• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF PANCASILA TERHADAP ASAS NON D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERSPEKTIF PANCASILA TERHADAP ASAS NON D"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF PANCASILA TERHADAP ASAS

NON-DISKRIMINASI DALAM PENANGANAN KASUS HAM DI

INDONESIA

Nama kelompok : 1. Eko Yuliyanto (8111416011) 2. Vina Ainin Salf Yanti (8111416038)

FAKULTAS HUKUM

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., karena berkat rahmat, nikmat, taufk, dan hidayah-Nya, makalah yang berjudul “Perspektif Pancasila Mengenai Asas Non-Diskriminasi dalam Penanganan Kasus HAM di Indonesia” ini dapat kami selesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Rosul Muhammad SAW., para keluarga, sahabat, pengikut, serta umatnya yang setia dengan ajarannya.

Makalah dengan judul Perspektif Pancasila Mengenai Asas Non-Diskriminasi dalam Penanganan Kasus HAM di Indonesia” ini mengulas tentang beberapa hal, diantaranya mengenai asas non-diskriminasi terhadap penanganan kasus HAM yang terjadi di Indonesia dalam praktiknya dan perspektif Pancasila mengenai hal tersebut.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya. “Tiada gading yang tak retak” itulah peribahasa yang menggambarkan makalah ini, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapakan kritik dan saran dari para pembaca untuk memperbaiki penyempurnaan makalah ini.

Semarang, 08 Oktober 2017

(3)

i

DAFTAR ISI

Halaman Sampul...i

Kata pengantar ...ii

Daftar isi...iii

Daftar tabel/gambar...iv

Daftar kasus/putusan...v

BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang ...1

b. Rumusan masalah ...2

c. Metode penelitian...2

BAB II PEMBAHASAN a. Kasus pelanggaran HAM...4

b. Asas non-diskriminasi...7

c. Perspektif Pancasila terhadap asas non-diskriminasi...11

BAB III KESIMPULAN...15

(4)

ii

DAFTAR TABEL/GAMBAR

No. Gambar Keterangan

1. Kasus hak politik eks-PKI

2. Siding uji materi pasal

Syarat menjadi presiden dan wakil presiden

3. Sidang uji halangan bagi

Bekas Narapidana untuk menjadi Pejabat Publik

iii

DAFTAR PUTUSAN/KASUS

No. Kasus Keterangan/putusan

1. Kasus hak politik eks-PKI

(5)

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, MK RI menyatakan tidak mengemukakan alasan spesifk untuk menjelaskan bahwa Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 inkonstitusional karena diskriminatif, tetapi menganggap

sebagai hal yang self-evident bahwa hilangnya kesempatan bekas anggota organisasi

terlarang PKI, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/PKI atau

organisasi terlarang lainnya, untuk

mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD adalah bentuk diskriminasi

berdasarkan keyakinan politik. 2. Syarat menjadi

presiden dan wakil presiden

Pasal 6 huruf d UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berisi syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden, MK RI menyatakan bahwa pencantuman persyaratan kemampuan secara rohani dan jasmani bagi calon Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dipandang

(6)

Lalu, dalam menjelaskan rasionalitas klausul “mampu secara jasmani dan rohani

“berdasarkan constitusional intent, MK RI menyatakan “calon Presiden dan Wakil Presiden harus dalam kondisi sehat secara rohani dan jasmani dalam melaksanakan tugas hukum umum yang diakui oleh masyarakat International.

3. Halangan bagi bekas narapidana untuk menjadi Pejabat Publik

MKRI menyatakan pendirian umum atas isu ini bahwa jabatan publik atau jabatan dalam pemerintahan dalam arti luas adalah jabatan yang menuntut kepercayaan masyarakat ( vertrouwenlijk-ambt). Oleh karena itu calon pejabatnya harus memenuhi persyaratan tertentu supaya didapatkan pejabat yang benar-benar bersih, berwibawa, jujur dan mempunyai integritas moral yang tinggi. Atas dasar kerangka pikir tersebut MKRI kemudian menjawab isu utama kasus ini dengan

meletakkan dua kaidah sebagai pedoman interpretif agar penerapan syarat tersebut tidak diskriminatif. Pertama, perlunya pembedaan unsur kesalahan dalam tindak pidana tersebut apakah hasil dari kesengajaan ( dolus) atau kealpaan ( culpa) untuk

