• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Pendidikan Perdamaian pada Pem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penerapan Pendidikan Perdamaian pada Pem"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN PENDIDIKAN PERDAMAIAN MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI PENCEGAH TINDAK

KEKERASAN DI SEKOLAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran PKN SD Dosen: Fathurrohman, M. Pd.

Disusun Oleh

Muhammad Fauzan Ashikin NIM. 13108241157

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN PRA SEKOLAH DAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah senantiasa kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan makalah sesuai waktu yang telah ditentukan.

Proposal penelitian ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Penelitian Pendidikan. Penulisan makalah ini dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan dari pihak-pihak terkait. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Fathurrohman, M. Pd selaku dosen mata kuliah Pembelajaran PKN SD yang penuh dedikasi membimbing kami. Makalah ini berjudul Penerapan Pendidikan Perdamaian Melalui Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pencegah Tindak Kekerasan di Sekolah.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini. Besar harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan wawasan keilmuan dan pengetahuan kita khususnya dan semua pihak yang berkenan membaca makalah ini.

Yogyakarta, 1 November 2015

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...ii

Daftar Isi...iii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...2

C. Tujuan...2

II. PEMBAHASAN A. Kekerasan Terhadap Anak di Sekolah...2

B. Pendidikan Perdamaian...4

C. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan...6

D. Penerapan Pendidikan Perdamaian pada Pembelajaran PKn...9

III. PENUTUP A. Kesimpulan...11

B. Saran...12

(4)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kekerasan merupakan fenomena yang sudah lama mewarnai dunia pendidikan di Indonesia sampai saat ini meski UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2003 telah dilahirkan dan kata damai dan aman juga terus membanjir dari pendidik, tokoh masyarakat, hingga pejabat pemerintah. Dalam praktik kekerasan itu, baik fisik maupun psikis, korban paling banyak adalah anak. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukan 7.000 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia dari tahun 2014 sampai 2015 (http://news.okezone.com). Di antara kasus-kasus tersebut penulis mengambil contoh kasus yang terjadi pada 19 September 2015 di SD Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Seorang anak berinisial NAA (8), tewas di tangan temannya RR karena dipukul di bagian dada dan ditendang kepalanya, karena RR merasa tersinggung diejek oleh NAA (http://news.okezone.com). Selain itu, pada Senin 12 Oktober di SD Negeri 1 Jangkar, Situbondo, Jawa Timur, seorang guru diduga melakukan penelanjangan terhadap delapan siswanya di depan teman-temannya di dalam kelas karena tidak mengerjakan PR (http://news.detik.com).

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar yang aman dan nyaman bagi anak justru berubah menjadi ancaman bagi mereka. Guru yang menjadi pelaku kekerasan sering berdalih mendisiplinkan siswanya agar taat pada peraturan. Tindakan pendisiplinan dalam bentuk kekerasan fisik maupun psikis dapat menimbulkan trauma bagi anak, selain itu anak juga akan meniru perilaku kekerasan yang dilakukan padanya terhadap orang lain. Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba. Seorang anak menampilkan perilaku itu merupakan hasil belajar juga, baik langsung maupun tidak langsung. Jadi, jika anak sering melihat perilaku kekerasan di sekolah, di rumah, atau di lingkungan bermainnya, maka besar kemungkinannya anak akan melakukan tindakan kekerasan.

(5)

Kewarganegaraan bukanlah subtansi materinya, akan tetapi pada proses pembelajaran yang membentuk peserta didik yang sesuai tujuan pendidikan dan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa faktor penyebab tindak kekerasan terhadap anak di sekolah? 2. Bagaimana konsep dasar pendidikan perdamaian?

