DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS HUKUM UGM MELALUI UNIT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA (PPM-FH UGM)
JUDUL:
ANALISIS YURIDIS MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA GUNA TERWUJUDNYA PEMBANGUNAN DESA
OLEH:
PENGUSUL I : WAFIA SILVI DHESINTA, S. H (14/371954/PHK/8259)
PENGUSUL II : ANNISHA PUTRI ANDINI, S.H (14/372033/PHK/8275)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
1 A. Latar Belakang
Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia merupakan Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik, demikian sesuai bunyi Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.1 Berdasarkan keadaan empiris Indonesia, secara historis terdapat desa yang merupakan cikal bakal terbentuknya
masyarakat dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum bangsa-negara modern
terbentuk, kelompok sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain
sebagainya, telah menjadi bagian yang penting dalam suatu tatanan negara.2 Antara desa, kerajaan, ataupun negara sama-sama merupakan bentuk organisasi
yang berbeda kawasannya, namun sama obyek dan subyek pelakunya, yaitu
rakyat.3
Keberadaan desa di tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia kemudian
secara yuridis normatif juga telah diatur, di mana desa telah diberikan atau lebih
tepatnya diakui kewenangan-kewenangan tradisionalnya menurut Pasal 18B ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang”.
1 Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2 Ni’matul Huda, 2014, Perkembangan Hukum Tata Negara (Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan), FH UII Press, Yogyakarta, hlm 361.
Jadi, menururt UUD 1945 pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum
adat termasuk di dalamnya adalah desa berserta hak-hak tradisionalnya harus
didasarkan pada prinsip “tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.4
Negara kesatuan merupakan landasan batas dari isi pegertian otonomi, di
mana berdasarkan hal itu, dikembangkan berbagai peraturan yang mengatur
mekanisme yang akan menjelmakan keseimbangan antara tuntutan kesatuan dan
tuntutan otonomi secara alami dan tidak perlu dihilangkan.5 Hal inilah yang menyebabkan bahwa konsekuensi logis dari konsep atau gagasan hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia bukan saja hanya desentralisasi kewenangan
kepada daerah otonom yang melahirkan otonomi daerah, melainkan lebih dari
itu, yakni pengakuan-ataupun perlindungan terhadap adanya otonomi desa
sebagai otonomi asli bangsa Indonesia sejak sebelum datangnya kolonial
Belanda.6
Perjalanan politik hukum (legal policy) pemerintahan desa dalam berbagai
peraturan perundang-undangan mengalami ketidakteraturan (inkonsistensi) atau
berubah-ubah sejak zaman kolonial hingga saat ini yang disebakan beberapa hal
seperti kelemahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebelum dan sesudah perubahan amandemen, dinamika perubahan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, konfigurasi politik pelaksanaan
pemerintahan.7 Sebelum adanya UU No. 6 Tahun 2014, diketahui bahwa hubungan antara pusat dan daerah, termasuk di dalamnya hubungannya dengan
desa terdapat pada UU No. 5 Tahun 1979 yang sifatnya cenderung
sentralistik-otokratis-korporatis, UU No. 22 Tahun 1999 yang bersifat devolutif-liberal, dan
UU No. 32 Tahun 2004 yang cenderung gagal menjembatani perbedaan
4Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, 2010, Republik Desa: Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desai Otonomi Desa, Penerbit PT. Alumni, Bandung, hlm. 43.
5Ni’matul Huda, 2007, Pengawasan Pusat terhadap Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, hlm 7.
6 Ibid.,hlm 11.
pandangan yang justru membuahan kemenangan bagi kekuatan nasionalis kolot
dan pemerintah pusat terhadap daerah dan desa.8
Guna mempercepat pembangunan di segala bidang, maka upaya peningkatan
dan pemerataan kemampuan Pemerintah Desa di seluruh Indonesia mutlak
diperlukan. Salah satu strateginya oleh Talizudhu Ndaraha disebutkan bahwa
desentralisasi pembangunan sampai ke desa, di mana bermakna bahwa konsep
“bhinneka” dalam lambang negara menjadi jelas serta asas desentralisasi mengisi
konsep rumah tangga desa.9 Tuntutan dibentuknya Undang-Undang Desa tersendiri yang terpisah dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah mencuat
seiring berbagai konfigurasi politik yang menunjukkan sering berubahnya
peraturan perundang-undangan berdasarkan kepentingan pemerintah pusat
maupun daerah yang membingungkan perangkat desa. Padahal kejelasan
peraturan akan membawa dampak positif pada pembangunan desa yang masih
terkesan sangat banyak ketertinggalan di beberapa daerah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjadi bahan kajian
menarik yang diharapkan memperkuat otonomi desa serta percepatan
pembangunan. Pimpinan Pansus UU Desa, Budiman Sudjatmiko
menggambarkan implikasi asas pengakuan, subsidiaritas dan pemberdayaan
dengan alur yakni kesatuan kewenangan skala lokal desa digunakan untuk
melakukan perencanaan Keuangan guna melangsungkan Pelaksanaan
Pembangunan Desa.10
Untuk mendukung hal tersebut, di bidang anggaran setiap desa di seluruh
Indonesia akan mendapatkan dana yang penghitungan anggarannya didasarkan
pada jumlah desa dengan pertimbangan diantaranya adalah jumlah penduduk,
8Sutoro Eko, Masa Lalu, Masa Kini, dan masa Depan Otonomi Desa , dalam Soetandyo Wignosubrto dkk (tim penulis), Pasang Surut Otonomi Daerah, Skettsa Perjalanan 100 Tahun , Institute for Local Development dan Yayasan Tifa, Jakarta, 2005, hlm. 513, dalam Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara..., Op.Cit, hlm. 370.
angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.
Terkait hal tersebut, suatu gebrakan baru yang hingga kini hangat
diperbincangkan adalah adanya Pasal 72 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa terkait dengan Keuangan Desa di mana salah satu sumber dana desa
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Praktis, hal ini
menimbulkan banyak pro maupun kontra, karena pada dasarnya niat pemerintah
untuk mengakui eksistensi desa dan memberikan kesempatan kepada desa untuk
melakukan percepatan pembangunan direalisasikan melalui hukum positif.
Namun, di sisi lain, kesiapan desa untuk melakukan pengelolaan keuangan desa
yang begitu banyak juga tidak dapat diabaikan begitu saja mengingat kondisi dan
potensi desa di Indonesia yang pluralistik.
