• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : Psk Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : Psk Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Semakin majunya zaman yang disebut sebagai hasil dari pembangunan telah

menyisakan berbagai perubahan gaya hidup dan memunculkan banyak masalah sosial dalam

masyarakat. (Kartono,2001:206) menyampaikan, berlangsungnya perubahan-perubahan yang

serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan menyebabkan adaptasi

atau penyesuaian diri menjadi hal yang tidak mudah, sehingga berakibat pada

ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Kesulitan melakukan

penyesuaian diri menyebabkan kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik, baik yang

terbuka dan eksternal sifatnya maupun yang tersembunyi dan internal batin sendiri sehingga

banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum atau

berbuat semau sendiri demi kepentingan sendiri, mengganggu dan merugikan orang lain.

Ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri mengakibatkan

timbulnya disharmoni dalam masyarakat dan dalam diri pribadi. Peristiwa-peristiwa tersebut

memudahkan individu menggunakan pola-pola responsi/reaksi yang inkonvensional dan

menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku. Salah satunya adalah pola pelacuran untuk

mempertahankan hidup ditengah hiruk pikuk alam pembangunan di Indonesia

(Kartono,2001:207).

Di Indonesia, pelacuran telah terjadi sejak zaman kerajaan Majapahit. Salah satu yang

menunjukkan hal ini adalah kisah-kisah perselingkuhan dalam kitab-kitab Mahabrata. Pada

(2)

2

disandangkan pada Wonogiri dan Wonosari dapat dijadikan sebagai bukti. Pelacuran di

Indonesia semakin berkembang pada masa kolonial (Koentjoro,2004:61-62).

Prostitusi atau pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua kehidupan

manusia itu sendiri. Pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree, yang

membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan.

Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus

dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Pekerja

seks komersial (PSK) adalah bagian dari dunia pelacuran yang termasuk dengan istilah WTS

atau wanita tunasusila. Pekerja seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri dengan

jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk

memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran (Kartono, 2013:207-208).

Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacur dianggap negatif dan mereka yang

menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sampah masyarakat. Adapula pihak

yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, cenderung jahat, namun tetap

dibutuhkan. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadirian pelacur bisa

menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkan (biasanya kaum lelaki) tanpa

penyaluran itu dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa

kaum perempuan yang baik-baik.

Dilihat dari segi sosiologisnya, pekerja seks komersial dipandang rendah oleh

masyarakat sekitar, dicemooh, dihina, diusir dari tempat tinggalnya dan lain-lain sebagainya.

Mereka seakan-akan sebagai makhluk yang tidak bermoral dan meresakan warga sekitar serta

mencemarkan nama baik daerah tempat mereka berasal. Masalah prostitusi tidak ubahnya

sama dengan manusia pada umumnya, secara garis besar prostitusi tentunya juga mempunyai

(3)

3

makna hidup bukanlah merupakan suatu perjalanan yang mudah bagi seorang pekera seks

komersial, perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup

mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta sikap yang

bagaimana yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib yang bisa mereka rubah, yang

kesemuanya itu tidak bisa lepas dari hal-hal apa saja yang diinginkan selama menjalani

kehidupan serta kendala apa saja yang dihadapi oleh mereka dalam mencapai makna hidup.

Dalam masyarakat, kehidupan seorang pekerja seks komersial merupakan suatu hal

yang kurang dapat diterima. Sampai sekarang PSK dipandang sebagai mahluk yang

menyandang stereotype negatif, dan tidak dianggap pantas menjadi bagian dari masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari, kaum PSK selalu mendapat tekanan dari masyarakat, bahkan

menjadi bahan olokan dan ejekan. Tekanan dan perlakuan negatif dari lingkungan ini

biasanya muncul dari perilaku masyarakat yang selalu ingin memojokkan mereka.

