• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN CILACAP LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM) IAIN PURWOKERTO Kerjasama Dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN CILACAP LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM) IAIN PURWOKERTO Kerjasama Dengan"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

i

Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Cilacap

Tentang

Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas

Dan Anak Terlantar

SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

(LPPM) IAIN PURWOKERTO Kerjasama

(2)

ii

D

AFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Identifikasi Masalah 8

C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik 8

D. Metode Analisis Naskah Akademik 9

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS

A. Kajian Teoritis 11

B. Kajian Empiris 54

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT 57

BAB IV KAJIAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

A. Kajian Filosofis 87

B. Kajian Sosiologis 89

C. Kajian Yuridis 92

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase 99

B. Muatan Materi Peraturan Daerah 102

BAB VI PENUTUP 105

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TENTANG PERLINDUNGAN ANAK PENYANDANG

(3)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia meru-pakan salah satu amanat konstitusi negara Republik Indone-sia. Upaya perubahan yang telah dilakukan dalam bidang hu-kum adalah dengan memasukan jaminan HAM bagi warga ne-gara dalam konstitusi, yaitu Undang Undang Dasar Nene-gara Re-publik Indonesia 1945 (UUD RI 1945). Dalam amandemen ke-dua UUD RI 1945 dimasukan ketentuan mengenai HAM, yang dicantumkan dalam Bab tambahan, yaitu Bab XA. Penambah-an jaminPenambah-an HAM dalam konstitusi merupakPenambah-an bukti bahwa bangsa Indonesia dengan serius ingin mendorong penghormat-an, perlindungpenghormat-an, dan pemenuhan HAM oleh negara bagi war-ga newar-garanya. Upaya tersebut juwar-ga sebawar-gai satu langkah nyata dalam membentuk Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis.1

Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM ter-hadap warga negara dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Ruang lingkup warga negara dalam hal ini luas, mencakup siapapun tanpa terke-cuali sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UUD RI 1945, termasuk di dalamnya penyandang disabilitas. Penegas-an mengenai lingkup itu sPenegas-angat penting, karena HAM bagi pe-nyandang disabilitas masih kerap diabaikan, bahkan dilang-gar. Pelanggaran terjadi karena penyandang disabilitas tidak dianggap sebagai bagian dari warga negara, bahkan juga tidak dianggap manusia.2

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Repu-blik Indonesia Tahun 1945 tercantum tujuan negara yang sa-lah satunya adasa-lah memajukan kesejahteraan umum. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka Negara terutama pemerintah memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memenuhi Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut. Dimana kewajiban dan tanggungjawab juga tercantum secara eksplisit dalam Pasal 28 I ayat (4) bahwa “perlindungan, pemajuan. penegakan

1

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstiusi, 2008), hlm. 9

2

(4)

2

dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara terutama pemerintah”. Berdasarkan pembukaan dan pasal 28 I ayat (4) UUD RI Tahun 1945 tersebut, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk memenuhi hak asasi manusia.

Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan marta-bat manusia. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang seca-ra kodseca-rati melekat pada diri manusia bersifat universal, perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan terutama terhadap kelompok rentan, khususnya anak penyandang disabilitas dan anak terlantar.

Secara resmi istilah Penyandang Disabilitas digunakan dalam dokumen kenegaraan sebagai pengganti istilah penyan-dang cacat, dengan diunpenyan-dangkannya unpenyan-dang-unpenyan-dang penge-sahan International Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Penyandang disabilitas dipilih sebagai terjemahan istilah persons with disabilities yang sebelumnya diterjemah-kan penyandang cacat.

Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau

Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) la-hir setelah puluhan tahun PBB bekerja untuk mengubah sikap dan pendekatan terhadap penyandang disabilitas. CRPD meru-pakan wujud puncak perubahan paradigma gerakan disabilitas dari cara pandang lama yang melihat para penyandang disabi-litas sebagai "obyek" amal, pengobatan dan perlindungan sosial (charity atau social-based) berubah menjadi human rights-based.

Dengan paradigma baru penyandang disabilitas diposisi-kan sebagai "subyek" yang memiliki hak, yang mampu meng-klaim hak-haknya, dan mampu membuat keputusan untuk kehidupan mereka secara merdeka berdasarkan kesadaran sendiri serta menjadi anggota masyarakat secara aktif.3

Penyandang disabilitas juga banyak mengalami hambat-an, dalam mobilitas fisik maupun dalam mengakses informasi,

3

(5)

3

yang selanjutnya akan menghambat untuk terlibat dan berpar-tisipasi dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Peng-guna kursi roda sangat sulit untuk beraktivitas di luar rumah karena lingkungan mereka sangat tidak aksesibel. Demikian pula penyandang tuna netra tidak banyak bisa mengakses ber-bagai informasi, pengetahuan yang berkembang sangat cepat.

Landasan kesetaraan bagi penyandang disabilitas terle-tak pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Kondisi “disabilitas,” merupakan ham -batan yang dialami oleh seseorang dalam menjalankan akti-vitas disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak mudah diakses (accessible). Dengan cara pandang ini, solusi permasa-lahannya ada pada intervensi negara terhadap lingkungan tempat beraktivitas, sehingga penyandang disabilitas lebih

accessible dan comfortable.

Penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak pe-nyandang Disabilitas merupakan kewajiban negara. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak Penyandang Disabi-litas. Penyandang Disabilitas selama ini mengalami banyak diskriminasi yang berakibat belum terpenuhinya pelaksanaan hak penyandang disabilitas.

Menurut data World Health Organization (WHO), jumlah penyandang cacat di negara-negara berkembang mencapai 10% (sepeluh per seratus) dari total penduduk keseluruhan. Pada tahun 2009 Badan Pusat Statistik menerbitkan statisik disabilitas dalam SUSENAS 2009. Yang menggunakan katego-risasi kecacatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (se-lanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997). Statistik tersebut menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat di pedesaan berjumlah 1.198.185 jiwa, sementara di per-kotaan berjumlah 928.600 jiwa, sehingga jumlah totalnya se-banyak 2.126.785 jiwa.

(6)

4

Tuna Rungu Wicara 13,73 %, Tuna Daksa 31,71 %, Tuna Grahita 22,07 %, Tuna Ganda 8,25 %, dan Gangguan Jiwa 2,29 %. Anak dengan disabilitas mempunyai berbagai macam jenis hambatan.4

Mengacu pada banyaknya jumlah penyandang disbilitas, semestinya memang tidak terjadi pembedaan perlakuan peme-nuhan hak antara orang yang normal dengan penyandang disabilitas. Dalam segala hal yang berurusan dengan aktivitas fisik, para penyandang disabilitas mengakui dan menyadari, bahwa mereka memang “beda”, bukan dalam arti kemampuan, namun lebih pada mode of production atau dalam cara-cara berproduksi. Seringkali cara pandang masyarakat dalam me-lihat hasil kerja kaum penyandang disabilitas mengacu kepada pendekatan kuantitas. Hal ini tentu akan menjadi bias dan mempertegas perbedaan tersebut sehingga perlu dikasihani. Dari segi kualitas, terasa sulit untuk melakukan penilaian atas hasil karya penyandang disabilitas dengan orang umum lain-nya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa secara praktis banyak karya mengagumkan yang dihasilkan para pe-nyandang disabilitas.

Anak-anak penyandang disabilitas menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan itu mempengaruhi mereka dalam ber-bagai tingkatan tergantung dari jenis disabilitas yang mereka alami, di mana mereka tinggal dan budaya serta kelas sosial mereka. Gender juga merupakan sebuah faktor penting. Anak-anak perempuan penyandang disabilitas juga kecil kemungkin-an untuk mendapatkkemungkin-an pendidikkemungkin-an, mendapatkkemungkin-an pelatihkemungkin-an kerja atau mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan anak laki-laki dengan disabilitas atau anak perempuan tanpa dis-abilitas. Anak-anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini menyebabkan mereka menjadi lebih rentan.

Diskriminasi karena disabilitas berujung pada margina-lisasi dari sumber daya dan pembuatan keputusan, dan bah-kan pada kematian anak. Pengucilan seringkali muncul dari invisibilitas. Tidak banyak negara yang memiliki informasi yang bisa diandalkan tentang berapa banyak warganya yang merupakan anak-anak penyandang disabilitas, disabilitas

4

Gabriela Chrisnita Vani, dkk, “Pengasuhan (Good Parenting) Bagi Anak dengan

(7)

5

cam apa yang mereka alami atau bagaimana disabilitas ini mempengaruhi kehidupan mereka.5

Disabilitas merupakan isu multisektor, tidak hanya teri-kat pada sektor sosial saja. Isu disabilitas juga berkaitan de-ngan sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, transporta-si, komunikatransporta-si, dan sektor lainnya. Hal itu menyebabkan peru-bahan yang akan dilakukan ke depan haruslah saling beriring-an dberiring-an harmonis, beriring-antara satu kebijakberiring-an dengberiring-an kebijakberiring-an la-innya.

