• Tidak ada hasil yang ditemukan

kebebasan manusia sikap batin dan pertan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "kebebasan manusia sikap batin dan pertan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Kebebasan Manusia, Sikap Batin dan Pertanggungjawaban Hukum

Tristam Pascal Moeliono

Pendahuluan

Topik bahasan di tulisan ini mencakup uraian tentang kebebasan-kemerdekaan, otonomi manusia serta kemampuan manusia untuk bertanggungjawab (responsibility) dan diminta pertanggungjawaban (liability). Untuk yang terakhir disebut hal itu akan mencakup baik ihwal kemampuan manusia sebagai subyek hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatan dihadapan hukum yang mencakup tanggungjawab sebagai pejabat public (accountability) maupun sebagai pribadi di lapangan hukum pidana-perdata (criminal and civil liability). Untuk itu sekaligus diulas ihwal kemampuan manusia untuk merasa-menilai (baik-buruk; adil tidak adil; layak tidak layak), mengolah kemampuan berpikir (manusia sebagai mahluk berpikir), dan keterkaitannya dengan sikap batin (perasaan, pikiran, pandangan yang melatarbelakangi) perbuatan (perilaku obyektif). Persoalan tentang apakah manusia bebas atau justru tidak bebas (dalam berpikir/berbuat) dan konsep-konsep suara batin (conscience), sikap batin

(motivation, though, rationalization behind human action) besar pengaruhnya terhadap bagaimana kita memandang persoalan kemampuan manusia mempertanggungjawabkan dihadapan akibat yang muncul dari perbuatannya.

Uraian tentang itu semua akan dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama membahas ihwal suara batin (conscience) dan akal budi serta bagaimana keduanya membentuk atau berkait dengan sikap batin. Topik ini tersebut selanjutnya akan dikaitkan pada pertanyaan apakah manusia betul bebas (dan

mampu) menentukan dirinya sendiri jalan hidupnya atau justru semua pilihan dalam hidupnya

ditentukan oleh faktor-faktor yang berada di luar kuasanya (Tuhan Yang Maha Kuasa; masyarakat, nasib-peruntungan). Persoalan ini dibahas pada bagian kedua. Titik tolak pembahasan ialah pandangan bahwa hukum niscaya mengandaikan adanya manusia (bebas) yang tidak saja mampu menilai baik buruknya namun juga kemasukakalan (rationality/redelijkheid) dari perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri maupun orang lain. Selanjutnya pada bagian ketiga ditelaah keterkaitan sikap batin dengan persoalan tanggungjawab dan pertanggungjawaban dihadapan hukum. Titik tolaknya di sini adalah adagium cogitationis poenam nemo patitur (no one may be punished for his thoughs). Diyakini bahwa manusia tidak dapat dihukum karena apa yang (kebetulan) pernah atau sedang dipikirkannya. Singkat kata pikiran yang tidak terwujud (termanifestasi-terejewantahkan ke-) dalam perbuatan konkrit (perkataan dan/atau perilaku nyata) – sekalipun mungkin hanya berdasarkan alasan praktis - berada di luar perhatian dan jangkauan hukum. Kendati demikian tidak berlaku sebaliknya. Seketika hukum dilanggar, maka pikiran (motivasi-sikap batin) yang melandasi perbuatan, harus diungkap dalam rangka mempertimbangkan kadar ketercelaan perbuatan dan pertanggungjawaban hukum yang akan

(2)
(3)

BAGIAN PERTAMA

Manusia adalah manusia yang memiliki hati nurani

Bagi mereka yang percaya (pada Tuhan dan kebenaran-absolut yang diajarkan agama/kepercayaan), manusia adalah ciptaan Tuhan yang dibentuk menurut citra-Nya. Itu pula sebabnya dipercaya bahwa setiap manusia dalam dirinya sendiri membawa dan memiliki cahaya Ilahi (nur). Cahaya Ilahi sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa inilah yang memberikan kemampuan pada setiap manusia untuk membedakan serta menilai baik-buruk, adil-tidak adil, layak-tidak layak, pantas-tidak pantas perbuatan diri sendiri maupun orang lain. Singkat kata, manusia sebagai manusia bermoral-beretika harus dianggap berkemampuan mengenali kebenaran (absolut), dan lebih lagi, mampu memahami

bagaimana sepatutnya menjalani hidup yang benar dan menghindari yang jahat. Hati nur-ani dianggap ada pada setiap manusia dan dapat dikembangkannya sendiri. Hal ini pula yang dikatakan membedakan manusia dari mahluk ciptaan Tuhan lainnnya. Hewan dan tumbuhan dipercaya hanya memiliki naluri-alamiah (insting), namun tidak hati nurani. Tidak dapat dikatakan hewan atau tumbuhan dapat dan mampu berperilaku atau berpikir jahat. Bilapun hewan membunuh (mangsa atau bahkan manusia), hal itu harus dimengerti se agai sifat aluriah/ala i da tidak dapat di ilai de ga ukura oralitas manusia.

Bahkan ada yang berpendapat - terlepas dari persoalan ada/tidaknya Tuhan – manusia bagaimanapun juga memiliki dan mampu mengembangkan hati nurani. Hati nurani secara alamiah dianggap melekat pada setiap manusia. Maka orang yang tidak percaya (atheis) atau perduli akan persoalan ada/tidaknya Tuhan (agnostic) tidak seketika dapat dianggap tidak memiliki kemampuan membedakan baik-buruk. Mereka yang tidak beragama (atheis atau agnostic) atau kebetulan berbeda kepercayaan/keyakinan tidak seketika dapat dianggap manusia tidak bermoral dan/atau berhati-nurani. Artinya moralitas manusia tidak sekaligus dikaitkan dengan pilihan individual atau kelompok untuk meyakini ada/tidaknya Tuhan (atau liyan yang mengatasi eksistensi temporal manusia).

Tentu tidak dapat dikatakan bahwa hati nurani manusia seketika dilahirkan sudah berkembang penuh dan sempurna. Seorang bayi (yang belum memiliki kemampuan membentuk kesadaran diri) baru memiliki potensi untuk mengembangkan hati nurani. Nur ya g ada pada setiap a usia sejak lahir dapat dikembangkan atau justru dipadamkan oleh lingkungan sekitar atau realitas sosial yang

membentuk dan menjadi batas cakrawala kehidupan manusia. Potensi untuk berkemampuan

membedakan dan memilih baik atau buruk yang diandaikan ada pada setiap manusia sejak lahir dapat dan akan terus berkembang dalam kehidupan bermasyarakat dan turut dipengaruhi akal budi manusia yang bersangkutan. Bayi dan anak kecil belum memiliki kemampuan demikian dan dalam

pertumbuhannya menjadi manusia dewasa harus dan akan belajar dari dan dalam lingkungan

(4)

Apa yang hendak dikatakan di sini ialah lingkungan (social) tempat manusia tumbuh kembang juga berpengaruh (nurture yang dikontraskan dengan nature-natural/alamiah) terhadap pembentukan hati nurani serta perkembangannya dalam manusia sebagai individu maupun mahluk sosial.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hati nurani adalah tatanan nilai dalam diri setiap manusia yang terbentuk dan terkait berkelindan dengan kehidupan masyarakat (realitas social). Norma yang melandasi pertimbangan baik-buruk (tatanan nilai di atas) dapat bersumber pada agama/keyakinan atau kepercayaan, kesusilaan dalam arti luas, sopan santun maupun kebiasaan (adat-istiadat). Kesemua itu turut membentuk keyakinan manusia (hati nurani) yang menentukan bagaimana yang bersangkutan berperilaku dan tampil ke hadapan orang-orang lain.

Terlepas dari perdebatan apakah kita terlahir dengan hati nurani (naturally endowed with capacity to make moral judgement) atau memiliki dan membentuk hati nurani karena pergaulan dalam masyarakat (nurture: pendidikan-pergaulan), tata nilai yang terbentuk dalam hati/budi nurani (conscience) inilah yang dimaksud ketika kita berbicara tentang norma kesusilaan atau moral-positif. Singkat kata, moralitas atau kesusilaan merujuk pada pengertian adanya kemampuan manusia (yang dianggap

berakal-berpikir) untuk membedakan baik dan buruk serta bertindak sesuai dengan penilaian baik-buruk tersebut.

