BAB II
LANDASAN TEORI
A.Resiliensi Akademik
1. Resiliensi
Shatte dan Revich (2002) menyebutkan bahwa resiliensi adalah kemampuan
untuk berespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi rintangan atau
trauma. Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2003) resiliensi adalah sikap ulet
dan tahan banting yang dimiliki seseorang ketika dihadapkan dengan keadaan
yang sulit.
Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk
menghadapi, mengatasi, menjadi kuat ketika menghadapi rintangan dan
hambatan. Resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan
pada sebagian manusia dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber
yang tidak jelas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilience
(resilien) dan setiap orang mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan
dan hambatan dalam hidupnya.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi
adalah kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi rintangan dan
2. Resiliensi Akademik
a. Definisi
Secara umum, resiliensi dapat dimanfaatkan oleh setiap individu dalam
melawan berbagai problematika hidup. Namun jika berbicara dalam ruang lingkup
akademis, resiliensi dapat lebih dispesifikkan menjadi resiliensi akademik.
Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dimana
banyak ditemukan di institusi pendidikan seperti sekolah dan Perguruan Tinggi.
Resiliensi ini merupakan sebuah karakteristik yang memiliki
perbedaan-perbedaan pada setiap orang dan dapat semakin meningkat ataupun menurun
seiring berjalannya waktu (Henderson, 2003).
Menurut Rirkin dan Hoopman (dalam Henderson, 2003), berkaitan dengan
pengembangan resiliensi dalam lingkungan belajar, resiliensi akademik
didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk bangkit, pulih, dan berhasil
beradaptasi dalam kesulitan, dan mengembangkan kompetensi sosial, akademik
dan keterampilan, terlepas dari tingkat stress yang dihadapinya.
b. Model Resiliensi
Richardson, Neiger, Jensen & Kumpfer (dalam Henderson, 2003)
membentuk sebuah model resiliensi yang menunjukkan bahwa ketika seorang
individu mengalami kesulitan, pada umumnya individu tersebut akan memiliki
karaktersitik internal dan eksternal berupa faktor-faktor protektif, yang akan dapat
mengurangi faktor resiko (kesulitan-kesulitan) yang dihadapi. Dengan “proteksi”
yang cukup, individu tersebut akan mampu beradaptasi terhadap kesulitan itu
dapat beralih ke zona nyaman atau yang disebut homeostatis, atau bahkan dapat lebih meningkat pada level resiliensi yang lebih tinggi karena adanya
pembentukan kekuatan emosional dan mekanisme coping yang sehat selama proses mengatasi faktor-faktor resiko tersebut. Di lain pihak, tanpa adanya
proteksi yang cukup, seorang individu dapat langsung terjerumus dalam gangguan
psikologis, dan kemudian seiring waktu keluar dari gangguan tersebut. Namun
perlu dicatat, ketersediaan faktor-faktor protektif individulah yang akan
mengarahkan individu tersebut pada tipe reintegrasi yang mereka alami.
Reintergrasi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti penyalahgunaan
alkohol, narkoba, percobaan bunuh diri, ataupun karakteristik-karakteristik negatif
lainnya, dan pada akhirnya dapat berujung pada reintegrasi yang buruk atau baik.
Model resilliensi pada gambar 1 menunjukkan bahwa adversitas tidak
secara otomatis mengarahkan individu pada disfungsi, namun juga dapat menuju
sejumlah outcome lainnya, dan bahkan seiring waktu dapat meningkatkan kemampuan resiliensi seseorang, seiring berjalannya waktu. Richardson (dalam
Henderson, 2003) mengatakan bahwa resiliensi ini dapat diterapkan dalam setiap
orang, dan bahwa ini merupakan sebuah proses dalam hidup.
Lingkungan juga sangat penting terhadap resiliensi individu dalam dua hal.
Pertama, faktor-faktor protektif internal yang membantu individu menjadi resilien
dihadapan stressor dan tantangan, sering kala merupakan dampak dari kondisi
lingkungan yang mengembangkan karakteristik ini. Kedua, selain stressor dan tantangan yang dihadapi individu, lingkungan juga berkontribusi dalam reaksi
Bagan 1 Model resiliensi
(Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk dalam Henderson & Milstein, 2003)
c. Karakteristik Individu yang Resilien
Anak yang resilien dan orang dewasa yang resilien pada umumnya
tampaknya sama. Bernard (1991) menyatakan karakter anak yang resilien adalah
memiliki kompetensi sosial, memiliki life skills seperti mampu memecahkan masalah, mampu berpikir kritis, dan mampu untuk mengambil inisiatif. Lebih
Stressors Adversity
Risks
Individual and Environmental Protective Factors
Disruption Reintegration
jauh lagi dikatakan bahwa anak yang resilien memiliki sense of purpose dan dapat melihat masa depan yang cerah pada dirinya. Mereka memiliki ketertarikan
khusus, tujuan hidup, dan motivasi untuk meraih yang terbaik dalam sekolah.
