• Tidak ada hasil yang ditemukan

Legal Opinion KASUS PENCEMARAN SAWAH AKI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Legal Opinion KASUS PENCEMARAN SAWAH AKI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KASUS PENCEMARAN SAWAH AKIBAT LIMBAH B3 OLEH PT KAHATEX DI KAWASAN RANCAEKEK BANDUNG JAWA BARAT

LEGAL OPINION

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Lingkungan Yang diampu oleh: Ridwan Arifin, S.H., Ll.M

Oleh:

Nama

: Bryan Bagus Kusuma

NIM

: 8111416154

Rombel

: 07

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SEMARANG

(2)

LEGAL OPINION A. Kasus Posisi

Kasus ini merupakan kasus pidana pencemaran lingkungan lahan persawahan yang terjadi di Kawasan Rancaekek Bandung, Jawa Barat oleh PT Kahatex yang dimuat oleh situs berita Sindonews. Berita tersebut ditulis oleh Dila Nashear pada hari Rabu, 7 Mei 2014. Dalam kasus tersebut PT Kahatex diduga telah mencemari ratusan hektar sawah milik warga Rancaekek akibat limbah tekstil yang dihasilkannya. Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jabar Anang Sudarna menjelaskan, bila kondisi lahan pesawahan milik warga seluas kurang lebih 753 hektare dalam keadaan tercemar akibat limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dihasilkan oleh PT Kahatex. Secara tidak bertanggung jawab mereka membuang limbah hasil industri tekstil yang mereka hasilkan di Sungai Cikijing yang berada di kawasan perindustrian tersebut.

Akibat tindakan yang dilakukan oleh PT Kahatex tersebut kini ratusan hektare sawah milik warga itu dibiarkan para pemiliknya karena sudah tidak bisa ditanami lagi. Kerugian yang sangat besar dirasakan masyarakat setempat, pemilik lahan serta pekerja yang selama ini menggantungkan hidup dari sawah tersebut kini kehilangan mata pencahariannya. Di era 1990 padi di wilayah tersebut memiliki kualitas unggulan di Kabupaten Bandung namun kini nyaris tidak menghasilkan apapun karena tanah persawahan yang telah tercemar oleh limbah B3. Tak hanya itu penurunan produktivitas pun terjadi antara 30% hingga 70%. Kedalaman tanah yang telah terkontaminasi zat kimia berbahaya, antara 30 hingga 100 sentimeter. Begitu juga dengan sumur milik warga yang sudah tidak bisa dikonsumsi. Untuk itu, perusahaan tekstil yang berada di Kabupaten Sumedang itu diminta bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jabar Anang Sudarna sudah melakukan penanganan pada saat itu, yakni dengan melakukan mediasi dengan PT Kahatex. Namun, mediasi yang dimulai Juni hingga akhir Februari lalu itu tidak mendapatkan kesepakatan. PT Kahatex tetap kukuh dan tidak mau mengakui kesalahannya yang telah merusak lingkungan serta tidak mau mengganti biaya kerugian yang ditimbulkan oleh perusahaannya sebesar Rp 392 Miliar. Oleh sebab itu pihaknya tengah mengambil tindakan tegas dengan mempersiapkan langkah hukum.

B. Isu Hukum/Permasalahan Hukum

(3)

pidana lingkungan dan dapat dikategorikan sebagai kasus hukum. Hal ini dapat dilihat dari adanya indikasi pelanggaran terhadap hak masyarakat dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam bidang lingkungan hidup.

Kegiatan yang dilakukan oleh PT Kahatex telah menyebabkan kerugian yang sangat besar terhadap masyarakat yang berprofesi sebagai petani dan pemilik lahan persawahan di Kawasan Rancaekek Bandung, Jawa Barat. Akibat pembuangan limbah tekstil yang dilakukan secara sembarangan di Sungai Cikijing seluas 753 hektare sawah dalam kondisi tercemar dan tidak dapat ditanami tanaman lagi. Selain masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya, penurunan produktivitas pun terjadi antara 30% hingga 70%. Kedalaman tanah yang telah terkontaminasi zat kimia berbahaya, antara 30 hingga 100 sentimeter. Sumur warga pun tak dapat dimanfaatkan kembali karena telah tercemar limbah B3.

Dengan alasan tersebut, para pelaku tersebut dapat dituntut karena telah melakukan pencemaran dan pengerusakan lingkungan hidup sehingga menyebabkan ratusan hektar lahan persawahan mati tidak dapat ditanami, terjadinya penurunan produktivitas, dan mencemari air sumur yang dapat mengancam kesehatan penduduk. Pada Legal Opinion dalam kasus pencemaran sawah akibat limbah B3 oleh PT Kahatex di Kawasan Rancaekek Bandung, Jawa Barat penulis akan mengangkat dua isu pelanggaran hukum, yaitu:

1. Berdasarkan uraian yang terdapat di dalam kasus posisi, PT Kahatex telah dengan sengaja membuang limbah jenis B3 ke sungai Cikijing. Apakah PT Kahatex telah melanggar Pasal 60 jo. Pasal 104 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup ?

2. Apakah PT Kahatex telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia? C. Fakta Hukum

Dalam kasus pencemaran dan pengrusakan lingkungan di Kawasan Rancaekek oleh PT Kahatex ini, banyak fakta konkrit di lapangan yang berhasil ditemukan oleh Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan (Dispertanhutbun) Kabupaten Bandung dan Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jabar. Fakta-fakta tersebut diantaranya:

1. Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan (Dispertanhutbun) Kabupaten Bandung mendata sekitar 700 hektare areal persawahan yang berada di kawasan Rancaekek tercemar limbah PT Kahatex.

(4)

3. Di era 1990 padi di wilayah tersebut memiliki kualitas unggulan di Kabupaten Bandung namun kini nyaris tidak menghasilkan apapun karena ulah PT Kahatex.

4. Sudah sejak beberapa tahun yang lalu Kadispetanhutbun Kabupaten Bandung Tisna Umaran melayangkan surat keberatan atas kerusakan lahan pesawahan warga ini ke Pemprov Jabar maupun ke PT Kahatex, namun tidak pernah ditindaklanjuti.

5. Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jabar Anang Sudarna menjelaskan, bila kondisi lahan pesawahan milik warga seluas kurang lebih 753 hektare dalam keadaan tercemar.

6. Terjadinya penurunan produktivitas antara 30% hingga 70%.

7. Kedalaman tanah yang telah terkontaminasi zat kimia berbahaya, antara 30 hingga 100 sentimeter.

8. Sumur milik warga yang sudah tidak bisa dikonsumsi akibat terkontaminasi limbah.

9. Mediasi dengan pihak PT Kahatex telah dilakukan sejak Juni hingga akhir Februari lalu, namun mediasi itu tidak mendapatkan kesepakatan.

10. PT Kahatex tidak mau mengakui perbuatannya yang telah merusak lingkungan serta tidak mau mengganti rugi kepada negara senilai Rp 392 miliar.

11. Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jabar Anang Sudarna sudah mempersiapkan langkah hukum karena PT Kahatex tidak mau bertanggung jawab.

Fakta lapangan yang terungkap di atas menunjukkan indikasi kuat bahwa PT Kahatex telah melakukan pelanggaran hukum dalam operasional pabriknya. Aturan hukum yang dilanggar yakni Pasal 60 dan 69 ayat (1) yang berkaitan dengan dumping junto Pasal 104 yang berkaitan dengan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Isi dari pasal-pasal tersebut ialah sebagai berikut:

1. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)

“Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin”.

2. Pasal 69 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, dan f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH

“Setiap orang dilarang:

(5)

b. memasukkan B3 yang dilarang menurut Peraturan Perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidupNegara Kesatuan Republik Indonesia;

d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;

f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup”.

3. Pasal 104 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH

“Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

D. Analisis Hukum

Berdasarkan kasus posisi dan fakta hukum pada bagian sebelumnya yang telah memaparkan kronologis kasus dan bentuk pelanggaran yang terjadi di lapangan, kita dapat melihat bahwa begitu banyak fakta yang menyalahi peraturan perundang-undangan. Berbagai fakta hukum yang telah dipaparkan sebelumnya jelaslah memenuhi rumusan yang ada dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh PT Kahatex merupakan suatu kegiatan yang melanggar hukum.

Seperti yang telah dijelaskan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 60

“Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau baham ke media lingkungan hidup tanpa izin”.

Dan Pasal 69 ayat (1) huruf a:

“Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.

Perusakan lingkungan hidup yang dimuat dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang PPLH adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

(6)

yang pertama, tindakannya dilakukan oleh orang. Syarat yang kedua, tindakan tersebut menimbulkan perubahan langsung maupun tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan hayati lingkungan hidup. Dan syarat yang ketiga, tindakan yang dilakukan tersebut melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Pada kasus ini, syarat pertama telah terpenuhi yaitu yang melakukan tindakan pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) tersebut adalah orang, yakni PT Kahatex sebagai subjek hukum dalam kasus ini. Syarat yang kedua juga terpenuhi yaitu, kegiatan pembuangan limbah B3 tersebut menimbulkan perubahan secara langsung terhadap sifat fisik, kimia dan hayati lingkungan hidup karena menyebabkan tercemarnya ratusan hektar lahan persawahan, menurunnya tingkat produktivitas, serta tercemarnya air sungai penduduk. Kemudian syarat ketiga juga terpenuhi yaitu, melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup karena limbah B3 sangat berbahaya bagi kesehatan serta menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat dilihat dari segi ekonomi. Sehingga kasus ini dapat dikatakan sebagai kasus hukum atau tindak pidana lingkungan yang berupa pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup.

