• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA (2)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

ETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

BERDASARKAN KONSTITUSI

1

Oleh: Moh. Mahfud MD.2

Pengantar

Bahwa negara ini sedang mengalami berbagai persoalan, tentu kita semua telah mahfum. Tidak hanya pada sektor atau bidang tertentu saja, persoalan telah muncul di hampir semua sendi kehidupan berbangsa. Kecenderungan yang ada, persoalan itu semakin hari bukannya semakin menyederhana tetapi kian kompleks dan rumit. Ini bisa terjadi bukan karena kita tidak melakukan apapun untuk mengatasinya. Setiap persoalan telah coba kita atasi dan hadapi dengan menerapkan pendekatan-pendekatan tertentu. Pun demikian, reformasi segala bidang sudah ditempuh untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Itu sebabnya, reformasi pada 1998 dilakukan, dengan harapan kondisi segera berubah dan lebih baik.

Sekarang, setelah lebih kurang 14 tahun reformasi dilakukan, persoalan-persoalan itu tak juga dapat tuntas diselesaikan. Ada beberapa bidang yang mendapat klaim agak sedikit membaik, seperti bidang ekonomi misalnya, namun tidak sedikit yang makin terpuruk seperti bidang hukum, politik, dan sosial. Dulu, reformasi dilakukan antara lain untuk memperbaiki hukum dan politik yang kurang memberikan makna bagi kemaslahatan rakyat. Setelah reformasi, bukannya tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering dibelokkan menjadi instrumen untuk mencapai atau melanggengkan kekuasaan. Hukum dengan segenap institusinya juga tak mampu meredam kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik kotor lainnya. Politik dipraktikkan dengan perilaku yang minim kesantunan. Praktiknya, politik direduksi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah proses mewujudkan kebaikan bersama. Politik identitas semakin menguat mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya di

1 Makalah pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17 September 2012 di Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta.

(2)

2 antara sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan. Distrust itu telah menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan bagi rakyat mengenai hendak dibawa kemana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu pun berpeluang mencetak pembangkangan (disobedience), yang dalam skala kecil atau besar, sama-sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan negara.

Setelah segala cara memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik, dan ekonomi dilakukan dan tak juga menunjukkan hasil, maka banyak yang kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka, melainkan berkait dengan soal etika berbangsa dan bernegara yang meredup. Betapapun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara. Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan krisis etika dan moralitas. Untuk itu, upaya menemukan solusi harus disertai upaya mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip fundamen etis-moral dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD 1945.

Dasar Prinsip Etika Bernegara

Etika merupakan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan etika adalah barometer peradaban bangsa. Suatu bangsa dikatakan berperadaban tinggi ditentukan oleh bagaimana warga bangsa bertindak sesuai dengan aturan main yang disepakati bersama. Perilaku dan sikap taat pada aturan main memungkinkan aktifitas dan relasi antar sesama warga berjalan secara wajar, efisien, dan tanpa hambatan berarti. Masyarakat Jawa misalnya, dituntut dan diajarkan untuk memahami benar tentang arti penting etika. Sebab, etika yang juga sering disebut unggah-ungguh, tata krama, sopan santun, dan budi pekerti membuatnya mampu secara baik menempatkan diri dalam pergaulan sosial, dan itu akan sangat menentukan keberhasilan dalam hidup bermasyarakat.

(3)

3 kolektif. Karena itu, kita masih yakin dan percaya, etika mengalir menjadi bagian dari kultur sosial dan antropologis bangsa Indonesia. Bahkan secara natural-genetis, di dalam diri anak bangsa mengalir sifat-sifat luhur manusia, yang pada perkembangannya dirumuskan oleh founding peoples ke dalam Pancasila, dan selanjutnya disepakati sebagai dasar dan orientasi bernegara. Melalui Pancasila inilah, para pendiri negara menggariskan prinsip-prinsip dasar etis bernegara yang demikian jelas dan visioner. Prinsip-prinsip dasar Pancasila yang dituangkan dalam UUD 1945 dan disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945, tidaklah hadir hanya sebagai intuitif dan tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan melewati proses penggalian mendalam. Meskipun baru dibahas dan dikemukakan dalam sidang BPUPKI menjelang Indonesia merdeka, pemikiran mengenai prinsip-prinsip dasar berbangsa dan bernegara sebenarnya telah muncul dan dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, berbagai pemikiran yang mengarah kepada kepada gagasan terciptanya konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Beragam pemikiran dan gagasan mengenai politik, fundamen etis dan moral bangsa, ideologi, dan visi kebangsaan itu kemudian bersintesis dalam karakter keindonesiaan. Akhirnya, para penyusun UUD berhasil menggali dan mengakomodir nilai-nilai etika dan moral dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain untuk dituangkan ke dalam UUD 1945. Di dalam Pembukaan UUD 1945, nilai etika dan moral terdapat di seluruh Pokok Pikiran3, yang kemudian nilai-nilai itu dijabarkan ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Itu sebabnya, UUD 1945 sejatinya merupakan sintesa nilai etika dan moral yang diangkat dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang dikenal religius, berperikemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Hal ini sangat simetris dan sinergis dengan tujuan bernegara dan berkonstitusi yakni mengarahkan kepada moral kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang lebih baik.

Nilai-nilai luhur itu kemudian disepakati untuk diformalisasi dengan sebutan Pancasila. Di dalam Pancasila itu, nilai ketuhanan ditempatkan sebagai

(4)

4 sumber etika dan spiritualitas pada posisi yang sangat penting sebagai fundamen etik kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegasannya, Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler, karena Indonesia melindungi hidupnya semua agama dan keyakinan serta mengembangkan agama untuk bisa memainkan peran yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Dalam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia juga meruapakan fundamen penting bagi etika politik kehidupan bernegara. Pengakuan dan pemuliaan hak-hak dasar warga negara secara adil dan beradab merupakan prasyarat yang tak boleh diabaikan dalam bernegara.

Pancasila juga menekankan prinsip persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan itu dikelola dalam konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan keragaman dalam persatuan. Dalam prinsip semacam ini, ada toleransi, ada ruang hidup untuk bisa menerima dan menghormati perbedaan yang ada. Perlu diketahui, negara Indonesia merdeka dikonstruksi di atas perbedaan, sehingga perbedaan itu bukanlah masalah tetapi justru menjadi sumber kekuatan. Dalam Pancasila terkandung pula prinsip bahwa nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan tersebut diaktualisasikan dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat melalui prinsip musyawarah mufakat. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi menjadi landasan etik bagi upaya mewujudkan keadilan sosial dengan semangat kekeluargaan. Intinya, melalui Pancasila dan UUD 1945, prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara yang dibangun oleh para pendiri negara diarahkan untuk memajukan kepentingan umum (bonnum commune) dalam kerangka nilai-nilai ketuhanan, penghormatan terhadap kemanusiaan, mengedepankan persatuan, mengembangkan demokrasi, serta berorientasi mewujudkan keadilan sosial. Inilah prinsip-prinsip mendasar yang dijadikan acuan dalam merumuskan kehidupan demokratis berbasis etika dan moralitas.

(5)

5 perseorangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya. Perbedaan, dalam hal ini tetap dijunjung tinggi sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.

Terkait dengan implementasi hak asasi manusia (HAM), Pembukaan UUD 1945 menyelaraskannya dengan filosofi, budaya, serta struktur kemasyarakatan Indonesia. Dalam konteks filsafati, HAM akan terpenuhi manakala manusia juga menunaikan kewajiban asasinya. Karena itu, tegaknya HAM harus diartikan sebagai keseimbangan tegaknya hak asasi dengan kewajiban asasi.

