• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orang Cina Bandar Tol Candu dan Perang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Orang Cina Bandar Tol Candu dan Perang"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Didi Kwartanada1

Pendahuluan

Tulisan yang ada di tangan pembaca ini adalah terjemahan karya klasik Peter Brian Ramsay Carey, “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755–1825”, terbit dalam jurnal Indonesia (Cornell University) 37, April 1984, hal.1–47.2 Artikel tersebut segera mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia. Goenawan Mohamad, salah satu esais terbesar kita, mengangkat tulisan Carey dalam kolomnya di Tempo tanggal 7 Juli 1984.3 Tahun berikutnya, versi terjemahan lengkapnya terbit sebagai Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755–1825 (Jakarta: Pustaka Azet, 1985). Namun, kualitas terjemahannya amat buruk, sehingga amatlah tepat apabila kali ini dilakukan penerjemahan ulang oleh sejarawan muda Wasmi Alhaziri di bawah supervisi pengarangnya. Analisis yang tajam serta didukung studi pustaka yang mengagumkan dari berbagai sumber, khususnya arsip Belanda dan Inggris dan babad berbahasa Jawa,

ORANG CINA, BANDAR TOL, CANDU, & PERANG JAWA Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755–1825

Peter Carey

Diterjemahkan dari “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755–1825”, dalam Indonesia (Cornell University) 37, April 1984, hlm. 1–47

Penerjemah : Wasmi AlhaziriWasmi Alhaziri Penyunting : Danang Wahansa S. Desainer sampul & isi : Sarifudin

Cetakan Pertama, Komunitas Bambu, Januari 2008 Cetakan Kedua, Komunitas Bambu, Juli 2015 © Komunitas Bambu

Komunitas Bambu

Jl. Taufiqurrahman No. 3, Beji Timur, Depok 16422 Telp./faks: 021-77200978

E-mail: redaksi@komunitasbambu.com website: www.komunitasbambu.com

Penerbit Komunitas Bambu @KomunitasBambu 2B97826E / 5455B679 081385430505

Gambar sampul depan:

Mural “Batavia Tempo Doeloe (1820–1920)” karya Hariyadi Sumodidjojo, 1973–1974 di Museum Sejarah Jakarta

Katalog Dalam Terbitan

Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa Carey, Peter

Depok: Komunitas Bambu, 2015 (xxxiv+137 hlm; 19 x 20 cm) ISBN 978-602-9402-67-4

PENGANTAR EDISI KE-2

(4)

menjadikan studi Peter Carey ini salah satu acuan klasik dalam sejarah Jawa maupun sejarah orang Tionghoa di Jawa/Indonesia.

Golongan Perantara

Sejak lama golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai “perantara” sekaligus “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial di Indonesia. Di zaman prakolonial, orang Tionghoa sudah bekerja kepada raja-raja kerajaan maritim, misalnya, sebagai syahbandar. Di sini Peter Carey memaparkan dengan detail, bagaimana golongan peranakan4 Tionghoa menjadi bagian penting dalam tatanan lama kolonial (old colonial order)5 di Jawa Tengah bagian selatan pada abad ke-18 hingga 19. Berdirinya Kesultanan Yogyakarta menyusul perjanjian Giyanti (1755) membawa konsekuensi perlunya dana untuk mengisi kas Keraton yang baru saja berdiri ini. Rupanya di saat Yogyakarta berdiri, sudah terdapat orang Tionghoa dalam jumlah yang cukup signiikan, sehingga diangkatlah To In sebagai Kapitan Cina pertama (1755–1764).6 To In serta penerusnya menjalankan tugas mereka dengan baik sebagai penarik pajak gerbang tol dan di saat wafatnya Sultan Hamengku Buwono I (Maret 1792) jumlah pajak yang disetorkan berjumlah f128.000 atau naik tiga kali lipat dari jumlah pada tahun 1755 (lihat Lampiran 3).

Belanda yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia melihat bahwa Tionghoa bisa menjadi “perantara” antara mereka dengan golongan pribumi. Oleh karena itu, Belanda menjual berbagai macam pacht (hak pengelolaan) bagi jalan tol, candu, rumah gadai, kepada pengusaha Tionghoa (bandingkan dengan rezim Orde Baru, misalnya, Hak Pengusahaan Hutan [HPH]).7 Para pengusaha tersebut berani membeli pacht dengan harga tinggi, oleh karena mereka tahu bahwa keuntungan yang didapatkan akan berlipat ganda. Dengan dukungan penguasa, para pachter tersebut memeras

rakyat dan menjadi sangat kaya karena kedudukannya. Dalam tulisannya ini, Carey memaparkan dua institusi pacht yang amat dibenci rakyat, yakni gerbang tol dan candu (opium). Akhirnya, golongan Tionghoa diposisikan menjadi minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup mapan, tetapi secara politis dibenci oleh rakyat.

Kedudukan sebagai perantara inilah yang memang diinginkan oleh penguasa, yakni Tionghoa sebagai “perisai” atau “kambing hitam” di saat terjadi kerusuhan menentang penguasa atau saat terjadi kevakuman pemerintahan. Pola ini muncul berkali-kali dalam sejarah Indonesia.8 Dapat disebutkan contoh antara lain: hancurnya Hindia Belanda dan kedatangan Jepang (9 Maret 1942); kekalahan Jepang dan revolusi kemerdekaan (1945– 1950); Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1959 (yang melarang pedagang Tionghoa beroperasi di pedesaan); jatuhnya Presiden Sukarno (1966); Peristiwa Malari (15–16 Januari 1974); Peristiwa Solo-Semarang (20–25 November 1980), Tanjung Priok (12 September 1984); Rengasdengklok (30 Januari 1997), Makassar (15–17 September 1997), dan Huru-hara Mei 1998. Bahkan di masa Reformasi ini masih terjadi pula beberapa kali kerusuhan anti-Tionghoa dengan berbagai alasan, tetapi skalanya jauh lebih kecil dan bersifat lokal.

Dalam ilmu sosial, posisi “tengah” seperti golongan Tionghoa ini dikenal sebagai konsep “minoritas perantara” (middlemen minority).9 Berikut ini adalah uraian detail mengenai “minoritas perantara”:

(5)

Peter Carey Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok dominan dan kelompok etnis subordinat. Mereka biasanya menduduki ceruk perantara [intermediate niche] dalam sistem ekonomi [...] Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang [Jawa: mindring], dan profesional independen. Dengan demikian, minoritas perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat. Mereka melakukan tugas-tugas ekonomi yang bagi mereka yang berada di puncak (elite) dianggap sebagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat [...] Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara mereka, kelompok ini sangat rentan [vulnerable] terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya, baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Pada masa-masa tegang, mereka adalah [...] kambing hitam alami [natural scapegoat]. Mereka secara jumlah maupun secara politis tidak berdaya dan oleh karena itu harus memohon perlindungan kepada kelompok dominan, yang akan memberikannya sejauh peran ekonomi mereka masih dibutuhkan.10

Dari uraian di atas, masalah keamanan tampak amat penting bagi golongan “minoritas perantara” karena posisi mereka yang lemah secara politis. Ditegaskan oleh Carey, “[…] sebagai akibat dari peristiwa pada 1810-an dan 1820-an, orang-orang Tionghoa sendiri menjadi semakin sadar akan kedudukannya yang terbuka dan mudah diserang di dalam masyarakat Jawa” (lihat hlm. 110). Oleh karena itu, loyalitas total sukar sekali diharapkan dari “minoritas perantara”. Loyalitas akan mereka berikan kepada siapa pun yang bisa menjamin keselamatan mereka. Ironisnya, bahkan apabila musuh mampu memberikan jaminan keamanan, mereka pun tidak segan-segan mengalihkan “loyalitasnya” kepada sang musuh.11

Tanpa memahami hakikat etnis Tionghoa selaku “minoritas perantara”, orang akan dengan mudah menuding dan menyalahkan mereka sebagai

“oportunis”. Sebagai contoh, Abu Hanifah (1906–1980), seorang tokoh Nasionalis-Islam menulis sebagai berikut:

“[…] sebagian besar Tionghoa di Indonesia benar-benar tidak mempunyai loyalitas [had no sense of loyalty]. Pada zaman Belanda, mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita […] Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah “kaum oportunis yang tidak bisa diperbaiki” [incorrigible opportunists].12

Pandangan serupa dengan Hanifah cukup populer di kalangan umum, yang condong melihat keberadaan Tionghoa secara hitam-putih (pahlawan atau pengkhianat), tanpa memahami hakikat mereka sebagai “manusia dagang” atau “minoritas perantara”, yang muncul sebagai produk kolonial. Golongan perantara ini akan selalu merasa terancam dari pihak di luar kelompoknya (out-group hostility); siapa pun yang bisa memberi jaminan keamanan dan stabilitas, dialah yang akan mereka ikuti. Tidak ada pilihan lain yang tersedia, oleh karena ini adalah masalah “survival”dan tidak bisa ditafsirkan secara simplistis berdasarkan prasangka hitam-putih (loyal-tidak loyal). Intinya, posisi golongan Tionghoa akan selalu “serba salah”, seperti yang dilukiskan dengan bagus oleh seorang peneliti dari Australia, Charles Coppel:

(6)

Perang Jawa dan Implikasinya

Membaca tulisan Carey yang sangat menarik ini, ada tiga komentar sehubungan dengan Perang Jawa dan implikasinya atas hubungan Tionghoa–Jawa.

1. Perang Jawa bukan hanya suatu watershed (garis batas) dalam sejarah politik Jawa dan bahkan Indonesia,14 tetapi juga dalam hubungan Tionghoa–Jawa.

