1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Semakin majunya zaman yang disebut sebagai hasil dari pembangunan telah
menyisakan berbagai perubahan gaya hidup dan memunculkan banyak masalah sosial dalam
masyarakat. (Kartono,2001:206) menyampaikan, berlangsungnya perubahan-perubahan yang
serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan menyebabkan adaptasi
atau penyesuaian diri menjadi hal yang tidak mudah, sehingga berakibat pada
ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Kesulitan melakukan
penyesuaian diri menyebabkan kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik, baik yang
terbuka dan eksternal sifatnya maupun yang tersembunyi dan internal batin sendiri sehingga
banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum atau
berbuat semau sendiri demi kepentingan sendiri, mengganggu dan merugikan orang lain.
Ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri mengakibatkan
timbulnya disharmoni dalam masyarakat dan dalam diri pribadi. Peristiwa-peristiwa tersebut
memudahkan individu menggunakan pola-pola responsi/reaksi yang inkonvensional dan
menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku. Salah satunya adalah pola pelacuran untuk
mempertahankan hidup ditengah hiruk pikuk alam pembangunan di Indonesia
(Kartono,2001:207).
Di Indonesia, pelacuran telah terjadi sejak zaman kerajaan Majapahit. Salah satu yang
menunjukkan hal ini adalah kisah-kisah perselingkuhan dalam kitab-kitab Mahabrata. Pada
2
disandangkan pada Wonogiri dan Wonosari dapat dijadikan sebagai bukti. Pelacuran di
Indonesia semakin berkembang pada masa kolonial (Koentjoro,2004:61-62).
Prostitusi atau pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua kehidupan
manusia itu sendiri. Pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree, yang
membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan.
Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus
dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Pekerja
seks komersial (PSK) adalah bagian dari dunia pelacuran yang termasuk dengan istilah WTS
atau wanita tunasusila. Pekerja seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri dengan
jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk
memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran (Kartono, 2013:207-208).
Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacur dianggap negatif dan mereka yang
menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sampah masyarakat. Adapula pihak
yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, cenderung jahat, namun tetap
dibutuhkan. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadirian pelacur bisa
menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkan (biasanya kaum lelaki) tanpa
penyaluran itu dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa
kaum perempuan yang baik-baik.
Dilihat dari segi sosiologisnya, pekerja seks komersial dipandang rendah oleh
masyarakat sekitar, dicemooh, dihina, diusir dari tempat tinggalnya dan lain-lain sebagainya.
Mereka seakan-akan sebagai makhluk yang tidak bermoral dan meresakan warga sekitar serta
mencemarkan nama baik daerah tempat mereka berasal. Masalah prostitusi tidak ubahnya
sama dengan manusia pada umumnya, secara garis besar prostitusi tentunya juga mempunyai
3
makna hidup bukanlah merupakan suatu perjalanan yang mudah bagi seorang pekera seks
komersial, perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup
mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta sikap yang
bagaimana yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib yang bisa mereka rubah, yang
kesemuanya itu tidak bisa lepas dari hal-hal apa saja yang diinginkan selama menjalani
kehidupan serta kendala apa saja yang dihadapi oleh mereka dalam mencapai makna hidup.
Dalam masyarakat, kehidupan seorang pekerja seks komersial merupakan suatu hal
yang kurang dapat diterima. Sampai sekarang PSK dipandang sebagai mahluk yang
menyandang stereotype negatif, dan tidak dianggap pantas menjadi bagian dari masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, kaum PSK selalu mendapat tekanan dari masyarakat, bahkan
menjadi bahan olokan dan ejekan. Tekanan dan perlakuan negatif dari lingkungan ini
biasanya muncul dari perilaku masyarakat yang selalu ingin memojokkan mereka.