Higgins (dalam Henderson 2003) memberi karakter yang hampir serupa
pada orang dewasa yang resilien, dengan menekankan pada hubungan positif
mereka, kemampuan baik dalam memecahkan masalah, dan motivasi untuk
peningkatan diri. Motivasi pendidikan juga sangat jelas terlihat pada orang
dewasa, yang dibuktikan dengan pencapaian pendidikannya. Orang dewasa sering
dengan sengaja melibatkan diri dalam perubahan dan aktivitas sosial dan secara
umum memiliki keyakinan serta kehidupan spiritual dan keagamaan. Kebanyakan
dari orang dewasa yang resilien mampu menunjukkan kemampuan mereka dalam
mengambil hikmah dan kebaikan dari segala stres, trauma dan tragedi yang
pernah dialami. Walau demikian, Higgins juga menggarisbawahi bahwa banyak
orang dewasa yang merasa dirinya resilien mengatakan bahwa ketika mereka
masih anak-anak, kurang menyadari adanya resiliensi dalam diri mereka ataupun
orang lain, pada masa kanak-kanaknya (Henderson, 2003).
d. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal
Berdasarkan yang dikemukakan oleh Richardson (dalam Henderson, 2003),
Faktor Protektif Internal adalah karakteristik individu yang membentuk resiliensi:
1. Bersedia melayani orang lain
3. Sosialibilitas; kemampuan untuk menjadi teman; kemampuan untuk
membetuk hubungan yang postitf
4. Memiliki selera humor
5. Internal locus of control
6. Otonomi; kemandirian
7. Memiliki sudut pandang positif tentang masa depan
8. Fleksibilitas
9. Memiliki kapasitas untuk belajar
10. Motivasi diri
11. Memiliki keahlian; kompetensi personal
12. Memiliki perasaan self-worth dan kepercayaan diri
Faktor Protektif Eksternal adalah karakteristik keluarga, sekolah, komunitas dan
kelompok teman sebaya yang mengembangkan resiliensi:
1. Memiliki ikatan yang kuat
2. Menjunjung tinggi pendidikan
3. Menggunakan gaya interaksi yang penuh kehangatan dan tidak
menghakimi
4. Membuat batasan-batasan yang jelas (peraturan, norma dan hukum)
5. Mendorong hubungan yang supportif dengan orang lain
6. Melestarikan tanggung jawab, saling melayani, “required
helpfullness”
7. Menyediakan akses akan kebutuhan dasar rumah tangga, pekerjaan,
8. Menunjukkan harapan kesuksesan yang tinggi dan realistis
9. Mendorong pembuatan tujuan dan mastery
10. Mendorong perkembangan prososial akan nilai-nilai (misalnya
altruisme) dan life skills (misalnya kerja sama)
11. Menyediakan kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan
kesempatan-kesempatan lain untuk partisipasi yang berarti.
12. Menghargai talenta unik dari masing-masing individu
e. Tahapan Mengembangkan Resiliensi
Teori resiliensi dan faktor resiko menekankan bahwa sekolah merupakan
lingkungan yang penting dalam mengembangkan kemampuan individu untuk
bangkit dari kesulitan, beradaptasi terhadap tekanan dan masalah-masalah yang
dihadapi, dan juga mengembanagkan kompetensi-kompetensi sosial, akademik
dan keterampilan, yang sangat diperlukan dalam hidup. Penelitian para ahli telah
menunjukkan bahwa sekolah, keluarga dan juga komunitas dapat menyediakan
faktor-faktor protektif lingkungan dan kondisi-kondisi yang mengembangkan
faktor protektif individual. Hal ini membentuk sebuah strategi berupa 6 tahapan
dalam mengembangkan resiliensi di sekolah (dapat dilihat pada gambar 2).
1. Meningkatkan bonding. Hal ini melibatkan peningkatan hubungan diantara individu dengan orang atau kegiatan yang bersifat prosocial
dan juga didasarkan pada bukti bahwa siswa dengan ikatan positif
yang kuat lebih kecil kemungkinannya melakukan perilaku beresiko
pada ikatan siswa terhadap sekolah dan pencapaian akademik
dengan menyesuaikan gaya belajar yang disukai siswa.
2. Menetapkan batasan-batasan yang jelas dan konsisten. Ini
melibatkan pengembangan dan implementasi yang konsisten dari
peraturan sekolah dan prosedur-prosedur serta menegaskan
pentingnya ekspektasi perilaku. Ekspektasi ini termasuk
menjelaskan tentang perilaku beresiko bagi siswa dan harus
dikomunikasikan secara jelas beserta dengan konsekuensinya.
3. Mengajarkan life skills. Ini termasuk kerjasama, resolusi konflik yang sehat, ketahanan dan kemampuan asertivitas, kemampuan
komunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pengambilan
keputusan, serta manajemen stress yang sehat. Jika
kemampuan-kemampuan ini diajarkan dengan benar kepada siswa, akan dapat
menolong siswa untuk jauh dari permasalahan remaja khususnya
rokok, alkohol dan obat-obatan terlarang. Kemampuan-kemampuan
ini juga dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses
pembelajaran siswa di sekolah.
4. Menyediakan kepedulian dan dukungan. Hal ini termasuk
memberikan penghargaan dan dorongan yang positif dan ikhlas.
Pada gambar 2, bagian ini diarsir, untuk menunjukkan bahwa elemen
ini merupakan yang terpenting dalam membangun resiliensi.
Bahkan, hampir mustahil untuk mampu “mengatasi” kesulitan tanpa
Guru, tetangga dan pekerja-pekerja muda juga sering
menunjukkannya, begitu pula dengan elemen-elemen lain dari
mengembangkan resiliensi. Teman sebaya dan hewan peliharaan
juga dapat berperan sebagai pembangun resiliensi bagi orang dewasa
dan anak-anak.
