• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM TENTANG BILYET GIRO SEBAGAI SURAT BERHARGA YANG DIJADIKAN JAMINAN BANK BILA NASABAH WANPRESTASI Baso Hermawan Sahlan Ilham Nurman Abstrak - TINJAUAN HUKUM TENTANG BILYET GIRO SEBAGAI SURAT BERHARGA YANG DIJADIKAN JAMINAN BANK BILA NASABAH W

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINJAUAN HUKUM TENTANG BILYET GIRO SEBAGAI SURAT BERHARGA YANG DIJADIKAN JAMINAN BANK BILA NASABAH WANPRESTASI Baso Hermawan Sahlan Ilham Nurman Abstrak - TINJAUAN HUKUM TENTANG BILYET GIRO SEBAGAI SURAT BERHARGA YANG DIJADIKAN JAMINAN BANK BILA NASABAH W"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

510 TINJAUAN HUKUM TENTANG BILYET GIRO SEBAGAI SURAT BERHARGA YANG DIJADIKAN JAMINAN BANK BILA NASABAH

WANPRESTASI

Baso Hermawan Sahlan Ilham Nurman

Abstrak

Penggunaan bilyet giro sebagai salah satu alat pembayaran giral sangat disukai masyarakat terutama kalangan dunia uaha, sebab pembayaran dalam hal ini dilakukan dengan cara booking transfer antar bank (perintah pemindah bukuan rekening) sehingga faktor keamanan amat terjaga.Rumusan masalah yang dibahas adalah: Pertama Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh bank yang mempunyai jaminan bilyet giro nasabah wanprestasi ?. Kedua Sejauh mana bilyet giro sebagai surat berharga dijadikan jaminan bank jika pihak nasabah wanprestasi ?

Tujuan Penulisan ini dilakukan oleh penulis agar dapat menyajikan data yang akurat sehingga dapat memberi manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan sebagai berikut : Pertama Untuk mengetahui dan mengungkapkan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh bank yang mempunyai jaminan bilyet giro bila nasabah wanprestasi. Adapun Pengumpulan data dalam studi kasus ini menggunakan kajian yuridis normatif. Kesimpulan yang dapat disajikan dalam penelitian ini adalah :Pertama Jika suatu surat berharga (bilyet giro) telah memenuhi syarat formal, maka bilyet giro dipakai sebagai agunan kredit bank melalui pengikatan jaminan secara gadai atau gadai cessie. Kedua Menurut upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak bank tersebut adalah dengan meminta untuk dilakukannya booking transfer atau pemindah bukuan rekening, dan rekening pihak penerbit kedalam rekeningnya yang tersimpan di bank

Kata Kunci : Bilyet Giro sebagai Surat Berharga

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tak dapat dipungkiri, semakin majunya dunia usaha, semakin menuntut permodalan yang besar pula untuk pembiayaan kegiatan usaha. Salah satu sumber permodalan adalah keberadaan Bank, akibatnya peranan

(2)

511 Hal ini diperlukan adanya

sarana-sarana penunjang yang dapat mendukung dilaksanakannya transaksi-transaksi dagang yang tanpa kendala itu, dan sebagai salah satu sarana pendukung tersebut adalah dipergunakannya uang giral sebagai salah satu alat pembayaran, selain uang kartal (uang tunai) dalam transaksi perdagangan. Dalam sejarah perdagangan dikenal tiga tahapan sistem perdagangan, dimana pada tahap pertama. Perdagangan dilaksanakan dengan sistem barter. Dalam sistem barter ini, perdagangan dilakukan dengan jalan tukar menukar dengan barang, jika seorang menghendaki suatu barang maka ia harus menukarnya dengan barang miliknya. Pada tahap yang pertama ini belum dikenal alat pembayaran dengan uang.

Demikian pula pada tahap kedua, transaksi perdagangan jual beli dilakukan dengan mempergunakan uang kartal (uang tunai) sebagai alat pembayarannya. Alat pembayaran dengan mempergunakan jenis uang ini dianggap lebih dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam lalu lintas perdagangan, hanya dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai

alat pembayaran harga pembelian, maka orang sudah dapat memiliki suatu barang sebagaimana yang diinginkannya, dengan demikian sistem ini yang merupakan pembeda dan pada sistem terdahulu.

