksi dan ejakulasi (Windhu, 2009a).

c. Perilaku Seksual pada Pria

1) Ereksi

Ereksi merupakan pengerasan penis yang dalam keadaan

normal lemas yang memungkinkannya masuk ke vagina.

(12)

commit to user

dalam penis, tetapi akibat pembengkakan penis oleh darah.

Penis sebagian besar terdiri dari jaringan erektil yang terdiri

dari tiga kolom ruang-ruang vaskuler seperti spons yang

berjalan di sepanjang organ. Apabila tidak terjadi

rangsangan seksual, jaringan erektil hanya berisi sedikit

darah karena arteriol dalam keadaan konstriksi. Akibatnya

penis tetap kecil dan lemas. Selama perangsangan seksual,

arteriol-arteriol itu berdilatasi dan jaringan erektil terisi

oleh darah, sehingga penis membesar baik panjang maupun

lebarnya serta menjadi lebih keras (kaku). Penimbunan

darah ini dan peningkatan ereksi terjadi karena penurunan

aliran darah vena. Vena-vena yang mendapat darah dari

jaringan erektil tertekan akibat pembengkakan yang

ditimbulkan oleh peningkatan aliran masuk darah arteri.

Respons ini mengubah penis menjadi organ yang mengeras

dan memanjang serta mampu masuk menembus vagina

(Sherwood, 2002). Refleks ereksi adalah suatu reaksi spinal

yang dipicu oleh stimulasi mekanoreseptor yang sangat

peka di glans penis, yang menutupi ujung penis. Hal ini

memicu peningkatan aktivitas parasimpatis dan penurunan

aktivitas simpatis ke arteriol-arteriol penis, sehingga terjadi

(13)

commit to user

2) Ejakulasi

Seperti ereksi, ejakulasi dilakukan oleh refleks spinal.

Rangsangan taktil dan psikis yang memicu ereksi akan

menyebabkan ejakulasi jika tingkat perangsangan menguat

sampai ke puncak. Respon ejakulasi berlangsung dalam dua

fase, yaitu emisi dan ekspulsi. Fase emisi merupakan

pengosongan sperma dan sekresi kelenjar seks tambahan

(semen) ke dalam uretra. Sedangkan ekspulsi merupakan

penyemprotan dengan kuat dan ekspulsif semen dari penis

(Sherwood, 2002).

d. Peran Hormon Seks

Androgen, khususnya testoren, diperlukan, meskipun tidak

mutlak, untuk timbulnya nafsu seks pada laki-laki. Namun pada

laki-laki dengan fungsi gonad normal, ternyata tidak ada korelasi

antara kadar testosteron darah dengan nafsu berahi, kegiatan

seks, ataupun fungsi ereksi (Setiadji, 2006).

Pada laki-laki yang mengalami kastrasi yang menurunkan

kadar testosteron sampai 90 %, atau oleh sebab lain yang

menyebabkan menurunnya kadar androgen, secara umum terjadi

penurunan libido dan kadang-kadang berkurangnya fungsi ereksi

dan ejakulasi (Setiadji, 2006). Pemberian testosteron

mengembalikan timbulnya nafsu seks dan kegiatan seksual pada

(14)

commit to user

dilakukan kastrasi pada manusia, gejala yang timbul dapat

bervariasi dari hilangnya sama sekali libido sampai kegiatan seks

yang normal (Setiadji, 2006).

2. Gangguan Libido Seksual

a. Definisi

Gangguan hasrat seksual didefinisikan sebagai tidak adanya

atau berkurangnya rasa ketertarikan atau hasrat seksual. Dalam

hal ini tidak ada pikiran atau fantasi seksual dan respons terhadap

hasrat seksual tersebut. Motivasi sebagai faktor pendorong untuk

berusaha membangkitkan gairah seksual jarang atau bahkan tidak

ada. Hilangnya ketertarikan atau kurangnya hasrat seksual

berhubungan dengan model respons seksual manusia (Windhu,

2009b).

b. Klasifikasi Gangguan Libido Seksual

Secara umum gangguan seksual diklasifikasikan di dalam

edisi keempat The Text Revision dari Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR). Satu bagian di dalam

DSM-IV-TR diberi judul ”Sexual and Gender Disorders”.

Gangguan seksual yang berhubungan dengan siklus respons

seksual (Sex Response Cycle = SRC) membagi gangguan ini

menjadi tiga bagian, yaitu hasrat atau desire, rangsangan/respons

seksual, dan orgasme, dengan gangguan masing-masing

(15)

commit to user

DSM-IV-TR kategori Sexual and Gender Disorder dibagi

menjadi tiga bagian, satu di antaranya adalah disfungsi seksual.