Demikian halnya dengan bidang ekonomi. UUD 1945 mengepankan prinsip kesejahteraan sosial dalam setiap aktifitas perekonomian yang berorientasi pada keadilan sosial. Pembangunan ekonomi harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan. Interaksi antar pelaku dalam ekonomi dilandasi oleh semangat keseimbangan, keserasian, saling mengisi, dan saling menunjang dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Problem Implementasi Etika Dewasa Ini

Yang terjadi di masyarakat belakangan ini, pengabaian moral dan etika berlangsung secara massif di hampir semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika mengalami proses marginalisasi secara serius sedemikian rupa. Pergeseran nilai akibat transaksi informasi global dan pola pikir pragmatis-materialisme telah berimbas pada peminggiran etika, dalam arti, etika seringkali tak lagi dijadikan acuan tindakan dan perilaku. Drama yang kita lihat belakangan ini, baik di pentas politik, panggung sosial, maupun di arena penegakan hukum, hampir semua mementaskan aktor dengan perilaku miskin etika.

Di pentas politik, etika politik sudah lama tiarap. Barangkali, seperti pernah dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno, etika politik itu hanya academic exercise, hanya menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangku-bangku

(6)

6 Di bidang pemerintahan, etika aparat pemerintahan semakin merosot. Aparat pemerintahan saat ini kebanyakan melihat status dan jabatan yang disandang bukan sebagai amanat untuk mengabdi pada bangsa dan negara sehingga harus bekerja keras dalam menjalankan amanat tersebut. Sebaliknya, status dan jabatan yang dikuasai adalah peluang untuk mencari keuntungan pribadi sehingga tidak akan bekerja dengan baik jika tidak menerima imbalan dan akan selalu mempresepsikan setiap tugas dan fungsi yang diemban dari sisi materi. Proyek-proyek negara yang dibiayai dari uang rakyat dilihat sebagai lahan untuk menambah pendapatan sehingga sebanyak mungkin dikeruk untuk keuntungan pribadi. Hilanglah kejujuran digantikan dengan manipulasi untuk pertanggungjawaban keuangan. Hilanglah semangat kerja keras, digantikan dengan prinsip mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan kerja sesedikit mungkin.

Karena persepsi kegiatan dan anggaran untuk keuntungan pribadi tersebut, berlomba-lombalah para pejabat pemerintahan mengajukan dan mendapatkan anggaran sebanyak-banyaknya walaupun tidak rasional jika dibandingkan dengan kemampuan jabatan dan organisasi yang dimiliki untuk menjalankan program tersebut. Bahkan untuk memperoleh anggaran itupun sudah dilakukan dengan ketidakjujuran data serta melakukan penyuapan terhadap lembaga yang menentukan anggaran. Jika di hulu anggaran sudah dilakukan dengan menghalalkan cara, tentu dalam pelaksanaan dan pertanggungjawabannya pasti dipenuhi dengan kebohongan, yang pada akhirnya merugikan rakyat.

Saat ini, banyak pejabat negara yang berperilaku tidak etis atau melanggar etika. Banyak pejabat negara yang sedang mendapat sorotan masyarakat karena diduga terlibat dalam kasus hukum tertentu, dengan enteng menjawab, buat apa mundur, bukankah pengadilan belum membuktikan kalau saya bersalah. Padahal, seseorang yang melanggar etika seharusnya merasa

(7)

7 untuk kemudian diformalkan menjadi aturan hukum. Oleh sebab itulah, kaidah-kaidah itu harus dijadikan landasan dalam penegakan hukum.

Di bidang sosial, etika dalam pergaulan antar sesama warga semakin tergerus oleh berbagai hal, mulai dari pergeseran nilai sebagai imbas modernitas, derasnya arus informasi yang tak terbendung, sampai dengan menyeruaknya kembali politik identitas. Perbedaan latar belakang, apakah itu agama, keyakinan, suku, aliran, atau perbedaan lainnya, mudah sekali menyulut konflik meski dipicu oleh persoalan-persoalan sepele. Terlebih lagi,

perbedaan pendapat lebih sering diselesaikan dengan menggunakan ”okol”

ketimbang akal. Akibatnya, alih-alih menyelesaikan masalah, yang ada persoalan makin rumit dan kian meruncing. Kecenderungan lebih menggunakan

”okol” ketimbang akal menunjukkan melemahnya penghargaan dan penghormatan terhadap nilai dan martabat manusia.

Tak berhenti sampai di situ, etika di dunia pendidikan juga nyata-nyata semakin dipinggirkan. Sekarang ini banyak orang yang suka melanggar etika akademis dan etika keilmuan, misalnya orang membeli gelar akademik dan suka mencuri karya keilmuan orang lain (plagiasi). Pada kasus lain, ada akademisi yang suka ”menjual” keahlian untuk menuliskan tesis atau disertasi orang lain dengan imbalan tertentu. Ada pula pakar dari perguruan tinggi yang diminta menyampaikan pendapat ahli di persidangan tetapi pendapatnya tidak mengacu pada pakem ilmiah-akademis melainkan bergantung pesanan dan pendapatan. Dulu, orang menulis buku dan menerbitkan merupakan prestasi akademik luar biasa yang membanggakan. Tetapi sekarang, orang bisa punya artikel, buku, atau bahkan karya ilmiah tanpa harus memiliki tradisi berpikir ilmiah dengan cara menyewa ghost writer lalu mengklaim hasil tulisan itu sebagai karyanya, padahal ia tak paham substansinya. Mereka yang mengabaikan etika ilmiah akademik itu merupakan orang yang tidak keberatan membohongi diri sendiri. Dan apabila seseorang sudah bisa membohongi diri sendiri, maka dia tidak sungkan untuk membohongi orang lain, itulah ciri koruptor atau calon koruptor. Artinya, kemerosotan etika di dunia pendidikan turut berkontribusi banyak dalam keterpurukan moral dan etika bangsa.

(8)

8 kesempatan tapi tak korupsi, dianggap sebagai orang yang sok bersih. Alhasil, kita sendiri tidak tahu bagaimana cara memberantasnya. Seperti sering saya katakan, teori pemberantasan korupsi dari gudang sudah habis. Semua teori dan cara sudah disarankan namun seolah tak ada yang mempan, sementara negara terus menerus digerogoti.

Di bidang hukum, yang terjadi sekarang adalah hukum dibuat dan ditegakkan tanpa bertumpu pada etika, moral, dan hati nurani sehingga menjauhi rasa keadilan. Aturan hukum yang dibuat seringkali tak membawa perbaikan yang diinginkan. Salah satu sebabnya karena terjadinya pelanggaran etika melalui politik kompromistis-transaksional saat pembahasan di lembaga legislatif. Di ranah penegakan hukum, para penegak hukum sering berhenti pada keinginan menegakkan bunyi pasal-pasal undang-undang itu sendiri tanpa melibatkan moral dan etika. Penegakan hukum yang hanya sekedar menekankan dan mengedepankan formalitas-prosedural di atas etika dan moral keadilan publik sebagai sukma hukum, menyebabkan keadilan seringkali gagal diwujudkan.

Hal serupa terjadi di bidang ekonomi. Ekonomi tidak bisa dilepaskan dari etika dan moral, karena ekonomi tanpa etika sama halnya dengan kejahatan. Namun demikian, saat ini kita melihat bagaimana aktivitas ekonomi yang dijalankan justru mengesampingkan etika. Maraknya kasus korupsi berupa suap dalam bentuk commitment fee atau kick back dalam proyek misalnya, menujukkan bagaimana aktivitas ekonomi telah mengesampingkan etika. Padahal, jika saja etika untuk memperoleh proyek pemerintah dipegang teguh, korupsi dan suap akan bisa dicegah. Saat ini kita juga dapat melihat dikesampingkannya etika aktivitas ekonomi terhadap lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat saat ini dan di masa yang akan datang. Pelanggaran-pelanggaran atas etika terjadi pula dalam bidang ekonomi terkait dengan lemahnya etika pemerintahan di birokrasi. Saya pernah bertemu dengan pengusaha yang mengaku terpaksa menyuap pejabat karena pejabatnya yang minta disuap sehingga kalau tidak menyuap dia akan kalah atau dikalahkan oleh orang lain yang berani menyuap lebih tinggi.

