• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK DUNIA DAN GLOBALISASI PERGESERAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK DUNIA DAN GLOBALISASI PERGESERAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK DUNIA DAN GLOBALISASI

PERGESERAN EKOSISTEM GLOBAL

Oleh :

ALIKHA NOVIRA : 170820140502 FAUSTINA TAMISARI : 170820140504 AHIRUL HABIB PADILAH : 170820140512 FEYBE MARTINI POPPIE WUISAN : 170820140514

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK

UNIVERSITAS PADJADJARAN

(2)

1.1 Latar Belakang

Hubungan Internasional merupakan salah satu studi yang paling berkembang, dan terus akan berkembang sesuai dengan dinamika isu di dunia ini. Salah satu kajian dalam hubungan internasional yang menjadi perhatian dan akan terus berlanjut adalah globalisasi. Globalisasi, merupakan suatu fenomena yang tentu saja dewasa ini, tidak dapat dihindarkan lagi. Apakah kita mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, arus

globalisasi ini akan tetap datang. Secara harafiah, global berarti dunia, dan –isasi

mengacu kepada ‘menjadikan’ – singkatnya, globalisasi berarti ‘menjadikannya

global’. Isu-isu yang bersifat global, dan masalah globalisasi ini sendiri menjadi fokus kajian dalam Hubungan Internasional. Clark melansir bahwa studi hubungan internasional cenderung menggunakan sudut pandang yang pendek dan menguntungkan, melihat globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20.1 Banyak sekali definisi akan konsep globalisasi ini, karena pandangan dan dampak akan globalisasi ini berbeda bagi masing-masing orang. Menurut Held2, globalisasi dapat diartikan sebagai berikut:

A process (or a set of processes) which embodies a transformation in the spatial organization or social relations and transaction – assessed in terms of their extensity, intensity, velocity, and impact – generating transcontinental or interregional flows and networks of activity, interaction, and the exercises of power. (Held, et al, 1997)

Dengan begitu, globalisasi merupakan sebuah proses yang membawa perubahan, transformasi. Arus globalisasi ini identik dengan liberalisasi dan westernisasi, mengapa? karena entry point ini berasal dari faktor ekonomi melalui perdagangan dan cenderung arus ini berasal dari negara-negara barat. Oleh sebab itu sangat identik dengan meluasnya nilai-nilai atau value dari barat. Kedekatan global tidak hanya mempengaruhi dimensi ekonomi – yang merupakan faktor terbesar yang dipengaruhi, namun juga politik, sosial, dan budaya.

1 Ian Clark. 1997. Globalization and Fragmentation: International Relations in the Twentieth

Century. Oxford: Oxford University Press.

2 David Held, et al. 1999. Global transformations: politics, economics and culture. Stanford,

(3)

Dampak dari globalisasi bisa positif dan juga negatif, tergantung dari bagaimana suatu negara menerima arus globalisasi tersebut. Ada yang melihat globalisasi sebagai suatu peluang, dan ada juga yang melihat globalisasi sebagai ancaman. Pengertian globalisasi menurut Jan Art Scholte mencakup lima dimensi yang setiap dari dimensi tersebut mempengaruhi karakteristik setiap aktor dengan interaksinya:3

1. Internationalization

2. Liberalization

3. Universalization 4. Modernization

5. Deterritorialization

Hanya saja, berbicara mengenai globalisasi tidak hanya sekedar membicarakan masalah perubahan, ataupun manifestasi dan difusi, namun juga masalah keamanan. Globalisasi sendiri bersifat bebas dan terbuka, erat kaitannya dengan Liberalisme. Terdapat dua jenis keamanan, yang pertama adalah keamanan tradisional, yang kedua adalah keamanan non-tradisional. Berbicara mengenai keamanan non-tradisional, maka yang dijadian referent object adalah individu. Secara singkat, membicarakan masalah keamanan tradisional, maka berdasarkan kategorisasi Barry Buzan, maka state security menjadi fokus keamanan tradisional, dan keamanan non-tradisional akan membicarakan human security. Isu yang dibahas dalam konsep keamanan tradisional, yaitu mengenai militer dan ideologi. Lalu isu apa yang dibahas dalam keamanan non-tradisional4? Isu yang dibahas dalam keamanan non-tradisional, merujuk kepada permasalahan non-militer dan ideologi. Seperti halnya kesehatan, Hak Asasi Manusia, penyelundupan, demokrasi, lingkungan, terorisme, dan lainnya. Isu lingkungan sendiri menjadi salah satu isu keamanan dalam perspektif