Di masa Kerajaan Mataram, golongan Tionghoa menempati posisi hukum yang istimewa dalam undang-undang (1798), seperti ditunjukkan dalam jumlah diyat (uang darah; diat) yang harus dibayarkan apabila seorang Tionghoa terbunuh. Jumlah diat untuk orang Tionghoa (200 rial) adalah dua kali lipat diat bagi orang Jawa (lihat di hlm. 13–14).15 Seorang pujangga Mesir, Abdullah bin Muhammad Al-Misri, melaporkan pada 1810-an dari Jawa Timur bahwa orang Jawa akan senang sekali apabila dapat menikah dengan orang Tionghoa.16 Namun, situasi berbalik total karena keterlibatan orang Tionghoa dalam persoalan ekonomi sehari-hari rakyat Jawa perihal penarikan pajak gerbang tol dan penjualan candu. Mereka dijadikan kambing hitam atas kemiskinan rakyat. Oleh karena itu, Diponegoro mengumumkan bahwa orang Tionghoa adalah salah satu target Perang Suci yang akan dikobarkannya. Mereka akan dibinasakan apabila tidak bersedia memeluk agama Islam, seperti terekam dalam Babad Diponegoro:

Saya yang akan mempertahankan [mereka] dalam perang [dan] para ulama [akan memberi] semangat sebagai pendeta untuk membinasakan Belanda dan Cina

yang tinggal di Tanah Jawa,

apabila mereka tidak menganut agama Paduka Nabi Sinelir.17

Lebih khusus lagi, Diponegoro menjadikan pergaulan dengan perempuan Tionghoa sebagai penyebab kekalahannya serta iparnya, Sosrodilogo, dalam dua pertempuran berbeda (lihat hlm. 19, 21 catatan 6). Malam sebelum pertempuran, mereka melakukan hubungan serong dengan nyonya Cina. Tidak bisa menerima kekalahan, mereka mencari kambing hitam dan perempuan-perempuanTionghoa itu mudah sekali dijadikan sasaran. Denys Lombard, sejarawan Prancis, memberikan komentarnya tentang “gagasan yang sepenuhnya rasialis itu” sebagai berikut:

Mungkin, yang lebih parah daripada pembantaian yang merupakan satu di antara pembantaian yang pertama yang dilakukan orang Jawa terhadap orang Tionghoa itu18 adalah ideologi berbahaya yang mulai disebarluaskan

oleh Diponegoro dan para pengikutnya: orang Tionghoa tidak sekadar dimasukkan ke dalam kategori orang kair, tetapi pengikut Diponegoro juga secara resmi dilarang kawin dengan wanita Tionghoa maupun untuk mengambil wanita peranakan sebagai selir.19

(7)

Peter Carey Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

mengukuhkan posisinya yang rentan sebagai “minoritas perantara”. Jelaslah bahwa Perang Jawa adalah watershed bagi hubungan Tionghoa–Jawa, yang memisahkan satu masa yang dibangun atas dasar saling menghargai menjadi saat-saat yang diwarnai dengan kecurigaan dan ketakutan.

Adapun Peter Carey sendiri menyimpulkan dampak Perang Jawa atas golongan peranakan Tionghoa di Jawa Tengah bagian selatan sebagai berikut [hlm. 72]:

Pilihan untuk melakukan asimilasi ke dalam dunia orang-orang Jawa kini tampaknya semakin tidak menarik bagi mereka [orang Tionghoa peranakan]. Tentu saja, perlakuan hak-hak hukum yang khusus diberikan oleh Belanda kepada mereka dari pertengahan abad ke-19 dan seterusnya serta pemaksaan yang lebih keras tentang batasan-batasan “masyarakat majemuk” cenderung menggiring orang-orang Tionghoa peranakan untuk

menyadari akan pengidentiikasian diri dengan komunitas Tionghoa di Jawa [garis miring dari penulis, DK]

Kesimpulan ini menimbulkan dua paradoks:

2. Paradoks pertama: Walaupun Perang Jawa kental mengandung unsur anti-Tionghoa, tetapi hal ini tidak menghentikan kegiatan orang-orang Tionghoa di daerah Kerajaan Jawa selaku maestro dan/atau maesenas budaya Jawa pada masa-masa berikutnya.

Dari Yogyakarta muncul beberapa nama pelaku maupun pecinta budaya Jawa. Pertama, Ko Mo An (wafat pada 1920-an) yang amat menguasai bahasa dan sastra Jawa.21 Satu tulisannya dalam huruf Jawa

mengenai deskripsi suara-suara instrumen gamelan, “Javaansche Gamelan-Beschrijving in Poëzie” terbit dalam majalah akademik Bijdragen van het Koninklijk Instituut voor het Taal-, Land en Volkenkunde (BKI) tahun 1893. Lima tahun kemudian, ia menerbitkan naskah cerita wayang orang Lara Mendut dalam aksara Jawa. Lie Djing Kim, seorang pedagang kaya yang mencintai gamelan serta menjadi patron kelompok-kelompok karawitan. Pada 1908, Lie mendirikan perkumpulan untuk memajukan seni dan kerajinan Jawa. Harga gamelan Lie ditaksir hingga puluhan ribu gulden. Dewasa ini, dua orang pembatik peranakan dari Yogyakarta diakui secara internasional, yakni Ardiyanto Pranata (lahir 1944) serta KRT Daud Wiryo Hadinagoro (lahir 1961).22

Masih ada lagi wayang Tionghoa-Jawa (wayang thithi), yang merupakan persilangan antara kedua budaya. Wayang ini diciptakan di Yogyakarta pada 1925 oleh Gan Thwan Sing (1895–1967). Akhir-akhir ini hasil karyanya kembali mendapatkan perhatian dan mengalami revitalisasi, termasuk mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pada November 2012, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI menganugerahkan Piagam Penghargaan dan Bintang Satya Lencana Kebudayaan serta sejumlah uang kepada keluarga almarhum Gan.23

(8)

organisasi tersebut, tetapi tetap memakai nama yang digagas Tjoa Tjoe Koan.24 Menariknya, Surakarta memiliki tokoh-tokoh Muslim Tionghoa yang amat peduli dengan budaya Jawa, seperti Gan Kam (wafat pada 1928) yang mempopulerkan wayang orang panggung Mangkunegaran, dan Dr. Tjan Tjoe Sim (1909–1978), ahli budaya dan susastra Jawa. Seseorang yang dianggap paling paham mengenai seluk-beluk perkerisan maupun perbatikan adalah Panembahan Hardjonagoro (Go Tik Swan, 1931–2008) yang juga mumpuni dalam budaya Jawa.25 Pabrik batik cap yang cukup besar dan dimiliki oleh keluarga peranakan Tionghoa adalah Batik Keris, yang juga terdapat di Surakarta.

Demikianlah kecintaan orang-orang peranakan Tionghoa di Yogyakarta-Surakarta terhadap kebudayaan Jawa tidak pernah berhenti.

3. Paradoks kedua: Diponegoro menggabungkan ke-Jawa-an dengan radikalisme Islam dalam upayanya menghadapi kaum kair (termasuk orang Tionghoa) dan akan membinasakan mereka yang menolak memeluk Islam (lihat kutipan sebelumnya).

Walaupun dalam butir pertama dikisahkan tentang ‘ideologi rasialis’ yang menentang perkawinan campuran Tionghoa-Jawa, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perkawinan Tionghoa-Jawa tetap berlangsung. Pasca-Perang Jawa, angka pernikahan Tionghoa-Jawa tetaplah tinggi di daerah kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah (Vorstenlanden). Bahkan persentase pernikahan campuran antara lelaki Tionghoa dengan perempuan lokal di Yogyakarta dan Surakarta menurut Sensus (Volkstelling) pada era terakhir kolonial 1930 adalah tertinggi di Hindia Belanda, yakni masing-masing 9,30% dan 7,40%. Sedangkan persentase untuk Pulau Jawa sendiri adalah

1,90%.26 Kapitan Cina terakhir di Yogyakarta, Lie Ngo An (menjabat 1932– 1934), memiliki triman dari Sultan Hamengku Buwono VIII (bertakhta 1921–1939), Raden Nganten Sumiyah selaku salah satu istrinya.27 Oleh karena itu, sinolog Maurice Freedman (1920–1975) menyimpulkan bahwa di Jawa Tengah “Islam […] tidaklah selalu efektif sebagai penghalang terjadinya perkawinan antara perempuan Jawa dengan lelaki Tionghoa” (“Islam [...] does not always effectively act as a barrier to the marriage of Indonesian women to Chinese”).28 Faktor lain adalah jemaah haji asal Yogyakarta ternyata termasuk di urutan terendah dibandingkan jemaah dari daerah lainnya,29 serta memiliki kehidupan keagamaan yang kurang kuat (disebut dengan abangan). Sayang sekali kita belum bisa mengetahui apakah hasil percampuran kedua etnis tersebut terasimilasi ke dalam masyarakat Jawa atau sebaliknya. Sejauh pengamatan penulis, lebih banyak anak perkawinan campuran Tionghoa-Jawa yang dalam kehidupan sehari-harinya berbahasa Jawa atau Indonesia, dan hanya beberapa saja yang masih menggunakan bahasa atau dialek Tionghoa.

