• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Religiusitas dengan Subj

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan antara Religiusitas dengan Subj"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

In the end of period middle adulthood, a person tends to experience stagnation conditions, concerns, saturation, and lack of happiness or subjective well-being is lower as the life review of effects. Adjustment is a condition that can keeping mental toughness that a person had psychological the stability of subjective well being, as well as religiosity, besides support the improvement of adjustment too relates to attainment of subjective well being. This study took 68 subjects purposively in this age group among the 50-60 years and old highly educated. Data collected through questionnaires to be analyzed by regressions to the moderating variables. Simultaneous correlation test result obtained F = 7.541, and p = 0.003 (p <0.01), that means that the hypothesis stating that there is a correlation between religiosity and subjective well being by of adjustment as submitted a moderating variables acceptable. R2 = 0.188, which means that religiosity through the adjustment to contribute to subjective well being of 18.8%. Results of partial correlation analysis shows the adjustment to become independent variable or as a moderating variable, whereas variable relugiusitas rejected (excluded a variable) or couldn’t used as independent variables that is connected to subjective well being. Adjustment as the independent variable is able to provide effective contribution for subjective well being of 19.6%.

(2)

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah

Usia dewasa madya merupakan suatu fase evaluasi dan masa jenuh terutama pada kelompok usia 50 tahun hingga 60 tahun (dalam Papalia & Old’s, 2001; dan Santrock, 2007). Pada fase ini menurut Hurlock (2003) seseorang mengalami empty nest terutama apabila anak-anak tidak lagi tinggal dengan orangtua, dan menghadapi masa pensiun. Pandangan negatif tentang pensiun menyebabkan individu cenderung menolak datangnya masa pensiun. Penolakan tersebut ditandai dengan adanya perasaan cemas. Pada saat menghadapi masa pensiun ada gejala fisiologis yang sering muncul diantaranya merasa mudah lelah ketika bekerja, jantung berdebar-debar, kepala pusing, kadang-kadang mengalami gangguan tidur. Sedangkan gejala psikologisnya yaitu rendah diri, tidak dapat memusatkan perhatian, timbulnya perasaan kecewa sehingga dapat mempengaruhi interaksi dengan orang lain.

(3)

evaluasi diri ketika akan memasuki masa tua merupakan tanda-tanda bahwa seseorang akan mencapai kebahagiaan atau tidak dalam akhir hidupnya.Erikson (1992), menyebut keberhasilan menyelesikan tugas life review merupakan titik pencapaian fase yang integrated personality, yang kondisi ini oleh Diener, et al (2003), Diener (dalam Joshi, Singh, dan Bindu, 2009) sebagai pencapaian kebahagiaan atau subjective well being.

Erikson (1992), Erikson (dalam Hurlock, 2005), Santrock (2002), menyatakan bahwa kepribadian terbentuk ketika seseorang melewati tahap psikososial sepanjang hidupnya. Masing-masing tahap memiliki tugas perkembangan yang khas, dan mengharuskan individu menghadapi dan menyelesaikan krisis. Erikson (1992) melihat bahwa krisis tersebut sudah ada sejak lahir, tetapi pada saat-saat tertentu dalam siklus kehidupan, krisis menjadi dominan. Bagi Erikson (1992), Fromm (2000), dan May (1995) krisis bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan vulnerabality (kerentanan) dan potensi, bahwa setiap krisis, selalu ada pemecahan yang negatif dan positif. Pemecahan yang positif, akan menghasilkan kesehatan jiwa, sedangkan pemecahan yang negatif akan membentuk penyesuaian diri yang buruk dan semakin berhasil seseorang mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangannya dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Seseorang yang merasakan hidup mereka bermakna, akan mempunyai harga diri yang lebih tinggi dan jarang mengalami depresi dan kecemasan (dalam Steger, 2006). Integritas dan pencapaian tujuan hidup inilah yang merupakan kondisi akhir yang harus dilalui melalui life review yang memunculkan kondisi yang disebut subjective well being (Diener, et al., 2003).