3 Jan Art Scholte. 2000. Globalization: A Critical Introduction. New York: Sint Martin’s

Press. hal.14

4 Budi Winarno. 2014. Dinamika Isu-isu Global Kontemporer. Gejayan, Jogjakarta: CAPS

(4)

tradisional yang cukup menyita perhatian masyarakat global. Isu mengenai lingkungan hidup menjadi salah satu dalam daftar agenda global pada abad ke-21, baik di kalangan pemimpin politik, pejabat pemerintah, ilmuwan, industrialis, maupun dari masing-masing individu itu sendiri. Masalah yang tadinya tergolong ke dalam low politics kemudian disandingkan dengan isu sentral dalam politik dunia – yang saat ini menjadi permasalahan global, sejajar dengan masalah keamanan dan

ekonomi (high politics).5

Isu mengenai lingkungan muncul ke permukaan dan diperdebatkan karena beberapa faktor sebagai berikut6:

1. Dengan berakhirnya rivalitas ideologi, maupun militer dalam Perang Dingin, oleh dua negara superpower, yakni Amerika dan Rusia – maka terdapat kesempatan untuk membahas isu-isu lain yang kemudian menjadi perdebatan negara Barat.

2. Adanya kesadaran publik dan media, terhadap perubahan lingkungan global karena berbagai gejala yang muncul, mengindikasi terjadinya degradasi lingkungan global.

3. Komunitas para Ilmuwan memberikan hasil penelitian mereka dan memberikan informasi terkait dengan kondisi lingkungan kepada dunia dan juga para pembuat kebijakan.

Dalam perkembangannya saat ini, isu lingkungan hidup semakin meluas dan kemudian menjadi perhatian global, karena beberapa hal sebagai berikut7:

5 Winarno. 2014. op.cit.

6 Peter Chalk. 2000. Non-Military Security and Global Order. Oxford: Oxford University

Press, dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hal. 130

7Owen Greene. “Environmental Issues,” dalam John Baylis and Steve Smith (eds.). 1999.

The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations 2nd edition. Oxford:

(5)

1. Masalah lingkungan bersifat global secara inheren.  CFCs

(chloroflourocarbons) yang terlepas ke atmosfir meyebabkan penipisan

ozon stratospheric secara global dimanapun ada CFCs dipancarkan. CFCs terdapat dalam lemari es, Air Conditioning, aerosol, dan lainnya. Menjadi salah satu penyebab terbesar penipisan ozon.

2. Beberapa masalah dikaitkan dengan eksploitasi the global commons, yaitu

sumber-sumber yang menjadi milik bersama. Misalnya seperti laut, atmosfir, ruang angkasa, dan lainnya.

3. Banyak masalah lingkungan hidup yang secara intrinsik transnasional – dalam arti melewati batas negara. Masalah tersebut belum tentu menjadi masalah global, namun karena terjadi di banyak tempat, terjadi di beberapa wilayah di dunia ini, maka itu yang menyebabkan hal tersebut menjadi isu global.

4. Banyak proses eksploitasi berlebihan, menyebabkan degradasi lingkungan hidup yang secara relatif dalam skala nasional – terjadi di sejumlah besar wilayah di dunia, sehingga menyebabkan hal ini dipandang sebagai masalah global. Misalnya, seperti deforestasi untuk usaha mebel, dengan lahan yang akan digunakan untuk pertanian, urbanisasi, lalu kemudian masalah polusi, dan yang lainnya. Lambat laun, masalah eksploitasi yang berujung pada deforestasi berujung pada berkaitan erat dengan masalah

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas mengenai isu lingkungan, rumusan masalah yang akan menjadi bahasan fokus dalam makalah ini adalah:

1.2.1 Bagaimana deforestasi dapat menyebabkan pergeseran ekosistem

global?

1.2.2 Kiat-kiat apa yang sudah dilakukan dalam mengatasi permasalahan

(6)

1.3 Pembahasan

Membicarakan mengenai lingkungan hidup, tentu tidak akan terlepas dari dua pemikiran Environmentalist dan Green Politicians. Pandangan mereka berbeda, walaupun sama-sama berpondasi pada lingkungan. Pemikir environmentalist percaya bahwa struktur politik, sosial, ekonomi, dan normatif mampu mengatasi persoalan lingkungan. Pemikiran mereka sejalan dengan pemikiran institusionalis liberal.

Sebaliknya. Green Politicians berpikir bahwa justru struktur itulah yang menjadi penyebab masalah lingkungan yang ada.8 Maka dari itu mereka berpikir harus mengadakan rekonstruksi struktur yang ada saat ini.9 Mereka berpendapat bahwa negara yang menyebabkan isu lingkungan karena tindakan mereka selalu disertai dengan muatan politik. 10 Pemikiran yang terkenal dari mereka adalah ‘Think Globally, Act Locally’. Makalah ini sendiri condong kepada kaum environmentalist, bahwa struktur yang ada, dipercaya dapat memperbaiki lingkungan. Dengan rezim lingkungan dan juga konsep global governance, diharapkan menjadi struktur yang dapat mengatasi masalah lingkungan, dengan berbagai upaya dan tindakan yang dilakukan.