Pada bagian tahap ketiga atau tahap terakhir ternyata keberadaan uang kartal sebagai alat pembayaran dirasa kurang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam lalu lintas perdagangan, dalam hal ini masyarakat merasakan adanya kendala atau resiko yang cukup besar dalam transaksi-transaksi dagangnya dengan mempergunakan uang kartal sebagai alat pembayarannya, terutama bila harus menempuh jarak yang cukup jauh.

(3)

512 Seperti gambaran di atas,

bahwa surat-surat berharga sebagai alat pembayarannya, maka transaksi-transaksi dagang dapat dilakukan Iebih elemen, jarak tidak lagi menjadi sesuatu penghalang untuk dapat dilakukannya suatu transaksi dagang. sebab orang tidak perlu lagi harus membawa uang dalam jumlah lembar yang cukup banyak untuk dapatnya melakukan pembayaran.

Apabila dengan hanya selembar surat berharga saja, pembayaran dalam jumlah nominal yang tinggi atau besar dapat dilakukan, selain itu resikopun dapat diperkecil sehingga faktor keamananpun juga cukup terjamin atau aman.

Surat cek, wesel dan surat aksep (promissory note) adalah merupakan surat berharga yang selalu dipergunakan masyarakat dalam laIu lintas perdagangan, ini dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum

Dagang (KUHD) sebagai

pengaturannya, bahkan dalam perkembangannya kemudian muncul lagi jenis surat berharga baru yang timbulnya dalam praktek perdagangan, salah satu diantaranya adalah bilyet giro.

Munculnya jenis surat berharga baru ini dalam hal ini bilyet giro, sebagai salah satu alat pembayaran giral, yang pada awalnya belum diatur dalam peraturan perundang-undangan ini hanya didasarkan pada praktek perdagangan (hukum kebiasaan) saja. Baru kemudian ada suatu ketentuan atau kebijakan yang mengaturnya.

Sebagaimana diketahui bahwa, bilyet giro merupakan salah satu jenis surat berharga, dimana diantara sekian banyak surat berharga yang ada dalam lalu lintas perdagangan masyarakat tentang apa yang dimaksud dengan surat berharga itu maka tidak ada satu pasalpun dalam peraturan perundang-undangan yang telah memberikan rumusan pengertian atau definisinya. OIeh karena itu, berkenaan dengan pengertian surat berharga akan diungkapkan beberapa pendapat para sarjana/pakar berikut ini.

Menurut Emmy Pangaribuan Simadjuntak, “suatu surat dapat disebut surat berharga apabila dalam surat tersebut tercantum nilai yang sama dengan perikatan dasarnya, dimana

tujuannya adalah untuk

(4)

513 surat-surat dapat dmgolongkan sebagai

surat berharga apabila surat itu merupakan alat untuk diperdagangkan dan merupakan alat bukti terhadap utang yang telah ada.1

Kedua pengertian tersebut di atas, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa surat berharga adalah surat yang bersifat seperti uang tunai, jadi dapat dipakai untuk

melakukan pembayaran,

diperdagangkan, dan dapat ditukar dengan uang tunai.2

Berdasar pada rumusan pengertian tersebut diatas, maka setiap surat berharga mempunyai unsur:

1. Nilai surat tagihan atas hutang itu sama dengan nilai periktan dasarnya.

2. Surat tagihan itu dapat dialihkan atau dipindahtangankan. (Emyl 1993:199).

Adapun fungsi utama dari surat berharga adalah sebagai berikut:

1. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang tunai).

1

Herusuprotomo, Hukum Perbankan

Indonesia, Grafiti Jakarta, 1995,hlm : 28 2

Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996, hlm : 98

2. Sebagai alat unluk rnernindahkan hak tagih (diperjualbelikan dengan mudah atau sederhana). 3. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).

Selain fungsi di atas, juga mempunyai tujuan dan penerbitan surat berharga yaitu sebagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang. Dengan demikian, pada prinsipnya bilyet giro merupakan surat bukti adanya hak tagih atau piutang. Sebagai suatu bentuk piutang, bilyet giro termasuk dalam kategori piutang jenis op naam (piutang atas nama), sebab pembayarannya hanya ditujukan kepada orang yang namanya disebut dalam surat bilyet giro itu tanpa diperbolehkan diendossemenkan kepada yang lain, jadi tidak atas pengganti.

(5)

514 order) kepada orang yang disebutkan

namanya dalam surat piutang yang bersangkutan atau kepada penggantinya. Sedangkan atas piutang aan toonder dapat dialihkan kepada pihak lain dengan penyerahan secara nyata atas surat piutangnya.

