• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Hygiene dan Sanitasi - Hygiene Sanitasi dan Analisa Kandungan Boraks pada Bakso Bakar yang Dijual Disekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Hygiene dan Sanitasi - Hygiene Sanitasi dan Analisa Kandungan Boraks pada Bakso Bakar yang Dijual Disekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Hygiene dan Sanitasi

Hygiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subyeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi kebutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes RI, 2004 ).

Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004). Sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya keracunan dan penyakit pada manusia (Mubarak, 2009).

Hygiene dan sanitasi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena erat kaitannya. Misalnya hygienenya sudah baik karena mau mencuci tangan, tetapi sanitasinya tidak mendukung karena tidak cukup tersedia air bersih, maka mencucui tangan tidak sempurna (Depkes RI, 2004).

2.2. Pencemaran dan Keamanan Makanan

(2)

sengaja atau tidak sengaja ke dalam bahan makanan atau makanan jadi (Moehyi,1992).

Pangan yang tidak baik dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne diseases, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengonsumsi pangan

yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme patogen. Penyakit yang ditimbulkan makanan dapat digolongkan kedalam dua kelompok utama, yaitu infeksi dan intoksitas. Infeksi apabila setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung bakteri patogen, timbul gejala-gejala penyakit. Intoksikasi adalah keracunan yang disebabkan karena mengonsumsi pangan yang mengandung senyawa beracun (Baliwati, 2002).

(3)

Mikroorganisme yang berbahaya bagi manusia dapat masuk ke dalam makanan melalui berbagai cara, yaitu sebagai berikut:

1) Mikroorganisme dapat masuk melalui bahan makanan sebelum diolah atau dimasak. Salmonella, misalnya, sejenis bakteri yang sering terdapat dalam bahan makanan yang mentah seperti daging ayam dan telur. 2) Mikroorganisme dapat masuk melalui udara ke dalam makanan yang

akan kita makan.

3) Mikroorganisme dapat masuk melalui permukaan berbagai benda. Misalnya mikroorganisme bisa berasal dari pisau, piring atau gelas yang kita gunakan, baju atau tangan penjamah yang kurang bersih.

Menurut Moehyi (1992), secara garis besar terdapat tiga hal yang menyebabkan terjadinya pencemaran makanan sehingga makanan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi:

a. Penanganan makanan tidak dilakukan dengan mengindahkan syarat-syarat kebersihan.

b. Alat-alat yang digunakan untuk menyiapkan, mengolah, memasak dan menyajikan makanan tidak dibersihkan sebagaimana mestinya.

(4)

2.3. Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan

Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran, dan hotel. Penanganan makanan jajanan adalah kegiatan yang meliputi pengadaan, penerimaan bahan makanan, pencucian, peracikan, pembuatan, pengubahan bentuk, pewadahan, penyimpanan, pengangkutan, penyajian makanan atau minuman (Depkes RI, 2003).

Makanan dan minuman termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia karena merupakan satu-satunya sumber energi manusia, sehingga apapun yang disajikan sebagai makanan dan minuman harus memenuhi syarat utama, yaitu citra rasa makanan dan keamanan makanan dalam arti makanan tidak mengandung zat atau mikroorganisme yang dapat mengganggu kesehatan tubuh (Moehyi, 1992).

Untuk mencegah kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, diperlukan penerapan sanitasi makanan. Sanitasi yang buruk dapat disebabkan tiga faktor yakni faktor fisik, faktor kimia, dan faktor mikrobiologi.

(5)

Sanitasi makanan yang buruk disebabkan oleh faktor kimia karena adanya zat-zat kimia yang digunakan untuk mempertahankan kesegaran bahan makanan, obat-obat penyemprot hama, penggunaan wadah bekas obat-obat-obat-obat pertanian untuk kemasan makanan dan lain-lain.

Sanitasi makanan yang buruk disebabkan oleh faktor mikrobiologi karena adanya kontaminan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit. Akibat buruknya sanitasi makanan dapat timbul gangguan kesehatan pada orang yang mengonsumsi makanan tersebut (Sumantri, 2010).

Tujuan sebenarnya dari upaya sanitasi makanan menurut Mubarak (2009) antara lain:

1. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan. 2. Mencegah penularan wabah penyakit.

3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat. 4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan makanan.

2.4. Prinsip Hygiene dan Sanitasi Makanan 2.4.1. Pemilihan Bahan Makanan

(6)

upaya mendapatkan bahan makanan yang baik adalah menghindari penggunaan bahan makanan yang berasal dari sumber tidak jelas (liar) karena kurang dapat dipertanggungjawabkan secara kualitasnya (Sumantri, 2010).

Persyaratan bahan makanan menurut Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan adalah sebagai berikut:

1) Semua bahan yang diolah menjadi makanan jajanan harus dalam keadaan baik mutunya, segar dan tidak busuk.

2) Semua bahan olahan dalam kemasan yang diolah menjadi makanan jajanan harus bahan olahan yang terdaftar di Departemen Kesehatan, tidak kadaluwarsa, tidak cacat atau tidak rusak.

