PERUBAHAN SOSIAL DAN KOMUNIKASI
Mata Kuliah : Sosiologi Media Dosen : Taufiqqurrahman, S.Sos, M.Soc.Sc
Oleh :
AFRIL HADI NIM : 120569201100
HIDAYATUN SALIHA NIM :130569201016
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
PERUBAHAN SOSIAL DAN KOMUNIKASI
Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua unsur – unsur budaya dan sistem – sistem sosial, dima
na semua tingkat kehidupan masyarakat secara sukarela atau dipengaruhi oleh unsur – unsur eksternal meninggalkan pola – pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial lama kemudian menyebabkan penyesuaian diri atau menggunakan pola – pola kehidupan , budaya dan sistem sosial lama.
Dalam perubahan sosial mempunyai 3 aspek yaitu :
1. Perubahan pola pikir masyarakat 2. Perubahan perilaku masyarakat. 3. Perubahan budaya materi.
Pertama, Perubahan pola pikir masyarakat adalah perubahan yang menyangkut persoalan masyarakat terhadap berbagai persoalan sosial dan budaya yang disekitarnya yang berakibat terhadap pemerataan pola pikir baru yang dianut oleh masyarakat sebagai sebuah siakp yang modern.
Contoh : Seorang pembantu dari desa terpencil bekerja di Jakarta yang dimana segala aktifitasnya selalu dipadukan dengan perkembagan teknologi seperti memasak nasi dengan magicom padahal di kampungnya dulu emasak masih memakai tungku.
Contoh : seorang pembantu yang bekerja di Jakarta ketika pulang kampung dandanannya seperti majikan yang di Jakarta serta menggunakan bahasa di Jakarta / bahasa majikannya yang selalu menggunakan bahasa gaul.
Ketiga, Perubahan budaya materi masyarakat adalah perubahan yang menyangkut perubahan artefak budaya yang digunakan oleh masyarakat. Contoh : model pakaian, karya fotography, karya film, teknologi dan lain – lain.
Selain aspek – aspek perubahan sosial juga terdapat fase – fase perubahan
sosial antara lain : a. Primitif
b. Argokultura c. Tradisional d. Transisi e. Modern f. Post Modern
Pertama, primitif adalah suatu fase yang dimana masyarakat hidup secara terisolir dan berpindah – pindah disesuaikan dengan lingkungan alam dan sumber makanan yang tersedia.
Kedua, Argokutural adalah suatu fase ketika lingkungan alam mulai tidak lagi mampu memberi dukungan terhadap manusia, termasuk juga karena populasi manusiayang mulai banyak. Pada fase ini budaya berpindah – pindah masih tetap digunakan waluapun pada skala waktu yang realtif lebih lama.
Ketiga, Tradisional adalah suatu fase yang dimana masyarakat hidup secara menetap disuatu tempat yang dianggap strategis untuk penyediaan berbagai kehidupan seperti di pinggir sungai , pantai, lereng bukit, dan lain – lain.
Kelima, modern adalah suatu fase yang dimana masyarakat ditandai dengan peningkatan kualitas perubahan sosial yang lebih jelas meninggalkan fase transisi. Kehidupan masyarakat sudah kosmopolitan dengan kehidupan individu yang sangat menonjol, profesinalisme disegala bidang dan penghargaan terhadap profesi menjadi kunci hubungan – hubungan sosial diantara elemen masyarakat.
Keenam, Post Modern adalah suatu fase yang memiliki kelebihan – kelebihan tertentu dimana kelebihan itu menciptakan pola sikap dan perilaku serta pandangan – pandangan mereka terhadap diri dan lingkungan sosial yang berbeda dengan masyarakat modern atau masyarakat sebelumnya.
Sifat – sifat yang menonjol dari post modern antara lain :
Memiliki pola hidup nomaden, artinya kehidupan mereka yang terus bergerak dari suatu tempat ke tempat lain menyebabkan orang sulit menemukan mereka secara terdeteksi.
Secara sosiologis mereka berada pada titik nadir, antara struktur dan agen, yaitu pada kondisi tertentu orang post modern patuh pada strukturnya,namun pada sisi lain ia mengekspresikan dirinya sebagai agen yang mereproduksi struktur atau paling tidak agen yang terlepas dari strukturnya.
Lebih suka menghargai privasi dan kegemaran mereka melebihiapa yang mereka anggap berharga dalam hidup mereka.
Kehidupan pribadinya bebas yang memiliki pemahaman nilai – nilai sosial yang subjektif dan liberal.