Saat ini isu disabilitas dilekatkan hanya pada sektor so-sial, sehingga leading sector Pemerintah untuk isu disabilitas adalah Kementerian Sosial. Paradigma itu harus segera diko-reksi dengan melekatkan isu disabilitas pada beragam sektor yang terkait. Kondisi saat ini, ada beragam kebijakan yang ber-kaitan dengan isu disabilitas, tetapi keberadaan kebijakan itu masih saling terpisah, bahkan tidak harmonis satu dengan yang lainnya.

Dalam upaya memenuhi hak tersebut di atas, maka pe-merintah harus melakukan tindak pepe-merintahan, baik berupa tindakan nyata dan tindakan hukum seperti membentuk per-aturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya. Berdasar-kan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan bahwa setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan pada wewenang, dimana we-wenang wajib didasarkan pada peraturan peraturan perun-dang-undangan. Hal ini sesuai dengan asas penyelenggaraan pemerintahan bahwa Indonesia adalah Negara hukum, dimana dalam prinsip negara hukum mensyaratkan penyelenggaraan pemerintahan harus dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersandarkan pada peraturan perundang-un-dangan.

Tahun 2011 merupakan tonggak yang memberikan arti penting penyandang disabilitas di Indonesia setelah tiga tahun lebih, semenjak 30 Maret 2007 lalu Indonesia menandatangani Konvensi tentang Hak Penyandang disabilitas (UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD), akhirnya pada 18 Oktober 2011 Indonesia telah meratifikasi CRPD tersebut, dan berikutnya pada tanggal 10 November 2011 terbit Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Pe-nyandang Disabilitas (Undang-Undang Pengesahan CRPD) No. 19 tahun 2011.

5 Unicef, “Anak Penyandang Disabilitas”,

(8)

6

Istilah penyandang disabilitas secara resmi digunakan di Indonesia semenjak diratifikasinya konvensi PBB tentang hak penyandang disabilitas atau “the UN convention on the rights of

persons with disabilities” pada November 2011 lalu melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Perubah-an paradigma tersebut memiliki perPerubah-anPerubah-an yPerubah-ang sPerubah-angat penting dalam merekonstruksi pemahaman serta memiliki konotasi yang lebih positif dari pemahaman yang awalnya cenderung bersifat charity (belas kasihan) menjadi semangat kesetaraan hak.

Penyandang disabilitas sendiri merupakan kelompok rentan yang seringkali mengalami kondisi demikian dimana sebagian besar keluarga penyandang disabilitas berada di bawah garis kemiskinan. Menurut Harper (2009), bahwa seki-tar 20% orang-orang termiskin di dunia adalah penyandang disabilitas. Sebesar 98% anak-anak penyandang disabilitas di negara sedang berkembang tidak bersekolah, 30% anak-anak jalanan di dunia adalah penyandang disabilitas, dan tingkat melek huruf penyandang disabilitas dewasa hanya 3%. Dalam konteks Indonesia, Survei Departemen Sosial di 24 Provinsi menyebutkan bahwa tingkat pendidikan kaum disabilitas pada umumnya tidak sekolah atau tidak tamat SD sekitar 60%, dan hampir mayoritas 89% dari mereka tidak memiliki keterampil-an yketerampil-ang dibutuhkketerampil-an di dunia kerja.

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia. Mengingat pembentukan Negara dalam sistem demokrasi dan Negara hukum merupakan kehendak rakyat se-cara kolektif, maka pemerintah bersama semua elemen penye-lenggara Negara lainnya yang dilekati kewajiban untuk bertin-dak atau mengambil kebijakan sesuai batas kewenangan da-lam menjalankan tugas dan fungsi Negara, semua itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholder Negara.

Salah satu tanggungjawab yang harus dilakukan oleh penyelenggara Negara kepada rakyat atau warga negaranya adalah penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM. Hal tersebut diamanatkan sendiri oleh UUD 1945 khususnya pada pasal 28 (i) ayat 4 hasil amandemen ke-2 yaitu: “Perlin -dungan, Negara, terutama pemerintah.”

(9)

Ke-7

wajiban Warga Negara Pasal 5 menyebutkan bahwa: (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki ke-lainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.6

Penyandang disabilitas banyak menghadapi hambatan, pembatasan dalam banyak bentuk sehingga sulit mengakses pendidikan yang memadai serta pekerjaan yang layak. Mereka sulit mendapatkan pekerjaan sebagai sumber mata pencaha-rian, sehingga banyak kebutuhan hidupnya belum tercukupi, bahkan harus bergantung pada orang lain. Terbatasnya pendi-dikan, keterampilan dan keahlian yang dimiliki penyandang Disabilitas pada akhirnya dijadikan alasan oleh banyak lembaga dan dunia usaha untuk menolak mereka ketika akan mencari kerja. Kemampuan dan prestasi mereka diragukan. Akibat lebih lanjut adalah tingginya angka penyandang Disabilitas yang tidak bisa mengakses lapangan kerja dan tidak memiliki penghasilan yang dapat dijadikan sumber bagi kemandirian dan kehidupannya. Disinilah terjalin pertautan yang sangat kuat antara disabilitas dan kemiskinan.

Penyandang disabilitas sering mengalami pengorbanan ganda (double victimization), di satu sisi telah menjadi korban kejahatan dan disisi lain menjadi korban atas stigma negatif serta ketertutupan akses keadilan akibat pemaknaan dan penafsiran sempit tersebut. Salah satu contoh dalam praktik penegakan hukum, terdapat dua kontroversi penting yang harus diselesaikan. Pertama, kontroversi tersebut berkaitan dengan kasus dimana penyandang disabilitas sebagai korban perbuatan pidana dan penyandang disabilitas sebagai pelaku perbuatan pidana. Beberapa kasus mengafirmasi bahwa ketika penyandang disabilitas menjadi korban perbuatan pidana, maka aparat penegak hukum terkesan “malas” dan kesulitan untuk merekonstruksi hukum untuk mengadili pelaku. Dengan alasan korban tidak dapat memberikan kesaksian yang memadai, maka proses peradilan perbuatan pidana tersebut tidak diteruskan. Pada kasus ini, aparat penegak hukum lupa bahwa korban, siapapun dia, seperti apapun kondisi fisik dan mentalnya, mereka adalah manusia yang memiliki hak atas perlindungan dari ancaman dan praktik perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain. Di sinilah letak kewajiban Negara untuk melindungi hak asasi manusia warga negaranya, siapapun dia.

6

(10)

8

Kondisi kesulitan akses dan minimnya perlindungan atas hak-hak penyandang disabilitas dan anak terlantar terjadi pula di Kabupaten Cilacap. Kondisi inilah yang menjadi alasan utama mengapa harus disusun Peraturan Daerah yang dapat dijadikan dasar hukum untuk meningkatkan kualitas hidup dan menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyan-dang disabilitas di Kabupaten Cilacap.

B. Identifikasi Masalah

Berdasakan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, beberapa masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Kurang maksimalnya pelayanan Pemerintah Daerah terha-dap perlindungan anak penyandang disabilitas dan anak terlantar dalam memperoleh pelayanan hak-hak dasar seba-gai warga Negara dalam berbaseba-gai bidang kehidupan

2. Banyaknya anak penyandang disabilitas dan anak terlantar tidak sebanding dengan penyediaan infrastruktur yang men-dukung terpenuhinya hak dasar mereka sehingga terkesan masih ada “diskriminasi” sosial yang menempatkan mereka rentan untuk diperlakukan tidak adil dan manusiawi dari masyarakat dan pemerintah daerah.

3. Masih adanya anggapan sosial terhadap anak penyandang disabilitas dan anak terlantar sebagai kelompok masyarakat yang bermasalah. Pandangan yang salah ini menempatkan mereka pada posisi subordinatif dan termarjinalkan secara sosial dan tentu sangat menghambat perkembangan fisik dan psikhis mereka untuk berkembang sebagai anak yang sehat dan normal.

4. Belum adanya regulasi yang menjadi payung hukum bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap Untuk memberikan fasilitasi yang menjamin terpenuhinya hak–hak dasar mere-ka sebagai manusia yang memiliki hak asasi manusia yang sama. Dengan adanya Peraturan daerah ini koordinasi dan fasilitasi program menjadi sinergis dan terintegrasi antar sektor dalam organisasi perangkat daerah.

C. Tujuan dan manfaat

(11)

9

adalah untuk melakukan penelitian atau pengkajian terkait dengan kewajiban Pemerintah Daerah dalam melakukan pro-gram perlindungan anak penyandang disabilitas dan anak terlantar. Oleh karena itu, tujuan pokok dari penyusunan Nas-kah akademik peraturan daerah ini adalah sebagai berikut:

1. Terselenggaranya peningkatan akses dan mutu pelayanan pemenuhan hak-hak dasar anak penyandang disabilitas dan anak terlantar sehingga mereka tumbuh kembang se-bagai anak normal pada umumnya.