(4)

penelitian Oswald (2002); Barkan and Greenwood (2003), dan Qiang (2005), menyimpulkan bahwa pada akhir dewasa madya seseorang memiliki kecenderungan persoalan yang khas, seperti pekerjaan yang muncul sangat mungkin telah terselesaikan oleh mereka dalam mencapai pensiun, tetapi dalam situasi-situasi yang menuntut usia dewasa madya mencapai status memadai dalam jabatan, banyak diantara dewasa madya (khususnya pria) merasa tidak puas dalam pekerjaanya, masalah berkaitan dengan pola keluarga ada beberapa faktor yang menyulitkan seseorang dewasa madya dalam mengadakan penyesuaian diri.

Kondisi tersebut menurut Erikson (1992), dan Carr (2004) dikenali sebagai kondisi despair, atau adanya hambatan dalam pencapaian makna hidup yang integrated, menurut Fromm (2002), May (1999), dan McCullough and Willoughby (2009), dipandang sebagi akibat perilaku hedonis, pencapian aktualisasi yang berorientasi ke luar diri sehingga mempengaruhi pencapaian kebermaknaan hidup (quality in life review), kepuasan (life satisfaction) dan kebahagiaan (subjective well being). Untuk itulah agama memiliki peranan yang besar, menjadi pemandu seseorang agar mencapai suatu kebahagiaan (Mangunwijaya, 1991), serta kemampuan penyesuaian diri yang baik (Semiun, 2003).

(5)

Greenwood (2003), bahwa perilaku keberagamaan memandu seseorang untk mencapai kebahagiaan atau subjective well being.

2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang akan dilakukan ini adalah untuk mengetahui hubungan secara langsung antara penyesuaian diri, dengan subjective well being, dan hubungan religiusitas dengan subjective well being melalui kemampuan penyesuaian diri pada individu di usia akhir dewasa madya, yaitu berusia 50-60 tahun. Penelitian ini selain mengkorelasikan religiusitas dan penyesuaian diri dengan subjective well being juga akan mendeskripsikan tingkatan pada variabel penyesuaian diri dengan subjective well being yang diukur melalui data frekuensi tabel silang agar dapat memberikan gambaran yang mudah dipahami dan memberikan informasi yang cukup jelas dan lengkap.

B. Kajian Pustaka 1. Subjective Well Being (SWB)

(6)

pendekatan umum, yaitu bottom up theory dan top down theory. Bottom Up Models, menurut konsep Campbell & Rogers (dalam Rogers, 1999), disebutkan bahwa berbagai kondisi kehidupan yang dijalani sehari - hari dievaluasi secara subyektif oleh individu. Evaluasi subjektif tersebut menghasilkan banyak efek. Efek-efek inilah yang secara langsung mengkomposisi SWB. Top-down Models, menurut Diener (1984), terdapat kecenderungan global (yang dihasilkan dari sifat-sifat kepribadian yang stabil) menjalani kehidupan dalam perilaku yang positif maupun perilaku yang negatif. Kecenderungan global inilah yang kemudian secara konsisten mempengaruhi interpretasi pengalaman atau kejadian hidup sehari-hari. Teori dynamic equilibrum models, dikemukakan Andrew & Robinson (1991), bahwa setiap individu memiliki tingkat ekuilibrum (keseimbangan) SWB yang normal. Meskipun tingkat SWB mengalami perubahan-perubahan ketika mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan (baik ataupun buruk) tingkat SWB yang telah terdeviasi dari pola normalnya akan dikembalikan ke tingkat normal SWB individu oleh berbagai karakteristik kepribadian.

(7)

memiliki pendapat yang maknanya kurang lebih sama, bahwa subjective well-being dan happiness terdiri oleh dua komponen yaitu afektif dan kognitif.

Pengukuran SWB mengacu pada konsep Diener, Suh & Oishi (1997), Kahneman dan Krueger (2006), menyatakan bahwa subjective Well-Being terdiri atas tiga buah komponen umum. Ketiga komponen tersebut merupakan faktor global dari variabel-variabel yang saling berinterelasi, yaitu: a) afek positif (pleasant affect), b) afek negatif (unpleasant affect), dan c) kepuasan Hidup (life satisfaction).