Pemahaman orang postmodern yang bebas pula menyebabkan mereka cenderung melakukan gerakan back to natare, back to village, back to traditional atau bahakn back to relagi.
Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta sema unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara kukarela atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi itu terjadi karena sebab-sebab intern dan sebab-sebab extern. Definisi lain adalah dari pakah sosiologi terkemuka Indonesia, Selo Soemardjan. Selo mendefinisikan perubahan sosial sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soekanto, 1991:337)
tidakakan ada tanpa komunikasi. Struktur sosial-struktur sosial diciptakan dan ditopang melalui interaksi. Bahasa yang dipakai dalam komunikasi adalah untuk menciptakan struktur-struktur sosial.Hubungan antara perubahan sosial dengan komunikasi (atau media komunikasi) pernah diamati oleh Goran Hedebro (dalam Nurudin, 2004) sebagai berikut. :
Teori komunikasi mengandung makna pertukaran pesan. Tidak ada perubahan dalam masyarakat tanpa peran komunikasi. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa komunikasi hadir pada semua upaya bertujuan membawa ke arah perubahan.
Meskipun dikatakan bahwa komunikasi hadir dengan tujuan membawa perubahan, namun ia bukan satu-satunya alat dalam membawa perubahan sosial. Dengan kata lain, komunikasi hanya salah satu dari banyak faktor yang menimbulkan perubahan masyarakat.
Media yang digunakan dalam komunikasi berperan melegitimasi bangunan sosial yang ada. Ia adalah pembentuk kesadaran yang pada akhirnya menentukan persepsi orang terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka hidup.
Komunikasi adalah alat yang luar biasa guna mengawasi salah satu kekuatan penting masyarakat; konsepsi mental yang membentuk wawasan orang mengenai kehidupan. Dengan kata lain, mereka yang berada dalam posisi mengawasi media, dapat menggerakkan pengaruh yang menentukan menuju arah perubahan sosial.
II. Pengertian Dan Konsep Publik Sphere
masyarakat secara keseluruhan. Adanya Public Sphere menyaratkan keaktifan dari warga masyarakat memanfaatkan hak-haknya untuk ikut berpikir terlibat di dalam suatu wacana yang sedang hangat pada hari suatu saat tertentu, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan politik. Dalam perkembangan masyarakat yang makin besar maka proses terbentuknya wacana menuju opini public tadi lalu diantarai oleh media massa.
Gagasan Habermas di atas memang bisa dibilang sebuah cita-cita ideal dalam konteks historis masa itu yang kalau kita bandingkan dengan konteks zaman sekarang tentunya prosesnya tidak sesederhana itu. Pemikiran Habermas itu bisa kita pahami dalam dua perspektif. Pertama, Habermas mencoba menggambarkan munculnya ruang publik di kalangan calon kaum borjuis dalam spirit kapitalisme liberal di abad 18.Kategori Public Sphere semacam ini dapat ditemui dalam realitas sejarah masyarakat Inggris, Perancis dan Jerman.Pada masa sebelum itu, memang bisa dikatakan tidak ada ruang sosial yang layak disebut “public” sebagai lawan dari “private”. Dengan berkembangnya konsep negara kebangsaan, lembaga perwakilan, perekonomian,dan tidak ketinggalan lahirnya media cetak maka mulailah berkembang akar kemunculan Public Sphere di masyarakat tertentu di Eropa Barat. Dalam Public Sphere ini terdapat kelompok – kelompok sosial tertentu atas dasar pendidikan, kelas kepemilikan ( biasanya pada kalangan pria ) dan berproses melalui berbagai media seperti Jurnal, pamflet, dan surat kabar termasuk di dalam lingkungan tertentu seperti bar, coffee house dan berbagai club. Pertukaran informasi aktual, yang berlangsung terus menerus dalam sebuah diskusi dan seringkali dihangatkan dengan perdebatan merupakan gejala baru yang menurut Habermas amatlah berarti.
intervensionis.Batas antara wilayah publik dan private , baik dalam pengertian ekonomi politik maupun budaya makin tipis. Organisasi besar dan kelompok kepentingan menjadi partner politik kunci bagi negara , menghasilkan bentuk politik feodal baru yang makin menggantikan peran-peran yang semula dilakoni masyarakat. Berkembangnya karakteristik kepemilikan media massa, khususnya tatkala kekuatan komersial mengubah fungsi komunikasi publik menjadi Public Relation dan makin menguatnya periklanan dan hiburan, maka fungsi kritis media massa makin terkikis. Publik lalu terkotak-kotak sedemikian rupa, sehingga kehilangan daya ikatnya.