Pandangan masyarakat ini hanya dikhususkan kepada para perempuan pekerja seks komersial
yang menjalani pekerjaan ini karena murni akibat tekanan ekonomi. Kesan pertama akan
perempuan pekerja seks ini adalah para perempuan jalang yang amoral. Tidak tahu malu,
penggoda lelaki. Tidak layak bagi para perempuan pekeja seks untuk dihargai. Kenapa
masyarakat bisa memiliki kesan seperti itu, karena sejak kecil ditanamkan oleh orang-orang
tua bahwa perempuan pekerja seks menyebutnya pelacur, adalah perempuan yang tidak benar
kelakuannya.Apalagi digambarkan para pekerja seks Komersial (PSK) tersebut kehidupannya
glamour tetapi norak. Juga ditunjukkan jenis parfum yang di botolnya bergambar putri
duyung, yang namanya minyak si nyong nyong, yang pakai minyak wangi itu adalah para
pelacur. Akhirnya tertanamlah di benak masyarakat selama bertahun-tahun bahwa PSK itu
memang perempuan jalang (http://www.pikiran rakyat.com/ diakses pada tanggal 7 Mei 2014
4
Pelacuran atau prostitusi bukan merupakan jalan bagi kebanyakan perempuan untuk
bisa mendapatkan materi dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam memenuhi
kebutuhan materi, banyak perempuan yang dengan terpaksa menjalani pekerjaan sebagai
pekerja seks komersial. Ini dikarenakan semakin sempitnya lapangan kerja yang membuat
banyak masyarakat khususnya perempuan melakukan pekerjaan ini, ditambah dengan tidak
adanya keahlian atau keterampilan sesuai bidang lapangan pekerjaan. Banyak perempuan
beranggapan bahwa dengan melakukan pekerjaan ini, mereka bisa mendapatkan keuntungan
yang lumayan besar untuk dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan
hanya faktor ekonomi saja, banyak dari para perempuan yang rela menjadi pekerja seks
komersial hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat saja atau materialistis. Banyak juga
perempuan yang ingin mendapatkan apa yang dia inginkan misalnya ingin memiliki
barang-barang yang mewah atau barang-barang yang lainnya yang dia rasa ingin dimilikinya harus
menjualkan dirinya untuk orang lain yang terpenting baginya bisa memiliki barang-barang
mewah.
Prostitusi berkembang dan tumbuh dengan berbagai kedok dalam berbagai rupa
misalnya: salon kecantikan, panti pijat, warung remang-remang, ruko-ruko fiktif serta tak
luput juga dari pusat perbelanjaan atau mall dan tempat pendidikan pun juga sudah menjadi
tempat berkembangan prostitusi. Para pekerja seks komersial atau pelacur merupakan wanita
yang tertindas dengan keliaran nafsu para laki-laki pemuja kenikmatan duniawi tak akan jera
walaupun berulang kali kena razia.
Pada saat ini, pekerja seks komersial bukan hanya dari kalangan perempuan yang
sudah dewasa saja, melainkan pekerja seks komersial sekarang sudah rata-rata berasal dari
kalangan remaja putri atau sering disebut Anak Baru Gede (ABG) yang menjadi daya tarik
5
faktor yang menarik dan faktor perantara sebagai faktor yang mendorong (Koentjoro, 2004).
Banyaknya permintaan dari konsumen terhadap jasa pelayanan kegiatan seksual yang
dilakukan pada remaja putri sehingga semakin banyak pula tingkat penawaran yang
ditawarkan. Para perempuan biasanya lebih mudah menjadi pekerja seks komersial karena
adanya motif berkuasa, budaya atau kepercayaan seperti hegomoni laki-laki diatas
perempuan.