2. Tersedianya infrastruktur yang memadahi bagi anak pe-nyandang disabilitas dan anak terlantar dalam memperoleh hak-hak dasar mereka dalam segala bidang kehidupan mereka.

3. Menjamin terpenuhinya hak penyandang disabilitas dan anak terlantar melalui kemudahan dan perlakuan khusus agar tercipta kemandirian, kesejahteraan, dan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan

4. Terbangunnya peningkatan kesadaran dan partisispasi ma-syarakat dalam memberikan perhatian dan perlakuan seca-ra adil dan bermartabat sebagai warga Negaseca-ra kepada anak penyandang disabilitas dan anak terlantar.

5. Terbentuknya sinergi dan kerjasama antar seluruh pe-mangku kepentingan (stakeholders), organisasi profesi, akademisi, swasta dan masyarakat dalam memberikan layanan untuk menjamin terpenuhinya hak penyandang disabilitas dan anak terlantar.

Adapun tujuan pokok dari dibuatnya Peraturan daerah ini adalah sebagai landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam upaya perlindungan hak anak penyandang disabilitas dan anak terlantar untuk terciptanya kemandirian dalam hi-dup sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang seutuhnya.

D. Metode Analisis Naskah Akademik

(12)

10

Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas dan Anak Terlan-tar.

Metode ini didasari oleh sebuah teori bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tidak hanya berlandaskan pada kaidah-kaidah teoritis, akan tetapi juga berlandaskan pada kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu tata nilai sosial (local wisdom) yang diyakini dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.

Secara sistematis, penyusunan naskah akademis ini me-liputi tahapan-tahapan :

1. Identifikasi permasalahan terkait perlindungan anak pe-nyandang disabilitas dan anak terlantar di Kabupaten Cilacap.

2. Inventarisasi bahan hukum yang terkait.

3. Sistematisasi bahan hokum.

4. Analisis bahan hukum, dan

5. Perancangan dan penulisan.

(13)

11

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK

A. Kajian Teoritis

1. Perlindungan Anak; Perspektif Filosofis Dan Sosiologis

Gagasan bahwa usia anak-anak perlu diwarnai dengan suasana yang ceria, bersekolah dan aneka ragam kegiatan bermain bukan merupakan hal baru dalam dunia peradaban umat manusia. Dalam dunia anak-anak harus ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengetahuan. Pengetahuan dengan segala kemajuan peradabannya merupakan suatu faktor esensial akan keberlangsungan kehidupan di masa depan. Namun bersamaan itu pula, umat manusia perlu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan yang ruang lingkupnya primer, seperti pemenuhan sandang, papan dan pangan, maupun kebutuhan sekunder, seperti kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya sebagai pelengkap.

Sekitar abad ke 18, kehidupan anak mulai dirambah oleh masuknya gerakan industrialisasi dan urbanisasi di daratan Eropa dimana kedudukan anak yang mula-mula selalu bersandingan dengan dunia penuh keceriaan, kegembiraan dan beraneka ragam hiburan dan permainan berubah secara fundamental. Pada saat itu, hubungan antara dunia industri dengan dunia anak-anak sangat tipis sehingga pengaruh industrialisasi dirasakan pula oleh dunia anak-anak. Termasuk diantaranya adalah bertambah besarnya tenaga kerja anak-anak yang digunakan dalam sektor tersebut. Setiap industri membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit sehingga usia-usia yang dikategorikan masih anak-anak tidak lepas dari bidikannya.

Karena itu, masyarakat memberikan proteksi yang bertujuan melindungi anak-anak dari berbagai akses negatif atas kehadiran industri-industri yang umumnya sangat berbahaya.7

Sementara itu, perlindungan terhadap anak-anak dari berbagai ancaman tindak kekerasan masih dirasakan kurang maksimal dan bahkan sepertinya tidak memihak kepada hak-hak dasar yang melekat pada anak itu sendiri. Kekerasan masih terjadi dimana-mana tanpa suatu penanganan yang betul-betul dapat menjerakan si pelaku

7 Mengenai implikasi industrialisasi ini, lihat makalah Kuntowijoyo, “Paruh Industrialisasi Indonesia Yang Manusiawi”, Makalah Seminar di Pusat

(14)

12

tindak kekerasan tersebut. Memang organisasi PBB telah membuat konvensi tentang hak-hak anak pada tanggal 20 Novermber 1989 yang bertujuan untuk menetapkan standar umum bagi hak-hak yang diperoleh anak di seluruh dunia. Konvensi ini juga dilahirkan untuk tujuan melindungi anak-anak dari segala bentuk tindakan penyia-nyiaan, eksploitasi dan penyalahgunaan. Dengan demikian konvensi tersebut merupakan alat normatif yang diakui oleh masyarakat Internasional untuk menjaga dan melindungi anak-anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara layak sesuai dengan potensi dasar yang dimilikinya sejak lahir di muka bumi.

Perlindungan anak yang masih didasarkan atas tradisi atau adat-kebiasaan memang dimiliki oleh setiap komunitas masyarakat. Setiap masyarakat mempunyai norma-norma sosial yang cukup dihormati keberlakuannya. Dengan berbagai macam tradisi sosial itu, suatu masyarakat dapat melindungi berbagai macam kepentingan dan kebutuhan anggotanya, termasuk bagaimana melindungi anak-anak agar tetap tumbuh dewasa tanpa perlakuan kekerasan. Tradisi sosial yang di dalamnya menyimpan sanksi-sanksi sosial itu bertujuan melindungi hak-hak anak sampai menginjak usia dewasa. Umumnya, norma-norma itu berlaku secara alamiah yang menyimpan berbagai macam bentuk sanksi-sanksi yang dikenal oleh masyarakat.8

Namun dengan konvensi tersebut mulai muncul kesamaan pandangan dan langkah-langkah hukum dalam melindungi anak dari berbagai tindakan kekerasan. Dengan demikian, tradisi-tradisi yang telah menjadi suatu kebiasaan (customary law)9 masyarakat selama itu tidak

bertentangan dengan norma-norma umum, justru makin mendapatkan pengukuhan dengan adanya konvensi tersebut.

Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) berlaku umum dan sampai saat sekarang telah diratifikasi tidak kurang dari 187 negara-negara di dunia. Konvensi ini merupakan perjanjian Internasional dan paling banyak diratifikasi daripada pernjanjian-perjanjian Internasional lainnya. Negara Republik Indonesia sendiri berkepentingan terhadap perlindungan anak-anak dari berbagai tindak kekerasan, sehingga melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun

8 Pengertian sanksi-sanksi Sosial, lihat lebih lanjut Lili Rasjidi, Filsafat

Hukum: Apakah Hukum Itu?, (Bandung: Remadja Karya, 1985), hlm. 3-8.

9 Bandingkan dengan istilah Adat-Recht, lihat, Imam Sudiyat, Asas

(15)

13

1990, tanggal 25 Agustus 1990, secara resmi melakukan ratifikasi terhadap KHA tersebut.

Selang satu dekade lebih sejak diratifikasinya KHA tersebut, pada tahun 2002, pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, yang dituangkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002.

Secara umum garis besar substansi KHA tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: pertama, hak-hak kelangsungan hidup yang mencakup hak hidup dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai; kedua, hak-hak tumbuh kembang yang mencakup semua jenis pendidikan, baik formal maupun non formal dan hak menikmati standar kehidupan yang layak bagi tumbuh kembang fisik, mental, spiritual, moral dan sosial; ketiga, hak-hak perlindungan yang mencakup perlindungan terhadap diskriminasi, penyalahgunaan dan pelalaian, perlindungan bagi anak-anak tanpa keluarga dan perlindungan bagi anak-anak pengungsi; keempat, hak-hak partisipasi yang meliputi hak-hak untuk menyampaikan pendapat atau pandangan dalam semua hal yang menyangkut nasib anak.10

Secara politis harus diakui bahwa Indonesia bersungguh-sungguh melakukan upaya perlindungan, yang ditandai dengan keputusan melakukan ratifikasi KHA dan menindaklanjutinya dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Namun perlindungan itu tidak semata-mata dapat dilakukan secara efektif atas terbitnya peraturan-peraturan tersebut, melainkan juga memperhatikan kendala-kendala yang selama ini menjadi ganjalan dalam mengefektifkan kerja untuk kepentingan perlindungan anak.