Manusia adalah mahluk berakal budi

Selanjutya dikatakan pula bahwa manusia dalam dirinya sendiri memiliki akal budi (ratio-logos), yaitu (potensi) kemampuan untuk berpikir dan mempertimbangkan pilihan serta dampak dari perbuatan yang (akan) dilakukan. Di sini manusia yang mampu berpikir adalah manusia yang mampu memperhitungkan baik-buruk serta untug rugi pilihan perbuatan (felicific calculus). Dalam hal ini diyakini bahwa manusia sebagai mahluk rasional akan setiap kali secara sadar mempertimbangankan untung rugi (termasuk kesangkilan-kemangkusan) suatu perbuatan yang akan atau sudah dilakukannya. Pilihan tersebut dilakukan secara rasional (menurut akal budi) dan tidak (semata-mata) emosional (menuruti perasaan) maupun dilandaskan atas pertimbangan nurani.

Kemampuan berpikir ini, namun demikian, harus pula dikaitkan pada kecakapan (kemampuan mental) dan kedewasaan yang mencakup baik ukuran obyektif: usia maupun kriteria subyektif: intelegensia; spiritual; emosional dan financial. Orang yang mengalami gangguan mental (atau cacat mental) dan mereka yang belum dewasa dianggap belum secara sempurna mengembangkan kemampuan akal budi mereka. Perbuatan mereka dianggap i-rasional dan secara umum (masih) dapat dimaafkan/ditenggang.

(5)

Potensi akal budi ada pada setiap manusia dan dapat dikembangkan dengan proses pendidikan-pembelajaran. Dengan kata lain, potensi ini berkembang sesuai proses pembelajaran formal atau informal yang dikembangkan dalam masyarakat. Pendidikan (formal), misalnya, dapat memperkokoh potensi manusia untuk mengembangkan baik hati nurani maupun akal budinya. Itu pula sebabnya mengapa pendidikan formal pada akhirnya atau sejatinya ditujukan pada ihtiar memanusiakan atau memperadabkan manusia dan masyarakat. Pada saat sama, orang yang dikategorikan pandai dan sangat terdidik (cerdik cendekia) tidak niscaya bijaksana maupun pasti bermoral tinggi. Tidak ada korelasi sertamerta antara pengembangan akal budi (kepandaian) dengan kepekaan hati nurani.

Lagipula dari sudut pandang keilmuan (sosiologi-antropologi) kita hanya dapat menunjukkan adanya korelasi (kompleks) antara individu-masyarakat tempat individu tumbuh kembang (serta pola pendidikan formal-informal yang dikembangkan dalam masyarakat) dengan kecenderungan dan keragaman moralitas masyarakat. Hal ini pada gilirannya berpengaruh terhadap pembentukan hatinurani maupun sikap batin individu (anggota masyarakat).

Kesadaran diri (the mind; self; consciousness) & Hati Nurani dan/atau Akal Budi (ratio/logos)

Keduanya, hati/budi nurani maupun akal budi, selanjutnya membentuk citra diri atau kesadaran akan diri (self; consciousness; mind). Kita juga dapat berbicara tentang kesadaran perihal identitas diri (persona), siapa diri kita sebagai individu yang bebas merdeka maupun sebagai bagian atau anggota masyarakat. Kesadaran diri ini, antara lain, terwujud dalam perbincangan batin (inner dialogue). Ketika kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari harus memutuskan sesuatu, sadar atau tidak sadar, kita selalu berdialog dengan diri sendiri ya g di ak ai aik se agai erpikir aupu erasa . Namun khususnya ketika kita menghadapi masalah pelik yang memaksa kita mengambil keputusan penting dalam hidup (misalnya tentang masa depan atau yang menyangkut hidup mati orang lain atau diri sendiri), peran penting perbincangan batin semakin terasa dan disadari.

Di dalam batin ini pula terjadi pergulatan antara akal budi (ratio/logika) dengan hati nurani (rasa

keadilan; baik/benar dstnya). Contoh konkrit adalah perbincangan dalam batin yang kita lakukan dengan diri sendiri ketika kita berhadapan dengan pilihan memberi atau tidak memberi uang kepada pengemis anak jalanan. Terbuka kemungkinan bahwa kita memilih mengabaikan hati nurani (berbelas kasih) dan mementingkan pertimbangan untung rugi yang berasal dari rasio (memberi akan berujung pada gagalnya pengentasan anak jalanan) atau sebaliknya kita memberi (menganggapnya sebagai kewajiban moral) sekalipun memahami rasio larangan memberi uang kepada anak jalanan.

(6)

Ketidakselarasan, bila ada, akan memunculkan apa yang disebut sebagai cognitive dissonance, yaitu kecemasan yang melekat pada manusia apabila mempertahankan sikap, keyakinan atau pandangan yang sebenarnya kontradiktif satu sama lain. Dalam bahasa berbeda kita menggunakan istilah hipokrit atau munafik untuk mencerca orang yang meyakini kebenaran sesuatu hal, namun berperilaku berbeda dari apa yang dinyatakan sebagai keyakinan batinnya.

Hati Nurani dan Akal Budi dapat keliru/sesat

Hati nurani dan/atau akal budi bisa keliru bahkan salah. Dalam hal ini kita dapat bedakan keyakinan (moralitas) yang baik (good faith) dari yang buruk (bad faith). Kolonialisme atau imperialisme pada abad 18/19 dibenarkan oleh keyakinan (batiniah) bahwa hanyalah bangsa kulit putih yang merupakan manusia ciptaan Tuhan atau sebagai kelompok merupakan bangsa pilihan Tuhan. Bangsa kulit berwarna (merah, coklat, kuning atau hitam) yang hidup dibenua Asia-Afrika, Amerika Utara & Latin juga Australia bukanlah manusia yang setara dan diragukan tidak saja kemampuannya untuk mengembangkan akal budi, namun juga dianggap tidak atau memiliki hati nurani tidak sempurna. Layak atau pantas dan masuk akal bangsa berwarna dianggap bukan manusia, bodoh, ditaklukan bahkan jika perlu diperbudak atau dalam kasus ekstrim layak dimusnahkan. Penaklukan dan/atau perbudakan bahkan dianggap sebagai hak bahkan kewajiban bangsa kulit putih. Hal itu dibenarkan dengan alasan membawa

peradaban barat yang niscaya lebih unggul (the white’s a burde ) atau sekadar konsekuensi hukum alam: survival of the fittest.

Keyakinan keliru ini, kendati demikian, bukan hanya monopoli bangsa kulit putih. Kecenderungan seperti ini ada pada ha pir setiap a gsa , tidak terkecuali di antara ragam (suku)bangsa di Indonesia. Hanya (suku-) a gsa Jawa ya g a pu njawani e apai ada terti ggi seda gka ya g lai tidak. Dari hal ini pula muncul pembedaan antara kami-kalian (inclusive-exclusive). Hanya mereka yang tergolong ke dalam kategori ka i dianggap berkedudukan sejajar. Kalian atau mereka yang berada di luar kategori ka i adalah er eda da se a itu dia ggap a a a da sekaligus di –dehumanisasi.

Singkat kata, bad faith serupa melandasi perilaku membedakan diri dari yang lain (berdasarkan suku, agama/keyakinan atau kategori lainnya), khususnya yang kemudian terwujud dalam sikap memusuhi mereka yang berbeda. Mereka yang berbeda (suku-bangsa atau keyakinan) dianggap bukan manusia yang setara tingkatan moral (kesusilaan)nya. Moralitas di sini dikaitkan dengan tinggi-rendah keadaban

de ga ukura ti gkat keada a ya g diyaki i ha ya di iliki kelo pok ka i da uka ereka ya g

berbeda. Konsekuensi dari itu ialah penerimaan pemilahan (dalam akal budi maupun hati nurani) antara budaya tinggi yang menghasilkan manusia tinggi (uber-mensch) dan budaya rendah yang menghasilkan manusia berbudaya (bermoral) rendah (unter-mensch).

(7)

lain yang tidak berdosa (innocent bystander) sekadar karena dianggap simbol (mewakili) mereka yang dianggap musuh dan karena terasosiasi dengan musuh dengan sendirinya bersalah dan layak

dikorbankan (guilty by association). Hati nur - ani mereka justru membenarkan perilaku seperti itu. Singkat kata, purba sangka terhadap mereka yang berbeda (suku, ras/agama, orientasi sexual bahkan paras wajah atau bentuk tubuh) seringkali dilandasi akal-budi dan/atau hati nurani yang terbentuk secara keliru.

