• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESENSI BUKU Belajar Dasar dasar Polisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RESENSI BUKU Belajar Dasar dasar Polisi"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

TIMBANGAN BUKU

103 Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 079 | April - Juni 2013

Belajar Dasar-dasar Polisi Modern dari

Sejarah Polisi Zaman Kolonial

Judul             :   Polisi Zaman Hindia Belanda. Dari Kepedulian dan Ketakutan Judul asli       :  De Geschiedenis van de politie in Nederlands-Indië: Uit zorg en

angst

Penulis           : Marieke Bloembergen

Penerjemah   : Tristam P. Moeliono (penyelia)

Penerbit         : Penerbit Buku Kompas dan KITLV-Jakarta Cetakan         : I,  Januari 2011

Tebal             : xliv + 539 hlm ISBN             : 978-979-709-544-4

Setiap tanggal 1 Juli keluarga besar Polri selalu memperingati Hari Bhayangkara. Banyak yang tidak tahu persis mengapa tanggal 1 Juli yang ditetapkan sebagai Hari Bhayangkara. Penulis yang mengajar di perguruan tinggi yang semua mahasiswanya adalah polisi saja masih menemukan ada mahasiswa yang tidak bisa menjawab pertanyaaan mengapa hari Bhayangkara diperingati pada tanggal 1 Juli. Padahal ketika masih menjadi taruna di Akademi Kepolisian, sudah pasti sejarah berdirinya polisi Indonesia dipelajari.

Mengapa justru tidak pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia, pada hari itulah sebenarnya eksistensi polisi ada di negara ini. Karena, tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Jadi memang pada tanggal tersebut secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.

Jawaban mengapa tanggal 1 Juli, karena pada tanggal itulah ditetapkannya PenPres No. 11/SD tahun 1946 yang mengatur posisi Jawatan

Kepolisian Negara RI berdiri sendiri langsung di bawah Perdana Menteri, di mana RS. Soekanto tetap menjabat Pimpinan Polri yang saat itu disebut Kepala Kepolisian Negara. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan dengan resmi sebagai hari kelahiran Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai Hari Bhayangkara sesuai dengan pidato Kapolri dalam pidatonya tanggal 1 Juli 1979, sebagai tanda berdirinya kepolisian nasional.

Wikimedia menulis, sejarah nama Bhayangkara dan kelahiran polisi Indonesia diawali pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan. Pada masa kolonial

(2)

TIMBANGAN BUKU

104 Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 079 | April - Juni 2013

Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867 sejumlah warga Eropa di Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka. Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.

Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat

hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan

commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.

Untuk mengetahui mengenai sejarah kepolisian Indonesia, buku karangan Marieke Bloembergen yang berjudul : Polisi Zaman Hindia Belanda. Dari Kepedulian dan Ketakutan merupakan referensi yang sangat tepat. Marieke Bloembergen adalah sejarawan yang bekerja sebagai peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda. Dalam buku terjemahan dari bahasa Belanda setebal 500 halaman lebih itu Marieke membeberkan tentang rekam jejak polisi di Hindia Belanda sejak awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara kolonial pada 1942. Menurutnya, polisi di Hindia Belanda

merupakan produk langsung dari ketakutan dan kepedulian. Sejak 1870 masyarakat Eropa mulai membanjiri dan menetap di Hindia Belanda. Mereka merasa was-was karena bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri asing di mana masyarakat di sekeliling mereka punya budaya dan pemahaman lain atas komunitas kulit putih.

Ketakutan

Dalam kesimpulannya, penulis buku menyebutkan bahwa kepolisian kolonial modern terbentuk dan berkembang dilatarbelakangi ketakutan – kecemasan dan perhatian ataupun kepedulian pemerintah akan tugasnya mengayomi rakyat. Ketakutan – kecemasan, terutama dari bangsa Eropa, menjadi benang merah diskusi berkelanjutan yang muncul dan tenggelam di lingkungan pemerintahan dan rakyat banyak sejak 1870. Ketakutan tersebut dipicu oleh gejolak sosial – politik atau pemberontakan lokal yang bernuansa religius. Disebutnya sebagai contoh, pemberontakan rasial di Banten pada tahun 1988 dan di Gedangan pada tahun 1904. Kemudian pemberontakan nasionalisme Tionghoa dan pergerakan setelah 1900, kemudian munculnya revolusi tahun 1918 dan pemberontakan komunisme tahun 1926.