Adapun kendala utama dalam pelaksanaan KHA dan peraturan-peraturan lainnya di Indonesia adalah belum adanya sosialisasi yang menyeluruh atas substansi KHA tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Akibatnya, masih banyak elemen masyarakat yang belum begitu mengerti dan mengetahui hak-haknya, demikian pula dengan hak-hak anak. Sementara itu, pihak pemerintah sendiri kurang atau tidak menyadari atas implikasi lebih lanjut dari tidak meratanya sosialisasi

10 Sinung D. Kristanto, “Konvensi Hukum Anak-Anak (KHA): Isi Dan

Kendala Pelaksanaannya di Indonesia”, dalam Bagong Suyanto dan Sri Sanituti

(16)

14

tentang KHA dan Undang-undang itu di masyarakat.11 Di

sisi lain, KHA dan peraturan lainnya belum terintergrasi pada semua aspek pelayanan yang tersedia bagi kebutuhan perlindungan anak-anak.

Pengintegrasian merupakan faktor penting dalam rangka pemenuhan tanggungjawab negara untuk meningkatkan kualitas perlindungan hak-hak anak. Lemahnya lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya dalam melakukan perlindungan anak-anak sangat dirasakan betul oleh semua pihak sehingga setiap terjadi tindak kekerasan hak-hak anak tidak cepat tertangani secara memuaskan, dengan berbagai alasan, baik segi administrarif maupun aspek kompetensinya. Sementara itu, hubungan antara lembaga pemerintah dengan lembaga non pemerintah (LSM) belum berfungsi secara optimal, baik segi koordinatif maupun segi konsolidatif dan advokatif. Padahal lembaga-lembaga tersebut mempunyai kekuatan sosial yang jika dioptimalkan hubungan diantara keduanya sangat berguna/efektif bagi perlindungan anak-anak.

Kendala selanjutnya dari perlindungan hak-hak anak adalah berkaitan dengan sektor lainya, seperti tingkat kemiskinan dan pengangguran yang makin membengkak, baik di sektor perkotaan maupun di sektor perdesaan. Sementara itu, tingkat dan jenjang pendidikan yang relatif rendah disertai dengan kurangnya kesadaran orang tua terhadap pemahaman jender dan hak-hak anak, menjadikan mereka buta terhadap perlindungan anak. Nilai-nilai sosial yang kurang mendukung pemberian perlindungan hak-hak anak, seperti perkawinan di bawah umur atau anak-anak yang putus sekolah (drop out) dan dipekerjakan pada sektor-sektor yang berbahaya, dan lain sebagainya.

Ada banyak bukti yang memperlihatkan bahwa anak rawan adalah anak yang sejak usia dini telah dibebani oleh kewajiban-kewajiban orang tua dan keluarganya atau pekerjaan yang tidak pantas untuk dikerjakan oleh anak-anak, namun hal itu selalu dipaksakan dengan berbagai macam alasan.

Posisi anak-anak yang demikian rawan dengan kasus putus sekolah lebih banyak karena faktor ekonomi, meski tidak harus dikatakan bahwa putus sekolah selalu

11 Ibid., hlm. 110-111; lihat juga Muhammad Farid, “Konvensi Hak Anak: Isi dan Masalah Implementasinya”, dalam Bagong Suyanto dan Sri Sanituti

(17)

15

dikaitkan dengan keluarga miskin. Akan tetapi bagi anak yang putus sekolah dari anak-anak kelurga miskin akan kesulitan untuk masuk kembali ke sekolah tersebut atau enggan kembali bersekolah, dan terbukti memang dari lingkungan keluarga miskin itulah diketemukan banyak anak yang putus sekolah. Dengan demikian anak-anak yang putus sekolah lebih didasarkan atas masalah-masalah ekonomi keluarga.

Meski demikian, terdapat penyebab lainnya yang terkait dengan kasus putus sekolah, yaitu kondisi yang tidak nyaman bagi anak-anak keluarga miskin di sekolah-sekolah yang didominasi oleh keluarga berpenghasilan tinggi, tingkat kualitas pengajaran yang tidak memenuhi syarat dan kurikulum yang kurang relevan dengan kondisi lingkungan yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak-anak.12

Selain itu, faktor-faktor yang sering mencuat kepermukaan adalah tidak adanya alternatif lain yang menjadi sarana dalam mendidik anak-anak dari keluarga miskin. Sebab dalam kenyataanya, anak-anak dari keluarga yang demikian mengalami kesulitan sosial dalam bergaul dengan sesama temannya yang berasal dari keluarga berpenghasilan tinggi. Ada kalanya faktor yang dianggap sepele seperti tidak adanya hubungan pergaulan yang sepadan antara anak-anak dari keluarga yang tingkat ekonominya berbeda, akhirnya berujung dengan putus sekolah.

Bagi anak-anak yang putus sekolah dari keluarga miskin, biasanya semua pihak tidak ambil peduli lebih dalam akan hal itu. Kasus seperti itu merupakan gejala yang terbiasa terjadi di desa-desa yang tergolong miskin. Penduduk desa telah menganggap bahwa anak-anak yang putus sekolah tidak memiliki dana untuk melanjutkan biaya sekolah yang dianggap terlalu tinggi dipikul oleh keluarga orang-orang miskin. Lingkungan sosial akan selalu memakluminya dan menerima kehadiran anak-anak putus sekolah, tanpa mempertanyakan faktornya, tapi justru menganggap bahwa hal itu sudah menjadi kebiasaan yang sering terjadi di keluarga miskin.

Tentu sangat ironis sekali karena hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar kita, pasal 31 UUD 1945, ayat 1 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan ayat 2 menyatakan bahwa

12 ST. Vembriarto, Kapita Selekta Pendidikan, Jilid Pertama, (Yogyakarta:

(18)

16

pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.

Menangani anak-anak miskin yang putus sekolah memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah meski tidak harus diartikan suatu kesulitan yang terus menerus ditunda-tunda penanganannya. Bagi institusi sebesar negara, menyelesaikan persoalan putus sekolah merupakan hal yang kecil karena selain memiliki alokasi dana yang besar juga hal itu merupakan suatu kewajiban. Namun yang lebih penting dari itu adalah kelangsungan proses pendidikan terhadap anak-anak merupakan hak dasar yang harus mendapatkan prioritas dari pihak pemerintah. Sebab selama ini tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap tumbuhnya kesadaran akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam tata pergaulan masyarakat.

Selain itu, produktifitas baik di dunia industri maupun di dunia agraris dapat ditingkatkan berkat tingkat pendidikan anggota masyarakat yang lebih berkualitas dengan tingkat profesional dan skill yang lebih baik. Tingkat pendidikan tinggi lebih mudah menumbuhkan suatu kesadaran akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, sedangkan tingkat pendidikan rendah mungkin mengalami kesulitan tersendiri dalam menumbuhkan kesadaran akan hal itu.

Dampak negatif dari putus sekolah sangat besar dirasakan oleh lingkungan keluarga dimana anak-anak tersebut dibesarkan. Yang jelas pengetahuan mereka menjadi terbatas dan kesadaran untuk memahami hak-haknya secara otomatis berkurang seiring dengan tingkat pendidikan yang diperolehnya. Selain itu, lingkungan sosial mereka rentan tindak kekerasan, sebagaimana contoh munculnya tindak kekerasan sering bersumber dari faktor yang cukup sederhana. Kekerasan sering terjadi dalam komunitas yang tingkat ekonominya rendah atau pengangguran daripada komunitas yang berpenghasilan tinggi atau telah memiliki kesibukan bekerja.

(19)

17

Terlepas dari faktor-faktor yang menjadi sumber kasus putus sekolah, seperti persoalan ekonomi atau persoalan sosial lainnya. Di satu sisi, pihak pemerintah seharusnya secara serius mencarikan solusi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang tepat dalam memberikan angin segar bagi anak-anak yang tergolong keluarga miskin.

Di sisi lain, kalangan non pemerintah, termasuk LSM berperan memberikan pendampingan sukarela sesuai dengan perannya sehingga hal itu dapat mendorong program peningkatan kualitas pendidikan anak-anak miskin. Bila perlu antara pihak pemerintah dan kalangan LSM membentuk koalisi dalam rangka program dampingan yang legalitasnya mendapatkan perhatian pihak pemerintah. Pihak LSM bekerja sesuai dengan keahliannya, termasuk sisi-sisi persiapan, perencanaan dan pelaksanaan, sementara itu, pihak pemerintah menyediakan berbagai sarana dan prasarana bagi kemudahan program dampingan yang telah dirancang bersama oleh kedua belah pihak.13

Bila ditelusuri munculnya tindakan kekerasan terhadap anak kadang-kadang tidak lepas dari pemahanan sepihak yang dilakukan oleh orang tua atau lingkungan sosial sekitar keberadaan anak-anak. Pemahaman ini mempunyai implikasi yang besar dalam mendudukan anak dimana selama ini anak dijadikan objek dan bukan subjek. Apalagi pandangan itu kemudian diperkuat lagi dengan status anak-anak yang dikategorikan masih di bawah umum yang belum memiliki kompetensi melakukan perbuatan hubungan hukum atau perbuatan masih belum membawa konsekwensi yuridis sampai menunggu usia dewasa.