Periode krisis lingkungan dibagi menjadi dua11:

1. Pada masa pertama dipicu publikasi buku Silent Spring oleh Rachel Carson (1962) mengenai penggunaan pestisida berlebihan di Amerika

2. Pada masa kedua, akar penyebab maupun kebijakan berskala global. Menurut Homer-Dixon terdapat enam sumber: perubahan iklim oleh efek rumah kaca, penipisan ozon, degradasi dan hilangnya tanah pertanian yang subur,

8 Winarno. 2014. op.cit. hal. 141

9 Scott Burchill dan Andrew Linklater. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung:

Nusadua.

10 Ibid. 11

(7)

deforestasi, pengurangan dan polusi suplai air bersih, dan penipisan daerah penangkapan ikan  hal ini menyebabkan scarcity

DEFORESTASI

Deforestasi adalah proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan untuk diambil kayunya atau mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan. Bisa juga disebabkan oleh kebakaran hutan baik yang disengaja atau terjadi secara

alami. Deforestasi mengancam kehidupan umat manusia dan spesies mahluk hidup lainnya. Sumbangan terbesar dari perubahan iklim yang terjadi saat ini diakibatkan oleh deforestasi. Deforestasi adalah masalah global yang terus meningkat dengan konsekuensi-konsekuensi lingkungan dan ekonomi, termasuk beberapa yang mungkin tidak sepenuhnya dipahami sampai terlalu terlambat untuk mencegah mereka. Deforestasi mengacu pada kehilangan atau kerusakan hutan yang terjadi secara alami, terutama akibat aktivitas manusia seperti penebangan, menebang pohon untuk bahan bakar, tebang dan bakar pertanian, pembukaan lahan untuk penggembalaan ternak, operasi pertambangan, ekstraksi minyak, pembangunan bendungan, dan perkotaan atau jenis lain dari ekspansi pembangunan dan populasi. Tidak semua deforestasi disengaja. Beberapa mungkin didorong oleh kombinasi proses-proses alamiah dan kepentingan manusia. Kebakaran hutan membakar bagian besar hutan setiap tahun, misalnya, dan meskipun api adalah bagian alami dari siklus hidup hutan, penggembalaan berikutnya oleh ternak atau satwa liar setelah kebakaran dapat mencegah pertumbuhan pohon muda.

Deforestasi terjadi karena desakan konverasi lahan untuk permukiman, infrastruktur, dan pemanenan hasil kayu untuk industri. Selain itu juga terjadi konversi lahan untuk perkebunan, pertanian, peternakan dan pertambangan.

Berdasarkan catatan organisasi lingkungan WWF, faktor terbesar yang menyebabkan deforestasi antara lain:

(8)

Populasi manusia yang terus membengkak membutuhkan pasokan bahan pangan yang semakin besar. Untuk memenuhi itu, kebun-kebun baru untuk kedelai dan gula di Brasil dibuka secara massif. Permintaan terhadap biofuel juga telah mengakibatkan perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia secara massif.

Illegal Logging

Hampir 50% pemanenan kayu di hutan-hutan alam merupakan illegal logging. Pemerintah di berbagai negara telah mencoba mengawasi mulai dari pemanenan kayu di hutan hingga penjualannya. Namun hal ini belum bisa memberantas illegal logging dengan efektif. Hutan hujan tropis di Brasil, Kongo, Indonesia dan Rusia masih menjadi ajang pembalakan liar.

Kebakaran Hutan

Jutaan hektar hutan telah lenyap akibat kebakaran hutan setiap tahunnya. Deforestasi dari kebakaran hutan lebih banyak dibanding deforestasi akibat konversi pertanian dan illegal logging disatukan. Kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan juga lebih besar, karena berpotensi menghilangkan plasma nutfah dan ancaman langsung bagi manusia, seperti gangguan kesehatan, kehilangan materi, dan jiwa.

Penggunaan Kayu Bakar

Penggunaan kayu untuk bahan bakar di seluruh dunia masih signifikan sebagai salah satu pendorong deforestasi. Setengah dari praktek illegal

logging didorong oleh konsumsi kayu bakar.

Desakan kebutuhan konversi lahan hutan diperparah dengan lemahnya pengawasan dan metode yang digunakan dalam mengelola hutan. Sebut saja misalnya pembersihan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Masih banyak yang menggunakan cara-cara dengan membakar hutan. Metode ini banyak digunakan

(9)

menghilangkan gangguan gulma seperti benih-benih rumput. Namun pada prakteknya metode pembersihan lahan dengan pembakaran sering menyebabkan kebakaran hutan yang tidak terkendali. Akibatnya, ratusan ribu bahkan jutaan hektar hutan yang bukan menjadi sasaran ikut terbakar habis. Hutan masih mencakup sekitar 30% dari permukaan bumi, namun setiap tahun sekitar 12-15 juta hektar hutan (sekitar 78.000 mi2) kira-kira setara dengan empat kali ukuran Kosta Rika lenyap dari muka bumi,

yang dikonversi ke pertanian tanah atau dibersihkan untuk tujuan lain.