Mengenai pengelolaan keuangan desa, lebih lanjut lagi dijelasakan di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, di
mana disebutkan bahwa pengelolaan keuangan desa adalah serangkaian kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban. Lebih lanjut, adanya suatu penguatan pengelolaan dan
pengawasan keuangan desa yang baik mutlak diperlukan untuk mencegah atau
setidaknya mengurangi kemungkinan penyimpangan serta terwujudnya tujuan
pembangunan desa. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui terjadi atau
tidaknya suatu penyimpangan dan bila terjadi, perlu diketahui sebab-sebab
penyimpangan tersebut agar tidak ada kecenderungan destruktif yang
menjadi-jadi.11
Senada dengan hal di atas, terdapat berbagai sorotan dari beberapa pihak,
salah satunya adalah Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Adnan Pandu Praja. Ia menyatakan bahwa pihaknya akan menyurati seluruh
aparat desa di Indonesia untuk mengingatkan agar alokasi Dana Desa
dimanfaatkan dengan benar dan tidak melanggar hukum, apalagi korupsi.12 Kekhawatiran beberapa pihak mengenai penggunaan keuangan desa cukup
beralasan mengingat dari 72.944 desa yang ada di Indonesia, belum ada basis
data yang dimiliki Pemerintah Pusat terkait kualitas sumber daya manusia
perangkat desa, terlebih di beberapa wilayah di Indonesia pemilihan perangkat
desa diduga masih menggunakan money politic dalam proses pemilihan
langsungnya.
Sukasmanto, Peneliti Ahli dari Institute for Research and Empowerment
(IRE) dalam forum Anti Korupsi Indonesia memaparkan bahwa:
“Potensi penyalahgunaan Dana Desa dipengaruhi oleh 4 hal yakni bagaimana peraturan turunan dari UU Nomor 6 tahun 2014 termasuk peraturan Dana Desa, tinggi/rendahnya tingkat diskresi pengelolaan keuangan desa, tinggi/rendahnya kualitas sumber daya manusia dan pembinaan/pengawasan penggunaan Dana Desa”.13
Kekhawatiran dan ketidaksiapan desa dalam hal pengelolaan keuangan desa
juga dirasakan salah satunya oleh Staf Ahli Bupati Bengkulu Selatan Bidang
Ekonomi dan Keuangan terkait dengan kemampuandan jumlah aparatur desa
yang masih kurang dalam pengelolaan keuangan desa.14
Dari latar belakang singkat di atas, penulis merasa perlu mengkaji dan
menganalisis lebih jauh terkait berbagai mekanisme penguatan pengelolaan
keuangan desa mengingat potensi dan kesiapan desa di seluruh Indonesia tidak
dapat dipukul sama rata. Pembahasan mengenai penguatan mekanisme
pengelolaan keuangan desa dirasa sangat penting bagi penulis dalam upaya
menilai apakah suatu mekanisme yang diciptakan mampu mewujudkan
pembangunan desa serta mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan
terjadinya penyimpangan.
12Hukumonline.com, KPK Siap Antisipasi Potensi Korupsi Dana Bantuan Desa , Edisi tanggal 11 Desember 2014 (online), (03 Mei 2015)
13 Sukasmanto-IRE, Potensi Penyalahgunaan Dana Desa dan Rekomendasi, 4thIndonesia Anti Corruption Forum10-12 Juni 2014, http://ire.org.id/ (online), (03 Mei 2015)
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang singkat di atas, maka penulis membatasi masalah pada:
1. Bagaimana mekanisme pengeloaan keuangan desa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa guna mewujudkan
pembangunan desa?
2. Apakah mekanisme pengelolaan keuangan desa yang telah diatur telah
sesuai dengan sistem pengelolaan keuangan negara kesatuan Republik
Indonesia sebagai subsistem di bawahnya?
3. Apa saja potensi permasalahan terkait pengelolaan keuangan desa?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan, mengkaji, dan menganalisis pengelolaan
keuangan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa guna mewujudkan pembangunan desa.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis apakah mekanisme pengelolaan
keuangan desa yang telah diatur telah sesuai dengan sistem pengelolaan
keuangan negara kesatuan Republik Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis potensi permasalahan terkait
pengelolaan keuangan desa
D. Keaslian Penelitian
Penelitian berjudul “Analisis Yuridis Pengelolaan Keuangan Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Guna
terwujudnya Pembangunan Desa” sepanjang sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan oleh pihak lain. Sejauh ini dari beberapa artikel jurnal dan hasil
penelitian memang hangat dibahas isu krusial dari lahirnya UU Desa tersebut dan
membahas pentingnya pengelolaan dana desa yang tidak sedikit serta
kekhawatiran-kekhawatiran akan adanya kebocoran dana desa. Berangkat dari
kekhawatiran tersebut, maka peneliti bermaksud menganalisis dan mengkaji
penelitian yang penulis ajukan dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa tulisan
baik artikel maupun jurnal peneliti temukan terkait dengan permasalahan
mengenai pengelolaan keuangan desa yang diperoleh peniliti diantaranya adalah:
1.) Jurnal Penelitian oleh Taufane Taufik dengan judul “Pengelolaan
Keuangan Desa dalam Sistem Keuangan Republik Indonesia” 15
2.) Buku Laporan Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan judul “Laporan Hasil Kajian Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi Dana Desa dan Dana Desa”16
E. Manfaat Penelitian
a. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan ilmu hukum dan
menjadi referensi ilmiah bagi kalangan akademik, khususnya di bidang Ilmu
Hukum Tata Negara terkait mekanisme pengelolaan keuangan desa
berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Guna
Terwujudnya Pembangunan Desa serta permasalahannya.
b. Bagi Masyarakat Luas
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang obyektif dan
jelas kepada masyarakat dan pihak terkait mekanisme pengelolaan keuangan
desa berdasarkan UU terbarunya serta penguatan mekanisme pengeloaan dana
desa dalam menghadapi keberagaman potensi dan kesiapan desa. Dengan
dijadikannya penelitian ini sebagai referensi, maka akan memudahkan kita
untuk mengawal pelaksanaan UU Desa tersebut.
15 Taufane Taufik, Pengelolaan Keuangan Desa dalam Sistem Keuangan Republik Indonesia , http://academia.edu/taufanetaufik.html, tanggal 27 Agustus 2015.
8
A. Kajian Teoritik Mengenai Hubungan Pusat dan Daerah 1. Beberapa Aspek Hubungan Pusat, Daerah dan Desa
Pemerintahan desa merupakan bagian yang terintegrasi dengan pemerintahan
daerah. Bagaimana tidak, daerah baik kabupaten/kota dan juga provinsi terdiri
dari kumpulan desa-desa hingga membentukpemerintahan yang lebih tinggi di
atasnya. Pemerintah Desa merupakan sumber formil daripada kesatuan
masyarakat desa. Pemerintah Desa sebagai badan kekuasaan terendah memiliki
wewenang asli untuk mengatur rumah tangga sendiri juga memiliki wewenang
dan kekuasaan sebagai pelimpahan secara bertahap dari pemerintahan di atasnya
yakni pemerintah daerah dan pemerintah pusat.17 Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dijalankan dengan beberapa asas yang
dijalankan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yakni:
1.) Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi;
2.) Asas dekonsentrasi, yaitu pelimpahan sebagian urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat kepada instansi vertikal di wilayah tertentu,
dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggungjawab
urusan pemerintahan umum;
3.) Asas tugas pembantuan,yaitu penugasan daripemerintah pusat kepada
daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah
provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
Konsep penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
yang lebih rendah tingkatannya adalah menggunakan prinsip money follow
function, yang artinya setiap kegiatan yang diserahkan atau ditugaskan atau
dilimpahkan kepada permerintah di bawahnya harus disertai dengan
pembiayaan-pembiyaan untuk menjalankan wewenang tersebut.18
Dalam tataran teoritis dikenal adanya pembagian kekuasaaan secara
horisontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horisontal adalah suatu
pembagian kekuasaan yang kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan diserahkan
kepada tiga badan yang mempunyai kedudukan yang sejajar yakni kekuasaan
eksekutif yang diserahkan kepada pemerintah, kekuasaan legislatif kepada
parlemen dan kekuasaan yudikatif kepada peradilan.19 Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal yaitu suatu pembagian kekuasaan antara pemerintah
nasional atau pusat dengan satuan pemerintah lainnya yang lebih rendah.