Jadi sebenarnya persoalan masa lalu yang dihadapi oleh polisi, relatif sama dengan yang dihadapi sekarang ini. Konlik yang selalu terjadi dengan latar belakang agama, ras, ideologi, maupun ekonomi, itulah yang terjadi sekarang. Hanya bedanya pada masa lalu polisi punya peran sentral dalam mengatasi hal ini, tetapi sekarang seolah-olah polisi dinilai tidak mampu, sehingga perlu bantuan dari militer. Pertanyaannya, apakah memang tidak mampu atau memang dibuat tidak mampu. Dengan membaca buku ini kita bisa merasakan bagaimana eksistensi polisi secara gradual terus-menerus dibuat menurun.

Marieke secara cerdas menulis, perlawanan kaum pribumi terhadap otoritas kolonial

(3)

TIMBANGAN BUKU

105 Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 079 | April - Juni 2013

sebagaimana terjadi pada 1888 di Banten dan sebelumnya pada 1854 menjadi catatan tersendiri buat pemerintah kolonial untuk mendirikan sebuah organisasi kepolisian modern untuk menjaga kepentingan dan keberadaan mereka di Hindia Belanda. Kemunculan politik etis dan terciptanya golongan elit pribumi yang menginisiasi gerakan nasionalisme di Hindia Belanda mendorong pemerintah kolonial lebih aktif memodernisasi kepolisiannya. Selain sebagai penjaga keamanan juga untuk “mewujudkan gagasan bahwa urusan keamanan adalah bagian penting dari kewajiban (penyelenggaraan) negara sekalipun dengan segala cara tetap ingin mempertahankan status quo kolonial.”

Hal ini jika kita kaitkan dengan konteks sekarang sangatlah aktual. Kritik terhadap negara saat ini adalah perasaan masyarakat yang tidak bisa dibohongi telah mengalami keadaaan negara kurang memberikan akan rasa aman dan keamanan. Kritik yang walau kesannya dibesar-besarkan oleh media, menyatakan negara seolah-olah melakukan pembiaran. Kritik ini sebenarnya menyadarkan kita akan peran negara sebagai penjaga keamanan. Polisi sebagai aparat negara bertugas untuk urusan ini. Itulah posisi sebenarnya, yang sekarang terasa seolah-oleh menjadi “rebutan” banyak pihak. Pemisahan Polri dan TNI pada era reformasi sebenarnya adalah langkah untuk menerapkan sesuatu seuai proporsinya. Tetapi ketika Polres OKU di Sumatera Selatan beberapa waktu lalu diserbu oleh militer, opini yang dimunculkan adanya karena keirian penghasilan. Mengapa isu ini muncul, karena politisasi kinerja polisi sampai sekarang tak pernah berhenti.

Perseteruan antara polisi dan tentara juga pernah terjadi pada masa kolonial. Kisah keributan antara polisi (dalam hal ini polisi lalu lintas) dengan para prajurit di Surabaya pada bulan Oktober 1919. Masalah berawal pada Sabtu malam, 13 Oktober 1919.  Ketika dua puluh prajurit meninggalkan rumah judi

Tionghoa di sebuah pasar malam, mereka ’bersenggolan’ dengan polisi lalu lintas di Boengoenan. Para anggota polisi itu terdiri dari seorang hoofdagent (bintara) Eropa dan empat agent Jawa. Kemungkinan para polisi itu tidak hanya mengawasi lalu lintas tapi juga keramaian tersebut. Namun, penyebab perselisihan mereka tidak jelas. Bisa saja karena persaingan antara polisi dan tentara. Buntut peristiwa itu mereka pun saling serang. Klewang, bayonet, revolver hingga batu jadi senjata (hal.165). Peristiwa keributan antara polisi dan tentara ini tidak hanya terjadi di Surabaya, di kota lain seperti Batavia dan Semarang juga terjadi (hal.166)

Dalam buku ini, Marieke menulis pemerintah kolonial pun memikirkan fungsi sosial lain dari kepolisian. Ia harusnya mampu menjaga ketertiban masyarakat; memastikan masyarakat tetap patuh pada peraturan pemerintah; dan memuaskan kebutuhan masyarakat akan rasa aman. Kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan bagaimana memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Ironisnya, ketika lembaga kepolisian ini dibentuk, tak ada seorang pribumi pun yang dimintai masukan tentang bagaimana seharusnya kepolisian bekerja. Menurut Marieke, ketika 1930 anggota kepolisian mencapai jumlah terbesarnya, yakni 54 ribu personel, 96 persen di antaranya justru berasal dari golongan pribumi. Sebagian besar dari mereka, kecuali anak bupati yang diberi previlese sebagai petinggi polisi, menempati posisi sebagai anggota terendah dalam struktur kepolisian yang hierarkis.