Satu dari kelompok disfungsi seksual adalah gangguan hasrat

seksual (Sexual Desire Disorder = SDD), yang meliputi dua

bagian (1) gangguan hasrat seksual hipoaktif (Hypoactive Sexual

Desire Disorder = HSDD) dan (2) gangguan ketidakinginan

terhadap seks (Sexual Aversion Disorder = SAD) (Windhu,

2009b).

c. Faktor yang Menyebabkan Gangguan Libido Seksual

Gangguan hasrat/keinginan seksual (SDD) pada pria dapat

diakibatkan oleh endocrinopathy yang berhubungan dengan

libido. Gangguan hasrat seksual ini dapat disebabkan karena

faktor usia. Gangguan ini bisa jadi merupakan bagian dari

gangguan psikologis, seperti depresi, gangguan ketakutan, dan

efek samping narkoba. Memahami problem gangguan hasrat

seksual pria dari sisi etiologi sangatlah kompleks karena

melibatkan aspek biologis, psikologis, dan antarpersonal

(Setiadji, 2006).

d. Diagnosis Penurunan Libido Seksual

Deskripsi HSDD di dalam DSM-IV-TR, terdapat tiga

kriteria untuk melakukan diagnosis (1) defisiensi atau ketiadaan

fantasi seksual dan hasrat untuk aktivitas seksual, (2) adanya

(16)

commit to user

gangguan sebagai akibat kondisi medis atau kejiwaan atau akibat

kekerasan seksual (Windhu, 2009b).

e. Penanganan Penurunan Libido Seksual

Penanganan gangguan hasrat seksual hipoaktif pada pria

dilakukan terutama dengan terapi hormon. Terapi hormon ini

khususnya dilakukan pada seorang yang menderita

hipothyroidisme, hiperprolaktinemia, dan hipogonadisme.

Hipothyroidisme telah diketahui berhubungan dengan penurunan

libido seksual. Perubahan ke arah euthyroid mempunyai korelasi

dengan peningkatan libido. Hasrat seksual yang rendah akibat

kelelahan dapat dilakukan dengan mencari gejala

hiperprolaktinemia (Windhu, 2009c).

Rekomendasi lain adalah dengan mencoba mengubah kadar

serum testosteron ke normal. Beberapa terapi dapat dilakukan,

meliputi pemberian 75-100 mg testosterone enanthate atau

cyprioate yang diberikan setiap minggu, 1 – 2 tablet 5 mg

testosteron tiap malam, 5 – 10 mg gel testosteron yang diberikan

tiap hari, 30 mg tablet bioadhesive buccal testosterone yang

diberikan setiap 12 jam. Namun, terapi ini tidak dapat dilakukan

dalam jangka waktu lama. Efek samping testosteron adalah

hipertropi prostat, meningkatnya erithropoiesis, ginekomastia,

dan retensi cairan yang dapat mengakibatkan hipertensi dan

(17)

commit to user 3. Stres

a. Definisi

Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan

perilaku dari manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan

mengatur baik tekanan internal maupun eksternal. Sedangkan

stresor adalah kejadian, situasi, seseorang atau suatu objek yang

dilihat sebagai unsur yang menimbulkan stres dan menyebabkan

reaksi stres sebagai hasilnya (Suyono, 2002).

Definisi stres yang paling sering digunakan adalah definisi

Lazarus dan Launier dalam Yuliadi (2010a) yang

menitikberatkan pada hubungan antara individu dengan

lingkungannya. Stres merupakan konsekuensi dari proses

penilaian individu, yakni pengukuran apakah sumber daya yang

dimilikinya cukup untuk menghadapi tuntutan dari lingkungan.

Maramis (2005a) mendefinisikan stres sebagai segala

masalah atau tuntutan penyesuaian diri yang mengganggu, dan

jika tidak dapat diatasi dengan tuntas dapat menimbulkan

gangguan ragawi maupun gangguan jiwa.

Stres dibedakan menjadi dua yaitu stres yang merugikan

dan merusak yang disebut distres, dan stres yang positif dan

menguntungkan, yang disebut eustres. Setiap individu

mempunyai reaksi yang berbeda terhadap jenis stres, dalam

(18)

commit to user

putus asa tetapi bagi individu lain justru dapat menjadi dorongan

baginya untuk lebih baik. Stres akan berpengaruh negatif apabila

kemampuan adaptasinya kurang atau stresor yang ada terlalu

besar atau melampaui batas kemampuan adaptasinya

(Tanumidjojo et al., 2004).

b. Penyebab Stres

Smet dalam Umam (2010) menyimpulkan bahwa stres

dapat bersumber dari:

1) Penilaian kognitif (cognitive appraisal)

Stres adalah pengalaman subyektif yang didasarkan atas

persepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di

lingkungan.

2) Pengalaman (experience)

Suatu situasi yang tergantung pada tingkat keakraban

dengan situasi, keterbukaan semula (previous exposure),

proses belajar, kemampuan nyata dan konsep

reinforcement.

3) Tuntutan (demand)

Tekanan, keinginan, atau rangsangan-rangsangan yang

segera sifatnya yang mempengaruhi cara-cara tuntutan yang

(19)

commit to user

4) Pengaruh interpersonal (interpersonal influence)

Ada tidaknya seseorang, faktor situasional dan latar

belakang mempengaruhi pengalaman subjektif, respon dan

perilaku coping. Hal ini dapat menimbulkan akibat positif

dan negatif. Kehadiran orang lain dapat menimbulkan

sumber kekacauan dan kegalauan yang tidak diinginkan,

tetapi bisa juga merupakan sesuatu yang dapat memberikan

dukungan, meningkatkan harga diri, memberikan

konfirmasi nilai-nilai dan identitas personal. Melalui

pengalaman belajar dapat dicapai peningkatan kesadaran

dan pemahaman akibat stres yang potensial.

5) Keadaan stres (a state of stress)

Ini merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang

dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan untuk

menemukan tuntutan tersebut. Proses yang mengikuti

keadaan stres ini merupakan proses coping serta

konsekuensi dari penerapan strategi coping. Coping sendiri

diartikan sebagai usaha meningkatkan sumber daya pribadi

dalam mengendalikan dan mengurangi situasi yang

menekan. (Heiman et al., 2005)

c. Fisiologi Stres

Guyton dan Hall (2007) menerangkan bahwa stres fisik

(20)

commit to user

pada tubuh, keadaan ini biasa disebut respon stres simpatis.