Pembagian kekuasaan secara vertikal tersebut akan lebih jelas apabila dilakukan
perbandingan antara negara kesatuan, federasi dan konfederasi.20 Indonesia yang merupakan negara dengan bentuk negara kesatuan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 mengindikasikan bahwa wewenang legislatif
tertinggi dipusatkan pada badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan legislatif
tidak terletak pada pemerintahan daerah. Pemerintah pusat mempunyai
wewenang untuk menyerahkan sebagaian kekuasaannya kepada daerah
berdasarkan hak otonomi, tetapi pada tahap terakhir tetap pada pemerintah pusat.
Jadi, kedaulatannya baik ke luar maupun kedalamsepenuhnya terletak pada
pemerintah pusat.21 Dalam suatu negara kesatuan, pemerintah nasional biasanya memang melimpahkan banyak tugas kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten,
atau satuan pemerintahan lokal atau regional. Namun, otoritas tersebut
dilimpahkan oleh undang-undang yang disusun oleh DPR. Pada hakikatnya
18 Abdul Halim dalam Seminar Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permasalahannya (Transparasi dan Akuntabilitas) di FakultasHukumUniversitas Gadjah Mada, pada tanggal 21 Mei 2015
19 Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, PKHKD UNDOED dengan UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 35-36
20 Ibid, hlm. 36
semua urusan pemerintahan berada pada pemerintah pusat tetapi urusan
pemerintahan tersebut dapat diserahkan atau didelegasikan kepada satuan
pemerintah yang lebih rendah melalui kuasa undang-undang.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah berpedoman pada
beberapa asas, yaitu:22
a) Asas keahlian, asas keahlian dilihat pada susunan Pemerintahan Pusat
yang artinya bahwa semua soal diolah oleh ahli-ahli antara lain dalam
susunan kementerian-kementerian yang memegang pimpinan pada
kementerian-kementerian itu seharusnya ahli-ahli urusan yang menjadi
kompetensinya
b) Asas kedaerahan, dengan bertambah banyaknua
kepentingan-kepentingan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah pusat karena
bertambah majunya masyarakat, pemerintah tidak dapat mengurus semua
kepentingan-kepentingan itu dengan baik tanpa berpegang pada asas
kedaerahan dalam melakukan pemerintahan
Berdasarkan asas keahlian maka setiap urusan pemerintahan harus secara
benar dan selektif diserahkan kepada mereka yang mempunyai keahlian atau
profesionalisme di bidangnya. Adapun asas kedaerahan memberikan peluang
kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan
tertentu.
Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak
diperbincangkan, karena masalah tersebut dalam praktiknya sering menimbulkan
upaya tarik menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan
pemerintahan. Terlebih dalam negara kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk
selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas sekali.23 Hubungan antara pusat dan daerah terjadi sebagai akibat adanya pemencaran
penyelenggaraan negara dan pemerintahan atau pemencaran kekuasaan
22 Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah dalam M.Fauzan, Op.cit, hlm. 38
(spreading van macht) ke dalam satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil
yang dalam praktiknya dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk seprti
dekonsentrasi tertitorial, satuan otonomi tertitorial, atau federal. Bagir Manan
menyatakan bahwa dalam hubungan pusat dan daerah menurut dasar
dekonsentrasi teritorial,buknalah merupakan hubungan antara dua subjek hukum
yang masing-masing mandiri. Satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak
mempunyai wewenang mandiri. Satuan teritorial dekonsentrasi merupakan satu
kesatuan wewenang dengan departemen atau kementerian yang bersangkutan dan
sifat wewenang satuan pemerintahann teritorial dekonsentrasi adalah delegasi
atau mandat, tidak ada wewenang berdasarkan atribusi.24
Sedangkan dalam hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi
teritorial, satuan otonomi teritorial merupakan satu satuan mandiri dalam
lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai
subyek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan yang menjadi
urusan rumah tangganya. Dalam otonomi teritorial, pada dasarnya seluruh fungsi
kenegaraan dan pemerintahan adadalam lingkungan pemerintah pusat yang
kemudian diprncarkan kepada satuan-satuan otonomi dan hubungan pusat dan
daerah di bidang otonomi bersifat administrasi.25
Berdasarkan uraian tersebut di atas, diketahui bahwa prinsip hubungan
antara pusat dan daerah menurut konsep dekonsentrasi teritorial dengan otonomi
teritorial memiliki persamaan yakni keduanya sama-sama sekedar
menyelenggarakan pemerintahan di bidang administrasi belaka, bukan bersifat
kenegaraan.26
Dalam hal pemencaran fungsi kenegaraan dan pemerintahan kepada satuan
pemerintahan otonomi menurut Bagir Manan dapat dilakukan dengan berbbagai
cara yakni: (1) Undang-undang menetapkan secara tegas berbagai fungsi
pemerintahan sebagai urusan rumah tangga daerah; (2) Pemerintah Pusat dari
24 Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH Fakultas Hukum UII,Yogyakarta,hlm. 32
25 Ibid.
waktu ke waktu menyerahkan berbagai urusan baru kepada satuan otonomi; (3)
Pemerintah Pusat mengakui uruan-urusan pemerintahan tertentu yang diciptakan
atau yang kemudian diatur dan diurus satuan otonomu baik karena tidak diatur
dan diurus ataupun atas dasar semacam concurrent power; dan (4) Membiarkan
suatu urusan yang secara tradisonal atau sejak semula dikenal sebagai fungsi
pemerintahan yang diatur dan diurus satuan otonomi.27 Oleh karena itu, secara umum hubngan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah adalah
terkait dengan (1) hubungan kewenangan; (2) hubungan pengawasan; (3)
hubungan keuangan; (4) hubungan Pusat dan Daerah dalam organisasi
pemerintahan daerah.
