106 SUSASTRA
menyaksikan berbagai hal yang menyedihkan, tragis, dan lucu baik ketika mengungsi dengan berjalan kaki dari Nanam yang berbatasan dengan Manchuria, maupun saat naik kereta api dan kemudian menyeberang dari Busan-Korea menggunakan fery ke Fukuoka. Scpanjang pc1jalanan itu, pembaca bisa menangkap atmosfer Korea yang baru saja terlepas dari Jepang; situasi kacau, kelaparan, rusaknya sanitasi dan keamanan sipil, orientasi politik sipil yang belum stabil, masuknya pengaruh komunis Cina-Rusia, serta sentimen anti-Jepang yang memuncak memberikan dimensi lain pada pembaca saat ini yang selama ini sudah sarat dijejali "fakta".
Sebuah novel, mau tidak mau, tetaplah novel. ltulah yang hendak dijawab oleh penulisnya ketika mendapatkan serangan bertubi-tubi dari berbagai piliak. Dalam scbuah wawancara tertulis kepada sebuah surat kabar Korea, penulisnya mengatakan, ia tidak ingin menyakiti siapa sja, ia hanya ingin menulis novel yang diangkat dari pengalaman getir sewaktu kecil.
Bagi pembaca Indonesia, mengisahkan narasi-narasi kecil seperti yang dilakukan Kawashima Watkins pada zaman pendudukan Jepang maupun semasa penjajahan Belanda, serta gegap gempita "perang saudara" dan tragcdi ideologi tahun 60-an dapat memperkaya narasi narasi kecil untuk tampiJ di ruang publik yang lebih luas. Kalau teks scjarah tidak lagi mampu membuat kita belajar tentang busuknya peperangan dan ambisi pemimpin politik dunia bagi perorangan, siapa tahu teks sastra bisa bekerja lebih baik.
Perempuan Nelangsa dalam
Cerpen Happy Salma
Asep Sambodja
Universitas IndonesiaJudul buku: Pulang Penu/is: y Sa/ma Penerbit: Koekoesan Ta/nm terbit: 2006 Tebal.· 120 halaman
Oda mulanya adalah kecurigaan. Kita dapat saja curiga kenapa Happy
r
Salma menulis karya sastra. Kenapa Happy Salma menulis cerpen dn sudah pula ditcrbilkan dalam kumpuJan cerpen Pulang (Depok: Koekoesan, 2006)? Kalau .ita mengutip lgnas Kleden, setidaknya ada tiga kegelisahan yang menyebabkan seseorang menulis, yakni kegelisahan eksistensial, kegelisahan politik, dan kegelisahan metaisik. Yang menjadi persoalan kemudian adalah kegelisahan macam apa yang melatarbelakangi Happy Saa ketika menulis cepen?Sebagai seorang artis sinetron dan bintang iklan, Happy Salma tidak perlu lagi mencemaskan persoalan eksistensial karena ia sudah eksis di bidangnya. Namun, sebagaimana Rieke Diah Pitaloka-artis yangjuga menghasilkan karya sastra berupa puisi dan berpolitik praktis-Happy Salma tampaknya merasa tidak cukup puas dengan gemerlapan di dunia selebritis. Ia ingin lebih dari sekadar terkenal sebagai artis dan bintang iklan, ingin lebib dari sekadar meraih uang dalam jumlah besar, dengan menulis karya sastra, dalam hal ini cerpen.
108 SUSASTRA
dan "abadi". Dengan menuangkan gagasannya melalui karya sastra, kita sebagai pembaca tidak saja menikmati cerita Happy Sa Ima, tetapi juga menangkap pesan yang hendak disampaikannya. Bisa jadi melalui me dia sastra ini, Happy Salma lebih leluasa menyampaikan dan mengekspresikan gagasannya.
Kumpulan cerpen Pulang karya Happy Salma ini sebagian besar berbicara tentang pulang; yang berarti kembali ke rumah, kembali ke kampung halaman, kembali ke orangtua, kembali ke alam baka, atau yang dikenal sebagai sangkan paraning dumadi, manusia berakal yang mencoba mencari asal-muasalnya dan pencarian tujuan bagi segala yang diciptakan di muka bumi. Dalam cerpen-cerpen Happy Salma, Pulang juga bisa berarti meninggalkan tindakan buruk ("Pada Sebuah Pementasan"), kematian ("Adik"), a tau juga firasat buruk yang dirasakan ibu terhadap anaknya yang tak pemah memberi kabar meskipun terus mengirirn uang dari perantauan ("Pertemuan").
Ada tiga cerpen dalam kumpulan buku ini yang memperlihatkan Happy Salma serius menghasilkan karya sastra, yakni cerpen "Pulang", "Pertemuan", dan "Ibu dan Anak Perempuannya". Saya katakan serius karena Happy Sal ma tidak sekadar menghibur, tapi juga bersuara, yakni menyuarakan jeritan perempuan yang nelangsa, perempuan yang sengsara. Dengan demikian, cerpen Happy Salnm memenuhi fungsi karya sastra yang disebut Horatius sebagai dulce et utile (menghibur dan bermanaat).
Dalam cerpen "Pulang", Happy Salma memperlihatkan seorang perempuan yang memberontak terhadap kekangan budaya patriarki. Semakin keras kekangan itu atau semakin besar represi yang dilakukan oleh orangtua, semakin besar pula resistensi yang dilakukan seorang anak terhadap orangtua. Dalam cerpen tersebut, sang bapak melarang anaknya berbubungan dengan lelaki yang berbeda agama atau keyakinan. "Na,; kita orang Sunda, orang Sunda tidak ada yang memiliki dua keyakinan dalam satu rumah. apa pun alasanya, "suara Bapak berubah parau (halaman 94).
Sang Bapak sangat yakin anaknya dapat mengerti dan memahami pemyataannya. Namun, tanpa sepengetahuan sang bapak, sang anak sebenamya sangat membencinya, karena hubungannya dengan lelaki
ASEP SAMBODJA 109
bcda agama itu sudah demikian jauh, karena ia sudah tidak perawan lagi. Tapi, bukan soal tidak perawan itu yang menggelisahkannya, melainkan kepergian sang kekasih setelah tidak mendapat restu dari orangtua. Meskipun demikian, perlawanan yang dilakukan sang anak hanyalah perlawanan dalam kepatuhan. Hal ini dapat terbaca di akhir cerita. Aku masuk ke dalam rumah, kutatap wajah Bapak yang sedang duduk bersila di hamparan sajadah me11anti maghrib tiba. Semakin tua, semakin sering dia berdoa. Kelu kucium ta11gannya. Tanpa kata aku pergi, ta11pa ingin kembali ke rumah ini, sampai aku tahu apa yang kumau. Tak apalah aku dibilang egois, sekali-kali (halaman 97). Ta menbenci bapaknya, tapi ia masih menghormatinya.
Perempuan yang nelangsa juga tergambar dalan cerpen Happy Sa Ima yang lain, "Thu dan Anak Perempuannya". Dalam cerpen ini, Happy Salma menggunakan metafor yang menarik, "Waduh, halaman rumah harus dirapikan. Walaupun tanaman tropis berwajah hijau dan segar, tapi kalau tidak ditata, temyata bisa menyesakkan juga. Jadi, penghuni rumah yang sedang sakit pun tercermin." (halaman 29). Kalinat simbolik itu merujuk pada sang ibu yang memang benar-benar sakit parah dan hanya tergolek lemah di ranjang, karena mengidap sakit gula, sekaligus merujuk seorang anak perempuan, Arum, yang "sakit" karena harus melayani la.i-laki hidung belang setiap hari.
Perempuan nelangsa di sini adalah sang ibu yang ditinggal pergi suami dan anaknya sekaligus. Suaminya nenikah dengan gadis seusia anaknya dan tega mcninggalkan ist1-inya nelangsa. Sementara anak perempuannya, Arum, kawin lari dengan laki-laki yang sudah beristri, namw1 kemudian ditelantarkan. Sejak itu dan karena itu pulalah Amm hidup dari satu laki-laki ke laki-laki lain karena hanya dengan cara dan jalan sepcrti itulah Arum dapat menjaga ibunya untuk terns berobat guna menghadapi penyakit gula yang mcmatikan dan membutuhkan biaya selangit itu.
110 SUSASTRA
mengejutkan karena kakaknya yang dulu pernah bekerja sebagai ofice boy di sebuah supermarket, kini menjelma menjadi waria atau banci yang cantik. Yang lebih mengejutkan lagi, dari kamar kakaknya itu keluar seorang laki-laki bule berbadan tegap. Cantik lemas, Cantik terluka, tak mampu berkata apa-apa selain menyampaikan pesan dari ibunya agar kakaknya segera pulang meskipun ia sendiri tak berharap kakaknya yang telah berganti kelamin itu pulang.
Thu, perempuan, yang muncul dalam cerpen Happy Salma adalah sosok perempuan yang nelangsa. Perempuan yang sakit. Sakit karena suaminya kawin lagi. Sakit karena anaknya kawin lari dengan laki-laki beristri dan kemudian menjadi pelacur. Sakit karena anak laki-lakinya menjelma banci yang cantik dan menjual diri. Sakit karena dilarang kawin dengan laki-laki pilihannya sendiri meskipun berbeda agama. Sakit karena tak dapat menghilangkan pusaka dari dirinya sehingga harus bersetubuh dengan siluman ("Umi").
Happy Salma berhasil mcnyuguhkan sebuah karya sastra yang tidak saja memikat, tapi juga mencerahkan. Bahwa masih ada persoalan perempuan yang perlu disuarakan secara terus-menerus dari hati yang paling dalam, dan masih ban yak pula permasalahan yang perlu diperbaiki. Karena, "Aku sadar, aku pun bukan aku yang dulu. aktu re/ah mengubahnya, ia telah mengubah segalanya." (halaman 92). Cerpen cerpen yang terhimpun dalam Pulang menjadi alasan kuat kenapa kita harus menyambutnya dalam khazanah sastra Indonesia.
Puisi Indonesia di Masa Orde Baru
Saktiana Dwi Hastuti
Mahasiswa Program Studi Indonesia IB UJ
Jud,,! buku: Rahasia Membutuhkan Kata Penulis: Harry Aveling
Penerbit: lndonesiaTera
Tahun terbit: 2003
Tebal.· xii + 282 halaman
Uarry Aveling dalam Rahasia Membutuhkan Kata menyajikan salah .lsatu cara pandang yang berbeda terhadap dunia puisi Indonesia sepanjang periode Orde Baru. Ia menempatkan dunia puisi Indonesia dalam konteks sosial-politik. la menyediakan hasil pengamatan yang menyeluruh tentang penulisan selama tiga dekade tersebut.
Dalam antologinya ini, ia menampilkan 118 puisi dari 24 penyair Indonesia. Antologi puisi tersebut terdiri dari delapan bab, yang tcrbagi alas dua bagian pokok. Pembagian tersebut yaitu perpuisian Indonesia sejak 1965 hingga pertengahan 1980-an dan era 1980-an sampai lengsemya pemerintahan Soeharto pada 1998.