5. Menetapkan ekspektasi yang tinggi. Ekspektasi individu harus tinggi
dan realistis agar dapat menjadi motivator yang efektif. Walaupun
demikian, banyak anak-anak di sekolah, terutama mereka yang
diberikan banyak label di sekolah, mengalami ekspektasi yang rendah dan juga memiliki ekspektasi yang rendah untuk dirinya.
Pihak sekolah juga mengatakan bahwa hal ini juga berlaku bagi
orang dewasa di sekolah, yang memiliki kemampuan dan potensial
yang kurang dianggap.
6. Menyediakan peluang untuk keterlibatan yang berguna. Strategi ini
berarti memberikan banyak tanggung jawab kepada siswa, keluarga
mereka, dan staff untuk hal-hal yang terjadi di sekolah, memberikan
peluang bagi mereka untuk memecahkan masalah, mengambil
keputusan, merencanakan, menetapkan tujuan dan membantu
Bagan 2
Profil Siswa dengan karakteristik Resiliensi (Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk
dalam Henderson & Milstein, 2003) Provide
Connects with at least one of the many caring adults in school.
Is involved with some of the many before-, after-, and in school activities.
Is engaged in cooperative peer-to-peer interactions through teaching strategies and/or school programs.
Is positively connected to learning
Believe voice is heard in classroom/ school decision.
Participates in helping others through cooperative learning, service learning, peer helping, or other avenues.
Exhibits a sense of self-efficacy in taking on new challenges
Recieves ongoing instruction in life skills appropriate to developmental level.
Has integrated the skills so assertiveness, refusal skills, healthy conflict resolution, good decision making and problem solving, and healthy stress management are practced most of the time.
Feels that school is a caring place
Has a sense of belonging
Experiences school as a community
Sees many ways to be recognized
B. Tuna Netra
1. Definisi dan Klasifikasi Tuna Netra
Tuna netra atau seseorang dengan keterbatasan penglihatan (visual impairment) adalah seseorang yang hanya memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih kecil pada mata yang telah dikoreksi (misalnya dengan kacamata), atau
ketajaman penglihatannya lebih baik dari 20/200, namun jangkauan pandangnya
menyempit sedemikian rupa sehingga membentuk sudut pandang tidak lebih besar
dari 20 derajat. Ketajaman visual 20/200 memiliki arti dimana seseorang tersebut
dapat melihat sejauh 20 kaki sedangkan orang berpenglihatan normal dapat
melihat sejauh 200 kaki. (Hallahan & Kauffman, 1991)
Somantri (2006) mengungkapkan bahwa pengertian tuna netra adalah
individu yang kedua indera penglihatannya tidak berfungsi sebagaimana halnya
individu berpenglihatan normal memilikinya sebagai penerima informasi.
Individu dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:
a. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang
berpenglihatan normal
b. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
c. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak
d. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan
Hallahan & Kauffman (1991) menggolongkan tuna netra menjadi dua
macam, yaitu:
a. Blind (Buta)
Seseorang dikatakan buta jika ia sama sekali tidak mampu menerima
rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)
b. Low vision (Penglihatan rendah)
Seseorang dikatakan memilki low vision ketika masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih kecil dari 20/200.
Misalnya saja, ia hanya mampu membaca headline pada surat kabar.
Dengan demikian, pengertian tuna netra adalah individu yang indera
penglihatannya baik sebagian atau tidak berfungsi secara menyeluruh, sebagai
saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari layaknya orang
berpenglihatan normal atau dengan kata lain orang yang memiliki ketajaman
penglihatan kurang dari 20/200 dan setelah diberikan pertolongan khusus masih
memerlukan layanan khusus.
2. Ciri-ciri dan Karakteristik Tuna Netra
Individu yang memiliki gangguan penglihatan tentu memiliki ciri-ciri.
Irham Hosni (dalam Ishartiwi, 1998) menyebutkan ciri-ciri untuk mengenali tuna
netra yaitu:
a. Seseorang yang hanya mengenal bentuk dan objek (sedikit sisa
penglihatan)
c. Tidak dapat melihat tangan yang digerakkan
d. Seseorang yang hanya dapat menunjuk sumber cahaya
e. Seseorang yang tidak memiliki persepsi cahaya (buta total)
Somantri (2006) mengemukakan karakteristik tuna netra yang sangat
bervariasi dalam empat aspek, yang ditinjau sejak kapan individu mengalami
ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya dan
bagaimana tingkat pendidikannya.
a. Aspek kognitif
Indera penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam
menerima informasi yang datang dari luar. Melalui indera penglihatan,
seseorang mampu melakukan pengamatan pada dunia sekitarnya sehingga
menimbulkan kesan atau persepsi pada rangsang tersebut. Melalui berbagai
pengamatan, individu akan semakin kaya pengetahuannya, tidak terbatas pada
penjelasan verbal melainkan penghayatan lebih dengan mengamati berbagai
aspek dari objek secara langsung.
Pada tuna netra, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya
tidak dapat diperoleh secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif tuna
netra cenderung terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak
karena tidak dibantu dengan pengamatan visual. Individu tuna netra
cenderung mengandalkan indera pendengaran sebagai sumber penerima
informasi, oleh karena itu pengertian yang diperoleh pun terbatas pada
merupakan konsep yang dipahami secara verbal saja oleh individu tuna netra
(Somantri, 2006).