Suara batin keliru dapat pula tumbuh-kembang dalam sekelompok masyarakat yang secara sadar memilih profesi sebagai pencuri/perampok atau sebagai perompak. Alkisah sejumlah orang atau

kelompok kecil masyarakat di Indonesia secara sadar memilih sikap ini. Keyakinan yang diajarkan adalah bahwa mencuri/merampok atau merompak orang lain (di luar kelompok masyarakat mereka sendiri) adalah perbuatan normal, dapat dibenarkan, bahkan baik atau terpuji. Dapat pula terjadi bahwa

kelo pok asyarakat iski dan terpinggirkan (marginalized) mengembangkan keyakinan bahwa merampok atau mencuri dari orang kaya (sekadar karena mereka kaya atau dianggap tidak peduli) tidaklah salah (fenomena robin hood). Kenyataan ini tidak meniadakan fakta bahwa oleh kelompok mereka sendiri (atau oleh keluarga terdekat) mereka itu (yang mencuri atau berbuat jahat terhadap orang di luar kelompok) dianggap orang yang berperilaku baik, santun atau soleh. Pencuri, pembunuh, perampok, pelaku teroris atau koruptor, misalnya, dalam kenyataan dapat tetap muncul sebagai orangtua atau warga yang baik di lingkungan sekitarnya. Sekaligus uraian ini menunjukkan kemampuan (setiap) manusia (dan masyarakat) untuk mengembangkan standar ganda atau hidup dalam cognitive dissonance: moralitas yang berlaku dalam lingkaran sekitar dianggap tidak perlu diberlakukan apabila menyangkut orang lain (asing) bukan bagian dari lingkaran kelompoknya sendiri.

Berbeda adalah budi nurani seseorang (anggota kelompok masyarakat) yang muncul dan berkembang dalam sistem hukum adat (atau keyakinan/kepercayaan) tertentu. Budaya yang mengharuskan kaum pria menjaga kehormatan diri dan keluarga (siri, carok atau sistem kepercayaan lain) bila perlu dengan kekerasan seringkali berujung pada pembunuhan demi kehormatan keluarga (siri). Pelaku yang menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap mencemarkan kehormatan diri atau keluarga

(honorrary killing) tidak akan merasa salah sedikitpun. Ia merasa telah melaksanakan kewajiban social untuk menjaga atau memulihkan kehor ata keluarga yang tercoreng, sekalipun pada saat sama sadar (secara cognitive: mengetahui) telah melanggar hukum negara. Dalam hal ini dapat dikatakan ada pertentangan suara batin (antara kelompok masyarakat tertentu) dengan nilai (moralitas) yang dianut masyarakat umum atau negara.

Bila itu terjadi, maka muncul persoalan, kebenaran moral manakah yang harus dianggap lebih unggul? Apakah kita dapat (berhak atau berwenang) membandingkan satu sistem nilai yang dianut kelompok masyarakat tertentu dengan yang lain atau menilainya berdasarkan ukuran moralitas/etis yang berada

di luar keyaki a -kesadaran oral suatu asyarakat? Apakah kita sebagai individu atau bagian suatu

kelo pok asyarakat ya g e ga ggap o oga y utlak se agai ke is ayaa da ukti kesetaraa

perempuan-laki-laki akan dibenarkan untuk menilai kepantasan dari sistem kekeluargaan yang

di a gu atas pe eri aa poliga y atau justru polia dri ? Juga ila kita erasal dari asyarakat

(8)

Di sini kita berhadapan dengan persoalan relativisme budaya (temporal-lokal-partikular) yang

dipertentangkan dengan pada satu pihak, keyakinan/agama dan pada lain pihak, norma-norma hak asasi manusia. Keduanya, keyakinan agama maupun pendekatan hak asasi manusia dianggap mengusung norma-norma yang dianggap universal dan pada derajat tertentu non-temporal. Bagaimanapun juga

hati ura i atau udi ura i kelompok maupun individu pada derajat tertentu terbentuk dalam medan pertarungan nilai-nilai particular-temporal dengan nilai-nilai yang diasumsikan kekal-abadi dan transenden.

Pada lain pihak ada pula pandangan yang menyatakan bahwa hati nurani (yang dianggap secara alamiah ada pada manusia atau anugerah Tuhan) tidak mungkin keliru. Pengetahuan tentang baik/buruk adalah bagian tidak terpisahkan dari manusia. Justru adanya hati nurani yang menjadikan manusia menjadi manusiawi atau beradab. Bahkan seorang pembunuh berdarah dingin (dengan kecenderungan

psikopatis) tetap dianggap memiliki hati nurani (conscience) dan (diharapkan) mampu merasa bersalah atau menyesal. Ia sebaliknya dianggap secara sadar memilih untuk tidak mendengarkan hati nuraninya sendiri atau mengabaikannya. Bila itu terjadi, hati nurani yang terus menerus diabaikan pada akhirnya akan mati dan pada saat itu manusia dianggap kehilangan kemanusiaannya.

Kendati demikian harus diperhatikan bahwa sekalipun seseorang dapat dikatakan tidak lagi manusiawi (bersikap tindak layaknya manusia yang beradab dan berhati nurani), kehilangan kemampuan untuk bersikap tindak atau berpikir sebagai manusia, hal ini saja tidak serta merta berarti mereka harus diperlakukan tidak manusiawi. Justru sebaliknya yang muncul, mereka yang merasa memiliki keadaban, hati nurani, akan tetap dituntut untuk mempertahankan kemanusiaan dan tidak larut dalam

ketidakadaban atau ketidakmanusiawian yang ditunjukkan orang-orang lain.

Perbuatan yang dengan sendirinya jahat dan yang kejahatannya diukur menurut ratio/nalar manusia

Persoalan lain yang kemudian juga muncul berkenaan dengan tolok ukur yang dapat digunakan untuk memilah bad faith dari good faith. Salah satunya – sekalipun bukan satu-satunya – adalah dengan menggunakan pengertian perbuatan yang dengan sendirinya jahat. Dalam khasanah hukum pidana kita berbicara tentang mala in se (perbuatan yang dianggap jahat dengan sendirinya atau dalam dirinya sendiri dianggap melawan hukum). Itulah iussum quia iustum, sesuatu diperintahkan (iussum) karena benar (iustum). Maka melarang dilakukannya sesuatu sudah dengan sendirinya dianggap kebajikan. Dalam hal ini kita dapat cermati perkelindanan antara penilaian moral (sesuatu hal dianggap tidak benar, salah) dengan pandangan hukum (sesuatu perbuatan dianggap patut dilarang dan dalam hal adanya pelanggaran diancamkan dengan sanksi (pidana)).

Mala/malum in se ini dikontraskan dengan mala prohibita atau malum prohibitum (dianggap jahat karena ditentukan demikian oleh pembuat undang-undang), hal mana dilakukan dengan

mempertimbangkan akibat yang muncul dari perbuatan atau kepentingan yang hendak dilindungi. Itulah iustum quia iussum, sesuatu benar (iustum) karena diperintahkan (iussum), diatur oleh hukum. Dalam hal ini penilaian salah/benar (etikal) dan cara pandang hukum tidak akan otomatis sejalan.

(9)

melawan hukumnya ditetapkan berdasarkan akibat dari perbuatan yang menimbulkan atau berpotensi mengakibatkan kerugian (ekonomi) pada orang lain(rule of reason).