(7)

dirinya.43 Kedua, membatasi keberlakuan syarat pernah/tidaknya seseorang menjalani hukuman karena melakukan tindak pidana dengan mempertimbangkan karakter dari tindak pidana yang dilakukan. Menurut MKRI syarat ini tidak berlaku untuk tindak pidana atau kejahatan karena alasan politik. Jika syarat tersebut diberlakukan untuk tindak pidana atau kejahatan karena alasan politik maka MKRI berpendirian bahwa syarat tersebut diskriminatif. Dalam hal ini MKRI mempertahankan pendirian dalam putusan

Dalam pengujian terhadap Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2003 ini MKRI berpendapat:

(8)

merupakan tuntutan kebutuhan sesuai dengan sifat kelembagaan KPK sebagaimana tampak dalam wewenang dan tugasnya. Adalah benar bahwa kemampuan seseorang tidak selalu tergambar dari kualiikasi pendidikannya akan tetapi syarat pendidikan tertentu telah diterima secara umum sebagai ukuran objektif bagi tolok ukur kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas jabatan dalam pemerintahan.50

(9)

vii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sebuah buku yang berjudul “Human Rights, Individual Rights, and Collective Rights” yang ditulis oleh Jack Donnelly dan dikutip oleh Peter R. Baehr dikatakan bahwa “human rights are rights that human beings posses because they are human beings.” Sebagai sebuah identitas yang membedakan manusia dengan mahluk lain maka sudah sepantasnya hak asasi manusia (HAM) diakui secara universal tanpa peduli apapun warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang kultural dan pula agama atau kepercayaan spiritualitasnya.

Setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia memiliki hak yang melekat dalam dirinya masing-masing. Secara konsep, hak asasi manusia dapat dilaksanakan oleh seorang manusia dengan identitasnya sebagai individu dan identitasnya dalam komunitas, organisasi, keluarga dan negara atau kolektif. Dalam sebuah essay yang berjudul “Human Rights, Individual Rights and Collective Rights” Jack Donnelly berkata :

human rights are a special class of rights that one has simply because one is a human being. They are thus moral rights of the highest order (whether or not they are recognized in the positive law). As such, they play a special political role”.

(10)

adalah manusia dan hak asasi manusia adalah hak moral yang tertinggi sehingga memiliki peranan yang penting dalam politik.

Kita tahu bahwa Indonesia ini memiliki berbagai jenis keragaman, sehingga dengan ragamnya agama, buadaya, ras, budaya, dan keragaman lain yang menyebabkan terjadinya konfik dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian , keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.

1

Ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konfik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi terhadap suatu kelompok/golongan tertentu. Hak Asasi Manusia bertujuan untuk memelihara harkat dan martabat manusia.

Kerusuhan yang pernah terjadi menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian warga negara masih terdapat adanya diskriminasi atas dasar kelompok tertentu, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sosial ekonomi, dan lain-lain. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konfik antar agama, ras, gender, dan lain-lain yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan, pembantaian dan pembunuhan. Konfik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.

(11)

di dalam suatu negara serta menghambat hubungan persahabatan antarbangsa.

Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam berbagai hal.

Dalam rangka pengamalan Pancasila, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan mengenai larangan diskriminasi ini dalam UUD 1945, sebagai konstitusi Negara, dan juga dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia?

2. Bagaimana penerapan asas non-diskriminasi dalam kasus HAM di Indonesia?

3. Bagaimana perspektif Pancasila memandang sejauh penerapan asas non diskriminasi agama dalam kasus HAM di Indonesia?

2 C. Metode penelitian

(12)

3

BAB II

PEMBAHASAN

a. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia

(13)

berlaku. Sedangkan dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mendefnisikan pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku. Kasus pelanggaran hak asasi manusia akan senantiasa terjadi jika tidak secepatnya ditangani. Negara yang tidak mau menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi dinegaranya akan disebut

unwillingness state atau negara yang tidak mempunyai kemauan menegakkan HAM. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi dinegara tersebut akan disidangkan oleh Mahkamah Internasional. Hal tersebut tentu saja menggambarkan bahwa kedaulatan hukum negara tersebut lemah dan wibawa negara tersebut jatuh di dalam pergaulan bangsa-bangsa yang beradab.

Sebagai negara hukum dan beradab, tentu saja Indonesia tidak mau disebut sebagai unwillingness state. Indonesia selalu menangani sendiri kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negara ini, yakni melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dibentuk berdasarkan UU No. 26 tahun 2000. Sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM tersebut, kasus pelanggaran HAM diperiksa dan diselesaikan di Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden dan berada di lingkungan peradilan umum. Namun setelah berlakunya UU tersebut, maka sudah menjadi ranah Pengadilan HAM untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara pelanggaran HAM yang masuk. Berdasarkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, proses persidangannya berlandaskan pada ketentuan Hukum Acara Pidana.