1.1. Hubungan Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata wewenang yang memiliki pengertian hak
dan kewajiban. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola
sendiri (selfbesturen) sedangkan kewajiban mempunyai dua pengertian yakni
horoizontal yang berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan
sebagaimana mestinya dan secara vertikal yang berarti kekuasaan untuk
menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah negara
secara keseluruhan.28 Dalam negara kesatuan, pemilik kewenangan adalah pemerintah pusat yang kemudian didistribusikan kepada satuan-satuan
pemerintahan di bawahnya. Oleh karena itu, posisi pemerintah daerah tidak
kuat jika dihadapkan kepada pemerintah pusat, daerah lebih mudah untuk
diarahkan sesuai dengan keinginan pemerintah pusat. Wolhof menyatakan
bahwa karena seluuh kekuasaan beradad di pusat maka peraturan-peraturan
pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan
daerah otonom,termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya
27 Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah Seminar nasional”Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan Pesisir dalam Rangka Penataan Ruang,UNPAD, Bandung,13 Mei 2000 dalam Muhammad Fauzan, Op.cit, hlm.79
sendiri. Daerah otonom juga turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral
(medebewind), Pemerintah pusat tetap mengendalikan kekuasaan
pengawasan terhadap daerah-daerah otonom tersebut.29 Masalah hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah seperti daerah provinsi,
kabupaten/kota dalam rangka otonomi sebenarnya membicarakan
mengenaiisi rumah tangga daerah yang dalam perspektif hukum
pemerintahan daerah disbut dengan urusan rumah tangga daerah
(huishounding). Cara menentukan urusan rumah tangga daerah karena
dengan hal tersebut mampu menunjukkan adanya kemandirian dan
keleluasaan daerah mengatur dan mengurus kepentingan daerahnya.
Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dibagi menjadi:
(1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
(5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Dalam rangka menciptakan distribusi kewenangan urusan pemerintahan
yang bersifat concurrent secara proporsional antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah dipergunakan bebrapa kriteria meliputi eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan kseserasian hubungan
pengelolaan urusan pemerintahan antara tingkatan satuan pemerintahan.
Sedangkan berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
kewenangan desa meliputi beberapa hal, diantaranya adalah:30 a. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul;
b. Kewenangan lokal berskala desa;
c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;dan
d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perbedaan dari kewenangan-kewenangan di atas adalah, apabila
kewenangan yang berkaitan dengan hak asal-usul dan kewenangan yang
berskala desa diatur serta diurus sendiri oleh desa. Diatur dalam hal ini dapat
dipahami bahwa Desa mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengaturan sendiri terkait dengan urusan atas kewenangan yang berkaitan
dengan hal tersebut. Sedangkan untuk kewenangan lain yang ditugaskan dan
pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah Daerah Provinsi, atau
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Desa sebatas mengurus pelaksanaan
tugas, tidak ikut serta mengatur. Penugasan dari satuan pemerintahan di atas
Desa meliputi penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan
pembangunan desa, pembiayaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa. Penugasan-penugasan tersebut sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya menggunakan prinsip money follow function yang
mana setiaptugas yang didelegasikan disertai dengan pembiayanaan guna
terlaksananya tujuan-tujuannya.
1.2. Hubungan Pengawasan
Pengawasan adalah usaha sadar yang dilakukan dalam kerangka
menjamin terselenggaranya program-programyang telah ditentukan dengan
pengawasan pula usaha perbaikan atas kekuransempurnaan program dapat
dilakukan.ditinjau dari hubungan antara pusat dan daerah, pengawasan
merupakan “pengikat” kesatuan agar bandul kebebasab berotonomi tidak
bergerak begitu jauh yang mampu mengancam integritas bangsa.
Sebailknya,apabila”pengikat” tersebut ditarik begitu kuat, napas
desentralisasiakan terkurangi atau bahkan terputus. Oleh karena itu,
pengawasan mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai usaha untuk
menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintahann
oleh daerah otonom dan pemerintahan pusat dan untuk menjamin kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.31 Kemandirian suatu daerah dalam negara kesatuan sangat dipengaruhi
oleh sistem pengawasan yang dianut sehingga sistem pengawasan akan
menentukan kemandirian satuan otonomi daerah. Hal yang perlu diperhatikan
adalah dalam suatu sistem otonomi di negara kesatuan, pengawasan tetap
merupakan satu aspek yang harus ada. Berarti bahwa, tidak diperkenankan
adanya sistem otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan.32 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 juga menyebutkan bahwa
“Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah”.
Tidak terlepas juga dengan apa yang ada di Desa, Pemerintah,
Pemerintah Daerah provinsi, dan pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan dan penagwasan terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Pengawasan yang dilakukan terhadap pemerintah Desa
dapat didelegasikan kepada perangkat daerah. Hal ini disebabkan oleh jumlah
desa di Indonesia yang tidak sedikit dan tidak memungkinkan bagi
pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan tanpa dibantu atau tanpa
memerlukan bantuan dari pemerintah daerah.
1.3. Hubungan Keuangan
Persoalan yang sering muncul terkait dengan hubungan keuangan antara
pusat dan daerah adalah terbatasnya jumah dana yang dimiliki oleh oleh
daerah dan di sisi lain pemerintah pusat memiliki dana yang berlimpah.
Dengan demikian, substansi substansi dari hubungan keuangan tersebut tidak
lain adalah perimbangan keuangan yakni memperbesar atau memperbanyak
pendapatan asli daerah sehingga mempunyai kemampuan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan.
Terdapat tiga skema dalam rangka hubungan keuangan antara pusat dan
daerah. Pertama, Dana Perimbangan,yakni penerianaan negara yang dibagi
antara pusat dan daerah. Sesuai dengan pengelompokannya, dana
perimbangan bukan Pendapatan Asli Daerah, melainkan penerimaan negara.
Jadi merupakan “sumber pendapatan asli pusat” yang dibagi dengan daerah.
Kedua, disebut dengan dana alokasi umum yang sekurang-kurangnya daerah
menerima 25% dari seluruh penerimaan APBN dan setiap provinidan
kabupaten/kota menerima masing-masing 10% dan 90% berasal dari dana
alokasi umum, daerah bebas menentukan peruntukan sesuai dengan rencana
program daerah. Ketiga, disebut Dana Alokasi Khusus yaitu dana yang
ditetapkan dalam APBN untuk daerah tertentu dan untuk kebutuhan khusus
atu dapat dikatakan sebagai subsidi khusus.33
Terkait dengan keuangan desa, Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa keuangan desa adalah semua
hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu
berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban Desa. Hak dan kewajiban ini yang akan menimbulkan adanya
pendapatan, belanja, pembiayaan dan pengelolaan Keuangan Desa.
1.4. Hubungan Dalam Susunan Organisasi Pemerintahan
Susunan organisasi pemerintahan daerah mengandung dua segi yaitu
susunan luar (external structur) dan susunan dalam (internal structure).