Deforestasi terjadi baik di hutan temperate maupun di hutan hujan tropis. Hanya saja saat ini dunia sangat mengkhawatirkan laju deforestasi yang terjadi di hutan hujan tropis. Hal ini tidak terlepas dari penyustan hutan hujan tropis yang sangat besar. Padahal hutan tersebut berfungsi sebagai penyangga kehidupan di bumi yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan menjadi penyimpan cadangan biomassa karbon paling besar. Negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis tercatat mengalami deforestasi signifikan. Negara-negara tersebut diantaranya Brasil, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo. Indonesia merupakan negara dengan deforestasi paling paling parah di dunia. Bila ditarik satu abad kebelakang, Indonesia telah kehilangan 15,79 juta hektar hutan hujan tropis. Luas ini hampir sepertiga dari luas negara Spanyol. Pada tingkat deforestasi saat ini, hutan hujan tropis bisa dihapus sebagai fungsi ekosistem dalam waktu kurang dari 100 tahun.

Gas rumah kaca bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global. Dari sekian jenis gas rumah kaca, karbon dioksida (CO2) merupakan gas rumah kaca yang paling banyak dihasilkan. Untuk kasus deforestasi, emisi CO2 yang dikeluarkan menyumbangkan 6-17% terhadap emisi global. Angka ini menunjukkan deforestasi penyumbang CO2 terbesar kedua setelah pembakaran bahan bakar fosil.

Hutan merupakan penyimpan cadangan karbon yang besar. Lebih dari 300 milyar ton karbon tersimpan di hutan dan pohon-pohon yang ada di bumi. Jumlah

(10)

Jumlah karbon yang terlepas ke atmosfir dalam deforestasi tidak hanya disebabkan oleh lepasnya karbon dari biomassa tumbuhan yang mati. Tetapi juga mengurangi kemampuan bumi untuk menyerap kembali karbon dari atmosfir melalui proses fotosintesis. Selain itu pada tipe-tipe hutan tertentu, seperti hutan gambut, apabila vegetasi pohon di atasnya hilang maka tanah gambut akan melepaskan karbon yang tersimpan di dalam tanah.

Para ilmuwan memperkirakan bahwa 80% dari semua spesies di Bumi hidup di hutan hujan tropis. Deforestasi di wilayah-wilayah menghapuskan habitat kritis, mengganggu ekosistem dan menyebabkan kepunahan banyak spesies potensi, termasuk spesies tak tergantikan yang bisa digunakan untuk membuat obat-obatan, yang mungkin penting untuk penyembuhan atau pengobatan yang efektif penyakit dunia yang paling menghancurkan. Deforestasi yang berkontribusi pada pemanasan global juga memiliki dampak signifikan pada perekonomian global. Sementara beberapa orang dapat menerima manfaat ekonomi langsung dari kegiatan yang mengakibatkan deforestasi, keuntungan jangka pendek yang mereka terima tidaklah dapat mengimbangi berbagai kerugian jangka panjang yang ada.

Contoh Kasus: Kerusakan Hutan di Kalimantan

Penebangan hutan secara ilegal (illegal logging) sebenarnya persoalan klasik bagi masyarakat Indonesia. Setiap hari, kegiatan tersebut marak dilakukan di sejumlah kawasan hutan dengan diketahui petugas instansi berwenang, aparat dan masyarakat setempat. Meskipun berkali-kali diberitakan bahwa penertiban terus diupayakan, namun penebangan dan perusakan hutan semakin merajalela.

Di kabupaten Ketapang misalnya, sasaran penebangan liar adalah Taman Nasional Gunung Palung. Sasaran penebangan adalah pohon-pohon dengan jenis Kayu Ramin, Meranti, Klansau, Mabang, Bedaru, dan jenis Kayu Tengkawang yang

(11)

pengangkutan ini berlangsung siang dan malam dihadapan mata aparat instansi

berwenang tanpa ada pemungutan dana reboisasi dan pajak lainnya “.

Sekitar 80 % dari 90.000 ha luas TNGP sudah dirambah para penebang dan mengalami rusak berat yang membawa dampak bagi masyarakat dan ekologi lingkungan di sekitarnya. Dampak kerusakan terhadap ekologi lingkungan menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi hutan itu sendiri maupun

lingkungan di sekelilingnya. Kerugian di bidang Ekonomi, terbukti setiap hari kayu ilegal berbentuk balok yang diselundupkan dari Kal-Bar ke Serawak mencapai 10.000 m kubik. Kayu-kayu ini terbebas dari iuran resmi seperti dana reboisasi, provisi sumber daya hutan, dan pajak ekspor. Diprediksi kerugian negara mencapai Rp. 5,35 milyar per hari, atau sekitar Rp 160,5 milyar perbulan. Masalah degradasi tanah Akibat penebangan liar yang terjadi di kalimantan banyak lahan kering yang tidak digarap. Akibatnya erosi menjadi mudah terjadi dan tanah berkurang kesuburannya.