3. Bagaimana menerapkan pendidikan perdamaian pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan?

C. Tujuan

Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor penyebab tindak kekerasan terhadap anak di sekolah. 2. Untuk mengetahui konsep dasar pendidikan perdamaian

3. Untuk mengetahui cara menerapkan pendidikan perdamaian pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

II. PEMBAHASAN

A. Kekerasan terhadap Anak di Sekolah

Menurut Abu Huraerah (dalam Laily, 2013) fenomena kekerasan merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh anak yang terjadi di lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, dan tempat bermain. Anak sebagai generasi penerus bangsa, selayaknya mendapatkan hak-hak dan kebutuhannya secara memadai. Sebaliknya mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapaun atau pihak manapun.

Terdapat berbagai macam jenis tindak kekerasan terhadap peserta didik. Dalam makalah ini, penulis mengategorikan kekerasan terhadap peserta didik menjadi dua, yaitu tindak kekerasan oleh pendidik pada peserta didik dan tindak kekerasan antar peserta didik (bullying).

(6)

Menurut Laily (2013), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didik antara lain:

a. Kurangnya pengetahuan pendidik bahwa kekerasan itu tidak efektif untuk memotivasi peserta didik agar merubah perilaku.

b. Adanya tekanan kerja pendidik yang harus dipenuhi oleh pendidik seperti kurikulum, materi, dan prestasi yang harus dicapai, sementara kendala yang dihadapi cukup besar.

c. Pola yang dianut pendidik adalah mengedepankan faktor kepatuhn dan ketaatan pada peserta didik dan pengajaran satu arah (dari pendidik ke peserta didik).

d. Mutatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif.

Dari keempat faktor penyebab di atas, adanya tekanan kerja dan pola yang dianut pendidik menjadi faktor yang dominan. Tekanan kerja dapat membuat stress pendidik, sehingga pendidik tidak dapat mengendalikan emosinya ketika menghadapi peserta didik yang bermasalah. Pola yang dianut pendidik yang hanya mengedepankan faktor kepatuhan dicerminkan dalam bentuk pendisiplinan yang kurang tepat yaitu dalam bentuk tindak kekerasan verbal maupun non-verbal.

2. Tindak Kekerasan antar Peserta Didik (Bullying)

Menurut Ehan (2007: 5) Banyak sekali faktor penyebab mengapa seseorang berbuat bullying. Pada umumnya orang melakukann bullying karena merasa tertekan, terancam, terhina, dendam dan sebagainya. Bullying disebabkan oleh korban dari keadaan lingkungan yang membentuk kepribaiannya menjadi agresif dan kurang mampu mengendalikan emosi misalnya lingkungan rumah/keluarga yang tidak harmonis yaitu sering terjadi pertengkaran antara suami istri yang dilakuakn di depan anak-anak, atau sering terjadi tindak kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, anak yang terlalu dikekang atau serba dilarang atau anak yang diakukan permisif.

(7)

yang ada, maka anak akan mudah meniru perilaku lingkungan itu dan merasa tidak bersalah. Lingkungan sekolah juga bisa menjadi faktor penyebab anak melakukan bullying, misalnya guru yang berbuat kasar kepada siswa, guru yang kurang memperhatikan kondisi anak baik dalam sosial ekonomi maupun dalam prestasi anak atau perilaku sehari hari anak di kelas atau di luar kelas bagaimana dia bergaul dengan teman-temannya. Teman yang sering meledek dan mengolok-olok, menghina, mengejek dan sebagainya.

B. Pendidikan Perdamaian

Menurut Hicks (dalam Kartadinata, 2015: 59) pendidikan perdamaian merupakan kegiatan berantai dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan dalam mengeksplorasi konsep kedamaian itu sendiri, cara mengatasi berbagai kendala dalam menciptakan kedamaian baik secara individu ataupun dalam masyarakat, serta berupaya memecahkan konflik yang terjadi melalui cara-cara yang non-kekerasan, dan studi yang komprehensif mengenai cara dan pendekatan yang harus ditempuh untuk membina alternatif masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. Pendapat Hicks tersebut menjelaskan bahwa pendidikan perdamaian merupakan sebuah kegiatan atau proses yang berkelanjutan untuk menciptakan kedamaian di masyarakat.

