• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi Akademik 1. Resiliensi - Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi Akademik 1. Resiliensi - Resiliensi Akademik pada Proses Pembelajaran Mahasiswa Tuna Netra"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Resiliensi Akademik

1. Resiliensi

Shatte dan Revich (2002) menyebutkan bahwa resiliensi adalah kemampuan

untuk berespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi rintangan atau

trauma. Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2003) resiliensi adalah sikap ulet

dan tahan banting yang dimiliki seseorang ketika dihadapkan dengan keadaan

yang sulit.

Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk

menghadapi, mengatasi, menjadi kuat ketika menghadapi rintangan dan

hambatan. Resiliensi bukan merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan

pada sebagian manusia dan bukan merupakan sesuatu yang berasal dari sumber

yang tidak jelas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjadi resilience

(resilien) dan setiap orang mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan

dan hambatan dalam hidupnya.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi

adalah kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi rintangan dan

(2)

2. Resiliensi Akademik

a. Definisi

Secara umum, resiliensi dapat dimanfaatkan oleh setiap individu dalam

melawan berbagai problematika hidup. Namun jika berbicara dalam ruang lingkup

akademis, resiliensi dapat lebih dispesifikkan menjadi resiliensi akademik.

Resiliensi akademik berfokus pada peserta didik dan pendidik, dimana

banyak ditemukan di institusi pendidikan seperti sekolah dan Perguruan Tinggi.

Resiliensi ini merupakan sebuah karakteristik yang memiliki

perbedaan-perbedaan pada setiap orang dan dapat semakin meningkat ataupun menurun

seiring berjalannya waktu (Henderson, 2003).

Menurut Rirkin dan Hoopman (dalam Henderson, 2003), berkaitan dengan

pengembangan resiliensi dalam lingkungan belajar, resiliensi akademik

didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk bangkit, pulih, dan berhasil

beradaptasi dalam kesulitan, dan mengembangkan kompetensi sosial, akademik

dan keterampilan, terlepas dari tingkat stress yang dihadapinya.

b. Model Resiliensi

Richardson, Neiger, Jensen & Kumpfer (dalam Henderson, 2003)

membentuk sebuah model resiliensi yang menunjukkan bahwa ketika seorang

individu mengalami kesulitan, pada umumnya individu tersebut akan memiliki

karaktersitik internal dan eksternal berupa faktor-faktor protektif, yang akan dapat

mengurangi faktor resiko (kesulitan-kesulitan) yang dihadapi. Dengan “proteksi”

yang cukup, individu tersebut akan mampu beradaptasi terhadap kesulitan itu

(3)

dapat beralih ke zona nyaman atau yang disebut homeostatis, atau bahkan dapat lebih meningkat pada level resiliensi yang lebih tinggi karena adanya

pembentukan kekuatan emosional dan mekanisme coping yang sehat selama proses mengatasi faktor-faktor resiko tersebut. Di lain pihak, tanpa adanya

proteksi yang cukup, seorang individu dapat langsung terjerumus dalam gangguan

psikologis, dan kemudian seiring waktu keluar dari gangguan tersebut. Namun

perlu dicatat, ketersediaan faktor-faktor protektif individulah yang akan

mengarahkan individu tersebut pada tipe reintegrasi yang mereka alami.

Reintergrasi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti penyalahgunaan

alkohol, narkoba, percobaan bunuh diri, ataupun karakteristik-karakteristik negatif

lainnya, dan pada akhirnya dapat berujung pada reintegrasi yang buruk atau baik.

Model resilliensi pada gambar 1 menunjukkan bahwa adversitas tidak

secara otomatis mengarahkan individu pada disfungsi, namun juga dapat menuju

sejumlah outcome lainnya, dan bahkan seiring waktu dapat meningkatkan kemampuan resiliensi seseorang, seiring berjalannya waktu. Richardson (dalam

Henderson, 2003) mengatakan bahwa resiliensi ini dapat diterapkan dalam setiap

orang, dan bahwa ini merupakan sebuah proses dalam hidup.

Lingkungan juga sangat penting terhadap resiliensi individu dalam dua hal.

Pertama, faktor-faktor protektif internal yang membantu individu menjadi resilien

dihadapan stressor dan tantangan, sering kala merupakan dampak dari kondisi

lingkungan yang mengembangkan karakteristik ini. Kedua, selain stressor dan tantangan yang dihadapi individu, lingkungan juga berkontribusi dalam reaksi

(4)

Bagan 1 Model resiliensi

(Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk dalam Henderson & Milstein, 2003)

c. Karakteristik Individu yang Resilien

Anak yang resilien dan orang dewasa yang resilien pada umumnya

tampaknya sama. Bernard (1991) menyatakan karakter anak yang resilien adalah

memiliki kompetensi sosial, memiliki life skills seperti mampu memecahkan masalah, mampu berpikir kritis, dan mampu untuk mengambil inisiatif. Lebih

Stressors Adversity

Risks

Individual and Environmental Protective Factors

Disruption Reintegration

(5)

jauh lagi dikatakan bahwa anak yang resilien memiliki sense of purpose dan dapat melihat masa depan yang cerah pada dirinya. Mereka memiliki ketertarikan

khusus, tujuan hidup, dan motivasi untuk meraih yang terbaik dalam sekolah.