Hingga hari ini, orang-orang Tionghoa peranakan tertentu masih mendatangi Kantor urusan asal usul (Tepas Darah Dalem) di Keraton Yogyakarta untuk mengklaim hubungan darah dengan para Sultan.30 Menurut informasi, Kesultanan Yogyakarta mempunyai tiga trah (paguyuban keluarga berdasarkan kesamaan nenek moyang) berketurunan Tionghoa, yakni: Secadiningrat/Secodiningrat (berasal dari Tan Jin Sing yang akan dibahas selanjutnya), Honggodrono, dan Kartodirdjo. Trah Tionghoa ternyata juga ada di Kesunanan Surakarta.31

Tan Jin Sing dan Identitas Jamak

(9)

Peter Carey Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

Tumenggung (K.R.T) Secodiningrat (1760–1831). Karier dan karakter tokoh ini menyulut kecemburuan dari para lawan politiknya. Untuk mengolok-olok Tan Jin Sing, para musuhnya menciptakan suatu peribahasa yang unik: “Cina wurung, Landa durung, Jawa tanggung (Tionghoa sudah batal, Belanda masih belum, Jawa masih tanggung). Hal ini mengacu pada tiga dunia identitas di mana Tan Jin Sing hidup.32 Namun, dewasa ini muncul pandangan yang berbeda tentang identitas jamak (multiple identities) seperti yang dilakoni Tan Jin Sing. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa “[…] setiap individu memiliki lebih kurang suatu repertoar (daftar) yang luas dari pilihan-pilihan identitas yang akan mereka gunakan dalam konteks berbeda dan bagi tujuan yang berlainan” (“individuals have a more or less extensive repertoire of identity options which they call upon or engage with in different context and for different purposes”). Perlu diingat bahwa “identitas etnik bukanlah suatu kualitas individual yang pasti, yang bisa diduga atas dasar ciri-ciri isik, bahasa ibu, tempat lahir, ataupun asal usul etnis” (“ethnic identity is not a ixed individual quality which can be predicted on the basis of physical characteristics, mother tongue, place of birth, or ethnic origin”).33 Dengan demikian, identitas jamak pada golongan peranakan di Jawa Tengah muncul “[…] bukannya karena mereka tidak memiliki satu identitas tunggal dan [sehingga] ‘ada dalam krisis’, tetapi dikarenakan identitas jamak itu sendiri adalah suatu pilihan yang sehat” (“not because they lack a single identity focus and are [therefore] ‘in crisis’, but because multiple identity is itself a healthy choice.”). 34

Seorang peranakan yang juga keturunan Tan Jin Sing, Oei Hong Kian, dalam autobiograinya meneguhkan pernyataan-pernyataan sebelumnya. Secara bangga, Oei memandang dirinya sebagai produk “three in one” dan menikmati kemudahan dari identitas jamaknya tersebut,35

Budaya Tionghoa, Indonesia-Jawa, dan Belanda selanjutnya akan menentukan kehidupan saya secara keseluruhan. Ketiga kutub itu berperan penting dalam menentukan cara berpikir dan bertindak. Sublimasi cara berpikir Tionghoa, Jawa, dan Belanda menghasilkan kualitas lahiriah dan jasmaniah yang membuat saya menjadi seorang peranakan [...] Campuran unik Tionghoa, Jawa, dan budaya Belanda telah membentuk saya seperti sekarang. Tionghoa dan Jawa ada dalam darah saya, sementara Belanda terserap dari luar. Campuran tiga dunia itu menyebabkan reaksi kimia yang menghasilkan manusia yang sangat kompleks. Namun, saya tidak merasa demikian. Saya justru merasa itu suatu keuntungan, oleh karena sebagai orang yang ’three in one’ [sic], dengan mudah saya bisa menghayati dunia yang sama sekali berlainan.

(10)

Memoar Ko Ho Sing

Sayangnya Peter Carey tidak menggunakan sumber-sumber dari kalangan Tionghoa padahal sumber itu telah tersedia dan diketahuinya. Salah satunya adalah Memoar Ko Ho Sing (1872) yang tersimpan dengan kode Or. 409 di Perpustakaan KITLV Leiden.38 Sebenarnya Peter Carey sudah mengutip sumber ini di halaman 37 catatan 46, tetapi yang diambil hanya bagian addendanya, bukan memoarnya. Berikut ini adalah ringkasan memoar tersebut yang berhubungan dengan Perang Jawa.

Naskah yang ditulis dalam bentuk macapat (tembang Jawa) ini memuat sejarah keluarga Ko yang bermukim di Jawa Tengah, yang dimulai dari Ko He Te mendarat di Jawa dari Fujian (Hokkian) pada sekitar 1804 untuk menyusul saudaranya, Ko Si Yu, yang telah bermukim di Yogyakarta. Ko Si Yu memiliki pabrik gula, dan untuk membantu saudaranya yang baru datang dari Tiongkok,39 dia menawarkan pekerjaan sebagai subkontraktor penarik pajak di gerbang tol di Medono, Kedu Utara.40 Pekerjaan ini amat rendah sehingga dibenci oleh rakyat banyak, tetapi bagi pendatang seperti Ko He Te, posisi itu adalah awal karier untuk kelangsungan hidupnya di ‘tanah harapan’ ini. Dalam pengamatan John Crawfurd—pejabat Inggris yang akan banyak Anda temui dalam buku ini—pemungut pajak Tionghoa lebih disukai daripada orang Jawa, karena ‘keahlian, kehematan, dan pengisapan’ membuat mereka mampu membayar sewa gerbang tol lebih tinggi (‘their skill, frugality and extortion’ enabled them to pay higher rents).41

Guna menghadapai gangguan perampok dan pengacau, Ko He Te dikawal seorang tukang pukul serta dipersenjatai dengan dua tombak yang tajam. Dia melakukan pekerjaan sebagai bandar tol hanya selama lima tahun. Barangkali ini suatu tanda bahwa Ko He Te pun tidak menyukai pekerjaan yang kontroversial ini. Dengan modal yang sudah dikumpulkannya, dia memilih berdagang sebagai mata pencaharian. Sayang sekali, kemudian

pecah Perang Jawa dan Ko He Te harus mengungsi dari Bagelen ke Kedu, yang merupakan tempat pertahanan orang Tionghoa yang cukup kuat. Mereka harus bertempur menghadapi serbuan laskar Diponegoro, dan tentunya juga berdoa kepada Yang Maha Kuasa:

Suara-suara senjata

mereka menembaki rumah-rumah Cina orang-orang Cina berkumpul bersama

berdoa pada Tuhan, mereka memohon pertolongannya. Banyak orang Cina melindungi [patung] Tuhan mereka sembari berdoa tanpa jeda [...]42

Beberapa hari kemudian pasukan Belanda datang dan musuh bisa dipukul mundur. Orang-orang Tionghoa memberikan bantuan bahan makanan pada penyelamat mereka. Inilah konsekuensi suatu ‘minoritas perantara’—yang akan mengabdi pada sang penjamin keamanan hidupnya— seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Sumber Tionghoa bisa membuat tulisan Carey lebih seimbang karena menampilkan suara dari pihak ‘sana’, lebih tepatnya dari perspektif ‘korban’, seperti kutipan kisah Ko He Te sebelumnya. Dalam istilah Harry Benda, seorang ahli sejarah Asia Tenggara, hal ini adalah perspektif ‘from within’ (dari dalam).

Ironi Sejarah?

(11)

Peter Carey Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

Kian Seng) dan Kolonel Soeharto terjadi di Divisi/Komando Daerah Militer (KODAM) yang memakai nama Sang Ratu Adil ini.43 Hasil percukongan ini kemudian membuat keluarga sang kolonel (yang kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai Jenderal Besar) sebagai salah satu keluarga terkaya di negeri ini. Apakah ini suatu ironi sejarah? Atau suatu kesinambungan? Bukankah—menurut orang Belanda—setiap bupati memiliki (cukong) Tionghoa-nya masing-masing (‘eigen regent heeft zijn elke Chineezen’)44? Atau ada yang lain?

Mungkin Diponegoro akan mengelus dada sambil berkata, “weleh [] weleh, saikine pancen jaman edan, sing ora edan ora keduman.

Jakarta, 18 Mei 2015

Catatan Belakang:

1 Seorang sejarawan yang bekerja di Yayasan Naion Building (Nabil), Jakarta. Fokus utamanya

pada sejarah etnis Tionghoa di Indonesia. Karyanya antara lain “The Tiong Hoa Hwee Koan School: A Transborder Project of Modernity in Batavia, c. 1900s”, dalam Siew Min-sai dan Chang Hau-Yoon, (peny.), Chinese Indonesians Reassessed (2013), dan “Compeiion,

Patrioism and Collaboraion: The Chinese Businessmen of Yogyakarta between the 1930s-1945”, Journal of Southeast Asian Studies (2002). Dia adalah editor-bersama dan kontributor

ensiklopedia yang telah memenangi penghargaan: The Encyclopedia of Indonesia in the

Paciic War (2011). Selain dalam bahasa Indonesia, hasil risetnya telah terbit dalam bahasa Inggris, Jepang, Jerman, Belanda, dan Mandarin, yang secara bertahap bisa dibaca di htps:// independent.academia.edu/DidiKwartanada. Email: kwartanada@gmail.com

2 Artikel versi Inggris tersebut bisa diakses online pada link ini: http://cip.cornell.edu/

DPubS?service=Repository&version=1.0&verb=Disseminate&handle=seap.indo/

1107019142&view=body&content-type=pdf_1

3 ‘Baur dan Bandar’, diterbitkan ulang dalam Nirwan Ahmad Arsuka (ed), Kata, Waktu:

Esai-esai Goenawan Mohamad, 1960–2001 (Jakarta: PDAT, 2001), hlm. 493–495. Terima kasih kepada Evelyne Yudiari atas sumber ini.

4 Isilah peranakan mengacu pada orang Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia, memiliki

darah campuran dari perempuan lokal dan kebanyakan sudah idak bisa lagi berbicara dalam Bahasa Mandarin atau dialek Tionghoa. Dalam percapakan sehari-hari, mereka cenderung memakai bahasa lokal di mana mereka inggal.

5 Isilah ini diambil dari Takashi Shiraishi, ‘Ani-Sinicism in Java’s New Order’, dalam Daniel

Chirot dan Anthony Reid (peny.), Essenial Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformaion of Southeast Asia and Central Europe (Seatle: University of Washington Press, 1997), hlm.190

6 Keberadaan orang Tionghoa di awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta meneguhkan fakta

bahwa mereka termasuk ‘pribumi’ (penduduk asli) daerah ini. Nenek moyang penulis dari pihak ayahanda telah inggal di Yogyakarta sejak 1798, lihat Didi Kwartanada, ‘Tionghoa-Jawa: A Peranakan Family History from the Javanese Principaliies’, Chinese Heritage Center Bullein 4, December 2004, hlm. 41 (tersedia online). Justru ‘orang-orang seberang’ (Sumatra, Papua,

dll) baru datang jauh kemudian. Menjadi hal yang aneh, apabila orang Tionghoa peranakan tetap dianggap ‘nonpribumi’ (lihat hlm. xxix). Tentang Kapitan Cina To In, lihat juga Peter Carey, Kuasa Ramalan, III, hlm. 927.

7 Prakik ini berjalan terus hingga diambil alihnya sistem pacht oleh pemerintah pada akhir

abad ke-19, yang sekaligus mengakhiri peran strategis pengusaha Tionghoa dalam tatanan lama kolonial (old colonial order). Lihat lebih lanjut pemaparan yang bagus sekali dari Takashi

Shiraishi, “Ani-Sinicism in Java’s New Order”, dalam Daniel Chirot dan Anthony Reid (peny.), Essenial Outsiders, hlm. 187–207.