Sistem simpatis dapat teraktivasi dengan kuat pada berbagai

keadaan emosi, contohnya pada keadaan marah ataupun kecewa,

sehingga timbul rangsangan terhadap hipotalamus, sinyal-sinyal

yang dijalarkan ke bawah melalui formatio retikularis otak dan

masuk ke medula spinalis akan menyebabkan pelepasan impuls

simpatis yang masif, dan terjadi respon simpatis sebagai berikut:

1) Peningkatan tekanan arteri

2) Peningkatan kekuatan otot serta aliran darah ke otot dan

terjadi penurunan aliran darah ke organ, terutama

gastrointestinal dan ginjal

3) Peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh

4) Peningkatan konsentrasi glukosa darah dan proses glikolisis

di hati dan otot

5) Peningkatan kecepatan koagulasi darah dan aktivitas

mental.

Guyton dan Hall (2007) juga menambahkan bahwa secara

fisiologis hampir semua jenis stres ditandai dengan peningkatan

hormon kortisol dalam darah. Dalam waktu beberapa menit saja

sudah dapat meningkatkan sekresi ACTH dan akibatnya sekresi

kortisol juga akan sangat meningkat, bahkan dapat mencapai 20

kali lipat dari keadaan normal. Selain stres mental, terdapat pula

(21)

commit to user

peningkatan kecepatan sekresi kortisol secara bermakna oleh

korteks adrenal, antara lain:

1) Hampir semua jenis trauma, termasuk tindakan

pembedahan

2) Infeksi

3) Kepanasan atau kedinginan yang hebat

4) Penyuntikan norepineprin dan obat-obatan simpatomimetik

lainnya

5) Penyuntikan bahan yang bersifat nekrolisis di bawah kulit

6) Mengekang tubuh hingga tidak bisa bergerak

Kortisol sebagai produk dari glukokortioid korteks adrenal

yang dihasilkan pada zona fasikulata dan zona retikularis dapat

mempengaruhi metabolisme protein, karbohidrat, dan lipid. Pada

tahap selanjutnya kortisol juga akan berpengaruh terhadap

keseimbangan metabolisme tubuh seluruhnya. Pada stres yang

berkepanjangan metabolisme tubuh menyimpang dari fungsi

normal, sehingga dapat berdampak pada kesehatan yang

menurun (Guyton dan Hall, 2007).

Sekresi ACTH diatur secara umpan balik oleh steroid yang

beredar, pada manusia kortisol adalah regulator yang penting.

Kortisol bebas di dalam darah memiliki umpan balik negatif

terhadap pelepasan hormon pelepas kortikotropin (corticotropin

(22)

commit to user

kortikotrof hipofisis. CRH turun melalui vena-vena sistem portal

hipofisis ke hipofisis anterior dan memicu sekresi ACTH

(Guyton dan Hall, 2007).

Respons CRH terhadap umpan balik negatif mengikuti

irama diurnal, sehingga pada pagi hari ACTH dan kortisol dalam

jumlah yang lebih besar dan lebih kecil menjelang malam hari.

Nilai rujukan untuk harga normal kortisol berbeda antara

pemeriksaan yang dilakukan pada pagi hari dan sore hari. Pada

pagi hari nilai rujukan normal untuk kortisol antara 5-25 µg/dl,

sementara untuk sore hari nilai rujukan normalnya antara

2,5-12,5 µg/dl. Pemeriksaan kadar kortisol darah dapat digunakan

sebagai prediktor stres yang terjadi pada seseorang (Guyton dan

Hall, 2007).

d. Reaksi Tubuh terhadap Stres

Hans Seyle (dalam Suyono, 2002), merancang suatu konsep

mengenai reaksi tubuh terhadap stres yang disebut dengan

respons adaptasi umum terhadap stres. Konsep ini

menggambarkan respons tubuh terhadap stres menjadi tiga

tahapan dasar yaitu:

1) Tanggapan terhadap bahaya (alarm reaction)

Terjadi saat mulai terasa ancaman atau sesuatu yang tidak

(23)

commit to user

2) Tanggapan fisik atau tahap perlawanan (stage of resistance)

Tidak sehebat reaksi pertama tetapi reaksi hormonal tubuh

masih tinggi, secara nyata dilakukan upaya penanganan

terhadap stres yang terjadi, bisa dengan “coping” bisa juga

dengan “fighting”, apabila stresor dapat ditiadakan tubuh

akan kembali ke kondisi normal.

3) Tahap kelelahan (stage of exhaustion), pada tahap ini tubuh

tidak lagi memberikan respon terhadap stres karena

kepayahan, kehabisan energi.

Kondisi ini berbahaya karena mekanisme pertahanan tubuh

telah menyerah, jika berlanjut cukup lama maka individu akan

terserang dari “penyakit stres”, seperti migrain kepala, denyut

jantung yang tidak teratur, atau bahkan sakit mental seperti

depresi. Ketiga tahapan ini tidak selalu terjadi pada setiap

manusia yang mengalami stres karena tergantung pada daya

tahan mental setiap individu.

e. Derajat Stres

Menurut Hawari dalam Sriati (2008) stres timbul secara

lambat dan tidak disadari kapan munculnya. Adapun derajat stres

menurut Hawari dalam Sriati (2008) dibagi ke dalam 6 tingkatan,

(24)

commit to user 1) Stres tingkat I

Merupakan tahap ringan, biasanya disertai semangat yang

besar, penglihatan tajam tidak seperti biasanya, gugup yang

berlebihan. Pada tahap ini biasanya menyenangkan namun

tanpa disadari cadangan energinya menipis.