Sesuatu perbuatan mala in se atau illegal per se dapat dikatakan merupakan perilaku yang dipandang dari sudut apapun juga sudah dengan sendirinya bersifat jahat atau melanggar hukum. Contoh dari itu ialah perbudakan, perdagangan manusia, menganiaya bayi/anak, memperkosa, atau bersaing secara curang dalam dunia usaha. Sebaliknya perbuatan lain baru dianggap jahat dan akan dilarang (dinyatakan melanggar hukum), setelah masyarakat yang bersangkutan mempertimbangkan akibat yang muncul dan diderita orang lain/masyarakat. Memasuki halaman/pekarangan milik orang lain tidak dengan sendirinya dianggap jahat, melainkan dinyatakan sebagai jahat oleh pembuat undang-undang karena dikaitkan dengan kerugian potensial atau yang dapat muncul pada pemilik/penghuni (gangguan

kenyamanan/ketenangan). Begitu pula dalam menilai perilaku monopoli/monopsoni (menguasai permintaan-penawaran dalam mekanisme pasar) atau menjual barang di bawah harga pasar (yang umum berlaku) (dumping). Perbuatan ini baru dianggap jahat apabila dilandasi ihtiar atau niatan menimbulkan kerugian dan senyatanya memunculkan kerugian pada pedagang-pedagang lain. Istilah predatory dumping misalnya mengindikasikan niat jahat dari perbuatan menjual barang di bawah harga pasar.

Bahkan apa yang dianggap jahat dan dilarang dalam konteks ini bisa berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Misalnya berpoligami dalam sistem hukum Barat (yang menerima dan mengakui kesetaraan hukum perempuan dengan pria) dianggap perbuatan jahat yang dilarang hukum dan diancam sanksi pidana. Sementara itu dalam sistem hukum Islam justru diperbolehkan (tidak dianggap jahat atau dicela), yaitu sepanjang suami dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Sementara itu, dalam sistem hukum adat (kesultanan atau bentuk negara /masyarakat tradisional lainnya) beristeri banyak (selir, harem) justru dianggap kebajikan karena sekaligus membuktikan kejantanan pimpinan (dan simbol kemakmuran negara). Pada lain pihak, di dalam satu masyarakat (di wilayah Tibet-Himalaya) yang mengalami kelangkaan laki-laki dewasa, seorang perempuan dianggap biasa dan wajar bila bersuamikan lebih dari satu pria. Poliandri sekalipun sifatnya kasuitik juga dianggap wajar dalam kisah Mahabrata, yakni dalam hal pernikahan Drupadi dengan Pandawa, yang juga

mengkombinasikannya dengan poligami.

Berkaitan dengan itu perlu pula disebut nilai-nilai dasar (asasi) yang terangkum dalam pengertian hak asasi manusia. Hati nurani dan/atau akal budi (sikap batin), sebagaimana termanifestasi dalam perilaku konkrit manusia, tidak boleh bertentangan dengan (tepatnya melanggar) hak asasi manusia lain. Sikap batin yang buruk/keliru adalah keyakinan yang membenarkan pelanggaran hak asasi manusia orang lain. Salah satu dari hak asasi adalah hak hidup. Merupakan manifestasi dari sikap batin keliru bila atas nama keyakinan dan berpegang teguh pada kebenaran yang dianut, hak hidup orang/sekelompok orang lain dirampas. Dengan cara serupa, hak asasi manusia berupa kebebasan beragama/berkeyakinan tidak dapat dinafikan sekadar karena semangat memenuhi kewajiban e ye arka ke e ara dari aga a

se diri .

Adanya kesepakatan tentang kemutlakan sifat jahat atau melanggar hukum suatu perbuatan –

(10)

undang-undang (sebagai wakil masyarakat yang sejatinya memajukan kepentingan umum) atau atas dasar pertimbangan akibat yang kemudian muncul (rule of reason dan/atau mala prohibita) –

sebagaimana juga muncul dalam pemikiran tentang hak asasi manusia kiranya dapat menjadi alat untuk menguji apakan sikap batin seseorang/masyarakat merupakan sikap batin yang baik atau justru yang keliru. Sikap batin yang nyata-nyata berbeda atau melanggar batasan moralitas umum (keyakinan tentang apa yang dianggap jahat dengan sendirinya) dapat dianggap sikap batin yang juga secara mutlak keliru. Sikap batin yang membenarkan, atau setidak-tidaknya meniadakan rasa salah tentang,

(11)

BAGIAN KEDUA

Sikap Batin mengandaikan kebebasan manusia

Kemampuan mempertimbangkan baik/buruk suatu perbuatan atau perilaku pada gilirannya

mengandaikan kemampuan untuk mengetahui, mengenali dan membedakan kategori-kategori baik-buruk, halal-haram, dosa-pahala atau pantas-tidak pantas. Sikap batin, dengan demikian, berkaitan erat dengan kemampuan yang diandaikan ada pada setiap manusia untuk memilih dan melakukan apa yang dipandang baik dan menghindari yang buruk. Dengan demikian, bersikap etis (sesuai etos: kebajikan) adalah bersikap baik. Di sini kita tidak berbicara tentang estetika yang berkaitan dengan penilaian tentang keindahan.

Lebih lanjut, sikap batin juga harus dikaitkan dengan kemampuan bertanggungjawab atas dan

mempertanggungjawabkan perbuatan (baik-buruk) yang dilakukan. Sikap batin berbeda dengan perilaku tidak dapat diamati oleh mata telanjang dan tidak segera nampak bagi orang lain. Namun hal itu tidak berarti bahwa sikap batin atau hati nurani tidak ada dan tidak nyata. Apa yang terjadi dalam batin kita sama nyatanya seperti perilaku yang muncul dalam kegiatan sehari-hari manusia.

Singkat kata, dalam setiap perbuatan (baik-buruk) sikap batin akan turut mempengaruhi nilai perbuatan yang terwujud. Melakukan pahala (perbuatan baik) demi mendapat pujian berbeda nilainya dengan berpahala tanpa pamrih. Jika memberi sesuatu pada orang lain (yang membutuhkan dan meminta sesuatu bantuan), pemberi harus memastikan bahwa apa yang dilakukan tangan kanan (yang memberi) tidak perlu diketahui tangan kiri (orang lain sekadar untuk mendapat pujian atau pahala). Sebaliknya ketika seseorang melakukan sesuatu yang buruk (kesalahan), orang-orang sekitar berkepentingan pula dengan sikap batin (apa yang terjadi dalam hati nurani) pelaku. Apa yang dilakukan sekadar karena khilaf atau sepenuhnya tidak tahu/mengerti akan dinilai berbeda bila dilakukan dengan sengaja atau dengan niat jahat. Dalam hal ini juga diandaikan bahwa seseorang (pada umumnya) mampu berpikir logis (mempertimbangkan dengan menggunakan nalar/ratio atau pertimbangan baik-buruk atau untung

–rugi) serta yang terpenting: menunjukkan keselarasan antara apa yang diyakini (sebagai benar atau salah) dengan perilaku (perkataan-perbuatan) yang ditunjukkan.

Pada prinsipnya kebebasan manusia inilah yang mendasari pemikiran dapat/tidaknya manusia diminta pertanggungjawaban (hukum) atas perbuatan atau dampak dari perbuatannya. Pertanyaan yang dapat diajukan di sini ialah apakah betul manusia sepenuhnya bebas, hanya untuk sebahagian bebas atau sepenuhnya tidak bebas. Seberapa besar pengaruh misalnya sifat bawaan lahir (nature) atau

(12)

Di sini kita akan berhadapan dengan perdebatan antara paham determinisme dan indeterminisme. Kedua pandangan yang bertolak belakang ini penting dalam penelaahan seberapa jauh manusia sebenarnya bebas dan dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum.

Determinisme versus Indeterminisme

Dalam pandangan in-determinisme (ketidaktentuan), manusia dianggap sepenuhnya memiliki kehendak bebas. Perbuatan manusia dan akibat yang ditimbulkannya sepenuhnya dianggap bersumber dari kebebasan mutlak tersebut. Manusia (karena memiliki hati nurani dan/atau akal budi) mampu, sanggup dan bebas memilih dan sebab itu pula (secara implikatif dapat dikatakan) mampu serta harus

bertanggungjawab atas perbuatan dan dampak perbuatannya. Bahkan juga orang yang berada di bawah todongan senjata (atau bentuk ancaman terhadap nyawa atau badan) dianggap tidak kehilangan

kebebasannya untuk memilih (termasuk memilih risiko terburuk).

Kebebasan seperti ini harus (niscaya) digantungkan pada ada dan berkembangnya sempurna: hati nurani dan/atau akal. Bagaimanapun juga anak kecil (yang belum memiliki akal dan hati nurani sempurna) atau mereka yang mengalami gangguan (cacat) kemampuan berpikir (akal budi) dan merasa (hati nurani) tidak dapat dikatakan sepenuhnya mampu mewujudkan kebebasan mereka. Mereka yang dianggap memiliki gangguan kejiwaan – menderita sakit – tidak akan dipersamakan dengan dan diukur

perilaku ya erdasarka patoka keada a a usia or al pada u u ya.