8 Benny G. Seiono, Tionghoa Dalam Pusaran Poliik (Jakarta: Elkasa, 2002), hlm. 611. 9 Isilah “middleman minority” pertama kali dipakai oleh sosiolog AS, Howard P. Becker (1940).

(12)

Minoriies in the Middle” (Walter P. Zenner). Untuk kajian lebih lanjut lihat Walter P. Zenner, Minoriies in the Middle: A Cross-Cultural Analysis (New York: SUNY Press, 1991). Beberapa ahli sudah mengkriik teori ini, lihat, misalnya, Mona Lohanda, Growing Pains: The Chinese and the Dutch in Colonial Java, 1890–1942 (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2002), hlm. 19. Akan tetapi, kami beranggapan teori ini bisa diterapkan bagi minoritas keturunan asing, misalnya, Tionghoa di Indonesia.

10 Dikuip dari Marin N. Marger, Race and Ethnic Relaions: American and Global Perspecives.

Edisi Kedua (Belmont: Wadsworth, 1994), hlm. 51–52. Terjemahan bebas dari penulis.

11 Hal ini terjadi pada masa Jepang, lihat tulisan-tulisan Didi Kwartanada: (1) “Compeiion,

Patrioism and Collaboraion: The Chinese Businessmen of Yogyakarta Between the 1930s– 1945”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 33, no. 2 (June 2002), hlm. 257–277; (2) “Die

chinesische Minderheit und die japanische Besatzung: Java 1942–1945”, Internaionales Asienforum (Internaional Quarterly for Asian Studies), Vol. 32, no. 1/2 (2001), hlm. 85–104; (3) “Chinese Leadership and Organizaion in Yogyakarta during the Japanese Occupaion”, dalam Paul Kratoska (peny.), Southeast Asian Minorities in Wartime Japanese Empire (Richmond, Surrey: Curzon Press, 2001), Bab 5.

12 Abu Hanifah, Tales of a Revoluion (Sydney: Angus and Robertson, 1972), h. 253. Terjemahan

bebas dari penulis.

13 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hlm.

53.

14 Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java,

1785–1855 (Leiden: KITLV-Press, 2007), hlm. xi. Belum lama buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir

Tatanan Lama di Jawa, 1785–1855 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012). Namun,

karena keterbatasan waktu, di sini kami masih mengacu pada edisi aslinya. Versi ringkas Kuasa Ramalan terbit sebagai Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785–1855 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014)

15 Soeripto, Ontwikkelingsgang der Vorstenlandsche Wetboeken. Disertasi Ilmu Hukum Leiden

University (Leiden: Eduard Ijdo, 1929), hlm. 88, 277–278.

16 Monique Zaini-Lajoubert, Abdullah bin Muhammad Al-Misri (Bandung: Angkasa-EFEO, 1987), h. 28, 111. Edisi revisi: Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri: Bayan al-asma’, Hikayat Mareskalek, ‘Arsy al-Muluk, Cerita Siam, Hikayat Tanah Bali (Jakarta: École Française d’Extrême-Orient & Komunitas Bambu, 2008.)

17 Peter Carey (penerj. dan peny.), Babad Dipanagara: An Account of the Outbreak of the Java

War (1825–1830): The Surakarta Court Version of the Babad Dipanagara with Translaions into English and Indonesian Malay. MBRAS Monograph No. 9 (Kuala Lumpur: Council of the MBRAS, 1981), hlm. 174

18 Dua belas tahun sebelum pecahnya Perang Jawa telah terjadi pembunuhan atas Han Tik Ko,

seorang Mayor Cina sekaligus tuan tanah peranakan yang amat terpandang di Probolinggo. Orang Jawa mengenang perisiwa pembunuhan itu sebagai ‘keproek tjina’ (menghajar Cina). Lihat Sri Margana, Java’s Last Fronier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763–1813. Disertasi Ph.D Leiden University, 2007, Bab Tujuh. Versi Indonesia karya berjudul: Ujung Timur Jawa, 1763–1813: Perebutan Hegemoni Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ifada, 2012).

19 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2 Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia, 1996),

hlm. 359

20 Hal yang sama juga diyakini oleh masyarakat Madura. Lihat Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa

Peranakan di Jawa (Jakarta: Komunitas Bambu, 2005), hlm. 25–26.

21 Ko Mo An adalah putra dari Ko Ho Sing, yang akan dibahas dalam bagian selanjutnya. 22 Didi Kwartanada dan Bernie Liem, “Sons of the Soil: The Chinese Community of Yogyakarta”,

Asian Geographic (Singapura) 9, Oktober 2007, hlm. 60

23 Dwi Woro Retno Mastui, “Wayang Kulit Cina Jawa Yogyakarta” dalam Leo Suryadinata (ed.),

Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa (Jakarta: Yayasan Nabil, akan terbit).

24 Didi Kwartanada, ‘Tionghoa-Jawa: A Peranakan Family History from the Javanese Principaliies’,

(13)

Peter Carey Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

25 Lihat lebih lanjut sumbangan Tionghoa Surakarta pada seni panggung di Surakarta dalam

Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895– 1998 (Yogyakarta/Jakarta: Ombak-NABIL, 2007). Terkait Go Tik Swan, lihat Neneng Iskandar, Baik Indonesia & Sang Empu: Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro (Jakarta, Indonesia: Tim Buku Srihana, 2008).

26 Volkstelling 1930 Volume VII (Batavia: Departement van Economishe Zaken, 1935), hlm.

104; Maurice Freedman, “The Chinese in Southeast Asia”, dalam Andrew W. Lind (ed.), Race Relaions in World Perspecive (Honolulu: University of Hawaii Press, 1956), hlm. 403; Didi Kwartanada dan Bernie Liem, “Sons of the Soil: The Chinese Community of Yogyakarta”, hlm. 59.

27 Didi Kwartanada dan Bernie Liem, “Sons of the Soil: The Chinese Community of Yogyakarta”,

hlm. 59

28 Freedman, “The Chinese”, hlm. 403.

29 Peter Carey, “Yogyakarta: From Sultanate to Revoluionary Capital of Indonesia. The Poliics

of Cultural Survival”, Indonesia Circle, No. 39, Maret 1986, hlm. 19–29.

30 Wawancara Budi Kho Djie Tjay (Magelang), September 2001.

31 A. Hendrawai dan Budi Kho, “Trah Secodiningrat: Setangkai Sinergi Bangsa Indonesia”,

manuskrip ketikan (Magelang: tanpa tahun), hlm. 18. Tiap paguyuban trah biasanya memiliki buku silsilah. Untuk trah Secodiningrat, lihat Purwosugiyanto, Buku Silsilah Trah

RT Secodiningrat (Yogyakarta: diterbitkan sendiri, 1982), 33 halaman ketikan. Penulis

mengucapkan terima kasih pada Bapak Budi Kho atas sumber ini.

32 Berlainan dengan apa yang ditulis para akademisi, termasuk Peter Carey, keturunan

Secodiningrat percaya bahwa Tan Jin Sing sebenarnya adalah seorang Jawa yang diadopsi oleh keluarga Tionghoa dan dibesarkan dalam dunia Tionghoa dan Jawa. Lihat lebih lanjut A. Hendrawai dan Budi Kho, “Trah Secodiningrat: Setangkai Sinergi Bangsa Indonesia”.

33 Dikuip dari Sandra Wallman, “Idenity Opions”, in C. Fried (peny.), Minoriies: Community

and Idenity. Dahlem Conference 1983 (Berlin: Springer Verlag, 1983), hlm. 70, 73. Terjemahan bebas dari penulis.

34 Dikuip dari Sandra Wallman, “Idenity Opions”, hlm. 74. Terjemahan bebas dari penulis. 35 Oei Hong Kian, Dokter Gigi Soekarno: Peranakan yang Hidup dalam Tiga Budaya (Jakarta:

Inisari, 2001), hlm. 4. Perhaikan subjudul buku tersebut, yang menegaskan kejamakan idenitas penulisnya.

36 Isilah dari Peter Carey untuk Tan Jin Sing dalam resensinya atas buku T.S. Werdoyo, Tan Jin

Sing: Dari Kapitan Cina sampai Bupai Yogyakarta, dalam Journal of Southeast Asian Studies

23, 1 (1992), hlm. 141.

37 Peter Carey, “The Briish in Java, 1811–1816: A Javanese Account”, dalam J. van Goor (peny.),

Trading Companies in Asia 1600–1830 (Utrecht: HES, 1986), hlm. 148

38 Lihat ringkasan isi memoar ini dalam Theodore G. Th. Pigeaud, Literature of Java Volume

IV: Supplement (Leiden: Leiden University Press, 1980), hlm. 242–245. Baru-baru ini muncul perhaian kembali terhadap naskah Ko Ho Sing, lihat Willem van der Molen, “Documents on the Life of Ko Ho Sing (1825–1900)”, dalam Teresa Liliana Wargaseia (peny.), Proceedings The

2nd Internaional Conference on Chinese Indonesian Studies (Bandung: Maranatha University

Press, 2015), hlm. 224–233.

39 Dalam kepustakaan, seorang migran seperi Ko He Te disebut sinkeh (di Jawa biasa dilafalkan

‘singkek’), yang berasal dari dialek Hokkian, yang berari ‘pendatang baru’.

40 Bagian berikut ini disarikan dari A.M. Djuliai Suroyo, “The Chinese in Javanese Rural Society

in the Nineteenth Century”, makalah pada Second Internaional Symposium on Humaniies: Linguisics and History, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 26–27 April 1993, hlm. 4–5.

41 Peter Carey, Power of Prophecy, hlm. 19. Walaupun Crawfurd dikenal sebagai seorang

ani-Tionghoa (sinophobe), tetapi penulis pengantar ini bisa menyetujui pengamatannya. Tentang

kecenderungan ani-Tionghoa Crawfurd, lihat di hlm. 41.

42 Teks aslinya dalam Bahasa Jawa:

Ulun-ulun kang senjata

nggoning Cina ingkang dipunbedhili

(14)

amung brahalanira

kang denandel pinundi sinuhun-nuhun jinaga mring Cina kathah

tan pegat densembahyangi.

“Memoar Ko Ho Sing”, seperi dikuip oleh A.M. Djuliai Suroyo, “The Chinese in Javanese Rural Society”, hlm. 5. Berhubung penulis idak memiliki akses ke naskah aslinya, terjemahan bebas ke dalam Bahasa Indonesia dilakukan oleh penulis dari teks Djuliai (hanya tersedia dalam bahasa Jawa dan Inggris).

43 Marleen Dieleman, “How Chinese are the Entrepreneurial Strategies of Ethnic Chinese

Business Groups in Southeast Asia? A Mulifaceted Analysis of the Salim Group of Indonesia”, Disertasi Ph.D Leiden University, 2007, hlm. 83, 175, disertasi ini kemudian terbit dengan judul: The Rhythm of Strategy: A Corporate Biography of the Salim Group of Indonesia. (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007); Richard Robison, Indonesia: The Rise of

Capital (North Sydney: Allen & Unwin, 1987), h. 259–260, 296–297.

44 Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).

PRAKATA

Edisi Kedua

Kalau sudah masuk dalam tataran politik, semua dikondisikan menjadi abu-abu.

Sejarah semestinya tidak demikian. Sejarah adalah fakta-fakta yang menjadi saksi peradaban” (Eneng Rokajat Asura, penulis, Depok)

Saya ikut senang atas penerbitan ulang sebagai edisi kedua terjemahan karya saya “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755–1825” yang semula dimuat dalam jurnal dari Cornell University, USA, Indonesia no. 37 (April 1984), hlm.1–47. Kali ini, penerbitan edisi kedua bersama Komunitas Bambu telah mengalami perbaikan yang menyeluruh dan saya pun ikut terlibat di dalamnya. Salah satu perbaikan adalah untuk menggantikan semua istilah “Cina” menjadi “Tionghoa”—kecuali dalam judul buku dan gelar seperti “Kapitan Cina” dan kutipan dari surat-surat asli—yang bisa dianggap lebih etis atau “politically correct” pada zaman Reformasi ini.

(15)

Peter Carey Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

Keduanya merupakan terjemahan biograi lengkap dari riwayat hidup Pangeran Diponegoro serta zaman peralihan antara Kompeni Belanda (VOC, 1602–1799) dan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1818–1942), yang diterbitkan Koninklijk Instituut, Leiden, pada 19 Desember 2007 dengan judul, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855 (Leiden: KITLV Press).

Rupanya ingatan sehat atas sejarah hubungan Jawa dan Tionghoa selama berabad-abad sejak Majapahit (1293–1510-an) dan zaman wali songo (1480–1600)—di mana seorang wali keturunan Tionghoa, Bun Ang (Sunan Bonang) (lihat hlm.23), mengambil peran penting dalam proses meng-Islam-kan Jawa—sangat diperlukan sekarang. Dalam konteks ini, saya ingin banyak berterima kasih kepada sejarawan dari Surakarta, Raden Mas Daradjadi Gondodiprodjo, yang telah melawan amnesia kebangsaan dengan menuliskan kembali perang koalisi Jawa–Tionghoa menentang VOC pada 1740–1743 dalam bukunya, Geger Pacinan; Persekutuan Persekutuan Tionghoa–Jawa melawan VOC (Jakarta: Buku Kompas, 2013). Upaya Upaya membenturkan antarkelompok, seperti membangun kecurigaan Jawa dan Tionghoa, ditolak Daradjadi dengan menghidupkan kembali ingatan sejarah hubungan perwira Tionghoa Kapitan Sepanjang dan saudara seperjuangannya, Pangeran Samber Nyawa alias RM Said (KGPA Mangkunegara I, bertahkta 1757–1795) (lihat hlm. 23).

Pada era yang serba berbahaya ini, di mana persetujuan perdagangan bebas dengan Tiongkok (ASEAN–China Trade Agreement) akan dimulai sepenuhnya pada Desember 2015, kita membutuhkan suatu pengertian mendalam tentang sejarah bangsa sendiri. Masalah Jawa Tengah selatan menjelang Perang Diponegoro (1825–1830)—di mana kaum Tionghoa dipakai sebagai ujung tombak sistem bandar tol pemerintah Hindia Belanda yang menguras kekayaan pribumi (lihat Bab 5)—dan Indonesia

pada masa kini—di mana jurang antara kaum kaya dan kaum miskin semakin melebar—tidak bisa djawab dengan kebijakan propribumi, karena isunya memang bukan pribumi lawan nonpribumi. Isunya adalah sistem ekonomi yang sarat kolonialisme dan kapitalisme.

Kita juga patut menanyakan siapa yang “pribumi” dan siapa yang “nonpribumi” dalam suatu masyarakyat majemuk Nusantara yang terdiri dari gelombang pendatang. Pendatang tersebut berasal dari daerah lain benua Asia (Yunnan, Tiongkok, India, Persia) dan Timur Tengah, di mana tidak kurang dari 12% dari asas-asas keturunan (gene pool) penduduk Pulau Bali, umpamanya, berasal dari India.1 Mungkin salah satu “obat” manjur untuk menyumbuhkan pikiran yang dangkal mengenai pribumi dan nonpribumi adalah untuk mengunduh semua data dari Eijkman Institut (Jakarta) tentang “genetic record” dari penduduk Indonesia supaya bisa dipelajari oleh mahasiswa dan rakyat kebanyakan.

Tulisan pendek ini diharapkan berguna dengan mengingatkan kita atas sejarah dan kemajemukan Nusantara, di mana semua etnis dan agama telah mengambil peran yang penting. Semoga toleransi dan kesadaran tetap bisa menjadi rujukan bangsa. Sekali lagi saya berterima kasih pada teman-teman Komunitas Bambu (Depok), terutama Bang JJ Rizal dan Mas Danang Wahansa, yang bertindak sebagai editor yang andal untuk edisi baru ini. Juga untuk saudara Didi Kwartanada yang telah menuliskan pengantarnya untuk edisi pertama dan menambah bahan untuk edisi kedua.

(16)

Diponegoro; Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa” di Galeri Nasional (6 Februari–8 Maret 2015), Subianto (Mas Subi), yang telah memotret semua lukisan Hariyadi tersebut. Saya juga berterima kasih kepada Mas Tjundaka Prabawa, seorang ahli aristektur Pacinan dan sejarawan masyarakyat Tionghoa di Yogyakarta, atas foto-foto bekas kediaman Secodiningratan—yang dibangun K.R.T. Secodiningrat (Tan Jin Sing) saat masih menjabat sebagai Kapitan Cina di Yogyakarta (1803–1813)—yang telah dimusnahkan oleh pemilik baru pada 2012 lalu.

Last but not least, saya banyak belajar dari murid saya di Kelas 7 SMP Pelangi Kasih (Kelapa Gading) dengan penelitian sejarah lisan (wawancara) yang mereka buat dengan keluarga masing-masing tentang pengalaman mereka saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan sebelumnya. Kepada para pembaca, semoga edisi baru buku ini–layaknya sekapur sirih dari edisi pertama yang sudah lama habis terjual–bermanfaat.

Peter Carey Serpong, 6 Juni 2015

Catatan Belakang:

1. Taiana M. Karafet et al, “Balinese Y-Chromosome Perspecive on the Peopling of Indonesia:

Geneic Contribuions from Pre-Neolithic Hunter-Gatherers, Austronesian Farmers, and Indian Traders”, Human Biology 77.1 (February 2005), hlm.93-114.

Pengantar Didi Kwartanada: Perang Jawa (1825–1830)

dan Implikasinya pada Hubungan Tionghoa–Jawa v

Prakata xxvii

Daftar Gambar xxxiii

BAB 1 Pendahuluan 1

BAB 2 Latar Belakang Historis (Sekitar Tahun l400–1800) 11 BAB 3 Orang Tionghoa di Berbagai Kerajaan Jawa Tengah

Pasca-Giyanti (Referensi Khusus pada 1808–1812) 39 BAB 4 Serangan Inggris ke Yogyakarta

pada 20 Juni 1812 dan Akibatnya 55

BAB 5 Pengelolaan Perdagangan Candu dan Gerbang Tol oleh Orang Eropa (1812–1825) serta

Dampak Sosial-Ekonominya 81

BAB 6 Rasa Antiasing dan Jati Diri: Perubahan Sikap Orang Jawa terhadap Orang Tionghoa selama Perang Jawa 101

BAB 7 Kesimpulan 109

Daftar Pustaka 113

Lampiran 127

Indeks 135

(17)

DAFTAR GAMBAR

1. Rumah Madat di Jawa pada Awal Abad Ke-19

(Sumber Java: Tooneelen Uit Het Leven, Karakterschetsen En Kleederdragten Van Java’s Bewoners...hlm. 27

[‘s-Gravenhage: Fuhri, 1853], dari KITLV, Leiden.) 4

2. Penjahit & Pembantunya Orang Jawa pada Awal Abad Ke-19 (Sumber: Koleksi A.A.J. Payen (Buku Sketsa E), dari

Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden) 13

3. Saron dengan Motif Singa Khas Tiongkok

(Sumber: Foto karya Sue Devale pada 1977, dari Leiden

Universiteits Bibliotheek) 25

4. Rumah Mayor Cina Be Biauw Tjoan di Semarang, 1867 (Sumber: Foto karya Walter Woodbury dan James Page,

dari Leiden Universiteits Bibliotheek) 27

5. Letnan Cina Menggunakan Busana Gala (Galatenue) (Sumber: Foto karya A. Bierens de Haan pada 1890,

dari Leiden Universiteits Bibliotheek) 44

(18)

P

ada Senin, 17 September 1825, selama bulan-bulan pertama Perang Jawa (1825–1830), suatu kesatuan kecil pasukan berkuda di bawah pimpinan Raden Ayu Yudokusumo, putri Sultan Pertama Yogyakarta, melakukan penyerbuan ke Ngawi—sebuah pos perdagangan vital—yang terletak di pertemuan Kali Madiun dan Bengawan Solo di Jawa Timur. Pos perdagangan tersebut merupakan tempat permukiman penduduk golongan Tionghoa. Mereka utamanya adalah para dalal (pedagang perantara) beras, pedagang-pedagang kecil, serta para kuli. Jumlah mereka membengkak untuk sementara waktu sebagai akibat masuknya para pengungsi yang berasal dari desa-desa di sekitarnya.1 Mereka mencari perlindungan di dalam rumah-rumah para pedagang Tionghoa terkemuka yang mempunyai daun jendela dan pintu dari kayu jati yang kukuh dan kuat.

Meskipun tindakan membentengi diri itu dapat menahan berbagai perampokan yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kecu (perampok, penyamun) yang mengembara dan memenuhi daerah pinggiran luar sebelah timur wilayah kerajaan yang terdapat di Jawa tengah selatan, tetapi mereka bukan tandingan kapak-kapak berat dan kuat serta

tombak-BAB 1

Pendahuluan

sekitar 1771, dari Johanes Rach 1720–1783 Seniman

di Indonesia dan Asia, 2002, hlm. 97, seizin Perpustakaan

Nasional RI dan Rijkmuseum Amsterdam) 57

7. Rumah Bagian Depan dari Tan Jin Sing

(Sumber: Foto koleksi pribadi karya Tjundaka Prabawa) 62

8. Rumah Bagian Belakang dari Tan Jin Sing

(Sumber: Foto koleksi pribadi karya Tjundaka Prabawa) 63

9. Rumah Kapitan Cina di Ketandan, Yogyakarta

(Sumber: Foto koleksi pribadi karya Tjundaka Prabawa) 68

10. Pengadilan Distrik di Pati, Jawa Tengah dengan Kapitan Cina di Pati, Oei Hotam, Berada Paling Kiri

(Sumber: Litograi karya Walter Woodbury dan James Page,

dari Leiden Universiteits Bibliotheek) 87

11. Orang Tionghoa di Jawa pada Awal Abad Ke-19 dengan Kucirnya dan Gaya Berpakaiannya yang Khas

(Sumber: Koleksi A.A.J. Payen (Buku Sketsa E), dari

Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden) 105

12. Penduduk Lokal di Ketandan Era Sekarang

(19)

Peter Carey Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

tombak setajam silet dari kesatuan tempur Raden Ayu Yudokusumo. Tanpa menghiraukan jerit tangis para perempuan dan anak-anak yang begitu memilukan, 12 dari 40 orang Tionghoa di Ngawi dibantai dalam serangan pada jam tiga dini hari itu. Tubuh yang terpotong-potong dibiarkan bergelimpangan, berserakan di tanah, teronggok di muka pintu, di jalan-jalan serta rumah-rumah pun berlumuran penuh darah. Selebihnya, yang mencoba mempertahankan diri di dalam rumah dan loteng toko harus menyerahkan diri saat rumah-rumah mereka mulai dibakar oleh pasukan sang Raden Ayu. Sebagai tawanan perang, mereka dibawa paksa ke markas panglima Srikandi itu di Purwodadi, yang terletak di pinggir jalan antara Ngawi dan Maospati di Madiun.2

Sergapan dan pembantaian di Ngawi sangat mengejutkan, tetapi hal itu sama sekali bukanlah suatu peristiwa yang aneh pada bulan-bulan awal Perang Jawa. Di seluruh Jawa Tengah serta di sepanjang Bengawan Solo, adegan serupa dilakukan secara berulang-ulang. Itulah saat di mana komunitas Tionghoa yang terisolasi kemudian diserang dan melarikan diri dalam suasana kengerian. Mereka pergi ke tempat-tempat yang dipandang relatif lebih aman, seperti ke dalam kota-kota yang terdapat kesatuan tentara Belanda dan tempat-tempat permukiman orang-orang Tionghoa di pantai utara (pesisir) Pulau Jawa. Bahkan koloni-koloni masyarakat Tionghoa yang sudah mapan sekalipun, seperti penduduk penenun Jono di sebelah timur Bagelen yang berkekuatan 800 jiwa, akhirnya harus pula diungsikan pada Mei 1827 setelah banyak penjaga gerbang tol (bandar) dibunuh.3

Hal yang menarik adalah bahwa ketika peperangan semakin meluas— jika dikaitkan dengan kedudukan orang Tionghoa—gambaran yang muncul pun semakin beraneka ragam. Misalnya, di Jawa Tengah dan di pesisir, terdapat sejumlah kecil orang Tionghoa hasil perkawinan campuran

(peranakan) yang juga ikut berjuang bersama-sama dengan pasukan Diponegoro. Mereka menyediakan kebutuhan uang perak, senjata, serbuk mesiu, dan candu. Bahkan, sesekali orang-orang Tionghoa peranakan ini ikut pula bertempur, bahu-membahu dengan mereka.4

Inilah keadaan yang dapat dijumpai di sekitar Lasem—yang terletak di pantai utara pulau Jawa—selama kampanye peperangan yang gagal dilancarkan oleh Raden Tumenggung Sosrodilogo pada 1827–1828. Orang-orang Tionghoa setempat—banyak di antara mereka telah memeluk agama Islam serta merupakan keturunan keluarga Tionghoa peranakan dan telah lama bermukim di pulau ini—oleh karena telah melakukan kerja sama yang erat dengan orang-orang Jawa, mereka menjadi korban pembalasan dendam yang kejam dari orang Belanda setelah kekalahan yang diderita oleh Sosrodilogo pada Januari 1828.5

Namun, kerja sama Tionghoa–Jawa yang demikian itu pada umumnya jarang terjadi. Peristiwa-peristiwa berdarah yang terjadi pada bulan-bulan pertama perang tersebut sudah membuat trauma orang-orang Tionghoa. Hal itu membuat suatu perasaan kecurigaan yang mendalam tentang maksud dan tujuan-tujuan orang-orang Jawa menjadi warisan kekal dari periode ini. Sikap takut dan tidak memercayai yang diperlihatkan oleh orang-orang Tionghoa ini pun dibalas pula dengan sikap yang sama oleh orang-orang Jawa.

(20)

S i k a p D i p o n e g o r o y a n g demikian itu berasal dari salah satu episode peperangannya yang terjadi tepat sebelum kekalahannya yang menyedihkan di Gawok (di luar Surakarta) pada 15 Oktober 1826. Sesuai dengan apa yang ditulisnya sendiri di dalam babadnya, ia telah diruntuhkan oleh kemolekan seorang gadis Tionghoa yang tertangkap di d a e r a h P a j a n g ( S u r a k a r t a – D e l a n g g u ) , y a n g k e m u d i a n dipekerjakan sebagai tukang pijat.6 Kemudian, di kemudian hari, ia juga menyalahkan kekalahan yang diderita oleh iparnya, Sosrodilogo, dalam peperangan di pantai utara sebagai akibat pelanggaran yang telah dilakukannya atas larangan-larangan yang dikeluarkannya sendiri. Sosrodilogo berhubungan seksual dengan salah seorang perempuan Tionghoa—yang disebut “nyonya Cina” dalam Babad Diponegoro—di Lasem.7 Dan memang, sampai akhir Perang Jawa tersebut, Diponegoro selalu menentang diadakannya hubungan dekat dengan anggota masyarakat Tionghoa setempat, yang dipandangnya sebagai bagian dari sumber utama penindasan perekonomian orang Jawa.

Dari sudut pengetahuan kita mengenai sejarah Indonesia modern sejak Perang Jawa, sikap-sikap yang demikian itu tampaknya dapat dengan mudah dipahami. Bagaimanapun juga, orang-orang Tionghoa telah memainkan peran yang menimbulkan kecemburuan sebagai mandor, pedagang eceran candu, serta orang yang meminjamkan uang selama periode Tanam Paksa

(1830–1870), dan kelak tampil sebagai pesaing ekonomi utama orang-orang Jawa selama tahun-tahun pertama abad ke-20.

Pergerakan politik massa Indonesia yang pertama, yakni Sarekat Dagang Islam, didirikan di Surakarta pada 1911. Sebagian dari tujuan pendiriannya adalah sebagai koperasi dagang para pembuat kain batik setempat yang bersifat anti-Tionghoa. Kemudian, sikap mendua—yang diperlihatkan oleh banyak kelompok masyarakat Tionghoa Indonesia selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945–1949), serta dominasi mereka atas perdagangan lokal dan pasar utama sampai 1959—kerap kali membuat mereka menjadi sasaran berbagai tindakan diskriminasi dan penyerangan.

Bahkan sampai sekarang pun, perkawinan antara orang Jawa dan orang Tionghoa—terutama sekali di kalangan lapisan masyarakat Jawa atasan—hanya dapat dicapai setelah melalui banyak kesulitan. Pada umumnya, para anggota priayi (pejabat) yang berasal dari kalangan elite akan memperingatkan anak-anaknya untuk tidak melangsungkan perkawinan dengan Tionghoa. Dikatakan bahwa “abu” orang Tionghoa lebih tua umurnya. Hal itu dipercaya karena keturunan yang lahir dari perkawinan-perkawinan seperti itu terbukti memperlihatkan kemungkinan yang lebih besar untuk mewarisi sifaf-sifat orang Tionghoa daripada sifat-sifat orang Jawa.8

Suatu peristiwa tragis, yang pada awal 1980-an terjadi dan menimpa keluarga Mangkunegaran, tampaknya membenarkan peringatan yang telah dijabarkan sebelumnya, yaitu kematian Putra Mahkota, Gusti Kanjeng Pangeran Haryo Radityo Prabukusumo. Oleh orang-orang pada masa itu, hal tersebut terjadi justru sebagai akibat dari suatu mésalliance (perkawinan dengan seseorang yang lebih rendah derajatnya) dengan seorang perempuan Tionghoa peranakan setempat.9

Rumah Madat di Jawa pada Awal Abad Ke-19

(21)

Peter Carey Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

Namun, dalam pandangan penulis, sikap-sikap yang diperlihatkan terhadap masyarakat Tionghoa di Jawa Tengah selatan baru mengalami kristalisasinya selama 150 tahun terakhir ini, bersamaan dengan terjadinya hantaman ekonomi asing terbesar yang melanda daerah pedalaman pulau tersebut. Sebelum periode itu—sebelum terjadinya Perang Jawa pada 1825–1830 yang membawa sial—paling tidak di lingkungan istana, tampaknya tumbuh dan hidup suatu bentuk hubungan yang sangat berbeda antara dua kelompok masyarakat tersebut. Hubungan yang hidup di antara mereka ini tidaklah didasarkan atas saling curiga, tetapi lebih kepada tingkat kepentingan bersama dan kerja sama antarkelompok secara timbal balik yang cukup menonjol.

