• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA "

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Ibu Dwi Afrimetty Timoera S.H, M.H.

Disusun Oleh

:

Arif Sulaiman

Dhymas Nur Fauzi

Ika Oktavia

Nakhlah

Nina Nurjana

Rifqi Azhar Fadillah

Saiful Hidayat

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (A)

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT, puji serta syukur kami panjatkan dan solawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW karena dengan Rahmat-Nya kita dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA”. Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini. Maka kami mengucapkan banyak terimakasih kepada :

Ibu Dwi Afrimetty Timoera S.H, M.H.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari teman-teman sangat membantu untuk penyempurnaan makalah ini.

Jakarta, 17 September 2017

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...i Daftar Isi...ii Bab I Pendahuluan...iii a. Latar Belakang

b. Rumusan Masalah c. Tujuan Penulisan

Bab II Pembahasan...1 Bab III Penutup...12 a. Kesimpulan

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum adalah sebuah aturan mendasar yang dibuat oleh penguasa demi mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang damai dan teratur. Dalam hukum dikenal istilah perbuatan pidana yang merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, Perbuatan pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus maupun skalanya, seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan sektor perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi penduduk maka perbenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak dapat dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik individu maupun kelompok.

Hukum Pidana muncul di Indonesia mulai dari masa Pra Sejarah, Hindia Belanda, Jepang, Kemerdekaan Indonesia dan sampai saat ini. Bagaimanakah perkembangan hukum pidana itu terjadi? Berikut akan kami jelaskan pada isi makalah ini.

B. Rumusan Masalah

- Bagaimanakah sejarah Hukum Pidana pada masa Pra Sejarah. - Bagaimanakah sejarah Hukum Pidana pada masa Hindia Belanda. - Bagaimanakah sejarah Hukum Pidana pada masa Penjajahan Jepang.

- Bagaimanakah sejarah Hukum Pidana pada masa Kemerdekaan sampai saat ini. C. Tujuan

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Masa Pra Sejarah

Pada masa kerajaan Nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi iussangatlah tepat. Karena di manapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.

Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab Adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara. (Aruan Sakidjo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana, hal 8)

Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari konsep pidana Islam serta konsep pembuktian yang harus lebih dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agam Islam mempengaruhi praktik hukum pidana tradisional pada masa itu.

(6)

Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.

Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran - ajaran Hindu.

Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan.

Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.

B. Masa Hindia Belanda

Sebagai diketahui dari tahun 1811 sampai tahun 1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke tangan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda. Pemerintahan Inggris diserahterimakan kepada Komisaris Jenderal yang dikirim dari Belanda.

(7)

pidana masih diakui asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui dan perintah-perintah, begitu pula undang-undang dari pemerintah.

Kepada Bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada Stbl. 1828 Nomor 16. Mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:

a. Yang dipidana kerja rantai. b. Yang dipidana kerja paksa.

Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah. Dalam prakteknya, pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara :

a. Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan; b. Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang; c. Kerja paksa tanpa dirantai tetapi dibuang.

Dengan sendirinya semua peraturan terdahulu tidak berlaku lagi. KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut adalah salinan dari Code Penal yang berlaku di Negeri Belanda tapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri hanya atas 2 buku, sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku.

KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputra juga saduran dari KUHP yang brlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886. Oleh karena itu, perlu pula ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.

Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan adanya Crimineel Wetboek voor het Koninglijk Holland 1809.

Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya menurut Vos, yaitu :

1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberian pidana; 2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja;

3. Penghapusan perampasan umum.

Tetapi kodifikasi ini umumnya singkat, karena masuknya Perancis dengan Code Penalnya Negeri Belanda pada tahun 1811.

(8)

diperkenalkan lagi geseling, dan pelaksanaan pidana mati dengan cara Prancis guillotine dig anti dengan penggantungan menurut sistem Belanda kuno.

Belanda terus berusaha mengadakan perubahan-perubahan, juga mengusahakan KUHP nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan-perubahan sebagian-sebagian. Pidana sistem sel yang brlaku dengan undang-undang 28 Juni 1851 Stbl 68 diperluas dengan undang-undang 29 Juni 1854 Stbl 102, pidana badan dihapus, jumlah pidana mati dikurangi, sejumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan ( wanbedrijf ), pidana terhadap percobaan diperingan dibanding dengan delik selesai. Kemudian, 17 September 1870 Stbl 162 pidana mati dihapus.

Dengan KB tanggal 28 September 1870 dibentuklah Panitia Negara yang menyelesaikan rancangan pada tahun 1875. Pada tahun 1879 Menetri Smidt mengirim rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan didalam Staten Generaal dengan Menteri Modderman yang sebelumnya adalah anggota Panitia Negara itu. Dan pada tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru,yang mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886.