Pada 1860, pejabat tinggi kolonial di Hindia Belanda melontarkan kritik pedas pada kinerja kepolisian yang tak sanggup memelihara keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat. Menanggapi kritik demikian pemerintah kolonial pun mendirikan sebuah komisi kepolisian yang memiliki tugas menelaah dan mencari jalan keluar agar ada perbaikan pada

(4)

TIMBANGAN BUKU

106 Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 079 | April - Juni 2013

mutu kerja kepolisian. Apa yang terjadi pada zaman itu mengingatkan kita pada pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang didirikan pada 1 Juni 2006. Tugas Kompolnas pun mirip-mirip dengan komisi kepolisian yang dibentuk pada zaman kolonial, yakni berupaya meningkatkan kinerja kepolisian Indonesia melalui masukan dan saran kepada Presiden RI.

Pada zaman kolonial, sebagaimana temuan Marieke, ternyata polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah. Perintah gubernur kepada polisi itu didahului oleh sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat telah banyak dosa yang dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas homoseksual. Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk menangkap homoseksual dan memenjarakan mereka.

Reorganisasi

Dalam perkembangannya, seperti diuraikan dalam buku yang tersusun dari sepuluh bagian secara kronologis ini, terbukti korps polisi masa kolonial memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Misalnya dalam perekrutan anggota korps gewapende politie (polisi bersenjata) tahun 1890-an berdasarkan pada ras, agama dan asal-usul. Di mata pemerintah, orang-orang dari Ambon dan Menado adalah calon ideal dibandingkan suku lain (hal.81) Ironisnya, para anggota polisi bersenjata ini memiliki citra negatif di mata rakyat karena kerap melakukan teror. Dengan kata lain lebih banyak unsur represifnya dibandingkan preventif (hal.83)

Pada 1911 diadakan reorganisasi kepolisian di beberapa kota besar seperti Batavia, Semarang dan Surabaya. Tujuannya merapikan organisasi

kepolisian dengan membuat struktur komando dan kepangkatan yang sistematis (hal.100). Ini seperti dilakukan pada saat ini melalui Perpres Nomor 52 Tahun 2010, dimana pada masa tertentu memang diperlukan reorganisasi ketika tantangan tugas telah secara dinamis berubah. Hanya pada saat ini yang dirasakan, belum lama dilakukan reorganisasi sudah muncul wacana ada yang kurang tepat, sehingga muncul upaya untuk ada perbaikan lagi. Jadi kesannya reorganisasi seperti tambal sulam saja.

Dibentuknya korps kepolisian pada masa kolonial itu juga merupakan jawaban atas ciri masalah kolonial: pergulatan sebuah negeri kolonial yang ingin beradab tapi legitimasinya terkikis dan untuk tetap mempertahankannya terpaksa harus bersandar pada kekerasan. Penelitian sejarawan alumnus Universiteit van Amsterdam itu berhasil memberikan gambaran yang jelas tentang asal-usul lembaga kepolisian modern di Hindia Belanda sekaligus memberikan dasar pengetahuan holistik untuk memahami bentuk dan kinerja kepolisian Indonesia di masa sekarang.

Dengan membaca buku ini kita disadarkan bahwa keinginan membangun polisi modern sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman kolonial. Gagasan membentuk kepolisian modern, yaitu kepolisian yang beradab, efektif, serta profesional, sejak masa itu sudah dianggap sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan keamanan. Dalam masa sekarang semangat itu disebut sebagai pemolisian demokratiss. Jadi dari buku ini kita bisa banyak belajar mengenai pemikiran-penikiran yang sekarang sedang gencar-cencarnya diwacanakan. Kesimpulannya, sejak zaman kolonial posisi polisi sebagai pengayom memang sudah kental, dan itulah dasar bagi pemolisian modern.

A.Wahyurudhanto, dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK.

Referensi

Dokumen terkait

Jika pertumbuhan penduduk dapat terjaga rendah, demografi Indonesia akan berada di jendela kesempatan, dan jika SDM Indonesia cukup berkualitas dan berhasil mengoptimalkan

Studi ini bertujuan untuk menjawab dua masalah, yaitu (1) Bagaimana merancang modul percakapan Bahasa Inggris untuk kelas sepuluh SMA Santa Maria Yogyakarta menggunakan

[r]

Merek (Brand) adalah “roh” sebuah produk. Berkembang tidaknya sebuah produk tergantung pada kuat tidaknya sebuah merek. Merek yang kuat akan mendorong produk bergerak

M.Pd SMA NEGERI 1 SURAKARTA Kota Surakarta Jawa Tengah JOGJAKARTA 140 Berti Sagendra, S.Pd SMK NEGERI 4 SEMARANG Kota Semarang Jawa Tengah JOGJAKARTA 141 Dadang

[r]

access the learning facilities: are the facilities location dependent or are they accessible remotely; are there time constraints or can learners work whenever they like; can

(2) What strength and value that can be revealed from the potential of the furniture activity production?; (3) What real step and action can be given in order to give