Masalah pemanasan global, akibat yang akan muncul akibat pemanasan global ini, antara lain terjadinya perubahan iklim. Hal ini akan mempercepat penguapan air sehingga berpengaruh pada curah hujan dan distribusinya. Akibat selanjutnya adalah terjadinya banjir dan erosi di daerah-daerah tertentu. Seperti kasus yang terjadi di Pontianak (Kalimantan Barat) yang menelan korban materi dan nyawa yang sangat besar. Masalah kepunahan keranekaragaman hayati menurut penelitian para ahli, dikatakan bahwa jumlah spesies binatang atau spesies burung semakin berkurang, khususnya di Kalimantan Barat. Akibat penebangan hutan yang dilakukan terus menerus, banyak hewan yang menyingkir dan mencari habitat yang baru. Misalnya, harimau Kalimantan semakin terjepit karena tempat tinggalnya semakin sempit dan terus di babat.

Laporan FAO tahun 1989, laju kerusakan hutan di Kalimantan mencapai lebih

(12)

Indonesia. Menurut Save Our Borneo (SOB), Juni 2008 sekitar 80 persen kerusakan hutan di Kalimantan karena pengembangan sawit oleh perusahaan besar. Sekitar 20 persen karena pertambangan dan transmigrasi. Selain dari itu, saat ini makin banyak izin penambangan batu bara yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan di Kalimantan. Kondisi ini khawatir menyebabkan kerusakan lingkungan yang meluas. Gusti yang adalah Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan

Selatan itu juga memperkirakan, model penambangan batu bara saat ini mengulang kesalahan sama seperti pada penjualan kayu dari hutan-hutan Kalimantan.

Banjir yang terjadi di beberapa tempat di Kalimantan akibat kerusakan hutan. Banjir hanya salah satu akibat dari kerusakan hutan yang berdampak pada lingkungan hidup. Tidak hanya banjir pada musim hujan,bahaya kekeringan terjadi ketika musim kemarau datang. Di sini hutan berfungsi sebagai pengatur hidro-orologis bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Selain banjir dan kekeringan, masih banyak lagi dampak negatif dari kerusakan hutan. Kerusakan lingkungan hutan seperti ini merupakan kerusakan akibat ulah manusia yang menebang pada daerah hulu sungai bahkan pembukaan hutan yang dikonversi dalam bentuk penggunaan lain.

Tak hanya dari itu kebakaran hutan yang cukup besar menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca. Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi

udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan.

(13)

Kerugian karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan penerbangan, dan kecelakaan transportasi di darat, dan di air memang tidak bisa diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia dan Thailand

Protokol Kyoto

Dengan berdasarkan banyak sekali isu – isu yang berkaitan dengan perubahan iklim akhir –akhir ini, yang biasa kita kita dengar mengenai climate change atau perubahan iklim atau yang sangat populer yaitu Global Warming atau pemanasan global . yang tidak bisa dipungkiri bahwa manusia merupaka pelopordari adanya isu

– isu ini dikarenakan manusia yang semakin lama menjadi manusia yang konsumtif yang tidak pernah puas,mengambil keuntungan dari bumi tanpa memperhitungkan akibatnya dan juga yang menyediakan kebutuhan manusia berasal dari alam dan sangat disayangkan manusia menjadi aktor utama yang tidak sadar untuk menjamin pelestarian alam itu sendiri. Banyak sekali ahli – ahli dan juga masyarakat yang sangat gencar – gencarnya membuat kampanye “TO SAVE THE EARTH”. Para pemimpin duniapun merasa perlu membuat ketentuan dalam rangka mengurangi pencemaran yang ternadi di bumi ini. Dalam KTT Bumi tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janerio, Brasil tahun 1992, telah disepakati berbagai rencana besar yang terkait dengan upaya konservasi lingkungan bumi dan pada saat yang sama juga meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Termasuk diantaranya adalah kesepakatan terhadap dokumen mengenai Konvesi Kerangka Kerja PBB tetang Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention and Climate Chanfe - UNFCCC), yang diklarifikasi oleh pemenritah Indonesia melalui Undang – Undang

(14)

1992 (UNFCCC) yang berisi mekanisme dalam mereduksi emisi gas rumah kaca yang sangat berpengaruh terhadap iklim.

Menurut rilis pers PBB Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun

2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."