Tindak diskriminasi atas hak-hak anak dapat terjadi dimana saja, baik dalam ruang lingkup kecil, seperti unit keluarga, komunitas sekolah atau suatu komunitas masyarakat tertentu. Pada umumnya, dalam sistem sosial kita hampir semua anggota masyarakat memberikan penilaian lebih tinggi akan hak-hak orang-orang dewasa daripada hak-hak anak.

Di negara Indonesia, anak-anak dari keluarga tidak mampu dan anak-anak dalam kondisi rentan lainnya, seperti anak penyandang disabilitas, sering mendapatkan

13 Anwar Sholihin, “Strategi Advokasi Terhadap Hak-Hak Anak”, dalam

(20)

18

perlakuan tidak adil, termasuk hak-hak anak di bidang kesehatan, pendidikan, gizi, keamanan yang umumnya diabaikan begitu saja. Dengan berlakunya undang-undang perlindungan anak-anak yang didahului sebelumnya keputusan meratifikasi KHA adalah suatu langkah maju untuk memproteksi hak-hak anak. Kepedulian atau kewajiban negara dalam melindungi hak-hak anak perlu mendapatkan perhatian yang serius sehingga hal itu dapat mengurangi tindak kekerasan terhadap anak-anak.

2. Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas a. Preview Kondisi Umum

Sejatinya, setiap anak, anak laki-laki dan dan perempuan adalah saudara atau teman yang memiliki makanan, nyanyian, atau permainan yang sama; anak-anak yang memiliki mimpi dan keinginan yang akan dipenuhi. Dalam konteks ini, anak penyandang disabilitas adalah juga anak yang memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya.

Dengan diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang sebagaimana anak lainnya, anak-anak penyandang disabilitas berpotensi untuk menjalani kehidupan secara penuh dan berkontribusi pada vitalitas sosial, budaya, dan ekonomi dari masyarakat mereka.

Namun untuk tumbuh dan berkembang bisa jadi sulit bagi anak-anak penyandang disabilitas. Mereka menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi miskin dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tanpa disabilitas. Bahkan bila anak-anak memiliki ketidakberuntungan yang sama, anak-anak penyandang disabilitas menghadapi tantangan-tantangan lain akibat ketidakmampuan mereka dan berbagai rintangan yang dihadirkan oleh masyarakat mereka sendiri.

Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan adalah mereka yang paling kecil kemungkinannya untuk memperoleh manfaat dari pendidikan dan pelayanan kesehatan, misalnya, tapi anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan memiliki disabilitas lebih kecil lagi kemungkinannya untuk bisa bersekolah atau pergi ke klinik.

(21)

19

dan itu sudah mengakar dalam asumsi-asumsi negatif atau paternalistik tentang ketidakmampuan, ketergantungan dan perbedaan yang muncul karena ketidaktahuan.

Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen terhadap hak-hak anak ini dan masa depan mereka, dengan memprioritaskan anak yang paling tidak beruntung sebagai masalah kesetaraan dan manfaat bagi semua.

Anak-anak penyandang disabilitas menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan itu mempengaruhi mereka dalam berbagai tingkatan, bergantung pada jenis disabilitas yang mereka alami, di mana mereka tinggal dan budaya serta kelas sosial mereka. Anak-anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini menyebabkan mereka menjadi lebih rentan.

Diskriminasi karena disabilitas berujung pada marginalisasi dari sumber daya dan pembuatan keputusan, dan bahkan pada kematian anak. Pengucilan seringkali muncul dari invisibilitas. Tidak banyak negara yang memiliki informasi yang bisa diandalkan tentang berapa banyak warganya yang merupakan anak-anak penyandang disabilitas, disabilitas macam apa yang mereka alami atau bagaimana disabilitas ini mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, anak-anak yang dikucilkan tidak tahu dan oleh sebab itu terputus dari pelayanan publik yang sebenarnya merupakan hak bagi mereka untuk mendapatkannya.

Pembatasan ini bisa memiliki efek yang panjang, yang membatasi akses mereka pada pekerjaan atau partisipasi mereka dalam masalah-masalah kemasyarakatan di kemudian hari, misalnya.

(22)

20

menikmati hak-hak mereka tanpa diskriminasi apa pun.

Kedua konvensi itu menjadi saksi atas meningkatnya pergerakan global yang didedikasikan untuk inklusi anak penyandang disabilitas dalam kehidupan masyarakat. Kedua konvensi itu menyatakan bahwa anak penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya. Inklusi lebih dari sekedar integrasi. Sebagaimana bisa dicontohkan dari bidang pendidikan, integrasi bisa dicoba hanya dengan merancang dan melaksanakan bahwa seluruh anak bisa belajar dan bermain bersama. Ini berarti memberikan akomodasi yang diperlukan untuk mengakses Braille, bahasa isyarat dan kurikulum yang diadaptasi.

Inklusi akan menguntungkan semua orang. Masih mengambil contoh dari bidang pendidikan, jalan masuk yang lebih landai dan pintu masuk yang lebar menuju sebuah lembaga pendidikan dapat meningkatkan akses dan keselamatan bagi seluruh anak, guru, orang tua dan pengunjung, bukan hanya mereka yang menggunakan kursi roda.

Dalam usaha untuk mempromosikan inklusi dan keadilan, anak penyandang disabilitas harus bisa mendapatkan dukungan dari keluarga mereka, organisasi penyandang cacat, asosiasi orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat. Pemerintah bisa membantu dengan menyelaraskan kebijakan-kebijakan dan program-program mereka dengan KHPD dan KHA. Para mitra internasional bisa memberikan bantuan yang sesuai dengan Konvensi tersebut. Korporasi dan entitas sektor swasta bisa memajukan inklusi dan menarik bakat terbaik, dengan merangkul keragaman dalam mempekerjakan orang.

Kebanyakan perampasan yang dialami oleh anak penyandang disabilitas disebabkan oleh karena melihat sesuatu yang tidak terlihat. Masyarakat penelitian sedang bekerja untuk membuat anak menjadi lebih terlihat dengan meningkatkan pengumpulan dan analisis data. Pekerjaan mereka akan membantu mengatasi masalah ketidaktahuan dan diskriminasi, untuk menargetkan sumber daya dan intervensi dan mengukur efeknya.

(23)

21

untuk bisa memulai membangun infrastruktur dan pelayanan yang lebih inklusif. Yang dibutuhkan sekarang ialah bagaimana agar usaha ini tetap fleksibel sehingga bisa diadaptasi begitu ada data baru yang muncul.

b. Dasar-Dasar Inklusi Anak Penyandang Disabilitas

KHA dan KHPD menantang pendekatan-pendekatan yang menganggap anak-anak penyandang disabilitas sebagai penerima pengasuhan dan perlindungan yang pasif. Alih-alih, kedua konvensi tersebut menuntut pengakuan atas setiap anak sebagai anggota penuh dari keluarga dan masyarakatnya. Ini berarti bahwa fokusnya bukan pada pengertian tradisional “menyelamatkan” anak, tapi pada investasi dalam menghilangkan hambatan-hambatan fisik, budaya, ekonomi, komunikasi, mobilitas dan sikap yang menghalangi realisasi dari hak-hak anak, termasuk hak untuk terlibat aktif dalam membuat keputusan yang memberikan pengaruh pada kehidupan keseharian anak.

Meremehkan kemampuan penyandang disabilitas merupakan hambatan utama untuk inklusi mereka dan untuk memberikan kesempatan yang setara. Sikap yang meremehkan tersebut ada di masyarakat, mulai dari para profesional, politisi dan pembuat keputusan lainnya terhadap keluarga dan teman-teman serta para penyandang disabilitas itu sendiri, yang karena tidak adanya bukti bahwa mereka itu berharga dan didukung seringkali meremehkan kemampuan mereka sendiri. 1) Pentingnya Perubahan Sikap

Tidak akan banyak perubahan dalam kehidupan anak penyandang disabilitas kalau tidak ada perubahan sikap. Ketidaktahuan tentang sifat dan penyebab pelemahan, invisibilitas anak itu sendiri, peremehan yang serius tentang potensi dan kapasitas mereka, dan rintangan lainnya terhadap kesempatan dan perlakukan yang sama semuanya menyatu untuk membuat anak penyandang disabilitas tetap diam dan terpinggirkan.

(24)

22

melibatkan anak penyandang disabilitas tidak perlu dilebih-lebihkan. Prasangka bisa dikurangi melalui interaksi, sebagaimana ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan yang menggabungkan anak penyandang disabilitas dengan yang bukan penyandang disabilitas. Integrasi sosial akan menguntungkan semua orang, dan anak-anak yang telah mengalami inklusi –-dalam pendidikan, misalnya-– bisa menjadi guru masyarakat terbaik dalam mengurangi ketidakseimbangan dan membangun sebuah masyarakat yang inklusif.

