• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA A. Hukum Positif tentang Perkawinan - Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anaknya Di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus Di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara 238/

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA A. Hukum Positif tentang Perkawinan - Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anaknya Di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus Di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara 238/"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

19

A.Hukum Positif tentang Perkawinan

Berbicara tentang hukum, maka yang senantiasa dimaksudkan adalah

hukum pada saat ini atau pada saat tertentu di tempat tertentu yang sedang berlaku

baik berupa tertulis maupun tidak tertulis, hukum ini diberi nama Hukum Positif

atau disebut Hukum Berlaku (positief recht, geldend recht, atau stelling recht).6 Ilmu hukum positif berusaha mencari kausalitas (causaliteit) antara gejala-gejala hukum di sekitar kita, yaitu antara hubungan gejala-gejala hukum itu. Hukum

positif sebagai ilmu harus menguji apakah pangkal peninjauannya dan azas-azas

dan dasar yang diterimanya sebagai dasar sistem yang hendak dipakainya

memang benar dan sesuai dengan realitas.7

Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum eropa, hukum adat dan hukum agama. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan

penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara. Selain itu Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Agama Islam, maka dominasi hukum atau Syar’iyah Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan

6

E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, P.T Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, hal. 21-22

7

(2)

warisan.8

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Masalah perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:

Bangsa Indonesia pernah mempunyai pengalaman yang sangat

mengesankan, yaitu ketika hendak merumuskan Undang-undang Perkawinan.

Dengan alasan unifikasi hukum, pada tahun 1973 pemerintah mengusulkan

Rancangan Undang-Undang perkawinan (RUUP). Pada tanggal 22 Desember

1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep Rancangan

Undang-undang Perkawinan yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

menjadi Undang-undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974,

Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam

Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.

Undang-undang Perkawinan ini terdiri dari 14 Bab, 67 pasal. Dalam

undang-undang ini diatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan mulai

dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,

batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri,

harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan

anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian,

ketentuan-ketentuan lain, ketentuan-ketentuan peralihan, dan ketentuan-ketentuan penutup.

Hazairin Guru besar Hukum Islam Universitas Indonesia (UI), dalam bukunya: “Tinjauan Mengenai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Menamakan undang-undang ini sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan

kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan undang-undang tersebut bertujuan untuk melengkapi hukum positif di Indonesia yaitu sesuatu

8

Abdoel Djamali, R, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

(3)

yang tidak diatur oleh hukum agama atau kepercayaan sehingga negara berhak mengaturnya sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zamannya.9

2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden untuk melaksanakan undang, untuk menjalankan undang-undang. Pembentukkan peraturan pemerintah ini hanya bersifat teknis, yakni sebuah peraturan yang bertujuan untuk membuat Undang-Undang dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.10

Peraturan Pemerintah tersebut terdiri dari 10 Bab, 49 pasal dalam peraturan pemerintah ini diatur mengenai pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mulai dari ketentuan umum, pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta

perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, beristri lebih dari seorang, ketentuan pidana, dan penutup.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dibentuk dan dijadikan hukum positif di Indonesia pada tanggal 1 April 1975, dimana Peraturan Pemerintah tersebut dibentuk atas dasar untuk melakukan Pelaksanaan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

3. Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi berasal dari bahasa latin “compilare”, yang diartikan

mengumpul kan bersama-sama, seperti mengumpul kan peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Istilah ini dikembangkan menjadi compilation dalam bahasa Inggris atau compilatie dalam bahasa Belanda. Kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi kompilasi, sebagai terjemahan langsung dari dua perkataan tersebut.