Ada enam negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi protokol itu. Tiga di antaranya adalah negara-negara Annex I:

1. Australia (tidak berminat untuk meratifikasi) 2. Monako

3. Amerika Serikat -- AS, pengeluar terbesar gas rumah kaca, tidak berminat untuk meratifikasi.

4. Sisanya adalah: Kroasia, Kazakhstan, dan Zambia. AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang.

Kerangka Konvensi Perubahan Iklim dibuka untuk penandatanganan dari 04-14 Juli 1992 di Rio de Janeiro pada Konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan dan dari 20 Juni 1992 hingga 19 Juli 1993 di New York. Konvensi mulai berlaku pada tahun 1994. saat ini, 195 negara, termasuk Rusia, merupakan

(15)

dalam stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tersebut yang akan mencegah buatan manusia dampak berbahaya terhadap lingkungan. Area Jenderal memerangi perubahan iklim global yang diatur dalam Konvensi (itu sebabnya konvensi adalah karakter kerangka). Agar dapat mengoptimalkan biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan kewajiban untuk mengurangi dan membatasi emisi gas rumah kaca, Protokol Kyoto menetapkan disebut mekanisme fleksibilitas

memungkinkan untuk perdagangan di kuota emisi antara negara-negara anggota dan partisipasi mereka dalam Proyek Implementasi Bersama.

Peranan Protokol Kyoto

1. Merumuskan mekanisme dan target penurunan emisi secara transparan 2. Mekanisme antar negara maju dan antara negara maju berkembang maju 3. Target penurunan emisi dalam perode komitmen pertama (2008 2012) sebesar

5% di bawah tingkat emisi tahun 1990 atau sebesar 13.7 Gt 2008-2012

4. Setiap negara maju ) memiliki komitmen yg berbeda sesuai dengan tingkat emisinya pada tahun 1990

5. Negara berkembang tidak memiliki obligasi untuk menurunkan emisi

Kyoto Protocol: Sectors/source Categories:

1. Energi : pembakaran bahan bakar, emisi buronan dari bahan bakar

2. proses industriproduk mineral, industri kimia, produksi logam, produksi lainnya dll

3. Pelarut dan lainnya penggunaan produk 4. Pertanian

5. Limbah : Pembuangan limbah padat di tanah, penanganan air limbah, pembakaran sampah dll.

(16)

1. Conference of the Parties (COP) 2. Secretariat

3. Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) 4. Subsidiary Body for Implementation (SBI)

5. Joint Working Group on Compliance (JWG)

6. National UNFCCC focal points 7. National CDM authorities (DNA) 8. Others (IPCC, GEF etc.)

Kyoto Protocol : Implementasi Dari Mekanisme – Mekanisme

1. Implementasi bersama : Kegiatan yang dilaksanakan bersama-sama antara dikembangkan / Pihak negara EIT (ERU)

2. Perdagangan emisi : Dapat digunakan sebagai pelengkap untuk tindakan untuk memenuhi komitmen pengurangan (AAU)

3. Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) : Pihak negara berkembang dapat secara sukarela mengurangi emisi melalui kegiatan bersama dengan Partai maju (CER)

Salah satu Program dari Kyoto Protocol adalah Clean Development Mechanism (CDM) dimana CDM Protokol Kyoto memungkinkan diterapkannya tiga mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanisms) agar negara Annex I dapat tetap memenuhi komitmennya dengan biaya yang tidak terlalu tinggi. Ketiga mekanisme

tersebut adalah:

1. Joint Implementation (JI), kerjasama antara sesama negara Annex I

(17)

2. International Emission Trading (IET), perdagangan ERU antara Negara Annex I;

3. Clean Development Mechanism (CDM), pada dasarnya adalah gabungan dari JI dan IET yang berlangsung antara negara Annex I dengan negara non-Annex I dengan persyaratan mendukung pembangunan berkelanjutan di negara non-Annex I. Komoditas yang digunakan bukanlah ERU

melainkan CER (Certified Emission Reduction) yaitu jumlah penurunan emisi yang telah disertifikasi.

Clean Development Mechanism merupakan salah satu upaya negara-negara di dunia yang merasa khawatir bahwa dunia tidak akan dapat mendukung kehidupan manusia dengan stabil akibat adanya perubahan iklim yang ekstrim yang dipengaruhi oleh adanya efek Gas Rumah Kaca. Gas Rumah Kaca akan menyebabkan temperatur bumi meningkat dan berpengaruh besar terhadap perubahan iklim. Protokol Kyoto memperbolehkan negara-negara maju untuk mencapai target pengurangan emisinya melalui tiga jenis mekanisme yaitu Emissions Trading (perdagangan emisi di antara negara maju); Joint Implementation (transfer emisi di antara negara maju melalui proyek khusus pengurangan emisi); dan CDM. CDM merupakan mekanisme pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di negara maju dengan melibatkan negara berkembang. Mekanisme ini memungkinkan negara maju untuk mencapai sebagian keharusan pengurangan emisi melalui proyek di negara berkembang yang dapat mengurangi emisi atau sequester CO2 dari atmosfir. Saat ini negara-negara berkembang tidak memiliki kewajiban untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang mereka hasilkan. Akan tetapi mereka dapat berpartisipasi secara sukarela dalam pengurangan emisi global dengan menjadi tuan rumah bagi proyek

pelaksanaan CDM.