Beberapa faktor yang mempengaruhi SWB menurut Diener et al, (1997); Kashdan (2004); dan Kahneman dan Krueger (2006); adalah; a) temperamen. Temperamen memiliki pengaruh yang kuat terhadap SWB.Sitat-sifat kepribadian khusus merupakan prediktor tingkat SWB tertentu (Mc.Crace & Costa, 1988); b) faktor biososial atau demografik. Beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, status pernikahan, status pekerjaan, pendidikan, aktifitas sosial; c) faktor psikososial, adanya SWB dalam jangka waktu yang relatif pendek (short term) aktifitas sosial; dan d) faktor budaya. Konstruksi budaya tempat tinggal individu berpengaruh cukup signifikan dalain membentuk pola pikir (mind set). Selain faktor tersebut, Hoorn (2007) menjelaskan bahwa pada umumnya terdapat enam faktor yang dominan mempengaruhi subjective well-being dalam diri seseorang, yaitu: kepribadian (Feist dan Feist, 2008), situasi, jenis kelamin dan usia, lingkungan dan faktor ekonomi.

2. Penyesuaian Diri (Adjustment)

(8)

dan Welsh, 2010; dan Wrosch dan Miller , 2011) menjelaskan penyesuaian diri adalah proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat tinggalnya.

Schneiders (1964), Schneiders (dalam Semiun, 2003; dan Wrosch, Amir, dan Miller, 2011) menjelaskan beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan untuk penyesuaian diri, yaitu: a) Self knowledge-self insight, yaitu usaha mengatasi konflik dan frustrasi, dan berusaha secara efektif mengatasi masalah dalam berbagai situasi dengan memahami kemampuan dan keterbatasan diri sendiri; b) Self Objectivity-self aceptance. Self Objectivity, yakni kemampuan untuk berperilaku dan berpikir yang didasarkan atas pengetahuan obyektif dan self acpetance didasarkan atas pengetahuan yang objektif atau menerima diri secara positif serta dapat menghargai diri sendiri secara lebih positif; c) Self control-self development adalah kemampuan untuk mengarahkan dan meregulasi impuls, pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku untuk mengatasi ketegangan dan masalah yang dihadapinya serta pengembangan kepribadiannya pada tujuan yang matang; dan e) Good interpersonal Relationship, yaitu kemampuan untuk menunjukkan hubungan interpersonal yang baik dengan kasih sayang, altruisme, ramah, menghargai hak, pendapat dan perbedaan dengan orang lain yang pada dasarnya berbeda dengan dirinya sendiri.

3. Religiusitas

(9)

Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang. Religiusitas sebagai komitmen religius individu yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan terhadap agama atau kepercayaan yang dianutnya. Religiusitas sebagai komitmen religius individu yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan terhadap agama atau kepercayaan yang dianutnya.

Glock & Strark (dalam Woodwoorth, 2000; David, 2003; dan Ancok, 2005), yang mengemukakan bahwa konsep religusitas sebagai komitmen religius individu dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan terhadap agama yang dianutnya, yang dapat diukur melalui: a) Religious Belief (the ideological dimension), yaitu dimensi keyakinan; b) Religious Practice (the ritualistic dimension), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya; c) Religious Feeling (the experiental dimension), yaitu perasaan atau pengalaman keagamaan yang pernah dialami, dirasakan pun merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan; d) Religious Knowledge (the intellectual dimension), yaitu seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, yang terdiri dari pengetahuan dan konsep-konsep kognitif yang berhubungan dengan penciptaan, serta upaya menambah pengetahuan tentang agamanya, terutama yang ada didalam kitab suci maupun buku-buku agama lainnya; dan e) Religious Effect (the consequential dimension), yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi dan konsekuen dengan ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial.

C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Hipotesis Mayor

(10)

Hipotesis Minor

a. Ada hubungan langsung reigiusitas dengan subjective well being pada usia dewasa madya.

b. Ada hubungan langsung kemampuan penyesuaian diri dengan subjective well being pada dewasa madya.