Kompilasi Hukum Islam ini terdiri dari III buku. Buku I tentang Hukum Perkawinan yang terdiri dari 19 Bab, buku II tentang Hukum Kewarisan yang terdiri dari 6 Bab, dan buku III tentang Hukum Perwakafan yang terdiri dari 6 Bab. Yang keseluruhannya terdiri dari 229 Pasal. Buku I mengatur mengenai ketentuan umum, dasar-dasar perkawinan, peminangan, rukun dan syarat

perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, kawin hamil, beristeri

9

K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 4 -5

10

(4)

lebih dari satu orang, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, rujuk, dan masa berkabung. Buku II mengatur mengenai ketentuan umum, ahli waris, besarnya bagian, aul dan rad, wasiat, hibah. Sedangkan buku ke III mengatur tentang ketentuan umum, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, perubahan, penyelesaian, dan pengawasan benda wakaf, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada awal penyusunannya tidak nampak pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksud dengan kompilasi itu. Penyusunannya tidak secara tegas menganut suatu paham mengenai apa yang disebut kompilasi, sehingga tidak menuai reaksi dari pihak manapun. Kompilasi Hukum Islam ini diperuntukkan sebagai pedoman bagi para hakim di Pengadilan Agama, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama di seluruh

Indonesia. Berdasarkan pertimbangan ini maka Kompilasi Hukum Islam dapat diartikan sebagai rangkuman dari berbagai pendapat Ulama’ fikih. Secara substansial, Kompilasi Hukum Islam ini merupakan hukum normatif bagi Umat Islam, dimana kekuatan yuridisnya terletak pada Instruksi Presiden selaku pemegang otoritas di bidang perundang-undangan.

B.Pihak-pihak yang Berkompeten dalam Pelaksanaan Perkawinan

Pihak-pihak yang harus ada dalam sebuah perkawinan menurut Pasal 14 KHI adalah :

1. Calon suami

Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai batas usia calon suami untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Dalam Kompilasi Hukum Islam ketentuan batas usia calon suami mengacu kepada ketentuan UUP, hal ini disebutkan dalam Pasal 15 ayat 1 KHI.

(5)

halal untuk dinikahi, mengerti hukum-hukum dan layak berumah tangga, tidak ada halangan perkawinan.11

2. Calon istri

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan seorang wanita dapat melangsungkan perkawinan jika wanita tersebut sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan batas usia tersebut sama dengan Pasal 15 ayat 1 KHI. Ada beberapa syarat untuk menjadi calon mempelai wanita yaitu : Memiliki jenis kelamin harus wanita atau perempuan normal, beragama Islam, bukan mahram calon suami, mengizinkan wali untuk menikahinya, tidak dalam masa iddah, tidak sedang bersuami, belum pernah li’an, tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah.12

3. Wali nikah

Adalah pihak yang menjadi orang yang memberikan ijin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan. Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak penganten perempuan.13

Pasal 20 KHI mengatur beberapa syarat untuk menjadi wali yaitu :

a. Haruslah beragama Islam,

Syarat ini berdasarkan Nash Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 28 yang artinya berbunyi :

“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”

b. Berakal

Berakal adalah seseorang yang memiliki akal dan pikiran yang sehat, dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.

11

http://vanpierre.blogspot.com/2011/12/syaratsyaratcalonmempelaidan -ijab.html?m=1 diakses pada tanggal 12 juni 2013

12Ibid 13

(6)

c. Baliq

Telah dewasa d. Laki-laki.

Berjenis kelamin laki-laki yang normal.

Menurut hukum perkawinan islam, wali ada 3 yaitu :

1). Wali mujbir : wali nikah yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seseorang laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah ayah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya apabila hal tersebut dipandang demi kebaikan bagi putrinya dengan syarat-syarat sebagai berikut :

a) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu.

b) Jika mahar yang diberikan calon suami sebanding dengan kedududkan

putrinya (mahar mithl).

c) Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan.

d) Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya

dengan laki-laki (calon suaminya).

e) Jika putrinya tidak mengikrarkan bahwa ia tidak perawan lagi.

(7)

Surat Al-Baqarah ayat 232, yang berbunyi14

“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedangkamu tidak mengetahui.”

:

2). Wali nasab : wali nikah yang memiliki hubungan keluarga dengan calon penganten perempuan. Wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, sebapak, paman beserta keturunannya menurut garis patrilineal (laki-laki).