Pandangan masyarakat ini hanya dikhususkan kepada para perempuan pekerja seks komersial

yang menjalani pekerjaan ini karena murni akibat tekanan ekonomi. Kesan pertama akan

perempuan pekerja seks ini adalah para perempuan jalang yang amoral. Tidak tahu malu,

penggoda lelaki. Tidak layak bagi para perempuan pekeja seks untuk dihargai. Kenapa

masyarakat bisa memiliki kesan seperti itu, karena sejak kecil ditanamkan oleh orang-orang

tua bahwa perempuan pekerja seks menyebutnya pelacur, adalah perempuan yang tidak benar

kelakuannya.Apalagi digambarkan para pekerja seks Komersial (PSK) tersebut kehidupannya

glamour tetapi norak. Juga ditunjukkan jenis parfum yang di botolnya bergambar putri

duyung, yang namanya minyak si nyong nyong, yang pakai minyak wangi itu adalah para

pelacur. Akhirnya tertanamlah di benak masyarakat selama bertahun-tahun bahwa PSK itu

memang perempuan jalang (http://www.pikiran rakyat.com/ diakses pada tanggal 7 Mei 2014

(4)

4

Pelacuran atau prostitusi bukan merupakan jalan bagi kebanyakan perempuan untuk

bisa mendapatkan materi dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam memenuhi

kebutuhan materi, banyak perempuan yang dengan terpaksa menjalani pekerjaan sebagai

pekerja seks komersial. Ini dikarenakan semakin sempitnya lapangan kerja yang membuat

banyak masyarakat khususnya perempuan melakukan pekerjaan ini, ditambah dengan tidak

adanya keahlian atau keterampilan sesuai bidang lapangan pekerjaan. Banyak perempuan

beranggapan bahwa dengan melakukan pekerjaan ini, mereka bisa mendapatkan keuntungan

yang lumayan besar untuk dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan

hanya faktor ekonomi saja, banyak dari para perempuan yang rela menjadi pekerja seks

komersial hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat saja atau materialistis. Banyak juga

perempuan yang ingin mendapatkan apa yang dia inginkan misalnya ingin memiliki

barang-barang yang mewah atau barang-barang yang lainnya yang dia rasa ingin dimilikinya harus

menjualkan dirinya untuk orang lain yang terpenting baginya bisa memiliki barang-barang

mewah.

Prostitusi berkembang dan tumbuh dengan berbagai kedok dalam berbagai rupa

misalnya: salon kecantikan, panti pijat, warung remang-remang, ruko-ruko fiktif serta tak

luput juga dari pusat perbelanjaan atau mall dan tempat pendidikan pun juga sudah menjadi

tempat berkembangan prostitusi. Para pekerja seks komersial atau pelacur merupakan wanita

yang tertindas dengan keliaran nafsu para laki-laki pemuja kenikmatan duniawi tak akan jera

walaupun berulang kali kena razia.

Pada saat ini, pekerja seks komersial bukan hanya dari kalangan perempuan yang

sudah dewasa saja, melainkan pekerja seks komersial sekarang sudah rata-rata berasal dari

kalangan remaja putri atau sering disebut Anak Baru Gede (ABG) yang menjadi daya tarik

(5)

5

faktor yang menarik dan faktor perantara sebagai faktor yang mendorong (Koentjoro, 2004).

Banyaknya permintaan dari konsumen terhadap jasa pelayanan kegiatan seksual yang

dilakukan pada remaja putri sehingga semakin banyak pula tingkat penawaran yang

ditawarkan. Para perempuan biasanya lebih mudah menjadi pekerja seks komersial karena

adanya motif berkuasa, budaya atau kepercayaan seperti hegomoni laki-laki diatas

perempuan.

Kajian cepat yang baru dilakukan ILO-IPEC pada tahun 2007 memperkirakan jumlah

pekerja seks komersial di bawah 18 tahun sekitar 1.244 anak di Jakarta, Bandung 2.511,

Yogyakarta 520, Surabaya 4.990, dan Semarang 1.623. Namun jumlah ini dapat menjadi

beberapa kali lipat lebih besar mengingat banyaknya pekerja seks komersial bekerja di

tempat-tempat tersembunyi, ilegal dan tidak terdata. Lebih lanjut, data yang ada

memperlihatkan daerah-daerah pemasok anak-anak untuk kegiatan pelacuran meliputi Jawa

Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, sumatera Barat, Suamtera Utara, Kalimantan

Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Sementara daerah-daerah penerimanya

terutama Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan, Riau, Batam, Ambon, Manado,

Makasar, dan Jayapura. Beberapa diantaranya bahkan diperdagangkan di luar negeri seperti

Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, dan

Beberapa kota di Indonesia memiliki banyak panggilan khusus untuk pekerja seks

perempuan ABG, seperti di Taksimalaya dikenal dengan sebutan “anyanyah”, di Yogyakarta

dikenal dengan ciblek atau cilikan betah melek sedangkan di Medan dikenal dengan istilah

bronces atau onces. Di kalangan pekerja seks remaja sendiri, dikenal istilah ‘tubang’ (tua

(6)

6

palayanan atau service dari pekerja seks. Di Medan para pekerja seks komersial biasanya

dapat dijumpain di sejumlah diskotik, karaoke, tepi-tepi jalan yang menjadi tempat

lokalisasai serta di pusat perbelanjaan.

Koentjoro (2004:68) mengatakan bahwa secara umum terdapat lima alasan yang

paling mempengaruhi dalam menuntun seorang perempuan menjadi seorang pekerja seks

komersial diantaranya adalah materialisme, modeling, dukungan orangtua, lingkungan yang

permisif, dan faktor ekonomi. Mereka yang hidupnya berorientasi pada materi akan

menjadikan banyaknya jumlah uang yang dikumpulkan dan kepemilikan sebagai tolak ukur

keberhasilan hidup. Banyaknya pekerja seks komersial yang berhasil mengumpulkan banyak

materi atau kekayaan akan menjadi model pada orang lain sehingga dapat dengan mudah

ditiru.

Masa remaja berada pada rentang usia 13-18 tahun dengan pembagian 13 hingga 16

atau 17 tahun masa remaja awal dan16 atau 17 sampai 18 tahun masa remaja akhir (Hurlock,

2004:187). Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya,

melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya.

Pada masa remaja terjadi perubahan yang besar baik secara fisik, kognitif, emosi

maupun sosial (Hurlock, 2004:187). Rangkaian perubahan fisik yang dialami remaja nampak

jelas pada perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada

masa awal remaja. Seperti pertumbuhan yang pesat pada anggota tubuh untuk mencapai

proporsi seperti orang dewasa, dimana perubahan yang terjadi pada masa remaja terjadi pada

tinggi, berat badan serta organ seksual (Hurlock, 2004:188). Pada remaja putri ditandai

dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria ditandai dengan mimpi basah

(7)

7

Organ-organ seksual yang matang pada remaja akan mengakibatkan munculnya

dorongan-dorongan seksual. Dorongan seksual dimulai dari adanya rasa ketertarikan,

berkencan, bercumbu dan bersenggama. Remaja mulai tertarik terhadap lawan jenis yang

sifatnya kodrat dialami oleh remaja. Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan

teman-temannya dari jenis kelamin lain dan mengenal pacaran. Dalam kondisi demikian,

remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang kurang

menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja terjebak dunia seks

bebas.

Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

menunjukkan bahwa dari 100 remaja terdapat 51 remaja telah melakukan hubungan seksual

dilakukan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Selain di Jabotabek, data

yang sama juga diperoleh di wilayah lain di Indonesia seperti, di Surabaya remaja yang

melakukan hubungan seks mencapai 54 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37

persen (Kompas, 2010). Dari hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKN)

tahun 2010 menunjukkan bahwa 52 persen remaja di Medan sudah tidak perawan. Itu artinya,

lebih separuh remaja di ibukota Propinsi Sumatera ini melakukan seks bebas sebelum

menika

22:39).

Banyak remaja yang terlibat dengan seks bebas diakibatkan karena dikecewakan oleh

pasangannya. Hal ini sering dialami oleh remaja putri dimana mereka akan merasa sakit hati

karena ditinggal pasangannya dan hilangnya keperawannya menjadi salah satu penyebab

seseorang menjadi pekerja seks komersial. Remaja hampir selalu mengalami luapan emosi

(8)

8

dipenuhi dengan gejolak kehidupan. Hurlock (2004:199) menyebut gejolak tersebut dengan

istilah ‘badai dan tekanan’, yang terjadi sebagai akibat dari perubahan fisik, kelenjar, serta

munculnya tekanan sosial dan kondisi-kondisi baru yang harus dihadapi remaja. Pergolakan

remaja yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bemacam-macam pengaruh, seperti

lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas yang

dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja identik dengan lingkungan sosial

tempat beraktifitas, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif.