Pesatnya perkembangan penggunaan bilyet giro dewasa ini di Indonesia, menurut Imam P dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong antara lain:3

1. Bebas meterai, padahal secara umum untuk surat berharga jangka pendek (dengan masa peredaran kurang dari tiga bulan) dikenalkan bea meterai 2. Lebih aman, sebab tidak

dapat dibayar dengan uang tunai dan tidak dapat diendossemenkan

3. Mengenal dua penanggalan sehingga memberikan kelonggaran kepada pihak penerbit untuk menyediakan dananya;

4. Pihak penerbit Iebih mudah untuk melakukan kontrol

3

Wirjono Prooyodikoro, Hukum Dagang Indonesia, Pradnya Paramita, Bandung 1995, hlm : 57

sebab tidak dapat diendossemenkan kepada pihak lain sehingga akan memudahkan pihak penerbit itu untuk mengetahui apakah sudah dipindahtangankan atau belum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang uraian diatas, maka akan dirumuskan sebagai berikut:

1. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh bank yang mempunyai jaminan bilyet giro nasabah wanprestasi?

2. Sejauh mana bilyet giro sebagai surat berharga dijadikan jaminan bank jika pihak nasabah wanprestasi?

II. PEMBAHASAN

A. Upaya Hukum oleh Bank

Bilamana Nasabah

Wanprestasi

(6)

515 meminjam. Bila dilihat dari segi hukum

perjanjian, perjanjian tersebut termasuk dalam klasifikasi perjanjian cuma-cuma yaitu perjanjian yang hanya memberi manfaat atau keuntungan bagi salah satu pihaknya saja. Walaupun demikian harus diingat bahwa untuk perjanjian kredit bank (perbankan) tidaklah dapat dikatakan murni sebagai perjanjian cuma-cuma. Sebab dalam hal ini ada manfaat atau keuntungan yang diperoleh pihak bank yaitu berupa bunga kredit atau bunga pinjaman yang wajib dibayar oleh pihak nasabah setiap bulannya atau sampai akhir pcelunasan hutang.

Mencermati hal di atas, dapat disebutkan sebagai perjanjian timbak balik dimana kedua belah pihak sama-sama diuntungkan, dalam arti bagi pihak nasabah mendapatkan keuntungan dengan kucuran kredit, dilain pihak (kreditur atau pihak bank) berupa keuntungan yang tentunya dengan bunga.

Mengenai soal keabsahan dengan perjanjian kredit bank (perbankan), maka agar perjanjian kredit yang dibuat tersebut sah, haruslah dibuat dengan memenuhi syarat-syarat suatu perjanjian yaitu sepakat, cakap, suatu hal tertentu dari suatu sebab yang halal (Pasal 1320 KUHPerdata). Syarat ini adalah merupakan suatu ketentuan yang berlaku umum sifatnya termasuk dalam hal mengadakan perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian kredit.4

Sebagaimana telah diuraikan hukum perjanjian kesepakatan haruslah dapat dikatakan ada jika ada akseptasi dan suatu penawaran, artinya ada kecocokan atau kesepahaman kehendak antara kedua belah pihak, yang dalam hal ini pihak bank menawarkan pinjaman berupa uang yang tertentu jumlahnya beserta segala macam syarat yang diberlakukan dan harus dipenuhi oleh pihak nasabah, termasuk jangka waktu dan besarnya bunga yang nantinya harus dipenuhi pihak nasaba tersebut setelah mengetahui dan merasa cocok dengan penawaran yang

4

(7)

516 diberikan oleh pihak bank yang

kemudian pihak nasabah akan mengakseptasinya.

B. Upaya Hukum oleh Bank

Bilamana Nasabah Wanprestasi

Telah diketahui bahwa pada dasarnya perjanjian kredit merupakan suatu bentuk perjanjian pinjam meminjam. Bila dilihat dari segi hukum perjanjian, perjanjian tersebut termasuk dalam klasifikasi perjanjian cuma-cuma yaitu perjanjian yang hanya memberi manfaat atau keuntungan bagi salah satu pihaknya saja. Walaupun demikian harus diingat bahwa untuk perjanjian kredit bank (perbankan) tidaklah dapat dikatakan murni sebagai perjanjian cuma-cuma. Sebab dalam hal ini ada manfaat atau keuntungan yang diperoleh pihak bank yaitu berupa bunga kredit atau bunga pinjaman yang wajib dibayar oleh pihak nasabah setiap bulannya atau sampai akhir pcelunasan hutang.