Kisah memudarnya Public Sphere masih merupakan isu yang hangat hingga kini, tentu saja dengan modifikasi versi olah kalangan pemerhati dan peneliti.Bahkan kemudian ada yang mempertanyakan akan manfaat konsep Public Sphere. Meski demikian konsep ini tetap sesuatu yang berharga guna memahami proses sosial di mana media massa menjadi salah satu kekuatan dalam konstelasi kekuatan-kekuatan yang menentukan dalam masyarakat.
Public Sphere dalam pengertian politik berarti menyediakan sebuah ruang – berupa wacana, lembaga-lembaga, suatu ruang topografik – di mana orang dalam perannya sebagai warga memiliki akses masuk di dalam sebuah dialog kemasyarakatan yang sedang mempersoalkan sesuatu demi kepentingan umum, atau dengan kata lain akses menuju dunia politik dalam pengertian yang luas.Ruang yang demikian ini, dengan kondisi komunikasi tertentu yang mewarnainya, menjadi sesuatu hal yang penting dalam demokrasi. Fungsi Public Sphere dengan demikian adalah memenuhi persyaratan komunikasi tertentu sabagai variabel terbentuknya demokrasi.
( yang klasik dan bukan neo-liberal) tentang media dan demokrasi biasanya tidak menggunakan istilah Public Sphere.
Gagasan Habermas tentang Public Sphere tak sepi dari kritikan, menurut Garnham( 1992), Peters(1993), dan Fraser ( 1992) secara umum tercatat empat dimensi yang menjadi sasaran pertanyaan dan kritik yakni : Media institutions, media representation, struktur sosial dan interaksi sosiokultural. Pemisahan ini hanyalah kepentingan memudahkan analisis karena sebenarnya keempatnya saling terkait dan tak terpisahkan.
Dimensi institusi berkenaan dengan organisasi, pendanaan, regulasi. Dimensi representasi berkaitan dengan cakupan jurnalistik. Kedua dimensi ini lebih banyak mendapat perhatian. Sementara dimensi struktur sosial lebih berhubungan dengan cakrawala yang lebih luas di mana di dalamnya terdapat faktor-faktor pembentuk Public Sphere. Sedangkan dimensi interaksi sosiokultural melihat serbaneka masyarakat pembentuk Public Sphere dan kurang memusatkan pada media massa.
Faktor –faktor dalam dimensi struktur sosial di antaranya berkaitan dengan ekologi politik dari media, menyusun batas-batas dari institusi media dan profil organisasi demikian juga sifat-sifat dari informasi dan bentuk-bentuk representasi yang memungkinkan diartikulasikan. Dimensi struktur sosial ini tentu saja akan berdampak pada pola interaksi sosiokultural. Dengan demikian struktur sosial secara kompleks membentuk seperangkat kondisi bagi Public Sphere yang bisa juga diisi oleh ketiga dimensi yang lainnya.Dimensi struktur sosial tentu saja menjadi dimensi yang paling sulit diraih sehingga bagi sebagian kalangan ahli dimensi ini sebaiknya diabaikan saja jika kita tidak ingin kehilangan fokus soal Public Sphere.Meski, perannya tidak bisa kita anggap remeh.
III. Konsep Publik Sphere Dalam Lingkup Media Masa Dan Contoh Kasus.
Jurgen Habermas mengidamkan adanya sebuah situasi di mana munculnya sebuah public sphere (ruang publik), dimana komunikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Dalam esainya, The Public Sphere, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial macam itu dalam sejarah masyarakat modern. Wilayah itu disebutnya “dunia publik” (public sphere). Semua wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik dapat disebut dunia publik. Semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki dunia macam itu. Mereka sebetulnya aalah orang-orang privat, bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, tetapi percakapan mereka membentuk suatu publik, sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang dipercakapkan, melainkan soal-soal-soal-soal kepentingan umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Baru dalam situasi ini orang-orang privat ini berlaku sebagai publik, sebab mereka memiliki jaminan untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dan menyatakan serta mengumumkan opini-opini mereka secara bebas (Hardiman, 1993: 128-129).
Menurut Peter Dahlgren (2002) dalam tatanan masyarakat modern yang tidak memungkinkan untuk munculnya keterwakilan masyarakat dalam pembicaraan komunikasi politik kecuali dalam jumlah yang relatif kecil, maka media massa pada akhirnya diharapkan menjadi institusi public sphere.