Di sisi lain, seseorang remaja menjadi pekerja seks komersial karena adanya

dukungan orangtua atau keluarga yang menggunakan anak perempuan mereka sebagai sarana

untuk mencapai aspirasi mereka akan materi. Jika sebuah lingkungan yang permisif memiliki

kontrol yang lemah dalam komunitasnya maka pelacuran akan berkembang di dalam

komunitas tersebut. Selain karena alasan di atas, terdapat juga orang yang memilih menjadi

pekerja seks komersial karena faktor ekonomi, yang memiliki kesulitan dalam memenuhi

kebutuhan dirinya dan keluarganya untuk mempertahankan kelangsungan hidup.

Lingkungan sosial remaja umumnya berada pada kelompok teman sebaya dimana

remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok teman sebaya daripada dengan

keluarganya. Hal ini dikarenakan remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah

dengan teman sebaya. Dengan demikian, teman sebaya memberikan pengaruh yang kuat pada

diri remaja seperti sikap, pembicaraan, minat, dan perilaku.

Kelompok teman sebaya tidak menjadi hal yang berbahaya, jika remaja dapat

mengarahkannya. Dengan adanya kelompok teman sebaya, remaja merasa kebutuhannya

dipenuhi, seperti kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan berprestasi, kebutuhan

diperhatikan, kebutuhan harga diri dan kebutuhan rasa aman yang belum tentu diperoleh

(9)

9

pengaruh yang tidak baik pada remaja seperti meminum minuman keras, merokok maupun

melakukan seks bebas (Hurlock, 2004:203). Hal ini disebabkan karena kelompok teman

sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seseorang dalam

berperilaku.

Peranan pemerintah untuk memperhatikan para pekerja seks komersial sangatlah

penting khususnya pekerja seks komersial yang masih remaja. Pemerintahlah yang paling

berperan aktif dalam hal ini, walaupun tidak terlepas juga kerjasama dari pihak swasta dan

lembaga swadaya masyarakat. Melihat persoalan yang dihadapi para pekerja seks yang ingin

bertobat namun terpaksa terjun ke dunia pelacuran karena keadaan ekonominya yang sangat

minim, maka pemerintah harus lebih serius dalam melihat hal ini. Salah satu program yang

dilakukan pemerintah dan pihak swasta ataupun lembaga swadaya masyarakat adalah

program pendampingan.

Pendampingan sebagai suatu strategi yang umum digunakan oleh pemerintah dan

lembaga non profit dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas dari sumber daya manusia,

sehingga mampu mengindentifikasikan dirinya sebagai bagian dari permasalahan yang

dialami dan berupaya untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi.

Kemampuan sumber daya manusia sangat dipengaruhi oleh keberdayaan dirinya sendiri.

Kaitannya dengan pekerja seks komersial, sebagai satu komunitas lokalisasi dan

memiliki berbagai macam karakteristik ketergantungan yang bervariasi terhadap satu dengan

yang lainnya, berbagai potensi-potensi yang dimiliki tertimbun oleh ketidakmampuan

mengatasi masalahnya sendiri, akhirnya banyak mengakibatkan ketidaktahuan terhadap

resiko pekerjaan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan pendampingan sebagai upaya

strategis sangat menarik untuk dikembangkan kepada wanita pekerja seks komersial di

lokalisasi. Keterlibatan pekerja seks komersial sebagai dampingan yang membutuhkan

(10)

10

pendamping (Outreach worker) di lapangan yang berperan sebagai fasilitator, komunikator

dan dimanisator.

Dan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang melakukan program pendampingan

terhadap pekerja seks komersial adalah lembaga Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M).

Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) berdiri pada tanggal 21 April 2012 yang diinisiasi

oleh 3 (tiga) orang, satu ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS dan 2 OHIDHA ( Orang Yang

Hidup Dengan HIV/AIDS ) yang mana dua diantaranya adalah mantan pekerja seks.

Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) memandang bahwa kehadiran wanita pekerja seks

(WPS) bukanlah hasil pilihan pribadi ataupun berkaitan dengan moral seseorang, namun

keberadaan perempuan pada dunia pelacuran merupakan korban dari industri seks yang

membutuhkan tubuh perempuan dan anak sebagai barang yang didagangkan.