Susunan luar mentangkut badan-badan pemerintahan tingkat daerah seperti
provinsi dan kabupaten/kota sedangkan susunan dalam mengenai alat-alat
kelengkapan pemerintahan daerah seperti DPRD dan kepala daerah.34 UUD 1945 sebelum diamandemen paling tidak memberikan tiga petunjuk berkaitan
dengan pembentukan susunan organisasi pemerintahan luar (external
structure) yaitu: Petunjuk Pertama, Indonesia terbagi atas daerah besar dan
daerah kecil. Hal ini berati bahwa tidak akan terdapat hanya satu ssusunan
pemerintahan tingkat daerah. Petunjuk Kedua, mengenai hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Berdasarkan ketentuan ini pembentuk undang-undang tidak boleh
mengabaikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam susunan pemerintahan asli,
seperti desa dan swapraja. Desa mempunyai lingkungan wilayah yang lebih
kecil dari Swapraja. Petunjuk Ketiga, yakni petunjuk lain di luar UUD 1945
yang dapat dipergunakan adalah susunan pemerintahan tingkat daerah yang
ada atau pernah ada sebelum proklamasi, yakni pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang.35
2. Pengelolaan Keuangan Negara
Berbicara mengenai pengelolaan keuangan desa, maka harus dimulai
dengan pemahaman terlebih dahulu tentang konsep keuangan negara dengan
segala aspeknya. Secara normatif, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengertian keuangan negara adalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan Negara
sebagaimana dimaksud, meliputi :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
34 Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 191
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Pengertian dan ruang lingkup keuangan negara dapat ditinjau dari
pendekatan lain, di mana pendekatan yang digunakan dalam merumuskan
Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan, sebagai
berikut:36
a) Dari sisi obyek:
Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan
dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
b) Dari sisi subyek
Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut
di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang
ada kaitannya dengan keuangan negara.
c) Dari sisi proses
Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas
mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai
dengan pertanggunggjawaban.
d) Dari sisi tujuan
Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara . Bidang pengelolaan
Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam
sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan
sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Definisi keuangan negara yang dianut dalam UU Keuangan Negara
menggunakan pendekatan luas, dengan tujuan:37
a) Terdapat perumusan definisi keuangan negara secara cermat dan teliti
untuk mencegah terjadinya multi interpretasi dalam segi pelaksanaan
anggaran
b)Agar tidak terjadi kerugian negaea akibat kelemahan dalam
perumusan Undang-Undang
c) Memperjelas proses penegakan hukum apabila terjadi mal
administrasi dalam pengelolaan keuangan negara.
Pengelolaan keuangan negara didasarkan atas legal framework di pusat
dan daerah. Landasan hukum pengelolaan keuangan negara di pusat,
meliputi:38
1. UUD Negara RI 1945
37.Ibid.
2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
4. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
6. Propernas
7. UU APBN
8. PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah
9. PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/ Lembaga
10. Perpres Pelaksanaan APBN
11. Perpres Rencana Pembangunan Tahunan.
UU Keuangan dan Perbendaharaan Negara merupakan cara melakukan
transformasi pengaturan dalam menajemen keuangan negara yang sebelumtahun
2003, keuangan negara dilegitimasi berdasarkan Indonesische Comptabilitiet Wet
(ICW) yang merupakan produk kolonial Belanda. Dalam UU Keuangan Negara
tersebut mengakomodir prinsip-prinsip manajemen keuangan diantaranya
adalah:39
a) Best pratices pengelolaan keuangan negara;
b) Pemisahan segi keuangan negara dengan perbendaharaan negara guna
memperjelas pengelolaan dana pertanggungjawaban keuangan negara;
c) Anggaran berbasis prestasi kerja dengan kriteria pengendalian dan
evaluasi kinerja;
d) Hubungan antara pemerintah pusat dan bank sentral secara jelas;
e) Transparasi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara;
f) Saling uji (check and balances) dalam pelaksanaan anggaran;
g) Penataan alur manajemen keuangan negara untuk menekan kebocoran
anggaran;
h) Adanya komite standar akuntasi pemerintahan sehingga pengelolaan
keuangan negara didasarkan atas standar akuntansi pemerintahan secara
internasional.
Terdapat transformasi manajemen keuangan negara yang melalui konsep
new financial management reform yang menggeser fungsi financial control of
input menjadi accountability, management of ongoing activities dan total of
economic policy. Implikasinya antara lain berupa perubahan sistem
penganggaran berdasarkan line-item budgetiing menjadi performance based on
budgeting. Pembaharuan sistem dan konsep tersebut disebabkan karena dengan
menggunakan anggaran berbasis keinerja akan dapat dilakukan:40
a) Pengaitan antara anggaran dan outcomes program/kegiatan pemerintah
b) Pengawasan terhadap realisasi anggaran tidak hanya ditujukan untuk segi
pengendalian keuangan saja, tetapi digunakan untuk mengukur efisiensi
dan efektivitas kebijakan
c) Program/kegiatan pemerintahan menjadi lebih measurable
d) Akuntabilitas kinerja kelembagaan pemerintahan dapat mendukung
terwujudnya pemerintahan partisipatif dan akuntabel
e) Realisasi anggaran guna melakukan pendanaan terhadap
program/kegiatan pemerintahan sungguh-sungguh didasarkan atas
manajemen strategik
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan keuangan negara
tersebut di atas, APBN sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan
keuangan negara dibuat berdasarkan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka
ekonomi makro yang dibahas antara pemerintah dan DPR. Penyusunan APBN
dilaksanakan berdasarkan analisis kebutuhan penyelenggaraan negara dan
kemampuan negara dalam menghimpun pendapatan negara. Hal tersebut
memperlihatkan dianutnya model anggaran berbasis kinerja yang disesuaikan
dengan kemampuan negara dalam melakukan pendanaan.
3. Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah
Sehubungan dengan pengelolaan keuangan di daerah, Presiden menyerahkan
kekuasaan pengelolaan daerah kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala
pemerintahan daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah diantaranya adalah41 (1) dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola
APBD dan (2) dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku
pejabat pengguna anggaran barang/daerah. Sedangkan unsur-unsur utama dalam
pengelolaan keuangan daerah dapat digolongkan ke dalam 2 kelompok yakni
pertama adalah unsur berkala dan unusr hukum dan yang kedua dalah unsur-unsur
luar dan dalam.42
a) Unsur Berkala dan Unsur Hukum
Unsur berkala mencakup unsur-unsur yang menjadi bagian dari
kegiatan-kegiatan berkala dalam setahun yakni menyusun program
anggaran, pengeluaran dan penerimaan anggaran, urusan uang keluar
dan uang masuk, menctata dan melaporkan transaksi keuangan.