Pada individu tuna netra, umumnya mereka berpegang teguh pada
pendapatnya karena secara visual mereka tidak mampu menggunakan teknik
akomodasi dan asimilasi dalam mengubah struktur kognitifnya yang sudah
terbentuk sebelumnya. Selain itu, tanpa kemampuan pengamatan yang baik,
individu dapat mengalami kesulitan dalam melakukan pengklasifikasian
objek terutama jika mengacu pada bentuk, warna, ruang dan lainnya.
Lowenfeld (dalam Somantri, 2006) mengemukakan banyak hal tentang
bagaimana pengaruh ketunanetraan terhadap proses-proses kognitif seperti
persepsi ruang, synthesia, ketajaman sensori, daya ingat, kreativitas, inteligensi, prestasi akademik, kemampuan bicara dan kemampuan membaca.
Taraf kecerdasan tuna netra pada dasarnya tidak berbeda dengan
individu berpenglihatan normal, yaitu bagaimana individ tuna netra mengolah
dan menganalisa informasi dari lingkungan. Yang berbeda adalah
hambatannya dalam menerima informasi, persepsi dan konsepnya.
b. Aspek Motorik
Perkembangan motorik tuna netra cenderung lambat dibandingkan
dengan individu berpenglihatan normal pada umumnya. Keterlambatan ini
terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya
Keterbatasan mereka dalam melakukan pengamatan secara visual
biasanya membuat individu tuna netra memiliki hambatan dalam penyesuaian
terhadap lingkungan yang baru dan menghindari untuk melakukan eksplorasi
atau mobilitas ke tempat-tempat yang masih asing. Selain itu, biasanya mereka
mengalami hambatan dalam motorik kasar seperti melompat maupun motorik
halus seperti menggengan benda, terutama dalam ukuran kecil.
c. Aspek Emosi
Kematangan emosi ditunjukkan dengan adanya keseimbangan dalam
mengendalikan emosi baik yang menyenangkan maupun tidak. Terdapat
beberapa variabel yang berperan dalam perkembangan emosi yaitu
oragnisme yang mencakup perubahan-perubahana fisiologis ketika
seseorang mengalami emosi, stimulus atau rangsangan yang menimbulkan
emosi dan respon terhadap rangsangan emosi yang datang dari lingkungan.
Pengaruh belajar dari lingkungan memiliki peranan yang besar dalam
perkembangan emosi ini karena melalui proses pengamatan dan imitasi
seorang individu belajar bagaimana emosi dan pengekspresian.
Pada individu tuna netra, yang memiliki keterbatasan dalam
pengamatan, cenderung mengalami hambatan dalam mengeksprsikan emosi
secara tepat karena mereka tidak dapat melakukan pengamatan secara
optimal terhadap rangsang emosi dan pengekspresian di lingkungan
sehingga proses belajar melalui imitasi jadi terhambat. Karena hal tersebut,
sering sekali ekspresi seorang tuna netra dinyatakan secara verbal. Hal ini
bahasa pada individu. Meskipun demikian, sebaiknya lingkungan tetap
mengajarkan bagaimana mengekspresikan emosi secara non-verbal, baik
mimik muka maupun gerak tubuh.
d. Aspek Sosial
Perkembangan sosial berarti individu memiliki seprangkat
kemampuan untuk bertingkah laku sosial sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Pada individu tuna netra, perkembangan sosialnya sangat
tergantung pada perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan
keluarga. Jika keluarga memiliki sikap postif terhadap anak tuna netra,
maka perasaan harga diri pun akan lebih positif dan ini akan menimbulkan
rasa percaya diri untuk menghadapi lingkungan lainnya. Hambatan dalam
belajar sosial biasanya berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk
memahami perasaan orang lain dan hmabatan dalam melakukan imitasi dan
identifikasi perilaku, emosi dan nilai-nilai masyarakat.
Sukini Pradopo (dalam Somantri, 2006) mengemukakan gambaran
sifat tuna netra diantaranya ragu-ragu, rendah diri dan curiga pada orang
lain. Sedangkan Sommer menyatakan bahwa tuna netra cendeung memiliki
sifat-sifat yang berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri
3. Jenis dan penyebab gangguan penglihatan (Visual Impairment)
a. Refractive Errors
1. Refractive errors, dapat diperbaiki dengan menggunakan kacamata atau kontak lens, tapi jika cukup parah dapat
mengakibatkan gangguan visual permanen
2. Myopia, mata lebih besar daripada normal, dari depan ke belakang. Benda yang diteruskan ke retina hilang fokus. Dapat
melihat benda dekat dengan jelas, namun kesulitan melihat
benda yang jauh.
3. Hyperopia, kebalikan dari myopia, jelas dalam melihat benda yang jauh namun kesulitan untuk melihat benda yang dekat
4. Astigmatism, penglihatan yang kabur karena kelainan pada kornea mata permukaan lain dari mata, baik objek yang dekat
maupun jauh, akan hilang fokus.
b. Jenis dan penyebab gangguan penglihatan lainnya
1. Ocular Motility, ketidakmampuan mata untuk bergerak
2. Binocular Vision, merupakan proses yang rumit, membutuhkan penglihatan yang baik pada kedua mata, otot mata yang
normal, dan fungsi yang baik dalam mngkoordinasikan pusat
otak.
3. Strabismus, ketidakmampuan untuk fokus pada objek yang sama menggunakan kedua mata karena adanya deviasi dalam
4. Amblyopia, reduksi atau hilangnya penglihatan pada mata yang lemah akibat kurang digunakan maskipun tidak adanya
penyakit apapun.