3). Wali hakim : wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak (calon suami-istri). Wali hakim itu harus mempunyai pengetahuan sama dengan Qadli. Pengertian wali hakim ini termasuk Qadli di pengadilan. Dalam masalah wali nikah ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa ketiga wali diatas harus berurutan. Artinya diawali dengan wali mujbir, lalu jika tidak adanya wali mujbir baru pindah ke wali nasab dan jika wali nasab tidak ada barulah pindah ke wali hakim. Wali nikah termasuk salah satu syarat dan rukun nikah. 4. Dua orang saksi

Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.

Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut15 a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Ini lah pendapat yang

dipegang oleh jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh

terdirir dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan (Ibnu

al-Humam; 250), sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri

dari empat orang perempuan.

:

b. Kedua orang saksi itu adalah beragama Isalam.

c. Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka .

14

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Cv Asy-Syifa, Semarang, 2000, hal 80

15

(8)

d. Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat

ulama Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan di antaranya

ada saksi laki-laki. Sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan

semuanya perempuan dengan pertimbangan dua orang perempuan sama

dengan kedudukannya dengn seorang laki-laki (Ibnu al-Humam, 199;

Ibnu Hazmin, 465)

e. lKedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa

besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah.

Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi perkawinan. (Ibnu

al-Humam:197)

f. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.

Pasal 25 KHI mengatur mengenai syarat saksi nikah yaitu :

“Seorang laki-laki muslim, adil, akil-balik, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”

Pasal 26 KHI juga menyatakan :

“Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah beserta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan”.

5. Ijab dan Kabul

Ijab adalah pernyataan calon istri tentang kesediaannya dikawinkan dengan calon suami sedangkan kabul ialah jawaban pihak suami bahwa iya menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.16

Pasal 27 KHI menyatakan ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun, dan tidak berselang waktu.

Menurut jumhur ulama syarat ijab kabul sebagai berikut17 a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

:

16

pada tanggal 21 Agustus 2013

17

(9)

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.

c. Memakai kata-kata nikah, tajwid, atau terjemahan darai kedua kata

tersebut.

d. Antara ijab dan kabul bersambungan.

e. Antara ijab dan kabul jelas maksudnya.

f. Orang yang terkait dengan ijab dan kabul tidak sedang ihram haji atau

umroh.

g. Majelis ijab dan kabul itu harus hadir minimum empat orang yaitu calon

suami, wali dari calon istri, dan dua orang saksi.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 undang-undang perkawinan antara lain :

a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.

b. Adanya izin kedua orang tua atau wali bagi mempelai yang belum

berusia 21 tahun.

c. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai

wanita sudah mencapai 16 tahun.

d. Adanya izin dari pengadilan yaitu jika batas umur yang dimaksud pada

point diatas belum terpenuhi yaitu dengan dimintakan dispensasi kepada

pengadilan.

e. Tidak ada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.

f. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan

bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama kepercayaan mereka tidak

(10)

g. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang

janda.

h. Tidak lewat waktu 10 hari sejak pelaporan kehendak kawin.

i. Tidak ada pihak yang mengajukan pencegahan perkawinan.

j. Tidak ada larangan perkawinan.

Rukun dan syarat perkawinan wajib dipenuhi, bila tidak maka tidak sah. Dalam kitab al-fiqih ‘ala al-mazhib al-arabah’ah disebutkan bahwa nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah.18

C.Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa , artinya bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 3 yaitu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan ramah.

Menurut Hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah, dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syar’iyah Islam.19

Ada lima tujan Perkawinan yaitu :

1. Memperoleh kehidupan sakiinah, mawaddah, dan rahmah

Sakiinah artinya tenang dan tentram. Mawaddah artinya cinta dan harapan.

Rahmah artinya kasih saying.

18

Abdurahman al-Jaziry, kitab al-fiqih ‘ala al-mazahib al-arba’ah, maktabah al-tijariyah kurba jaz IV, hal. 118

19

(11)

Tiga kata utama tersebut sejatinya merupakan istilah khas Arab-Islam yang

dirujuk dari QS. Ar-Rum ayat 21 yang artinya berbunyi20

“Di antara tanda-tanda (kemahaan-Nya) adalah Dia telah menciptakan dari jenismu (manusia) pasangan-pasangan agar kamu memperoleh sakiinah disisinya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum:21)

:

Dalam perkembangannya, kata sakiinah diadopsi ke dalam Bahasa

Indonesia dengan ejaan yang disesuaikan menjadi sakinah yang berarti

kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan. Kata mawaddah juga sudah

diadopsi ke Bahasa Indonesia menjadi mawadah yang berarti kasih sayang.