Media inklusif juga memainkan peranan penting. Dengan memasukkan penggambaran anak dan orang dewasa penyandang disabilitas, media bisa mengirimkan pesan-pesan positif bahwa mereka adalah anggota keluarga dan tetangga. Media juga bisa melawan mis-representasi dan stereotip yang memperkuat prasangka-prasangka sosial.

Di samping itu, partisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial dapat membantu mempromosikan pandangan yang positif tentang disabilitas. Olahraga terutama, telah bisa membantu mengatasi banyak prasangka-prasangka sosial. Melihat anak penyandang disabilitas yang bisa mengatasi rintangan fisik dan psikologis untuk berpartisipasi akan bisa memberikan inspirasi dan bisa meningkatkan penghormata, meskipun kita perlu juga berhati-hati agar anak penyandang disabilitas yang tidak melakukan kegiatan fisik yang demikian tidak merasa rendah diri.

Olahraga juga telah membantu dalam kampanye-kampanye untuk mengurangi stigma, dan para atlet penyandang disabilitas seringkali menjadi orang yang paling dikenal di kalangan penyandang disabilitas.

(25)

23

Karena KHPD mengakui keluarga sebagai satuan masyarakat yang alamiah dan menempatkan Negara dalam peranan untuk mendukungnya, proses untuk memenuhi hak-hak anak penyandang disabilitas dimulai dengan mendukung keluarga mereka dan membangun rumah yang kondusif untuk intervensi awal.

2) Mendukung Anak Dan Keluarga

Menurut KHPD, anak-anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka punya hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang memadai dan juga berhak untuk mendapatkan pelayanan dukungan yang disubsidi atau gratis dan akses pada bantuan kelompok.

Perlindungan sosial untuk anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka sangatlah penting karena keluarga ini seringkali menghadapi biaya hidup yang lebih tinggi dan kehilangan kesempatan

untuk mendapatkan pemasukan. Data

menunjukkan bahwa perkiraan biaya tambahan untuk disabilitas yang ditanggung keluarga di setiap negara rata-rata mencapai 11-69 persen.

Di samping biaya medis, rehabilitasi dan biaya langsung lainnya, keluarga juga menghadapi biaya kesempatan, karena orang tua dan anggota keluarga seringkali harus berhenti bekerja atau mengurangi jam kerjanya untuk merawat anak penyandang disabilitas.

Sebuah review tentang 14 negara berkembang menemukan bahwa para penyandang disabilitas lebih besar kemungkinannya untuk mengalami kemiskinan dibandingkan mereka yang tidak mengalami disabilitas. Penyandang disabilitas cenderung untuk kurang begitu baik dalam hal pendidikan, pekerjaan, kondisi hidup, konsumsi, dan kesehatan. Biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga lain yang tidak memiliki anggota penyandang disabilitas selanjutnya bisa mengurangi standar kehidupan.

(26)

hasil-24

hasil yang menjanjikan dari usaha-usaha yang lebih luas dan telah meluncurkan inisiatif perlindungan sosial yang ditargetkan yang meliputi bantuan tunai terutama untuk anak-anak penyandang disabilitas. Monitoring dan evaluasi rutin tentang efek dari bantuan tunai itu pada kesehatan, pendidikan dan rekreasi anak penyandang disabilitas akan penting untuk memastikan program-program ini bisa mencapai tujuannya.

Perangkat lain yang bisa dipakai oleh Pemerintah adalah penganggaran khusus disabilitas, dimana pemerintah menetapkan tujuan-tujuan khusus untuk anak penyandang disabilitas dalam sebuah inisiatif yang lebih luas dan mengalokasikan sejumlah sumber daya yang ada yang memadai untuk tujuan tersebut. Akses yang efektif pada pelayanan termasuk pendidikan, pelayahan kesehatan, rehabilitasi, dan rekreasi harus diberikan secara cuma-cuma dan dengan cara yang dapat meningkatkan integrasi sosial secara penuh dan perkembangan individu anak secara optimal.

3) Rehabilitasi Berbasis Masyarakat

Program-program rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM) yang mencoba memastikan bahwa penyandang disabilitas memiliki akses yang sama pada pelayanan dan kesempatan terkait kesehatan, pendidikan, dan penghidupan adalah contoh dari sebuah intervensi yang dirancang dan dijalankan oleh masyarakat dengan partisipasi aktif dari anak dan orang dewasa penyandang disabilitas. RBM bisa efektif dalam menangani berbagai masalah perampasan, seperti yang dihadapi oleh anak-anak penyandang disabilitas yang tinggal di pedesaan dan masyarakat pedalaman.

(27)

25

peningkatan pemberian pelayanan sosial, pembuatan akses kursi roda di tempat-tempat umum, pengaturan pelayanan gratis dari negara dan rumah sakit federal, dan 32 pendaftaran anak penyandang disabilitas di sekolah-sekolah utama.

Pendekatan inklusif dibangun berdasarkan aksesibilitas, dengan tujuan untuk membuat arus utama bisa berlaku untuk semua orang, bukan menciptakan sistem yang paralel. Mewujudkan sebuah lingkungan yang bisa diakses sangatlah penting bagi anak-anak penyandang disabilitas saat mereka akan menikmati hak-hak mereka untuk berpartisipasi di masyarakat dan untuk mendapatkan kesempatan mewujudkan seluruh potensi mereka.

Jadi, misalnya, anak penyandang disabilitas perlu akses pada seluruh sekolah untuk mendapatkan manfaat maksimum dari pendidikan. Anak-anak yang mendapatkan pendidikan bersama dengan rekan-rekan mereka punya kesempatan lebih banyak untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif dan menjadi terintegrasi dalam kehidupan masyarakat mereka. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dukungan bagi mereka, bergantung pada jenis disabilitasnya. Seorang anak mungkin membutuhkan alat bantu (misalnya, prosthesis) atau pelayanan (seperti penerjemah bahasa tanda) untuk bisa berfungsi secara penuh dalam berbagai aspek kehidupan.

Terkait dengan hal tersebut, catatan WHO

menunjukkan bahwa di negara-negara

berpenghasilan rendah hanya 5-15% orang yang memerlukan teknologi alat bantu yang bisa mendapatkannya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa biaya dari teknologi yang seperti itu bisa menjadi penghalang, terutama untuk anak-anak, yang harus mengganti atau menyesuaikan peralatan mereka setelah mereka tumbuh dewasa.

(28)

26

lingkungan yang bisa dipakai oleh semua orang terlepas berapa usianya, kemampuan atau situasinya, sampai sejauh mungkin, tanpa perlu adaptasi atau rancangan khusus. Penerapan dunia nyata mencakup curb cut, buku audio, velcro fastening dan bus berlantai rendah. Biaya untuk mengintegrasikan aksesibilitas ke dalam bangunan dan infrastruktur baru bisa kelihatan sepele, yang terhitung kurang dari 1 persen dari biaya pembangunan utama. Sebaliknya, adaptasi bangunan yang telah siap bisa mencapai 20 persen dari biaya awal. Oleh sebab itu, cukup masuk akal untuk mengintegrasikan pertimbangan aksesibilitas ke dalam proyek-proyek pada tahap awal dari proses perencanaan. Artinya, aksesibilitas juga harus menjadi pertimbangan ketika mendanai proyek-proyek pembangunan.

c. Fondasi Penting Bagi Inklusi Anak Penyandang Disabilitas

Pelayanan kesehatan dan pendidikan inklusif memiliki peranan penting dalam membangun fondasi yang kuat di atas mana anak penyandang disabilitas bisa membangun kehidupannya.

1) Fondasi Kesehatan Yang Inklusif

Menurut KHA dan KHPD, seluruh anak mempunyai hak untuk mendapatkan standar kesehatan yang tinggi. Dengan demikian, anak penyandang disabilitas sama-sama berhak untuk mendapatkan perawatan secara penuh, mulai dari imunisasi sewaktu bayi sampai pada gizi yang baik dan pengobatan untuk penyakit, demikian pula dengan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual yang bersifat privasi selama masa remaja dan saat menginjak dewasa.

Sama pentingnya adalah pelayanan dasar seperti air bersih, sanitasi dan kebersihan. Hal inimenyangkut masalah keadilan sosial dan masalah menghargai martabat seluruh umat manusia, serta investasi untuk masa depan, karena anak yang sehat akan tumbuh menjadi generasi yang produktif dan orang tua yang lebih efektif.