Higgins (dalam Henderson 2003) memberi karakter yang hampir serupa

pada orang dewasa yang resilien, dengan menekankan pada hubungan positif

mereka, kemampuan baik dalam memecahkan masalah, dan motivasi untuk

peningkatan diri. Motivasi pendidikan juga sangat jelas terlihat pada orang

dewasa, yang dibuktikan dengan pencapaian pendidikannya. Orang dewasa sering

dengan sengaja melibatkan diri dalam perubahan dan aktivitas sosial dan secara

umum memiliki keyakinan serta kehidupan spiritual dan keagamaan. Kebanyakan

dari orang dewasa yang resilien mampu menunjukkan kemampuan mereka dalam

mengambil hikmah dan kebaikan dari segala stres, trauma dan tragedi yang

pernah dialami. Walau demikian, Higgins juga menggarisbawahi bahwa banyak

orang dewasa yang merasa dirinya resilien mengatakan bahwa ketika mereka

masih anak-anak, kurang menyadari adanya resiliensi dalam diri mereka ataupun

orang lain, pada masa kanak-kanaknya (Henderson, 2003).

d. Faktor-faktor Protektif Internal dan Eksternal

Berdasarkan yang dikemukakan oleh Richardson (dalam Henderson, 2003),

Faktor Protektif Internal adalah karakteristik individu yang membentuk resiliensi:

1. Bersedia melayani orang lain

(6)

3. Sosialibilitas; kemampuan untuk menjadi teman; kemampuan untuk

membetuk hubungan yang postitf

4. Memiliki selera humor

5. Internal locus of control

6. Otonomi; kemandirian

7. Memiliki sudut pandang positif tentang masa depan

8. Fleksibilitas

9. Memiliki kapasitas untuk belajar

10. Motivasi diri

11. Memiliki keahlian; kompetensi personal

12. Memiliki perasaan self-worth dan kepercayaan diri

Faktor Protektif Eksternal adalah karakteristik keluarga, sekolah, komunitas dan

kelompok teman sebaya yang mengembangkan resiliensi:

1. Memiliki ikatan yang kuat

2. Menjunjung tinggi pendidikan

3. Menggunakan gaya interaksi yang penuh kehangatan dan tidak

menghakimi

4. Membuat batasan-batasan yang jelas (peraturan, norma dan hukum)

5. Mendorong hubungan yang supportif dengan orang lain

6. Melestarikan tanggung jawab, saling melayani, “required

helpfullness”

7. Menyediakan akses akan kebutuhan dasar rumah tangga, pekerjaan,

(7)

8. Menunjukkan harapan kesuksesan yang tinggi dan realistis

9. Mendorong pembuatan tujuan dan mastery

10. Mendorong perkembangan prososial akan nilai-nilai (misalnya

altruisme) dan life skills (misalnya kerja sama)

11. Menyediakan kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan

kesempatan-kesempatan lain untuk partisipasi yang berarti.

12. Menghargai talenta unik dari masing-masing individu

e. Tahapan Mengembangkan Resiliensi

Teori resiliensi dan faktor resiko menekankan bahwa sekolah merupakan

lingkungan yang penting dalam mengembangkan kemampuan individu untuk

bangkit dari kesulitan, beradaptasi terhadap tekanan dan masalah-masalah yang

dihadapi, dan juga mengembanagkan kompetensi-kompetensi sosial, akademik

dan keterampilan, yang sangat diperlukan dalam hidup. Penelitian para ahli telah

menunjukkan bahwa sekolah, keluarga dan juga komunitas dapat menyediakan

faktor-faktor protektif lingkungan dan kondisi-kondisi yang mengembangkan

faktor protektif individual. Hal ini membentuk sebuah strategi berupa 6 tahapan

dalam mengembangkan resiliensi di sekolah (dapat dilihat pada gambar 2).

1. Meningkatkan bonding. Hal ini melibatkan peningkatan hubungan diantara individu dengan orang atau kegiatan yang bersifat prosocial

dan juga didasarkan pada bukti bahwa siswa dengan ikatan positif

yang kuat lebih kecil kemungkinannya melakukan perilaku beresiko

(8)

pada ikatan siswa terhadap sekolah dan pencapaian akademik

dengan menyesuaikan gaya belajar yang disukai siswa.

2. Menetapkan batasan-batasan yang jelas dan konsisten. Ini

melibatkan pengembangan dan implementasi yang konsisten dari

peraturan sekolah dan prosedur-prosedur serta menegaskan

pentingnya ekspektasi perilaku. Ekspektasi ini termasuk

menjelaskan tentang perilaku beresiko bagi siswa dan harus

dikomunikasikan secara jelas beserta dengan konsekuensinya.

3. Mengajarkan life skills. Ini termasuk kerjasama, resolusi konflik yang sehat, ketahanan dan kemampuan asertivitas, kemampuan

komunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan pengambilan

keputusan, serta manajemen stress yang sehat. Jika

kemampuan-kemampuan ini diajarkan dengan benar kepada siswa, akan dapat

menolong siswa untuk jauh dari permasalahan remaja khususnya

rokok, alkohol dan obat-obatan terlarang. Kemampuan-kemampuan

ini juga dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses

pembelajaran siswa di sekolah.

4. Menyediakan kepedulian dan dukungan. Hal ini termasuk

memberikan penghargaan dan dorongan yang positif dan ikhlas.

Pada gambar 2, bagian ini diarsir, untuk menunjukkan bahwa elemen

ini merupakan yang terpenting dalam membangun resiliensi.

Bahkan, hampir mustahil untuk mampu “mengatasi” kesulitan tanpa

(9)

Guru, tetangga dan pekerja-pekerja muda juga sering

menunjukkannya, begitu pula dengan elemen-elemen lain dari

mengembangkan resiliensi. Teman sebaya dan hewan peliharaan

juga dapat berperan sebagai pembangun resiliensi bagi orang dewasa

dan anak-anak.

5. Menetapkan ekspektasi yang tinggi. Ekspektasi individu harus tinggi

dan realistis agar dapat menjadi motivator yang efektif. Walaupun

demikian, banyak anak-anak di sekolah, terutama mereka yang

diberikan banyak label di sekolah, mengalami ekspektasi yang rendah dan juga memiliki ekspektasi yang rendah untuk dirinya.