Senada dengan pengertian pendidikan perdamaian menurut Hicks, pendidikan perdamaian dideskripsikan secara jelas oleh UNESCO (dalam Kartadinata 2015: 60) yang menyatakan bahwa peace education refers to the process of promoting the knowledge, skill, attitudes, and values needed to bring about behavior changes that will enable children, youth, dan adults to prevent conflict and violence, both overt and structural; to resolve conflict peacefully; and to create the condition conducive to peace, whether at an intrapersonal, interpersonal, intergroup, national, or international level.

(8)

yang kondusif bagi upaya terciptanya kedamaian, baik secara intrapersonal, interpersonal, intergrup, pada tingkat nasional maupun internasional.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan secara singkat bahwa pendidikan perdamaian adalah sebuah proses pendidikan yang mengajarkan anti-kekerasan, nilai-nilai kerukunan dan kebersamaan, kepercayaan (trust), keadilan, dan kerja sama seluruh umat manusia.

1. Tujuan Pendidikan Perdamaian

Sesuai dengan pengertiannya, tujuan pendidikan perdamaian pada dasarnya adalah diperolehnya raihan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk merubah perilaku peserta didik dari anak-anak sampai dewasa agar senantiasa menghindari terjadinya konflik dan kekerasan pada lingkungannya, dan kemudian mampu untuk meredam konflik secara damai, dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi upaya terciptanya kedamaian, baik secara intrapersonal, interpersonal, intergrup, pada tingkat nasional maupun internasional.

2. Materi Pendidikan Perdamaian (buku peace education)

Menurut Saleh (2012: 71) pendidikan perdamaian mencakup seluruh aspek perdamaian yang dikembangakan dalam bentuk materi yang mengarahkan pada tiga aspek atau domain utama, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik melalui metode yang dinamis agar terarah dalam pengajaran di lingkungan sekolah. Pengembangan materi pendidikan perdamainan berasal dari tujuan pendidikan perdamaian sebagaimana dinyatakan oleh UNESCO atau menurut pendapat para ahli dengan mengarahkan pada tiga aspek, yaitu kogitif, afektif, dan keterampilan.

(9)

manusia dan perbedaan, saling memahami antar-budaya, kepekaan jenis kelamin, sikap peduli dan empati, sikap rekonsiliasi dan tanpa kekerasan, tanggung jawab sosial, solidaritas, resolusi berwawasan global. Aspek keterampilan meliputi komunikasi, kegiatan reflektif dan pendengaran aktif, kerja sama, empati, berpikir kritis, dan kemampuan memecahkan masalah, apresiasi nilai dan estetika, kemampuan menengahi sengketa, negosiasi dan resolusi konflik, sikap sabar dan pengendalian diri, kepemimpinan ideal dan memiliki visi.

C. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Pembelajaran adalah suatu proses perbuatan, cara mengajar, atau mengajarkan (Depdikbud, 1994: 14). Pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi yaitu pendidik dan peserta didik, unsur material yaitu materi pelajaran yang diperoleh peserta didik, fasilitas yang terdiri dari sarana dan prasarana yang disediakan seperti ruang kelas, perlengkapan yang terdiri dari buku-buku dan literatur yang menunjang kegiatan belajar dan prosedur yaitu suatu sistem atau cara yang digunakan pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi dalam pencapaian tujuan pembelajaran.

Pendidikan Kewarganegaraan atau civics atau civics education adalah pendidikan atau pengajaran untuk mengembangkan kesadaran akan dirinya sebagai Warga Negara, dengan hak-hak dan berbagai tanggung jawabnya dalam diri peserta didik. Di Indonesia pada zaman pra-kemerdekaan yang dikenal adalah pendidikan atau pengajaran “budi pekerti” yang menanamkan dalam peserta didik asas-asas moral, etika dan etiket yang melandasi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan kehidupan keluarga, komunitas, dan masyarakatnya (Widiastono, 2004: 25-26). Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur moral yang berakar pada budaya Bangsa Indonesia, yang diharapkan dapat mewujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

1. Tujuan dan Fungsi

(10)

berbangsa, dan bernegara, c) berkembang secara positif dan demokratis, dan 4) berinteraksi dengan bangsa lain (Priyanto, 2005:4). Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan yaitu sebagai wahana dalam membentuk warga Negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter, setia kepada bangsa dan Negara Indonesia dengan kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai Pancasila dan UUD 1945.