3) Penggunaan bahan tambahan makanan dan bahan penolong yang digunakan dalam mengolah makanan jajanan harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

4) Bahan makanan, serta bahan tambahan makanan dan bahan penolong makanan jajanan siap saji harus disimpan secara terpisah.

5) Bahan makanan yang cepat rusak atau cepat membusuk harus disimpan dalam wadah terpisah.

2.4.2. Penyimpanan Bahan Baku Makanan

(7)

terjaga. Cara penyimpanan yang memenuhi syarat hygiene sanitasi makanan menurut Sumantri (2010) adalah sebagai berikut:

a) Penyimpanan harus dilakukan ditempat khusus (gudang) yang bersih dan memenuhi syarat.

b) Barang-barang agar disusun dengan baik sehingga mudah diambil, tidak memberi kesempatan serangga atau tikus untuk bersarang, terhindar dari lalat/tikus dan untuk produk yang mudah busuk atau rusak agar disimpan pada suhu yang dingin.

Penyimpanan bahan makanan yang tidak baik, terutama dalam jumlah yang banyak, (untuk katering dan jasa boga ) dapat menyebabkan kerusakan bahan makanan tersebut. Adapun tata cara penyimpanan bahan makanan yang baik adalah sebagai berikut :

1. Suhu Penyimpanan yang Baik

Menurut Permenkes RI No. 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Hygiene Sanitasi Jasa Boga, penyimpanan bahan makanan mentah dilakukan dalam suhu sebagai berikut:

Tabel 2.1. Lama Penyimpanan Berdasarkan Jenis Bahan Makanan

Jenis Bahan Makanan Lama Penyimpanan

< 3 Hari < 1 Minggu >1 Minggu Daging, ikan, udang dan

(8)

Makanan yang disimpan di tempat yang agak dingin, sekitar 5-10°C, mikroorganisme masih dapat berkembang biak. Menyimpan makanan dalam freezer sama sekali tidak membunuh bakteri. Apabila makanan dikeluarkan dari dalam freezer dan temperatur menjadi tinggi, maka bakteri akan mulai memperbanyak diri kembali. Bakteri baru berhenti tumbuh apabila makanan disimpan pada temperatur dibawah 3°C (Moehyi, 1992).

2. Cara Penyimpanan

Penyimpanan bahan makanan dilakukan untuk menghindari : 1) Tercemar bakteri karena alam atau perlakukan manusia.

2) Kerusakan mekanisme seperti gesekan, tekanan, benturan dan lain-lain.

Bahan mentah harus terpisah dari makanan siap santap. Makanan yang berbau tajam harus ditutup dalam kantong plastik yang rapat dan dipisahkan dari makanan lain, kalau mungkin dalam lemari yang berbeda, kalau tidak letaknya harus berjauhan. Makanan yang disimpan tidak lebih dari dua atau tiga hari harus sudah digunakan. Lemari tidak boleh terlalu sering dibuka, maka dianjurkan lemari untuk keperluan sehari-hari dipisahkan dengan lemari untuk keperluan penyimpanan makanan.

Penyimpanan untuk makanan kering adalah sebagai berikut: a. Suhu cukup sejuk, udara kering dengan ventilasi yang baik. b. Ruangan bersih, kering, lantai dan dinding tidak lembab.

(9)

d. Rak mudah dibersihkan dan dipindahkan.

Penempatan dan pengambilan barang diatur dengan sistem FIFO (first in first out), artinya makanan yang masuk terlebih dahulu harus dikeluarkan lebih dahulu.

Setiap barang yang yang dibeli harus dicatat dan diterima oleh bagian gudang untuk ketertiban administrasinya. Setiap jenis makanan mempunyai kartu stok, sehingga bila terjadi kekurangan barang dapat segera diketahui (Sumantri, 2010).

Ada empat cara penyimpanan makanan yang sesuai dengan suhunya, yaitu: 1) Penyimpanan sejuk (cooling), yaitu suhu penyimpanan 10°C - 15°C untuk

jenis minuman, buah dan sayuran.

2) Penyimpanan dingin (chilling), yaitu suhu penyimpanan antara 4°C-10°C untuk bahan makanan yang berpotensi yang akan segera di olah kembali. 3) Penyimpanan dingin sekali (freezing), yaitu suhu penyimpanan 0°C – 4 °C

untuk bahan berpotensi yang mudah rusak untuk jangka waktu sampai 24 jam.

4) Penyimpanan beku (frozen), yaitu suhu penyimpanan <0°C untuk bahan makanan proten yang mudah rusak untuk jangka waktu >24 jam.