Pihak sekolah juga mengatakan bahwa hal ini juga berlaku bagi

orang dewasa di sekolah, yang memiliki kemampuan dan potensial

yang kurang dianggap.

6. Menyediakan peluang untuk keterlibatan yang berguna. Strategi ini

berarti memberikan banyak tanggung jawab kepada siswa, keluarga

mereka, dan staff untuk hal-hal yang terjadi di sekolah, memberikan

peluang bagi mereka untuk memecahkan masalah, mengambil

keputusan, merencanakan, menetapkan tujuan dan membantu

(10)

Bagan 2

Profil Siswa dengan karakteristik Resiliensi (Sumber: Adaptasi dari Richardson dkk

dalam Henderson & Milstein, 2003) Provide

Connects with at least one of the many caring adults in school.

Is involved with some of the many before-, after-, and in school activities.

Is engaged in cooperative peer-to-peer interactions through teaching strategies and/or school programs.

 Is positively connected to learning

 Believe voice is heard in classroom/ school decision.

 Participates in helping others through cooperative learning, service learning, peer helping, or other avenues.

 Exhibits a sense of self-efficacy in taking on new challenges

Recieves ongoing instruction in life skills appropriate to developmental level.

 Has integrated the skills so assertiveness, refusal skills, healthy conflict resolution, good decision making and problem solving, and healthy stress management are practced most of the time.

Feels that school is a caring place

 Has a sense of belonging

 Experiences school as a community

Sees many ways to be recognized

(11)

B. Tuna Netra

1. Definisi dan Klasifikasi Tuna Netra

Tuna netra atau seseorang dengan keterbatasan penglihatan (visual impairment) adalah seseorang yang hanya memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih kecil pada mata yang telah dikoreksi (misalnya dengan kacamata), atau

ketajaman penglihatannya lebih baik dari 20/200, namun jangkauan pandangnya

menyempit sedemikian rupa sehingga membentuk sudut pandang tidak lebih besar

dari 20 derajat. Ketajaman visual 20/200 memiliki arti dimana seseorang tersebut

dapat melihat sejauh 20 kaki sedangkan orang berpenglihatan normal dapat

melihat sejauh 200 kaki. (Hallahan & Kauffman, 1991)

Somantri (2006) mengungkapkan bahwa pengertian tuna netra adalah

individu yang kedua indera penglihatannya tidak berfungsi sebagaimana halnya

individu berpenglihatan normal memilikinya sebagai penerima informasi.

Individu dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:

a. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang

berpenglihatan normal

b. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu

c. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak

d. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan

(12)

Hallahan & Kauffman (1991) menggolongkan tuna netra menjadi dua

macam, yaitu:

a. Blind (Buta)

Seseorang dikatakan buta jika ia sama sekali tidak mampu menerima

rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)

b. Low vision (Penglihatan rendah)

Seseorang dikatakan memilki low vision ketika masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih kecil dari 20/200.

Misalnya saja, ia hanya mampu membaca headline pada surat kabar.

Dengan demikian, pengertian tuna netra adalah individu yang indera

penglihatannya baik sebagian atau tidak berfungsi secara menyeluruh, sebagai

saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari layaknya orang

berpenglihatan normal atau dengan kata lain orang yang memiliki ketajaman

penglihatan kurang dari 20/200 dan setelah diberikan pertolongan khusus masih

memerlukan layanan khusus.

2. Ciri-ciri dan Karakteristik Tuna Netra

Individu yang memiliki gangguan penglihatan tentu memiliki ciri-ciri.

Irham Hosni (dalam Ishartiwi, 1998) menyebutkan ciri-ciri untuk mengenali tuna

netra yaitu:

a. Seseorang yang hanya mengenal bentuk dan objek (sedikit sisa

penglihatan)

(13)

c. Tidak dapat melihat tangan yang digerakkan

d. Seseorang yang hanya dapat menunjuk sumber cahaya

e. Seseorang yang tidak memiliki persepsi cahaya (buta total)

Somantri (2006) mengemukakan karakteristik tuna netra yang sangat

bervariasi dalam empat aspek, yang ditinjau sejak kapan individu mengalami

ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya dan

bagaimana tingkat pendidikannya.

a. Aspek kognitif

Indera penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam

menerima informasi yang datang dari luar. Melalui indera penglihatan,

seseorang mampu melakukan pengamatan pada dunia sekitarnya sehingga

menimbulkan kesan atau persepsi pada rangsang tersebut. Melalui berbagai

pengamatan, individu akan semakin kaya pengetahuannya, tidak terbatas pada

penjelasan verbal melainkan penghayatan lebih dengan mengamati berbagai

aspek dari objek secara langsung.

Pada tuna netra, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya

tidak dapat diperoleh secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif tuna

netra cenderung terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak

karena tidak dibantu dengan pengamatan visual. Individu tuna netra

cenderung mengandalkan indera pendengaran sebagai sumber penerima

informasi, oleh karena itu pengertian yang diperoleh pun terbatas pada

(14)

merupakan konsep yang dipahami secara verbal saja oleh individu tuna netra

(Somantri, 2006).

Pada individu tuna netra, umumnya mereka berpegang teguh pada

pendapatnya karena secara visual mereka tidak mampu menggunakan teknik

akomodasi dan asimilasi dalam mengubah struktur kognitifnya yang sudah

terbentuk sebelumnya. Selain itu, tanpa kemampuan pengamatan yang baik,

individu dapat mengalami kesulitan dalam melakukan pengklasifikasian

objek terutama jika mengacu pada bentuk, warna, ruang dan lainnya.

Lowenfeld (dalam Somantri, 2006) mengemukakan banyak hal tentang

bagaimana pengaruh ketunanetraan terhadap proses-proses kognitif seperti

persepsi ruang, synthesia, ketajaman sensori, daya ingat, kreativitas, inteligensi, prestasi akademik, kemampuan bicara dan kemampuan membaca.

Taraf kecerdasan tuna netra pada dasarnya tidak berbeda dengan

individu berpenglihatan normal, yaitu bagaimana individ tuna netra mengolah

dan menganalisa informasi dari lingkungan. Yang berbeda adalah

hambatannya dalam menerima informasi, persepsi dan konsepnya.

b. Aspek Motorik

Perkembangan motorik tuna netra cenderung lambat dibandingkan

dengan individu berpenglihatan normal pada umumnya. Keterlambatan ini

terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya

(15)

Keterbatasan mereka dalam melakukan pengamatan secara visual

biasanya membuat individu tuna netra memiliki hambatan dalam penyesuaian

terhadap lingkungan yang baru dan menghindari untuk melakukan eksplorasi

atau mobilitas ke tempat-tempat yang masih asing. Selain itu, biasanya mereka

mengalami hambatan dalam motorik kasar seperti melompat maupun motorik

halus seperti menggengan benda, terutama dalam ukuran kecil.

c. Aspek Emosi

Kematangan emosi ditunjukkan dengan adanya keseimbangan dalam

mengendalikan emosi baik yang menyenangkan maupun tidak. Terdapat

beberapa variabel yang berperan dalam perkembangan emosi yaitu

oragnisme yang mencakup perubahan-perubahana fisiologis ketika

seseorang mengalami emosi, stimulus atau rangsangan yang menimbulkan

emosi dan respon terhadap rangsangan emosi yang datang dari lingkungan.

Pengaruh belajar dari lingkungan memiliki peranan yang besar dalam

perkembangan emosi ini karena melalui proses pengamatan dan imitasi

seorang individu belajar bagaimana emosi dan pengekspresian.

Pada individu tuna netra, yang memiliki keterbatasan dalam

pengamatan, cenderung mengalami hambatan dalam mengeksprsikan emosi

secara tepat karena mereka tidak dapat melakukan pengamatan secara

optimal terhadap rangsang emosi dan pengekspresian di lingkungan

sehingga proses belajar melalui imitasi jadi terhambat. Karena hal tersebut,

sering sekali ekspresi seorang tuna netra dinyatakan secara verbal. Hal ini

(16)

bahasa pada individu. Meskipun demikian, sebaiknya lingkungan tetap

mengajarkan bagaimana mengekspresikan emosi secara non-verbal, baik

mimik muka maupun gerak tubuh.

d. Aspek Sosial

Perkembangan sosial berarti individu memiliki seprangkat

kemampuan untuk bertingkah laku sosial sesuai dengan tuntutan

masyarakat. Pada individu tuna netra, perkembangan sosialnya sangat

tergantung pada perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan

keluarga. Jika keluarga memiliki sikap postif terhadap anak tuna netra,

maka perasaan harga diri pun akan lebih positif dan ini akan menimbulkan

rasa percaya diri untuk menghadapi lingkungan lainnya. Hambatan dalam

belajar sosial biasanya berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk

memahami perasaan orang lain dan hmabatan dalam melakukan imitasi dan

identifikasi perilaku, emosi dan nilai-nilai masyarakat.

Sukini Pradopo (dalam Somantri, 2006) mengemukakan gambaran

sifat tuna netra diantaranya ragu-ragu, rendah diri dan curiga pada orang

lain. Sedangkan Sommer menyatakan bahwa tuna netra cendeung memiliki

sifat-sifat yang berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri

(17)

3. Jenis dan penyebab gangguan penglihatan (Visual Impairment)

a. Refractive Errors

1. Refractive errors, dapat diperbaiki dengan menggunakan kacamata atau kontak lens, tapi jika cukup parah dapat

mengakibatkan gangguan visual permanen

2. Myopia, mata lebih besar daripada normal, dari depan ke belakang. Benda yang diteruskan ke retina hilang fokus. Dapat

melihat benda dekat dengan jelas, namun kesulitan melihat

benda yang jauh.

3. Hyperopia, kebalikan dari myopia, jelas dalam melihat benda yang jauh namun kesulitan untuk melihat benda yang dekat

4. Astigmatism, penglihatan yang kabur karena kelainan pada kornea mata permukaan lain dari mata, baik objek yang dekat

maupun jauh, akan hilang fokus.

b. Jenis dan penyebab gangguan penglihatan lainnya

1. Ocular Motility, ketidakmampuan mata untuk bergerak

2. Binocular Vision, merupakan proses yang rumit, membutuhkan penglihatan yang baik pada kedua mata, otot mata yang

normal, dan fungsi yang baik dalam mngkoordinasikan pusat

otak.

3. Strabismus, ketidakmampuan untuk fokus pada objek yang sama menggunakan kedua mata karena adanya deviasi dalam

(18)

4. Amblyopia, reduksi atau hilangnya penglihatan pada mata yang lemah akibat kurang digunakan maskipun tidak adanya

penyakit apapun.

5. Accomodation, mata tidak dapat mengatur dengan baik untuk melihat benda-benda dengan jarak yang berbeda-beda

6. Nystagamus, pergerakan bolak-balik dan cepat dari mata dengan arah yang lateral, vertikal ataupun rotasi.

7. Albinism, kurangnya pigmentasi pada mata, kulit dan rambut. 8. Phoyophobia, mata yang sangat sensitif terhadap sinar

matahari

9. Catarac, kaburnya lensa mata, sehingga menutupi cahaya yang perlu untuk melihat dengan baik.

10. Glaucoma, ditandai dengan adanya tekanan tinggi yang tidak normal pada mata.

11. Diabetic retinopathy, penyebab utama kebutaan untuk orang usia 20-64 tahun.

12. Retinitis pigmentosa (RP), kelainan retinal yang paling umum. Penyakit ini menyebabkan degenerasi bertahap dari retina.

13. Usher’s Syndrome, penyebab signifikan kebutaan dan tuli pada

remaja dan dewasa.

(19)

15. Retinopathy of Prematurity (ROP), dapat terjadi karena menaruh bayi dengan berat badan yang ringan ke dalam

inkubator dan memberikan oksigen dalam tingkat yang tinggi.

4. Layanan pendidikan untuk tuna netra

Berbicara tentang guru dari anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan,

orang sering terpikir tentang alat-alat khusus seperti Braille, alat perekam, dan sebagainya. Walaupun media dan material ini memiliki peran penting dalam

pendidikan anak dengan gangguan penglihatan, namun guru yang efektif harus

tahu lebih daripada hanya cara menggunakan peralatan tersebut. Banyak pendidik

dan psikolog yang telah menggambarkan halangan-halangan terhadap belajar oleh

gangguan penglihatan. (Heward, 1996)

Sebenarnya tidak ada batasan anak untuk berpartisipasi secara penuh dalam

program sekolah. Para pendidik harus memastikan bahwa murid dengan gangguan

penglihatan, didalamnya termasuk area noninstruksional, mereka yang belajar

dengan teman sebaya nonhandicapped, mereka yang memerlukan instruksi khusus, dan mereka yang diluar kurikulum sekolah yang penting agar bisa

berkompetisi dengan teman sebaya mereka ketika berannjak dewasa. Untuk dapat

mencapai tujuan ini, membutuhkan pendidik khusus yang menyediakan

dukungan, konsultasi dan materi untuk guru biasa yang memiliki murid dengan

(20)

Menurut Hardman, M.L. dkk (dalam Purwanto, 2007), strategi khusus dan

isi layanan pendidikan bagi anak tuna netra paling tidak meliputi 3 hal, yaitu:

a. Mobility training and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan dan orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan serta

latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan

pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan

membersihkan ruangan

b. Traditional curriculum content area, yaitu orientasi dan mobilitas, keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya, keterampilan berhitung.

dan

c. Communication media, yaitu penguasaan Braille dalam komunikasi.

Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw, (dalam Purwanto, 2007)

menyatakan bahwa layanan khusus bagi anak tuna netra meliputi:

a. Penguasaan Braille.

Penguasaan Braille yang dimaksud adalah kemampuan untuk menulis dan membaca Braille. Keterampilan menulis berkaitan dengan penggunaan alat tulis Braille, yaitu reglet, mesin ketik Braille; penelitian huruf, angka, kombinasi angka dan huruf, dan komputer Braille, sedangkan membaca lebih berkaitan dengan keterampilan membaca dari

(21)

b. Latihan orientasi dan mobilitas

Latihan orientasi dan mobilitas adalah jalan dengan pendamping awas,

latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan menggunakan alat bantu jalan

(tongkat dan sign guide). Selain itu juga perlu penguasaan latihan bantu diri di kamar mandi dan kamar mandi, di rung makan, kamar tidur,

dapur, ruang tamu, sampai mampu mandiri ke sekolah dan tempat yang

lain.

c. Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika,

meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa komsep

matematikan Braille.

d. Pembelajaran pendidikan jasmani bagai anak tuna netra.

Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tuna netra menggunakan

pendidikan jasmani adaptif. Adaptasi yang dilakukan berkaitan dengan

jenis kecacatan anak, kemampuan fisik anak, dan memodifikasi sarana

dan prasarana olah raga

C. Belajar dan Pembelajaran

1. Definisi

Belajar adalah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh

suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

(22)

Belajar dapat diartikan juga sebagai suatu proses yang kompleks yang

terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup dan adanya perubahan

tingkah laku dalam diri orang tersebut yang menyangkut perubahan yang

bersifat pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (psikomotorik) maupun yang

menyangkut nilai dan sikap (afektif).

Dalam proses belajar mengajar, akan terjadi interaksi antara peserta didik

dan pendidik, yaitu pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu proses interaksi

peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan

belajar. (Hargenhahn & Olson, 2008). Peserta didik adalah salah satu

komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar

mengajar, sedangkan pendidik adalah salah satu komponen manusiawi dalam

proses belajar mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber

daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Mengajar adalah suatu

aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik–baiknya dan

menghubungkan dengan anak didik, sehingga terjadi proses belajar (Sadiman,

2001).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar

Belajar sebagai proses atau aktivitas disyaratkan oleh banyak sekali

hal-hal atau faktor-faktor. Menurut Suryabrata (2002), faktor-faktor yang

mempengaruhi belajar itu ada banyak, dan dapat diklasifikasikan sebagai

(23)

a. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dam dapat digolongkan

kembali menjadi dua golongan – dengan catatan bahwa overlapping tetap ada, yaitu:

1. Faktor-faktor non sosial dalam belajar

Kelompok faktor-fakor ini boleh dikatakan juga tak terbilang

jumlahnya, seperti keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu (pagi, siang

atau malam), tempat (letak), alat-alat yang dipakai untuk belajar (alat

tulis, buku, alat peraga, dan sebagainya).

Semua faktor-faktor yang telah disebutkan tersebut dan juga

faktor-faktor lain yang belum disebut, harus diatur sedemikian rupa

sehingga dapat membantu proses belajar secara maksimal. Letak sekolah

atau tempat belajar misalnya harus memenuhi syarat-syarat seperti di

tempat yang tidak terlalu dekat dengan kebisingan atau jalan ramai, dan

harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam ilmu

kesehatan sekolah. Demikian pula dengan alat-alat pelajaran yang

digunakan, harus diusahakan memenuhi syarat-syarat menurut

pertimbangan didaktis, psikologis maupun paedagogis.