Dalam menangani masalah pekerja seks komersial, Perempuan Peduli Pedila Medan

(P3M) melakukan program pendampingan dan penjangkauan. Program pendampingan ini

dengan cara memberikan motivasi kesadaran diri dari unsur luar pribadi pekerja seks

komersial sehingga melalui pendampingan ini dampingan dapat mengembangkan potensi

dalam dirinya menjadi manusia utuh, menumbuhkan rasa kesetiakawanan pada sesama

pekerja seks komersial dan akhirnya memampukan diri untuk berperan dalam lingkungan

masyarakat. Dengan cara ini, Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) secara perlahan-lahan

menarik para pekerja seks komersial agar segera bertobat dan meninggalkan pekerjaan

haramnya tersebut. Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) juga memberikan solusi bahkan

tawaran pekerjaan yang tepat kepada si pekerja seks komersial sesuai dengan kemampuan

dan keahlian yang dimiliki si pekerja seks komersial.

Sampai saat ini ada 42 wilayah dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) di

kota Medan. Dan salah satu wilayah dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M)

(11)

11

losmen di Sambu yang dijadikan tempat lokalisasi pelacuran sekaligus menjadi salah satu

lokalisasi terlama yang ada di daerah Sambu. Jumlah pekerja seks komersial yang ada di

Losmen Cibulan sampai saat ini adalah 27 orang yang terdiri dari beragam usia mulai dari 17

tahun hingga 40 tahun, dan rata-rata telah berkeluarga.

Pekerja seks komersial yang masih remaja juga banyak di Losmen Cibulan. Ada

beberapa faktor yang memengaruhi remaja di Losmen Cibulan menjadi pekerja seks

komersial. Salah satu faktornya adalah ekonomi. Keadaan ekonomi keluarga yang buruk

membuat beberapa dari mereka hanya bersekolah sampai tingkat SMP. Hal ini menyebabkan

mereka tidak memiliki wawasan dan keahlian khusus untuk mencari pekerjaan. Sehingga

para remaja ini terpaksa memilih menjadi pekerja seks komersial agar dapat memenuhi

kebutuhan hidup. Ada juga yang diakibatkan karena korban pemerkosaan/pelecehan seksual.

Remaja korban pemerkosaan tidak lagi merasa berharga di mata masyarakat, keluarga, suami,

calon suami. Dan tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk

membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan.

Beranjak dari apa yang sudah dipaparkan sebelumnya, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian lebih mendalam lagi untuk mengidentifikasi dan menganalisis apa saja

faktor-faktor yang memengaruhi remaja menjadi pekerja seks komersial. Untuk itu peneliti

membuatnya dalam suatu karya tulis yaitu skripsi untuk bisa mengetahui dengan lebih jelas

lagi.

Penelitian skripsi ini berjudul “Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja

(12)

12 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis pada latar belakang, maka

penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut ” Faktor-Faktor Apa Yang

Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : PSK Dampingan

Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan Sambu Medan).”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor

apa yang memengaruhi remaja menjadi pekerja seks komersial (Studi Deskriptif : PSK

Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan Sambu Medan).

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Secara akademis, dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam menambah referensi

dan kajian serta studi komparasi bagi peneliti atau mahasiswa yang tertarik terhadap

penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi seorang

perempuan menjadi pekerja seks komersial.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam rangka

membantu program-program yang dibuat pemerintah dan lembaga swadaya

(13)

13 1.4 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan secara teoritis variabel-variabel yang diteliti, kerangka

pemikiran, defenisi konsep, dan defenisi operasional.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian,

populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dimana penulis

melakukan penelitian.

BAB V ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan

analisisnya.

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubungan

Referensi

Dokumen terkait

Perwal 69 thn 2013 tttg tarif layanan BLUD Pembiayaan perdasarkan

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu menetapkan Keputusan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Yogyakarta tentang Penetapan

[r]

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan

[r]

Tenure, Auditdelay, Opinion shopping, dan Proporsi Komisaris Independen terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern pada Perusahaan Real Estate and Property yang

Jakarta, 9 Maret 2005, PT Indosat Tbk (“Indosat” atau “Perusahaan”) mengumumkan telah menunjuk AAA Securities, JP Morgan, CSFB dan Goldman Sachs untuk membantu Indosat