Kajian cepat yang baru dilakukan ILO-IPEC pada tahun 2007 memperkirakan jumlah
pekerja seks komersial di bawah 18 tahun sekitar 1.244 anak di Jakarta, Bandung 2.511,
Yogyakarta 520, Surabaya 4.990, dan Semarang 1.623. Namun jumlah ini dapat menjadi
beberapa kali lipat lebih besar mengingat banyaknya pekerja seks komersial bekerja di
tempat-tempat tersembunyi, ilegal dan tidak terdata. Lebih lanjut, data yang ada
memperlihatkan daerah-daerah pemasok anak-anak untuk kegiatan pelacuran meliputi Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, sumatera Barat, Suamtera Utara, Kalimantan
Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Sementara daerah-daerah penerimanya
terutama Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan, Riau, Batam, Ambon, Manado,
Makasar, dan Jayapura. Beberapa diantaranya bahkan diperdagangkan di luar negeri seperti
Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, dan
Beberapa kota di Indonesia memiliki banyak panggilan khusus untuk pekerja seks
perempuan ABG, seperti di Taksimalaya dikenal dengan sebutan “anyanyah”, di Yogyakarta
dikenal dengan ciblek atau cilikan betah melek sedangkan di Medan dikenal dengan istilah
bronces atau onces. Di kalangan pekerja seks remaja sendiri, dikenal istilah ‘tubang’ (tua
6
palayanan atau service dari pekerja seks. Di Medan para pekerja seks komersial biasanya
dapat dijumpain di sejumlah diskotik, karaoke, tepi-tepi jalan yang menjadi tempat
lokalisasai serta di pusat perbelanjaan.
Koentjoro (2004:68) mengatakan bahwa secara umum terdapat lima alasan yang
paling mempengaruhi dalam menuntun seorang perempuan menjadi seorang pekerja seks
komersial diantaranya adalah materialisme, modeling, dukungan orangtua, lingkungan yang
permisif, dan faktor ekonomi. Mereka yang hidupnya berorientasi pada materi akan
menjadikan banyaknya jumlah uang yang dikumpulkan dan kepemilikan sebagai tolak ukur
keberhasilan hidup. Banyaknya pekerja seks komersial yang berhasil mengumpulkan banyak
materi atau kekayaan akan menjadi model pada orang lain sehingga dapat dengan mudah
ditiru.
Masa remaja berada pada rentang usia 13-18 tahun dengan pembagian 13 hingga 16
atau 17 tahun masa remaja awal dan16 atau 17 sampai 18 tahun masa remaja akhir (Hurlock,
2004:187). Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya,
melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya.
Pada masa remaja terjadi perubahan yang besar baik secara fisik, kognitif, emosi
maupun sosial (Hurlock, 2004:187). Rangkaian perubahan fisik yang dialami remaja nampak
jelas pada perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada
masa awal remaja. Seperti pertumbuhan yang pesat pada anggota tubuh untuk mencapai
proporsi seperti orang dewasa, dimana perubahan yang terjadi pada masa remaja terjadi pada
tinggi, berat badan serta organ seksual (Hurlock, 2004:188). Pada remaja putri ditandai
dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria ditandai dengan mimpi basah
7
Organ-organ seksual yang matang pada remaja akan mengakibatkan munculnya
dorongan-dorongan seksual. Dorongan seksual dimulai dari adanya rasa ketertarikan,
berkencan, bercumbu dan bersenggama. Remaja mulai tertarik terhadap lawan jenis yang
sifatnya kodrat dialami oleh remaja. Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan
teman-temannya dari jenis kelamin lain dan mengenal pacaran. Dalam kondisi demikian,
remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang kurang
menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja terjebak dunia seks
bebas.
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
menunjukkan bahwa dari 100 remaja terdapat 51 remaja telah melakukan hubungan seksual
dilakukan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Selain di Jabotabek, data
yang sama juga diperoleh di wilayah lain di Indonesia seperti, di Surabaya remaja yang
melakukan hubungan seks mencapai 54 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37
persen (Kompas, 2010). Dari hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKN)
tahun 2010 menunjukkan bahwa 52 persen remaja di Medan sudah tidak perawan. Itu artinya,
lebih separuh remaja di ibukota Propinsi Sumatera ini melakukan seks bebas sebelum
menika
22:39).
Banyak remaja yang terlibat dengan seks bebas diakibatkan karena dikecewakan oleh
pasangannya. Hal ini sering dialami oleh remaja putri dimana mereka akan merasa sakit hati
karena ditinggal pasangannya dan hilangnya keperawannya menjadi salah satu penyebab
seseorang menjadi pekerja seks komersial. Remaja hampir selalu mengalami luapan emosi
8
dipenuhi dengan gejolak kehidupan. Hurlock (2004:199) menyebut gejolak tersebut dengan
istilah ‘badai dan tekanan’, yang terjadi sebagai akibat dari perubahan fisik, kelenjar, serta
munculnya tekanan sosial dan kondisi-kondisi baru yang harus dihadapi remaja. Pergolakan
remaja yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bemacam-macam pengaruh, seperti
lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas yang
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja identik dengan lingkungan sosial
tempat beraktifitas, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif.