2.4.3. Pengolahan Makanan

Pada proses atau cara pengolahan makanan, menurut Sumantri (2008) ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:

a.Tempat pengolahan makanan

(10)

harus selalu dijaga dan diperhatikan. Dapur yang baik harus memenuhi persyaratan sanitasi.

b.Tenaga pengolah makanan/penjamah makanan

Penjamah makanan menurut Depkes RI (2006) adalah orang yang secara langsung berhubungan dengan makanan dan peralatan mulai dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan sampai penyajian. Dalam proses pengolahan makanan, peran dari penjamah makanan sangatlah besar peranannya. Penjamah makanan ini mempunyai peluang untuk menularkan penyakit. Banyak infeksi yang ditularkan melalui penjamah makanan, antara lain Staphylococcus aureus ditularkan melalui hidung dan tenggorokan, kuman Clostridium perfringens, Streptococcus, Salmonella dapat ditularkan melalui kulit. Oleh karena itu, penjamah makanan harus selalu dalam keadaan sehat dan terampil.

c.Cara pengolahan makanan

Cara pengolahan yang baik adalah tidak terjadinya kerusakan-kerusakan makanan sebagai akibat cara pengolahan yang salah dan mengikuti kaidah atau prinsip-prinsip hygiene dn sanitasi yang baik atau disebut GMP (good manufacturing practice)

(11)

a. Tidak menderita penyakit mudah menular misal : batuk, pilek, influenza, diare, penyakit perut sejenisnya.

b. Menutup luka (pada luka terbuka/ bisul atau luka lainnya). c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku, dan pakaian d. Memakai celemek, dan tutup kepala.

e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan.

f. Menjamah makanan harus memakai alat/ perlengkapan, atau dengan alas tangan.

g. Tidak sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut atau bagian lainnya).

h. Tidak batuk atau bersin di hadapan makanan jajanan yang disajikan dan atau tanpa menutup mulut atau hidung.

Sedangkan persyaratan untuk peralatan yang digunakan untuk mengolah makanan adalah sebagai berikut:

a. Peralatan yang digunakan untuk mengolah dan menyajikan makanan jajanan harus sesuai dengan peruntukannya dan memenuhi persyaratan hygiene sanitasi.

b. Untuk menjaga peralatan, maka peralatan yang sudah dipakai dicuci dengan air bersih dan dengan sabun, lalu dikeringkan dengan alat pengering/lap yang bersih kemudian peralatan yang sudah bersih tersebut disimpan di tempat yang bebas pencemaran.

(12)

2.4.4. Pengangkutan Makanan Jadi

Pengangkutan makanan dari tempat pengolahan ke tempat penyajian atau penyimpanan perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi kontaminasi baik dari serangga, debu maupun bakteri. Wadah yang digunakan harus utuh, kuat dan tidak tidak berkarat atau bocor. Pengangkutan untuk waktu yang lama harus diatur suhunya dalam keadaan panas 60°C atau tetap dingin 4°C (Sumantri, 2010).

Menurut Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, Makanan jajanan yang diangkut, harus dalam keadaan tertutup atau terbungkus dan dalam wadah yang bersih. Makanan jajanan yang diangkut juga harus dalam wadah yang terpisah dengan bahan mentah sehingga terlindung dari pencemaran.

Makanan siap santap lebih rawan terhadap pencemaran sehingga perlu hati-hati. Sehingga dalam prinsip pengangkutan makanan siap santap perlu diperhatikan hal berikut:

1. Setiap makanan mempunyai wadah masing-masing.

2. Wadah yang digunakan harus utuh, kuat, dan ukurannya memadai dengan makanan yang ditempatkan dan terbuat dari bahan anti karat atau bocor.

3. Pengangkutan untuk waktu yang lama harus diatur suhunya agar tetap panas 60°C atau tetap dingin 4°C.

4. Wadah selama dalam perjalanan tidak boleh selalu dibuka dan tetap dalam keadaan tertutup sampai di tempat penyajian.

(13)

2.4.5. Penyimpanan Makanan Jadi

Penyimpanan makanan masak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tempat penyimpanan makanan pada suhu biasa dan tempat penyimpanan pada suhu dingin. Makanan yang mudah membusuk sebaiknya disimpan pada suhu dingin yaitu < 4°C. Untuk makanan yang disajikan lebih dari 6 jam, disimpan dalam suhu -5 s/d -10°C (Sumantri, 2010).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan makanan matang menurut Sumantri (2010) adalah sebagai berikut:

a. Makanan yang disajikan panas harus tetap disimpan dalam suhu di atas 60°C.

b. Makanan yang akan disajikan dingin disimpan dalam suhu dibawah 4°C.

c. Makanan yang disajikan dalam kondisi panas yang disimpan dengan suhu dibawah 4°C. harus dipanaskan kembali sampai 60°C sebelum disajikan.

d. Suhu makanan yang diangkut dari tempat pengolahan ke tempat penyajian harus dipertahankan.

e. Makanan yang akan disajikan lebih dari 6 jam dari waktu pengolahan harus diatur suhunya pada suhu dibawah 4°C atau dalam keaadaan beku 0°C.