D. Metode Penelitian 1. Subjek Penelitian

Subjek adalah kelompok akhir dewasa madya, yang berusia 50-60 tahun dan memiliki latar belakang pendidikan tinggi.Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 68 subjek dengan teknik pemilihan sampel menggunakan quota incidental sampling.

Perempuan 12 18% 10 15% 22 32%

Total 32 47% 36 53% 68 100%

2. Pengujian Alat Ukur a. Subjective Well being

Hasil uji diskriminasi butir dapat diketahu sebagai berikut. Tabel 2

Hasil uji instrumen skala subjective well being

Aspek Butir yang diterima Indeks

(11)

Hasil uji reliabilitas pada skala subjective well being diperoleh nilai α = 0,874. Menurut Santoso (2000), Ghazali (2005), dan Azwar (2010), alat ukur dinyatakan reliabel (andal) jika memiliki nilai mendekati angka 1, dengan demikian skala penyesuaian diri yang digunakan dalam penelitian ini tergolong handal.

b. Penyesuaian diri

Hasil uji diskriminasi butir dapat diketahu sebagai berikut. Tabel 3

Hasil uji skala adjustment

Aspek FavorableButir diterimaUnfavorable DiskriminasiIndeks Total Self knowledge-self

insight 1,2,13,14 18 0,486 – 0,532 5

Self-Objectivity-self

acceptance 8,9,19,20, 3,4,15 0,259 – 0,687 7

Self control – self

development 5,16, 10,11,21,22 0,295 – 0,771 6 Good interpersonal

Relationship 12,23,24 6,7,17 0,270 – 0,519 6

Jumlah 13 11 24

Hasil uji reliabilitas pada skala penyesuaian diri diperoleh nilai α = 0,891. Menurut Santoso (2000), Ghazali (2005), dan Azwar (2010), alat ukur dinyatakan reliabel (andal) jika memiliki nilai mendekati angka 1, artinya skala penyesuaian diri yang digunakan dalam penelitian ini tergolong handal. c. Religiusitas

Tabel 4

Hasil uji instrumen skala religiusitas

Aspek Butir diterima DiskriminasiIndeks Total Favorable Unfavorable

Religious Belief 8,17,26, 12,21,29, 0,466 – 0,829 6 Religious Practice 9,18, 4,13,22,30 0,494 – 0,803 6 Religious Feeling 10,19,27, 5,14,23, 0,574 – 0,834 6

Religious Knowledge 2 6,15,24 0,476 – 0,727 4

Religious Effect 3,11,20,28,31 7,16 0,448 – 0,813 7

(12)

Hasil uji reliabilitas pada skala religiusitas diperoleh nilai α = 0,960. Menurut Santoso (2000), Ghazali (2005), dan Azwar (2010), alat ukur dinyatakan reliabel (andal) jika memiliki nilai mendekati angka 1, dengan demikian skala religiusitas yang digunakan dalam penelitian ini tergolong handal.

E. Analisis dan Pembahasan 1. Analisis Pengujian Hipotesis

Hasil pengujian hipotesis dapat diketahui sebagaimana rangkuman tabel berikut.

Tabel 5

Pengujian hipotesis mayor

R R2 F P

0,434 0,188 7,541 0,001

Hasil uji korelasi secara simultan untuk menjawab hipotesis yang menyatakan ada korelasi antara religiusitas dengan subjective well being melalui penyesuaian diri sebagai variabel moderating diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,003 (p<0,01), yang berarti bahwa hipotesis yang diajukan dapat diterima.

(13)

Tabel 6

Pengujian hipotesis minor

T p

Penyesuaian diri (X2) 3,881 0,001

Penyesuaian diri(Z) 2,955 0,012

Religiusitas (X1) -

-Hasil uji korelasi parsial diketahui bahwa pada variabel penyesuaian diri dan variabel penyesuaian diri sebagai variabel moderating diperoleh nilai probabilitas kurang dari 5% (p<0,05) yang berarti penyesuaian diri dalam posisi sebagai variabel bebas memiliki hubungan langsung yang signifikan dengan subjective well being. Demikian pula sebagai variabel moderating, penyesuaian diri juga memiliki hubungan yang signifikan dengan subjective well being.