2) Stres tingkat II

Pada tahap ini mulai muncul keluhan karena cadangan

energi tidak cukup lagi untuk sepanjang hari. Keluhannya

antara lain letih pada waktu pagi hari, lelah setelah makan

siang dan menjelang sore serta ada gangguan otot dan

pencernaan.

3) Stres tingkat III

Tahap ini gejala semakin terasa dan mulai mengalami

gangguan tidur, dan rasa ingin pingsan. Pada tahap ini

sebaiknya penderita berkonsultasi dengan dokter.

4) Stres tingkat IV

Tahap ini keadaan semakin memburuk yang ditunjukkan

oleh kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit,

konsentrasi menurun, sulit tidur, dan ada rasa takut yang

tak terdefinisikan.

5) Stres tingkat V

Keadaan ini merupakan kelanjutan dari tahap IV, gejala

(25)

commit to user 6) Stres tingkat VI

Pada tahap ini penderita harus dibawa ke ICCU, karena

gejalanya sangat membahayakan seperti jantung berdebar

sangat keras karena zat adrenalin yang dihasilkan karena

stres cukup tinggi, sesak nafas, badan gemetar, tubuh

dingin dan berkeringat, tenaga tidak ada sama sekali

bahkan tak jarang pingsan.

f. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres

Ada tiga faktor utama yang menurut beberapa ahli

menyebabkan timbulnya stres, yaitu:

1) Faktor biologik

Faktor ini berasal dari adanya kerusakan atau gangguan

fisik atau organ tubuh individu itu sendiri. Misalnya:

terganggunya pola normal dari aktivitas fisiologis, infeksi,

serangan berbagai macam penyakit, kurang gizi, kelelahan

dan cacat tubuh (Sue et al., dalam Yuliadi, 2010a;

Maramis, 2005b).

2) Faktor psikologik

Faktor ini berhubungan dengan keadaan psikis individu.

Dikatakan bahwa sumber-sumber stres psikologik itu dapat

berupa:

a) Frustrasi, timbul bila ada aral melintang antara

(26)

commit to user

Ada frustasi yang datang dari luar, misalnya: bencana

alam, kecelakaan, kematian seseorang yang dicintai,

norma-norma dan adat-istiadat. Sebaliknya frustrasi

yang berasal dari dalam individu, seperti: cacat

badaniah, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga

penilaian diri sendiri menjadi tidak enak, merupakan

frustrasi yang berhubungan dengan kebutuhan rasa

harga diri (Maramis, 2005b).

b) Konflik, bila orang/individu tidak tahan memilih

antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan.

Misalnya: memilih mengurus rumah tangga atau aktif

di kegiatan kantor (Maramis, 2005b).

c) Tekanan, yaitu sesuatu yang dirasakan menjadi beban

bagi individu. Tekanan dari dalam dapat disebabkan

individu mempunyai harapan yang sangat tinggi

terhadap dirinya namun tidak disesuaikan dengan

kemampuannya sendiri atau tidak mau menerima

dirinya dengan apa adanya, tidak berani atau bahkan

terlalu bertanggung jawab terhadap sesuatu tetapi

dilakukan secara berlebih-lebihan. Tekanan dari luar,

misalnya: atasan di kantor menuntut pekerjaan cepat

(27)

commit to user

mendesak (Sue et al., dalam Yuliadi, 2010a; Maramis,

2005b).

d) Krisis, bila keseimbangan yang ada terganggu secara

tiba-tiba sehingga menimbulkan stres yang berat. Hal

ini bisa disebabkan oleh kecelakaan, kegagalan usaha

ataupun kematian (Maramis, 2005b).

3) Faktor sosial

Faktor ini berkaitan dengan lingkungan sekitar, seperti

pergaulan dan kegiatan sosial dalam masyarakat (Sue et al.,

dalam Yuliadi, 2010a; Maramis, 2005b).

g. Pengukuran Stres

Selain dari gejala fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium

terhadap kadar kortisol, stres dapat di screening dengan General

Health Quesionnaire (GHQ). GHQ dapat digunakan untuk

mengukur tingkat stres, GHQ adalah sebuah instrumen screening

dengan model self administration. GHQ dirancang untuk melihat

4 elemen stres yang teridentifikasi: depresion, anxiety, social

impairment, dan hipochondriasis (terutama diindikasikan oleh

symtomp organic). GHQ tidak cenderung untuk mendeteksi

beberapa kondisi sakit seperti depresi schizofrenia atau psikotik.

Versi dasar dari GHQ terdiri atas 60 item dari Goldberg (dalam

Yuliadi, 2010a) merekomendasikan untuk menggunakan semua

(28)

commit to user

Menurut Goldberg (dalam Yuliadi, 2010a) ada beberapa

versi GHQ yang telah dikembangkan, yaitu GHQ-60, GHQ-30,

GHQ-20 dan GHQ-12. Goldberg merekomendasi untuk

menggunakan seluruh item GHQ jika memungkinkan, yaitu 60

item dengan pilihan jawaban ya atau tidak. Kuesioner ini telah

teruji reliabilitas dan validitasnya. Reliabilitas diukur dengan

beberapa teknik, yaitu: korelasi testretest setelah 6 bulan adalah

0,90 (N= 20) ketika stabilitas dari pasien dikonfirmas melalui

sebuah pengujian psychiatric terstandard untuk 65 pasien lain

yang menentukan kondisi diri sendiri seperti diingatkan “sesuatu

yang sama” koefisien retestnya adalah 0,75. Reliabilitas split-half

pada versi 60 item adalah 0,95 untuk 853 responden.