(14)

g. Pemanasan kembali makanan beku (reheating) dengan pemanasan biasa atau microwave sampai suhu stabil terendah 60°C.

h. Hindari suhu makanan berada pada suhu antara 24 °C sampai 60°C karena pada suhu tersebut merupakan suhu terbaik untuk pertumbuhan bakteri patogen dan puncak optimalnya pada suhu 37°C.

i. Makanan matang yang akan disajikan jauh dari tempat pengolahan makanan, memerlukan pengangkutan yang baik agar kualitas makanan tersebut tetap terjaga. Prinsip pengangkutan makanan matang/siap saji. j. Setiap makanan mempunyai wadah masing-masing. Isi makanan tidak terlampau penuh untuk mencegah tumpah. Wadah harus mempunyai tutup yang rapat dan tersedia lubang hawa (ventilasi) untuk makanan panas. Uap makanan harus dibiarkan terbuang agar tidak terjadi kondensasi. Air uap kondensasi merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga makanan cepat basi.

k. Wadah yang digunakan harus utuh, kuat dan ukurannya memadai dengan makanan yang ditempatkan dan tidak berkarat atau bocor. l. Pengangkutan untuk waktu yang lama harus diatur suhunya dalam

keadaan tetap panas 60°C atau tetap dingin 4°C.

m. Wadah selama perjalanan tidak dibuka sampai tempat penyajian. n. Kendaraan pengangkut disediakan khusus dan tidak bercampur dengan

(15)

2.4.6. Penyajian Makanan Jadi

Saat penyajian makanan yang perlu diperhatikan adalah agar makanan tersebut terhindar dari pencemaran, peralatan yang digunakan dalam kondisi baik dan bersih, petugas yang menyajikan harus sopan serta senantiasa menjaga kesehatan dan kebersihan pakaiannya.

Penyajian makanan merupakan salah satu pinsip dari hygiene dan sanitasi makanan. Penyajian nakanan yang tidak baik dan etis, bukan saja dapat mengurangi selera makan seseorang tetapi dapat juga menjadi penyebab kontaminasi terhadap bakteri (Sumantri, 2010).

Menurut Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, persyaratan untuk penyajian makanan adalah sebagai berikut:

a. Makanan jajanan yang disajikan harus dengan tempat/alat perlengkapan yang bersih, dan aman bagi kesehatan.

b. Makanan jajanan yang dijajakan harus dalam keadaan terbungkus dan atau tertutup.

c. Pembungkus yang digunakan dan atau tutup makanan jajanan harus dalam keadaan bersih dan tidak mencemari makanan.

d. Pembungkus makanan tersebut dilarang ditiup.

e. Makanan jajanan yang siap disajikan dan telah lebih dari 6 jam apabila masih dalam keadaan baik, harus diolah kembali sebelum disajikan.

(16)

g. Konstruksi sarana penjaja harus memenuhi persyaratan yaitu antara lain: 1) Mudah dibersihkan.

2) Tersedia tempat untuk air bersih, penyimpanan bahan makanan, penyimpanan makanan jadi/siap disajikan, penyimpanan peralatan, tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan), tempat sampah.

h. Pada waktu menjajakan makanan harus terlindungi dari debu dan pencemaran. 2.4.7. Perlengkapan/Sarana Penjaja

Untuk meningkatkan mutu dan hygiene sanitasi makanan jajanan disarankan menggunakan perlengkapan/sarana penjaja yang juga memenuhi syarat kesehatan. Makanan jajanan yang dijajakan dengan sarana penjaja konstruksinya harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi makanan dari pencemaran, antara lain (Depkes RI, 2003):

1. Mudah dibersihkan.

2. Harus terlindung dari debu dan pencemaran. 3. Tersedia tempat untuk:

a. Air bersih.

b. Penyimpanan bahan makanan.

c. Penyimpanan makanan jadi/siap disajikan. d. Penyimpanan peralatan.

e. Tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan). 2.5. Pengawasan Makanan Jajanan

(17)

Kabupaten/Kota setempat. Inspeksi sanitasi dapat dilaksanakan dengan pengujian contoh sampel makanan dan spesimen di laboratorium untuk penegasan/konfirmasi yang dilaksanakan sesuai kebutuhan.

Contoh makanan dan spesimen yang dikirim langsung oleh Penanggung jawab Sentra Pedagang makanan jajanan dapat dilayani bila pengambilannya dilakukan sesuai dengan persyaratan pengambilan contoh makanan dan spesimen. Hasil pemeriksaan dikirim kepada pengirim dengan tembusan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk keperluan pemantauan/ pengawasan.

Biaya pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan contoh makanan dan spesimen yang dilakukan secara rutin menjadi tanggung jawab pedagang makanan jajanan yang bersangkutan. Biaya pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan contoh makanan dan spesimen dalam rangka uji petik ditanggung oleh Pusat, Propinsi dan atau Pemerintah daerah.

Laporan hasil inspeksi sanitasi dikirim kepada Bupati/Walikota dan tembusan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Direktorat Penyehatan Air dan Sanitasi Ditjen PPM & PL Depkes RI dengan periode 3 (tiga) bulan sekali.