Unsurhukum mencakup unsur-unsur pengaturan dan pemantuan
kegiatan berkala yakni undang-undang dan pertauran keuangan,
transaksi dan pemeriksaan keuangan dari dalam.
b) Unsur-unsur Luar dan Dalam
Unsur luar meliputi pengawasan yang dikenakan terhadap pemerintah
daerah oleh pejabat-pejabat pengawas yang lebih tinggi berdasarkan
huku, peraturan dan pedoman, ratifikasi mengenai anggaran dan
peraturan keuangan, laporan kebutuhan dan pemeriksaan keuangan
dari luar. Adapaun unsur dalam adalah unsur pengawasan dan
pelaporan yang diadakan dan dilakukan oleh pemerintah daerah bagi
pedoman para pejabat keuangan pemerintah di daerah. Unsur-unsur
tersebut yang terpenting adalah prosedur berkala beserta
peraturan-peraturan keuangan yang dirumuskan sendiri oleh pemeriksa keuangan
dari dalam.
Pemerintahan yang didesentralisasi juga mengharuskan adanya legal
framework keuangan daerah yang menjabarkan kewenangan-kewenangan
pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Hal itu disebabkan
terdapat korelasi yang erat antara keuangan negara dan keuangan daerah. Pasal
283 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah sebagai akibat dari penyerahan urusan pemerintahan.
Selanjutnya, melalui Pasal 280 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah
menegaskan bahwa kewajiban penyelenggara pemerintahan daerah dalam
pengelolaan keuangan daerah dalam halpusat melakukan pendanaan terhadap
sebagian urusan pemerintaan yang diserahkan dan/atau ditugaskan kepada
pemerintahan daerah meliputi:
a) Mengelola dana secara efektif,efisien, transparandan ekuntabel
b) Menyinkronkan pencapaian sasaran program daerah dalam APBD
dengan program pemerintah pusat dan
c) Melaporkan realisasi pendanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan
sebagai pelaksanaan dari tugas pembantuan
Dengan demikian, pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturann pemerintahan
daerah yaitu dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah. Dengan
Pemerintahan Daerah (2) UU Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah dan (3) Perda APBD.43
B. Pengertian Desa
1. Pengertian Desa Berdasarkan Hukum Adat
Negara Republik Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan
kecil yang terletak di atara dua benua dan dua samudra. Di atas tebaran
beribu-ribu pulau tersebut sejak berabad-abad lamanya hidup dan
berkehidupan sejumlah besar kelompok-kelompok masyarakat dengan
beragam bahasa daerahm adat dan kebiasaan, seni budaya, corak kesatuan
masyarakat hukum berdasarkan keturunan dan persamaan tempat tinggal,
agama yang dianut, domisili berdasarkan topografis,dan lain sebagainya.
Kesatuan masyarakat hukum adat yang sedemikan banyaknya tersebut
secara garis besar dibagimenjadi tiga tipe, yaitu:44
1.) Tipe kesatuan masyarakat hukum berdasarkan kepada teritorial atau
wilayah;
2.) Tipe kesatuan masayarakat hukum berdasarkan kesamaan
keturunan sebagai dasar utama untuk dapat bertempat tinggal
bersama dalam suatu wilayah tertentu;
3.) Tipe kesatuan masyarakat hukum berdasarkan azas campuran, yakni
teritorial dan keturuan.
Istilah desa45dimaksudkan sebagai penganti istilah Inlandsche Gementee (IG) dalam perundang-undangan hindia belanda terdahulu yang tidak hanya
meliputi desa-desa di Jawa melainkan juga mencakup satuan-satuan seperti
itu di luar jawa yang nama aslinya disebut kampung, negeri, marga, dll.46
43 M. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm. 36
44 Unang Sunardjo, 1984, Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Penerbit Tarsito, Bandung, hlm. 9-10 45Desa dengan kampung, kapunduhan, kamandoran, ampian, cantilan, dukuh, banjar, adalah sebutan
nama untuk menyebut desa di wilayah Jawa Barat,Jawa Timur,Jawa Tengah serta Bali yang kemudian diterima baik dan lazim digunakan di Indonesia
Meskipun bermacam-macam nama dan sebutan desa serta asal mula
terbentuknya satuan-satuan organisasi kewilayahan kesatuan masyarakat
hukum tersebut, namun azasnya atau landasan hukumnya hampir sama untuk
seluruh Indonesia yaitu berlandasakan kepada adat, kebiasaan dan hukum
adat. berdasarkan hal tersebut, secara umum pengertian dan batsan tentang
konsepsidesa adalah sebagai berikut:47
Desa adalah suatu kesatuan hukum masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam sutau wilayah tertentu dengan batas-batas: memiliki ikatan batin yang sangat kuat, baik karena keturunan maupun sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan, memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama, memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berjak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
Pengertian di atas, mengenai perumusan dan batasan tentang pengertian
desa juga tidak luput dari kelemahan dan kekurangan.Namun yang dapat
dipahami bahwa desa-desa asli yang telah ada sejak dahulu, memiliki hak
dan wewenang untuk mengatur dan mengurus atau menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri. Hak untuk menyelenggarakan urusan rumah
tangganya sendiri tersebut yang lazim disebut dengan hak otonomi. Dalam
hal desa, desa yang memiliki hak tersebut disebut dengan desa otonom.
2. Pengertian Desa Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan a. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Ketika Belanda masuk ke nusantara, sesungguhnya telah ada
lembaga lembaga pengaturan masyarakat dan pemerintah seperti
kesatuan perkampungan (dorpen bonden), kerajaaan-kerajaan
(vonstenrijken) dan malah ada republik-republik.48Republik dalam hal ini yang dimaksudkan adalah suatu pemerintahan demokratis yang bersifat
asli dan otonom berdasarkan adat istiadat dan sistem nilai budaya
masyarakat sehingga konsep otonomi desa bukanlah suatu konsep yang
47Unang Sunadrdjo, Op.Cit, hlm. 11
diadopsi dari luar. Kenyataan tersebut diperkuat dengan kutipan dalam
buku Staatrecht Overzee yang ditulis oleh Van Vollenhoven yang
berbunyi :
Ketika sebuah kapal berbendera tiga masuk ke wilayah Indonesiapada tahun 1596, daerah itu tidaklah merupakan tanah kosong dan tandus. Daerah tersebut penuh padat dengan lembaga-lembaga pengaturan masayarakat dan pemerintah yang dikuasai oleh atau berkekuasaan atas suku-suku bangsa, kesatuan perkampungan, republik-republik dan keajaan-kerajaan. Hanya sifat kesatuan sama sekali tidak ada meskipun negara majapahit dahulu tumbuh dengan kokohnya dan memegang pimpinan yang kuat yang terdapat adalah justru hukum tatanegara Asia Timur yang jalin berjalin dan tetap bersifat asli walaupun penduduknyabanyak terpengaruh oleh kebuadayaan Hindu dan Islam.49
Ketika pemerintah Belanda melangsungkan hukum pemerintahan
desa pada masa kolonial, pemerintahan desa diberikan keleluasaan untuk
mengatur berdasarkan hukum adatnya masing-masing desa sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 128 ayat (3) Indischee Staatsregeling (IS)
tanggal 2 September 1854, Stbld Tahun 1854 No.2 menegaskan:50“aan de Inlandsche gemeenten worden de regelingen het bestuur van hare
huishoding gelaten, met inachtneming van de veror deningen uitgegan
van den Gouverneur General,...”