Mawaddah mengandung pengertian filosofis adanya dorongan batin yang kuat

dalam diri sang pencinta untuk senantiasa berharap dan berusaha menghindarkan

orang yang dicintainya dari segala hal yang buruk, dibenci dan menyakitinya.

Mawaddah adalah kelapangan dada dan kehendak jiwa dari kehendak buruk.

Adapun kata rahmah, setelah diadopsi dalam Bahasa Indonesia ejaannya

disesuaikan menjadi rahmat yang berarti kelembutan hati dan perasaan empati

yang mendorong seseorang melakukan kebaikan kepada pihak lain yang patut

dikasihi dan disayangi.21

2. Reproduksi atau regenerasi

Tujuan ini adalah tujuan untuk memperoleh atau menghasilkan keturunan, yaitu anak yang sah. Memperoleh anak dalam perkawinan adalah tujuan untuk

20Op.Cit,

Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal 899 21

(12)

mengembangbiakan ummat manusia (reproduksi) di muka bumi ini, dapat dilihat dalam beberapa ayat yaitu :

a. Surat Asy-Syura ayat 11 yang artinya berbunyi22

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang baik dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

:

b. Surat An-Nahl ayat 72 yang artinya berbunyi23

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari ni’mat Allah”

:

Suami istri yang hidup berumah tangga tanpa kehadiran seorang anak, tentu akan terasa sepi dan hampa. Walaupun keadaan rumah tangga serba berkecukupan harta, berpangkat dan berkedudukan tinggi, semua itu tidak akan ada artinya apabila dalam rumah tangga tersebut tidak memiliki anak atau yang disebut keturunan. Kehadiran anak atau keturunan akan senantiasa memberikan arti tersendiri bagi setiap pasangan suami istri, karenanya kehadiran anak merupakan kesempurnaan dalam sebuah rumah tangga yang bahagia.

3. Pemenuhan kebutuhan biologis

Tujuan ketiga, pemenuhan biologis (seksual) dapat dilihat dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an yaitu :

a. Surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya berbunyi24

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af padamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah,

:

22

Op.Cit, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal 1078 23

Ibid, hal 587

24

(13)

maka jangan lah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”

b. Surat Al-Baqarah ayat 223 yang artinya berbunyi25

“Istri-istri mu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocoktanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”

:

c. Surat An-Nur ayat 33 yang artinya berbunyi26

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memapukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian, dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada mu. Dan jangan lah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri ingin kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”

:

4. Menjaga Kehormatan

Tujuan dari perkawinan ialah menjaga kehormatan, dimaksud dengan kehormatan ialah seorang suami atau istri menjaga kehormatan dirinya sendiri, anak, dan keluarga. Menjaga kehormatan harus menjadi kesatuan dengan tujuan pemenuhan biologis. Artinya di samping untuk memenuhi kebutuhan biologis, perkawinan juga bertujuan untuk menjaga kehormatan. Apabila hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, seorang laki-laki atau perempuan dapat saja mencari pasangan lawan jenisnya, lalu melakukan hubungan badan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Tetapi dengan itu ia akan kehilangan kehormatannya. Sebaliknya dengan perkawinan dua kebutuhan tersebut dapat

25

Ibid, hal 76 26

(14)

terpenuhi kepada Allah, yakni kebutuhan seksualnya terpenuhi, demikan juga kehormatan terjaga.27

5. Ibadah

Tujuan perkawinan ini ialah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, Ini sangat tegas menyebut bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari melakukan agama. Melakukan perintah dan ajaran agama tentu bagian dari ibadah. Dengan demikian maka menjadi jelas bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari ibadah.28

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah tujuan yang menyatu dan terpadu. Artinya semua tujuan itu harus diletakan menjadi satu kesatuan yang utuh saling berkaitan. Tujuan reproduksi tidak bisa dipisahkan dari tujuan pemenuhan kebutuhan biologis, tujuan memperoleh kehidupan yang tentram penuh cinta dan kasih sayang, tujuan menjaga kehormatan dan tujuan ibadah.

