• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Internal Locus of Control dan Pe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peranan Internal Locus of Control dan Pe"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Prodi Psikologi, Universitas Brawijaya Malang bonita.nisa@gmail.com

ABSTRAK

This study aimed to determine the role of internal locus of control and perception of family harmony both partially and simultaneously to the teenager delinkuensi behavioral tendencies. The samples in this study were adolescents aged 15-18 years, men and women, not a single child, and lived with both parents. Data retrieval techniques with purposive sampling. Variable internal locus of control, perception of family harmony and the tendency delinkuensi behavior was measured using a scale internal locus of control, perception of family harmony, and adolescent behavioral tendencies delinkuensi. Analysis of the data used is regression test As a result, internal locus of control and perception of family harmony simultaneously having an influence on adolescent behavioral tendencies delinkuensi with a significance value of 0.000 (p <0.05), whereas the effect of 19.3% and the remaining 80.7% is influenced by other factors. Partial internal locus of control has an influence on adolescent behavioral tendencies delinkuensi with a significance value of 0.013 (p <0.05) with the effect of 42.8%. Scale partial perception of family harmony also has an influence on adolescent behavioral tendencies delinkuensi with the effect of 19.9% and a significance value of 0.000. Keywords: Internal locus of control, perception of family harmony, behavioral

delinkuensi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan internal locus of control dan persepsi keharmonisan keluarga baik secara parsial dan simultan terhadap kecenderungan perilaku delinkuensi remaja. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja usia 15-18 tahun, laki-laki dan perempuan, bukan anak tunggal, dan tinggal bersama kedua orang tua. Teknik pengambilan data dengan purposive sampling. Variabel internal locus of control, persepsi keharmonisan keluarga dan kecenderungan perilaku delinkuensi diukur menggunakan skala internal locus of

control, persepsi keharmonisan keluarga, dan kecenderungan perilaku delinkuensi

remaja. Analisis data yang digunakan adalah uji regresi berganda. Hasilnya, internal locus of control dan persepsi keharmonisan keluarga secara simultan memiliki pengaruh terhadap kecenderungan perilaku delinkuensi remaja dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05), sedangkan pengaruhnya sebesar 19,3% dan sisanya 80,7% dipengaruhi oleh faktor lain. Secara parsial internal locus of control memiliki pengaruh terhadap kecenderungan perilaku delinkuensi remaja dengan nilai signifikansi 0,013 (p<0,05) dengan pengaruhnya sebesar 42,8%. Persepsi keharmonisan keluarga secara parsial memiliki pengaruh terhadap kecenderungan perilaku delinkuensi remaja sebesar 19,9% dengan nilai signifikansi 0,000.

(2)

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Masalah kenakalan remaja (juvenile delinquency) merupakan masalah yang kompleks terjadi di berbagai kota di Indonesia (BKKBN, 2011). Data terbaru Badan Narkotika Nasional pada Maret 2012 menyebutkan dalam lima tahun terakhir jumlah kasus tindak pidana rata-rata mengalami kenaikan. Dari sekitar 180.000 kasus narkoba selama 5 tahun terakhir hampir 6% diantaranya dilakukan oleh remaja.

Kasus kenakalan remaja lainnya adalah seks bebas, yang berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada September 2011 terdapat kasus terkait seks bebas diantaranya seks pra nikah dan kehamilan tidak dinginkan yang mengakibatkan pada tindakan aborsi dengan jumlah pelaku 2,4 juta jiwa dimana 700-800 ribu pelaku tindakan aborsi adalah remaja dari total keseluruhan remaja Indonesia yang mencapai 30% dari jumlah penduduk atau sekitar 1,2 juta jiwa (BKKBN, 2011).

Kasus lain terkait bentuk delinkuensi remaja adalah tawuran antar pelajar (Rondomi, 2012). Pada tahun 2012, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dari Januari hingga September telah terjadi sedikitnya 139 kasus tawuran anak-anak sekolah mulai SMP hingga tingkat SMA.

Perilaku delinkuensi dengan macam yang lainnya adalah kaburnya remaja dari rumah. Setyanti (2011) menjelaskan beberapa tahun belakangan banyak berita mengenai anak-anak yang lari dari rumah.

Beberapa fenomena delinkuensi cenderung banyak dialami oleh remaja. Hal ini dikarenakan remaja mengalami masa transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa, remaja mengalami banyak perubahan dari perubahan fisik, emosi, perilaku, kebiasaan bahkan tanggung jawab (Monks, Knoers & Haditiono, 1998). Perubahan-perubahan yang dialami remaja dapat menimbulkan masalah komplek, cepatnya perubahan fisik yang tidak disertai percepatan kematangan emosi membuat remaja berperilaku yang cenderung emosional, egois, dan sulit diatur (Daniati, 2007). Perilaku yang cenderung emosional, egois dan sulit diatur tersebut dapat mencelakai atau menyakiti dirinya sendiri atau orang lain tersebut disebut sebagai suatu tindakan kenakalan yang dilakukan oleh remaja atau juvenile delinquency (Kartono, 2005).