Di sisi lain, seseorang remaja menjadi pekerja seks komersial karena adanya
dukungan orangtua atau keluarga yang menggunakan anak perempuan mereka sebagai sarana
untuk mencapai aspirasi mereka akan materi. Jika sebuah lingkungan yang permisif memiliki
kontrol yang lemah dalam komunitasnya maka pelacuran akan berkembang di dalam
komunitas tersebut. Selain karena alasan di atas, terdapat juga orang yang memilih menjadi
pekerja seks komersial karena faktor ekonomi, yang memiliki kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan dirinya dan keluarganya untuk mempertahankan kelangsungan hidup.
Lingkungan sosial remaja umumnya berada pada kelompok teman sebaya dimana
remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok teman sebaya daripada dengan
keluarganya. Hal ini dikarenakan remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah
dengan teman sebaya. Dengan demikian, teman sebaya memberikan pengaruh yang kuat pada
diri remaja seperti sikap, pembicaraan, minat, dan perilaku.
Kelompok teman sebaya tidak menjadi hal yang berbahaya, jika remaja dapat
mengarahkannya. Dengan adanya kelompok teman sebaya, remaja merasa kebutuhannya
dipenuhi, seperti kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan berprestasi, kebutuhan
diperhatikan, kebutuhan harga diri dan kebutuhan rasa aman yang belum tentu diperoleh
9
pengaruh yang tidak baik pada remaja seperti meminum minuman keras, merokok maupun
melakukan seks bebas (Hurlock, 2004:203). Hal ini disebabkan karena kelompok teman
sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seseorang dalam
berperilaku.
Peranan pemerintah untuk memperhatikan para pekerja seks komersial sangatlah
penting khususnya pekerja seks komersial yang masih remaja. Pemerintahlah yang paling
berperan aktif dalam hal ini, walaupun tidak terlepas juga kerjasama dari pihak swasta dan
lembaga swadaya masyarakat. Melihat persoalan yang dihadapi para pekerja seks yang ingin
bertobat namun terpaksa terjun ke dunia pelacuran karena keadaan ekonominya yang sangat
minim, maka pemerintah harus lebih serius dalam melihat hal ini. Salah satu program yang
dilakukan pemerintah dan pihak swasta ataupun lembaga swadaya masyarakat adalah
program pendampingan.
Pendampingan sebagai suatu strategi yang umum digunakan oleh pemerintah dan
lembaga non profit dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas dari sumber daya manusia,
sehingga mampu mengindentifikasikan dirinya sebagai bagian dari permasalahan yang
dialami dan berupaya untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi.
Kemampuan sumber daya manusia sangat dipengaruhi oleh keberdayaan dirinya sendiri.
Kaitannya dengan pekerja seks komersial, sebagai satu komunitas lokalisasi dan
memiliki berbagai macam karakteristik ketergantungan yang bervariasi terhadap satu dengan
yang lainnya, berbagai potensi-potensi yang dimiliki tertimbun oleh ketidakmampuan
mengatasi masalahnya sendiri, akhirnya banyak mengakibatkan ketidaktahuan terhadap
resiko pekerjaan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan pendampingan sebagai upaya
strategis sangat menarik untuk dikembangkan kepada wanita pekerja seks komersial di
lokalisasi. Keterlibatan pekerja seks komersial sebagai dampingan yang membutuhkan
10
pendamping (Outreach worker) di lapangan yang berperan sebagai fasilitator, komunikator
dan dimanisator.
Dan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang melakukan program pendampingan
terhadap pekerja seks komersial adalah lembaga Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M).
Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) berdiri pada tanggal 21 April 2012 yang diinisiasi
oleh 3 (tiga) orang, satu ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS dan 2 OHIDHA ( Orang Yang
Hidup Dengan HIV/AIDS ) yang mana dua diantaranya adalah mantan pekerja seks.
Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) memandang bahwa kehadiran wanita pekerja seks
(WPS) bukanlah hasil pilihan pribadi ataupun berkaitan dengan moral seseorang, namun
keberadaan perempuan pada dunia pelacuran merupakan korban dari industri seks yang
membutuhkan tubuh perempuan dan anak sebagai barang yang didagangkan.
Dalam menangani masalah pekerja seks komersial, Perempuan Peduli Pedila Medan
(P3M) melakukan program pendampingan dan penjangkauan. Program pendampingan ini
dengan cara memberikan motivasi kesadaran diri dari unsur luar pribadi pekerja seks
komersial sehingga melalui pendampingan ini dampingan dapat mengembangkan potensi
dalam dirinya menjadi manusia utuh, menumbuhkan rasa kesetiakawanan pada sesama
pekerja seks komersial dan akhirnya memampukan diri untuk berperan dalam lingkungan
masyarakat. Dengan cara ini, Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) secara perlahan-lahan
menarik para pekerja seks komersial agar segera bertobat dan meninggalkan pekerjaan
haramnya tersebut. Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) juga memberikan solusi bahkan
tawaran pekerjaan yang tepat kepada si pekerja seks komersial sesuai dengan kemampuan
dan keahlian yang dimiliki si pekerja seks komersial.
Sampai saat ini ada 42 wilayah dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) di
kota Medan. Dan salah satu wilayah dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M)
11
losmen di Sambu yang dijadikan tempat lokalisasi pelacuran sekaligus menjadi salah satu
lokalisasi terlama yang ada di daerah Sambu. Jumlah pekerja seks komersial yang ada di
Losmen Cibulan sampai saat ini adalah 27 orang yang terdiri dari beragam usia mulai dari 17
tahun hingga 40 tahun, dan rata-rata telah berkeluarga.
Pekerja seks komersial yang masih remaja juga banyak di Losmen Cibulan. Ada
beberapa faktor yang memengaruhi remaja di Losmen Cibulan menjadi pekerja seks
komersial. Salah satu faktornya adalah ekonomi. Keadaan ekonomi keluarga yang buruk
membuat beberapa dari mereka hanya bersekolah sampai tingkat SMP. Hal ini menyebabkan
mereka tidak memiliki wawasan dan keahlian khusus untuk mencari pekerjaan. Sehingga
para remaja ini terpaksa memilih menjadi pekerja seks komersial agar dapat memenuhi
kebutuhan hidup. Ada juga yang diakibatkan karena korban pemerkosaan/pelecehan seksual.
Remaja korban pemerkosaan tidak lagi merasa berharga di mata masyarakat, keluarga, suami,
calon suami. Dan tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk
membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan.
Beranjak dari apa yang sudah dipaparkan sebelumnya, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih mendalam lagi untuk mengidentifikasi dan menganalisis apa saja
faktor-faktor yang memengaruhi remaja menjadi pekerja seks komersial. Untuk itu peneliti
membuatnya dalam suatu karya tulis yaitu skripsi untuk bisa mengetahui dengan lebih jelas
lagi.
Penelitian skripsi ini berjudul “Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja
12 1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis pada latar belakang, maka
penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut ” Faktor-Faktor Apa Yang
Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : PSK Dampingan
Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan Sambu Medan).”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor
apa yang memengaruhi remaja menjadi pekerja seks komersial (Studi Deskriptif : PSK
Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan Sambu Medan).
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
1. Secara akademis, dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam menambah referensi
dan kajian serta studi komparasi bagi peneliti atau mahasiswa yang tertarik terhadap
penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi seorang
perempuan menjadi pekerja seks komersial.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam rangka
membantu program-program yang dibuat pemerintah dan lembaga swadaya
13 1.4 Sistematika Penulisan
Penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan secara teoritis variabel-variabel yang diteliti, kerangka
pemikiran, defenisi konsep, dan defenisi operasional.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian,
populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dimana penulis
melakukan penelitian.
BAB V ANALISA DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan
analisisnya.
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubungan