• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL IND

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EFEKTIVITAS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL IND"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL INDIKASI GEOGRAFIS DALAM MENINGKATKAN POTENSI DAERAH THE EFFECTIVENESS OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS OF GEOGRAPHICAL INDICATIONS TO INCREASE POTENTIAL LOCAL

Deky Paryadi 1

Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, BPPP, Kemendag. Gedung Utama Lantai 15 Jl M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta Pusat.

Abstrak

Indonesia memiliki kekayaan hayati dan budaya yang beraneka ragam. Dari keanekaragaman tersebut telah dikembangkan berbagai bentuk produk yang berbasis budaya atau pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dari masing-masing suku bangsa yang ada. Produk-produk tersebut memiliki ciri khas tertentu dan peran penting dalam kehidupan masyarakat setempat maupun bangsa Indonesia serta memiliki daya saing maupun potensi ekonomi yang dapat dikomersilkan secara global. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian emperical legal research. Obyek dari penelitian ini adalah penerapan HKI Indikasi Geografis yang telah didaftarkan di Direktorat Jenderal HKI, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Suatu Indikasi Geografis dapat menjadi suatu simbol kedaulatan dan kebanggaan sebuah daerah yang nantinya juga akan mewakili nama Indonesia ke dalam perdagangan internasional.

Kata kunci : Potensi Daerah, Hak Kekayaan Intelektual, Indikasi Geografis

Abstract

Indonesia has a wealth of natural and cultural diversity. From this diversity has developed various forms of culture or products based on traditional. These products have a certain characteristic and important role in the lives of local people and the nation of Indonesia as well as the competitiveness and economic potential that can be commercialized globally. The method used in this research is emperical legal research. The object of this research is the application of Intellectual Property Rights Geographical Indication has been registered in the Directorate General of Intellectual Property Rights, Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia. A Geographical Indication can be a symbol of sovereignty and pride of an area that will also represent the name of Indonesia in international trade.

Keywords: Potential Lokal, Intelektual Property Rights, Geographical Indication

(2)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dengan jumlah lebih dari 17.500 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan 34 provinsi di Indonesia membuka peluang bagi daerah untuk dapat terus menggali potensi-potensi yang ada di daerahnya masih-masing. Undang-undang otonomi daerah telah membuka ruang bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan dan memanfaatkan peluang ekonomi yang ada. Dari segi sumberdaya alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh: Kopi Gayo, Kopi Kintamani, Kopi Toraja, Salak Pondoh Jogja, Ubi Cilembu, Meubel Jepara, dan sebagainya. Kepopuleran produk tersebut akan lebih baik jika mendapat perlindungan hukum yang akan melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dan dapat memberikan keuntungan ekonomis serta meningkatkan daya saing produk dalam perdagangan Internasional Indonesia.

Salah satu potensi daerah yang dapat dikembangkan sehingga dapat memberikan ciri daerah yang bersangkutan adalah potensi yang berkenaan dengan produk asli daerah, seperti produk-produk unggulan spesifik lokasi yang mana produk-produk tersebut sangat lekat dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal. Produk-produk unggulan spesifik lokasi dalam bidang pertanian, perikanan dan kerajinan unggulan banyak yang telah memiliki reputasi baik, sehingga produk-produk tersebut perlu mendapatkan perlindungan hukum serta sekaligus sebagai sarana untuk promosi dalam pemasarannya.2

Produk-produk yang berpotensi tersebut dikenal karena kekhasannya dan muncul akibat adanya interaksi antara komoditas tersebut dengan lingkungan, sosial budaya, dan teknologi setempat. Kekhasan tersebut tidak akan dapat diperoleh di lokasi lain, meskipun bila komoditas atau bahan bakunya sama. Kekhasan yang dimiliki oleh produk-produk yang ada merupakan keunggulan produk dan wilayah tersebut dari produk sejenis yang dihasilkan oleh wilayah

(3)

lain.3 Kekhasan tersebut muncul akibat adanya interaksi antara komoditas tersebut

dengan lingkungan, sosial budaya, dan teknologi setempat. Kekhasan tersebut tidak akan dapat diperoleh di lokasi lain, meskipun bila komoditas atau bahan bakunya sama.

Indonesia memiliki kekayaan hayati dan budaya yang beraneka ragam. Dari keanekaragaman tersebut telah dikembangkan berbagai bentuk produk yang berbasis budaya atau pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dari masing-masing suku bangsa yang ada. Produk-produk tersebut memiliki ciri khas tertentu dan peran penting dalam kehidupan masyarakat setempat maupun bangsa Indonesia serta memiliki daya saing maupun potensi ekonomi yang dapat dikomersilkan secara global. Hal tersebut dapat dilihat, dimana pada saat ini banyak produk –produk yang berbasis pengetahuan tradisional dari negara-negara maju telah mampu memberi manfaat ekonomi bagi masyarakatnya.4

Melihat fenomena tersebut, perlindungan atas Indikasi Geografis (IG) sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat diperlukan. Indikasi Geografis suatu produk memegang peranan vital dalam memberikan kesan kepada konsumen tentang adanya nilai lebih pada produk yang ditawarkan, baik mengenai kualitas maupun sifat-sifat yang dapat meningkatkan daya saing yang cukup kuat dan akhir-akhir ini banyak dikembangkan di berbagai negara.

Indikasi Geografis suatu produk memegang peranan vital dalam memberikan kesan kepada konsumen tentang adanya nilai lebih pada produk yang ditawarkan, baik mengenai kualitas maupun sifat-sifat yang dapat meningkatkan daya saing yang cukup kuat dan akhir-akhir ini banyak dikembangkan di berbagai negara. Dalam khasanah keilmuan, ciri khas wilayah yang melekat pada produk yang memiliki karakteristik berbeda dengan produk sejenis lainnya, karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam dan faktor manusia, atau kombinasi di antara keduanya, dikenal dengan istilah indikasi geografis (geographical indication) yaitu “a sign used on goods that have a specific geographical origin

3 Cita Citrawinda Noerhadi, Kepentingan Negara Berkembang terhadap Hak atas Indikasi

Geografis, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FHUI, 2005), hal 10.

(4)

and process qualities or a reputation that are due to that place of origin”.5 Dari

rumusan tersebut, tampak bahwa indikasi-geografis dapat digunakan sebagai tanda yang menunjukkan “nama wilayah” asal suatu komoditas atau suatu produk yang kualitas dan karakteristik khasnya dipengaruhi oleh faktor geografis.

Bagi negara seperti Indonesia perlindungan terhadap indikasi geografis sudah sangat diperlukan. Perlindungan ini diperlukan mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang mampu menghasilkan produk-produk bernilai seni dan memiliki ciri khas dari daerah dimana produk itu dibuat atau dihasilkan. Indonesia yang ikut dalam penandatangan Perjanjian Trade Related Intelectual Property Rights (TRIPs) memandang bahwa Perjanjian TRIPs, yang menjadi bagian dari Perjanjian pembentukan World Trade Organization (WTO) (Agreement Establishing the World Trade Organization) merupakan dasar dari perlindungan hukum terhadap Indikasi Geografis di Indonesia.6

Tidak hanya di Indonesia, Negara-negara lain pun saat ini tengah berlomba-lomba untuk meningkatkan kekhasan daerah mereka masing masing melalui indikasi geografis yang telah mereka daftarkan. Beberapa potensi indikasi geografis di Negara Asia selain Indonesia antara lain: Bario Rice (Malaysia); Pomelo From Nam Roi (Vietnam); Rice from Battabang, Cardamom, Pranoc (Fish sauce), Pepper from Kampot (Kamboja); Alcohol From Cereals, Mootai (Gui Zhou), Longjing Tea From Huangzhou (Zhetiang), Xuanwei Ham (Yunnan), Mengshan tea (Sinchuan),Shuijing Alcohol (Sinchuan), Ginseng From Changbaishan, Art paper from Xuancheng,Yellow Rice Spirit from Shaoxing

(Cina); Durian from Chanthaburi, Rayong,Mangosteem from Rayong, Pineapple from Phuket, Salted eggs from Chai Ya (Surattnani), Oysters from Surattnani, Wine from Loei, Pak Chong, Khao Yai, Gold from Sukhotai (Thailand).7

Masalah indikasi geografis diatur dalam Perjanjian Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs), yang mewajibkan negara-negara anggota

5 WIPO, Intellectual Property – Some Basic Definitions, http://www.wipo.int/about-ip/en/studies/publications/ip_definitions.htm, diunduh pada 2 April 2015.

6 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Jakarta: Alumni, 2005), hal 6.

(5)

untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis dengan tujuan memberikan perlindungan hukum terhadap praktek atau tindakan persaingan curang. Sebagai catatan berdasarkan laporan WIPO International Bureau pendekatan yang dipandang dalam perlindungan indikasi geografis berdasar pada empat katagori pertimbangan hukum yaitu: (1) unfair competition and passing of, (2) collective and certification mark, (3) protected appellations of originand registered geographical indications dan (4) administratives schemes for protection.8

Sebagai negara yang ikut menandatangani persetujuan Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) sebagai hasil dari putaran Uruguay yang berbicara mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI), pada tanggal 15 April 1994 dan dengan diratifikasinya Persetujuan Pembentukan World Trade Organization (WTO) oleh Indonesia pada tanggal 2 November 19949 maka

Indonesia wajib menerima persetujuan-persetujuan WTO dan yang menjadi lampirannya, termasuk TRIPs. Indonesia wajib menyesuaikan kerangka hukum nasionalnya sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tingkat perlindungan atas enam jenis hak kekayaan intelektual sebagaimana terdapat dalam persetujuan TRIPs, termasuk perlindungan indikasi geografis. Salah satu langkah dalam pelaksanaan komitmen tersebut adalah Indonesia mengintegrasikan perlindungan indikasi geografis ke dalam Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.

Perkembangan perdagangan global telah membuktikan bahwa hak kekayaan intelektual (HKI) telah menjadi salah satu komponen yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Dimasukannya Persetujuan mengenai Aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan Perdagangan (TRIPs) sebagai salah satu bagian dari paket Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Sedunia (WTO) merupakan bukti nyata semakin pentingnya peran HKI dalam perdagangan.

Salah satu aspek hak khusus pada HKI adalah Hak Ekonomi (economic rights), yakni hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaan

8 WIPO Standing Commiitee on the Law of Trademarks, Industrial Designs and Geographical

Indication, SCT/8/4, April 2, 2002 at paras. 66-71.

(6)

intelektual.10 Hak ekonomi tersebut berupa keuntungan sejumlah uang yang

diperoleh karena penggunaan sendiri HKI, atau karena penggunaan HKI oleh pihak lain berdasarkan lisensi. Kenyataan adanya nilai ekonomi diatas, menunjukkan bahwa HKI merupakan salah satu objek perdagangan.11

Di era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, banyak negara yang mulai mencari alternatif. produk baru untuk diperdagangkan. Mereka menggali produk-produk yang berbasis pengetahuan tradisional dari negara-negara berkembang yang banyak memiliki kekayaan budaya seperti yang ada di Indonesia, untuk dapat diekskplorasi dan dikembangkan lebih jauh. Sehingga produk tersebut mampu menguasai pasar dunia tanpa ada kontribusi terhadap negara atau masyarakat pemilik produk asal tersebut. Dalam hal ini peran perlindungan HKI Indikasi Geografis menjadi vital dalam melindungi kepentingan bangsa dari kepentingan pihak asing.