2. Faktor-faktor sosial dalam belajar

Yang dimaksud dengan faktor-faktor sosial disini adalah faktor

manusia (sesama manusia), baik manusia itu ada (hadir) maupun

kehadirannya itu dapat disimpulkan. Sehingga tidak langsung hadir.

Kehadiran orang lain pada waktu seseorang sedang belajar, banyak sekali

(24)

mengerjakan ujian, kemudian terdengar banyak anak-anak lain

bercakap-cakap di sanping kelas, atau seseorang sedang belajar di kamar. Selain

kehadiran langsung, ada juga yang disebut dengan kehadiran tidak

langsung, misalnya saja potret dapat merupakan representasi dari

seseorang; suara nyanyian yang sedang diputar lewat radio maupun tape rcorder juga dapat merupakan representasi kehadiran seseorang. Faktor-faktor sosial seperti itu pada umumnya mengganggu konsentrasi dan

dapat mempengaruhi proses belajar dan prestasi belajar

b. Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri si pelajar, dan dapat digolongkan

kembali menjadi dua golongan, yaitu:

1. Faktor-faktor fisiologis dalam belajar

Faktor fisiologis ini masih dapat dibedakan lagi menjadi dua

macam yaitu:

1.1. Keadaan jasmani pada umumnya

Keadaan jasmani pada umumnya ini dapat dikatakan

melatarbelakangi aktivitas belajar; keadaan jasmani yang segar akan

lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar;

keadaan jasmani yang lelah lain pengaruhnya dengan yang tidak

lelah. Dalam hubungan dengan hal ini ada dua hal yang perlu

dikemukakan,

a. Nutrisi harus cukup, karena kekurangan kadar makanan akan

mengakibatkan kurangnya kesehatan jasmani, yang pengaruhnya

(25)

b. Beberapa penyakit yang kronis sangat mengganggu proses

belajar. Penyakit-penyakit seperti pilek, influensa, sakit gig, batuk

dan yang sejenisnya sering diabaikan dan dipandang tidak cukup

serius untuk mendapatkan perhatian dan pengobatan. Akan tetapi,

dalam kenyataannya, penyakit semacam ini dapat mengganggu

aktivitas belajar.

1.2. Keadaan fungsi jasmani tertentu terutama fungsi panca indera

Panca indera dapat dimisalkan sebagai pintu gerbang masuknya

pengaruh ke dalam individu. Orang mengenal dunia sekitarnya dan

belajar dengan mempergunakan panca inderanya. Fungsi panca

indera yang baik merupakan syarat utama agar proses belajar

berjalan dengan baik. Dalam sistem sekolah dewasa, dari seluruh

panca indera yang ada, yang paling memegang peranan dalam

belajar adalah mata dan telinga. Karena itu, adalah menjadi

kewajiban bagi setiap pendidik untuk menjaga agar panca indera

anak didiknya dapat berfungsi dengan baik, baik penjagaan yang

bersifat kuratif maupun preventif, seperti pemeriksaan dokter secara

periodik, penyediaan alat-alat pelajaran serta perlengkapan yang

memenuhi syarat, penempatan murid-murid secara baik di dalam

kelas, dan sebagainya,

2. Faktor-faktor psikologis dalam belajar

Arden N. Frandsen (dalam Suryabrata, 2002) mengatakan bahwa

(26)

a. adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas

b. adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk

selalu maju

c. adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru

dan teman-teman

d. adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan

usaha yang baru, baik dengan kerjasama maupun kompetisi

e. adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai

pelajaran

f. adanya ganjaran atau hukuman

Maslow mengemukakan motif-motif untuk belajar adalah

a. adanya kebutuhan fisik

b. adanya kebutuhan akan rasa aman, bebas dari kekhawatiran

c. adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan dalam hubungan

dengan orang lain

d. adanya kebutuhan untuk mendapatkan kehormatan dari masyarakat

e. sesuai dengan sifat untuk mengemukakan atau mengetengahkan diri

Apa yang telah dikemukakan hanya sekedar penyebutan sejumlah

kebutuhan-kebutuhan saja, yang tentu dapat ditambah lagi.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terlepas satu sama lain, melainkan sebagai suatu

kesatuan yang mendorong proses belajar individu. Kompleksitas

(27)

Selanjutnya, suatu pendorong yang biasanya besar pengaruhnya dalam

belajar anak adalah cita-cita. Cita-cita merupakan pusat dari

bermacam-macam kebutuhan, dimana kebutuhan-kebutuhan tersebut biasanya

disentralisasikan disekitar cita-cita tersebut, sehingga dorongan itu mampu

memobilisasikan energi psikis untuk belajar.

D. Sistem Pendidikan Tinggi

Berdasarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan tinggi terdiri atas Pendidikan Akademik,

yang memiliki fokus dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan Pendidikan Vokasi,

yang menitikberatkan pada persiapan lulusan untuk mengaplikasikan keahliannya.

Institusi Pendidikan Tinggi yang menawarkan pendidikan akademik dan vokasi

dapat dibedakan berdasarkan jenjang dan program studi yang ditawarkan seperti

akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.

1. Akademi dan Politeknik

Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan program

pendidikan vokasi dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan,

teknologi atau kesenian tertentu. Sedangkan Politeknik adalah perguruan tinggi

yang menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam sejumlah

bidang pengetahuan khusus. Kedua bentuk pendidikan ini menyediakan

pendidikan pada level diploma. Contoh pendidikan tinggi seperti ini adalah

Akademi Bahasa dan Politeknik Pertanian.