Bynum dan Thompson (Susilowati, 2007) menjelaskan perilaku kenakalan atau juga dikenal dengan ”delinkuensi” sebagai perilaku ilegal serta pelanggaran yang berat, perilaku pelanggaran dinilai oleh masyarakat sebagai suatu penyimpangan (deviant) yang sangat serius. Perilaku menyimpang tersebut diartikan sebagai perilaku yang diterima oleh orang lain sebagai ancaman terhadap harapan orang banyak atau merugikan orang lain. Selain itu, Bynum dan Thompson (Susilowati, 2007) juga mengartikan perilaku delinkuensi berdasarkan pada ”role definition”, yaitu individu yang mempertahankan bentuk perilaku delinkuensi dalam periode waktu yang cukup panjang dan kehidupan serta identitasnya terbentuk dari perilaku menyimpang (deviant).

(3)

psikogenis dan teori sosiogenis. Prediktor-prediktor delinkuensi remaja meliputi konflik dengan otoritas, tindakan dengan maksud tertentu yang diikuti dengan pengerusakan milik orang lain serta tindakan-tindakan yang lebih serius lainnya, agresi ringan yang diikuti dengan pertengkaran dan kekerasan, identitas (identitas negatif), kendali diri, distorsi kognitif (bias egosentris), usia, jenis kelamin, pendidikan, prestasi, pengaruh teman sebaya, status sosial ekonomi, peran pengasuhan orang tua, saudara kandung dan kualitas lingkungan rumah (Santrock, 2007).

Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji keterkaitan kecenderungan perilaku delinkuensi dengan faktor-faktor yang menyebabkan bagaimana perilaku tersebut bisa muncul pada remaja. faktor-faktor tersebut diantaranya berkaitan dengan kendali diri remaja dan pengaruh lingkungan. Individu termasuk remaja memiliki keyakinan pada dirinya sendiri dalam bersikap dan mengambil suatu tindakan. Rotter (Zulkaida, 2007) membedakan orientasi locus of control menjadi dua jenis, yakni internal locus of control dan eksternal locus of control. Menurut Rotter (Zulkaida, 2007) individu dengan internal locus of control percaya bahwa peristiwa dalam hidupnya ditentukan oleh usaha dan perilakunya sendiri, sedangkan individu dengan eksternal locus of control percaya bahwa apa yang terjadi dalam kehidupanya ditentukan oleh nasib, kesempatan dan kekuatan lain yang berada diluar kendali individu tersebut. Internal locus of control merupakan salah satu orientasi dari locus of control dimana individu memiliki keyakinan bahwa peristiwa yang terjadi karena tindakan individu sendiri. Dengan demikian remaja dengan internal locus of control diasumsikan dapat memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat mengatur dan mengarahkan hidupnya serta bertanggung jawab atas apapun yang telah dilakukan dan dicapainya. Selain internal locus of control ada berbagai faktor lainnya baik faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi kecenderungan perilaku delinkuensi pada remaja diantaranya meliputi kebudayaan, media massa, pengaruh orang lain yang dianggap penting, fungsi keluarga untuk menanamkan moral dan keterbukaan komunikasi, larangan, pergaulan lingkungan sekitar dan keharmonisan keluarga (Afiah & Purnamasari, 2012). Keluarga terutama kedua orangtua merupakan salah satu yang memiliki peranan penting dalam setiap keputusan yang diambil oleh remaja. Hal ini dikarenakan keluarga adalah lembaga sosial pertama dan utama bagi anak dan remaja dalam melakukan sosialisasi nilai dalam hidup (Santrock, 2007). Gunarsa (2001) mengatakan bahwa suatu keluarga dikatakan harmonis bilamana keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial.

HIPOTESIS

Ha1: Terdapat peranan internal locus of control secara parsial yang signifikan dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja.

Ha2: Terdapat peranan persepsi keharmonisan keluarga secara parsial yang signifikan dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja.

(4)

TINJAUAN PUSTAKA Internal Locus of Control

Pervin mengungkapkan konsep mengenai locus of control berasal dari teori konsep dari Julian Rotter atas dasar teori belajar sosial (social learning theory) yang menyangkut kepribadian dan mewakili harapan umum mengenai masalah faktor – faktor yang menentukan keberhasilan pujian dan hukuman terhadap kehidupan seseorang (Ayudiati, 2010). Menurut Larsen dan Buss (Zulkaida, 2007) Locus of control merupakan suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Menurut Greenhaus (Pinasti, 2011) locus of control mengacu pada kecenderungan menempatkan persepsi atas suatu kejadian atau hasil yang didapat dalam hidup individu apakah sebagai hasil dari dirinya sendiri atau karena bantuan dari sumber-sumber di luar dirinya di mana ia sendiri memiliki peran yang sangat sedikit, seperti keberuntungan, takdir, atau bantuan orang lain.

Rotter; Phares, 1992 (Nurhidayah dan Hidayanti, 2011) menyatakan ada 2 aspek dalam locus of control yaitu aspek internal dan aspek eksternal diantaranya: Aspek Internal; Seseorang yang memiliki aspek internal percaya bahwa hasil dan perilaku mereka disebabkan faktor dari dalam dirinya. Mereka selalu menghubungkan suatu peristiwa dengan faktor dalam dirinya. Faktor dalam aspek internal yaitu: 1) Kemampuan, yaitu individu yang memiliki internal locus of

control percaya pada kemampuan yang mereka miliki. Kesuksesan dan kegagalan

sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka. 2) Minat yaitu individu yang memiliki internal locus of control memiliki minat yang lebih besar terhadap kontrol perilaku, peristiwa dan tindakan mereka. 3) Usaha yaitu individu yang memiliki internal locus of control bersikap pantang menyerah dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol perilaku mereka; Aspek Eksternal, Seseorang yang memiliki external locus of control percaya bahwa hasil dan perilaku mereka disebabkan faktor dari luar dirinya. Faktor dalam aspek eksternal adalah nasib, keberuntungan, sosial ekonomi, dan pengaruh orang lain.

Persepsi Keharmonisan Keluarga

Persepsi (perception) dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu; sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, dalam Sobur 2003). Menurut Pareek, persepsi dapat pula didefinisikan sebagai proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada ransangan panca indera atau data (Sobur 2003). Keharmonisan kehidupan keluarga adalah berkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri, yang dilandasi oleh berbagai unsur persamaan seperti saling dapat memberi dan menerima cinta kasih dan memiliki nilai nilai yang serupa dalam perbedaan (Walgito, 1991). Menurut Gunarsa (2001) keharmonisan keluarga adalah suatu keadaan keluarga yang utuh dan bahagia, didalamnya ada ikatan kekeluargaan yang memberikan rasa aman dan tentram bagi setiap anggotanya, adanya hubungan yang baik antara ayah-ibu, ayah-anak, ibu-anak.

(5)

yaitu: 1) Dalam keluarga tercipta adanya kehidupan beragama yang ditandai dengan adanya rasa aman, kasih sayang dan rasalah salingg mencintai dan dicintai antara anggota keluarga; 2) Keluarga memiliki waktu untuk bersama. Adanya waktu yang diluangkan oleh anggota keluarga untuk berkumpul bersama dalam beberapa waktu tertentu. 3) Mempunyai komunikasi yang baik. Komunikasi sangat penting dilakukan dalam sebuah keluarga guna menghilangkan adanya kesalahpahaman yang mungkin saja terjadi antara anggota keluarga. Selain itu dengan adanya komunikasi yang baik yakni komunikasi yang dilakukan secara dua arah dapat membantu terciptanya suadana yang kondusif antara orang tua dan anak dalam menyelesaikan permasalahan dengan musyawarah; 4)Antar sesama anggota keluarga memiliki rasa saling menghargai. Dalam sebuah keluarga, anak harus memiliki rasa hormat terhadap orang tuanya dan begitu pula orang tua harus memiliki kewibawaan tegakkan; 5) Keterikatan keluarga sebagai sebuah kelompok. Keterikatan ini diharapkan menjadikan keluarga tidak berjalan sendiri-sendiri dan tetap memiliki ikatan yang kuat, erat dalam setiap keadaan yang dihadapi; 6) Kemampuan menyelesaikan masalah. Bila keluarga dihadapkan dalam suatu permasalahan maka anggota keluarga harus bisa menyelesaikan permasalahan yang ada secara positif dan konstruktif dengan melibatkan pendapat anggota keluarga dalam setiap keputusan.

Berdasarkan uraian diatas, persepsi keharmonisan keluarga yang adalah bagaimana remaja memiliki persepsi remaja mengenai situasi dimana dalam keluarganya terdapat kehidupan beragama yang kuat, anggota keluarga saling meluangkan waktu bersama untuk berkomunikasi dan menyelesaikan masalah, adanya rasa aman, kasih sayang, rasa saling memiliki, saling menghormati dan menghargai sehingga remaja dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam biososiokulturalnya.

Kecenderungan Perilaku Delinkuensi Remaja

(6)

yang diungkapkan oleh Kartono (2005) sehingga dapat dibedakan secara jelas, yaitu: a. Tingkah laku lahiriah, tingkah laku lahiriah merupakan segala bentuk tingkah lagu yang dapat diamati dengan jelas. Tingkah laku ini dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Penyimpangan tingkah laku lahiriah verbal. Bentuk penyimpangan perilaku dalam kata atau ucapan seperti mencaci maki, mengucapkan kata-kata kotor atau senonoh dan sumpah serapah; 2) Penyimpangan tingkah laku lahiriah nonverbal. Semua bentuk perilaku menyimpang yang nyata dapat dilihat seperti perilaku remaja yang tidak dapat menginternalisasikan dan perduli terhadap norma sosial yang berlaku, tidak memiliki tanggung jawab secara moral, suka melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain tanpa motif yang jelas, kasar, memiliki sikap fanatik, impulsif dan asosial; b. Aspek-aspek simbolik tersembunyi: penyimpangan perilaku yang berdasarkan pada beberapa aspek tersembunyi dalam diri remaja sebagai berikut: 1) Sikap-sikap hidup. Remaja cenderung berperilaku delinkuensi karena tidak memiliki persiapan untuk menjalani hidup dan tidak memiliki kemampuan untuk merencanakan bagaimana kehidupannya dimasa depan. Sehingga apa yang ia kerjakan hanya berorientasi pada masa sekarang dan semata-mata hanya untuk mencari kesengangan sesaat; 2) Emosi. Remaja yang bertindak delinkuensi sebagian besar terganggu secara emosional. Remaja yang demikian ini senang melibatkan dirinya dalam suatu kegiatan tanpa berpikir panjang walaupun perilaku tersebut hanya dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari teman sebayanya dan parahnya sebenarnya kebanyakan dari mereka menyadari akan bahaya dan resiko dari tindakan-tindakan menyimpang tersebut; 3) Disiplin dan kontrol diri yang rendah. Remaja dengan perilaku delinkuensi cenderung kurang dan bahkan tidak pernah mendapatkan tuntutan serta pendidikan akan kedisiplinan dan kemampuan mengontrol dirinya dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.