(18)

2.6. Bahan Tambahan Makanan (BTM) 2.6.1. Defenisi Bahan Tambahan Makanan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan, Bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2008).

Suatu laporan dari Komite gabungan ahli FAO (Food Agriculture Organization) dan WHO (World Health Organizaton) di roma pada tahun 1956

mendefenisikan zat aditif bahan pangan sebagai substansi bukan gizi yang ditambahkan ke dalam bahan pangan dengan sengaja, yang pada umumnya dalam jumlah kecil, untuk memperbaiki kenampakan, citra rasa, tekstur atau sifat-sifat penyimpanannya. Substansi yang ditambahkan terutama yang mempunyai nilai gizi seperti vitamin A dan mineral tidak dimasukkan kedalam golongan ini.

(19)

2.6.2. Fungsi Bahan Tambahan Makanan

Bahan tambahan makanan (BTM) digunakan untuk mendapatkan pengaruh tertentu misalnya untuk memperbaiki tekstur, rasa dan penampilan dan memperpanjang daya simpan. Namun, penggunaan bahan tambahan pangan dapat merugikan kesehatan (Baliwati, dkk, 2004).

Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaanya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Kebijakan keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional (Cahyadi, 2008).

Menurut Cahyadi (2008), bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila:

1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan.

2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan.

3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan.

(20)

2.6.3. Penggolongan Bahan Tambahan Makanan

Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar (Cahyadi, 2008):

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, citra rasa, dan membantu pengolahan. Sebagai contoh pengawet, pewarna dan pengeras. 2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang

tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan. Bahan ini dapat pula berupa residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida dan rodentisida), antibiotik dan hidrokarbon aromatik polisiklis. Bahan tambahan pangan yang diijinkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.772/MenKes/Per/IX/88, terdiri dari (Cahyadi, 2008):

1. Antioksidan (antioxidant)

(21)

sintetik), asam askorbat, asam eritrobat, askorbil stearat, butil hidrokinon tersier,dilauril tiodipropionat, timah II klorida, alpa tokoferol campuran pekat. 2. Antikempal (anticaking agent)

Antikempal adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah mengempalnya pangan berupa serbuk juga mencegah mengempalnya pangan yang berupa tepung. Antikempal merupakan senyawa anhydrous yang dapat menyerap air tanpa basah.

3. Pengatur keasaman (acidity regulator)

Merupakan senyawa kimia yang dapat mengasamkan, menetralkan dan mempertahankan derajad keasaman. Sifat asam senyawa ini dapat mencegah pertumbuhan mikroba dan bertindak sebagai pengawet. Pengelompokan pengatur keasaman adalah pengasaman (asam asetat, asam suksinat, asam tartrat, asam malat dan lain-lain), basa/penetral (natruim bikarbonat, natrium hidroksida, amonium bikarbonat), penetral (asam lemak jenuh, asam-asam lemak tak jenuh).

4. Pemanis buatan (artificial sweeterner)

(22)

5. Pemutih dan pematang tepung (flour treatment agent)

Merupakan bahan tambahan pangan yang seringkali digunakan pada bahan tepung dan produk olahannya dengan maksud karakteristik warna putih yang merupakan ciri khas tepung yang bermutu baik tetap terjaga. Penambahan bahan pemutih dan pematang tepung diharapkan dapat mempercepat proses pematangan dan untuk mendorong pengembangan adonan.

6. Pengemulsi, pemantap dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener) Pengemulsi adalah suatu bahan yang dapat mengurangi kecepatan tegangan permukaan dan tegangan antara dua fase yang dalam keadaan normal tidak saling melarutkan, menjadi dapat bercampur dan selanjutnya membentuk emulsi. Tujuan dari pengemulsi ini adalah untuk mengurangi tegangan permukaan antara minyak dan air, sedikit mengubah sifat-sifat tekstur teknologi produk pangan dan untuk memperbaiki tekstur produk pangan yang bahan utamanya lemak.

7. Pengawet (preservative)

(23)

8. Pengeras (firming agent)

Bahan pengeras sering digunakan untuk memperkeras atau mencegah melunaknya pangan. Contohnya adalah senyawa kapur untuk memperkeras produk kripik.

9. Pewarna (colour)

Ada dua jenis zat pewarna yaitu pewarna alami (karotenoid, riboflavin dan kobalamin, dll) dan zat pewarna sintetis. Zat pewarna sintetis yang diizinkan yaitu amaran, biru berrlian, eritrosin, hijau FCF, hijau S, Indigotin, ponceau 4R, kuning, kuinelin, kuning FCF, riboflavina, tartrazine. Sedangkan zat warna yang dilarang adalah rhodamin B, methanyl yellow, amaranth.

10.Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enchance )

Merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma.

11.Sekuestran (sequestrant)

Bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam yang ada pada makanan sehingga mencegah terjadinya oksidasi yang dapat menimbulkan perubahan warna dan aroma. Biasa ditambahkan pada produk lemak dan minyak atau produk yang mengandung lemak atau minyak seperti daging dan ikan. Contoh: asam folat dan garamnya.