Hasil analisis uji korelasi parsial pada variabel religiusitas diketahui excluded variable, yang artinya bahwa variabel religiusitas tidak dapat menjadi variabel bebas yang berkorelasi secara langsung dengan subjective well being, artinya religiusitas tidak memiliki hubungan secara langsung dengan subjective well beingkecuali melalui penyesuain diri. Hal ini dapat dikatakan bahwa hipotesis yang mehyatakan ada hubungan antara religiusitas dengan subjective well being tidak terbukti.

Tabel 7

Nilai sumbangan efektif

Variabel Koefisien(β) ProductCross- Regresi R2 Penyesuaian diri (X) 0,727 1605,765 1121,045 19,6%

Penyesuaian diri (Z) 0,212 -218,794 -0,8%

Total 18,8%

(14)

kontribusi negatif sebesar -0,8% yang berarti ketika religiusitas mempengarhi penyesuaian diri, maka subjective well being akan mengalami penurunan sebesar 0,8%.

2. Pembahasan

Hasil uji korelasi secara uji simultan yang menyatakan ada korelasi antara religiusitas dengan subjective well being melalui penyesuaian diri sebagai variabel moderating diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,003 (p<0,01), yang berarti bahwa hipotesis yang diajukan terbukti. Diterimanya hipotesis ini sesuai dengan hasil penelitian Diener, Oishi, and Lucas (2003), dan Schmidt and Welsh (2010), yang menyebutkan bahwa religiusitas dengan segala aspek-aspek di dalamnya secara konsisten membantu seseorang meningkatkan kemampuan penyesuaian diri sehingga mencapai kondisi subjective well being. Hasil penelitian McCullough dan Willoughby (2009) menyimpulkan bahwa religiusitas secara tidak langsung akan mempengaruhi subjcetive well being, yang artinya terdapat variabel lain yang memediasi religiusitas dengan subjcetive well being, salah satunya adalah kemampuan penyesuaian diri.

Diterimanya hipotesis dalam penelitian ini dan kesesuaian dengan penelitian sebelumnya dapat menegaskan bahwa semakin tinggi kemampuan seseorang utnuk menyesuaiakan dirinya maka akan semakin tinggi pula subjective well being yang dialaminya, terutama kemampuan penyesuaian diri yang terkait dengan kehidupan religiusitas seseorang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,188 yang berarti bahwa religiusitas melalui kemampuan penyesuaian diri mampu memberikan kontribusi terhadap subjective well being sebesar 18,8%.

(15)

moderating memiliki korelasi yang signifikan dengan subjective well being. Schneiders (dalam Papalia dan Old’s, 2001; Schmidt dan Welsh, 2010; serta Wrosch dan Miller, 2011) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan dalam dirinya, ketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat tinggalnya.

Adanya korelasi positif tersebut juga dapat diketahui dari hasil analisis silang bahwa 75% subjek yang memiliki kemampuan penyesuaian diri tergolong tinggi juga memiliki subjective well being yang tinggi pula, demikian sebaliknya subjek yang memiliki kemampuan penyesuaian dirinya tergolong rendah juga memiliki subjective well beingyang juga rendah. Hal tersebut juga dibuktikan dari uji chi square yang menunjukkan probabilitas kurang dari 5%. Di samping korelasi positif tersebut juga diketahui nilai koefisien determinasi parsial yang menunjukkan bahwa kemampuan penyesuaian diri seseorang sebagai variabel bebas mampu memberikan kontribusi terhadap pencapaian subjective well being sebesar 19,6%, sehingga dapat dikatakan bahwa selain faktor penyesuaian diri masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi subjective well being. Menurut Diener et al, (1997); Diener, Oishi, dan Lucas (2003), Joshi dan Bindu (2009), menyebutkan beberapa faktor yang relatif memiliki pengaruh kuat terhadap subjective well being, yaitu: a)temperamenyang didalamnya memuat sitat-sifat kepribadian khusus dan faktor ini dapat dijadikan sebagai unit prediktor tingkat SWB seseorang, kemudian b)faktor biososial atau demografik, c) faktor psikososial, dan d) faktor budaya, bahwakonstruksi budaya tempat tinggal individu berpengaruh cukup signifikan dalain membentuk pola pikir (mind set).