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan meliputi: persatuan bangsa, nilai dan norma, hak asasi manusia (HAM), kebutuhan hidup, kekuasaan dan politik, masyarakat demokratis, pancasila dan konstitusi negara, dan globalisasi (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006: 271).

a. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan; cinta lingkungan; kebanggaan sebagai bangsa Indonesia; Sumpah Pemuda; keutuhan NKRI; partisipasi dalam pembelaan negara; sikap positif terhadap NKRI; dan keterbukaan dan jaminan keadilan.

b. Norma, hukum, dan peraturan, meliputi: tertib dalam kehidupan keluarga; tata tertib sekolah, norma yang berlaku di masyarakat; peraturan-peraturan daerah; norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; sistem hukum dan peradilan nasional; dan hukum dan peradilan internasional.

c. HAM, meliputi: hak dan kewajiban anak; hak dan kewajiban anggota masyarakat; instrumen nasional dan internasional HAM; dan pemajuan, penghormatan, dan perlindungan HAM.

d. Kebutuhan warga negara meliputi: hidup gotong royong; harga diri sebagai warga masyarakat; kebebasan berorganisasi; kemerdekaan mengeluarkan pendapat; menghargai keputusan bersama; prestasi diri; dan persamaan kedudukan warga negara.

e. Konstitusi negara meliputi: proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama; konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia; dan hubungan dasar negara dengan konstitusi.

(11)

g. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negar; proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara; pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari; dan Pancasila sebagai ideologi terbuka.

h. Globalisasi meliputi: globalsasi di lingkungannya; politik luar negeri Indonesia di era globalisasi; dampak globalisasi hubungan internasional dan organisasi internasional; dan mengevaluasi globalisasi.

3. Pendekatan, Model, dan Metode

Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan umumnya melalui pendekatan pembelajaran kontekstual, yang meliputi: 1) kontruktivisme, 2) inkuiri, 3) bertanya, 4) masyarakat belajar, 5) pemodelan, 6) refleksi, dan 7) penilaian otentik (Priyanto, 2005: 5). Selain pendekatan pembelajaran diatas juga diperlukan berbagai komponen penbelajaran guna tercapainya tujuan pembelajaran yang maksimal. Komponen pembelajaran tersebut diantaranya: a) materi pembelajaran, b) media pembelajaran, c) metode pembelajaran, d) pendekatan pembelajaran.

Seorang guru diharapkan dapat menggunakan sebuah model pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, strategi atau metode pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang efektif dan bervariasi. Dalam pembelajaran harus memperhatikan minat dan kemampuan peserta didik. Penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Pembelajaran perlu dilakukan dengan sedikit ceramah dan metode-metode yang berpusat pada guru, serta lebih menekankan pada interaksi peserta didik.

(12)

D. Penerapan Pendidikan Perdamaian pada Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Jika pendidikan perdamaian diposisikan sebagai suatu mata pelajaran yang terpisah, maka akan mengakibatkan peserta didik merasa terbebani dengan bertambahnya mata pelajaran. Oleh karena itu, pendidikan perdamaian lebih baik diintegrasikan pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Meskipun sebenarnya tidak hanya Pendidikan Kewarganegaraan yang dapat diisi dengan pendidikan perdamaian, akan tetapi melihat relevansi antara materi pendidikan perdamaian dengan ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan perdamaian cocok diterapkan pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terutama pada ranah afektif.

Peran guru sebagai fasilitator di sekolah memiliki peranan yang penting demi terwujudnya kerukunan dan kedamaian di kalangan peserta didiknya. Menurut Sekar Purbarini K, terdapat delapan prinsip mengajarkan perdamainan pada peserta didik, yaitu: 1) be creative, 2) be intentional, 3) use symbol, 4) balance structure and choice, 5) enrich the environment, 6) value individuality dan differences, 7) teach cooperation, dan 8) be positive and empowering.