Beberapa BTM yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 dan No. 1168/Menkes/ PER / X / 1999 adalah:

(24)

2. Formalin (formaldehyde)

Formalin sering sekali digunakan sebagai pengawet pada susu, tahu, mie, ikan asin, ikan basa dan produk pangan lainnya. Formaldehid sangat berbahaya bagi manusia. Dapat menyebabkan iritasi lambung, alergi, kanker bahkan kematian.

3. Minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils) 4. Kloramfenikol (chlorampenicol)

Memiliki rumus kimia C11H12C12N2O5, sering ditambahkan pada air susu untuk mematikan mikroba pengurai pada susu.

5. Kalium klorat ( potassium chlorate)

Memiliki rumus kimia KClO3, sering digunakan sebagai pengawet. Dalam jumlah besar dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan, gangguan pada fungsi ginjal.

6. Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate)

Penggunaan DEPC sebagai antimikroba (jamur, ragi, bakteri) pada produk-produk minuman ringan (nonkarbonasi), minuman sari buah, dan minuman hasil fermentasi. Pada hasil penelitian, DEPC dapat mengakibatkan penyusutan berat badan dalam waktu empat minggu pada tikus, iritasi pada mata dan hidung serta diikuti pusing-pusing pada tikus dan babi.

7. Nitrofuranzon ( nitrofuranzone)

(25)

8. P-Phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenylurea) Dulsin dalam bahan pangan digunakan sebagai penggabti sukrosa bagi orang yang perlu diet. Konsumsi dulsin yang berlebih dapat menyebabkan kematian. 9. Asam salisitat dan garamnya (salicylic acid and its salt)

Rumus kimia C6H6O7, digunakan sebagai aroma penguat rasa. Pada pemberian peroral. Asam salisitat dapat menimbulkan gangguan epigastrik, pusing, berkeringat, mual dan muntah. Dalam jumlah besar dapat menimbulkan pendarahan lambung.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999 selain bahan tambahan diatas, masih ada tambahan kimia yang dilarang, seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning) , dulsin (pemanis sintesis) dan potassium bromat (pengeras) (Cahyadi, 2008). 2.7. Boraks

2.7.1. Pengawet Boraks

(26)

Senyawa asam borat menurut Cahyadi (2008) mempunyai sifat-sifat kimia sebagai berikut :

1. Titik lebur sekitar 171°C.

2. Larut dalam 18 bagian air dingin , 4 bagian air mendidih, 5 bagian gliserol. 3. Tidak larut dalam eter.

4. Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam klorida, asam sitrat, atau asam tartrat.

5. Mudah menguap dengan dengan pemanasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 100 °C yang secara perlahan berubah menjadi asam metaborat (HBO2).

6. Asam borat merupakan asam lemah dan garam alkalinya bersifat basa.

7. Satu gram asam borat larut sempurna dalam 30 bagian air, menghasilkan larutan yang jernih dan tidak berwarna.

8. Asam borat tidak tercampur dengan alkali karbamat dan hidroksida. 9. Asam borat berbentuk kristal berwarna putih.

2.7.2. Dampak Boraks Bagi Kesehatan

Boraks atau yang sering disebut asam borat, natrium tetraborat atau sodium borat, sebenarnya merupakan pembersih, fungisida, herbisida dan insektisida yang bersifat toksik atau beracun untuk manusia (Yuliarti, 2007).

(27)

dapat terjadi melalui saluran cerna, kulit, paru-paru dan beberapa jalur lain. Sifat dan hebatnya efek zat kimia terhadap organisme tergantung dari kadarnya di organ sasaran. Agar dapat diserap, didistribusi dan akhirnya dikeluarkan, suatu toksikan harus melewati sejumlah membran sel (Lu, 1995).

Semua zat kimia yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perlakuan tertentu atau mengalami proses metabolisme. Pada umumnya metabolisme itu melakukan transformasi agar zat kimia lebih mudah diekskresikan lewat ginjal. Akibat dari metabolisme ini adalah kemungkinan zat kimia akan diakumulasikan/disimpan di dalam tubuh, dikeluarkan/diekskresikan dan mengalami perubahan biokimia (Soemirat, 2005).

Ketika suatu zat kimia masuk ke dalam tubuh, maka zat tersebut akan mengalami beberapa proses dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Ketika zat kimia misalnya boraks masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dimakan (oral), maka tubuh akan melakukan proses metabolisme zat kimia tersebut. Lambung akan lebih mudah menyerapnya karena merupakan asam lemah. Dalam dosis tertentu dapat menyebabkan mual, muntah-muntah dan diare. Di dalam usus, asam lemah tidak mudah diserap karena akan berada dalam bentuk ion. Setelah diserap lambung, toksikan akan dibawa oleh vena porta hati ke hati.