(16)

well being.Namun demikian, hasil penelitian Colón-Bacó (2010), justru menjelaskan bahwa religiusitas tidak dapat berdiri sendiri sepenuhnya sebagai prediktor untuk mengukur subjectivwe well being, karena memerlukan variabel demografis dan intensitas religius yang terukur sebagai moderasinya. Penelitian tersebut mengacu pada penelitian Barkan dan Greenwood (dalam Colón-Bacó, 2010), menjelaskan bahwa intensitas religius akan terukur melalui enam indikator, yaitu frekuensi doa, kehadiran dalam layanan keagamaan, interaksi sosial dengan teman, keluarga, dan tetangga, dan peristiwa kehidupan traumatis. Selain indikator tersebut variabel religiusitas dikendalikan oleh beberapa faktor sosio-demografis yang telah terbukti untuk mempengaruhi subjective well being.Penelitian Graham et al., (dalam Chang (2009)juga menilai hubungan terbalik antara subjective well beingdan pendapatan serta kesehatan dengan menguji efek kebahagiaan pada pendapatan, kesehatan, dan faktor lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa orang memiliki subjective well beingyang lebih tinggi berada dalam kondisi ekonomi keuangan yang baik, dan cenderung berada dalam kesehatan yang lebih baik, sedangkan variabel agama perlu dimoderasi oleh faktor-faktor seperti harga diri dan optimisme untuk menghubungkan dengan pencapaian kondisi subjective well being.

F. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian, melalui analisis data dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas melalui kemampuan penyesuaian diri memiliki keterkaitan dengan subjective well being pada usia akhir dewasa madya. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa kehidupan religi sesseorang akan mengarahkan seseorang pada pengembangan kemampuan penyesuaian dirinya, sehingga dapat tercapai kondisi subjective well being.

(17)

subjek yang memiliki subjective well being tergolong tinggi. Penyesuaian diri sebagai variabel moderating memiliki korelasi yang signifikan, namun tidak memiliki konsistensi atau relatif dipengaruhi oleh variabel bebas, yaitu variabel religius atau variabel lainnya.

Adanya variabel penyesuaian diri sebagai variabel moderasi telah menolak religiusitas sebagai variabel bebas yang berkorelasi dengan subjective well being, yang artinya bahwa religiusitas hanya dapat dijadikan variabel yang mendukung variabel penyesuaian diri untuk dikaitkan dengan subjective well being.

Daftar Pustaka

Anthonia, E.I & Asuquo, P.N (2013). Perception And Attitude Towards Pre-Retirement Counselling Among Nigerian Civil Servants. Guidance and Counselling Paper, Department of Educational Foundations, University of Calabar, Calabar. Diambil pada tgl. 17 Juni 2013 dari http://www.tojce.com/january2013/tjanuary4.pdf

Azwar, S (2006). Penyusunan Skala Psikologi. Cetakan VIII, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar

Azwar, S (2010). Validitas dan Reliabilitas. Cetakan 10, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar

Barkan, SE., dan Greenwood, SF. (2003). Religious Attendance and Subjective Well-Being among Older Americans: Evidence from the General Social Survey. Review of Religious Research. Vol. 45., p: 116-29

Carr, W (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strengths. Journal of Philosophy of Education. Volume 38, Issue 1, p:55–73.

Chang, WC (2009). Religious Attendance and subjective Well-being in an Eastern-Culture Country: Empirical Evidence from Taiwan. Marburg Journal of Religion: Volume 14, No. 1

Colón-Bacó, E. (2010). The Strength of Religious Beliefs is Important for Subjective Well-Being. Undergraduate Economic Review. Vol. 6: Iss. 1, Article 11, p: 1-27.