D.Perjanjian Perkawinan

Perjanjian kawin di Indonesia tidak begitu populer, karena mengadakan suatu perjanjian mengenai harta, antara calon suami dan calon istri, mungkin dirasakan banyak orang merupakan hal yang tidak pantas. Perjanjian kawin memang tidak diharuskan, hanya banyak manfaat yang bisa dirasakan jika sebuah perkawinan itu juga disertai adanya perjanjian kawin terlebih dahulu. Namun perjanjian kawin itu biasanya didasarkan atas kesepakatan antara calon suami dan calon istri yang akan berumah tangga. Jika salah satu dari mereka tidak setuju, maka perjanjian tidak dapat dilakukan sebab hal ini tidak bisa dipaksakan, karena sifatnya yang tidak wajib. Tidak adanya perjanjian kawin tidak lantas menggugurkan status perkawinan, pembuat perjanjian kawin ini lebih didorong karena adanya kemungkinan hak-hak dari pihak yang terganggu jika perkawinan mereka telah dilangsungkan.

Perjanjian perkawinan hanya diatur oleh satu pasal di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan :

“pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan

27

diakses pada tanggal 20 Agustus 2013 28

(15)

oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Dari bunyi pasal ini sebenarnya tidak begitu jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut. Menurut Martiman Prodjohamidjodjo, perjanjian dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan ini jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi “verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overeenkomst), dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi “verbintenissen uit de wet” (perikatan yang bersumber pada undang-undang).29

Kendatipun tidak ada definisi yang jelas yang dapat menjelaskan perjanjian perkawinan namun dapat diberikan batasan sebagai satu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara kedua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.

Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk di dalamnya ta’lik talak sebagaimana yang termuat dalam surat nikah.

30

Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatatan nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.31 Menurut Henry Lee A Weng perjanjian perkawinan lebih luas dari “huwelijksche voorwaarden” seperti yang diatur di dalam hukum perdata. Perjanjian perkawinan bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi syarat-syarat atau keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.32

Sebagaimana yang dimuat dalan Undang-Undang Perkawinan, ta’lik talak tidak termasuk ke dalam perjanjian. Alasannya adalah perjanjian yang termasuk di dalam pasal yang telah disebut menyangkut pernyataan kehendak dari kedua belah pihak dalam perjanjian itu, sedangkan ta’lik talak hanya kehendak sepihak yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah. Ta’lik talak sebenarnya satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak wanita yang sebenarnya dijunjung tinggi oleh

29

Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2002, hal. 29

30

Ibid

31

Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 39

32

(16)

Islam.33

1. Calon suami dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan

dengan hukum Islam.

Berbeda halnya dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, tentang Pasal 11 yang menyatakan :

2. Perjanjian yang berupa ta’lik talak dianggap sah kalau perjanjian itu

diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah

dilangsungkan.

Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 45 menyebutkan :

“Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”

Adanya penjelasan pada Pasal 29 Undang-undang Perkawinan yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk ta’lik talak. Jadi, tampaknya ada pertentangan antara penjelasan Pasal 29 Undang-undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Mengingat isi ta’lik talak yang memuat perjanjian tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama, maka tegaslah bahwa ta’lik talak tersebut masuk ke dalam kategori perjanjian perkawinan. Jadi dapat dikatakan walaupun ta’lik talak telah dituliskan dalam surat nikah namun bukan sebuah kewajiban untuk diucapkan, akan tetapi sekali ta’lik talak telah diucapkan maka ta’lik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali.