Sebaliknya kita juga dapat temukan pandangan yang menegasikan kebebasan manusia baik secara total maupun parsial (determinisme). Diyakini bahwa manusia pada prinsipnya tidak bebas memilih dan menentukan sikap maupun perilaku karena semua itu (termasuk nasibnya) sudah ditetapkan oleh dewa-dewa atau yang Ilahi. Manusia tidak memiliki kehendak bebas dan semua apa yang ia akan lakukan adalah sekadar mengikuti garis nasib atau memenuhi takdir. Kelahiran, bagaimana hidup dijalani dan juga kematian manusia adalah sekadar untuk memenuhi kodrat yang sudah digariskan - dan tidak mungkin) diubah atas dasar kehendak bebas. Seseorang menjadi jahat atau baik dengan segala konsekuensinya (masuk neraka atau surga) terutama disebabkan karena nasib (kodrat/Tuhan) sudah menggariskannya seperti itu. Untung tak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Semua yang terjadi pada manusia (masyarakat/bangsa) sudah ditetapkan oleh garis-nasib, peruntungan atau oleh yang Maha Kuasa. Manusia hanyalah pemain peran di panggung sandiwara yang alur ceritanya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh sang sutradara (Tuhan atau nasib atau kodrat). Ketidakbebasan manusia demikian jelas meniadakan perlunya bahasan atas kemampuan manusia bertanggungjawab atas pilihan-pilihan sadar/tidak sadar yang diperbuatnya.

Namun kodrat, takdir, garis nasib atau peruntungan bisa juga dimaknai terbatas. Misalnya takdir atau karma (nasib atau kebetulan alamiah) untuk dilahirkan sebagai pria-wanita atau terlahir di dalam bangsa/suku atau keluarga tertentu pada zaman tertentu (dan mendapat keuntungan-kerugian dari

(13)

sebaliknya keunggulan intelengensia atau bakat alami dapat dimaknai sebagai kodrat (anugerah/talenta) yang tidak sekaligus menggariskan keseluruhan jalan hidup individu yang bersangkutan.

Kodrat yang dimaknai terbatas seperti di atas tidak sertamerta menggariskan seluruh jalan hidup manusia. Menjadi perempuan atau terlahir dari keluarga miskin pada prinsipnya tidak menghalangi manusia (dan masyarakat) untuk berubah. Manusia dapat bereaksi dan menanggapi kodrat tale ta ini dan mendayagunakannya untuk kebaikan atau justru menyia-nyiakannya. Dalam hal ini peruntungan atau nasib dianggap masih dapat diubah dengan kerjakeras atau upaya, bahkan juga oleh sejumlah kebetulan yang dimaknai sebagai peruntungan. Di sini kodrat, takdir, atau garis nasib dianggap mungkin dan dapat diubah oleh ihtiar dan upaya manusia sendiri. Ke etula social atau alam tersebut dapat dianggap sebagai bekal (potensi) yang terserah manusia yang bersangkutan bagaimana menyadari, memaknai dan mengembangkannya.

Pandangan deterministic (dari determinare: menentukan atau menetapkan batas) seperti digambarkan di atas (baik total maupun parsial) jelas berpengaruh terhadap pemahaman kadar serta bentuk kemampuan individu untuk bertanggungjawab atas dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pilihan yang terbuka di sini adalah menyatakan manusia yang tidak berkehendak bebas sebagai insan yang tidak dapat bahkan mungkin dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya (termasuk yang paling jahat). Opsi yang menurut akal sehat tidak mungkin diterima. Pilihan lain, sebagai jalan tengah, ialah menerima kemungkinan bahwa sebenarnya manusia tidak sepenuhnya bebas. Artinya kebebasan manusia bagaimanapun juga dibatasi dan ditentukan oleh sejumlah faktor dari luar diri manusia.

Dalam pandangan ini (kebebasan manusia yang bersifat terbatas), tidak selamanya individu harus bertanggungjawab sepenuhnya atas perbuatan yang ia lakukan. Diterima anggapan manusia tidak sepenuhnya dapat mengendalikan hasrat dan perilakunya. Juga dapat terjadi manusia justru

sepenuhnya dikendalikan hasrat liar (bertindak di luar kendali akal sehat). Maka itu, seseorang menjadi jahat atau berbuat jahat, di samping sebagai pilihan yang muncul dari kehendak bebas, untuk

sebahagian ditentukan pula oleh faktor-faktor yang berada di luar kendalinya. Ia menjadi jahat bukan semata-mata karena pilihan pribadi. Bisa jadi ia menjadi jahat karena pengaruh factor internal: amarah atau frustasi akibat keluarga yang pecah, tumbuh-kembang kejiwaan yang terganggu (sociopath-psikopat) atau factor eksternal: kondisi sosial-budaya (pergaulan dengan penjahat; kemiskinan yang menjerat, salah didik/asuh dll). Singkat kata, baik factor internal (gangguan atau ketidakmampuan untuk merasa bersalah) maupun factor eksternal: masyarakat (dan lingkungan sosial) juga harus dipertimbangkan untuk mengukur kadar kemampuan manusia bertanggungjawab dan

mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Lebih dari itu, pandangan ini juga mengakui peran kesehatan jiwa, keluarga dan masyarakat atas munculnya kejahatan yang dilakukan anggota masyarakatnya.

Hukum dan kebebasan manusia dalam masyarakat

(14)

berkehendak bebas (baik sepenuhnya maupun terbatas), baik dalam perbuatan maupun pemikiran. Kebebasan inilah yang melandasi pembuatan hukum (kesepakatan yang dibuat manusia bebas di dalam masyarakat atau dalam kehidupan bernegara), pemberlakuan (implementasi), penaatan dan

penegakannya (melalui campurtangan masyarakat/negara). Pertama, hukum sebagai produk kegiatan masyarakat dibuat oleh manusia (untuk mencapai kepentingan bersama: ketertiban dan keamanan yang memungkinkan manusia hidup dalam masyarakat). Dalam negara demokratis atau melalui proses musyawarah-mufakat diandaikan bahwa peraturan perundang-undangan (salah satu sumber hukum formal) merupakan hasil kesepakatan yang dicapai secara bebas. Pemberlakuan aturan yang dihasilkan juga mengandaikan bahwa aturan yang telah ada (norma) akan berhadapan dengan masyarakat dan anggota masyarakat yang sejatinya secara sukarela (bebas) menaatinya. Dalam hal ini kita juga berbicara tentang perasaan dan kesadaran hukum. Manusia menaati aturan karena hal itu (norma yang melandasi aturan) dianggap sejalan dengan perasaan keadilan atau kesadaran (pemahaman/pengetahuan) tentang apa yang seharusnya berlaku sebagai hukum. Kedua, dengan itu pula, penegakan aturan hukum harus dipandang bukan sebagai pemaksaan kehendak oleh yang kuat (negara atau penegak hukum) terhadap yang lemah. Melainkan terutama dilandaskan pada adanya kesepakatan bahwa jika hukum

(kesepakatan) dilanggar, maka pelanggaran tersebut dilakukan oleh manusia secara bebas. Selanjutnya sebab itu pula, maka yang melanggar harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu kehadapan negara dan/atau masyarakat.

(15)

BAGIAN KETIGA

Sikap batin sebagai ukuran kesalahan perbuatan dan pertanggungjawaban hukum

Di samping itu, memahami mengapa seseorang melakukan sesuatu (apa yang terjadi dalam hati nurani/batin yang bersangkutan) pada akhirnya penting untuk mengerti-memahami dan menentukan bagaimana dan seberapa jauh pelaku dapat dipersalahkan atas akibat yang muncul dari perbuatannya terhadap orang lain, masyarakat maupun Negara. Bahkan kadar pertanggungjawaban yang dapat diminta akan juga digantungkan pada sikap batin yang melatarbelakangi diperbuatnya perilaku salah tersebut. Motivasi (niatan) seseorang menentukan kadar kesalahan, tanggungjawab dan seberapa jauh yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum.