1. Be creative

Jadilah seseorang yang penuh dengan kreatifitas. Terima dan akomodasi talenta/bakat-bakat dari setiap siswa. Doronglah daya imaginasi mereka dan cobalah untuk selalu siap sedia dalam mengantisipasi segala respon ataupun pertanyaan, bahkan yang terburuk sekalipun di ruang kelas. Pilihlah kegiatan-kegiatan yang mendorong daya pikir kreatif sekaligus praktek secara langsung di lapangan.

2. Be intentional

(13)

mendorong anak-anak kita untuk bertanya-tanya, untuk berbagi rasa takut mereka, untuk membantu mereka dengan ide-ide yang sulit untuk mereka cerna.

Saat anak-anak kita tahu bahwa orang-orang dewasa terus berjuang demi melawan kekerasan dan konflik, mereka pun akan merasa lebih aman, dan juga akan memberikan pengharapan kepada mereka, bahwa masih ada manusia-manusia dewasa yang terus berjuang demi perdamaian dan kasih sayang di bumi ini.

3. Use Symbols

Gunakan simbol-simbol dengan tujuan yang jelas. Simbol-simbol membuat hal-hal yang abstrak menjadi jelas dan mudah untuk dimengerti. Sebab dengan simbol-simbol tersebut kita bisa meraba, melihat, mendengar, ataupun merasakan hal-hal yang tadinya abstrak.

4. Balance structure and choice

Seimbangkan pilihan dan struktur. Mengajar Perdamaian tidaklah berarti bahwa para guru atau orang dewasa membiarkan anak-anak membuat seluruh keputusan sendiri. Mengajar perdamaian lebih berarti bahwa para pemimpin (guru dan orang dewasa) menyusun sebuah struktur dan lingkungan yang mampu memberikan ruang bagi anak-anak didik untuk memilih. Dengan kata lain para guru haruslah menyediakan alternatif-alternatif yang darinya anak-anak didik kita bisa memilih. Dengan memberikan pilihan diantara berbagai bentuk aktifitas dalam proses pengajaran, para guru telah menunjukkan kemampuannya tentang konsep penting lainnya yaitu: penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan di antara anak-anak didik.

5. Enrich the environment

Salah satu bentuk konkrit dalam usaha memperkaya lingkungan belajar ini adalah dengan jalan memberikan pilihan-pilihan. Sebagai tambahan, para guru bisa juga mencoba membuat ruang kelas lebih atraktif dan nyaman terhindar dari segala bentuk gangguan. Musik-musik lembut bertemakan perdamaian, dekorasi ceria tapi elegan, serta tata letak 'furniture' pun turut mendukung suasana 'damai' dalam ruang kelas kita.

(14)

Berikan perhatian khusus dan apresiasi terhadap setiap perbedaan. Hargai perbedaan kultur (cultural diversity) dan setiap keunikan karakter/pribadi dari anak-anak didik kita. Belajarlah untuk lebih kreatif dalam menggunakan keberbedaan-keberbedaan yang ada seperti: umur, talenta/bakat khusus, suku bangsa, agama, juga belajarlah untuk memahami bagaimana cara hidup dan pikir dari orang lain.

7. Teach cooperation

Sewaktu masih belia anak-anak didik kita hidup dalam dunia yang diwarnai oleh kerjasama dan kasih sayang. Tapi tak lama setelah itu, dimensi baru yang lebih diwarnai oleh kompetisi membuat anak-anak didik kita lupa tentang semangat kerjasama, saling bantu-membantu. Semangat kerjasama ini haruslah diajarkan secara berkesinambungan. Jangan melakukan aktifitas-aktifitas yang mendorong adanya semangat kompetisi. Tapi gunakan bentuk-bentuk aktifitas dan permainan yang bersifat saling membantu.