(28)

Sekolah Tinggi adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan

vokasi dan akademik dalam lingkup satu disiplin ilmu pengetahuan, teknologi

atau kesenian tertentu. Oleh karena itu, sekolah tinggi ini menawarkam

pendidikan baik pada level diploma maupun sarjana. Namun, ketika sebuah

sekolah tinggi memenuhi persyaratan, mereka dapat menawarkam pendidikan

tingkat lanjut setelah level sarjana. Sekolah Tinggi Ilmu Komputer merupakan

salah satu contoh dari jenis pendidikan tinggi ini.

3. Institut dan Universitas

Kedua institusi ini merupakan perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan

tinggi yang mengarah kepada level sarjana. Institut menawarkan pendidikan

akademik dan/atau vokasi dalam kelompok disiplin ilmu pengetahuan,

teknologi dan/atau seni tertentu. Disisi lain, Universitas menawarkan

pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam berbagai kelompok disiplin ilmu

pengetahuan, teknologi dan/atau seni. Institusi pendidikan tinggi ini dapat juga

melayani pendidikan pada level profesional. Institut Seni adalah salah satu

contohnya.

4. Jenjang Pendidikan dan Syarat Belajar

Institusi pendidikan tinggi menawarkan berbagai jenjang pendidikan baik

berupa pendidikan akademis maupun pendidikan vokasi. Perguruan tinggi yang

memberikan pendidikan akademis dapat menawarkan jenjang pendidikan

Sarjana. Program Profesi, Magister (S2), Program Spesialis (SP) dan Program

Doktoral. Sedangkan pendidikan vokasi menawarkan program Diploma I, II,

(29)

Untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana (S1), seorang mahasiswa

diwajibkan untuk mengambil 144 – 160 Satuan Kredit Semester (SKS) yang

diambil selama delapan sampai dua belas semester. Pada jenjang S2 atau

Program Pasca Sarjana, seorang mahasiswa harus menyelesaikan 39 sampai 50

SKS selama kurun waktu empat sampai sepuluh semester dan 79 sampai 88

SKS harus diselesaikan dalam jangka waktu delapan sampai empat belas

semester bagi program doktoral.

5. Metode Pembelajaran dan Jadwal Akademik

Pendidikan tinggi dapat diterapkan dalam beberapa bentuk: reguler atau tatap

muka dan pendidikan jarak jauh. Pendidikan reguler diterapkan dengan

menggunakan komunikasi langsung diantara dosen dan mahasiswa, sedangkan

pendidikan jarak jauh dilaksanakan dengan menggunakan berbagai jenis media

komunikasi seperti surat menyurat, audio/video, televisi dan jaringan

komputer.

Baik pendidikan reguler maupun pendidikan jarak jauh memulai aktivitas

akademis atau jadwal akademik pada bulan September setiap tahunnya. Satu

tahun akademik terbagi atas minimal dua semester yang terdiri dari

setidak-tidaknya 16 minggu. Institusi pendidikan tinggi juga dapat melangsungkan

semester pendek diantara dua semester reguler.

Penerimaan mahasiswa pada perguruan tinggi didasarkan atas beberapa

persyaratan dan prosedur serta objek penyeleksian yang tidak diskriminatif.

(30)

Penerimaan mahasiswa merupakan tanggung jawab dari masing-masing

perguruan tinggi.

Calon mahasiswa D1, D2, D3, D4 dan S1 harus menamatkan pendidikan

menengah atas atau yang sederajat dan lulus pada ujian masuk masing-masing

perguruan tinggi. Kandidat mahasiswa S2 harus memiliki ijazah Sarjana (S1)

atau yang sederajat dan lulus ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Untuk S3,

mahasiswa harus memiliki ijazah S2 atau yang sederajat dam lulus seleksi

masuk.

E. Resiliensi Akademik Terhadap Proses Belajar Pada Mahasiswa Tuna

Netra

Penyandang tuna netra merupakan salah satu bagian dari anak berkebutuhan

khusus, dimana dapat disandang sejak lahir maupun pasca lahir. Semua

penyandang tuna netra membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk

mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Hallahan & Kauffman, 1991).

Sama halnya dengan para anak normal lainnya, para tuna netra juga

memiliki berbagai hambatan dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan lebih berat.

Salah satu bentuk hambatan yang dimaksud termasuk dalam proses belajar. Oleh

sebab itu dibutuhkan strategi layanan pembelajaran yang tepat untuk dapat

menggali potensi dirinya.

Dalam proses belajar, kemampuan individu untuk melihat adalah sangat

penting. Hal ini sesuai dengan teori persepsi yang menyatakan bahwa persepsi

visual yang merupakan topik utama dalam pembahasan persepsi secara umum.

(31)

kesan-kesan sensorisnya guna memberikan arti bagi lingkungannya. Persepsi visual

adalah kemampuan manusia untuk menginterpretasikan informasi yang ditangkap

oleh mata. Hasil dari persepsi ini disebut sebagai penglihatan (eyesight, sight atau

vision), dan sangat berperan penting dalam proses belajar (Robbins, 2003).

Saat seorang individu mengalami kebutaan, ada banyak dampak yang

ditimbulkan oleh kebutaan tersebut yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang

serta perilaku individu tersebut. Beberapa hal diantaranya adalah dalam aspek

kognitif, motorik, emosi dan sosial. Ketika aspek-aspek ini terganggu, maka akan

merentet pada terganggunya atau menurunnya performa, perilaku ataupun fungsi

hal-hal yang lain (Lownfeld, 2005).

Dalam hal belajar, aspek kognitif sangat berperan penting. Namun pada tuna

netra, pengenalan dan pengertian terhadap dunia luarnya tidak dapat diperoleh

secara utuh. Akibatnya, perkembangan kognitif anak tuna netra cenderung

terhambat terutama berkaitan dengan konsep yang abstrak karena tidak dibantu

dengan pengamatan visual, begitu pula dengan perkembangan keterampilan

akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Terganggunya kognisi

seseorang juga akan mempengaruhi atensinya (Stenberg, 2006).

Dalam psikologi pendidikan, belajar merupakan proses usaha yang

dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru

secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya (Slameto, 2003). Pembelajaran yang diperoleh di institusi formal

juga termasuk dalam bagian belajar. Pembelajaran merupakan suatu proses

(32)

belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat

terjadi proses belajar yang baik bagi peserta didik (Hergenhahn & Olson, 2008).

Bagi mahasiswa tuna netra, fasilitas dan sistem pembelajaran yang

disediakan oleh Perguruan Tinggi tentu tidak memenuhi kebutuhan mereka dalam

proses belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Ishartiwi (1991), mengenai

pendekatan pembelajaran bagi tuna netra menyatakan perlunya diterapkan prinsip

verbal maupun lisan, pengalaman konkrit maupun kontak langsung, dan stimulasi.

Langkah dalam intervensi meliputi pemeriksaan, penglihatan, asesmen kesiapan

fisik, emosi dan intelektual, serta asessmen kemampuan aktivitas sehari-hari,

pelatihan orientasi mobilitas, dan latihan indera non-visual serta latihan

pra-membaca dan pra-membaca Braille.

Jika para mahasiswa tuna netra tidak mendapatkan pendekatan

pembelajaran yang tepat, maka besar kemungkinan tuna netra akan menghadapi

kesulitan di Perguruan Tinggi, karena tidak tersedianya layanan khusus dan

strategi pembelajaran yang sesuai. Perbedaan konsep belajar di sekolah dan

perkuliahan akan membutuhkan penyesuaian diri setiap siswa, baik tuna netra

maupun yang normal. Walaupun demikian, bagi mahasiswa tuna netra, hal ini

dapat menjadi tantangan yang sangat besar, apalagi jika individu tersebut belum

pernah merasakan bersekolah di sekolah reguler (Suryaningsih, 2011).

Kepekaan inderawi sangat dibutuhkan dalam proses belajar. Tidak hanya

penglihatan, namun juga pendengaran, perabaan, serta kemampuan untuk

berbicara (Depdiknas, 2003). Dalam hal ini, tuna netra memiliki keterbatasan

(33)

maupun tekanan yang dihadapi tersebut dapat mempengaruhi mereka secara

negatif dan memberikan dampak buruk terhadap studi bahkan perilaku mereka.

Namun, yang menarik adalah bahwa pada kenyataannya tidak semua mahasiswa

tuna netra berujung pada negatifitas dan kemunduran. Kondisi kebutaan yang

dimiliki oleh setiap mahasiswa tuna netra tidak sama, sehingga kemampuan untuk

bertahan juga akan berbeda-beda. Kualitas ini yang dinamakan “resiliensi”.

Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan

meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau

kesengasaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan

ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu

masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 1998). Revich dan Shatte (1999) juga

menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan

produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk

mengelola tekanan hidup sehari-hari. Dalam ruang lingkup akademik, resiliensi

akademik diperlukan, yaitu kemampuan untuk bangkit kembali, beradaptasi

dengan sangat baik melawan kesulitan-kesulitan dan mampu mengembangkan

kompetensi sosial akademis dan vocationalnya (Rirkin dan Hoopman dalam Henderson, 2003).

Mahasiswa tuna netra yang ingin tetap bertahan dan terus maju menjadi

lebih baik akan memiliki resiliensi yang kuat. Namun tanpa adanya resiliensi

tersebut, maka akan sulit bagi mereka untuk bisa bertahan. Pada dasarnya,

masing-masing orang memiliki kemampuan resiliensi tersebut (Grotberg, 1995),

(34)

kemampuan dasar dan proses tahapan resiliensi (Reivich dan Shatte, 1999) yang

dimiliki untuk dapat bertahan, akan berbeda-beda, karena pada dasarnya setiap

(35)

F. Paradigma Teoritis

(Richardson, dkk 2003)

(Bagan 3) Tuna netra di Perguruan Tinggi

Hambatan dan

Eksternal Faktor Resiko > Faktor Protektif

Referensi

Dokumen terkait

hingga yang terakhir. Kaitannya dengan pembahasan ini penulis bermaksud untuk mengarahkan pengertian tersebut kepada kejadian atau masalah yang pernah terjadi di waktu

Masalah yang dijumpai di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Kudus yaitu terkait dengan pemberian pelayanan yang kurang tepat waktu dan minimnya

Hasil uji statistik adalah p= 0,008, p< 0.05 jadi Ha diterima, artinya “Ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang kanker serviks dengan perilaku pemeriksaan pap smear

Dengan demikian maka sebagian orang ada yang berpendapat bahwa dalam Islam tidak dikenal adanya harta bersama, dalam arti bahwa apa yang dimiliki istri itulah haknya

dgn jenis jenis kecacatan kecacatan b.. Kewarganegaraan 2) Pendidikan Agama 3) Bahasa Indonesia 4) Matematika (berhitung) 5) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) 6) Ilmu

Alasan peneliti menggunakan metode deskriptif karena metode deskriptif digunakan untuk mengungkapkan keadaan atau memecahkan suatu masalah mengenai kemampuan siswa

Puji syukur atas limpahan rahmat, hidayah, dan karunia Alloh SWT, sehingga penyusunan tesis dengan judul “Rule Based Reasoning untuk Monitoring Distribusi Bahan Bakar Minyak

Perangkat pembelajaran kooperatif berbasis eksperimen yang dikembangkan termasuk layak untuk meningkatkan pemahaman konsep fisika dan tanggung jawab siswa berdasarkan