(14)

diperpanjang paling lama 30 hari oleh pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya. Penahanan di pengadilan tinggi dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Penahanan MA paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Adapun penyelidikan, Komnas HAM dapat membentuk Tim Ad Hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. Hasil penyelidikan Komnas HAM yang berupa laporan pelanggaran HAM, diserahkan berkasnya kepada Jaksa Agung yang bertugas sebagai penyidik. Jaksa Agung wajib menindak lanjuti laporan dari Komnas HAM tersebut. Jaksa Agung sebagai penyidik dapat membentuk penyidik Ad Hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.

(15)

5 Terlepas dari itu semua, banyak sekali kasus yang terjadi di Indonesia akibat diskriminasi. Diskriminasi dalam UU No. 39 tahun 1999 pasal 1 adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan

pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

b. Asas non-diskriminasi dalam kasus HAM di Indonesia

Asas non-diskriminasi atau non-discrimination principle adalah bahwa tidak seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar, misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya. Bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis.

Asas non-diskriminasi ini harus diterapkan secara maksimal agar tidak mencederai hak orang lain yang ujung-ujungnya berakhir dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Secara konstitusional ada beberapa ketentuan sebagai sumber hukum bagi hak untuk bebas dari diskriminasi. Subjek dari ketentuan tersebut dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, setiap orang tanpa kualifkasi. Kedua, warga negara. Dengan demikian ketentuan tentang hak untuk bebas dari diskriminasi tersebut berlaku bagi hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga Negara.

(16)

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya serta pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang

menentukan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Ketentuan konstitusional tentang hak untuk bebas dari diskriminasi juga mencakup perlindungan khusus bagi kelompok orang tertentu yang terkategori sebagai kelompok rentan. Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hal ini dipertegas oleh pasal 5 ayat 3 UU No. 39 tahun 1999 yang menentukan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

(17)

Declaration of Human Rights (UDHR), Art. 2.(1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Art. 2.(2) International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Sebagai implikasinya, tidak perlu ada ketentuan non-diskriminasi secara khusus karena hal itu telah melekat dalam semua ketentuan HAM di mana implementasi dan penikmatannya di antara individu-individu tidak boleh didiskriminasikan. Pengertian ini berlaku umum, termasuk bagi Indonesia. Namun khusus dalam sistem UUD 1945, status perlindungan non-diskriminasi diposisikan sebagai hak tersendiri atau otonom.

Sieghart menjelaskan, asas non-diskriminasi merupakan derivasi dari asas universal inherence dan asas inalienability HAM dengan implikasi: “no such diferentiation is today permissible in the case of ‘human’ rights ... the law must treat all members of the protected class with complete equality, regardless of their particular circumstances, features or characteristics. Asas non-diskriminasi secara substantif bukan

a simplistic philosophy of egalitarianism, tetapi lebih luas maknanya dan mempertimbangkan keunikan masing-masing individu manusia. Yang pivotal dari konsep non-diskriminasi adalah aspek fungsionalnya agar HAM dapat dinikmati setiap manusia tanpa dibeda-bedakan. Dalam konteks ini tujuan asas non-diskriminasi adalah “to allow all individuals an equal and fair prospect to access

7

opportunities available in a society”.

Ruang lingkup asas non-diskriminasi ada dua, yaitu melarang diskriminasi langsung ( direct discrimination) dan tidak langsung (

indirect discrimination). Dengan pengertian lain, diskriminasi langsung adalah “treating one person less favourably than another on prohibited grounds and in comparable circumstances.” Sementara diskriminasi tidak langsung adalah “a practice, rule, requirement or condition is neutral on its face but has a disproportionate efect on particular groups without any objective justifcation.”

(18)

menyatakan: “Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection of the law without any discrimination, constitute a basic and general principle relating to the protection of human rights.” Namun demikian, Jayawickrama berpendapat bahwa hak atas persamaan pada hakikatnya adalah hak yang mandiri ( autonomous rights), berbeda dengan ketentuan non-diskriminasi karena keberlakuannya tidak harus dikaitkan dengan atau bergantung pada jenis-jenis HAM yang lain.