Kadar kesalahan akan selalu dikaitkan dengan pertanyaan apakah seseorang melakukan sesuatu yang salah (buruk) dengan kesadaran dan pengetahuan penuh bahkan dengan kehendak menimbulkan akibat buruk pada orang lain ataukah semata-mata karena ketidaktahuan atau ke(-tidak)sengajaan yang dapat dimaafkan. Dalam kaitan ini pula kadar kesalahan manusia dewasa harus dinilai berbeda dengan kesengajaan atau ketidaksengajaan yang dilakukan anak kecil (belum dewasa) dan mereka yang tidak sempurna akalnya (sakit atau mengalami gangguan kejiwaan). Kecakapan (kemampuan untuk memiliki pengetahuan dan kehendak) pada orang dewasa harus juga dibedakan dari bagaimana hal serupa muncul dalam kelompok masyarakat yang dianggap belum dewasa (tidak cakap hukum), yakni yang tidak/belum memiliki pengetahuan/kehendak sempurna. Maka harus juga dibedakan kemampuan mereka yang sudah dewasa untuk bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan perbuatan dari mereka yang belum dewasa. Kelompok yang disebut terakhir bilamana melakukan hal yang salah (dari kacamata hukum ataupun di luar hukum), sekalipun tetap dianggap bertanggungjawab, tidak/belum dapat dimintakan pertanggungjawaban (hukum). Untuk itu, orang tua/wali atau pihak yang dianggap bertanggungjawab untuk mengawasi (termasuk mengasuh, mendidik/membina) yang akan dimintakan pertanggungjawaban (hukum).

(16)

yang muncul sesuai dokumentasi hukum yang ada (kebenaran formil). Kebenaran yang diungkap inilah yang kemudian melandasi putusan akhir dari hakim (pengadilan).

Sikap batin dalam hukum pidana (substantive maupun prosesuil)

Dalam hukum pidana (substantif maupun acara/prosesuil), pengertian mens rea atau sikap batin (dalam kaitan dengan actus reus: perbuatan) sangat penting. Hal ini pertama-tama muncul dalam perbedaan gradasi perbuatan yang diancamkan dengan sanksi pidana (dari tingkat kesalahan paling berat (dengan rencana atau dengan sengaja) sampai dengan yang paling ringan (lalai/salahnya) dan kedua dalam penjatuhan sanksi pidana yang diancamkan (dan dijatuhkan) terhadap pelaku perbuatan (tindak pidana) oleh pengadilan.

Orang yang melakukan suatu perbuatan tertentu dapat melakukannya dengan atau tanpa pengetahuan (wetens; cognition; knowledge) ataupun kehendak/kesadaran (willens; intention) akan munculnya akibat. Ada tidaknya pengetahuan dan kehendak tersebut menentukan tingkat ketercelaan perbuatan dan juga berkaitan dengan kadar kesalahan yang dapat dikaitkan pada pelaku. Secara konkrit, hal ini muncul dalam perumusan perbuatan yang diancamkan sanksi pidana (delik atau ketentuan pidana).

Di dalam peraturan perundang-undangan (KItab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP) dapat kita temukan raga kete tua ya g e gatur ihwal e ghila gka yawa ora g lai yang dibuat dengan memperhatikan gradasi pengetahuan (wetens)-kehendak (willens) pelaku. Perujukan pada sikap batin kita temukan dalam peristilahan dengan rencana terlebih dahulu, dengan sengaja, atau karena salahnya (lalai). Di samping itu juga ditemukan perujukan pada sikap batin yang dikaitkan pada kualifikasi yang melekat pada orang (pelaku perbuatan). Berat/ringannya perbuatan seorang ibu yang mengaborsi anak dalam kandungan atau membuang anak yang baru dilahirkan, suami/atau istri yang menganiaya pasangan atau anak-anak mereka, akan dinilai berdasarkan sikap batin yang melandasi perbuatan mereka. Dengan kata lain, pembuat undang-undang dalam merumuskan ketentuan pidana harus memperhitungkan dan mencakupkan ke dalam rumusan pidana ragam kategori sikap batin (dengan sengaja, dengan maksud, karena salahnya, dll) yang mungkin ada pada pelaku.

Pentingnya sikap batin muncul pula dalam menentukan ada/tidaknya alasan yang meniadakan

kesalahan dan pertimbangan untuk memperberat atau sebaliknya meringankan pidana yang dijatuhkan atas suatu perbuatan tertentu. Orang yang bertindak (berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu-melalaikan kewajiban hukum) karena keterpaksaan (tanpa niat jahat) sekalipun perbuatannya kemudian dikategorikan sebagai tindak pidana, akan dinilai dan dihukum berbeda dari mereka yang memiliki sikap batin yang buruk. Adanya keadaan terpaksa atau situasi yang tidak memungkinkan seseorang secara bebas mempertimbangkan dan memutus berdasarkan pertimbangan terbaik (tentang baik/salah atau dampak perbuatan) – yang berarti tidak bebasnya seseorang menggunakan hati nurani – akan

menghilangkan kesalahan yang bersangkutan dan melepaskannya dari tuntutan pertangggungjawaban hukum.

Selanjutnya penegak hukum (polisi, kejaksaan & kekuasaan kehakiman) dalam penegakan ketentuan pidana seyogianya memperhitungkan sikap batin pelaku (tersangka/terdakwa) tatkala

(17)

tanpa seizin yang punya) sekadar untuk menyucikan diri sebelum beribadah harus dinilai berbeda dari seorang lain yang merampas sepeda motor orang lain dan menganiaya pengendara yang berusaha mempertahankan miliknya itu.. Begitu juga sikap batin anak kecil yang baku pukul, kadar kesalahannya harus dinilai berbeda dengan seorang suami yang dengan sengaja memukuli anak-isterinya karena jengkel atau karena yakin bahwa hal itu bersifat mendidik dan sudah merupakan kewajibannya sebagai kepala keluarga untuk menyesah anak-istri demi kebaikan.

Hal serupa berlaku pula dalam berlalu-lintas. Kadar kesalahan orang yang menerobos lampu lalu lintas karena tidak melihat lampu lalulintas (negligence/lalai) harus dinilai berbeda bila melanggar lampu lalulintas terjadi karena mabuk (gross negligence/culpa lata: kelalaian besar). Pada gilirannya kedua perbuatan tersebut juga harus dinilai berbeda dari orang yang kebut-kebutan di jalan raya (reckless indiference/ketidakperdulian yang sembrono dan membahayakan) atau karena ketidakpedulian (willful blindness). Kadar kesalahan (dan tingkat ketercelaan) seorang suami yang karena terburu-buru

mengantarkan isterinya yang hendak segera melahirkan ke rumah sakit dengan sengaja melanggar aturan lalulintas dengan demikian juga harus dinilai berbeda.

Selain itu, juga dalam proses pengadilan, apa dan bagaimana sikap batin seorang pelaku (terdakwa) akan diperdebatkan oleh pembela pada satu sisi dan jaksa-penuntut umum pada lain pihak. Tujuan mengungkap kebenaran (apa yang sesungguhnya terjadi sebagai fakta) juga mencakup ihtiar

mengungkap apa yang memotivasi (menjadi latarbelakang) perbuatan seseorang. Diungkapnya sikap batin pelaku akan menjadi pertimbangan hakim dalam memutus bersalah/tidaknya terdakwa serta dalam penjatuhan berat/ringannya hukuman. Motivasi tersebut bahkan juga dapat menghasilkan putusan melepas pelaku dari segala tuntutan hukum. Artinya sekalipun perbuatan untuk mana pelaku dihadapkan pada pengadilan dianggap benar terjadi, namun kemudian terbukti tidak ada kesalahan pada pelaku (adanya alasan yang meniadakan kesalahan atau alasan pembenar), sehingga ia dinyatakan tidak patut dihukum.

Sikap batin dalam hukum perdata (substantive maupun prosesuil)

Dalam ranah hukum perdata (materiil/formil), kecakapan/kemampuan bertindak (bertanggungjawab dan dimintakan pertanggungjawaban) sama halnya dalam ranah pidana, mencakup pengertian kecakapan bertindak (dewasa/cukup umur) yang sekaligus mengindikasikan kemampuan untuk bertindak berdasarkan pengetahuan serta kehendak bebas. Dalam hal inipun penting menelaah bagaimana sikap batin melandasi perbuatan hukum dalam ranah hukum perdata. Sejatinya itikad baik (good faith) melandasi terbentuknya semua perbuatan hukum – yakni perbuatan (bersegi satu atau banyak) terutama yang melahirkan hak dan kewajiban dalam ranah keperdataan.