(29)

27

anak-anak dibandingkan sebelumnya yang bisa dijangkau, tapi anak-anak penyandang disabilitas masih belum memperoleh manfaat dari peningkatan cakupan tersebut. Termasuk anak-anak dalam usaha imunisasi tidak hanya etis tapi juga wajib untuk kesehatan publik dan kesetaraan, cakupan universal tidak bisa dicapai jika mereka tetap dikucilkan. Meskipun imunisasi bisa mencegah beberapa penyakit yang bisa mengarah kepada disabilitas, tapi ini tidak kalah pentingnya untuk melakukan imunisasi kepada anak yang sudah terlanjur mengalami disabilitas. Bila tidak diberikan imunisasi, anak-anak penyandang disabilitas berisiko mengalami hambatan perkembangan, kondisi sekunder yang bisa dihindari dan kematian yang bisa dicegah.

Memasukkan anak penyandang disabilitas dalam usaha untuk mempromosikan imunisasi, misalnya, meningkatkan kesadaran dengan memperlihatkan mereka bersama yang lainnya poster dan materi promosi lainnya, dan menjangkau orang tua dan organisasi penyandang disabilitas, akan membantu meningkatkan cakupan imunisasi di antara mereka.

Gizi juga merupakan hal penting. Makanan yang tidak mencukupi atau diet kekurangan vitamin atau mineral tertentu bisa menyebabkan bayi rentan terhadap kondisi-kondisi tertentu dan infeksi yang bisa menyebabkan disabilitas fisik, indra dan intelektual. Misalnya, antara 250.000 sampai 500.000 anak dianggap berisiko untuk menjadi buta setiap tahun karena kekurangan vitamin A. Sindrom ini bisa dengan mudah dicegah dengan suplementasi oral yang harganya sangat murah untuk setiap anak.

(30)

28

Gizi buruk pada ibu bisa berkontribusi pada sejumlah disabilitas anak yang bisa dicegah. Salah penyebab yang menonjol dari disabilitas di dunia adalah anemia, yang mempengaruhi sekitar 42 persen perempuan hamil di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Meskipun gizi buruk bisa menjadi penyebab disabilitas, hal ini juga bisa menjadi akibat. Sesungguhnya, anak-anak penyandang disabilitas lebih berisiko untuk menderita gizi buruk. Rintangan fisik yang terkait dengan kondisi-kondisi seperti sumbing atau lumpuh otak (cerebral palsy 0 dapat mengganggu mekanisme konsumsi makanan; kondisi-kondisi tertentu seperti fibrosis sistik (cystic fibrosis), dapat mengganggu asupan gizi; dan beberapa bayi dan anak penyandang disabilitas mungkin memerlukan diet khusus atau asupan kalori untuk mempertahankan berat badan yang sehat. Namun anak penyandang disabilitas bisa saja disembunyikan dari penapisan masyarakat dan inisiatif pemberian makan. Anak-anak yang tidak bersekolah tidak mendapatkan program pemberian makan di sekolah.

Di samping faktor-faktor fisik, sikap juga bisa sangat berpengaruh pada nutrisi anak. Di beberapa masyarakat, para ibu mungkin tidak didorong untuk memberikan ASI pada bayi penyandang disabilitas, anak penyandang disabilitas mungkin diberi makan sedikit, atau tidak diberi makan atau diberikan makanan yang kurang bergizi daripada saudaranya yang tidak penyandang disabilitas. Ada kemungkinan bahwa dalam beberapa hal apa yang dianggap sebagai penyakit yang terkait dengan disabilitas mungkin sesungguhnya berkaitan dengan masalah pemberian makan. Di hampir semua negara berkembang, para penyandang disabilitas secara rutin menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu dalam mengakses air minum yang aman dan sanitasi dasar. Fasilitas seringkali tidak bisa diakses secara fisik, dan di beberapa tempat, fasilitas yang baru masih dirancang dan dibangun tanpa perhatian yang memadai untuk anak-anak penyandang disabilitas.

(31)

29

tersedia, informasi tentang hal itu masih harus disebarluaskan dan dimasukkan dalam kebijakan dan praktek.

Rintangan-rintangan sosial juga menghambat akses. Anak-anak dengan disabilitas seringkali menghadapi stigma dan diskriminasi sewaktu menggunakan fasilitas rumah dan fasilitas umum, misalnya, karena adanya ketakutan yang tidak beralasan bahwa mereka yang mencemarinya. Apabila anak-anak penyandang disabilitas, terutama anak perempuan, dipaksa untuk menggunakan fasilitas terpisah, mereka berisiko mengalami kecelakaan atau serangan fisik, termasuk perkosaan.

Anak-anak dan remaja penyandang disabilitas hampir seluruhnya diabaikan dalam program kesehatan reproduksi dan seksual dan program HIV/AIDS, karena mereka seringkali dianggap tidak aktif secara seksual, kecil kemungkinan untuk menggunakan zat dan kurang berisiko terhadap kekerasan dibandingkan dengan teman-teman mereka yang tidak mengalami disabilitas. Banyak remaja penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan informasi dasar tentang bagaimana tubuh mereka berkembang dan berubah, dan karena mereka sering diajarkan untuk diam dan patuh, mereka sangat berisiko untuk disalahgunakan. Akibatnya, mereka berisiko untuk terinfeksi HIV. Para penyandang disabilitas dari semua umur yang positif HIV berkemungkinan kecil akan mendapatkan pelayanan yang tepat dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tidak penyandang disabilitas, karena fasilitas dan program jarang sekali yang mempertimbangkan kebutuhan mereka, sementara petugas pelayanan kesehatan tidak punya pelatihan khusus disabilitas.

(32)

30

berbasis masyarakat serta memberikan informasi penting bagi anggota keluarga.

Intervensi-intervensi yang demikian sudah semakin tersedia di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Deteksi dan pengobatan kecacatan bukanlah merupakan bidang pengobatan yang terpisah tapi merupakan aspek integral dari kesehatan publik.

Pelayanan kesehatan yang ada untuk anak penyandang disabilitas mungkin buruk kualitasnya. Dalam kondisi seperti itu petugas kesehatan dan para profesional lainnya sangat penting untuk memperoleh manfaat dari pendidikan tentang perkembangan anak dan disabilitas dan dilatih untuk memberikan pelayanan terpadu, dengan partisipasi keluarga besar anak bila mungkin. Di samping itu, umpan balik dari anak penyandang disabilitas harus didapatkan sehingga fasilitas dan pelayanan bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan lebih baik.

2) Pendidikan Inklusif

Anak-anak penyandang disabilitas secara tidak proporsional sering diabaikan hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan, yang mengurangi kemampuan mereka untuk menikmati hak-hak kewarganegaraan mereka, mendapatkan pekerjaan dan mengambil peranan yang bernilai di masyarakat.

Data survei rumah tangga dari 13 negara

berpenghasilan rendah dan menengah

menunjukkan bahwa anak-anak penyandang disabilitas usia antara 6 – 17 tahun secara signifikan berkemungkinan kecil akan dimasukkan ke sekolah dibandingkan rekan-rekan mereka yang tidak penyandang disabilitas. Selagi anak-anak penyandang disabilitas tidak diberikan akses yang sama untuk masuk sekolah, pemerintah tidak akan bisa mencapai pendidikan dasar universal (Tujuan Pembangunan Milenium 2), dan negara-negara anggota KHPD tidak bisa memenuhi tanggung jawab mereka menurut Pasal 24.

(33)

31

dalam sistem sekolah reguler. Idealnya, hal ini memungkinkan anak-anak penyandang disabilitas atau yang bukan untuk mengikuti kelas yang sama di sekolah setempat, dengan dukungan tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini menuntut akomodasi fisik serta kurikulum yang berpusat pada anak yang meliputi representasi dari spektrum penuh dari orang yang ditemukan di masyarakat dan menggambarkan kebutuhan seluruh anak.

Berbagai kajian di banyak negara menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kemiskinan dan disabilitas, yang selanjutnya terkait dengan isu-isu gender, kesehatan, dan lapangan kerja. Anak-anak penyandang disabilitas seringkali terperangkap dalam siklus kemiskinan dan pengucilan. Anak perempuan terpaksa menjadi pengasuh adik-adiknya, bukannya pergi ke sekolah, misalnya, atau seluruh keluarga mengalami stigmatisasi, sehingga enggan untuk melaporkan bahwa ada anak yang penyandang disabilitas atau enggan membawanya ke publik.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut terbukti bahwa pendidikan dari orang-orang yang dikucilkan atau dipinggirkan menimbulkan pengurangan kemiskinan. Langkah pertama untuk inklusi dilakukan di rumah pada tahun-tahun pertama. Tanpa kasih sayang, stimulasi indrawi, perawatan kesehatan dan inklusi sosial yang menjadi hak mereka, anak-anak bisa kehilangan momen perkembangan penting dan potensi mereka mungkin akan jadi dibatasi, yang menimbulkan implikasi-implikasi sosial dan ekonomi bagi mereka sendiri, keluarga mereka dan masyarakat.