Studi reliabilitas terhadap instrumen ini telah dilakukan di

beberapa negara dan telah menggunakan prosedur pembanding

yang terarah. Goldberg telah memberikan tabel rangkuman

empat studi yang membandingkan GHQ-60 dengan interview

psikiatrik terstandard yang dikembangkan lainnya (lebih jelas

(29)

commit to user

Tabel 2.1 Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas GHQ dengan Kuesioner Screening Stres yang Lain

Sensitivity (%) Specivicity (%)

GHQ 60 95,7 87,8

GHQ 30 85,0 79,5

Cornell Index 73,8 81,7

HOS (Macmillian) 75-84 54-68

22-Item Scale (Langner) 73,5 17,8

(Goldberg dalam Yuliadi, 2010a)

Interpretasi hasil dari GHQ bernilai positif untuk stres jika

minimal didapatkan nilai 12 poin dari 60 item pertanyaan GHQ,

setiap jawaban “ya” dinilai sebagai 1 poin (Goldberg dalam

Yuliadi, 2010a).

4. Letusan Gunung Merapi

Secara geografis dan demografis Indonesia merupakan wilayah

yang rawan bencana, baik bencana alam (natural disaster) maupun

bencana karena ulah manusia (man-made disaster). Bencana alam

yang terjadi antara lain gempa bumi (karena Indonesia dilewati

lempeng kerak Hindia Australia, Pasifik, dan Eurasia) dan tsunami

yang biasanya menyertai gempa bumi, banjir (akibat dari banyaknya

sungai), gunung meletus (hampir semua pulau di Indonesia terdapat

gunung berapi), tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan

(30)

commit to user

Bencana alam yang baru-baru ini terjadi di Indonesia adalah

letusan Gunung Merapi yang terletak di empat kabupaten, yaitu

Magelang, Boyolali, Klaten di Jawa Tengah dan Sleman di Yogyakarta

(Muhammad, 2011). Salah satu permasalahan yang timbul di kalangan

pengungsi adalah permintaan pembuatan “bilik asmara” bagi para

pengungsi untuk memenuhi kebutuhan seksual suami istri (Kurniawan,

2010).

Seringkali bencana datang secara mendadak yang menimbulkan

situasi stres berat yang datang bersamaan, antara lain ketidakberdayaan

individu, hancurnya struktur kehidupan sehari-hari, kerusakan materi,

dan kehilangan sanak keluarga. Tidak jarang orang-orang ini harus

mengungsi dan beradaptasi dengan tempat yang baru. Keadaan ini

menimbulkan stres (Departemen Kesehatan RI, 2006).

5. Hubungan Stres Kronis Pasca Letusan Gunung Merapi dengan

Penurunan Libido Seksual pada Pria

Masyarakat korban letusan Gunung Merapi akan menghadapi

stressor sosioekonomi yang besar, seperti kehilangan tempat tinggal,

keluarga, pekerjaan, dan sebagainya. Kondisi tersebut yang

berlangsung lama dapat menimbulkan stres kronis di kalangan korban

bencana alam. Secara fisiologis, hampir semua jenis stres ditandai

dengan adanya peningkatan hormon kortisol di dalam darah. Stres

(31)

commit to user

peningkatan kadar kortisol sebagai hormon stres tubuh yang utama

dalam waktu lama (Guyton dan Hall, 2007).

Sekresi kortisol yang tinggi akibat stres akan memberikan

rangsangan ke sistem limbik otak. Rangsangan ini kemudian masuk ke

hipotalamus dan dapat mengurangi kecepatan sekresi GnRH oleh

hipotalamus, sehingga produksi LH dan FSH di hipofisis anterior

mengalami penurunan (Yuliadi, 2010b). Hal ini dapat mempengaruhi

fungsi seksual dan reproduksi pria, salah satunya penurunan sekresi

testosteron oleh sel Leydig. Penurunan testosteron akan berakibat

terjadinya penurunan libido (Setiadji, 2006).

Selain kadar kortisol yang tinggi, stres juga berpengaruh pada

sistem dopaminergik di korteks prefrontalis. Pada kondisi stres kronis

terjadi penurunan kadar dopamin (Pasiak et al., 2005). Penurunan

kadar dopamin menyebabkan stimulus melalui sintesis NO untuk

pengeluaran testosteron dari kopulasi berkurang. Hal ini juga akan

(32)

commit to user B. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: feedback negatif

: mempengaruhi tetapi tidak diteliti

(33)

commit to user C. Hipotesis

Ada hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung Merapi

(34)

commit to user

32 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif epidemiologi

observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu peneliti

mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel

terikat (efek) yang diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief,

2003).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan

Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

C. Subjek Penelitian

1. Kriteria inklusi

a. Bersedia sebagai responden penelitian

b. Pria usia 30-40 tahun

c. Menikah (memiliki istri sah, bukan poligami, bukan istri siri atau

istri sambungan)

d. Lama perkawinan > 2 tahun dan telah memiliki minimal 1 anak

e. Kondisi ekonomi baik, berpenghasilan cukup

(35)

commit to user

g. Bertempat tinggal di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan

Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta

h. Lulus screening Lie-scale Minnesota Multiphasic Personality

Inventory (LMMPI).