(9)

9 negara lain, sehingga negara dapat menyatakan perang, namun keadaan sekarang ini lebih bahaya karena ancaman itu justru datang dari dalam negara. Ancaman bahaya itu ialah terjadinya penggerogotan dan pembusukan dari dalam negara ini sendiri. Krisis etika telah membuat kita sulit menemukan orang-orang dengan perangai santun, tulus, toleran, mengapresiasi orang lain secara berkeadaban dan manusiawi, dalam segala hal. Itu sesuatu yang ironis mengingat jati diri bangsa Indonesia sesungguhnya dibingkai oleh nalar untuk memberikan penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan keadilan.

Solusi Menguatkan Etika

Sebenarnya, mulai hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah disadari sejak awal reformasi. Hal ini karena salah satu faktor penyebab runtuhnya rezim Orde Baru juga ialah masalah etika bernegara yang dilupakan. Tak dapat disangkal bahwa Orde Baru berhasil memajukan pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula pengikisan atau pemiskinan nilai-nilai moral. Untuk mengembalikan dan meningkatkan etika bernegara pada tahun 2001 MPR membuat Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan ini sesungguhnya saat ini masih berlaku, namun sayang telah dilupakan, bahkan oleh para pejabat negara. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menentukan Etika Kehidupan Berbangsa meliputi:

1. Etika Sosial Budaya

Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencitai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yaitu malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu juga perlu ditumbuhkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat.

(10)

10 Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

3. Etika Ekonomi dan Bisnis

(11)

11 Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan industri atau perdagangan barang dan jasa. Banyak perdagangan yang bersifat semu dan berorientasi pada pemuas kesenangan serta mengejar keuntungan. Misalnya, perdagangan mata uang dan logam mulia. Perdagangan ini mengakibatkan nilai dan jumlah uang yang beredar “seolah-olah” semakin besar dan bertambah nilainya, namun tidak diiringi pertumbuhan sektor riil. Suatu saat, tentu akan mengalami puncak dan ambruk karena tidak memiliki aktivitas ekonomi riil sebagai dasarnya. Ketiga, sistem yang mengumbar keserakahan dan persaingan bebas yang menghalalkan segala cara telah merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, terutama maraknya praktik korupsi.

4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warganegara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya..

5. Etika Keilmuan

(12)

12 6. Etika Lingkungan

Etika lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggungjawab.

Etika, sebagai ajaran-ajaran moral yang menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan buruk merupakan ajaran yang bersifat konstan sehingga persoalan sesungguhnya adalah bagaimana menanamkan etika, mengontekstualisasikan, dan mengaktualisasikan dalam realitas kehidupan bernegara. Untuk itu, memperkuat etika berbangsa dapat dilakukan melalui pendidikan ajaran nilai dan moral yang menjadi sumber etika serta aktualisasinya dalam kehidupan bernegara. Di dalam Ketetapan Nomor VI/MPR/2001 ditentukan pula arah kebijakan untuk memperkuat etika bernegara adalah:

1. Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal dan pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat.

2. Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan menjadi pendidikan yang bersifat terpadu dengan menekankan ajaran etika yang bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur bangsa serta pendidikan watak dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal kebajikan.

3. Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas kehidupan berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etika dan akhlak mulia, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi.

(13)

dimensi-13 dimensi etis dan keluhuran bangsa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur dan jati diri bangsa.