(34)

32

Dengan dukungan keluarga dan masyarakat pada tahap-tahap awal kehidupan mereka, anak-anak penyandang disabilitas berpeluang untuk memanfaatkan tahun-tahun mereka di sekolah untuk menyiapkan diri mereka untuk masa depan. Di sekolah, menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif bagi anak-anak penyandang disabilitas sangat tergantung dari guru yang memiliki pemahaman yang jelas tentang pendidikan inklusif dan komitmen untuk mengajar seluruh anak. Seringkali, guru tidak punya persiapan dan dukungan yang cukup untuk mengajar anak penyandang disabilitas di kelas reguler, dan ini menimbulkan keengganan mereka di banyak negara untuk mendukung inklusi anak penyandang disabilitas di kelas mereka. Sumber daya untuk anak penyandang disabilitas cenderung dialokasikan ke sekolah terpisah bukannya ke sistem pendidikan arus utama yang inklusif. Ini bukan saja tidak tepat, tapi juga bisa menjadi mahal.

Di Bulgaria misalnya, anggaran per anak yang dididik di sekolah khusus bisa tiga kali lipat dari anggaran untuk anak yang sama di sekolah reguler. Bila guru-guru dan petugas dilatih untuk mempertimbangkan isu-isu terkait disabilitas, mereka melihat inklusi anak-anak penyandang disabilitas secara lebih positif. Sikap yang paling positif terlihat di kalangan guru-guru yang memiliki pengalaman aktual dengan inklusi. Terlihat bahwa sikap positif di kalangan guru-guru menjelma menjadi penempatan anak penyandang disabilitas yang tidak begitu mengekang. Namun pelatihan pra-jabatan jarang sekali yang mempersiapkan guru untuk mengajar secara inklusif, dan pelatihan yang ada memiliki kualitas yang bervariasi. Tidak adanya orang penyandang disabilitas di antara para guru menghadirkan tantangan lain untuk pendidikan inklusif; penyandang disabilitas seringkali menghadapi rintangan yang cukup besar untuk bisa menjadi guru.

(35)

33

meningkatkan pelatihan guru dan keragaman. Di Mozambique, LSM Nasional bernama Ajuda de Desenvolvimento de Povopara Povo telah bekerja sama dengan organisasi penyandang disabilitas ADEMO untuk melatih guru-guru yang akan bekerja dengan anak-anak penyandang disabilitas dan untuk melatih guru-guru penyandang disabilitas.

Pendidikan inklusif memerlukan pendekatan yang fleksibel terhadap organisasi sekolah, pengembangan kurikulum, dan penilaian murid. Fleksibilitas semacam itu memungkinkan untuk mengembangkan pedagogi yang lebih inklusif, yang menggeser fokus dari gaya pembelajaran yang terpusat pada guru ke gaya pembelajaran yang berpusat pada anak untuk bisa merangkul berbagai gaya pembelajaran.

Guru seringkali tidak mendapatkan dukungan yang memadai di kelas, dan mereka harus bisa meminta pertolongan spesialis, misalnya, untuk Braille atau instruksi berbasis komputer, apabila kebutuhan siswa penyandang disabilitas berada di luar keahlian mereka. Spesialis yang demikian tidak banyak tersedia, terutama di wilayah berpenghasilan rendah. Ini membuka kesempatan bagi dukungan yang tepat dari penyedia bantuan finansial dan teknis dari tingkat internasional sampai tingkat lokal.

(36)

34

partisipatif, anak-anak seringkali menonjolkan pentingnya lingkungan yang bersih dan toilet yang higienis; untuk anak-anak penyandang disabilitas privasi dan aksesibilitas adalah sangat penting. Anak-anak penyandang disabilitas bisa dan mesti menuntun dan mengevaluasi usaha-usaha untuk memajukan aksesibilitas dan inklusi. Bagaimana pun, sspirasi untuk pendidikan inklusi besar kemungkinan akan diwujudkan jika pemerintah dan para mitranya jelas tentang siapa mengerjakan apa dan bagaimana, kepada siapa mereka diminta untuk melaporkannya. Jika kebijakan gagal untuk diimplementasikan, masalahnya mungkin adalah mandat yang tidak jelas. Koordinasi dengan para mitra dan pemangku kepentingan bisa memainkan peranan penting dalam proses ini. Eksklusi tidak memberikan manfaat pendidikan seumur hidup kepada anak-anak penyandang disabilitas: pekerjaan yang lebih baik, jaminan sosial dan ekonomi, dan kesempatan untuk berpartisipasi secara penuh di masyarakat. Sebaliknya, investasi di bidang pendidikan anak-anak penyandang disabilitas bisa berkontribusi pada efektivitas masa depan mereka sebagai anggota angkatan kerja. Data menunjukkan bahwa penghasilan seseorang bisa meningkat 10 persen setiap kali mereka menambah pendidikan selama satu tahun.

Selanjutnya, keterampilan dasar membaca dan menulis juga meningkatkan kesehatan. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang bisa membaca 50% lebih besar kemungkinannya untuk tetap hidup melewati usia 5 tahun, dan pendidikan ibu yang rendah telah dikaitkan dengan tingginya angka kekerdilan di kalangan anak di pemukiman kumuh di Kenya, pemukiman Roma di Serbia, dan di Kamboja.

Pendidikan merupakan instrumen dan hak. Sebagaimana disebutkan dalam KHA, pendidikan dapat meningkatkan “perkembangan kepribadian anak, bakat, dan kemampuan mental dan fisik.” d. Esensi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas

(37)

35

keadilan. Dalam masyarakat di mana mereka distigmatisasi dan keluarga mereka terpapar dalam eksklusif sosial atau ekonomi, banyak anak penyandang disabilitas bahkan tidak bisa mendapatkan dokumen identitas mereka. Ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi anak dan merupakan rintangan mendasar untuk partisipasi mereka di masyarakat. Ini bisa menutup invisibilitas mereka dan meningkatkan kerentanan mereka terhadap berbagai bentuk eksploitasi sebagai akibat mereka tidak bisa mendapatkan identitas resmi. Negara-negara anggota KHPD punya kewajiban yang jelas untuk menjamin perlindungan hukum yang efektif untuk anak penyandang disabilitas. Untuk mengganti norma-norma sosial yang diskriminatif, Negara perlu memastikan agar undang-undang yang ada ditegakkan dan bahwa anak penyandang disabilitas diberi tahu tentang hak mereka atas perlindungan dari diskriminasi, dan bagaimana menjalankan hak tersebut.

Prinsip „akomodasi yang masuk akal‟ menyatakan bahwa adaptasi yang perlu dan tepat perlu dibuat sehingga anak penyandang disabilitas bisa menikmati hak-hak mereka sama seperti anak-anak yang lain. Memasukkan mereka ke sistem yang terpisah tidak akan tepat; kesetaraan melalui inklusi adalah tujuan. Diskriminasi Eksklusi anak penyandang disabilitas membuat mereka rentan terhadap kekerasan, penelantaran, dan penyalahgunaan.

Beberapa bentuk kekerasan cukup spesifik untuk anak penyandang disabilitas. Hal itu bisa saja dilakukan demi pengobatan untuk modifikasi perilaku, misalnya, menggunakan kejutan elektrik atau narkoba. Anak perempuan penyandang disabilitas di banyak negara bisa menjadi subyek sterilisasi paksaan atau aborsi. Di banyak negara, anak penyandang disabilitas terus ditempatkan di institusi-institusi. Jarang sekali fasilitas semacam ini memberikan perhatian individual yang dibutuhkan anak untuk sepenuhnya mengembangkan kapasitas mereka. Pengasuhan pendidikan, medis, dan rehabilitatif yang mereka terima di tempat semacam itu seringkali tidak memadai, karena monitoring yang berstandar rendah atau tidak memadai.

Referensi

Dokumen terkait

Kepatuhan dalam pengobatan menurut Slamet (2007) merupakan tingkat ketaatan pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau orang

Dari keputusan atau tindakan tersebut akan menghasilkan atau diperoleh kejadian-kejadian tertentu yang akan di gunakan kembali sebagai data yang nantinya akan di

4) Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan.Dokter atau dokter gigi yang akan melakukan tindakan medik mempunyai tanggung jawab utama memberikan informasi dan penjelasan yang

Pada tulisan ini akan diuraikan tentang definisi dan transformasi wavelet, bagaimana wavelet digunakan sebagai alat analisis (tools) dalam terapan matematika, serta ranah

Untuk beban mati yang bekerja pada gording adalah beban berat sendiri yang terdiri dari berat penutup atap dan berat plafond1. Berat

Diagram Arus Data Level 2 Proses 4 4.1 Laporan Penjualan 4.3 Laporan Pembayaran Tagihan 4.2 Laporan Pembelian Barang tpenjualan admin tpembelian tbayar_tagihan 4.5 Laporan

yang terdapat dalam Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Sumatera..

Hasil pengujian yang dilakukan terhadap campuran Lapis Aspal Beton (Laston) AC-BC yang menggunakan geogrid sebagai bahan tambah pada kondisi kadar aspal optimum (KAO)