2. Kriteria eksklusi

a. Tidak bersedia sebagai responden penelitian

b. Tidak lulus screening LMMPI

c. Memiliki riwayat penyakit kronis

d. Memiliki kelainan pada alat genital.

D. Teknik Sampling

Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan teknik

Purposive Random Sampling, yaitu suatu teknik pemilihan sampel yang

dipilih berdasarkan kelompok yang sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian

subjek dipilih secara acak, sehingga setiap subjek dalam populasi yang telah

dikelompokkan memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih (Arief,

2003).

Besar sampel yang diperlukan untuk rancangan penelitian cross

sectional ditentukan dengan rumus:

. .

dengan:

p : perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada

populasi (50%)

(36)

commit to user

Zα : nilai statistic Z pada kurve normal standart pada tingkat

kemaknaan α

d : presisi absolute yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi

populasi, misalnya +/- 5%

(Muhammad, 2004)

maka dari rumus tersebut didapatkan:

ᘠ 1,96 . 0,5 .0,50,05 384

Jadi, besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah

sebanyak 384 sampel.

Namun, dikarenakan keterbatasan waktu dan jumlah sampel yang

(37)

commit to user E. Rancangan Penelitian

Kriteria Inklusi

Formulir Biodata +

Kuesioner LMMPI

GHQ Questionnaire

+

HSDD Screener

Stres kronis (+) Penurunan

Libido (+)

Populasi

Sampel

Uji Koefisien Kontingensi Stres kronis (+)

Penurunan Libido (-)

Stres kronis (-) Penurunan

Libido (-)

Stres kronis (-) Penurunan

(38)

commit to user F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : stres kronis

2. Variabel terikat : penurunan libido seksual

3. Variabel luar

a. Terkendali : usia

b. Tak terkendali : pengalaman seksual, kondisi fisik, lingkungan.

G. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas

Stres kronis merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan

perilaku dari manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan

mengatur baik tekanan internal maupun eksternal yang bersifat kronis

(Suyono, 2002). Stres dalam penelitian ini adalah keadaan pada

responden penelitian, diukur dengan GHQ-60 (General Health

Quesionnaire). Interpretasi hasil dari GHQ bernilai positif untuk stres

jika minimal didapatkan nilai 12 poin dari 60 item pertanyaan GHQ.

Nilai minimal dari GHQ adalah 0, sedangkan nilai maksimalnya

adalah 60, setiap jawaban “ya” dinilai sebagai 1 poin (Goldberg dalam

Yuliadi, 2010). GHQ-60 (General Health Quesionnaire) mempunyai

sensitivitas 95% dan spesivisitas sebesar 87,8%, lebih tinggi jika

dibandingkan dengan kuesioner screening stres lainnya.

Skala pengukuran : nominal dikotomik, yaitu stres kronis positif

(39)

commit to user 2. Variabel terikat

Penurunan libido seksual merupakan salah satu gangguan libido

seksual. Penurunan libido seksual adalah berkurangnya fantasi seksual

atau pikiran dan atau keinginan untuk melakukan aktivitas seksual dari

responden penelitian, diukur dengan menggunakan Hypoactive Sexual

Desire Disorder (HSDD) Screener. Interpretasi hasil bernilai positif

untuk penurunan hasrat seksual jika minimal didapatkan nilai 7 poin

dari 4 item pertanyaan HSDD Screener. Nilai minimal adalah 0,

sedangkan nilai maksimal adalah 16, disertai lima pertanyaan

konfirmasi untuk membantu diagnosis. Nilai 0 untuk jawaban “tidak

kesulitan sama sekali” dan “tidak peduli sama sekali”, nilai 4 untuk

jawaban “sangat sulit” dan “sangat peduli” dengan nilai 1, 2, dan 3

disesuaikan sebagai suatu tingkatan (Leiblum et al., 2006).

Skala pengukuran : nominal dikotomik, yaitu penurunan libido

seksual positif (+) dan penurunan libido

seksual negatif (-).

H. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan media kuesioner baku yang telah diuji

validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner yang digunakan yaitu:

1. Formulir biodata

2. Lie Minnesota Multyphasic Personality Inventory (LMMPI) (Graham,

(40)

commit to user

3. General Health Questionnaire (GHQ)(Goldberg, 1972 dalam Yuliadi,

2010a)

4. Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD) Screener (Leiblum et al.,

2006).

I. Cara Kerja

1. Responden mengisi data identitas diri

2. Mengisi angket Lie-scale Minniesota Multiphase Personality Inventory

(LMMPI) dimana yang memenuhi syarat sebagai subjek penelitian

yaitu apabila jawaban “tidak” ≤ 10

3. Mengisi kuesioner General Health Questionnaire (GHQ) serta

kuesioner Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD) Screener

4. Setelah diperoleh skor dari skala setiap variabel yang berupa skala

nominal, dilakukan uji Koefisien Kontigensi (C).

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini di uji dengan metode statistik

uji Koefisien Kontingensi (C). Dalam mencari Koefisien Kontingensi,

terlebih dahulu mencari Chi Square ( ) dalam tabel 2 x 2.