Landasan yuridis spesifk bagi hak atas persamaan adalah Art. 7 UDHR15 dan Art. 26 ICCPR.16 Ketentuan ini menjamin tiga bentuk perlindungan HAM: equality before the law; equal protection of the law; dan protection from discrimination. Ketentuan tersebut pararel dengan Pasal 28D ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999.

Berbeda dengan ketentuan non-diskriminasi yang sifatnya negatif (pelarangan), hak atas persamaan menuntut negara untuk mengambil langkah-langkah tertentu, kewajiban positif, guna memastikan terwujudnya persamaan. Perlindungan terhadap hak atas persamaan juga tidak melarang bentuk perlakuan berbeda. Jayawickrama menyatakan: “Equality before the law and the equal protection of the law do not mean identity or abstract symmetry of treatment. Distinctions need to be made for diferent classes and groups of persons, and a classifcation based on reasonable and objective criteria is permitted.” Beberapa contoh konkret untuk pernyataan ini adalah: larangan pada orang buta untuk menjalankan kendaraan, wajib belajar bagi kelompok umur tertentu, pengenaan pajak secara progresif sesuai besaran penghasilan.

Dalam kasus tertentu, asas persamaan menuntut negara agar melakukan afrmative action untuk mengurangi atau menghapuskan kondisi-kondisi yang menyebabkan diskriminasi atau membantu melanggengkan praktik diskriminasi. Praktik

(19)

sebagai bentuk diferensiasi atau pembedaan yang sah. Jayawickrama menegaskan: “The primary mission of an equality provision is the promotion of a society in which all are secure in the knowledge that they are recognized at law as human beings equally deserving of concern, respect and consideration”

Berikut contoh kasus :

1. Kasus Hak Politik Eks-PKI

Kasus paling menyita perhatian publik pada tahun pertama MKRI adalah isu konstitusionalitas Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memuat larangan bagi seseorang untuk dapat dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota jika yang bersangkutan: “bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/ PKI atau organisasi terlarang lainnya.”

2. Syarat Menjadi Presiden dan Wakil Presiden

Isu hukum kasus ini adalah konstitusionalitas Pasal 6 huruf d UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berisi syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu: “mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.” Syarat tersebut dinilai diskriminatif oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena menghalangi kesempatannya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia melalui pemilu.

3. Kebijakan Legislatif dalam rangka Penyederhanaan Partai Politik

(20)

dengan partai politik yang tidak memenuhi ET. Ketentuan yang diuji adalah Pasal 9 UU No. 12

9 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menetapkan ambang batas perolehan suara nasional sebesar 3% bagi partai politik yang akan ikut serta dalam pemilu selanjutnya (Pemilu 2009).

4. Halangan bagi Bekas Narapidana untuk menjadi Pejabat Publik

Beberapa undang-undang yang mengatur mengenai syarat untuk menjadi pejabat publik menentukan: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih.” Jabatan publik dengan syarat tersebut adalah: Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 huruf t UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden); Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pasal 58 huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah); Hakim Konstitusi (Pasal 16 ayat [1] huruf d UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi); Hakim Agung (Pasal 7 ayat [2] huruf d UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung); Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 13 huruf g UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan); dan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,dan DPRD kabupaten/kota (Pasal 50 ayat [1] huruf g UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

5. Syarat Sarjana Hukum bagi Calon Pimpinan KPK

(21)

yaitu: “Sarjana Hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan.” Pemohon menganggap syarat ini diskriminatif. Atas isu tersebut, syarat untuk menduduki jabatan publik yang tidak diskriminatif, MK RI meletakkan prinsip: persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang untuk menduduki suatu jabatan publik atau pekerjaan tertentu tidaklah serta-merta dengan tuntutan kebutuhan pengisian suatu jabatan atau pekerjaan. c. Perspektif Pancasila terhadap penerapan asas non diskriminasi dalam

kasus HAM di Indonesia

Prinsip tanpa diskriminasi ( non-discrimination ) adalah satu kesatuan dengan konsep kesetaraan. Prinsip non-diskriminatif melingkupi pandangan bahwa orang tidak dapat diperlakukan secara berbeda berdasarkan kriteria yang bersifat tambahan dan tidak dapat diijinkan. Diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kesukuan, gender, usia, bahasa, ketidak-mampuan, orientasi seksual, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul secara sosial atau geografs, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya yang dibuat oleh standar HAM internasional, melanggar HAM.

(22)

fundamental yang dikonsepsikan sebagai dasar, pandangan, idiologi negara, yakni Pancasila.”

1. Ketuhan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab 3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijakanaan dalam Permusyarawatan Perwakilan

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Dalam pandangan Soekarno, bahwa Indonesia (melalui Pancasila) tidak dipimpin dan tidak mengikuti kedua ajaran, yakni baik ajaran liberal maupun komunis. Lima nilai fundamental tersebut digali dan diekstrak dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok dengan kondisi Indonesia, sesuatu itu kami namakan“PANCASILA”. Pancasila digali dari berbagai kearifan lokal; suku bangsa, agama, dan nilai-nilai kemanusiaan, yang itu semua dipandang sebagai bantalan weltanschaung bagi negara Indonesia merdeka. Karena itu, Pancasila sebagai ideologi negara dapat dikatakan sebagai idiologi “integralistik” yang mengatasi partikularitas

11 paham perseorangan dan golongan.

Prinsip HAM dalam Sila-sila dari Pancasila yang digali oleh The founding fathers bersumber dari kebudayaan asli Indonesia dan itu merupakan produk dari konsensus bersama yang kemudian dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa, dasar dan ideologi

(23)

pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.

Nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila, memiliki fungsi konstruktif dan regulatif. Fungsi konstruktif mengandung arti bahwa Pancasilalah yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupahan tata hukum yang benar. Pancasila di sini merupakan dasar suatu tata hukum, yang tanpa itu suatu tata hukum kehilangan arti dan makna

sebagai hukum. Pancasila juga memiliki fungsi regulatif yang menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan hukum yang adil atau tidak. Bila mengacu kepada fungsi konstruktif dan regulatif dari Pancasila, maka menjadi catatan kita bersama bahwa setiap proses perumusan perundang-undangan (termasuk di dalamnya UU tentang HAM), para perumus harus selalu menjadikan nilai-nilai universal dan bahkan nilai lokal yang terkandung dalam Pancasila sebagai acuannya.

Sistem nilai universal dari Pancasila yang melandasi HAM adalah (a) nilai religius atau ketuhanan, (b) nilai kemanusiaan, (c) nilai persatuan, (d) nilai kerakyatan, dan (e) nilai keadilan. Nilai religius (ketuhanan) yang diamanatkan dalam sila pertama, dapat dikatakan merupakan suatu keunikan dalam penyelenggaraan negara RI dibandingkan dengan negara-negara Barat misalnya, yang tentunya Pancasila ini berangkat dari kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Ide tentang HAM bagi bangsa Indonesia adalah HAM yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Karena HAM bersumber dari nilai-nilai ketuhanan sehingga HAM yang dikembangkan tidak boleh menyalahi aturan yang ditetapkan Tuhan.

Manusia dengan menempatkan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha

(24)

kekuasaan tidak akan berarti apapun dalam kehidupannya tanpa kekuasaan-Nya, sebab di depan Tuhan semua manusia sama. Pancasila juga memiliki fungsi regulatif yang menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan hukum yang adil atau tidak.

Salah satu asas yang terkandung dalam Pancasila adalah asas non-diskriminasi, yakni suatu asas di mana setiap orang memiliki kedudukan yang sama, tanpa adanya perlakuan yang berbeda hanya karena ras, warna kulit, pendapat, agama, dan lain sebagainya. Bahwa salah satu sila pancasila yang kedua adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi, hal ini jelas menggambarkan bahwa setiap manusia memiliki kesamaan dan berhak mendapat perlakuan yang sama.

Manusia sebagai makhluk yang bermartabat dalam arti di sini ada sisi-sisi kemanusiaan yang dimanusiakan terhadap manusia tersebut. Pancasila mencerminkan kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragam namun tetap satu dan terikat satu ikrar yang menjadi kekuatan untuk selalu membangun sikap dan sifat saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lainnya.

Bahwa Pancasila menggambarkan sebagai nilai-nilai yang mencerminkan seseorang dalam bertindak hendaknya bersandar pada martabat setiap orang agar tidak sampai mencederai hak fundamental yang melekat dalam diri manusia itu. Asas non-diskriminasi adalah bagian dari Pancasila yang menjadi tolok ukur sampai di mana pancasila itu ada ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Pancasila memandang asas non-diskriminasi sebagai asas yang tidak boleh dibaikan, karenanya sangat riskan jika sedikit saja ada isu untuk menghapus pancasila dan menggantinya dengan ideologi lain.

Apalagi saat ini, maraknya kasus atau isu-isu yang berkembang ditengah-tengah masyarakat diharapkan Pancasila mampu menjadi senjata yang kuat agar tidak terjadi pelanggaran HAM yang merugikan masyarakat dan menyalahi kodratnya. Asas non-diskriminasi dalam Pancasila ini adalah asas fundamental yang berlaku untuk mendobrak kemajuan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

(25)

nilai-nilai yang terkandung didalamnya untuk diimplementasikan dengan baik dan diutamakan asas non-diskriminasi dalam setiap konfik atau pelanggaran yang terjadi sehingga nantinya dapat menghasilkan putusan yang bernilai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

13

BAB III

KESIMPULAN

Asas non-diskriminasi merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam seluruh pembahasan mengenai HAM. Asas non-diskriminasi mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan konsep mengenai kebebasan dan keadilan. Asas ini sering digambarkan sebagai jiwa dari HAM karena hal yang fundamental dari lahirnya ide-ide HAM adalah meletakkan setiap individu manusia dimuka bumi ini dalam posisi yang sama dan sejajar dalam hubungannya antara yang satu dengan lainnya. Ide kesetaraan diartikan “ bahwa setiap orang pada satu situasi yang sama harus diperlakukan sama”.

Agar kesetaraan dapat dinikmati oleh semua orang maka diperlukan sebuah langkah atau tindakan konkret yang dapat memastikan bahwa kesempatan yang sama benar-benar dapat dinikmati secara nyata. Tindakan atau langkah untuk memastikan bahwa setiap orang dapat memperoleh kesempatan/peluang yang sama disebut tindakan afrmatif (afrmative action)

(26)

14

DAFTAR PUSTAKA

El-Muhtaj, Majda. 2007. Hak Asasi Manusia dalam Konstiutsi Indonesia. Jakarta : Kencana

Hatauruk M., 1982. Tentang Sekitar Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga Negara.

Jakarta : Erlangga

Kurnia, Slamet Titon. 2015. Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Bandung : CV Mandar Maju

Kusuma, Indradi, M.. 2000. Diskriminasi Warga Negara dan Hak Asasi Manusia : Bunga Rampai Wacana Kewarganegaraan dalam Beragam Perspektif & Interdisipliner. Jakarat : Komnas-HAM-Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi-Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa-The Asian Foundation Purbopranoto, Kuntjoro. 1982. Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakarta :

Pradnya Paramita

Sieghart, Paul. 1983. The International Law of Human Rights. Oxford: Clarendon Press

Sujata, Antonius. 2000. Reformasi dan Penegakan Hukum. Jakarta : Penerbit Djambatan

Ida Bagus Radendra. 2012. Asas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Pemerintahan Daerah Terkait Pemilihan Kepala Daerah. Unnes Law Journal. Vol. 1, Nomor 1, November 2012

Paul Brest. 1976. “The Supreme Court 1975 Term– Foreword: In Defense of the Antidiscrimination Principle,” Harvard Law Review, Volume 90

(27)

Republik Indonesia.1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 165. Sekretariat Negara. Jakarta

Republik Indonesia.2000. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 2000, No. 165. Sekretariat Negara. Jakarta

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

Referensi

Dokumen terkait

Dan benar Daud Zhahiri (w. 270 H.), bahwa larangan meminang pinangan orang lain yang terdapat da- lam hadis sebenarnya maksudnya adalah larangan menikahi perempuan yang sudah

Oleh karena itu, peneliti berinisiatif untuk melakukan pelatihan Art- Enginering (Areng) terhadap Pemuda Karang Taruna Griya Asri Kalitengah bersama Pawitra Art

Untuk mengetahui berapa rata-rata setiap karyawan dapat menghasilkan produk dalam setiap bulannya dan apakah memiliki pengaruh terhadap motivasi yang diberikan

Dalam perkara ini hakim menjatuhkan putusan pidana penjara 7 (tujuh) bulan dengan pertimbangan bahwa terdakwa Anak BAYU SAPUTRA Bin SUTRISNO melakukan tindak

Berdasarkan permasalahan pencemaran lingkungan berupa timbal (Pb) di udara dan berbagai penelitian mengenai potensi tanaman dalam menyerap timbal (Pb) di udara,

Ketiga : Pembagian tugas pada Pengadilan Agama Bengkalis sesuai dengan kedudukan sebagai Pegawai Honor pada Pengadilan Agama Bengkalis sebagaimana tersebut

Di dalam penulisan Tugas Akhir ini disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi perancangan dan pembuatan aplikasi penerjemah Indonesia – Inggris berbasis