CDM memungkinkan pemerintah dan pihak swasta di negara Annex I untuk

(18)

dalam negerinya sendiri (domestic action). Oleh karenanya, CDM beserta dengan dua mekanisme lainnya dikenal sebagai mekanisme flexisbiliti (flexibility mechanisms). Dalam melaksanakan CDM, komoditi yang diperjualbelikan adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi yang biasa dikenal sebagai CER (Certified Emission Reduction). CER ini diperhitungkan sebagai upaya Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini serta dengan nilai penurunan emisi yang dikenal secara domistik dank

arena dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan emisi GRK Negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B protocol Kyoto. Meskipun belum diputuskan, pada dasarnya CDM dapat dilakukan dengan tiga cara (dikenal sebagai CDM architecture), yaitu:

1. Bilateral CDM pelaksanaan CDM antara satu Negara Annex I dan satu Negara berkembang. Pada umumnya CDM ini dilakukan dalam bentuk investasi asing yang besarnya serta dengan potensi reduksi emisi GRK yang dapat dihailkan olleh kegiatan tersebut.

2. Multilateral CDM dengan mekanisme yang serupa dengan bilateral CDM tetapi berlangsung tidak antara satu Negara Annex I dan satu Negara berkembang, melainkan antara beberapa Negara Annex I dengan beberapa

Negara berkembang melalui sebuah lembaga “Clearinghause”.

3. Unilateral CDM pelaksanaan kegiatan yang memiliki potensi reduksi emisi GRK dibiayai dengan investasi domestic. Pada gilirannya, investor dalam negeri ini akan mendapatkan CER yang nantinya dapat dijual kepada Negara Annex I.

Indonesia sebagai salah satu Negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2004 pada tanggal 23 Juni 2004 telah

melalukan beberapa langkah dalam rangka pelaksanaan ketentuan Protokol khususnya seperti membentuk KMPB (Komisi Mekanisme Pembangunan Bersih)

(19)

Hubungan Antara UNFCCC, Protokol Kyoto Dan REDD

REDD merupakan suatu pendekatan dan aksi yang dapat mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Seperti yang menjadi tujuan dari Protokol Kyoto dan UNFCCC sendiri yaitu adanya pengurangan emisi (emission reduction). REDD berpotensi mengurangi emisi GRK dengan biaya rendah dan waktu yang singkat dan pada saat yang sama membantu mengurangi tingkat kemiskinan dan memungkinkan

pembangunan berkelanjutan. REDD dianggap sebagai cara paling nyata, murah, cepat dan saling menguntungkan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK); nyata karena seperlima dari emisi GRK berasal dari deforestasi dan degradasi hutan (DD); murah karena sebagian besar DD hanya menguntungkan secara marjinal sehingga pengurangan emisi GRK dari hutan akan lebih murah ketimbang alat atau instrumen mitigasi lainnya; cepat karena pengurangan yang besar pada emisi GRK dapat dicapai dengan melakukan reformasi kebijakan dan tindakan-tindakan lain yang tidak tergantung pada inovasi teknologi; saling menguntungkan karena berpotensi untuk memperoleh pendapatan dalam jumlah besar dan perbaikan kepemerintahan dapat menguntungkan kaum miskin di negara-negara berkembang dan memberikan manfaat lingkungan lain selain yang berkaitan dengan iklim.

REDD Plus

REDD+ menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negaranegara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah:

1. mengurangi emisi dari deforestasi dan

2. mengurangi emisi dari degradasi hutan

(20)

1. peranan konservasi

2. pengelolaan hutan secara lestari 3. peningkatan cadangan karbon hutan

Proposal REDD pada umumnya bertujuan mengurangi GRK dengan biaya serendah-rendahnya, dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Proposalproposal tersebut dapat dievalusi berdasarkan kriteria 3E (Stern 2008): Apakah mekanisme ini

mencapai target emisi GRK (efektivitas)? Apakah target dicapai dengan biaya serendah mungkin (efisiensi)? Bagaimana manfaat dan tanggung jawab tersebar di antara para pihak dan apakah manfaat tambahannya (ekuitas dan manfaat tambahan)? Tantangan yang dihadapi oleh dunia internasional adalah memastikan bahwa skema yang akan diterapkan oleh UNFCCC dapat memberikan—dan tidak menutup— kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk dapat melaksanakan REDD sehingga dapat membawa manfaat tambahan berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan, perlindungan hak azasi manusia, dan jasa lingkungan nonkarbon, serta menghindari pengaruh yang merugikan.