5. Accomodation, mata tidak dapat mengatur dengan baik untuk melihat benda-benda dengan jarak yang berbeda-beda
6. Nystagamus, pergerakan bolak-balik dan cepat dari mata dengan arah yang lateral, vertikal ataupun rotasi.
7. Albinism, kurangnya pigmentasi pada mata, kulit dan rambut. 8. Phoyophobia, mata yang sangat sensitif terhadap sinar
matahari
9. Catarac, kaburnya lensa mata, sehingga menutupi cahaya yang perlu untuk melihat dengan baik.
10. Glaucoma, ditandai dengan adanya tekanan tinggi yang tidak normal pada mata.
11. Diabetic retinopathy, penyebab utama kebutaan untuk orang usia 20-64 tahun.
12. Retinitis pigmentosa (RP), kelainan retinal yang paling umum. Penyakit ini menyebabkan degenerasi bertahap dari retina.
13. Usher’s Syndrome, penyebab signifikan kebutaan dan tuli pada
remaja dan dewasa.
15. Retinopathy of Prematurity (ROP), dapat terjadi karena menaruh bayi dengan berat badan yang ringan ke dalam
inkubator dan memberikan oksigen dalam tingkat yang tinggi.
4. Layanan pendidikan untuk tuna netra
Berbicara tentang guru dari anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan,
orang sering terpikir tentang alat-alat khusus seperti Braille, alat perekam, dan sebagainya. Walaupun media dan material ini memiliki peran penting dalam
pendidikan anak dengan gangguan penglihatan, namun guru yang efektif harus
tahu lebih daripada hanya cara menggunakan peralatan tersebut. Banyak pendidik
dan psikolog yang telah menggambarkan halangan-halangan terhadap belajar oleh
gangguan penglihatan. (Heward, 1996)
Sebenarnya tidak ada batasan anak untuk berpartisipasi secara penuh dalam
program sekolah. Para pendidik harus memastikan bahwa murid dengan gangguan
penglihatan, didalamnya termasuk area noninstruksional, mereka yang belajar
dengan teman sebaya nonhandicapped, mereka yang memerlukan instruksi khusus, dan mereka yang diluar kurikulum sekolah yang penting agar bisa
berkompetisi dengan teman sebaya mereka ketika berannjak dewasa. Untuk dapat
mencapai tujuan ini, membutuhkan pendidik khusus yang menyediakan
dukungan, konsultasi dan materi untuk guru biasa yang memiliki murid dengan
Menurut Hardman, M.L. dkk (dalam Purwanto, 2007), strategi khusus dan
isi layanan pendidikan bagi anak tuna netra paling tidak meliputi 3 hal, yaitu:
a. Mobility training and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan dan orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan serta
latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan
pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan
membersihkan ruangan
b. Traditional curriculum content area, yaitu orientasi dan mobilitas, keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya, keterampilan berhitung.
dan
c. Communication media, yaitu penguasaan Braille dalam komunikasi.
Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw, (dalam Purwanto, 2007)
menyatakan bahwa layanan khusus bagi anak tuna netra meliputi:
a. Penguasaan Braille.
Penguasaan Braille yang dimaksud adalah kemampuan untuk menulis dan membaca Braille. Keterampilan menulis berkaitan dengan penggunaan alat tulis Braille, yaitu reglet, mesin ketik Braille; penelitian huruf, angka, kombinasi angka dan huruf, dan komputer Braille, sedangkan membaca lebih berkaitan dengan keterampilan membaca dari
b. Latihan orientasi dan mobilitas
Latihan orientasi dan mobilitas adalah jalan dengan pendamping awas,
latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan menggunakan alat bantu jalan
(tongkat dan sign guide). Selain itu juga perlu penguasaan latihan bantu diri di kamar mandi dan kamar mandi, di rung makan, kamar tidur,
dapur, ruang tamu, sampai mampu mandiri ke sekolah dan tempat yang
lain.
c. Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika,
meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa komsep
matematikan Braille.
d. Pembelajaran pendidikan jasmani bagai anak tuna netra.
Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tuna netra menggunakan
pendidikan jasmani adaptif. Adaptasi yang dilakukan berkaitan dengan
jenis kecacatan anak, kemampuan fisik anak, dan memodifikasi sarana
dan prasarana olah raga
C. Belajar dan Pembelajaran
1. Definisi
Belajar adalah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
Belajar dapat diartikan juga sebagai suatu proses yang kompleks yang
terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup dan adanya perubahan
tingkah laku dalam diri orang tersebut yang menyangkut perubahan yang
bersifat pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (psikomotorik) maupun yang
menyangkut nilai dan sikap (afektif).
Dalam proses belajar mengajar, akan terjadi interaksi antara peserta didik
dan pendidik, yaitu pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. (Hargenhahn & Olson, 2008). Peserta didik adalah salah satu
komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar
mengajar, sedangkan pendidik adalah salah satu komponen manusiawi dalam
proses belajar mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber
daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Mengajar adalah suatu
aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik–baiknya dan
menghubungkan dengan anak didik, sehingga terjadi proses belajar (Sadiman,
2001).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
Belajar sebagai proses atau aktivitas disyaratkan oleh banyak sekali
hal-hal atau faktor-faktor. Menurut Suryabrata (2002), faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar itu ada banyak, dan dapat diklasifikasikan sebagai
a. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dam dapat digolongkan
kembali menjadi dua golongan – dengan catatan bahwa overlapping tetap ada, yaitu:
1. Faktor-faktor non sosial dalam belajar
Kelompok faktor-fakor ini boleh dikatakan juga tak terbilang
jumlahnya, seperti keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu (pagi, siang
atau malam), tempat (letak), alat-alat yang dipakai untuk belajar (alat
tulis, buku, alat peraga, dan sebagainya).
Semua faktor-faktor yang telah disebutkan tersebut dan juga
faktor-faktor lain yang belum disebut, harus diatur sedemikian rupa
sehingga dapat membantu proses belajar secara maksimal. Letak sekolah
atau tempat belajar misalnya harus memenuhi syarat-syarat seperti di
tempat yang tidak terlalu dekat dengan kebisingan atau jalan ramai, dan
harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam ilmu
kesehatan sekolah. Demikian pula dengan alat-alat pelajaran yang
digunakan, harus diusahakan memenuhi syarat-syarat menurut
pertimbangan didaktis, psikologis maupun paedagogis.
2. Faktor-faktor sosial dalam belajar
Yang dimaksud dengan faktor-faktor sosial disini adalah faktor
manusia (sesama manusia), baik manusia itu ada (hadir) maupun
kehadirannya itu dapat disimpulkan. Sehingga tidak langsung hadir.
Kehadiran orang lain pada waktu seseorang sedang belajar, banyak sekali
mengerjakan ujian, kemudian terdengar banyak anak-anak lain
bercakap-cakap di sanping kelas, atau seseorang sedang belajar di kamar. Selain
kehadiran langsung, ada juga yang disebut dengan kehadiran tidak
langsung, misalnya saja potret dapat merupakan representasi dari
seseorang; suara nyanyian yang sedang diputar lewat radio maupun tape rcorder juga dapat merupakan representasi kehadiran seseorang. Faktor-faktor sosial seperti itu pada umumnya mengganggu konsentrasi dan
dapat mempengaruhi proses belajar dan prestasi belajar
b. Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri si pelajar, dan dapat digolongkan
kembali menjadi dua golongan, yaitu:
1. Faktor-faktor fisiologis dalam belajar
Faktor fisiologis ini masih dapat dibedakan lagi menjadi dua
macam yaitu:
1.1. Keadaan jasmani pada umumnya
Keadaan jasmani pada umumnya ini dapat dikatakan
melatarbelakangi aktivitas belajar; keadaan jasmani yang segar akan
lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar;
keadaan jasmani yang lelah lain pengaruhnya dengan yang tidak
lelah. Dalam hubungan dengan hal ini ada dua hal yang perlu
dikemukakan,
a. Nutrisi harus cukup, karena kekurangan kadar makanan akan
mengakibatkan kurangnya kesehatan jasmani, yang pengaruhnya
b. Beberapa penyakit yang kronis sangat mengganggu proses
belajar. Penyakit-penyakit seperti pilek, influensa, sakit gig, batuk
dan yang sejenisnya sering diabaikan dan dipandang tidak cukup
serius untuk mendapatkan perhatian dan pengobatan. Akan tetapi,
dalam kenyataannya, penyakit semacam ini dapat mengganggu
aktivitas belajar.
1.2. Keadaan fungsi jasmani tertentu terutama fungsi panca indera
Panca indera dapat dimisalkan sebagai pintu gerbang masuknya
pengaruh ke dalam individu. Orang mengenal dunia sekitarnya dan
belajar dengan mempergunakan panca inderanya. Fungsi panca
indera yang baik merupakan syarat utama agar proses belajar
berjalan dengan baik. Dalam sistem sekolah dewasa, dari seluruh
panca indera yang ada, yang paling memegang peranan dalam
belajar adalah mata dan telinga. Karena itu, adalah menjadi
kewajiban bagi setiap pendidik untuk menjaga agar panca indera
anak didiknya dapat berfungsi dengan baik, baik penjagaan yang
bersifat kuratif maupun preventif, seperti pemeriksaan dokter secara
periodik, penyediaan alat-alat pelajaran serta perlengkapan yang
memenuhi syarat, penempatan murid-murid secara baik di dalam
kelas, dan sebagainya,
2. Faktor-faktor psikologis dalam belajar
Arden N. Frandsen (dalam Suryabrata, 2002) mengatakan bahwa
a. adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas
b. adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk
selalu maju
c. adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru
dan teman-teman
d. adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan
usaha yang baru, baik dengan kerjasama maupun kompetisi
e. adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai
pelajaran
f. adanya ganjaran atau hukuman
Maslow mengemukakan motif-motif untuk belajar adalah
a. adanya kebutuhan fisik
b. adanya kebutuhan akan rasa aman, bebas dari kekhawatiran
c. adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan dalam hubungan
dengan orang lain
d. adanya kebutuhan untuk mendapatkan kehormatan dari masyarakat
e. sesuai dengan sifat untuk mengemukakan atau mengetengahkan diri
Apa yang telah dikemukakan hanya sekedar penyebutan sejumlah
kebutuhan-kebutuhan saja, yang tentu dapat ditambah lagi.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terlepas satu sama lain, melainkan sebagai suatu
kesatuan yang mendorong proses belajar individu. Kompleksitas
Selanjutnya, suatu pendorong yang biasanya besar pengaruhnya dalam
belajar anak adalah cita-cita. Cita-cita merupakan pusat dari
bermacam-macam kebutuhan, dimana kebutuhan-kebutuhan tersebut biasanya
disentralisasikan disekitar cita-cita tersebut, sehingga dorongan itu mampu
memobilisasikan energi psikis untuk belajar.