Semua cara tentu harus ditempuh untuk memperkuat etika bernegara. Namun, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, pendidikan etika merupakan pendidikan karakter yang berbeda dengan pendidikan sebagai transfer pengetahuan. Dalam proses pendidikan karakter ini peran keteladanan jauh lebih besar dibanding dengan proses verbal. Perilaku dosen dan pimpinan perguruan tinggi lebih besar pengaruhnya terhadap pembentukan etika mahasiswa dibanding kuliah tentang etika di kelas. Keteladanan dalam menegakkan kejujuran ilmiah dan keberanian dalam menegakkan kebebasan akademik serta kebebasan mimbar akademik menjadi hal yang sangat penting untuk ditumbuhsuburkan di kampus-kampus. Demikian pula, keteladanan aparat dan pimpinan pemerintahan akan berpengaruh lebih tinggi terhadap upaya memperkuat etika bernegara di kalangan masyarakat dibanding dengan model penataran, berapa jam pun penataran itu diberikan.

Kedua, persoalan etika bernegara tidak dapat diselesaikan hanya oleh

negara dan para aparatnya. Negara dalam geraknya diwakili oleh aparat yang juga merupakan anggota masyarakat. Dengan sendirinya perubahan etika bernegara yang terjadi di kalangan aparat sesungguhnya mencerminkan perubahan yang terjadi di masyarakat. Sebaliknya, aparat dan pimpinan adalah model bagi anggota masyarakat. Semuanya saling terkait sehingga harus dilakukan secara simultan. Di era demokrasi saat ini, masyarakat memiliki peran besar untuk menentukan pemimipin yang beretika sekaligus mampu memperkuat etika berbangsa dan bernegara. Untuk dapat melakukan hal ini, tentu harus ada kesadaran terlebih dahulu di kalangan masyarakat serta organisasi masyarakat dan politik tentang pentingnya etika berbangsa dan bernegara.

Atas dasar itulah, nilai-nilai etika dan moral harus benar-benar hidup di dalam sanubari dan kehidupan kita. Sebab, apapun itu, kalau tidak bersumber atau dilandasi oleh etika dan moral, akan berpotensi besar membahayakan masa depan dan menggagalkan tujuan kita mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang demokratis, berkeadaban, dan berkeadilan.

(14)

14 Daftar Bacaan

A.B. Kusuma, Lahirnya Undang Dasar: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Unibersitas Indonesia, Jakarta, 2004.

Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 1988.

____________________, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1991.

____________________, Memantapkan Demokrasi Pancasila: Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta, 1994.

J. Kristiadi, Demokrasi dan Etika Bernegara, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2008.

Kartohadiprodjo, S., Pancasila dan/dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bina Cipta, Bandung 1986.

Mohammad Noor Syam, Sistem Filsafat Pancasila: Tegak sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 1945, Makalah yang disajikan dalam Kongres Pancasila yang diselenggarakan UGM-MKRI pada 30-31 Mei dan 1 Juni 2009 di Kampus UGM, Yogyakarta.

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007.

______________, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

______________, Hukum, Moral, dan Politik, Materi Studium Generale untuk Matrikulasi Program Doktor Ilmu Huku Universitas Diopnegoro, Semarang, 23 Agustus 2008.

Slamet Sutrisno, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Andi Publisher , Yogyakarta, 2006.

Soekarno, Lahirnja Pantja Sila, dalam Tjamkan Pantja Sila, Departemen Penerangan, 1964.

Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan pada penelitian ini bahwa pembelajaran matematika materi bangun datar menggunakan media papan berpaku dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan bukti data

Bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 60 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 1 Ayat 32 Peraturan

Atau dengan pernyataan bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga - karena kerelativitasnya - maka setiap pemeluk agama

Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan

Terapis menayangkan beberapa vidio inspirasi tentang berfikir positif agar para santri dapat mengambil suatu hikmah dari apa yang selama ini difikirkan maka akan berakibat

DePorter dan Hernacki (2002) menyatakan bahwa gaya belajar seseorang merupakan kombinasi dari bagaimana cara menyerap informasi dengan mudah dan mengatur,

Rogers & Kincaid dalam buku Communication Network mengatakan bahwa analisis jaringan komunikasi adalah sebuah metode riset untuk mengidentifikasi struktur

Garis besar alur evolusi yang Engels teorikan, yakni bahwa ciri-ciri Homo sapiens (bipedalisme, kapasitas otak besar, produksi perkakas, dan bahasa) tidaklah berevolusi