(28)

Zat kimia yang telah diabsorbsi ke dalam darah akan langsung dialirkan ke hati. Di hati, toksikan tersebut akan diikat. Kadar enzim yang memetabolisme toksikan dalam hati juga tinggi sehingga membuat sebagian toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air sehingga mudah diekskresikan ( Lu, 1995). Fungsi pokok hati adalah menerima dan mengolah zat kimia yang diabsorbsi dari saluran gastrointestinal sebelum disebarkan kejaringan lain (Ester, 2002). Namun, apabila kadar zat kimia (termasuk boraks) dalam jumlah yang tinggi dan terus menerus kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan pada hati.

Tubuh akan berusaha melakukan detoksifikasi terhadap boraks yang masuk ke dalam tubuh dan akan di ekskresi secara lamban oleh ginjal (Adiwisastra, 1995). Toksikan yang mempengaruhi ginjal dapat bekerja dalam empat cara yaitu :

a. Mengurangi aliran darah keginjal sehingga dapat merusak ginjal.

b. Secara langsung dapat mempengaruhi glomerulus dan menggangu kemampuan selektifnya dalam memfiltrasi darah.

c. Mempengaruhi fungsi reabsorpsi dan fungsi sekresi tubulus.

d. Menyumbat tubulus, menghambat urine (produksi urine berkurang).

Ginjal biasanya rentan terhadap efek toksik zat kimia. Kerusakan ginjal oleh zat kimia kemungkinan disebabkan oleh adanya penurunan produksi urine dan kerusakan jaringan di ginjal (Ester, 2002). Oleh sebab itu, boraks dalam dosis tertentu dan terus menerus dapat merusak ginjal dan dalam keadaan kronis dapat mengakibatkan gagal ginjal.

(29)

trasformasi yang tidak dipahami sehingga dapat mengubah sel-sel tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kecacatan pada bayi. Kerusakan yang terjadi pada DNA juga sering diperbaiki oleh sel itu sendiri, atau jika sel imun mengenalinya, sel yang rusak akan dibunuh sehingga tidak dapat menyebabkan kanker. Jika tidak satupun proses di atas terjadi, maka sel yang rusak akan terus membelah dan tumbuh sehingga salinan dirinya yang memang rusak semakin banyak, dan dapat merusak sel lainnya yang dapat menyebabkan kanker (Ester, 2002).

Paparan zat kimia selama kehamilan dapat mengakibatkan perkembangan yang defektif (menuju kecacatan). Pada waktu-waktu tertentu, janin yang sedang bertumbuh dan berkembang menjadi sangat sensitif terhadap paparan zat kimia, misalnya saat perkembangan sistem organ atau perkembangan sel-sel tertentu (Ester, 2002). Dengan demikian, paparan boraks pada ibu hamil juga dapat menyebabkan gangguan pada janinnya.

Menurut Adiwisastra (1992), pengaruh boraks dalam tubuh adalah: 1) Sakit perut sebelah atas, muntah dan diare.

2) Sakit kepala dan gelisah.

3) Penyakit kulit berat (dermatitis).

4) Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah.

5) Hilangnya cairan dalam tubuh ditandai dengan kulit kering dan pingsan. 6) Tidak nafsu makan.

7) Kadang-kadang tidak dapat kencing.

(30)

mengakibatkan toksik (keracunan). Gejala dapat berupa mual, muntah, diare, suhu tubuh menurun, lemah, sakit kepala, rash erythematous, bahkan dapat menimbulkan shock. Kematian pada orang dewasa dapat terjadi dalam dosis 15-25 gram, sedangkan

pada anak dosis 5-6 gram.

Asam borat juga bersifat teratogenik pada anak ayam. Absorpsinya melalui saluran cerna, sedangkan ekresinya yang utama melaui ginjal. Jumlah yang relatif besar ada pada otak, hati, dan ginjal sehingga perubahan patologinya dapat dideteksi melalui otak dan ginjal. Dilihat dari efek farmakologi dan toksisitasnya, maka asam borat dilarang digunakan dalam pangan (Cahyadi, 2008).

Dalam kondisi toksik yang kronis (karena mengalami kontak dalam jumlah sedikit demi sedikit namun dalam jangka panjang) akan mengakibatkan tanda-tanda merah pada kulit dan gagal ginjal. Boraks juga dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata atau saluran respirasi, mengganggu kesuburan dan janin. Maka, hendaknya berhati-hati dan berupaya mengenali makanan yang ditambahkan pengawet ini. Sedapat mungkin harus menghindarinya demi kesehatan (Yuliarti, 2007).

2.8. Bakso Bakar

Bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, maupun ikan. Sedangkan bakso bakar merupakan bakso yang dibakar setelah mengolesi bumbu-bumbu seperti kecap dan margarin.