(18)

David, F. (2003). Psychology, Religion, and Spirituality. Oxford: The British Psychological Society and Blackwell Publishing Ltd.

Desmita(2009). Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Rosda Karya

Diener, ED., Scollon, CN., Oishi, S., Dzokoto, V., dan Suh, M. (1997). Recent Findings on Subjective Well-Being. Indian Journal of Clinical Psychology, Vol. 1., p:159–76

Diener, ED and Chan, M (2010). Happy People Live Longer: Subjective Well-Being Contributes to Health and Longevity. Health Benefits of Happiness Journal of Personality, Vol. 71, pg: 1-50

Diener, ED, dan Clifton. D, (2002). Life Satisfaction and Religiosity in Broad Probability Samples. Journal of Psychological Inquiry, Vol. 13, p: 206-09.

Diener, ED., Oishi, S., adan Lucas, RE. (2003). Personality, Culture, and Subjective Well-Being: Emotional and Cognitive Evaluations of Life. Annual Revision Psychological Journal. Vol. 54; page: 403–25

Djarir, I. (2005). Erosi Moral dan Pemahaman Kembali Agama. Diambil pada tanggal 14 Februari 2013. http://www.suara_merdeka.com/harian/0406/18/ op14.htm .

Ekoja, C dan Tor-Anyiin, SA. (2004). Psychosocial effects of retirement on retirees: Implication for pre-retirement conselling in Nigeria. A paper presented at the 28th Annual National Conference of Counselling Association of Nigeria. Maiduguri. Diambil pada tgl. 17 Juni 2013 dari: http://www.unilorin.edu.ng/publications/idowuade/Prof.%20Idowu's

%20Paper.pdf

Ellison, C.G. (1991). Religious Involvement and Subjective Well-Being. Journal of Health and Social Behavior. Vol. 32; page: 80-99.

Erikson. H,E. (1992). Siklus Hidup Manusia dan Krisis Identitas. Cetakan kedua. (Alih bahasa : Suparmanto, T ).Jakarta : Penerbit PT. Gramedia.

Fromm, E (2000). Memiliki dan Menjadi: Tentang dua modus ekxixtensi. Yogyakarta: Penerbit LP3ES

Fromm, E (2002). Beyond the Chains of Illusion: Pertemuan Saya dengan marx dan Freud. Yogyakarta: penerbit Jendela.

(19)

Ghazali, I. (2005). Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Penerbit Universitas Diponegoro.

Grasha, A.F & Kirschenbaum, D.S. (1980). Psychology of adjustment and competence. Cambridge, massachucetts : Winthrop publisher, Inc

Heaven, P.C.L., dan Ciarrochi, J. (2007). Personality and religious values among adolescents: A three-wave longitudinal analysis. British Journal of Psychology, Vol. 98, p:681–694.

Hoorn, A.V (2007). A Short Introduction To Subjective Well-Being: Its Measurement, Correlates And Policy Uses. Organized by the Bank of Italy, the Centre for Economic & International Studies (CEIS), the Joint Research Centre of the European Commission and the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). University of Rome ‘or Vergata.

Hurlock, E.B (2005). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. (Istiwidayanti dan Soejarwo, Pengalih bhs.). Jakarta: Erlangga.

Joshi, U (2010). Subjective Well-Being by Gender . Journal of Economics and Behavioral Studies. Vol. 1, No. 1, pp. 20-26, Dec 2010.

Joshi. LH., Singh, R dan Bindu (2009). Psychological Distress, Coping and Subjective Wellbeing among Infertile Women. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. July 2009, Vol. 35, No. 2, 329-336.