Formula untuk Koefisien Kontingensi adalah :

C x

x N

dimana :

N : jumlah responden

(41)

commit to user

Untuk mencari x2 dapat dilakukan dengan rumus umum:

x O E

E

dimana :

O : frekuensi Observasi

E : frekuensi Ekspektasi/harapan, yang diperoleh dengan rumus :

E

∑ ꃘúƼĖ㇨ ㇨ 閨úᘠ 㠘Ė̊úƼĖ ᘠĖ úĖE ᘠ閨ú

∑ ú ㇨ 閨úᘠ 㠘Ė̊úƼĖ ᘠĖ úĖE ᘠ閨ú

(Handoko, 2007)

dengan tabel kontingensi 2x2 sebagai berikut :

Penurunan libido seksual

Total

Negatif Positif

Stres kronis A B a + b

Tidak stres kronis C D c + d

Total a + c b + d N

a = Stres kronis, penurunan libido seksual negatif

b = Stres kronis, penurunan libido seksual positif

c = Tidak stres kronis, penurunan libido seksual negatif

(42)

commit to user

Jadi, untuk menghitung frekuensi harapan pada tiap-tiap sel dapat

digunakan rumus :

쵸쵸 ú ̊ ú ꃘ

쵸 ꃘ 㠘 ú ꃘ

쵸 ú ̊ ̊ 㠘

ꃘ 㠘 ̊ 㠘

dengan :

N = a + b + c + d

Karena kedua variabel (karakteristik, kriteria) dikategorikan

masing-masing menjadi dua, analisis bisa dilakukan dengan rumus alternatif statistik

x2 yang lebih pendek, yaitu :

x

N ad bc

a b c d a c b d

(43)

commit to user Kriteria penerimaan hipotesa :

Uji Chi Square dengan derajat signifikasi 5%

Nilai χ2

hitung dibandingkan dengan χ2 tabel dengan tingkat kemaknaan a =

0,05.

Dan nilai derajat bebas dihitung dengan rumus :

Derajat bebas = ( r – 1) ( c – 1)

dengan :

r = jumlah baris

c = jumlah kolom

Keputusan :

H0 = Tidak ada hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung

Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria.

H1 = Ada hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung Merapi

dengan penurunan libido seksual pada pria.

H0 ditolak dan H1 diterima bila χ2hitung lebih besar atau sama dengan χ2tabel,

berarti terdapat perbedaan yang bermakna.

H0 diterima dan H1 ditolak bila χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel, berarti tidak

(44)

commit to user

42 BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di hunian sementara (shelter) Plosokerep,

Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta

pada Bulan April 2011. Subjek penelitian adalah pria berusia 30-40 tahun,

bersedia sebagai responden penelitian, telah menikah (memiliki istri sah, bukan

poligami, bukan istri siri atau istri sambungan), lama perkawinan > 2 tahun dan

telah memiliki minimal 1 anak, kondisi ekonomi baik, berpenghasilan cukup,

pendidikan minimal Sekolah Menengah Pertama (SMP), lulus screening Lie-scale

Minnesota Multiphasic Personality Inventory (LMMPI), serta bertempat tinggal

di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman,

Yogyakarta dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala dukuh.

Berdasarkan daftar identitas warga yang diperoleh dari kepala dukuh,

mahasiswa melaksanakan pengumpulan data dan diperoleh 30 sampel yang

memenuhi kriteria inklusi serta 12 sampel yang tidak memenuhi kriteria inklusi

karena pendidikan terakhir SD, 4 orang di antaranya tidak lulus screening

LMMPI, dan 1 orang di antaranya memiliki riwayat sakit pada penis, yaitu cedera

akibat trauma tajam selama satu bulan.

Data penelitian diperoleh dari GHQ untuk stres kronis dan HSDD screener

(45)

commit to user

Tabel 4.1 Distribusi Penurunan Libido Seksual pada Pria Pasca Letusan Gunung Merapi Berdasarkan Usia

Tabel 4.2 Distribusi Penurunan Libido Seksual pada Pria Pasca Letusan Gunung Merapi Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan Penurunan libido

seksual (+)

(46)

commit to user

(33,33 %) dan lulusan STM/SLTA/SMA sebanyak 3 sampel (10 %). Sedangkan

pada penurunan libido seksual negatif didapatkan sampel dengan lulusan SMP

sebanyak 10 sampel (33,33 %) dan lulusan STM/ SLTA/ SMA sebanyak 7 sampel

(23,33 %).

Tabel 4.3 Distribusi Penurunan Libido Seksual pada Pria Pasca Letusan Gunung Merapi dengan Stres Kronis (+) dan Stres Kronis (-).

Kondisi stres Penurunan libido

seksual (-)

(47)

commit to user

Data hasil penelitian diuji secara statistik dengan uji Chi-Square dilanjutkan

dengan uji coefisien contingency (C) menggunakan software SPSS 17.0 for

Windows (data terlampir). Hasil perhitungan SPSS menunjukkan nilai Asymp. sig.

yaitu p = 0,06 yang berarti p > 0,05 artinya secara statistik tidak ada hubungan

yang signifikan antara stres kronis pasca letusan Gunung Merapi dengan

penurunan libido seksual pada pria, karena besarnya hubungan hanya 0,324 atau

(48)

commit to user

46 BAB V

PEMBAHASAN

Pada tabel 4.1 diketahui bahwa jumlah sampel yang mengalami penurunan

libido seksual positif dengan persentase terbesar terdapat pada interval usia 36-40

tahun yaitu 9 sampel (30 %), sedangkan persentase terkecil pada interval usia

30-35 tahun yaitu 4 sampel (13,33 %). Hasil ini menunjukkan bahwa seiring dengan

bertambahnya usia maka seseorang akan lebih mudah mengalami stres sehingga

dapat menyebabkan penurunan libido seksual. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan Sadarjoen (2005) bahwa usia yang semakin lanjut lebih rentan

terhadap stres, baik itu stres dalam perkawinan maupun stres sosial.

Pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa insiden penurunan libido seksual lebih

banyak ditemukan pada sampel lulusan SMP, yaitu sebanyak 10 sampel (33,33

%), sedangkan pada sampel lulusan STM/SLTA/SMA sebanyak 3 sampel (10 %).

Hasil ini membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin

mudah seseorang beradaptasi terhadap stres yang dihadapi sehingga mencegah

terjadinya penurunan libido seksual. Hal ini didukung oleh pendapat Smet dalam

Umam (2010) bahwa pengalaman berupa proses belajar dan pengaruh

interpersonal dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman seseorang dalam

mengendalikan dan mengurangi situasi yang menekan.

Setelah dilakukan penelitian dengan jumlah sampel 30, berdasarkan tabel

(49)

commit to user

kronis pasca letusan Gunung Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria,

hal ini dibuktikan dengan nilai p > 0,05. Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang

menyatakan bahwa dalam kondisi stres, kadar kortisol seseorang akan meningkat

dan menyebabkan sekresi testosteron menurun akibatnya terjadi penurunan libido

seksual seperti yang telah diuraikan pada kerangka pemikiran (Guyton dan Hall,

2007; Setiadji, 2006; Fouad et al., 2001). Nampaknya hal ini disebabkan karena

keadaan stres ini telah berlangsung 6 bulan sejak terjadinya bencana sehingga

memungkinkan seseorang telah mengalami proses adaptasi.

Kondisi stres yang berlangsung lama ternyata memungkinkan seseorang

mengalami proses adaptasi seiring dengan berjalannya waktu. Terdapat suatu

penelitian yang menyebutkan bahwa untuk dapat menimbulkan penurunan hasrat

seksual, kondisi stres yang dialami harus terjadi dalam waktu dan kondisi yang

bersamaan (Broto, 2010). Hal ini terbukti melalui proses wawancara yang

dilakukan terhadap seorang responden berinisial “S” yang mengaku mengalami

penurunan libido seksual sekitar 1-2 minggu pasca terjadinya bencana, dalam hal

ini responden belum mampu beradaptasi dengan kondisi yang dialaminya.

Meskipun secara statistik hasil penelitian ini tidak bermakna, dari data

penelitian didapatkan 13 orang yang mengalami penurunan libido seksual dalam

kondisi stres kronis. Hal ini tentunya berkaitan dengan kemampuan setiap

individu dalam mengendalikan situasi stres yang potensial. Selain rendahnya

kemampuan adaptasi, penilaian kognitif setiap individu, besarnya stressor,

pengalaman yang kurang, dan tuntutan yang timbul melalui hubungan

(50)

commit to user

seseorang beradaptasi. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan faktor perancu di luar

(51)

commit to user

49 BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara statistik

tidak ada hubungan yang bermakna antara stres kronis pasca letusan Gunung

Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria.

B. Saran

1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor perancu di

luar kendali peneliti seperti faktor lingkungan dan konflik perkawinan.

2. Sebaiknya untuk pemeriksaan screening stres kronis dan penurunan libido

seksual selain dengan kuesioner juga dilengkapi dengan pemeriksaan

laboratorium kadar kortisol darah dan testosteron.

3. Sebaiknya letak hunian sementara bagi pengungsi tidak terlalu dekat satu

sama lain untuk menunjang kenyamanan dalam melakukan hubungan

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas GHQ
Tabel 4.2 Distribusi Penurunan Libido Seksual pada Pria Pasca Letusan
Tabel 4.3 Distribusi Penurunan Libido Seksual pada Pria Pasca Letusan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil evaluasi administrasi, teknis, evaluasi harga serta evaluasi penilaian kualifikasi penawaran oleh Pokja ULP Pengadaan Barang/Jasa Bidang Pengairan,

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah Alih Kode dan Campur Kode dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dan Rapat Kerja di DPRD Kota Manna Kabupaten

Namun dari hasil perhitungan uji verifikasi ditemukan beberapa perioda yang melebihi kapasiats gudang maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan pengali Lagrange

Situasinya adalah kelas yang siswa-siswanya sangat lamban dalam memahami bacaan. Berdasarkan analisis masalahnya, peneliti menyimpulkan bahwa siswa- siswa tersebut

menguraikan tes DNA, kemudian empat orang saksi dalam pembuktian jarimah zina, serta menganalisis Pasal 44 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang

Kajian ini penulis bertujuan untuk membuat perancangan website Sistem informasi pengaduan kecelakaan berkendara, merupakan sebuah website yang digunakan untuk

Forum SKPD Provinsi dilaksanakan dengan tujuan untuk: (1) Mensinkronkan kegiatan prioritas pembangunan yang berasal dari kabupaten/kota dengan Rancangan Rencana

Schutz membagi teorinya menjadi tiga unsur.Pertama, Schutz berpusat kepada pernyataan yang penting atau pokok dan sikap yang wajar atau alamiah.Alasannya adalah