Manfaat perlindungan Indikasi Geografis ini adalah memberikan perlindungan hukum pada setiap komoditas barang atau produk, sekaligus sebagai strategi pemasaran barang atau produk Indikasi Geografis dalam transaksi perdagangan, baik di dalam maupun di luar negeri. Perlindungan ini sekaligus memberikan nilai tambah pada produk berpotensi Indikasi geografis di daerah yang poten sial meningkatkan kemampuan ekonomi daerah. Di samping itu, juga tercipta adanya persamaan perlakuan atas perlindungan dan promosi Indikasi Geografis di luar negeri, sekaligus sebagai salah satu alat untuk menghindari persaingan curang yang sangat merugikan berbagai pihak.12

Sesungguhnya di tingkat internasional Indikasi Geografis semakin menarik minat dan menjadi popular. Pemerintah Indonesia pun menyadari bahwa pemanfaatan maupun perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia belum maksimal, meskipun diakui bahwa beberapa komoditas Indonesia sudah mendapatkan reputasi yang harus dijaga, karena pengembangan indikasi geografis

10 A. Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Cet. Ke-1, Citra Aditya Bakti, 2001) hal 20.

11 Yeti Sumiyati, Tatty Aryani Ramli, Rusli Iskandar, Kajian Yuridis Sosiologis mengenai

Indikasi Geografis Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), (MIMBAR, Vol. XXIV, No. 1, Januari - Juni 2008), hal 79-88.

12 E. Junus, “Pentingnya Perlindungan Indikasi Geografis sebagai Bagian dari HKI dan

(7)

akan meningkatkan dan mempertahankan nilai tambah komoditas - komoditas tersebut.13 Persaingan pasar yang semakin ketat dalam perdagangan internasional,

mengharuskan adanya kreatifitas dari pelaku usaha dan pemerintah, sehingga diferensiasi produk merupakan salah satu cara yang dapat menarik konsumen. Dengan memenuhi persyaratan pendaftaran Indikasi Geografis, maka hal tersebut dapat meningkatkan profesionalisme petani, pengrajin dan produsen lain serte membawa berbagai manfaat lain seperti perlindungan terhadap praktik usaha tidak sehat, perlindungan konsumen, meningkatkan daya saing, menarik investasi dan menerobos pasar baru, baik domestik maupun internasional.

Indonesia sebagai negara berkembang harus mampu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk dapat mengantisipasi segala perubahan dan perkembangan serta kecenderungan global sehingga tujuan nasional dapat tercapai. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah penguatan sistem Hak Kekayaan Intelektual yang efektif dan kompetitif secara nasional maupun internasional

PERMASALAHAN

Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka, terdapat beberapa permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk keuntungan ekonomis yang diperoleh pemegang hak Indikasi geografis?

2. Bagaimana Indikasi Geografis dapat mendorong perekonomian daerah?

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian emperical legal research. Metode ini dipilih karena obyek kajian penelitian adalah mengenai fakta (reality) dari interaksi antara hukum dan masyarakat. Realitas yang menjadi pengamatan penelitian ini berupa pengaruh penerapan peraturan terhadap perilaku masyarakat dan atau mengenai perilaku masyarakat yang

13 Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan,

Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia Dengan Pengembangan Indikasi Geografis, 2004.http://ditjenkpi.depdag.go.id/index.php?

(8)

mempengaruhi pembentukan hukum. Seperti yang dikatakan oleh Holmes, that the life of the law was experiences, as well as logic. Beliau menekankan aspek empiris dan pragmatis dari hukum. Ruang lingkup perilaku yang diamati adalah perilaku verbal yang di dapat melalui wawancara dengan narasumber dan stakeholder yang terkait.

Obyek dari penelitian ini adalah penerapan HKI Indikasi Geografis yang telah didaftarkan di Direktorat Jenderal HKI, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer akan di dapat dengan cara wawancara dengan pemangku kepentingan terkait permasalahan penelitian. Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah para pengambil keputusan atau pihak yang berkompeten dari berbagai institusi yang terkait diatas, wakil pemerintah dan pelaku usaha sebagai pemegang HKI Indikasi Geografis

Data sekunder dalam penelitian ini akan didapat melalui studi kepustakaan. Penggunaan data sekunder atau kepustakaan dimaksudkan untuk;

1) Memberitahu pembaca mengenai hasil penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan;

2) Menghubungkan suatu penelitian yang dilakukan secara berkesinambungan untuk mengisi kekurangan dan memperluas penelitian lainnya; dan

3) memberikan kerangka dan acuan untuk membandingkan suatu penelitian dengan temuan-temuan lainnya.

(9)

Data yang terkumpul dalam penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif dengan pendekatan kualitatif (qualitative approach), yaitu dengan memberikan pemaparan dan menjelaskan secara menyeluruh dan mendalam (holistic/verstelen), berdasarkan kata-kata yang disusun dalam sebuah latar ilmiah, untuk mengungkap apa yang tampak maupun yang terdapat dibalik peristiwa nyata dengan maksud mencari pemahaman dan jawaban dari pokok permasalahan penelitian.

Penulis memilih objek penelitian Hak Indikasi Geografis yang sudah dimiliki oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Kintamani Bali dan Meubel Ukir Jepara. Selain itu, karena penelitian ini terkait dengan perdagangan, maka indikator pemilihan produk juga menjadi alasan mengapa menjadikan produk kopi dan meubel sebagai pilihan.

Penulis memilih produk kopi dan meubel sesuai dengan indikator 10 produk ekspor utama yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan, diantaranya adalah14 Tekstil dan Produk Tekstil, Elektronik, Karet dan Produk Karet, Sawit,

Produk Hasil Hutan, Alas Kaki, Otomotif, Udang, Kakao dan Kopi. Dari kesepuluh produk ekspor utama tersebut, yang beririsan dengan Indikator Geografis yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM adalah Kopi Kintamani dan Meubel Ukir Jepara, dimana meubel merupakan produk turunan dari produk hasil hutan dan Kopi Kintamani Bali merupakan produk yang pertama yang mendaftarkan diri sebagai pemegang Indikasi Geografis di Indonesia.

TEORI DAN KONSEPSIONAL

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori ini masih bersifat sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti dalam realitas. Kerangka teoritis lazimnya dipergunakan dalam penelitian ilmu-ilmu

14

(10)

sosial dan juga dapat dipergunakan dalam penelitian hukum yaitu pada penelitian hukum sosiologis dan empiris.15

Teori yang relevan untuk menjelaskan tentang efektivitas hukum adalah Teori Efektivitas Hukum dari Donald Black. Untuk menyatakan efektivitas suatu hukum seyogianya dibicarakan lebih dahulu hukum dalam tataran normatif (law in books) dan hukum dalam tataran realita (law in action), sebab tanpa membandingkan kedua variabel ini adalah tidak mungkin untuk mengukur tingkat efektifitas hukum. Donald Black berpendapat bahwa efektifitas hukum adalah masalah pokok dalam sosiologi hukum yang diperoleh dengan cara membandingkan antara realitas hukum dalam teori (law in theory) dengan realitas hukum dalam praktek (law in active) sehingga nampak adanya kesenjangan antara keduanya. Hukum dianggap tidak efektif jika terjadi disparitas antara realitas hukum dan ideal hukum. Untuk mencari solusinya, langkah apa yang harus dilakukan untuk mendekatkan kenyataan hukum dengan ideal hukum agar 2 (dua) variable (law in theory dan law in action) menjadi sama. Pertanyaan selanjutnya adalah manakah yang harus berubah dari kedua variable tersebut, apakah hukuman yang harus diubah agar sesuai dengan tuntutan masyarakat atau sebaliknya, yaitu tingkah laku masyarakat yang harus berubah mengikuti kehendak hukum.16

Politik domestik berhubungan langsung dengan semua isu dan aktivitas di dalam sebuah batas negara. Politik domestik dalam kebijakan perdagangan menghadirkan dua pendekatan. Pendekatan society centered (pendekatan berpusat pada masyarakat), yaitu menyatakan bahwa segala kebijakan perdagangan dalam suatu negara merupakan kebijakan yang hadir sebagai respon dari tuntutan kelompok kepentingan domestik (domestic interest groups). Sedangkan pendekatan state centered (pendekatan berpusat pada negara) menyatakan bahwa segala kebijakan perdagangan yang diambil dalam suatu negara merupakan upaya negara otonom untuk meningkatkan posisinya dalam sistem internasional.17

15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 127. 16 Achmad Ali, Donald Black: Karya dan Kritikan Terhadapnya (Dilengkapi Komentar Awal sebagai Prolog dan Komentar Penutup sebagai Kesimpulan), Makassar, 2000, hal. 95

17 Thomas Oatley, International Political Economy: Interest and Institutions in The Global

(11)

Dalam tulisan ini digunakan pendekatan society centered, yaitu untuk menganalisis bagaimana upaya dari kelompok kepentingan domestik dalam mempengaruhi kebijakan perdagangan yang diputuskan oleh pemerintah dalam sebuah negara. Kepentingan sosial tidak bertranformasi langsung dalam kebijakan perdagangan, namun kepentingan sosial dibawa ke dalam arena politik dan bertranformasi dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang dihasilkan yang diproses melalui institusi politik.18 Institusi politik dapat dianggap sebagai wadah bagi

masyarakat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya.

Konsep politik domestik dalam kebijakan perdagangan ini dianggap relevan dalam menjelaskan kasus ini yaitu dengan menggunakan pendekatan society centered. Pendekatan society centered digunakan untuk menjelaskan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah yaitu sertifikasi indikasi geografis merupakan hasil dari tuntutan para aktor domestik yang tergabung dalam kelompok kepentingan domestik. Melalui pendekatan ini akan dikaji bagaimana para aktor domestik yaitu kelompok kepentingan mengupayakan perlindungan indikasi geografis dalam berbagai aspek sesuai dengan ranah tanggung jawabnya masing-masing.

2. Kerangka Konsepsional

Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti, sedangkan konsep atau variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan diteliti. Kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian ini.

a. Efektivitas

Secara etimologi, kata efektivitas berasal dari kata efektif sebagai terjemahan dari kata effective dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia memiliki makna berhasil, dan dalam bahasa Belanda di kenal dengan kata

(12)

effective yang memiliki makna berhasil guna.19 Secara umum, kata efektivitas

menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasilnya semakin mendekati sasaran berarti makin tinggi efektivitasnya.20 Dalam konteks dengan hukum, maka efektivitas hukum secara

tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilgunaan hukum, yaitu keberhasilan dalam mengimplementasikan hukum itu sendiri dalam tatanan masyarakat.

Adapun secara terminologi, para pakar hukum dan pakar sosiologi memberikan pandangan yang beragam tergantung pada sudut pandang masing-masing pakar. Secara umum Soerjono Soekanto menyatakan bahwa derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk oleh para penegak hukumnya, sehingga dikenal suatu asumsi bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indicator berfungsinya suatu sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan menghubungi masyarakat dalam pergaulan hidup.21

Selanjutnya Soejono Soekanto mengungkapkan juga bahwa yang di maksud dengan efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum yang ada dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyarakat, dan agar kaidah hukum atau sebuah peraturan berfungsi bahkan hidup dalam tatanan kehidupan masyarakat, maka dikatakan lebih lanjut oleh Soerjono Soekanto bahwa kaidah hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut haruslah mengandung tiga unsur sebagai berikut:22

a) Hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau bila terbentuk menurut cara yang telah ditentukan atau ditetapkan (W. Zevenberger), atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logeman);

19 Nurul Hakim, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa dengan Lembaga Peradilan, www.badilag.net., di unduh pada tanggal 4 Mei 2015. 20 Sondang P. Siagian, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 24.

(13)

b) Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori kekuasaan), atau diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan); c) Hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita

hukum sebagai nilai positif tertinggi.

Sartjipto Rahardjo menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja, karena hukum bukanlah merupakan hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat bekerja, melainkan memerlukan beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan (hukum) tersebut dijalankan atau bekerja.23

Sekurang-kurangnya ada empat langkah yang harus dipenuhi untuk mengupayakan hukum atau aturan atau ketentuan dapat bekerja dan berfungsi (secara efektif) yaitu:24

a) Adanya pejabat/aparat penegak hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan hukum tersebut;

b) Adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum, baik yang mematuhi atau melanggar hukum;

c) Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan;

d) Orang-orang tersebut sebagai subjek maupun objek hukum bersedia untuk berbuat sesuai hukum.

b. Indikasi Geografis

Secara garis besar HKI dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: 1) Hak Cipta (copyright);

2) Hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup: - Paten (patent);

- Desain industri (industrial design); - Merek (trademark);

- Penanggulangan praktek persaingan curang (repression of unfair competition);

- Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit);

(14)

- Rahasia dagang (trade secret).

3) Indikasi Geografis (Geographical Indication)

Dari sekian banyak jenis HKI yang disebutkan, yang menjadi concern saya dalam artikel ini adalah Indikasi Geografis. Banyak hal dan alasan kenapa saya mencoba memilih Indikasi Geografis dalam tulisan ini, salah satunya adalah keunikan dan keanekaragaman yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia.

Indikasi geografis adalah tanda yang digunakan untuk produk yang mempunyai asal geografis spesifik dan mempunyai kualitas atau reputasi yang berkaitan dengan asalnya. Pada umumnya indikasi geografis terdiri dari nama produk yang diikuti dengan nama daerah atau tempat asal produk.

Dari segi definisi, Indikasi Geografis mengandung pengertian25

“A Geographical Indication is a sign used ongoods that have specific geographical origin and possess qualities or a reputation that are due tothat place of origin. Most commonly, a geographical indications consists of the name of the place of originof the goods. Agricultural products typically havequalities that derive from their place of production andare influence by specific local factors, such as climateand soil.”

Dari pengertian di atas dapat diuraikan ciri atau unsur-unsur pokok Indikasi Geografis sebagai berikut:

1) Sebagai tanda yang diambil dari nama daerah yang merupakan ciri khas suatu produk atau barang yangdiperdagangkan;

2) Sebagai tanda yang menunjukkan kualitas atau reputasi produk atau barang yang bersangkutan;

3) Kualitas barang tersebut dipengaruhi oleh alam, cuaca dan tanah di daerah yang bersangkutan;

Jadi jelas dari uraian di atas bahwa Indikasi geografis menyangkut perlindungan atas nama asal barang terhadap barang-barang tertentu Perlindungan atas indikasi geografis diatur dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan 24 Perjanjian Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Namun demikian, istilah mengenai indikasi geografis dan perlindungan hukumnya sudah dikenal sejak dahulu. The common law doctrin of passing off, based on protection against

(15)

the tort of unfair competition telah diberlakukan guna melindungi produsen dari penggunaan asal barang yang menyesatkan.26

Ketentuan hukum di Inggris dan Amerika sebagai contoh mengatur perlindungan indikasi geografis dalam collective mark dan certification mark.27

dan pada sistem hukum Civil Law The Appellation Of Origin telah digunakan untuk melindungi klaim asal barang yang menyesatkan (false claims of geographic origin)28

Definisi yang berkaitan dengan Indikasi Geografis dalam beberapa perjanjian Internasional, antara lain:29

Indication of Source dalam Madrid Agreement, Art (1)

“All goods bearing a false or deceptive indication by which one of the countries to which this agreement applies, or a placesituated therein, is directly or indirectly indicated as being thecountry ar place of origin shall be seize on importation into any of the said countries”

Appelations of Origin dalam Lisbon Agreement

(1) ….appelation of origin means the geographical name of acountry, region or locality, which serves to designate a product originating therein, the quality and characteristics of which aredue exclusively or essentially to the geographical environment, including natural and human factors.

(2) The country of origin is the country whose name, or thecountry in which is situated the region or locality whose name,constitutes the appellation of origin which has given the product is reputation.

TRIPs Article (22.1)

For the purpose of this agreement, Indications which indentify agood as originating an territory of a member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographical origin

26On The Common Law Doctrine Of Passing Of, lihat W.R. Cornish, Intellectual Property:

Patents, Copyright, Trade Mark, and Allied Rights (4th ed.1999), at Chapter 16.

27 Di Inggris, sebagai contoh, Stilton chesse dan Harirs Tweed dilindungi Dalam Certification

Trade Mark, The Harris Tweed mark terdaftar pada tahun 1909.

28 Resource Book on TRIPS and Development., UNCTAD-ICTSD Project on IPRs and

(16)

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis.30

(1) Indikasi-Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Pembahasan

Hak kekayaan Intelektual (HKI) bagi sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin sudah sering mengenai. Namun apa sebenarnya HKI? Hak Kekayaan Intelektual, disingkat "HKI" atau akronim "HaKI", adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.

Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri khas HKI. Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftar karya intelektual atau tidak. Hak eksklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain, dan sebagainya) tidak lain dimaksud sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain terangsang untuk lebih lanjut mengembangkan lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar. Di samping itu, sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkan teknologi atau hasil karya lain yang sama dapat dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan dengan maksimal untuk keperluan hidup atau mengembangkan lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, sebagian besar potensi sumber daya alam di Indonesia banyak terdapat di daerah. Hal tersebut membuka peluang bagi daerah di Indonesia untuk

(17)

dapat secara terus menerus menggali potensi-potensi yang ada di daerah untuk dapat dikembangkan dalam era otonomi daerah seperti yang dewasa ini.

Salah satu potensi daerah yang dapat dikembangkan sehingga dapat memberikan ciri daerah yang bersangkutan adalah potensi yang berkenaan dengan produk asli daerah, yaitu produk-produk unggulan spesifik lokasi yang sangat lekat dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal. Dari segi sumberdaya alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh: Kopi Gayo, Kopi Toraja, Tembakau Deli, Pala Banda, Ubi Cilembu, Batik Pekalongan, Jenang Kudus, Ukir jepara dan sebagainya. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang bisa untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dalam perdagangan (Septiono, Saky, 2011).

Kekhasan tersebut muncul akibat adanya interaksi antara komoditas tersebut dengan lingkungan, sosial budaya, dan teknologi setempat. Kekhasan tersebut tidak akan dapat diperoleh di lokasi lain, meskipun bila komoditas atau bahan bakunya sama. Wilayah yang terbatas dan tidak mungkin bertambah, permintaan yang terus menerus dan semakin meningkat adalah potensi keuntungan yang dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat wilayah penghasil produk khas tersebut. Dalam kenyataannya saat ini, kekhasan tersebut kadang tidak sempat dimanfaatkan oleh masyarakat wilayah penghasil produk, tetapi dimanfaatkan oleh pelaku usaha atau masyarakat wilayah lain.

Melihat fenomena tersebut, perlindungan atas Indikasi Geografis sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual sangat diperlukan. Indikasi Geografis suatu produk memegang peranan vital dalam memberikan kesan kepada konsumen tentang adanya nilai lebih pada produk yang ditawarkan, baik mengenai kualitas maupun sifat-sifat yang dapat meningkatkan daya saing yang cukup kuat dan akhir-akhir ini banyak dikembangkan di berbagai negara.

(18)

“Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografisnya termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan”.

Sebagai tindak lanjut dari UU Merek tersebut, Pemerintah juga mengatur lebih khusus Indikasi Geografis melalui Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2007 dan menjelaskan secara spesifik dalam Pasal 1 mengenai definisi Indikasi Geografis yaitu:

“Indikasi-geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan”.

Dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berhak untuk mengajukan permintaan pendaftaran Indikasi Geografis ada beberapa pihak diantaranya adalah :

(1) Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas:

(a) pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam;

(b) produsen barang hasil pertanian;

(c) pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau (d) pedagang yang menjual barang tersebut.

(2) Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau (3) Kelompok konsumen barang tersebut.

Sementara itu, dalam Pasal 24 UU 18/2004 Tentang Perkebunan, diatur juga mengenai indikasi geografis sebagai berikut:

(1) Wilayah geografis yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis.

(2) Wilayah geografis yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan.

(19)

fungsi yang bersangkutan dan wajib mengembalikan wilayah geografis kepada fungsi semula.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah geografis sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi jenis tanaman perkebunan dan hubungannya dengan cita rasa spesifik hasil tanaman tersebut serta tata cara penetapan batas wilayah ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.

Berdasarkan regulasi yang ada tersebut, terdapat dua pendekatan berbeda dalam mengatur Indikasi Geografis di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan bahwa UU 15/2001 mengatur tentang tata cata pendaftaran dan pemberian Indikasi Geografis. Sementara UU 18/2004 Tentang Perkebunan mengatur tentang tata cara penetapan batas wilayah Indikasi Geografis dalam hubungannya dengan citarasa spesifik yang dihasilkan tanaman perkebunan. Dengan demikian, UU 15/2001 mengatur Indikasi Geografis sebagai bagian dari merek, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah berbasis kebendaan (hak), yakni sebagai suatu HKI yang dilindungi. Sementara itu, UU 18/2004 mengatur Indikasi Geografis sebagai bagian dari wilayah usaha perkebunan, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah berbasis kewilayahan (spasial), dalam suatu konsep peruntukan tata ruang bagi usaha perkebunan.

Peraturan pelaksana dari UU 15/2001 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis (PP 51/2007), sementara peraturan pelaksana dari UU 18/2004 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2009 tentang Perlindungan wilayah geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi (PP 31/2009). Keseluruhan peraturan perundang-undangan ini secara spesifik menjelaskan bahwa barang Indikasi Geografis tidak hanya terbatas pada wines and spirits, tetapi juga mencakup barang kerajinan, hasil pertanian, produk olahan, dan barang lainnya. Namun, kelengkapan instrumen hukum ini masih memerlukan tindakan konkrit.

(20)

Dalam Pasal 2, dilanjutkan bahwa tanda demikian merupakan nama tempat atau daerah maupun tanda tertentu lainnya yang menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi oleh Indikasi- geografis. Barang dapat berupa hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya. Tanda ini kemudian dilindungi sebagai Indikasi Geografis apabila telah terdaftar dalam Daftar Umum Indikasi Geografis di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM. Terkait jangka waktu, Indikasi Geografis dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas Indikasi-geografis tersebut masih ada. Indikasi-geografis terdaftar tidak dapat berubah menjadi milik umum, melainkan menjadi milik pendaftar. Namun demikian, terdapat Indikasi Geografis yang tidak dapat diaftar apabila Indikasi Geografis tersebut:

(a) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum;

(b) menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai: ciri, sifat, kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya;

(c) merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis; atau (d) telah menjadi generik.

Keberadaan regulasi tentang Indikasi Geografis ternyata masih belum dapat memberikan efek yang signifikan bagi masyarakat atau pemangku kepentingan didaerah di Indonesia, hal ini ditandai masih minimnya pemahaman masyarakat tentang Hak Indikasi Geografis yang dapat dilihat dari jumlah pendaftaran indikasi geografis yang tergolong minim ini. Hal ini terlihat seperti yang terlihat dalam tabel

Tabel 1. Indikasi Geografis Indonesia Terdaftar

No Produk Pemohon

1 Kopi Arabika Kintamani Bali MPIG (Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis) Kopi Bali

(21)

3 Lada Putih Munthok

Badan Pengelola Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kep Bangka Belitung

4 Kopi Arabika Gayo MPKG (Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo)

5 Tembakau Hitam Sumedang Pemerintah Kabupaten Sumedang

6 Tembakau Mole Sumedang Pemerintah Kabupaten Sumedang

7 Susu Kuda Sumbawa Asosiasi PengembanganSusu Kuda

Sumbawa.

8 Carica Dieng Masyarakat Perlindungan IndikasiGeografis (MPIG) Carica Dieng

9 Ubi Cilembu Sumedang Asosiasi Agrobisnis Ubi Cilembu(ASAGUCI)

10 Kangkung Lombok Asosiasi Komoditas KangkungLombok.

11 Madu Sumbawa Jaringan Madu HutanSumbawa

12 Salak Pondoh Sleman Jogja Perlindungan Indikasi Geografis Salak Pondoh Sleman

13 Gula Kelapa Kulonprogo Jogya

Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Gula Kelapa Kulonprogo Jogja

Sumber: Ditjen HKI, Kemenkumham Daftar Umum Pemegang Indikasi Geografis Direktorat Jenderal HKI Tahun 2014

Jumlah pendaftaran Indikasi Geografis yang tergolong minim ini, menimbulkan beberapa asumsi, pertama apakah pemahaman masyarakat daerah mengenai indikasi geografis masih rendah ataukah perangkat hukum yang ada dirasa belum dapat mengakomodir potensi-potensi indikasi geografis di beberapa daerah di Indonesia. Sehingga dalam rentang waktu empat tahun (2007 – 2014) hanya 13 indikasi geografis yang baru terdaftar di Ditjen HKI Kementerian Hukum dan HAM, seperti yang dapat dilihat dalam tabel 1.

(22)

Adanya anggapan tidak semua indikasi geografis yang didaftarkan dapat bernilai ekonomis, kerap menjadi alasan oleh para pihak yang berkepentingan untuk tidak mendaftarkan produknya sebagai indikasi geografis. Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis memang berbeda dengan Hak Kekayaan Intelektual lainnya yag bersifat privat seperti hak merek, hak cipta, hak tata letak sirkuit terpadu. Karena hak dalam Indikasi Geografis bersifat komunal atau hak kolektif. Dikaitkan dengan kondisi aktual di Indonesia, terdapat suatu gejala yang sangat menarik. Secara tradisional, bangsa Indonesia tidak mengenal konsep HKI yang bersifat abstrak. Bagi bangsa Indonesia, kepemilikan atas sesuatu pada umumnya masih bersifat kolektif karena pengaruh pola agrikultural, berlainan dengan konsep HKI yang pada dasarnya bersifat individual sebagai akibat dari perkembangan kebudayaan masyarakat industrial. Namun sekarang ini mulai terjadi suatu proses transisi berpikir dari sebagian masyarakat Indonesia terhadap HKI, terutama jika dikaitkan dengan kekayaan intelektual milik masyarakat lokal dan penduduk asli.31 Indikasi Geografis sebagai hak kolektif dianggap cukup

sesuai dengan pandangan masyarakat asli tersebut. Karakter kepemilikan Indikasi Geografis yang kolektif sejalan dengan nilai-nilai ketimuran dan ke-Indonesiaan yang lebih menghargai kepemilikan bersama dari kepemilikan pribadi. 32

Nilai ekonomis yang akan didapat dari pemegang Hak Kekayaan Indikasi Geografis bukan merupakan benefit layaknya Hak Cipta, Hak Merek ataupun Hak Paten yang bernilai komersil. Bagi pemegang Hak Indikasi Geografis, nilai ekonomis yang diperoleh adalah nilai ekonomis yang bersifat komunal dan secara tidak langsung dapat bernilai komersil. Seperti misalnya suatu daerah memiliki potensi unggulan berupa kopi Kintamani, karena kopi tersebut memiliki cita rasa yang khas maka perlindungan geografis terhadap kopi tersebut dilakukan, sehingga konsumen akan melihat bahwa Kitamani sebagai suatu daerah yang dan akan memperoleh Indirect benefit disektor lain. Indirect benefit yang diperoleh antara lain, seperti daerah tersebut akan lebih dikenal yang akhirnya akan

31 Basuki Antariksa, “Kepentingan Indonesia Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumberdaya Genetika, Pengetahuan Tradisional Dan Folklore”, dalam Lokakarya Kepentingan Negara Berkembang Atas Indikasi Geografis (Depok: LPHI Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Dirjen HKI, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005), hal 90-91.

(23)

memberikan dampak lain seperti di sektor wisata seperti mendatangkan banyak wisatawan mancanegara maupun domestik didaerah tersebut, dan bukan tidak mungkin akan menarik investor-investor luar yang akan memberikan dampak positif bagi kemajuan daerah setempat. Keuntungan ekonomis dengan adanya Indikasi Geografis bagi daerah adalah produk Indikasi Geografis daerah tersebut akan menjadi bernilai “premium” dimata konsumen baik konsumen lokal maupun mancanegara. Karena hanya di daerah tersebutlah konsumen dapat mendapatkan produk Indikasi Geografis yang asli bukan ditempat lain.

Peran Pemerintah dalam mendorong keaktifan stakeholder Hak Kekayaan Indikasi Geografis sangat dibutuhkan, terutama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat akan keuntungan yang dapat dinikmati walaupun disadari butuh waktu yang tidak singkat untuk menjadikan masyarakat sadar akan pentingnya hal tersebut. Disadari atau tidak, negara memiliki banyak keuntungan dari banyak atau tidaknya potensi Indikasi Geografis disuatu negara. Banyaknya Indikasi Geografis yang terdaftar disuatu negara menandakan banyaknya potensi keunggulan yang dimiliki negara tersebut dan itu secara tidak langsung dapat meminimalisir pengakuan dari negara lain terhadap suatu produk yang berasal dari negara kita yang sudah lebih dulu mendaftarkannya sebagai Hak Kekayaan Indikasi Geografis.

(24)

Tabel 2. Tarif Biaya Permohonan Indikasi Geografis berdasarkan PP No 38 tahun 2009

Dari Tabel 2 di atas, dapat dilihat secara jelas secara administrasi biaya pendaftaran Indikasi Geografis tidaklah terlalu high cost. Namun yang perlu menjadi pertanyaan oleh masyarakat kembali adalah, apakah dengan waktu dan biaya yang telah dikeluarkan akan dapat memberikan dampak yang baik bagi masyarakat. Sebagai gambaran, sebenarnya dapat dikatakan bahwa pendaftaran Indikasi Geografis suatu daerah atau wilayah merupakan sarana suatu daerah untuk mempromosikan daerah atau wilayah tersebut kepada publik. Dengan mendaftarkan Indikasi Geografis sebagai Hak Kekayaan Intelektual berarti negara mengakui dan melindungi potensi daerah tersebut, dan berarti pula potensi daerah tersebut diakui oleh publik karena hanya daerah tersebut yang memiliki ciri khas terhadap suatu produk tertentu.

Kesimpulan

(25)

Indikasi Geografis masih belum dipahami sebagai sebuah nilai ekonomis yang dapat dijadikan nilai lebih dalam dunia perdagangan internasional, sehingga banyak potensi daerah yang seharusnya dijadikan indikasi geografis wilayah Indonesia malah di akui sebagai indikasi geografis oleh Negara lain.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Donald Black: Karya dan Kritikan Terhadapnya (Dilengkapi Komentar Awal sebagai Prolog dan Komentar Penutup sebagai Kesimpulan), Makassar, 2000.

Antariksa, Basuki. “Kepentingan Indonesia Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumberdaya Genetika, Pengetahuan Tradisional Dan Folklore” dalam Lokakarya Kepentingan Negara Berkembang Atas Indikasi Geografis. Depok: LPHI Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Dirjen HKI, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005.

Ayu, Miranda Risang. Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis. Bandung: PT Alumni , 2006.

Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia Dengan Pengembangan Indikasi Geografis, 2004.

http://ditjenkpi.depdag.go.id/index.php?

module=news_detail&news_content_id=406&detail=true

Fink, Carsten dan Keith Maskus, “The Debate on Geographical Indications in the WTO” dalam Richard Newfarmer, ed, Trade, Doha, and Development a Window into the Issues. The World Bank, 2005.

Hakim, Nurul. Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan Lembaga Peradilan, www.badilag.net, di unduh pada tanggal 4 Mei 2015.

(26)

Junus, E. “Pentingnya Perlindungan Indikasi Geografis sebagai Bagian dari HKI dan Pelaksanaannya di Indonesia”, Makalah pada Seminar Nasional Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia, Jakarta, 6-7 Desember 2004.

Mafhudo Hartini, http://www.academia.edu/9477917/Perdagangan_Internasional , diunduh tanggal 18 Mei 2015

Materi Perdagangan Luar Negeri

http://lms.unhas.ac.id/claroline/backends/download.php?url=, diunduh tanggal 18 Mei 2015

Muhammad, A, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Cet. Ke-1, Citra Aditya Bakti, 2001.

Noerhadi, Cita Citrawinda. Kepentingan Negara Berkembang terhadap Hak atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional. Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FHUI, 2005.

Peraturan Pemerintah tentang Indikasi Geografis. PP. No. 51 tahun 2007. TLN 4763.

Produk Ekspor Utama dan Potensial http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities/10-main-commodities,

diunduh tanggal 25 Mei 2015

Rahardjo, Sartjipto. Ilmu Hukum, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2000.

Resource Book on TRIPS and Development.UNCTAD-ICTSD Project on IPRs and Sustainable Development.Cambridge university 2005.

Salvator, Dominick. Ekonomi Internasional. Jakarta : Erlangga, 2004.

Sardjono, Agus. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung: PT Alumni, 2006.

Sardjono, Agus. Membumikan HKI di Indonesia. Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2009

(27)

Depok: LPHI Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Dirjen HKI, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005. Septiono, Saky. Perlindungan Indikasi Geografis dan Potensi Indikasi Geografis

Indonesia, http://www.scribd.com/doc/20976488/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia#scribd, diunduh 16 Mei 2015.

Siagian, Sondang P. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Sudarmanto. “Produk Kategori Indikasi Geografis Potensi Kekayaan Intelektual Masyarakat Indonesia” dalam Lokakarya Kepentingan Negara Berkembang Atas Indikasi Geografis. Depok: LPHI Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Dirjen HKI, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986. Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar, Bandung: Rajawali Pres, 1996. Sumiyati, Yeti, Tatty Aryani Ramli, Rusli Iskandar. Kajian Yuridis Sosiologis

mengenai Indikasi Geografis Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), MIMBAR, Vol. XXIV, No. 1 (Januari - Juni 2008).

Vining, Aidan R. and David L. Weimer, "Information Asymmetry Favoring Sellers: A Policy Framework," 21(4) Policy Sciences 281–303 (1988). WIPO, Intellectual Property – Some Basic Definitions,

http://www.wipo.int/about-ip/en/studies/publications/ip_definitions.htm, diunduh pada 2 April 2015.

WIPO. Standing Commiitee on the Law of Trademarks, Industrial Designs and Geographical Indication, SCT/8/4, April 2, 2002 at paras.

Zen Umar Purba, Achmad. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Jakarta: Alumni, 2005.

http://www.wipo.int/geo_indications/en/about.html, diunduh tanggal 20 April 2015

Gambar

Tabel 2. Tarif Biaya Permohonan Indikasi Geografis

Referensi

Dokumen terkait

lokasi yang baik untuk tempat mencari makan, dan tempat beristrirahat bagi berbagai jenis burung, hasil penelitian menunjukan bahwa jenis-jenis yang selalu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada variasi rasio mol Na 2 O/SiO 2 4, 6, 8 dan 10 dibandingkan dengan sampel pembanding didapatkan bahwa variasi rasio mol

Proses pengolahan data SMS dilakukan oleh file php yang berjalan pada webserver apache dengan menggunakan SQL Server 2000 sebagai basis data untuk memproses SMS.. Setelah

Penelitian ini dilakukan menggunakan framework COBIT 4.1 untuk mengetahui maturity level pada empat proses TI yaitu PO3 (Menentukan Arahan Teknologi), AI5 (Pengadaan

skripsi dengan judul “ Fitoremediasi Tanah Sawah Terkontaminasi Pb Menggunakan Kombinasi Pupuk Anorganik, Agrobacterium sp I 3 atau Kompos dengan Rami ” dapat

Faktor varietas pisang (V) berpengaruh nyata terhadap aroma, rasa, dan warna yang timbul pada sari buah pisang, sedangkan konsentrasi ragi (S) tidak berpengaruh nyata terhadap

Pematuhan terjadi karena mahasiswa memberikan informasi tidak berlebihan, memberikan informasi yang benar, memberikan informasi yang sesuai dengan masalah, memberikan

Proses pemisahan partikel padatan dengan cairan tidak dibatasi oleh faktor waktu tinggal (dapat diterapkan pada waktu tinggal yang sedikit) sehingga lebih