D. Sistem Pendidikan Tinggi
Berdasarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan tinggi terdiri atas Pendidikan Akademik,
yang memiliki fokus dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan Pendidikan Vokasi,
yang menitikberatkan pada persiapan lulusan untuk mengaplikasikan keahliannya.
Institusi Pendidikan Tinggi yang menawarkan pendidikan akademik dan vokasi
dapat dibedakan berdasarkan jenjang dan program studi yang ditawarkan seperti
akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
1. Akademi dan Politeknik
Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan program
pendidikan vokasi dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan,
teknologi atau kesenian tertentu. Sedangkan Politeknik adalah perguruan tinggi
yang menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam sejumlah
bidang pengetahuan khusus. Kedua bentuk pendidikan ini menyediakan
pendidikan pada level diploma. Contoh pendidikan tinggi seperti ini adalah
Akademi Bahasa dan Politeknik Pertanian.
Sekolah Tinggi adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
vokasi dan akademik dalam lingkup satu disiplin ilmu pengetahuan, teknologi
atau kesenian tertentu. Oleh karena itu, sekolah tinggi ini menawarkam
pendidikan baik pada level diploma maupun sarjana. Namun, ketika sebuah
sekolah tinggi memenuhi persyaratan, mereka dapat menawarkam pendidikan
tingkat lanjut setelah level sarjana. Sekolah Tinggi Ilmu Komputer merupakan
salah satu contoh dari jenis pendidikan tinggi ini.
3. Institut dan Universitas
Kedua institusi ini merupakan perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan
tinggi yang mengarah kepada level sarjana. Institut menawarkan pendidikan
akademik dan/atau vokasi dalam kelompok disiplin ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau seni tertentu. Disisi lain, Universitas menawarkan
pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam berbagai kelompok disiplin ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau seni. Institusi pendidikan tinggi ini dapat juga
melayani pendidikan pada level profesional. Institut Seni adalah salah satu
contohnya.
4. Jenjang Pendidikan dan Syarat Belajar
Institusi pendidikan tinggi menawarkan berbagai jenjang pendidikan baik
berupa pendidikan akademis maupun pendidikan vokasi. Perguruan tinggi yang
memberikan pendidikan akademis dapat menawarkan jenjang pendidikan
Sarjana. Program Profesi, Magister (S2), Program Spesialis (SP) dan Program
Doktoral. Sedangkan pendidikan vokasi menawarkan program Diploma I, II,
Untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana (S1), seorang mahasiswa
diwajibkan untuk mengambil 144 – 160 Satuan Kredit Semester (SKS) yang
diambil selama delapan sampai dua belas semester. Pada jenjang S2 atau
Program Pasca Sarjana, seorang mahasiswa harus menyelesaikan 39 sampai 50
SKS selama kurun waktu empat sampai sepuluh semester dan 79 sampai 88
SKS harus diselesaikan dalam jangka waktu delapan sampai empat belas
semester bagi program doktoral.
5. Metode Pembelajaran dan Jadwal Akademik
Pendidikan tinggi dapat diterapkan dalam beberapa bentuk: reguler atau tatap
muka dan pendidikan jarak jauh. Pendidikan reguler diterapkan dengan
menggunakan komunikasi langsung diantara dosen dan mahasiswa, sedangkan
pendidikan jarak jauh dilaksanakan dengan menggunakan berbagai jenis media
komunikasi seperti surat menyurat, audio/video, televisi dan jaringan
komputer.
Baik pendidikan reguler maupun pendidikan jarak jauh memulai aktivitas
akademis atau jadwal akademik pada bulan September setiap tahunnya. Satu
tahun akademik terbagi atas minimal dua semester yang terdiri dari
setidak-tidaknya 16 minggu. Institusi pendidikan tinggi juga dapat melangsungkan
semester pendek diantara dua semester reguler.
Penerimaan mahasiswa pada perguruan tinggi didasarkan atas beberapa
persyaratan dan prosedur serta objek penyeleksian yang tidak diskriminatif.
Penerimaan mahasiswa merupakan tanggung jawab dari masing-masing
perguruan tinggi.
Calon mahasiswa D1, D2, D3, D4 dan S1 harus menamatkan pendidikan
menengah atas atau yang sederajat dan lulus pada ujian masuk masing-masing
perguruan tinggi. Kandidat mahasiswa S2 harus memiliki ijazah Sarjana (S1)
atau yang sederajat dan lulus ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Untuk S3,
mahasiswa harus memiliki ijazah S2 atau yang sederajat dam lulus seleksi
masuk.
E. Resiliensi Akademik Terhadap Proses Belajar Pada Mahasiswa Tuna
Netra
Penyandang tuna netra merupakan salah satu bagian dari anak berkebutuhan
khusus, dimana dapat disandang sejak lahir maupun pasca lahir. Semua
penyandang tuna netra membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Hallahan & Kauffman, 1991).
Sama halnya dengan para anak normal lainnya, para tuna netra juga
memiliki berbagai hambatan dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan lebih berat.
Salah satu bentuk hambatan yang dimaksud termasuk dalam proses belajar. Oleh
sebab itu dibutuhkan strategi layanan pembelajaran yang tepat untuk dapat
menggali potensi dirinya.