Kaidah yang terkandung dalam IS ini menunjukkan bahwa ada
perintah norma agar desa sebagai kesatuan masyarakat yang bertempat
tingal dalam suatu wilayah tertentu harus dibiarkan (gelanten) mengatur
rumah tangganya sendiri (huishouding gelaten) berdasarkan hukum adat.
Guna kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem
kolonialisme makapejabat pemerintah Belanda memberikan perumusan
tentang sebutan desa sebagai berikut:
49 C. Van Vollenhoven, 1934, Staatrecht Overzee, Leiden-Amsterdam,H.E Stenfert Koreose Uitgevers-Matshcappij N.V,hlm1 dalam Ateng Syafrudin, 1976, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Tarsito, Bandung, ,hlm. 6
Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentuyang memilikihak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada hukum adat dan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten atau Swapraja.51
Ketentuan yang dimaksudkan dalam IS tersebut tidak lain dan tidak
bukan mengacu kepada desa-desa , namun batasan mengenai pengertian
desa tidak secara tegas dan terperinci diatur di dalam (Inlandse Gemeente
Ordinantie voor Buitgewesten (IGOB)52 dan Indlandse Gemeente Ordonantie (IGO)53
b. Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang
Pemerintah militer Jepang tidak banyak mengubah peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh Belanda sepanjang tidak
merugikan startegi Perang Asia Timur Raya yang harus dimenangkan
oleh Jepang. Selama 3,5 tahun Jepang menduduki Indonesia, IGO dan
IGOB secara formal terus berlaku, hanya saja sebutan-sebutan untuk
kepala desa diseragamkan yaitu dengan sebutan Kuco.54 Dengan demikian sekaligus mengubah sebutan desa menjadi “Ku”
Desa- desa di masa penjajahan Jepang dinilai sebagai bagian yang
cukup vital bagi strategi memenangkan perang asia timur raya. Oleh
karenanya desa dijadikan sebagai basis logistic perang yang
berkewajiban untuk menyediakan logistik berupa pangan dan tenaga
semasa perang. Pengertian Desa atau Ku selama pemerintahan Jepang
adalah
Suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda serta pemerintah militer Jepang yang bertempat tinggal di suatu wilayah tertentu,
51 Unang Sunardjo, Op.Cit, hlm. 13
meiliki hak menyelenggarakkan urusan rumah tangganya sendir, merupakan satuan ketatanegaraan terkecildi daerah Syu yang kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco yang merupakan bagian dari sistem pertahanan militer.55
c. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
Pada tahun 1979 ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang pemerintahandesa sebagai pengganti IGO dan IGOB. Secara
substansial, UU ini sepenuhnya mencerminkan stelsel dan pendekatan
IGO dan IGOB yang memisahkan pemerintahan desa dari pemerintahan
daerah. Semestinya pemerintahan desa menjadi bagian integral
pemerintahan daerah. Menurut Bagir Manan pemisahan ini dipengarruhi
oleh konsepsi mengenai “mempertahankan keaslian desa dan hal tersebut
merupakan sutau pendekatan yang keliru.56
Pengertian Desa dalamUndang-Undang ini tertulis dalam pasal 1
huruf a yang berbunyi
Suatu wilayah yang ditempatioleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya Kesatuan masyarakat Hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Permasalahan yang ditimblukan dengan peraturan ini adalah adanya
penyeragaman nama, bentuk, susunan,dan kedudukan pemerintahan desa.
Mengutip dari pendapat HAW Widjaya yang mengatakan bahwa: 57
Undang-Undang bertujuan untuk menyeragamkan nama,bentuk, susunan,dan kedudukan Pemerintahan Desa. Undang-Undang ini mengatur tentang desa dari segi pemerintahannya,berbeda dengan pemerintahan Marga di samping mengatur pemerintahanjuuga mengatur adat istiadat.
55Ibid
56 Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hlm 158
Sejatinya, dalam merumuskan suatu arah kebijakan hukum,
pemerintahan desa memerlukan pengakuan dan penghormatan terhadap
asal-usul yang bersifat istimewa pada eksistensi desa yakni dengan
membebasan untuk menggunakan nama seperti dusun, marga, gampong,,
nagari dan lain sebagainya yang bentuk dan susunan maupun mekanisme
pemerintahan didasarkan pada adat istiadat masing-masing .
d. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Salah satu politik hukum Undang-Undang Nomor 22Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah adalah kembali memasukkan pengaturan
mengenai pemerintahan desa sebagai kesatuan yang integral dalam
undang-undang pemerintahan daerah. Pasal1 butir o Undang-Undang
Nomor 22Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berbunyi :
Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang daiakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.58
Undang-undang ini memberikan keleluasaan kepada pemerintah
desa untuk menggunakan nama atau sebutan desa sesuai dengan hak
asal-usulnya, tidak lagi dengan menyeragamkannama, bentuk, susunan, dan
kedudukan desa seperti peraturan perundangan sebelumnya.
e. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada dasarnya undang-undang ini tidak banyak berbeda dengan
undang-undang sebelumnya yakni UU Nomor 22 Tahun 1999 dalam
perspektif pengaturan mengenai pemerintahan desa. Undang-Undang ini
menginternalisasi pemerintahan desa sebagai bagian yang integral dari
pemerintahand aerah dalam satu undang-undang.hal yang menarik dalam
undang-undang ini adalah pensyaratan bagi pemangku jabatan sekretaris
desa diharuskan daiangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil.Persyaratan ini
nyarisbelum pernah ada dalam peraturan-peraturan terkait pemerintahan
desa sebelumnya.
Adapun pengertian desa menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah :
Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desaadalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untukmengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.59
f. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa menyatakan bahwa melalui peruahan UUD NRI Tahun 1945,
pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui
ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi
Negara mengakui dan menghormati keatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesiayang diatur dalam undang-undang
Melalui konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community
dengan local self goverment diharapakan kesatuan masyarakat hukum
adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa,ditata
sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat.60 Desa dan desa adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedanaanya
hanya terletak pada pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut
pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat,
sidang perdamaian adat pemeliharaan ketentraman dan ketertiban bagi
masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan
berdasarkan susunan asli.
59 Pasal 1 angka 12 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor 125
Undang-undang ini menjelasakan secara lebih detail batasan
pengertian desa. Dimaksud desa dalam undang-undang ini adalah:
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,kepentingan masayarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,hak asal-usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 61
Berdasarkan pengertian desa di atas, dapat dipahami bahwa desa
yang diatur dalamUndang-Undang ini adalah desa dan desa adat. Desa
atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang
berlaku umum untuk seluruh Indonesia sedangkan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari
desa pada umumnya terutama karena kuatnya pengaruh adat pada sistem
pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal,dan kehidupan sosial
budaya desa.