Mencermati hal di atas, dapat disebutkan sebagai perjanjian timbak balik dimana kedua belah pihak sama-sama diuntungkan, dalam arti bagi pihak nasabah mendapatkan keuntungan dengan kucuran kredit,

dilain pihak (kreditur atau pihak bank) berupa keuntungan yang tentunya dengan bunga.

Mengenai soal keabsahan dengan perjanjian kredit bank (perbankan), maka agar perjanjian kredit yang dibuat tersebut sah, haruslah dibuat dengan memenuhi syarat-syarat suatu perjanjian yaitu sepakat, cakap, suatu hal tertentu dari suatu sebab yang halal (Pasal 1320 KUHPerdt). Syarat ini adalah merupakan suatu ketentuan yang berlaku umum sifatnya termasuk dalam hal mengadakan perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian kredit.

(8)

517 diberikan oleh pihak bank yang

kemudian pihak nasabah akan mengakseptasinya.

Berkaitan dengan kehendak antara keduanya dapat dilihat dari adanya tangan mereka dalam akta kreditnya. Berdasar hal itu, dapat dikatakan telah ada kesepakatan antara keduanya, tanpa ada persesuaian kehendak tidak mungkin ada kesepakatan. Walaupun demikian bila ditelaah tentang kesepakatan kredit tersebut, apa yang terjadi dalam kenyataan tidaklah seperti itu.

Terhadap proses terbentuknya kesepakatan antara pihak bank dan nasabah, harus diakui bahwa posisi atau kedudukan pihak nasabah sangatlah lemah jika dibandingkan dengan pihak hank. Mengetahui kedudukannya pihak bank Iebih kuat dari pada pihak nasabah, maka pihak bank berusaha menekan pihak nasabah melalui svarat-syarat atau klausula yang diberlakukan dalam perjanjian kredit.

Selanjutnya, pihak nasabah menginginkan kucuran kredit itu, maka tidak ada pilihan lain bagi dirinya kecuali harus menyetujui syarat-syarat yang ditawarkan oleh pihak bank,

bahkan didalam praktek pihak bank selalu menawarkan konsep perjanjian haku dirnana pihak nasahah tidak mungkin dapat menawar-nawar lagi syarat-syarat yang ada dalam perjanjian, meskipun syarat-syarat itu dirasa amat memberatkan dirinya, hanya semata-mata didesak oleh keterpaksaan yaitu, kebutuhan akan adanya kucuran kredit itu, maka pihak nasabah akhirnya bersedia menyetujui penawaran tersebut meskipun sebenarnya ia keberatan dengan syarat-syaratnya.

(9)

518 Kemudian yang menyangkut

syarat kedus pada Pasal 1320 KUHPerdt adalah harus cakap, maka para pihak dalam perjanjian/perjanjian kredit dapat dikatakan sah apabila Ia telah dewasa yakni telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tempat telah kawin, dan tidak dinyatakan sementara berada di bawah dalam pengampuan atau gila ataupun keadaan sakit ingatan. Bila merupakan suatu badan usaha, maka agar badan usaha itu dapat dikatakan cakap, maka badan usaha itu haruslah berbadan hukum. Apabila suatu badan usaha tidak berbadan hukum, berarti secara otomatis pula tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Olehnya ini badan usaha perbankan selalu berbadan hukum, agar cakap untuk melakukan perbuatan hukum yang di kehendakinya,

Suatu barang yang dapat diletakkan sebagai obyek dalam suatu perjanjian, haruslah merupakan barang berharga dan dapat diperdagangkan. Dalam perjanjian kredit perbankan/bank obyeknya berupa uang, sedangkan kausa atau tujuan yang ingin dicapai dalam suatu perjanjian haruslah yang diperbolehkan atau yang tidak

dilarang baik oleh peraturan perundang-undangan maupun susila atau kebiasaan.

Untuk perjanjian kredit, klausanya ialah untuk menyerahkan uang atau memberi pinjaman kepada pihak nasabah dan mewajibkan pihak nasabah untuk melunasi utang itu dikemudian hari.Dalam suatu perjanjian kredit bank/perbankan telah dibuat oleh para pihak secara sah, maka berdasarkan perjanjian tersebut akan timbul perikatan diantara keduanya.Aspek dari jenis perikatannya, tentu perjanjian kredit, perjanjian kredit tersebut termasuk dalam kategori perikatan untuk memberikan sesuatu yang berarti ialah uang.5