KESIMPULAN

Permasalahan lingkungan merupakan isu non-tradisional, yang secara inheren bersifat global dan tidak dapat dibaikan. Ketika permasalahan lingkungan ini menjadi perhatian global, banyak pemikiran-pemikiran yang berpondasi pada lingkungan dan berusaha memberikan pandangan akan pentingnya isu lingkungan dan upaya mengatasinya. Dengan melihat struktur-struktur yang ada, fokus terhadap dimensi

environmentalist lebih condong untuk membawa keberhasilan, asalkan dijalankan sesuai dengan prosedur dan yang seharusnya. Masalah deforestasi disini dianggap sebagai salah satu isu lingkungan yang cukup banyak memberikan andil dalam perubahan iklim dan juga kerusakan lingkungan. Dengan berbagai progam yang dicanangkan oleh berbagai organisasi internasional, institusi dan bahkan LSM yang

(21)

diharapkan isu lingkungan ini dapat diatasi mengingat bumi yang semakin parah kerusakannya.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Angelsen, A dan Atmedja S. 2010. Melangkah Maju dengan REDD; Isu, Pilihan dan Implikasi. CIFOR. Bogor. Indonesia

Babiker, M. H., and Jacoby, H. D. 1999. Developing country effects of Kyoto-type emissions restrictions. Joint Program on the Science and Policy of Global Change Report No. 53. Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge

Burchill, Scott dan Andrew Linklater. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusadua.

Chalk, Peter. 2000. Non-Military Security and Global Order. Oxford: Oxford University Press, dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Clark, Ian. 1997. Globalization and Fragmentation: International Relations in the Twentieth Century. Oxford: Oxford University Press.

Greene, Owen. “Environmental Issues,” dalam John Baylis and Steve Smith (eds.). 1999. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations 2nd edition.

Oxford: Oxford University Press.

Held, David, et al. 1999. Global transformations: politics, economics and culture. Stanford, California: Stanford University Press

Indonesia and Climate Change; Current Status and Policy. 2007. PEACE

Scholte, Jan Art. 2000. Globalization: A Critical Introduction. New York: Sint Martin’s Press.

Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-isu Global Kontemporer. Gejayan, Jogjakarta: CAPS (Center of Academic Publishing Service)

Publikasi

REDD Plus dalam Struktur Negosiasi global. Versi September 2011. Foundation for International Environmental Law and Development.

(22)

United Nations 1992. Framework Convention on Climate Change. United Nations, New York.

United Nations. 1997. Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change , Conference of the Parties on Its Third Session, FCCC/CP/1997/L.7/Add.1,0 December

Website

http://www.fairclimate.com/

http://www.cifor.org/publications/

http://unfccc.int/methods_science/redd

http://www.redd-indonesia.org/

http://cdmrulebook.org/

http://www.gazprom.com/nature/kioto/

http://www.unep.org

http://unfccc.int/

http://communitycarbonfund.org

http://agiwoles.blogspot.co.id/

http://www.antaranews.com/berita/49890/253-kasus-pembalakan-liar-terjadi-di-kalbar

http://news.liputan6.com/read/86820/menekan-penebangan-liar-di-kalimantan-barat

http://wwf.panda.org/about_our_earth/deforestation/

http://www.worldwildlife.org/threats/deforestation

http://environment.nationalgeographic.com/environment/global-warming/deforestation-overview/

Referensi

Dokumen terkait

selain itu mereka tak lupa untuk menggosok gigi menggunakan sikat gigi yang diberi pasta gigi sehingga gigi mereka menjadi putih dan kuat bobi dan nita juga terhindar dari

mendukung round-trip engineering dan reserve engineering pada kode bahasa pemrograman seperti Visual Basic 6.0, dapat memberikan gambaran visual mengenai sistem yang akan

Proses ini juga ditujukan untuk membuat biskuit tile lebih kuat dari green tile, karena dalam pembakaran kadar air yang terdapat dalam green tile terserap sehingga membuat

Berdasarkan hasil simulasi dan visualisasi yang dilakukan maka logam penghantar listrik yang terbaik diberikan oleh logam tembaga sebagai penghantar listrik karena dengan nilai

Untuk dapat menjawab pertanyaan dari rumusan masalah, digunakan teori rational choice , agar dapat mengetahui kebijakan yang diambil oleh sebuah negara berdasarkan

Laporan yang dihasilkan dari data warehouse akan disajikan secara visual menggunakan diagram batang, garis, maupun pie yang dapat dilihat secara multidimensi berdasarkan dimensi

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jumlah individu di stasiun Bahowo jauh lebih banyak dibanding- kan dengan jumlah individu di stasiun Batu meja dan Rap-Rap,

Pada modul ini, praktikan akan membuat dan melakukan simulasi untuk implementasi filter realtime dengan menggunakan Dev-C++.. Pada modul ini juga dikenalkan isu numerik