Orang-orang Tionghoa dibutuhkan di istana sebagai orang-orang yang dapat memberikan pinjaman uang dan sebagai ahli perdagangan. Mereka dapat menyediakan tenaga-tenaga terampil di bidang keuangan, yang sama sekali tidak tersedia di kalangan masyarakat Jawa. Bahkan terdapat petunjuk bahwa sejumlah perkawinan antarkelompok telah berlangsung di antara golongan priayi Jawa dan orang Tionghoa. Kadang-kadang, penguasa lokal juga mengambil perempuan-perempuan Tionghoa peranakan yang cantik sebagai istri kedua mereka (garwa ampéyan, selir). Pemikiran bahwa perkawinan yang seperti itu tidak ayal lagi akan membawa kemalangan sebagai akibatnya, kelihatannya merupakan sesuatu yang asing bagi orang Jawa.

Sementara dari pihak orang Tionghoa, mereka merasakan bahwa ikatan mereka dengan istana kerap kali merupakan suatu sine qua non (syarat yang harus ada) bagi kepentingan keberhasilan perdagangan mereka di daerah pedalaman. Oleh sebab itu, mereka sendiri akan selalu berusaha untuk lebih memperkuat ikatan itu melalui perkawinan serta hubungan-hubungan pribadi yang lebih baik. Dengan demikian, pada

lapisan masyarakat yang lebih tinggi, komunitas Tionghoa peranakan yang telah berakulturasi dengan baik tampaknya terus berkembang dan bertambah besar, tanpa mengalami kesulitan yang berarti, oleh karena telah berhasil mengadopsi tingkah laku dan bahasa dari tetangganya, orang-orang Jawa.

Lantas, apakah keadaan seperti itu juga tercermin di dalam hubungan yang terdapat di antara orang Tionghoa dan orang Jawa? Pada tingkat pedesaan, sangat tidak jelas gambarannya. Memang mungkin saja bahwa di daerah-daerah tertentu sudah terdapat suatu derajat saling curiga dan perselisihan di antara kedua kelompok masyarakat tersebut sejak awal. Referensi-referensi yang tersebar di dalam arsip-arsip VOC baik dari akhir abad ke-17 maupun dari awal abad ke-18, yang akan dibicarakan nanti, tampaknya menunjuk ke arah yang seperti itu. Akan tetapi, sesungguhnya tanpa berupaya sungguh-sungguh untuk memeriksa dan menelaah sumber-sumber periode Kompeni yang kaya demi menemukan data-data yang menyangkut pokok pembicaraan tersebut, tidaklah mungkin dapat ditarik suatu kesimpulan yang tegas.

(22)

Beberapa daerah, misalnya, Banten dan dataran tinggi Priangan (Preanger Bovenlanden) di Jawa Barat, di mana imigrasi orang Tionghoa dilarang sampai awal abad ke-20, tidak mengalami ketegangan yang sama seperti yang sudah digambarkan sebelumnya. Wilayah-wilayah lain, seperti Batavia dan sekitarnya (Bataviaase Ommelanden) serta Cirebon— di mana terjadi penyewaan tanah yang meluas pada akhir abad ke-17 dan abad ke-18—mengalami periode-periode perselisihan antarkelompok masyarakat yang sama jauh lebih awal, di mana berlangsung dengan sengit dan pahit.10

Akan tetapi, walaupun daerah-daerah tersebut akan tetap dirujuk guna kepentingan perbandingan—hal itu memang layak untuk dilakukan— fokus utama pembahasan tetap hanya menyangkut negara-negara para raja di selatan Jawa Tengah, pada periode 1755–1825.

Catatan Belakang

1. Mengenai penduduk Tionghoa yang bermukim di Ngawi pada 1808, yang berjumlah 20

orang laki-laki dewasa yang telah berusia lebih dari 14 tahun (seorang penjaga gerbang tol, empat orang pedagang, dan 15 orang kuli), baca “Bundel Djokjo Brieven” (jilid surat-surat dalam Arsip Keresidenan Yogyakarta pada Arsip Nasional Republik Indonesia [ANRI], Jakarta) [selanjutnya akan disebut dengan singkatan “Dj.Br.”] 86, Tan Jin Sing, “Generale Lyst van zoodanige Chinesen als volgens opgave van den Captein dien Naie alhier, bevinden met aantooning hunne woonplaats en kostwinning”, Mei 1808. Bersama dengan seluruh anggota keluarganya, kemungkinan mereka berjumlah sekitar 60 sampai 80 jiwa, dan ukuran jumlah penduduk pada 1825 dapat dipasikan jauh lebih besar.

2. Mengenai pambantaian di Ngawi, lihat P.J.F. Louw dan E.S. de Klerck, De Java-oorlog van

1825–30, 6 jilid (Batavia/Den Haag: Landsdrukkerij/Nijhof, 1894–1909), I: hlm. 522–525, 545, 561, 584; dan Peter Carey, Kuasa Ramalan, hlm. 724, catatan kaki 25. Kiranya cukup menarik untuk dicatat bahwa perempuan Jawa yang menjadi komandan tersebut, Raden

Ayu Yudokusumo, yang menikah dengan Bupai Wirosari Yogyakarta (pasca-Juli, 1812, Bupai Muneng) yang sakit-sakitan, sebelumnya pernah berutang kepada orang Tionghoa tukang meminjamkan uang yang berdiam di Jawa Timur, lihat Peter Carey (peny.), The

Briish in Java, 1811–1816; A Javanese Account (Oxford: Oxford University Press for the Briish Academy, 1992), hlm. 456, catatan kaki 271.

3. Mengenai koloni Tionghoa di Jono, yang secara cepat dievakuasi oleh Belanda pada Mei

1827, lihat Bataviasche Courant no. 41 (21 Oktober 1825), hlm.1–2; Louw, Java-oorlog, II: hlm. 215–216, 333–334; dan III: hlm. 86, 108–109. Untuk lokasi Jono, lihat Lampiran 2.

4 P.B.R. Carey (peny. dan penerj.), Babad Dipanagara; An Account of the Outbreak of the

Java War (1825–30) (Kuala Lumpur: Art Printers, 1981), hlm. 260, catatan kaki no. 106.

5. Louw, Java-oorlog, III: hlm. 525; dan Pangeran Arya Dipanagara, Babad Dipanagoro. Serat

Babad Dipanagaran karanganipun Swargi Kangjeng Pangeran Arya Dipanagara piyambak nyariosaken wiwit keremipun dhateng Agami Islam tuwin dadosing prang ageng ngantos dumiginipun kakendhangaken dhateng Menadho, 2 jilid. (Surakarta: Rusche, 1908–1909), II: hlm. 26.

6. Louw, Java-oorlog, II: hlm. 517, catatan kaki no. 1; Carey (peny. dan penerj.), Babad

Dipanagara, hlm. 260, catatan kaki no. 106; dan Dipanagara, Serat Babad Dipanagara, I: hlm. 258–259:

XXVIII (sinom) 14. Ana ing Darèn punika ing dalu kinèn meteki

7. Louw, Java-oorlog, III: hlm. 525 dan Dipanagara, Serat Babad Dipanagaran, II: hlm. 26,

XXXIII (Maskumambang) 71 [...]

Cina ing Lasem sedaya

72. mapan sampun sumeja manjing Agami Dèn Sasradilaga

dadya supé wéling Aji anjamahi �yonyah Cina

73. pan punika ingkang dadi marganèki apes juriira

(23)

Peter Carey

8. Benedict R. O’G. Anderson, The Mythology and the Tolerance of the Javanese (Ithaca:

Cornell University Modern Indonesian Project, 1965), hlm. 1.

9. K.G.P.A. Radityo Prabukusumo (anak laki-laki paling tua Gusi Kanjeng Pangeran Harya

Adipai Mangkunegara VIII (bertakhta 1944–1988) dan almarhumah istri utamanya, Gusi Putri Wasunitui (meninggal pada 1978) tewas di belakang kemudi mobil Honda Civic-nya, di luar kota Boyolali, keika kendaraan yang dikemudikannya itu bertabrakan dengan sebuah jip, pada Desember 1977. Istrinya yang peranakan Tionghoa, Emma Santoso, sesudah membina kariernya sebagai aktris di Jakarta, dan anaknya yang masih kecil—yang duduk di sebelahnya—sama sekali idak mengalami cedera apa pun. Wawancara dengan anggota keluarga Mangkunegaran, Istana Mangkunegaran, Surakarta, April 1978.

10. Mengenai Batavia dan sekitarnya, lihat Leonard Blussé, ”Batavia, 1619–1740: The Rise and

Fall of a Chinese Colonial Town”, Journal of Southeast Asia Studies 12, no. 1 (Maret 1981):

hlm. 169–178; tentang Cirebon, lihat J.A. van den Broek, “De Cheribonsche Opstand van 1806”, Tijdspiegel 3 (1891): hlm. 368–383; dan Th. Stevens, ”Cirebon at the Beginning of the Nineteenth Century: An Analysis of the Reacion from a Javanese Sultanate to the Economic and Poliical Penetraion of the Colonial Regime between 1797 and 1816”, dalam Papers

of The Dutch-Indonesian Historical Conference held at �oordwijkerhout, the �etherlands, Anthony Day dan A.B. Lapian (peny.) (Leiden: Bureau of Indonesia Studies, 1978), hlm. 79–86.

H

ubungan perdagangan antara negeri Tiongkok dan Jawa sudah berlangsung dalam waktu yang lama dan sangat mungkin sudah dimulai sejak abad-abad awal Masehi.1 Pada masa puncak kejayaan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada abad ke-14, orang Jawa dari golongan atas tampaknya telah terbiasa dengan barang-barang mewah yang diimpor dari negeri Tiongkok, seperti sutera, porselen, dan sampang atau pernis. Pada waktu yang bersamaan di sepanjang pantai utara Jawa, masyarakat pedagang bangsa Tionghoa telah mengukuhkan diri mereka dan tampaknya telah melangsungkan sejumlah perkawinan dengan penduduk setempat. Seiring berjalannya waktu, kebanyakan dari orang-orang Tionghoa peranakan, yang lahir dari perkawinan-perkawinan yang demikian itu, akhirnya memeluk agama Islam.

Berbagai penyelidikan yang dilakukan oleh Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf, tentang kepingan-kepingan sejarah terkenal tentang negara-negara Islam yang pertama di Pulau Jawa, telah menarik perhatian orang kepada peranan yang dimainkan oleh anggota masyarakat Tionghoa di pantai utara ini dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Selain itu, mereka juga

BAB 2

(24)

menjadi perhatian di dalam perkembangan kota-kota pelabuhan yang sedang tumbuh di pantai utara pada abad ke-14 dan abad ke-15.2

Bahkan, pada puncak kejayaan kerajaan Hindu-Buddha, beberapa orang pegawai kecil (para penjaga gerbang tol), para awak perahu, serta pedagang-pedagang yang terdapat di sepanjang Sungai Brantas tampaknya adalah orang-orang keturunan Tionghoa. Pigeaud secara khusus menyebutkan salah seorang dari pegawai yang berdarah campuran ini, yaitu Adipati Terung, yang mengangkat imam (pemimpin orang-orang beragama Islam) pertama untuk masjid tua di Ngampel Denta, Surabaya, pada abad ke-15. Tentu saja, sesuai dengan tradisi-tradisi setempat, dua orang yang sangat penting dari Wali Sanga (sembilan wali Islam) di Jawa, Sunan Bonang dan Sunan Ngampel Denta, adalah keturunan Tionghoa.3

Selama abad-abad selanjutnya, komunitas Tionghoa ini terus memainkan peranan yang amat penting artinya di dalam kehidupan ekonomi dan sosial di pedalaman kerajaan-kerajaan Jawa. Perdagangan yang berlangsung melalui kota-kota pelabuhan di pantai utara merupakan sumber pendapatan tahunan yang sangat penting bagi kerajaan Jawa Mataram pada abad ke-17. Sepertinya terlihat bahwa orang-orang Tionghoa itu telah berhasil menguasai posisi kunci perdagangan ekspor beras dan kayu jati. Tumenggung Wiroguno, seorang pegawai yang kemudian tampil sebagai seorang tokoh paling berpengaruh di istana pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Sultan Agung (1613– 1646), tampaknya memperoleh kekuasaan yang kuat sebagai akibat kegiatan perdagangan yang begitu luas. Hal itu dapat dilakukan berkat kemampuannya menggunakan orang-orang Tionghoa perantara serta dalal beras untuk mengatur penjualan ekspornya di Batavia.4

Para penguasa yang memerintah di Kerajaan Mataram juga bergantung kepada orang-orang Tionghoa tersebut. Pada 1653, Amangkurat I, raja

tidak cakap yang memerintah antara 1646–1677, melihat bahwa rencana dan usaha blokade yang dilakukannya atas Pulau Bali telah mengalami kegagalan sejak awal; akibat penolakan orang-orang Tionghoa menghentikan perdagangan beras mereka dengan pulau itu.5 Berbagai usaha yang kemudian ia lancarkan untuk menutup kota-kota pelabuhan di pantai utara (1655–1657; 1660–

1661) serta melarang semua pelayaran pantai lebih banyak merupakan pengakuan atas kekalahan yang harus dideritanya, daripada tindakan seorang raja yang berdaulat dan kuat.6

Sesungguhnya, baik VOC maupun para penguasa Jawa membutuhkan orang Tionghoa dengan segala kegiatan mereka di bidang perdagangan.7 Kebutuhan akan peranan mereka ini tercermin dalam kedudukan administratif dan hukum istimewa yang diberikan kepada mereka. Dengan demikian, pada setiap kota pelabuhan utama dan kota-kota perdagangan yang terletak di pinggir sungai, ditunjuklah syahbandar (mandor tol dan bea cukai) khusus untuk komunitas pedagang Tionghoa, bersama-sama dengan syahbandar yang harus mengurusi para pedagang pribumi.8

Pada waktu yang bersamaan, makna penting yang luar biasa dalam dunia perdagangan, yang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa, bagi kepentingan para pengusaha Kerajaan Mataram tercermin pada undang-undang hukum tradisional orang Jawa. Hukum tersebut menetapkan bahwa denda (diyat; secara hariah berarti ”uang darah”) yang dijatuhkan

(25)

Peter Carey Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

atas pembunuhan satu orang Tionghoa haruslah dua kali lebih besar dibandingkan membunuh satu orang Jawa.9

Orang Belanda juga mengambil langkah-langkah untuk memperluas perlindungan hukum VOC kepada orang Tionghoa yang bertempat tinggal di wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Di dalam persyaratan kontrak kedua yang ditandatangani oleh Amangkurat II (bertakhta 1677–1703) dan VOC pada 19–20 Oktober 1677, semua orang Tionghoa bersama-sama dengan “vremdelingen” [sic] (orang asing), yaitu orang-orang Makasar, Melayu, Bali serta orang-orang-orang-orang muslim yang bukan orang-orang Indonesia (”orang-orang Moor”), selanjutnya berada di bawah kekuasaan hukum Kompeni.10

Perlindungan hukum yang diberikan Kompeni ini ditegaskan di dalam semua perjanjian dan kontrak yang kemudian ditandatangani antara Pemerintah Batavia dan para penguasa Jawa. Pada awal abad ke-19, hal itu diperluas dengan mencakup semua orang ”apa pun keterangannya”, kecuali hanya orang-orang Jawa yang benar-benar lahir di dalam wilayah negara pengganti bekas Kerajaan Mataram.11 Perluasan kekuasaan hukum yang dimiliki pemerintah yang penting ini akan membawa dampak banyak timbulnya perselisihan dengan para penguasa kerajaan Jawa, terutama setelah 1817, ketika semua perselisihan mengenai gerbang tol yang melibatkan orang-orang Tionghoa harus dirujuk ke Pengadilan Tinggi (Raad van Justitie) di Semarang.12

Akhirnya pada 1855, dengan peraturan-peraturan yang memperluas berlakunya hukum dan undang-undang—sehingga mencakup pula “orang-orang Timur asing” (Bepalingen houdende Toepaselyk verklaring van de Europese Wetgeving op de met de Indonesische Gelijkgestelde Bevolking [Vreemde Oosterlingen])—orang Tionghoa secara resmi diberikan hak-hak istimewa untuk diadili dengan menggunakan Undang-Undang

Romawi-Belanda di dalam segala perkara. Namun, undang-undang tersebut tidak menyangkut perselisihan keluarga, perebutan surat wasiat, dan perselisihan masalah warisan.13

Pada akhir abad ke-17, bersamaan dengan penandatanganan kontrak tahun 1677, hal serupa yang dilakukan antara Amangkurat II dan VOC itu masih terus terjadi di masa selanjutnya. Namun, komunitas Tionghoa yang ada di Jawa Tengah mulai mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi sebagai akibat masuknya arus gelombang imigran baru dari daratan Tiongkok. Jatuhnya Dinasti Ming (1368–1644) serta dibukanya kembali perdagangan Tiongkok dengan wilayah Asia Tenggara pada 1683— sebagai akibat keberhasilan peperangan yang dilancarkan oleh pasukan Ch’ing di Formosa (sekarang Taiwan)—telah menciptakan keadaan yang menguntungkan bagi peningkatan arus imigran dari berbagai provinsi pantai bagian selatan daratan Tiongkok. Imigran itu terutama sekali orang-orang Hokkian, dari daerah sekitar Xiamen di Provinsi Fujian, dan orang-orang Kwang Fu (orang-orang Guangdong) dari Guangzhou (Kanton) dan Makao.14

Jumlah jung dari Tiongkok yang setiap tahun merapat di Batavia meningkat dari tiga atau empat buah menjadi lebih dari 20 buah. Belum lagi imigran yang diturunkan secara tidak sah di Kepulauan Seribu, di Teluk Batavia, atau di hamparan pantai yang sunyi di dekat ibu kota Koloni Belanda tersebut.15 Banyak dari para pendatang baru ini, baik yang masuk secara sah maupun tidak sah, akhirnya menemukan jalan mereka ke Semarang dan kota pelabuhan lainnya di pantai utara.

Referensi

Dokumen terkait

Disarankan pula kepada guru, dosen yang mengajarkan tentang kata ganti orang agar lebih jelas menerangkan tentang kata ganti orang baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam

Sebagaimana imam Eli pasti sudah memberi pengajaran kepada anak-anaknya, apalagi dia imam, begitu pula responden mengatakan bahwa orang-tua mereka sebagai hamba

Ini ditunjukkan pada temuan penelitian yang dilakukan oleh Winingsih (2020) menyatakan setidaknya ada empat peran orang tua semasa pembelajaran jarak jauh (PJJ), yaitu

Sekali lagi kita sebagai orang tua perlu menanyakan kepada diri kita sendiri, apakah kita ingin anak kita menjadi seorang individu yang berkembang secara utuh dan seimbang, atau kita

Kajian ini dibahagikan kepada lapan bab, termasuk bab pengenalan. Dalam bab pengenalan dijelaskan tentang masalah yang telah diselidiki, tujuan, skop dan prosedur keseluruhan

Permasalahan inilah yang menimbulkan ketertarikan untuk melakukan kajian lebih jauh lagi mengenai hubungan antara budaya dan pola asuh orang tua (parenting style)

Begitu pula dengan kewarisan dan perwalian anak angkat, orang tua angkat dalam wawancara di atas mengatakan bahwa kelak warisannya akan diberikan sepenuhnya

Begitu pula sebaliknya, pelayanan berdasarkan indikator ketanggapan kurang baik terhadap tingkat kepuasaan pasien terhadap layanan yang didapat 25 orang yang menerima layanan kurang