Dalam proses belajar, kemampuan individu untuk melihat adalah sangat
penting. Hal ini sesuai dengan teori persepsi yang menyatakan bahwa persepsi
visual yang merupakan topik utama dalam pembahasan persepsi secara umum.
kesan-kesan sensorisnya guna memberikan arti bagi lingkungannya. Persepsi visual
adalah kemampuan manusia untuk menginterpretasikan informasi yang ditangkap
oleh mata. Hasil dari persepsi ini disebut sebagai penglihatan (eyesight, sight atau
vision), dan sangat berperan penting dalam proses belajar (Robbins, 2003).
Saat seorang individu mengalami kebutaan, ada banyak dampak yang
ditimbulkan oleh kebutaan tersebut yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang
serta perilaku individu tersebut. Beberapa hal diantaranya adalah dalam aspek
kognitif, motorik, emosi dan sosial. Ketika aspek-aspek ini terganggu, maka akan
merentet pada terganggunya atau menurunnya performa, perilaku ataupun fungsi
hal-hal yang lain (Lownfeld, 2005).
Dalam hal belajar, aspek kognitif sangat berperan penting. Namun pada tuna
netra, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya tidak dapat diperoleh
secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif anak tuna netra cenderung
terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak karena tidak dibantu
dengan pengamatan visual, begitu pula dengan perkembangan keterampilan
akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Terganggunya kognisi
seseorang juga akan mempengaruhi atensinya (Stenberg, 2006).
Dalam psikologi pendidikan, belajar merupakan proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya (Slameto, 2003). Pembelajaran yang diperoleh di institusi formal
juga termasuk dalam bagian belajar. Pembelajaran merupakan suatu proses
belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat
terjadi proses belajar yang baik bagi peserta didik (Hergenhahn & Olson, 2008).
Bagi mahasiswa tuna netra, fasilitas dan sistem pembelajaran yang
disediakan oleh Perguruan Tinggi tentu tidak memenuhi kebutuhan mereka dalam
proses belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Ishartiwi (1991), mengenai
pendekatan pembelajaran bagi tuna netra menyatakan perlunya diterapkan prinsip
verbal maupun lisan, pengalaman konkrit maupun kontak langsung, dan stimulasi.
Langkah dalam intervensi meliputi pemeriksaan, penglihatan, asesmen kesiapan
fisik, emosi dan intelektual, serta asessmen kemampuan aktivitas sehari-hari,
pelatihan orientasi mobilitas, dan latihan indera non-visual serta latihan
pra-membaca dan pra-membaca Braille.
Jika para mahasiswa tuna netra tidak mendapatkan pendekatan
pembelajaran yang tepat, maka besar kemungkinan tuna netra akan menghadapi
kesulitan di Perguruan Tinggi, karena tidak tersedianya layanan khusus dan
strategi pembelajaran yang sesuai. Perbedaan konsep belajar di sekolah dan
perkuliahan akan membutuhkan penyesuaian diri setiap siswa, baik tuna netra
maupun yang normal. Walaupun demikian, bagi mahasiswa tuna netra, hal ini
dapat menjadi tantangan yang sangat besar, apalagi jika individu tersebut belum
pernah merasakan bersekolah di sekolah reguler (Suryaningsih, 2011).
Kepekaan inderawi sangat dibutuhkan dalam proses belajar. Tidak hanya
penglihatan, namun juga pendengaran, perabaan, serta kemampuan untuk
berbicara (Depdiknas, 2003). Dalam hal ini, tuna netra memiliki keterbatasan
maupun tekanan yang dihadapi tersebut dapat mempengaruhi mereka secara
negatif dan memberikan dampak buruk terhadap studi bahkan perilaku mereka.
Namun, yang menarik adalah bahwa pada kenyataannya tidak semua mahasiswa
tuna netra berujung pada negatifitas dan kemunduran. Kondisi kebutaan yang
dimiliki oleh setiap mahasiswa tuna netra tidak sama, sehingga kemampuan untuk
bertahan juga akan berbeda-beda. Kualitas ini yang dinamakan “resiliensi”.
Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan
meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau
kesengasaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan
ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu
masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 1998). Revich dan Shatte (1999) juga
menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan
produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk
mengelola tekanan hidup sehari-hari. Dalam ruang lingkup akademik, resiliensi
akademik diperlukan, yaitu kemampuan untuk bangkit kembali, beradaptasi
dengan sangat baik melawan kesulitan-kesulitan dan mampu mengembangkan
kompetensi sosial akademis dan vocationalnya (Rirkin dan Hoopman dalam Henderson, 2003).
Mahasiswa tuna netra yang ingin tetap bertahan dan terus maju menjadi
lebih baik akan memiliki resiliensi yang kuat. Namun tanpa adanya resiliensi
tersebut, maka akan sulit bagi mereka untuk bisa bertahan. Pada dasarnya,
masing-masing orang memiliki kemampuan resiliensi tersebut (Grotberg, 1995),
kemampuan dasar dan proses tahapan resiliensi (Reivich dan Shatte, 1999) yang
dimiliki untuk dapat bertahan, akan berbeda-beda, karena pada dasarnya setiap
F. Paradigma Teoritis
(Richardson, dkk 2003)
(Bagan 3) Tuna netra di Perguruan Tinggi
Hambatan dan
Eksternal Faktor Resiko > Faktor Protektif