(18)

dari pihak lainnya secara melawan hukum, akan berakibat pada cacatnya perbuatan hukum yang dibuat. Juga adanya kekhilafan yang muncul pada salah satu pihak yang membuat kontrak (tentang kedewasaan atau kecakapan bertindak pihak lainnya) akan dapat berakibat pada penilaian tentang keabsahan (keberlakuan) kontrak. Pihak yang dirugikan (karena adanya itikad tidak baik atau sekadar karena khilafnya) dapat menuntut batalnya perjanjian tersebut di muka pengadilan. Secara umum juga diandaikan bahwa implementasi hak dan kewajiban bertimbal-balik yang muncul dari dan dalam hubungan-hubungan keperdataan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ilustrasi dari itu ialah perjanjian nikah yang harus dilaksanakan pasangan suami-isteri dengan itikad baik. Tidak adanya itikad baik (dalam pernikahan) akan memberikan hak kepada pihak lainnya untuk memutuskan pernikahan.

Di samping itu, itikad baik tersebut juga harus dikaitkan dengan kehati-hatian atau kecermatan yang dipersyaratkan sebelum membuat dan mengikatkan diri dalam suatu hubungan hukum keperdataan. Pelaksanaan suatu perikatan (hubungan hukum keperdataan; baik yang bersifat sepihak atau lebih), dengan demikian juga harus dilakukan dengan itikad baik. Tiadanya itikad baik selalui diandaikan muncul dalam konsep perbuatan melawan hukum atau melanggar perjanjian (wanprestasi). Keduanya, perbuatan melawan hukum dan wanprestasi selalu dikaitkan dengan konsep karena salahnya dari pihak yang melakukan kedua hal tersebut. Kesalahan tersebut adalah sikap batin yang harus dibuktikan di muka pengadilan. Salah di sini dimengerti mencakup baik perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau sekadar karena lalai. Tujuan akhir dari itu adalah agar pihak yang menimbulkan kerugian dapat dituntut pertanggungjawaban perdata (memberi ganti rugi, mengoreksi kesalalahan yang diperbuat atau dalam hal adanya kontrak/perjanjian: memenuhi apa yang telah disepakati).

Di samping itu, tanggungjawab keperdataan (dan tingkat kehati-hatian/kecermatan yang

dipersyaratkan) yang muncul dari kegiatan berisiko tinggi tentu harus diperhitungkan dan dinilai lebih tinggi daripada yang muncul dalam kegiatan dengan risiko lebih rendah. Dalam hal risiko sangat tinggi (mengangkut bahan berbahaya dan beracun) atau ada ketidaksetaraan antara para pihak (kegiatan menjual dan memasok produk barang/jasa bagi konsumen), maka dikenal beban pembuktian terbalik. Pihak yang dirugikan – berbeda dalam hal gugatan perbuatan melawan hukum atau wan-prestasi – tidak perlu membuktikan bahwa penggugat (yang menimbulkan kerugian) telah bertindak salah. Pelaku-lah yang harus membuktikan dirinya telah bertindak hati-hati atau cermat atau menjamin bahwa produk yang diberikan aman bagi konsumen. Alternatif lainnya ialah tergugat membuktikan bahwa kesalahan tidak terletak pada dirinya (ada pada orang lain atau justru ada pada penggugat sendiri) atau terjadi karena sebab kahar.

Juga dalam hal hak keperdataan seseorang dilanggar atau kewajiban hukum dilalaikan (wan-prestasi/perbuatan melawan hukum), kadar kesalahan dan seberapa jauh pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum akan dikaitkan pada sikap batin yang ada. Misalnya adanya sebab kahar (force majeure), keadaan yang tidak dapat diduga sebelumnya yang menyebabkan yang bersangkutan tidak mungkin memenuhi kewajibannya terhadap orang lain, artinya peristiwa terjadi di luar kehendak (ataupun itikad buruk) pelaku, akan membebaskan pelaku dari kesalahan dan pertanggungjawaban. Hal serupa muncul dalam pertanggungjawaban perdata akibat perbuatan melawan hukum. Adanya

(19)

Sikap batin dalam hukum tata usaha negara (administrative) (substantive maupun prosesuil)

Ihwalnya dalam hal bidang hukum tata usaha negara (hukum administrasi) ialah pengaturan dan penataan hubungan hukum antara pemerintah (pejabat negara-publik/pemerintah) dengan warganegara (individual maupun kelompok). Perilaku (berbuat/tidak berbuat) pejabat pemerintah dapat muncul dalam wujud perbuatan faktual (feitelijke handeling) dan perbuatan hukum (rechtelijke handeling). Pembedaan ini dikaitkan dengan apakah perbuatan tersebut memunculkan akibat hukum atau tidak pada atau dihadapan warganegara.

Sikap batin pejabat public khususnya penting dalam hal yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum (yang memunculkan akibat hukum pada warganegara). Pejabat public pada dasarnya harus mengimplementasikan peraturan perundang-undangan (intra-legem) atau dalam hal khusus ia dapat menyimpang (extra-legem, sekalipun tidak melanggar-contra legem) dari koridor yang ditetapkan perundang-undangan ketika memutus sesuatu berdasarkan kebijakan. Kewenangan untuk memutus berdasarkan kebijakan (diskresi) adalah apa yang dikenal dengan discretionary power atau freis

ermessen. Baik perbuatan pejabat public yang berada sepenuhnya dalam koridor peraturan perundang-undangan dan di luarnya (diskresi), diputuskan berdasarkan alasan pertimbangan subyektif pejabat public yang bersangkutan. Maka di sinipun sikap batin pejabat public menjadi perhatian hukum, terutama bila perbuatan tersebut memunculkan kerugian pada warganegara yang langsung terkena maupun masyarakat umum.

Sikap batin, dalam konteks hukum administrasi, di sini akan dimaknai sebagai motivasi (subyektif) atau alasan pertimbangan dari pejabat public yang membuat keputusan baik yang bersifat umum (regulasi; ditujukan pada semua orang secara umum) atau secara khusus (keputusan; ditujukan pada individu atau kelompok masyarakat tertentu). Untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan atau

penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir/abuse of power), perbuatan (fakta obyektif)) dan sikap batin (fakta subyektif) dari pejabat pemerintah yang melandasi perbuatan itu perlu diujikan terhadap sejumlah asas. Asas-asas ini bersegi dua: pertama menjamin bahwa kegiatan pemerintahan dijalankan sesuai hukum – berkaitan dengan gagasan negara hukum dan pemerintahan yang bersih-berwibawa - dan kedua ditujukan untuk melindungi masyarakat serta hak-hak dasar dan kebebasan individu/warga negara (dari kesewenang-wenangan penguasa).

Dalam pada itu, dikembangkan sejumlah asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu kepastian hukum; keseimbangan; kesamaan (dihadapan hukum dan pemerintahan); bertindak cermat (hati-hati); (memberikan) motivasi (alasan-pertimbangan); tidak mencampuradukan kewenangan (hanya memutus dalam batas kewenangan yang dimiliki); permainan yang layak (keterbukaan dan kesempatan

memperoleh informasi yang benar dan adil); keadilan atau kewajaran (fairplay); menanggapi pengharapan wajar dari masyarakat; meniadakan suatu akibat dari keputusan yang dibatalkan; perlindungan pandangan hidup pribadi (terutama berlaku dalam hubungan kepegawaian);

(20)