Jarak antara disahkan dan berlakunya KUHP Belanda selama 5 tahun karena dengan sistem pidana sel perlu dibangun sel-sel dan gedung-gedung baru, di samping perlu diciptakan undang-undang baru seperti undang-undang kepenjaraan dan lain-lain.

Setelah berlakunya KUHP baru di Negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh Pemerintah Belanda, bahwa KUHP di Hindia Belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaannya dengan Code Penal Prancis, perlu diganti dan di sesuaikan dengan KUHP baru Belanda tersebut.

Berdasarkan asas konkordansi ( concordantie ) menurut pasal 75 Regerings Reglement, dan 131 Indische Staatsregeling, maka KUHP di Negeri Belanda harus di berlakukan pula didaerah jajahan seperti di Hindia Belanda dengan penyesuaian pada situasi dan kondisi setempat.

(9)

Setelah selesai kedua rancangan tersebut, menteri jajahan Belanda Mr Idenburg berpendapat bahwa sebaiknya ada 1 KUHP di Hindia – Belanda, jadi berupa unifikasi. Sesuai dengan ide Menteri Edinburg tersebut maka dibentuklah komisi yang menyelesaikan tugasnya pada tahun 1913. Dengan K.B tanggal 15 Oktober 1915 dan diundangkan pada September 1915 Nomor 732 lahirlah Wesboek van strafrecht voor Nederlandsch Indie yang baru untuk seluruh golongan penduduk. Dengan Invoeringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari WvSI tersebut. Peralihan dari masa dualisme, yaitu 2 macam WvS untuk 2 golongan penduduk menurrut Jonkers lebih brsifat formel daripada materiel. Ide unifikasi bukan hal yang baru. Statuta Betawi 1642 dan ketentuan pidana interimair 1848 berlaku untuk semua golongan penduduk. Sebenarnya kedua WvS 1866 dan 1872 tersebut juga hampir sama, yang kedua merupakan salinan dari yang pertama kecuali sistem pidananya. Tetapi perbedaan antara kedua golongan penduduk, yaitu golongan Eropa dan Bumiputera – Timur Asing mewarnai juga perumusan-perumusan delik di dalam WvS tersebut, misalnya pasal 284 (mukah = overspel) bagi laki-laki hanya belaku bagi golongan Eropa (yang tinduk pada Pasal 27 BW).

C. Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)

(10)

Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei.

Nomor istimewa 1942, Osamu Seirei N omor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.

D. Masa Kemerdekaan-sekarang

Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945. a. Tahun 1945-1949

(11)

nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara.

(12)
(13)

tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan. Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP.17

b. Tahun 1949-1950

Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan:

Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.

Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.

c. Tahun 1950-1959

(14)

maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara.

Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan:

Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuanketntuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini.

Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan:

(15)

Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

d. Tahun 1959-sekarang

Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.

BAB III PENUTUP KESIMPULAN

Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda.

(16)

colonial tercipta.Pada Saat ingin mengubah dari tatanan hukum Inggris ke tatanan hukum Hindia Belanda membuat sebuah peraturan agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816, Stbl. 1816 Nomor 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan

Pada zaman Jepang ( Nippon) pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.

Pada zaman kemerdekaan Indonesia sampai sekarang pada zaman ini KUHP terjadi dualisme.periode perubahan hukum pidana indonesia dibagi menjadi empat yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945 setelah dikeluarkannya dekrit presiden pada tahun 1959.

DAFTAR PUSTAKA

Aruan Sakidjo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana

http://www.rudipradisetia.com/2010/06/meringkas-sejarah-hukum-pidana-di_21.html?m=1

Referensi

Dokumen terkait

Number of panicles per plant, panicle length, 1000 g of grain weight, percentage of filled grain per panicle, protein content, and grain yield were correlated by

M2 Mahasiswa mampu menjelaskan Sejarah Tata Hukum Indonesia dan Politik Hukum di Indonesia M3 Mahasiswamampu menjelaskan Sistem Hukumdan Macam-macam Sistem Hukum.. M4

Pada akhir pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami pengertian tata hukum/sistem hukum, sejarah hukum, politik hukum, dari Nagara Republik

[r]

[r]

• Hanya isi daya IQOS Pocket Charger dengan model IQOS Power Adaptor yang disetujui, yang disertakan dalam kemasan atau dibeli dari toko IQOS lokal atau online untuk tujuan

Dalam hal ini, keberadaan akademisi atau dosen di bidang Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara memiliki peran strategis untuk mendidik generasi bangsa

[r]