Terhadap apa diuraikan di atas, perikatan tersebut haruslah dilaksanakan oleh para pihak dengan etikad baik, karena bagaimanapun juga perjanjian kredit perbankan merupakan perjanjian pinjam meminjam uang sebagaimana yang telah diatur dalam bab ketiga belas buku III KUH Perdata. Di dalam perikatan yang timbul dan

5

(10)

519 harus dilaksanakan oleh pihak nasabah

berdasarkan perjanjian kredit itu adalah mengembalikan atau melunasi pinjaman atau perjanjian kredit itu, yang dalam hal ini biasanya dilakukan secara mengangsur pada waktu yang telah ditetapkan, ini sesuai dengan Pasal 1763 KUH Perdata jo Pasal 1766 ayat 2 KUH Perdata yang berbunyi :

Siapa yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikan dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang ditentukan (Pasal 1763 KUH Perdata), selanjutnya pembayaran bunga yang tidak telah diperjanjikan tidak mewajibkan siberutang untuk membayarnya seterusnya, tetapi bunga yang telah diperjanjikan harus dibayar sampai pada pengembalian atau penitipan uang pokoknya, biarpun pengembalian atau penitipan ini telah di lakukan setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih (Pasal 1766 ayat 2 KUHPerdata).

Selanjutnya jika pihak nasabah ternyata tidak memenuhi kewajibannya yaitu membayar angsuran pinjaman termasuk “beberapa bunganya” sebagaimana seharusnya, maka nasabah tersebut dapat di katakan wanprestasi.6

6

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dagang Tentang Surat-surat Berharga, Alumni, Bandung, 1991

Pandangan Subekti, bahwa perkataan wanprestasi berasal daribahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi atau kelalaian atau kealpaan seorang debitur dapar berupa sebagai berikut :

a.Tidak melakukakan apa yang disanggui akan dilakukannya;

b.Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan, c.Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; d.Melakukan sesuatu yang

menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. dalam Pasal 1238 menyatakan bahwa:

Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa siberutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

(11)

520 dimana didalamnya telah dinyatakan

secara tegas kapan angsuran kredit harus dibayar, maka tidak diperlukan lagi adanya surat peringatan lalai, sehab dalam hal ini pihak debitur telah lalai demi perikatannya sendiri.7

Jika pihak nasabah yang tidak telah mengangsur kreditnya pada waktu-waktu yang telah ditentukan, dapat dikatakan telah lalai atau wanprestasi, tanpa perlu adanya surat peringatan atau teguran untuk itu.

Oleh, Abdul kadir Muhammad menyatakan bahwa:

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya., menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPerdt debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.

7

Prayogo, Iman dan Prakoso Djoko, Surat Berharga, Seksi Hukum Dagang, FR, UGM, Yogyakarta, 1992, hlm : 76

Kredit di dalam perbankan dengan terjadinya wanprestasi, maka akan mengakibatkan terjadinya kredit bermasalah. Oleh karena itu dalam hal debitur wanprestasi, maka menurut Pasal 1267 KUHPerdt, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang labil yaitu pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian biaya rugi dan bunga atau biasa disebut dengan ganti rugi. Dengan sendirinya ia juga dapat menuntut pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi, mungkin juga ia menuntut ganti rugi saja dan juga ia dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi. Olehnya itu sebagai kesimpulan Abdulkadir Muhammad, dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan seperti :

a. Pemenuhan perjanjian; b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi

c. Ganti rugi saja,

d. Pembatalan perjanjian; e. Pembatalan disertai ganti rugi

(12)

521 pemenuhan perjanjian disertai dengan

ganti rugi.

Dengan demikian dalam perjanjian kredit perbankan, bila terjadi hal wanprestasi. Pada umumnya pihak bank selaku kreditur, biasanya memilih untuk menuntut dilakukannya pemenuhan prestasi oleh pihak nasabah disertai dengan ganti rugi atau bunga. Oleh karena itu adalah sebesar nilai kreditnya ditambahdengan bunga atas keterlambatan pembayaran itu. Sehubungan dengan upaya hukum atau hak yang dapat dilakukan oleh pihak kreditur tersebut, maka bilamana kreditur memiliki hak gadai yang diperoleh berdasarkan perjanjian pengikatan jaminan atas barang, kreditur tersebut dapat mengajukan permohonan untuk dilakukannya eksekusi atau penjualan barangjaminanatas obyek gadai.