Apabila perjanjian perkawinan telah disepakati bersama antara suami istri, tidak dipenuhi salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh suami maka istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya, sebaliknya jika terjadi pada istri yang melanggar perjanjian di luar ta’lik talak maka suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.34

E.Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 13 yang berbunyi :

33Ibid

, hal. 218

34

(17)

“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan maka diatur tentang tata cara pencegahan perkawinan.35

Adapun para pihak yang boleh mengajukan pencegahan menurut Pasal 14 Undang-undang Perkawinan adalah :

a. Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah.

b. Saudara.

c. Wali nikah.

d. Wali pengampu.

e. Suami atau istri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau

istri tersebut.

f. Pejabat pengawas perkawinan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat 1 Undang-undang Perkawinan, pencegahan itu diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilakukan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan. Selanjutnya Pasal 17 ayat 2 Undang-undang Perkawinan menyebutkan Pegawai Pencatatan Perkawinan memberitahukan kepada calon-calon mempelai tentang adanya permohonan pencegahan tersebut.36

1. Diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan

dilaksanakan. Di sini hanya menyebut perkataan pengadilan. Tidak menyebut

tegas Pengadilan Negeri. Hal ini sebenarnya sudah ditegaskan pada Pasal 63

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa yang dimaksud dengan

pengadilan dalam undang-undang ini ialah :

Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Perkawinan ada prosedur untuk mengajukan permohonan pencegahan perkawinan :

35

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV.Zahir Trading Co, Medan, 1975, hal. 63

36

(18)

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.

b. Pengadilan Umum bagi yang tidak beragama Islam.

2. Pencegahan juga disampaikan kepada pejabat pencatat perkawinan.

Diberitahukan juga kepada calon-calon mempelai tentang permohonan

pencegahan perkawinan tersebut.

Pencegahan menurut Kompilasi Hukum Islam di atur pada Pasal 60 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :

“Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undang”

Menurut Kompilasi Hukum Islam yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampun dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan Pasal 62 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Selainn yang disebutkan Pasal 62 tersebut dapat pula dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan, Pasal 63 Kompilasi Hukum Islam.

F. Batalnya Perkawinan

Pembatalan perkawinan ialah tindakan pengadilan yang berupa keputusan

yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (No legal force or declared void). Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan yaitu37 1. Perkawinan dianggap tidak sah (no legal force)

:

2. Juga dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada (never existed)

37

(19)

3. Oleh karena itu si laki-laki dan si perempuan yang dibatalkan perkawinannya

dianggap tidak pernah kawin sebagai suami istri.

Pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV, Pasal 22-Pasal 28

Undang-undang Perkawinan. Dalam bab ini diatur alasan pembatalan perkawinan,

pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan, prosedur pembatalan

perkawinan,serta akibat pembatalan perkawinan. Sementara dalam Kompilasi

Hukum Islam pembatalan perkaiwnan diatur dalam Bab XI, Pasal 70-76 yang

mengatur tentang hal-hal yang kurang lebih sama dengan yang di tur

Undang-undang Perkawinan. Lebih lanjut pembahasan tentang pembatalan perkawinan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perendaman ikan tongkol ( Auxis thazard ) pada kelompok ekstrak etanol daun nimba (Azadirachta indica) dengan

Dari semua permasalahan yang muncul diatas maka studi kelayakan dalam proyek pengembangan rumah sakit RSUP Dr.kariadi, studi kasus pembangunan Gedung IRNA kelas3

Sub Unit Organisasi UPTD Dinas Pendidikan Kecamatan Buleleng.

Dari kedua laboratorium ( Lab 1 dan 2 ) yang digunakan untuk menganalisa komposisi asam lemak diperoleh waktu retensi yang bervariasi, selanjutnya untuk asam

tersebut, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI Jakarta memiliki khasanah arsip dalam wujud dan bentuk media rekam yang beragam, salah satunya adalah arsip foto, dalam rangka

Judul Tesis : TINJAUAN HUKUM KEKUATAN SERTIPIKAT HAK MILIK DI ATAS TANAH YANG DIKUASAI PIHAK LAIN (STUDI KASUS ATAS PUTUSAN PERKARA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MEDAN

Setelah melihat kekurangan pada proses pembelajaran siklus 1, maka guru mencoba menerapkan metode pembelajaran diskusi tipe buzz group dengan: (1) menambahkan

Dalam memahami alam, manusia dapat menyusun berbagai alat dan perlakuan yang dapat dilakukan untuk mengolah dan menggunakan alam untuk meningkatkan kesejahteraan hidup