Kecenderungan perilaku delinkuensi remaja adalah kecenderungan remaja usia 15-18 tahun dalam melakukan penyimpangan tingkah laku secara lahiriah baik verbal maupun nonverbal dan adanya penyimpangan perilaku remaja akibat rendahnya sikap-sikap hidup, emosi, serta disiplin dan kontrol diri.

METODE PENELITIAN Variabel Penelitian

Variabel independen (bebas) yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah internal locus of control dan persepsi keharmonisan keluarga. Sedangkan variabel dependen (terikat) adalah kecenderungan perilaku delinkuensi remaja

Subjek Penelitian

(7)

Alat Ukur

1. Internal Locus of Control

Internal locus of control dalam penelitian ini diukur dengan skala internal locus of control yang disusun dengan mengacu pada aspek-aspek internal locus of control Rotter; Phares, 1992 (Nurhidayah dan Hidayanti, 2011). Dimana keyakinan remaja dalam segala peristiwa yang terjadi di dalam kehidupannya akibat dirinya sendiri. Remaja yang memiliki internal locus of control, memiliki kepercayaan pada kemampuannya yang berpengaruh pada kesuksesan dan kegagalan, memiliki minat dalam mengontrol perilaku dan tindakan mereka, dan berusaha dalam mengontrol perilaku dengan bersikap pantang menyerah dan berusaha semaksimal mungkin dalam melakukan tindakan mereka. Skala internal locus of control terdiri atas 30 aitem soal dengan teknik penskalaan Likert (4 pilihan persetujuan). Proses analisis aitem dan proses uji reliabilitas dan validitas pada uji coba, tersisa 14 aitem dengan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,844. Hal ini menunjukkan bahwa skala ini tergolong reliabel. Sedangkan validitasnya yang diuji berdasarkan konstraknya sudah dinyatakan valid. Peneliti melakukan penelitian sebenarnya yang dilanjutkan dengan proses analisis aitem, uji realiabilitas,dan yang terakhir uji validitas. Dalam proses ini, peneliti mencari aitem-aitem terbaik yang terdiri dari 30 aitem soal dengan tetap menggunakan dan 14 aitem lolos pada uji coba dan 16 aitem yang direvisi. Berdasarkan nilai korelasi total aitem terkoreksi kurang lebih dari 0,300 terdapat 14 aitem di eleminasi dan 16 aitem lolos dengan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,790.

2. Persepsi Keharmonisan Keluarga

Persepsi keharmonisan kelurga dalam penelitian ini diukur menggunakan skala persepsi keharmonisan keluarga yang disusun oleh peneliti berdasarkan karakteristik keharmonisan keluarga milik Stinnet dan DeFrain (Hawari, 2004). Dimana bagaimana persepsi remaja mengenai situasi dimana dalam keluarganya terdapat kehidupan beragama yang kuat, anggota keluarga saling meluangkan waktu bersama untuk berkomunikasi dan menyelesaikan masalah, adanya rasa aman, kasih sayang, rasa saling memiliki, saling menghormati dan menghargai sehingga remaja dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam biososiokulturalnya. Skala persepsi keharmonisan keluarga terdiri atas 60 aitem soal dengan teknik penskalaan Likert (4 pilihan persetujuan). Proses analisis aitem dan proses uji reliabilitas dan validitas pada uji coba, tersisa aitem dengan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,971. Hal ini menunjukkan bahwa skala ini tergolong reliabel. Sedangkan validitasnya yang diuji berdasarkan konstraknya sudah dinyatakan valid. Peneliti melakukan penelitian sebenarnya yang dilanjutkan dengan proses analisis aitem, uji realiabilitas,dan yang terakhir uji validitas. Dalam proses ini, peneliti mencari aitem-aitem terbaik yang terdiri dari 60 aitem soal dengan tetap menggunakan dan 55 aitem lolos pada uji coba dan 5 aitem yang direvisi. Berdasarkan nilai korelasi total aitem terkoreksi kurang lebih dari 0,300 terdapat 18 aitem di eleminasi dan 42 aitem lolos dengan nilai

(8)