C. Kajian Mengenai Desa Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 1. Unsur Desa
Desa dan desa adat sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 6 Tahun
2014 memiliki unsur-unsur sebagai berikut :62 a.) Wilayah desa
Yaitu satu satuan wilayah yang tertentu batas-batasnya secara fisik
terdiri atas unsur daratan, angkasa, dan bagi desa pantai, desa pulau
atau desa kepualuan suatu perairan sebagai lokasi pemukiman dan
sumber nafkah yang memenuhi persyaratan tertentu
b.) Penduduk atau masyarakat desa
61 Pasal 1 angka 1 UU Nomor6 tahun 2014 tentang Desa, lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2014 Nomor 7
Yaitu setiap orang yang terdaftar sebagai penduduk atau bertempat
kedudukan di dalam wilayah desa yang bersangkutan, tidak
mempersoalkan dimana ia mencari nafkahnya
c.) Pemerintah desa
Yakni satuan organisasi terendah pemerintahan republik Indonesia
yang berdasarkan asas dekonsentrasi ditempatkan di bawah dan
bertanggungjawab langsung kepada pemerintah wilayah kecamatan
yang bersangkutan
2. Otonomi Desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Secara konstitusional , bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan.
Bunyi Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menayatakan bahwa
negara Indonesia adalah negara kesataun yang berbentuk republik
menegaskan bahwa para pedniri negara telah dengan sengaja memilih bentuk
negara kesatuan bagi Indonesia, bukan bentuk negara serikat dan juga bukan
negara konfederasi. Konsekuensi dari konsep atau gagasan hukum NKRI
bukan saja hanya desentralisasi kewenangan kepada daerah melainkan lebih
dari itu yaitu pengakuan ataupun perlidungan terhadap adanya otonomi desa
sebagai otonomi asli bangsa Indonesia. Dalam memahami konteks seperti
tersebut, pengakuan atas kenekaragaman desa merupakan dasar utama dalam
kerangka pemikiran otonomi daerah
Keterangan : 1 : otonomi desa 2 : otonomi daerah 3 :NKRI
3
2
Gambar 1.diagram konsep otonomi desa63
Melihat diagram di atas menunjukkan bahwa otonomi desa harus
menjadi inti utama dari konsep NKRI dengan catatan bahwa otonomidesa
bukan merupakan cabang dari otonomi daerah karena yangmenginspirasi
adanya otonomi daerah yang khas di NKRI adalah otonomi desa. Otonomi
desa harus menjadi pijakan dalam pembagian struktur ketatanegaraan
Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah yang kemudian bermuara pada
regulasi otonomi desa yang tetap berpedoman pada keaslian desa sebagai
kesatuan masyarakat hukum.
Unsur-unsur otonomi desa sebagaimana diungkapkan oleh Taliziduhu
bahwa unsur-unsur otonomi desa yang terpemting antara lain adalah:64 1.) Adat tertentu yang mengikat dan ditaati oleh masyarakat di desa yang
bersangkutan;
2.) Tanah, pusaka dan kekayaan desa;
3.) Sumber-sumber pendapatan desa;
4.) Urusan rumah tangga desa;
5.) Pemerintah desa yang dipilih oleh dan dari kalangan masyaraat desa
yang bersangkutan yang sebagai alat desa memegang fungsi
“mengurus”;
6.) Lembaga atau badan “perwakilan” atau musyawarah sang sepanjang penyelenggaraan urusan tumah tangga desa memegang fungsi
mengatur.
Sebelum adanya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, pada dasarnya
eksistensi Desa sudah diakui selain dari Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun
1945. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah
mengakui eksistensi desa dengan memberikan desa kewenangan dalam
urusan pemerintahan.terdapat empat tipe kewenangan desa yaitu :65
1.) Kewenangan originair (asli) sering disebut hak atau kewenangan
asal-usul yang melekat pada desa sebagai kesatuan masyrakat hukum
(self-governing community);
2.) Kewenangan devolutif yaitu kewenangan yang melekat pada desa
karena posisinya ditegaskan sebgai pemerintahan lokal (local-self
governing);
3.) Kewenangan distributif yaitu kewenangandesa dalam bidang
pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah kepada desa;
4.) Kewenangan negatif yaitu kewenangan desa menolak tugas
pembantuan dari pemerintah jika tidak disertai pendukungnya atau
jika tugas itu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat
3. Pengelolaan Keuangan Desa
Menurut pasal 71 UU Nomor 6 Tahun 2014 Keuangan Desa adalah
semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala
sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban inilah yang kemudian
menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan dan pengelolaan Keuangan
Desa. Lebih lanjut lagi, pendapatan desa bersumber dari:
a.) Pendapatan asli desa terdiri atas hasil usaha,hasil aset, swadaya dan
partisipasi,gotong royong dan lain-lain pendapatas asli desa;
b.) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c.) Bagian dari hasil pajak daerah retribusi daerah kabupaten/kota;
d.) Alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbnagan
yang diterima kabupaten/kota;
e.) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan danBelanja Daerah
Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota;
f.) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga;
g.) Lain-lain pendapatan desa yang sah.
Pengelolaan keuangan desa dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan
umum, fungsionalitas, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas,
akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.66 Mengenai pengelolaan keuangan desa, lebih lanjut lagi dijelasakan di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 bahwa pengelolaan keuangan desa meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban. Implementasi dari keuangan desa tercermin dari
APB Desa yangditerbitkan berdasarkan Peraturan Desa.
Berdasarkan PP Desa, dasar penyusunan APBDesa adalah Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) desa yang disusunberdasarkan penjabaran
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) desauntuk jangka waktu
1 tahun. Sementara RPJM Desa disusun dalam jangka waktu 6 (enam) tahun
melalui musyawarah. Rancangan APB Desa diajukan oleh Kepala Desa dan
dimusyawarahkan dengan Badan Permusyawarahan Desa (BPD)
sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Desa. Bupati/Walikota memiliki
kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap RAPB Desa yang
diajukan Kepala Desa sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa
sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat (4) UU Desa. Persetujuan Bupati/
Walikota terhadap RAPB Desa dalam rangka menilai ketepatan
informasi yang diberikan Gubernur/ Bupati/ Walikota terkait sumber
pendapatan desa yang bersumber dari APBN/ APBD sebagaimana Pasal
102 PP Tentang Desa.
4. Pembangunan Desa
Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa,
pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam
dan lingkungan secara berkelanjutan. Pembangunan Desa meliputi
tahapan-tahapan sebagai berikut :
a.) Perencanaan
Perencanaan pembangunan Desa disesuaikan dengan
kewenangannya dengan mengacu kepada perencanaan
pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan pembangunan Desa
diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa yang
mana pemerintah Desa wajib menyelenggarakan musyawarah
perencanaan pembangunan Desa yang berkaitan dengan penetapan
prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan Desa
yang didanai oleh APBDesa, swadaya masyarakat desa, dan/atau
berasal dari APBDKabupaten/Kota. Perencanaan pembangunan