Jika dahulu Habermas mencontohkan praktek konkret public sphere dapat kita lihat di coffee house, maka kemunculan media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka peran mereka menurut John Hartley (1992) telah tergantikan oleh media massa.
Bahkan jika kita berbicara tentang media massa, banyak pula dibicarakan adanya kemungkinan-kemungkinan untuk menumbuhkan public sphere di dalam media massa. Media massa diidamkan untuk menjadi ruang bagi publik untuk menyampaikan segala macam gagasan, pemikiran, secara bebas untuk kemudian menjadi opini publik itu sendiri.
Permasalahan yang terjadi adalah ternyata kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan public sphere di dalam media massa adalah sesuatu yang teramat sulit jika tidak mau dikatakan mustahil.
Sejumlah asumsi yang mendasari sulitnya mengharapkan kemunculan publis sphere di dalam media massa antara lain adalah masalah akses. Bahwa tidak semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki akses terhadap media massa itu sendiri. Media massa cenderung melakukan seleksi terhadap siapa-siapa yang berhak atau boleh memiliki akses terhadap media tersebut.
Ruang yang terbatas di dalam media massa juga seringkali dijadikan dalih bagi media massa untuk tidak menyediakan ruangan bagi dunia publik. Ruangan yang dimiliki oleh media massa mayoritas sudah dikavling oleh program-program media itu sendiri, bahkan seringkali ruangan tersebut telah dipesan oleh para pengiklan. Jadi tidak tersisa lagi bagi ruang publik.
Ruangan-ruang media massa selalu penuh oleh program-program yang berisikan kepentingan para pemilik media, pemodal, politisi, dan pengiklan. Bagi siapa-siapa yang memiliki kapital, maka dia memiliki akses yang lebih luas terhadap media massa dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki kapital tersebut.
mengarahkan masyarakt untuk lebih peduli terhadap konsumerisme daripada politik. Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat seakan makin memberikan tempat bagi kapitalisme untuk ‘menguasai’ praktek media massa. Media massa menjadi tempat untuk iklan dan promosi barang-barang, daripada tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi politik yang penting.
Contoh kasus yang paling baru dalam konsep publik sphere baru-baru ini di Indonesia berkaitan dengan situasi politik dalam negri, mulai dari terbukanya sidang gugatan pemilihan presiden tahun 2014 di MK, serta sidang yang dilaksanakan oleh DPR/DPRD saat menentukan ketuanya. Meski beberapa pihak membatasi konsep publik sphere di media massa dengan kekuatan politiknya, masyarakat mulai dapat menggunakan ruang publik tersendiri seperti social media twitter, serta diskusi-diskusi terbuka yang dilakukan oleh beberapa stasiun televisi swasta lainnya yang tidak membatasi konsep publik sphere di media massa.
KESIMPULAN
Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta sema unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara kukarela atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan, budaya dan sistem sosial yang baru
Perubahan sosial terjadi salah satunya adalah karena terjadinya proses komunikasi yang terdapat dalam masyarakat. Komunikasi memiliki peran penting dalam terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat meskipun terdapat faktor-faktor lain yang menebabkan terjadinya perubahan sosial pada masyarakat.
pandangan berkenaan dengan pokok persoalan yang tengah menjadi perhatian umum sehingga dalam proses tadi terciptalah pendapat umum (publik).
Namun saat ini, ruang-ruang media massa selalu penuh oleh program-program yang berisikan kepentingan para pemilik media, pemodal, politisi, dan pengiklan. Bagi siapa-siapa yang memiliki kapital, maka dia memiliki akses yang lebih luas terhadap media massa dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki kapital tersebut.
Contoh kasus yang paling baru dalam konsep publik sphere baru-baru ini di Indonesia berkaitan dengan situasi politik dalam negri, mulai dari terbukanya sidang gugatan pemilihan presiden tahun 2014 di MK, serta sidang yang dilaksanakan oleh DPR/DPRD saat menentukan ketuanya. Meski beberapa pihak membatasi konsep publik sphere di media massa dengan kekuatan politiknya, masyarakat mulai dapat menggunakan ruang publik tersendiri seperti social media twitter, serta diskusi-diskusi terbuka yang dilakukan oleh beberapa stasiun televisi swasta lainnya yang tidak membatasi konsep publik sphere di media massa.
Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, S.Sos., M. Si, 2006, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Sudarma, Momon. 2014, Sosiologi Komunikasi, Jakarta, Mitra Wacana Media.
Habermas, Jürgen (German(1962) English Translation 1997). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge Massachusetts: The MIT Press