Dengan adanya permohonan diatas lalu akan dikeluarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan, dilakukannya penjualan Ielang alas obyek gadai “ yang merupakan harta kekayaan milik pihak debitur” melalui kantor pelelangan umum guna pelunasan hutang debitur kepada kreditur. Namun

khusus bilamana hak gadai yang dimiliki oleh pihak kreditur tersebut adalah gadai atas bilyet giro piutang atas nama (op naam), maka dalam hal pihak kreditur wanprestasi dan dalam rangka peunasan hutang debitur kepada kreditur atas bilyet giro tersebut, tidak perlu dilakukan penjualan secara lelang.

Apa yang dikemukakan di atas, berarti kreditur tersehut tidak perlu mengajukan permohonan eksekusi lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu. Dalam rangka pelunasan hutang tersebut, maka pihak bank selaku kreditur dapat secara Iangsung menagihnya kepada pihak penerbit bilyet giro itu atau Iangsung dapat meminta agar dilakukan booking transfer atau pemindah bukuan rekening, yang dalam halini dari rekening penerbit ke dalam rekeningnya yang tersimpan dalam bank penerima.

(13)

522 Dengan demikian berdasarkan

cessie tersebut, pihak bank berhak untuk meminta dilakukannya booking transfer pada saat tanggal efektif bilyet giro itu tiba guna pelunasan hutang debitur kepada pihak bank. Jadi atas bilyet giro yang dipakai agunan kredit tersebut, tidak perlu dilakukan penjualan lelang terlebih dahulu sebab selain hal tersebut tidak umum dilakukan dalam praktek.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Jika suatu surat berharga (bilyet giro) telah memenuhi syarat formal, maka bilyet giro dipakai sebagai agunan kredit bank melalui pengikatan jaminan secara gadai atau gadai cessie. Bilyet giro yang diterbitkan dengan memenuhi syarat formal, termasuk dalam piutang opnaam atau piutang atas nama, sehingga dapat dikategorikan sebagai kebendaan bergerak tak bertubuh dan dapat diletakkan sebagai obyek gadai melalui penyerahan

secara cessic atau penyerahan hak.

2. Bilamana pihak nasabah cedera janji dalam hal pihak bank memiliki agunan bilyet giro, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak bank tersebut adalah dengan meminta untuk dilakukannya booking

transfer atau

pemindahbukuan rekening, dan rekening pihak penerbit kedalam rekeningnya yang tersimpan di hank penerima pada saat tanggal efektifnya jatuh tempo, secara langsung tanpa harus melalui penjualan lelang atas bilyet giro itu guna pelunasan hutang nasabah kepada pihak bank yang bersangkutan.

B. Saran

(14)

523 ditempuh secara cepat tanpa melalui

lelang, kepada pihak bank dalam hal nasabah wanprestasi atau cedera janji,

(15)

524 DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996

Fuady, Munir, Hukum. Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Husain, Yunus. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1995

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dagang Tentang Surat-surat Berharga, Alumni, Bandung, 1991

Prayogo, Iman dan Prakoso Djoko, Surat Berharga, Seksi Hukum Dagang, FR, UGM, Yogyakarta, 1992

B. Peraturan Perundang-Undangan

1.Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1992 tentang Pokok-pokok Perbankan 2.undang Nomor: 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Referensi

Dokumen terkait

Sumber : Ruang Perawatan Anggrek RSUD Kab.Nunukan Juh 2017 Daftar Alat-alat yang tersedia di Ruang Rawat Inap Edelweis Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Nunukan.. NamaAlat

Skripsi ini disusun dalam rangka untuk melengkapi salah satu syarat guna menyelesaikan program studi Strata 1 Jurusan Ekonomi Islam pada Fakultas Syariah Institut Agama

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan keaktifan dalam kegiatan ekstrakurikuler, minat baca, dan kedisiplinan belajar secara

Menurut Gillin dan Gillin , perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima yang disebabkan perubahan-perubahan kondisi

dengan negara-negara/daerah lain. Artinya, jika semua negara atau daerah mengalami peningkatan pada tingkat tertimbang yang sama, maka negara-negara miskin/daerah- daerah miskin

Kualitas ini diberikan kepada konsumen untuk memenuhi ekspektasi konsumen dengan menyediakan produk dan pelayanan pada suatu tingkat harga yang dapat diterima dan menciptakan

Kutampi Mengajar adalah salah satu program yang dilakukan oleh peserta Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN – PPM) Periode VII, Universitas

Saat itu, yang menjadi penentu adalah amal kita dalam kehidupan. Jika amal kita baik, maka kebaikanlah yang akan kita rasakan sampai hari kiamat datang. Sebaliknya, jika amal