(31)

Ada tiga jenis bakso yang biasa dijual di pasaran yaitu bakso daging, bakso urat (terbuat dari urat sapi), dan bakso aci (terbuat dari tepung tapioka). Bakso yang baik adalah bakso yang dibuat dari daging yang berkualitas dan tidak berlemak yang biasanya mengandung 90% daging dan 10% tepung tapioka. Selain bumbu, ada bahan yang biasa ditambahkan ketika membuat bakso. Bahan yang dimaksud adalah pengenyal. Adapun bahan pengenyal yang aman digunakan adalah Sodium Tripoli Fosfat (STF). Bahan kimia tersebut berfungsi sebagai pengemulsi sehingga diahasilkan adonan yang lebih merata.

Sayangnya tidak semua bakso yang dijual di pasaran, banyak bakso menggunakan boraks sebagai pengenyal dan sebagai pengawet agar bakso lebih tahan lama. Ciri-ciri bakso yang mengandung boraks adalah biasanya lebih kenyal dibanding bakso yang menggunakan STF, jika digigit akan kembali kebentuk semula. Warna bakso yang mengandung boraks juga tampak lebih putih. Hal ini berbeda dengan bakso yang baik, biasanya berwarna abu-abu segar merata disemua bagian (Cahyadi, 2008).

Bakso memiliki sifat keasaman yang rendah sehingga bakso tidak dapat bertahan lama dan rentan terhadap kerusakan, sehingga bakso memiliki masa simpan maksimal satu hari pada suhu kamar (Widyaningsih, 2006).

2.8.1. Proses Pembuatan Bakso Bakar 2.8.1.1. Bahan Baku Bakso

(32)

kerbau, kambing, ayam dan sebagainya. Dalam membuat bakso, disarankan menggunakan daging yang masih segar (prerigor) agar bakso yang dihasilkan kenyal dan kompak, meskipun tanpa penambahan bahan pengenyal.

Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah pati, misalnya tepung tapioka, gandum dan tepung aren. Kandungan pati yang tinggi pada tepung membuat bahan pengisi mampu mengikat air tetapi tidak dapat mengemulsi lemak.

Penambahan es/air es dapat mempengaruhi tekstur bakso. Penambahan es/air es bertujuan untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging, mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan selama proses pembuatan bakso.

Bumbu berfungsi meningkatkan cita rasa dan mengawetkan bakso. Adonan bakso sering ditambah dengan sodium tripoliphosphat (STPP) yaitu suatu garam natrium tripolyphospat unttuk keperluan perbaikan tekstur dan meningkatkan daya cengkraman air. STTP secara umum diijinkan dan telah banyak digunakan dalam makanan (Usmiati, 2009).

2.8.1.2. Proses Pembuatan Bakso Bakar

Pada prinsipnya, pembuatan bakso terdiri atas empat tahap, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan bakso dan pemasakan. Bakso dicetak secara manual atau dengan alat cetak bakso, lalu direbus dalam air mendidih atau dikukus (Usmiati, 2009).

(33)

Bertujuan untuk memecahkan serabut daging. Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan mencacah, menggiling atau mencincang sampai lumat. Alat yang digunakan bisa dengan pisau, pencincangan atau penggilingan.

2. Pembentukan adonan

Pembentukan adonan dilakukan dengan mencapur seluruh bagian daging yang telah dihancurkan dengan bumbu-bumbu ataupun garam dan air. Adonan juga bisa ditambah dengan telur dan ditambahkan tepung sedikit demi sedikit.

3. Pencetakan bakso

Setelah adonan siap, bakso dapat dicetak, cukup dengan dibulatkan secara manual atau dengan alat cetak bakso.

4. Pemasakan bakso

Bakso dipanaskan dalam panci yang berisi air mendidih selama 10 – 15 menit.

5. Pembakaran bakso

(34)

Referensi

Dokumen terkait

Kadar air kerupuk berseledri setelah pengeringan menunjukkan peningkatan seiring dengan meningkatnya proporsi terigu yang digunakan.Kadar air kerupuk dengan proporsi

Skripsi ini saya persembahkan khusus untuk Opung Doli saya tercinta ( Op. Sugiarto ) yang telah sabar merawat saya dari kecil hingga aku bisa seperti sekarang

Dalam hal ini terlihat bahwa dominasi kelompok Etnis Jawa sebagai etnis dominan dalam ruang public masih terlihat di Era Reformasi, namun di saat yang sama, proses demokratisasi

Pembentukan Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal didasarkan pada semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif sehingga Undang -

1. Dalam akta kelahiran si anak. Dalam akta perkawinan ayah atau ibu kalau kemudian meneruskan dengan perkawinan. Dalam akta pengakuan / pengesahan anak. Peristiwa kelahiran

Sasaran strategis UNDIKSHA S-2.10 pada tabel 11 yaitu sekurang- kurangnya penambahan 10% mahasiswa memperoleh medali dalam olimpiade tingkat nasional/international mempunyai

Dalam perusahaan, informasi akuntansi pertanggungjawaban sangat penting bagi perusahaan karena merupakan suatu proses pengumpulan data dan pencatatan serta penyajian

Ketiga, J setelah mendapatkan tindakan konseling kelompok model Client-Centered , J pada komponen persepsi akurat terhadap realitas tidak mengalami perubahan perilaku,