Apa yang terutama relevan bagi kita di sini dalam pembahasan sikap batin dari pejabat

public/pemerintah adalah asas kecermatan dan pemberian motivasi (alasan-pertimbangan) yang harus melandasi pembuatan keputusan. Bagaimanapun juga seorang pejabat public dalam rangka

mempertanggungjawabkan perbuatannya harus dapat dan mampu menguji dan mengungkap motivasi (intensi/niatan) yang melatarbelakangi perbuatannya kehadapan public. Maka suatu putusan sebelum diterbitkan harus dilandaskan pertimbangan yang cermat akan situasi-kondisi yang terkait beserta dampak yang mungkin timbul dari putusan tersebut. Alasan pertimbangan tersebut harus dimunculkan (atau dapat dibaca sebagai latarbelakang) diterbitkannya putusan tertentu. Dengan kata lain,

berkenaan dengan akuntabilitas pejabat public, sikap batin pejabat public yang bersifat subyektif (personal), misal keberpihakan pada keluarga atau keluarga sedarah dalam memberikan layanan public, sejauh mungkin harus dihindari atau setidak-tidaknya dikendalikan oleh pedoman perilaku (obyektif) dalam wujud asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Sikap batin penjabat pemerintah inipula yang akan diujikan terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik dihadapan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Layanan pemerintah terhadap warga dalam bentuk pemberian/penolakan putusan (administrative) yang bersifat konkrit-individual (pemberian atau penolakan izin, misalnya) yang dianggap merugikan warganegara (diberikan baik berdasarkan peraturan perundang-undangan atau sebagai diskresi) akan diujikan terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik di atas. Maka, dihadapan pengadilan – melalui proses pembuktian – juga hendak diungkap

seberapa jauh sikap batin pejabat negara sejalan atau justru tidak sesuai dengan asas-asas umum tersebut. Bilamana ternyata terbukti sejalan, pejabat public dalam memutus dianggap akuntabel, pengadilan akan berpihak pada pemerintah dan memutus bahwa keputusan pejabat public sudah mencirikan pemerintahan yang baik. Sebaliknya bila kemudian terbukti bahwa pejabat public ternyata telah bertindak tidak adil (ada kesengajaan hendak menguntungkan seorang lain) atau tidak cermat (tidak memperhitungkan dengan cermat atau teliti dampak dari keputusan yang diterbitkan), hakim akan berpihak pada warga yang mengajukan gugatan.

Sikap batin subyek hukum dalam ranah hukum public internasional

Di dalam konteks hukum public internasional, Negara sebagai korporasi – dan bukan individu – yang menjadi subyek hukum terpenting. Hukum internasional public-pun mengandaikan bahwa Negara sebagai entitas abstrak – bukan konkrit seperti perseorangan/individu – memiliki kehendak bebas dan sebab itu dapat dimintakan pertanggungjawaban dihadapan hukum internasional. Bahkan Negara – dalam bahasa sehari-hari – dapat dikatakan berbuat jahat atau memiliki itikad buruk terhadap Negara lain, bahkan terhadap warganegara sendiri maupun warganegara asing.

Pemahaman inipun yang melandasi prinsip hukum perjanjian internasional, di mana itikad baik juga melandasi penetapan keabsahan kesepakatan. Perjanjian yang dibuat dengan itikad baik harus

(21)

melakukannya dengan itikad baik (untuk mempererat kerjasama antar negara) dan bukan untuk melakukan kegiatan mata-mata.

Selain itu, sikap Negara cq. pemerintahan terhadap warganegaranya sendiri juga dapat diukur dari ada/tidaknya itikad baik. Diasumsikan dalam hukum public internasional, Negara akan mengurus warganegara dan juga warga asing yang berada dalam wilayah kedaulatan Negara yang bersangkutan dengan baik. Artinya diandaikan bahwa Negara cq. Pemerintah niscaya memiliki itikad baik ketika mengurus (melayani) warganegara sendiri maupun warganegara asing. Dari sudut pandang inipun kita harus pahami prinsip kesamaan kedudukan hukum warganegara dihadapan hukum dan pemerintahan (equality before law and government) yang sejatinya menjadi landasan kehidupan hukum di Negara manapun juga.

Dilanggarnya prinsip itikad baik baik ini oleh pejabat negara pada titik tertentu tidak lagi hanya akan menjadi persoalan hukum administrasi Negara sebagaimana digambarkan di atas, melainkan bergeser menjadi persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Dalam kasus ekstrim,kita akan berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia berat (gross violation of human rights), di mana Negara baik karena kebijakan aktif melakukan atau sekadar karena pembiaran menenggang dilakukannya baik oleh aparat negara maupun kelompok masyarakat tindak pidana (penganiayaan, pembunuhan, persecution) terhadap perseorangan atau kelompok masyarakat lain. Di sini kita tidak lagi berhadapan dengan kasus-kasus hukum pidana biasa di mana kejahatan bersifat accidental dan hanya melibatkan satu-dua orang saja. Kejahatan tersebut bersifat terorganisasi

(organized crime) atau disponsori Negara (state sponsored) dan skalanya luas. Maka mengungkap motif pelaku (individual) yang bekerja atas nama negara atau kelompok tidak lagi dapat berhenti hanya pada mengungkap ada/tidaknya rencana, kesengajaan atau kelalaian. Diperlukan lebih dari itu, yaitu motif (adanya itikad buruk), baik karena sekadar kebencian terhadap yang berbeda atau tujuan-tujuan politik lainnya yang melandasi perilaku perseorangan atau kelompok.

Berhadapan dengan kasus-kasus ekstrim demikian (pelanggaran berat hak asasi manusia), hukum public atau khususnya hukum pidana internasional tidak lagi menuntut pertanggungjawaban Negara sebagai korporasi – yang memperlakukan warganegara sendiri maupun warganegara asing dengan itikad tidak baik – melainkan akan mengalihkan perhatian pada individu (pejabat Negara atau pihak manapun yang bertindak atas nama Negara/pemerintah). Merekalah yang sebagai individu (bukan pejabat

Negara/pemerintahan) akan dituntut mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Di sini, perseorangan tidak lagi dapat membela diri, menafikan hatinuraninya sendiri, dengan mengatakan

ahwa ia terpaksa melakukan kewajiban Negara, dan dengan itu mengalihkan kebebasan memilih dan kemampuan bertanggungjawab pada entitas abstrak Negara.

(22)

Penutup

Dari bahasan tentang kebebasan manusia, sikap batin dan pertanggungjawaban hukum dapat kita cermati sejumlah hal. Pertama, konsep pertanggungjawaban hukum dalam arti manusia harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum, dilandasi pada pemahaman umum bahwa manusia adalah mahluk yang bernurani (mengetahui, mampu membedakan dan memilih benar salah) serta berakal budi (mampu mengembangkan akal budi serta pemikirannya). Keduanya itu

mengandaikan adanya kebebasan manusia dan kemampuan manusia menggunakan kebebasan tersebut untuk melakukan yang benar dan menghindari yang buruk. Namun kebebasan manusia ternyata bisa berkurang karena banyak hal, baik yang bersifat internal (ketidakdewasaan; kurang akal; pengalaman traumatic masa kecil) maupun eksternal (pengaruh lingkungan, pendidikan rendah, tidak terbukanya kesempatan untuk kembali ke jalan benar dstnya). Bahkan bisa juga terampas karena sebab alamiah (force majeure) atau adanya paksaan/tekanan fisik-psikis dari orang lain. Kondisi-kondisi tersebut yang mengurangi atau meniadakan kebebasan manusia diperhitungkan terhadap seberapa jauh pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. Kondisi-kondisi ekternal serupa juga mempengaruhi penilaian orang luar akan tingkat ketercelaan perbuatan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik hubungan antara self-efficacy dengan stres akulturatif pada mahasiswa Batak yang kuliah di Semarang. Hipotesis yang

Asbab al-wurud al-khassah (mikro) adalah faktor-faktor (baik berupa peristiwa atau pertanyaan) yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis, sedangkan asbab al-wurud al-‘ammah

Big Idea yang penulis gunakan pada perancangan media kampanye ini yakni “Peran Orangtua Dalam Memenuhi Hak-Hak Anak” dimana masyarakat dan target sasaran bisa

Muhally

Pada awalnya, rencana program yang akan dijalankan dalam kegiatan KKN-PPM adalah untuk membantu masyarakat ini terdiri dari pertama melakukan advokasi kepada Pemerintah

Pasal 66 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menentukan bahwa, Pejabat Polisi Negara RI yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan

Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi politik masyarakat yang dapat menghambat keberhasilan implementasi kebijakan. Hadirnya beberapa

Waktu survival (survival time) merupakan salah satu penelitian yang digunakan untuk menghitung waktu dari munculnya gejala sampai dengan munculnya kejadian.. Dalam waktu