8. Be positive and empowering

Gunakanlah kata-kata yang bersifat membangun. Dorong anak-anak didik kita agar memiliki suatu visi yang bersifat kedepan. Bagikan visi anda sendiri kepada anak-anak didik kita. Milikilah keyakinan bahwa perdamaian itu mungkin direalisasikan. Ajar setiap anak didik kita apa yang dapat mereka lakukan sebagai individu guna membuat bumi ini semakin hari semakin damai sejahtera. Ceritakan cerita-cerita hidup para pecinta damai, berikanlah kepada anak-anak didik kita pahlawan-pahlawan dan 'role model' yang mencintai dan menghidupi kehidupan kedamaian.

III. PENUTUP A. Kesimpulan

(15)

penerapan pendidikan perdamaian yaitu: 1) be creative, 2) be intentional, 3) use symbol, 4) balance structure and choice, 5) enrich the environment, 6) value individuality dan differences, 7) teach cooperation, dan 8) be positive and empowering.

B. Saran

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasinoal Pendidikan (BSNP).

Ehan. (2007). “Bullying dalam Pendidikan”.

https://www.academia.edu/5647333/BULLYING_DALAM_PENDIDIKA N. (diakses pada 30 Oktober 2015)

Ghazali Dasuqi. (2015). “Guru Pemberi Hukuman Telanjang Siswa SD Minta Maaf”. https://www.news.detik.com/berita-jawa-timur/3044754/guru-pemberi-hukuman-telanjang-siswa-sd-minta-maaf. (diakses pada 29 Oktober 2015)

Gunawan Wibisono. (2015). “7000 Kasus Kekerasan Anak terjadi di Satu Tahun Jokowi”. http://www.news.okezone.com/read/2015/10/19/337/1234309/7-000-kasus-kekerasan-anak-terjadi-di-satu-tahun-jokowi. (diakses pada 29 Oktober 2015)

Laily Mustika Wati. (2013). “Tindak Kekerasan Seorang Pendidik terhadap Anak Didik di Sekolah Ditinjau dari UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak: Studi Kasus di SDN Kota Mataram”. Jurnal Ilmiah. FH-Universitas Mataram

M Nurul Ikhsan Saleh. (2012). Peace Education: Kajian Sejarah, Konsep, dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sekar Purbarini Kawuryan. “Mengajarkan Perdamaian pada Anak”. Artikel Ilmiah. Universitas Negeri Yogyakarta.

Sugeng Priyanto. (2005). Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Semarang: FIS UNNES.

Sunaryo Kartadinata, dkk. (2015). Pendidikan Kedamaian. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Referensi

Dokumen terkait

paska Pilkada terdapat pembunuhan terhadap 3 (tiga) orang warga sipil dan 1(satu) prajurit Tentara Nasional Indonesia oleh orang tidak dikenal, Prajurit TNI yang meninggal adalah

gabus diameter 0,5 cm pada tepi koloni dan diletakkan pada media PDA menggunakan jarum ose dengan jarak 2 cm dari tepi petridish (tanda P). 6) Mengulangi langkah

Penelusuran Data Online Penelusuran data online yang penulis dalam perancangan media kampanye sosial ini yaitu guna mencari data-data yang penulis butuhkan dan referensi visual

Dalam hal ini permasalahan yang muncul dari kesimpulkan latar belakang diatas adalah bagaimana merancang sistem pendukung keputusan penyeleksian calon peserta didik

Metode HEART bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis kesalahan operator dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesalahan operator sehingga melakukan

Artinya setiap individu yang belajar memerlukan biaya. Biaya di sini tidak diartikan bahwa individu harus memiliki materi atau uang yang banyak. Dalam sejarah kepesantrenan dari

meningkatkan profesionalisme para pendidik baik itu guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah yang dikuti oleh 67 peserta di lingkungan UPT Pendidikan..

Pembuatan komposit menggunakan fraksi volume 25, 30, 40, 45, dan 50 % yang diperkuat serat buah pinang, sedangkan sebagai pembandingnya menggunakan serat fiber dengan