Fakta lapangan menunjukkan bahwa PT Kahatex telah memenuhi unsur-unsur pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan bidang lingkungan hidup yaitu terhadap Pasal 60 jo. Pasal 104 Undang-Undang Nomor 32 Tahun Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut pasal 60 jo. Pasal 104 Undang-Undang Nomor 32 Tahun Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi agar dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana pencemaran lingkungan. Syarat pertama, pelaku tersebut adalah orang. Syarat kedua, orang tersebut melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan. Syarat ketiga, perbuatan tersebut dilakukan tanpa izin terlebih dahulu.

Dalam kasus ini syarat pertama telah terpenuhi, yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang, PT Kahatex sebagai subjek hukum dalam kasus ini. Syarat kedua juga telah dipenuhi karena dengan sengaja pihak PT Kahatex membuang limbah tekstil hasil industrinya yang merupakan limbah B3 ke dalam aliran sungai Cikijing yang menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat Rancaekek Bandung, Jawa Barat dengan tak bisa ditanaminya ratusan hektar lahan persawahan, menurunnya tingkat produktivitas, dan tercemarnya sumur warga sehingga tidak dapat untuk dikonsumsi lagi. Syarat ketiga pun juga terpenuhi karena PT Kahatex membuang limbah hasil industrinya dengan semaunya tanpa melakukan izin terlebih dahulu.

(7)

“Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa PT Kahatex telah menyalahi kewajibannya memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup serta menyalahi ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Pada kasus ini, peran aktif masyarakat menuntut proses hukum sangatlah penting. Masyarakat Rancaekek dapat menggugat PT Kahatex secara Perdata, Pidana maupun dengan penyelesaian non litigasi untuk menuntut ganti rugi. Hak gugat masyarakat ini dapat dilakukan dalam bentuk gugatan class action yang telah diatur dalam Pasal 91 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu :

“(1).Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (2).Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta

atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

(3).Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang – undangan.”

Sedangkan untuk mempersiapkan tuntutan secara Perdata diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu :

“Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu”.

Pencemaran ini telah menghilangkan hak masyarakat Rancaekek atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Karena mereka adalah korban yang merasakan dampak langsung pencemaran ini. Ketentuan hak mereka ini dapat kita lihat dalam Pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi :

“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”

Hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini dapat pula kita lihat dalam Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi :

(8)

Berdasarkan bunyi/isi dari Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia PT Kahatex telah memenuhi syarat-syarat di dalam pasal tersebut untuk dikatakan bahwa perusahaan tersebut telah melanggar isi dari undang-undang tersebut tentang hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat dengan terpenuhinya syarat-syarat yaitu tercemarnya air sumur sehingga tidak dapat dikonsumsi lagi serta ratusan lahan hektare sawah yang tidak dapat ditanami lagi sehingga menimbulkan kerugian hingga ratusan milyar besarnya. E. KESIMPULAN

Berdasarkan paparan analisis hukum terhadap pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ke media lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT Kahatex merupakan tindak pidana lingkungan berupa pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup sesuai dengan rumusan ketentuan dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku melanggar telah memenuhi ketentuan Pasal 60 jo. Pasal 104 Undang-Undang PPLH, dimana setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup dan setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, membuang limbah ke media lingkungan hidup, membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup dan dapat diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(9)

DAFTAR RUJUKAN A.BUKU

Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Faishal, Achmad, Hukum Lingkungan Pemgaturan Limbah dan Paradigma Industri Hijau, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2016.

Wijiyo, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Surabaya: Airlangga University Press, 2003.

B.Undang-Undang

Undang-Undang, Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Referensi

Dokumen terkait

Hukuman mati melanggar HAM dan bertentangan dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 28 A Undang-undang Dasar Negara Republik

Selanjutnya sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, memang krusial untuk berpendapat bahwa “semua hukum

Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, penyandang cacat merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh

Di Indonesia, pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “ Hak Asasi Manusia

Hak atas perlindungan hukum bagi narapidana juga dirumuskan dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut:[12].5.

Pasal 12 kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya juga tidak mengatur secara detail mengenai ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada

Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan

Dalam pasal Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 39 Tahun 1999 tentang HAM tentang HAM disebutkan bahwa disebutkan bahwa “Hak