3. Kecenderungan Perilaku Delinkuensi Remaja

Kecenderungan perilaku delinkuensi remaja dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala ukur yang disusun peneliti berdasarkan karakteristik kecenderungan perilaku delinkuensi yang dikemukan oleh Kartono (2005) yang melakukan penyimpangan tingkah laku secara lahiriah baik verbal maupun nonverbal dan adanya penyimpangan perilaku remaja akibat rendahnya sikap-sikap hidup, emosi, serta disiplin dan kontrol diri. Skala persepsi keharmonisan keluarga terdiri atas 32 aitem soal dengan teknik penskalaan Likert (4 pilihan persetujuan). Proses analisis aitem dan proses uji reliabilitas dan validitas pada uji coba, tersisa aitem dengan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,952. Hal ini menunjukkan bahwa skala ini tergolong reliabel. Sedangkan validitasnya yang diuji berdasarkan konstraknya sudah dinyatakan valid. Peneliti melakukan penelitian sebenarnya yang dilanjutkan dengan proses analisis aitem, uji realiabilitas,dan yang terakhir uji validitas. Dalam proses ini, peneliti mencari aitem-aitem terbaik yang terdiri dari 32 aitem soal dengan tetap menggunakan dan 30 aitem lolos pada uji coba dan 2 aitem yang direvisi. Berdasarkan nilai korelasi total aitem terkoreksi kurang lebih dari 0,300 terdapat 6 aitem di eleminasi dan 26 aitem lolos dengan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,930.

METODE ANALISIS

Analisis yang dilakukan bertujuan untuk melakukan uji hipotesis. Berdasarkan desain penelitian dan tujuan yang akan dicapai, peneliti menggunakan analisis regresi berganda dengan Uji F untuk analisis simultan dan Uji T untuk analisis parsial.

HASIL

1. Dengan menggunakan uji F diketahui di ketahui nilai Fhitung adalah sebesar 12,446. Jika dibandingkan dengan Ftabel yakni 2,299 maka nilai Fhitung > Ftabel. Berdasarkan hasil olah data menggunakan SPSS 17.0 dapat diketahui nilai signifikansinya adalah 0,000 yang lebih kecil dari α (0,05). Oleh karena itu, H01 ditolak dan Ha1 diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa internal locus of control dan persepsi keharmonisan keluarga secara simultan berperan positif dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja. Sumbangan dari variabel X terhadap Y melalui nilai regresi yang ditunjukkan pada nilai R square yakni 0,193. Hal ini menunjukkan bahwa internal locus of control dan persepsi keharmonisan keluarga menyumbang 19,3 % dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja, sedangkan sisanya 80,7% dipengaruhi oleh faktor lain. Berdasarkan uji regresi linier berganda yang telah dilakukan maka terbentuk model regresi sebagai berikut:

Keterangan:

Y : Kecenderungan Perilaku Delinkuensi Remaja

X1 : Internal Locus of control

X2 : Persepsi Keharmonisan Keluarga

(9)

Berdasarkan persamaan diatas, dapat dilihat bahwa tanpa adanya variabel lain yang mempengaruhi, subjek penelitian memiliki kecenderungan berperilaku delinkuensi sebesar 84,564. Saat terdapat kenaikan 1% variabel

internal locus of control akan menurunkan kecenderungan perilaku

delinkuensi sebesar 42,8% dengan asumsi variabel lain dianggap konstan (nilainya tetap nol atau sama dengan 0). Begitu pula saat terdapat kenaikan 1% variabel persepsi keharmonisan keluarga akan menurunkan kecenderungan perilaku delinkuensi sebesar 19,9% dengan asumsi variabel lain dianggap konstan (nilainya tetap nol atau sama dengan 0).

2. Berdasarkan hasil penghitungan uji t dengan SPPS dapat diketahui bahwa thitung sebesar -2,516. Jika dibandingkan dengan ttabel yang sebesar 1,659 maka nilai Thitung < Ttabel. Namun dikarenakan Ha2 menjelaskan adanya hubungan negatif antara variabel Internal locus of control dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja dan nilai signifikansi sebesar 0,013 yang lebih kecil dari α (0,05), maka dapat meskipun Thitung < Ttabel dapat ditarik kesimpulan bahwa Ha2 diterima dan Ho2 di tolak. Hal ini berarti, jika remaja memiliki internal locuf of control yang tinggi akan berpengaruh pada semakin rendahnya kecenderungan perilaku delinkuensi dan begitu pula sebaliknya.

3. Berdasarkan hasil penghitungan uji t dengan SPSS dapat diketahui bahwa thitung sebesar -3,673. Jika dibandingkan dengan ttabel yang sebesar 1,659 maka nilai Thitung < Ttabel. Namun dikarenakan Ha2 menjelaskan adanya hubungan negatif antara variabel persepsi keharmonisan keluarga dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja dan dengan melihat nilai signifikansi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α (0,05), maka dapat disimpulkan meskipun Thitung < Ttabel dapat ditarik kesimpulan bahwa Ha3 diterima dan Ho3 di tolak. Hal ini berarti, jika remaja memiliki persepsi keharmonisan keluarga yang tinggi akan berpengaruh pada semakin rendahnya kecenderungan perilaku delinkuensi dan begitu pula sebaliknya.

PEMBAHASAN

1. Internal locus of control dan persepsi keharmonisan keluarga secara bersama-sama (simultan) berperan dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja

Hasil uji statistik yang telah dilakukan menunjukkan bahwa internal locus of control dan persepsi keharmonisan keluarga secara simultan berperan dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja denga R square yang ditunjukkan sebesar 19,3%. Artinya jika seseorang jika remaja memiliki internal locus of control dan juga memiliki persepsi keharmonisan keluarga, maka keduanya akan turut membentuk adanya perilaku kecenderungan perilaku delinkuensi remaja sebesar 19,3%. Sedangkan sisanya, yaitu 80,7% terbentuknya kecenderungan perilaku delinkuensi remaja dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Adapun faktor-faktor lain yang berpotensi mempengaruhi kecenderungan perilaku delinkuensi dengan proporsi 80,7% tersebut telah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Demuth dan Brown (2004) melalui penelitiannya

(10)

Significance Of Parental Absence Versus Parental Gender, menyatakan bahwa remaja dengan orang tua single parent lebih sering melakukan delikuensi dibandingkan dengan yang memiliki orangtua lengkap. Daniati dan Abdullah (2007) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara berpikir positif dengan kecenderungan berperilaku delinkuensi pada remaja menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara berpikir positif terhadap kecenderungan perilaku delinkuensi remaja. Artinya, subjek yang memiliki berpikir positif yang cenderung tinggi akan menunjukkan adanya kecenderungan berperilaku delinkuen yang cenderung rendah. Susilowati (2007) melalui penelitannya mengenai pengaruh hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja menunjukkan adanya pengaruh hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi.

Peranan internal locus of control dan persepsi keharmonisan dapat berperan simultan dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi dikarenakan kedua variabel tersebut merupakan bagian dari penyebab timbulnya perilaku delinkuensi. Secara teori psikogenis (Kartono, 2005), jumlah anak yang melakukan delinkuen berasal dari keluarga yang tidak bahagia dan tidak akan membuahkan masalah psikogenis dan penyesuaian diri yang jelas sehingga anak melibatkan diri dalam perilaku delinkuen. Persepsi keharmonisan keluarga merupakan salah satu bentuk bagaimana remaja berpendapat akan keharmonisan keluarga yang perperan dalam perkembangannya. Ketika remaja memiliki persepsi dan terlebih merasakan adanya kehidupan harmonis dalam keluarga yakni hubungannya dengan kedua orangtua dan saudara akhirnya dapat membuat remaja tidak mudah terpengaruh pada lingkungan diluar keluarga yang mengarahkan mereka pada suatu tindakan delinkuensi. Internal locus of control merupakan keyakinan yang didapat sebagai penguat diri bahwa apa yang terjadi pada dirinya merupakan akibat dari perbuatannya sendiri (Nugrasanti dalam Purnomo dan Izzati, 2013). Remaja yang menyadari akan segala peristiwa yang terjadi akibat dirinya sendiri akan mampu meraih kesuksesan ataupun kegagalan. Ketika ia memilki pemikiran untuk terlibat dalam tindakan delinkuensi maka ia akan berpikir pula akan akibat dari delinkuensi yang akan berakibat bada buruknya atau kegagalan dari bagian perkembangannya dimasa yang akan datang.

2. Internal locus of control secara parsial memilki peranan dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja

Berdasarkan persamaan regresi yang terbentuk sumbangan dari variabel penelitian internal locus of control terhadap kecenderungan perilaku delinkuensi remaja adalah 42,8%, artinya dapat diprediksikan bahwa setiap kenaikan 1% internal locus of control dapat menurunkan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja sebesar 42,8%, dengan asumsi variabel lainnya dianggap konstan atau nilainya tetap atau sama dengan nol.

Internal locus of control merupakan keyakinan individu bahwa

(11)

dipengaruhi salah satu faktor yakni kendali diri yang rendah (Santrock, 2007). Dimana remaja yang gagal memiliki dasar dalam mengendalikan dirinya sendiri dan tidak memiliki keyakinan yang baik pada setiap tindakan yang dilakukannya memilki konsekuensi yang harus mereka pertanggung jawabkan akan cenderungan untuk melakukan perilaku delinkuen. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa subjek penelitian mayoritas memiliki internal locus of control yang tinggi yaitu sebanyak 78 orang dengan persentase 72,89%, dan sisanya yakni 29 orang atau 28,11% berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan, remaja dengan internal locus of control yang tinggi tentunya memiliki keyakinan bahwa segala tindakan remaja yang berdasarkan pada kemampuan, minat dan usaha mereka dalam pengontrol perilaku akan membawanya pada suatu peristiwa yang positif atau negatif, termasuk dalam pengambilan keputusan sebelum mereka terlibat dalam beberapa perilaku yang mengarah pada perilaku delinkuensi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Aroma dan Suminar (2012), dalam penelitian yang menjelaskan adanya hubungan antara tingkat kontrol diri remaja dengan kecenderungan perilaku delinkuensi remaja. Selain itu, internal

locus of control pada penelitian lain yang dilakukan oleh Purnomo dan Izzati

(2013) menjelaskan bahwa internal locus of control berpengaruh negatif pada prokratinasi akademik mahasiswa, proktinasi akademik yang dimaksud adalah menunda suatu aktifitas.

3. Persepsi Keharmonisan Keluarga secara parsial memiliki peranan dalam menjelasakan kecenderungan perilaku delinkuensi

Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa persepsi keharmonisan keluarga memiliki peranan secara parsial terhadap 19,9%. Arinya setiap kenaikan 1% persepsi keharmonisan keluarga akan menurunkan kecenderungan perilaku delinkuensi sebesar 19,9%, dengan asumsi variabel lainnya dianggap konstan atau nilainya tetap atau sama dengan nol.

(12)

keluarga yang sedang. Tingkat persepsi keharmonisan remaja yang tinggi dalam penelitian ini juga dikarenakan oleh faktor sikap orang tua dalam kesatuan antada orangtua dan anak. Hal ini sesuai dengan salah satu faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga menurut Gunarsa (2001) yang menyatakan kesatuan antara orang tua dan anak dapat menjadikan suasana rumah menyenangkan, dengan kondisi anak menyaksikan ayah dan ibunya saling pengertian dan kerjasama, anak dapat menyaksikan bahwa orang tua mau mengerti dan dapat menghayati pola perilaku anak, serta anak juga merasakan akan saudara-saudara yang mau memahami dan menghargai.

Hasil ini mendukung penelitan sebelumnya yang dilakukan oleh Demuth dan Brown (2004) melalui penelitiannya Family Structure, Family

Processes, And Adolescent Delinquency The Significance Of Parental

Absence Versus Parental Gender, menyatakan bahwa remaja dengan orang

tua single parent lebih sering melakukan delikuensi dibandingkan dengan yang memiliki orangtua lengkap dan penelitian Susilowati (2007) melalui penelitannya mengenai pengaruh hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi pada remaja menunjukkan adanya pengaruh negatif antara hubungan antar saudara kandung terhadap kecenderungan munculnya perilaku delinkuensi.

Dalam penelitan ini kecenderungan perilaku delinkuensi juga dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin. Anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku antisosial daripada anak perempuan. Keenan dan Shaw (Gracia, et al., 2000 (Satrock,2007)) menyatakan anak laki-laki memiliki risiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku (conduct) merusak, namun perilaku pelanggaran lain seperti prostitusi dan lari dari rumah lebih banyak dilakukan oleh remaja perempuan. Faturachman (Afiah & Purnamasari, 2012) menyatakan bila kontrol sosial terhadap perilaku remaja perempuan di tuntut untuk lebih berhati-hati dan berilaku sesuai etika sedangkan remaja laki-laki lebih bebas dalam berperilaku. Berdasarkan uji statistik dalam penelitian ini, remaja laki-laki memiliki kecenderungan melakukan perilaku delinkuensi yang lebih tinggi dibandingkan oleh remaja perempuan, yang ditunjukan oleh nilai mean rata-rata pada remaja laki-laki sebesar 59,90 dan perempuan 41,34. Dapat disimpulkan ada perbedaan kecenderungan perilaku delinkuensi pada subjek laki-laki dan perempuan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data yang telah diperoleh dari penelitian ini, dapat diambil kesimpulan mengenai hasil penelitian sebagai berikut:

1. Pada subjek remaja usia 15-18 tahun, internal locus of control dan persepsi keharmonisan secara simultan berperan sebesar 19,3% dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05) 2. Pada subjek remaja usia 15-18 tahun, internal locus of control secara parsial

(13)

3. Pada subjek remaja usia 15-18 tahun, persepsi keharmonisan keluarga secara parsial berperan sebesar 19,9% dalam menjelaskan kecenderungan perilaku delinkuensi dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05)

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti dapat memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Saran Metodologis

a. Penelitian selanjutnya yang menggunakan variabel internal locus of control, persepsi keharmonisan keluarga dan kecenderungan perilaku delinkuensi juga dapat menggunakan metode kualitatif agar dapat menyusun teori atau konstrak baru sebagai acuan bagi peneliti lain. Dengan menggunakan metode kualitatif karena diharapkan mampu mengungkap kecenderungan perilaku delinkuensi lebih mendalam pada subjek.

b. Penelitian dengan menggunakan variabel kecenderungan perilaku delinkuensi remaja beberapa kali sudah pernah dilakukan, sehingga hendaknya penelitian selanjutnya mampu mengaplikasikan dengan variabel lain yang dapat mengungkap penyebab kecenderungan perilaku delnkuensi remaja.

c. Penelitian selanjutnya yang menggunakan variabel internal locus of control, persepsi keharmonisan keluarga dan kecenderungan perilaku delinkuensi dapat tetap menggunakan alat ukur ini, mengingat reliabilitasnya tergolong tinggi. Namun tetap diperlukan dilakukan ujicoba kembali untuk mengindari adanya heterogenitas karakter subjek.

2. Saran Praktis

a. Bagi remaja yang memilki internal locus of control tinggi diharapkan tetap bisa mempertahankannya. Sehingga dapat menjadikan remaja memiliki keyakinan bahwa perilakunya akan mendatangkan konsekuensi dikemudian hari akibat perilakunya sendiri.

b. Bagi remaja yang memiliki persepsi keharmonisan keluarga yang tinggi, sebaiknya bisa mempertahankannya, karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan terdekat bagi remaja dalam melewati masa perkembangannya baik secara biopsikososialnya.

c. Bagi remaja yang memiliki kecenderungan perilaku delinkuensi yang rendah sebaiknya bisa mempertahankannya dan berusaha mengendalikan diri dan kembali mengingat bagaimana keluarga akan menanggung malu akibat perilaku delinkuensi tersebut, karena perilaku delinkuensi selain dapat merugikan diri remaja sendiri juga merugikan orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Afiah F.N &Purnamasari S.E. (2012). Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga Dengan Sikap Terhadap Seks Pranikah Pada Remaja. Jurnal Psikologi

Universitas Wangsa Manggala. Tidak diterbitkan.Yogyakarta.

Aroma, I.S & Suminar, D.R. (2012). Hubungan Antara Tingkat Kontrol Diri Dengan Kecenderungan Perilaku Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi

Pendidikan Dan Perkembangan. Universitas Airlangga Surabaya.

(14)

Ayudiati S.E. (2010). Analisis Pengaruh Locus Of Control Terhadap Kinerja Dengan Etika Kerja Islam Sebagai Variabel Moderating (Studi Pada Karyawan Tetap Bank Jateng Semarang). Skripsi Fakultas Ekonomi

Universitas Diponegoro. Semarang

BKKBN. 2011. Fenomena Kenakalan Remaja Di Indonesia (Online). http://ntb.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=673&Conte ntTypeId=0x01003DCABABC04B7084595DA364423DE7897. Diakses tanggal 1 Februari 2013.

Daniati T. A. & Abdullah S. M. (2007). Hubungan antara berpikir positif dengan kecenderungan berperilaku delinkuensi pada remaja. Jurnal Psikologi

Universitas Wangsa Manggala. Tidak diterbitkan.Yogyakarta.

Demuth,S. & Brown, S.L. (2004). Family Structure, Family Processes, And Adolescent Delinquency The Significance Of Parental Absence Versus Parental Gender. Journal Of Research In Crime And Delinquency, Vol. 41 No. 1, February 2004 58-81 Doi: 10.1177/0022427803256236.

Gunarsa,S.D. (2001). Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Hawari, D. (2004). Al Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta. PT Dana Bhakti Prima Yasa

Kartono, K. (2005). Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Monks, F.J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S.R. (1998). Psikologi

Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Nurhidayah, S & Hidayanti, N. (2011). Hubungan Antara Ketabahan Dan Locus

Of Control Eksternal Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Istri Yang

Bekerja Di Bagian Sewing Pada PT Bosaeng Jaya Bantar Gebang Bekasi. Jurnal Soul, Vol. 4, No. 2 September 2011.

Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman R. D. (2003). Human Development (9th ed.). New York: McGraw Hill Inc

Pinasti, W. (2011). Pengaruh Self-Efficacy, Locus Of Control Dan Faktor Demografis Terhadap Kematangan Karir Mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Purnomo, S.A & Izzati, U.A. (2013). Hubungan Antara Internal Locus Of Control Dengan Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa Angkatan 2008 Yang Menghadapi Skripsi Di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Penelitian Psikologi. Vol.1, No. 2

Rondomi A., dkk. (2012). Mengatasi Kenakalan Remaja (online). http://www.republika.co.id/berita/rol-to-school/tim-jurnalistik-sma-se-jakarta-timur/12/05/23/m4gut0-mengatasi-kenakalan-remaja. diakses tanggal 5 februari 2013.

Rotter. Rotter, J.B. (1954). Social learning and clinical psychology. NY: Prentice-Hall.

Santrock, John W. (2007). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup (5 th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga

(15)

Setyanti, C.A. (2011). Alasan Mengapa Anak Kabur dari Rumah, http://female.kompas.com/read/2011/11/21/13314978/Alasan.Mengapa. Anak.Kabur.dari.Rumah(diakses, 5 Maret 2012)

Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia

Susilowati, A. (2007). Pengaruh Hubungan Antara Saudara Kandung Terhadap Kecenderungan Munculnya Perilaku Delinkuensi Remaja. Skripsi

Psikologi Universitas Sumatra Utara. Tidak diterbitkan. Medan.

Walgito, B. (1975). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Fak. Psikologi U.G.M

Walgito, B. (1991). Psikologi Sosial suatu Pengantar. Yogyakarta: Fak. Psikologi U.G.M

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang dilakukan dihasilkan bahwa pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan TNGGP di kawasan perluasan TNGGP di Desa Ciputri Blok Sarongge Girang

Pasal 5 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Penerima Bantuan Rehabilitasi RTLH yang memiliki dan menempati satu-satunya Rumah dengan kondisi tidak layak hunib. (2) Kegiatan

- Jika hipotesis nol ditolak, sering dikatakan data merupakan bukti yang kuat (within reasonable doubt) untuk menolak H 0.. - Jika hipotesis nol diterima,

Karena itu kemiskinan informasi dapat didefinisikan sebagai: suatu situasi dimana individu dan masyarakat, dengan konteks terntu, tidak mempunyai keahlian, kemampuan dan

Suntingan teks di atas juga menunjukkan bahwasanya gaya uslub yang diungkapkan Abdurrauf adalah gaya uslub ilmi, dimana ungkapan tersebut juga mengajak kepada pengesaan Allah

Untuk menentukan kelipatan persekutuan terkecil dari dua bilangan a dan b, yaitu dengan mencari semua kelipatan dari a dan b, kemudian diidentifikasi dan dikumpulkan semua

Kedua: memperbaiki alokasi sumberdaya produktif melalui penggeseran peran pengambilan keputusan public ketingkat pemerintahan yang paling rendah yang memiliki informasi

c.' S eleksi protokorm setelah transform asi, dan d. P em buktian transform an dan transgenik anggrek. M etode transform asi genetik ke tanam an anggrek P. amabilis sesuai klaim 1,