Kahneman, D and Krueger, A.B (2006). Developments in the Measurement of Subjective Well-Being. Journal of Economic Perspectives. Volume 20, Number 1, p:Pages 3–24

Kartono, K (2002). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Rineka Cipta

Kashdan, T.B (2004). The assessment of subjective well-being (issues raised by the Oxford Happiness Questionnaire). University at Bu.alo, Department of Psychology, State University of New York: Park Hill

Knoll, M (2011), Behavioral and Psychological Aspects of the Retirement Decision. Social Security Bulletin, Vol. 71 No. 4, 2011. Diambil pada tgl. 17 Juni 2013 dari http://www.ssa.gov/policy/docs/ssb/v71n4/v71n4p15.html

Mangunwijaya, Y. B. (1991). Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

(20)

May, R (1999). Man Search for Him Self (terjemahan). Jakarta: Penerbit Mitra Utama

McCullough, EM dan Willoughby, L.B.B (2009). Religion, Self-Regulation, and Self-Control: Associations, Explanations, and Implications. Psychological Bulletin, Vol. 135, No. 1, 69–93

Mönks, E.J, Knoers, A.M.P, dan Haditono, S.R, (2001). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai bagiannya (eds). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Oswald (2002). How Much do External Factors Affect Wellbeing? A Way to Use‘Happiness Economics’ to Decide. Artikel (Online). Diterbitkan oleh London: Department of Economics, University of Warwick, Coventry, CV4 7AL. Diambil pada tanggal 12 Juni 2013 dari http://wrap.warwick.ac.uk/344/3/WRAP_Oswald_final_sent_the_psychologis t_aug_2002.pdf

Qiang, Li (2005). Subjective Well-Being and Mortality in Chinese Oldest Old. Working Paper. WP.2005-11. April 2005. Rostock, Germany: Max Planck Institute for Demographic Research.

Santrock, J.W. (2002). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5, Jilid 1, alih bahasa, Juda Damanik & Ahmad Chusairi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Scherer, MJ and Frisina, DR (2008). Characteristics associated with marginal hearing loss and subjective well-being among a sample of older adults. Journal of Rehabilitation Research and Development. Vol. 35 No. 4, Pages 420-426

Schmidt, C.K.,dan Welsh, A.C. (2010). College Adjustment and Subjective Well-Being When Coping with a Family Member's Illness. Journal of Counseling and Development. Vol. 88, No. 4

Schneiders, A. (1964). Personal adjustment and mental health. New York: Holt, Rinehart and Winston

Semiun, Y. (2003). Kesehatan Mental 1. cetakan kedua. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus

Sobur, A (2003). Psikologi Umum. Bandung: Penerbit Pustaka Setia

(21)

Winkelmann, R (2006). Unemployment, Social Capital, and Subjective Well-Being. University of Zurich, Socioeconomic Institute Working Paper 0503. {Online} diakses dari pada tanggal 3 Februari 2007 melalui http://www.iza.org

Woodward, M.R (2000). Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. (Pengalih Bahasa : Salim, HS).Yogyakarta: LkiS

Gambar

Tabel 1Usia dan jenis kelamin Subjek
Tabel 3Hasil uji skala adjustment
Tabel 7Nilai sumbangan efektif

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Aturan hukum mengenai tindak pidana kekerasan yang dilakukan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas dan profesinya dan perlindungan hukum terhadap wartawan yang mendapat

Evolusi sosial masyarakat awal di Semenanjung Tanah Melayu dari zaman Prasejarah sehingga kepada pembentukan bentuk kerajaan-kerajaan awal melibatkan proses berubahnya

Jadi, dapat disimpulkan bahwa komisif yang dominan digunakan dalam terjemah bahasa inggris dari Quran surat An- Nisa’ adalah komisif ancaman dan minoritas komisif

Pada gambar 3.4 sudah dilakukan proses thresholding dengan mencari range nilai hue untuk objek merah muda, semua warna yang masuk kedalam range nilai hue

Pada istilah kedua, tujuan, kriteria, dan indikator yang digunakan untuk menilai program tidak selalu berdasar pada perencanaan program melainkan dapat menggunakan

Faktor lain yang juga menjadi motivasi penelitian adalah seperti dikemukakan sebelumnya bahwa pada tahun 2010 Bank Dunia ( World Bank ) telah melakukan kegiatan program

Interaksi yang terbaik untuk produksi benih adalah kombinasi perlakuan Biourine 10 ml/l dan Varietas Kancil (B1V2) yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata