Menghidupkan Kembali Makna Wirid dalam Masyarakat Modern (Kajian Makna Wirid pada Kitab al Aurad dalam Ihya Ulumiddin)
Pendahuluan
Wirid dalam pengertian masyarakat luas sekarang ini lebih dimaknai sebagai bacaan dzikir sesudah shalat wajib1. Bacaan tersebut dapat dimaksudkan sebagai
kenikmatan rohani2. Wirid kerapkali juga digunakan untuk keperluan-keperluan praktis
seperti menjelang Ujian Nasional agar mendapatkan kelulusan3, menjelang pemilu
dilakukan secara massal untuk mendapatkan kedamaian4, dan lain sebagainya. Bahkan
dengan alasan peningkatan ketakwaan dan kesadaran moral, Walikota Padang mengadakan gerakan wirid remaja dua kali dalam sebulan5, sebuah gerakan yang turut
didukung oleh Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau6. Berdasarkan
contoh-contoh tersebut, wirid terkesan dapat dimaknai serupa dengan mantra yang diucapkan berulang kali pada waktu tertentu guna kenikmatan rohani atau satu tujuan praktis.
Bagaimana sebenarnya makna wirid dalam khazanah Islam sendiri sebagaimana dituliskan oleh para ulama terdahulu. Apakah wirid hanya sebatas ucapan yang harus diulang-ulang sekian kali pada waktu-waktu tertentu atau adakah makna yang lebih luas. Apakah wirid hanya ditujukan untuk keperluan-keperluan praktis semata ataukah ada satu tujuan yang lebih tinggi. Tulisan ini mencoba melacaknya melalui pemikiran al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin.
Hakikat Makna
1 http://www.republika.co.id/detail.asp?id=136874 2 http://www.republika.co.id/detail.asp?id=190857 3 http://www.republika.co.id/detail.asp?id=260069 4 http://www.republika.co.id/detail.asp?id=153914
Perdebatan tentang hakikat makna memunculkan berbagai pendapat terkait dengan pemaknaan bahasa. Kaum positivisme logis / atomisme logis yang digawangi oleh Betrand Rusell dan Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa makna suatu bahasa adalah sejajar dengan realitas. Konsep isomorfi yang diusung Rusell dan teori gambar milik Wittgenstein menjabarkan adanya kesejajaran tersebut dengan kias bahwa bahasa adalah ibarat gambar dan realitas sebagai suatu kenyataan yang termuat dalam gambar tersebut7.
Pendapat berbeda dikemukakan kaum strukturalis yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure. Konsep tanda, dalam hal ini bahasa, dijabarkan sebagai suatu benda dengan dua sisi sebagaimana sekeping uang logam. Tanda selalu mempunyai sisi penanda yaitu citraan seperti kata /a/n/j/i/n/g/ dan sisi petanda yaitu konsep dalam pikiran yang berbentuk binatang berkaki empat yang menggonggong. Tanda tidak merujuk langsung kepada realitas namun mempunyai keterputusan dengan realitas. Pendek kata, realitas adalah satu hal yang terlepas dari urusan bahasa8.
Dengan demikian, pemaknaan satu kata, dapat lepas dari realitas. Pemaknaan lebih tergantung bagaimana relasi dengan kata lain atau dalam konteks pengucapan seperti apa. Dengan kata lain, pemaknaan bahasa dapat dipahami dalam penggunaannya (meaning as use). Suatu hal yang juga diungkapkan oleh Ludwig Wittgenstein pada masa tua dengan konsep permainan bahasanya ( language games)9.
Wirid dalam Kitab al Aurad
7 Donny Gahral Adian. (2006). Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra hlm 33
8 Abdul Chaer. (2003). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta hlm 286
9 Rizal Mustansyir. (2001). Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya.
Imam Al Ghazali10 membedakan tugas-tugas wirid berdasarkan kedudukan
pelakunya kepada lima golongan: 1. Abid (ahli ibadah)
2. ‘Alim (ahli ilmu) 3. Murid (penuntut ilmu) 4. Pekerja (penuntut rejeki)
5. Pemimpin (pemegang amanat umat)
6. Orang-orang yang mengesakan Allah SWT (orang-orang khusus)
Kepada mereka masing-masing dijabarkan tugas-tugas apa yang harus ditempuh dalam kehidupan sehari-hari berupa bacaan-bacaan dan perbuatan yang harus dilakukan mulai awal hari hingga hari berakhir. Tugas-tugas tersebut dimaksudkan sebagai sarana pendekatan kepada Allah SWT agar tidak mengalami kerugian dalam menempuh perjalanan kehidupan11.
Bagi abid diberikan tugas-tugas menyeluruh seharian bacaan-bacaan dan apa-apa yang harus dilakukan. Tugas yang harus dilaksanakan adalah serangkaian bacaan pada waktu-waktu tertentu, shalat-shalat sunnah yang dijabarkan dengan detil, dan doa-doa yang sebaiknya dipanjatkan. Tugas tersebut juga mencakup perbuatan sosial di pagi hari seperti menengok orang sakit, dan sebagainya. Ada juga tugas perdagangan yang sedikit di waktu siang. Golongan ini adalah mereka yang bertujuan menempuh jalan akhirat dengan mengkhususkan diri dengan perkara ibadah sehingga tugas-tugas tersebut sangat tepat diberikan bagi mereka12.
10 Abu Hamid al Ghazali (1058 M-1111M) lahir dan wafat di Thus (Iran), mendapat gelar Hujjatul Islam
(Himawijaya. (2004). Mengenal al Ghazali for Teens: Keraguan adalah Awal Keyakinan. Bandung: Dar! Mizan hlm 14-21)
Bagi alim tugas utama yang harus dijalankan adalah terkait dengan keilmuan13.
Tugas tersebut meliputi penelaahan ilmu, penulisan, dan pengajaran ilmu kepada murid. Alim hanya dibebani tugas-tugas shalat yang wajib dan rawatibnya serta ditambah sedikit bacaan dipagi hari sebagaimana apa yang menjadi tugas abid.
Bagi pelajar pada dasarnya diberikan tugas yang sama dengan alim yaitu terkait dengan masalah keilmuan. Hanya saja apabila pada alim terkait dengan penelaahan dan pengajaran, maka pada pelajar terkait dengan penelaahan keilmuan semata14.
Para pekerja atau pedagang yang disibukkan dengan perniagaan juga tidak mendapatkan tugas sebagaimana para abid. Mereka yang lebih memilih jalur perniagaan diberikan tambahan tugas yaitu agar mereka tidak melalaikan dzikir selama kegiatan perniagaan. Suatu hal yang mungkin menurut Imam al Ghazali. Disarankan pula agar perniagaan tersebut apabila sudah memenuhi kebutuhan maka hasilnya diarahkan untuk sedekah. Hal ini karena ibadah yang bermanfaat bagi orang lain akan lebih mulia dibandingkan dengan ibadah yang manfaatnya hanya untuk diri pelaku semata15.
Para pemegang amanat umat disarankan menghabiskan waktu siangnya untuk benar-benar total melayani umat. Segala daya dan pikiran di siang hari harus ditujukkan untuk kemaslahatan umat. Pada malam harilah para pemimpin ini diberi tugas oleh Imam al Ghazali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah-ibadah malam yang serupa dengan apa yang dijalankan oleh abid16.
Golongan terakhir adalah golongan yang dibebaskan oleh Imam al Ghazali dari tugas-tugas wirid. Apa yang harus dijalankan oleh golongan ini hanyalah menjaga agar
13Ibid hlm 588-589
14Ibid hlm 589-591
hatinya tetap pada Allah SWT semata. Mereka adalah kaum khusus yang tingkat kedekatannya dengan Sang Pencipta tidak dapat digambarkan17.
Penutup
Apabila diperhatikan dalam kitab al Aurad maka makna wirid adalah lebih luas dari pemahaman yang ada sekarang. Wirid tidak semata-mata berupa bacaan namun lebih pada keseluruhan perbuatan meliputi lisan, badan, pikiran, dan hati. Pada dasarnya wirid adalah segala gerak-gerik manusia dalam menjalani kehidupan di dunia guna mencapai tujuan kedekatan dengan Sang Pencipta, jauh berbeda dengan tujuan-tujuan praktis keduniaan yang ingin digapai masyarakat sekarang. Jalan menuju Sang Pencipta hanyalah dengan memperhatikan gerak-gerik waktu dan mengisinya dengan wirid secara berkesinambungan.
Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah keberadaan tugas wirid yang berbeda-beda sesuai dengan posisi seseorang dalam kehidupan. Hal ini dimaksudkan agar tidak mengganggu keseimbangan kehidupa sosial karena dapat dibayangkan apabila seluruh anggota masyarakat hanya sibuk di masjid atau di rumah untuk shalat dan dzikir semata tanpa ada yang berdagang atau mengajarkan ilmu.
Dalam pandangan Imam al Ghazali semua pekerjaan manusia pada dasarnya dapat dijadikan wirid untuk mendapatkan kedekatan dengan Sang Pencipta. Hal ini akan memberi dimensi spiritual pada masa dimana manusia sibuk menghabiskan waktunya dalam dunia kerja sebagaimana terdapat dalam masyarakat sekarang. Kerja bukanlah suatu hal yang bebas nilai namun mempunyai nilai ibadah sehingga dalam pelaksanaannya haruslah memperhatikan aspek-aspek kekhusukan (profesionalisme),
kejujuran (integritas), dan keikhlasan karena tujuannya adalah pendekatan diri pada Sang Pencipta.
Pada akhirnya hidup dapat dimaknai sebagai satu perjalanan pulang ke tanah air sebagaimana diungkapkan Imam al Ghazali18,
Orang-orang di alam ini bagaikan pelancong, tempat tinggal mereka yang pertama adalah buaian dan yang terakhir adalah liang lahat, sedangkan tanah airnya adalah surga atau neraka. Umur adalah jarak perjalanan dan tahun-tahunnya adalah tahapan-tahapannya, sedangkan bulan-bulannya adalah fasakh dan hari-harinya, mil adalah nafas dan langkah-langkahnya.
Ketaatan-ketaatan kepada Allah SWT adalah barang dagangannya, waktu adalah modalnya, sedangkan syahwat dan tujuan-tujuannya adalah perampoknya. Keuntungannya adalah keberuntungannya ketika berjumpa Allah SWT di negeri kesejahteraan bersama Raja Yang Maha Besar dan kenikmatan yang kekal. Kerugiannya ialah jauh dari Allah Ta’ala. Semoga Allah SWT melindungi kita dari belenggu dan siksa yang pedih dalam tingkatan-tingkatan neraka.
18 Imam al Ghazali. (1995). Ringkasan Ihya Ulumuddin (alih bahasa: Zaid Husein al Hamid). Jakarta:
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adian, Donny Gahral. (2006). Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Chaer, Abdul. (2003). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
al Ghazali, Imam(1995). Ringkasan Ihya Ulumuddin (alih bahasa: Zaid Husein al Hamid). Jakarta: Pustaka Amani
al Ghazali, Imam. (2003). Ihya’ Ulumiddin jilid 2 (alih bahasa: Moh Zuhri). Semarang: asy Syifa
Hawwa, Said. (2005). Tazkiyyatun Nafs: Intisari Ihya Ulumuddin (alih bahasa: Abdul Amin, dkk). Jakarta: Pena Pundi Aksara
Himawijaya. (2004). Mengenal al Ghazali for Teens: Keraguan adalah Awal Keyakinan. Bandung: Dar! Mizan
Mustansyir, Rizal. (2001). Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Internet
http://www.republika.co.id/detail.asp?id=136874 http://www.republika.co.id/detail.asp?id=190857 http://www.republika.co.id/detail.asp?id=260069 http://www.republika.co.id/detail.asp?id=153914
LAMPIRAN 1
WIRID AHLI IBADAH
1. Wirid pertama di pagi hari diawali ketika terbit fajar hingga matahari terbit, ketika seseorang mulai bangun dari tidur lelapnya. Sesudah bangun dari tidur sebaiknya membaca doa,
هللدمحلا
ىّذللا
انايحا
انتاماامدعب
هيلاو
روّشنللا
2. Setelah berwudlu dan ke kamar mandi (apabila ada keperluan) melaksanakan shalat sunnah dua rakaat fajar (sebaiknya di rumah).
3. Menuju masjid (sebaiknya ketika hari masih gelap)
4. Setibanya di masjid apabila belum shalat sunnah Fajar maka dilakukan, apabila sudah maka dianjurkan shalat tahiyyatul masjid, lalu duduk menunggu jamaah.
5. Sambil menunggu shalat Subuh dimulai maka membaca istighfar,
هللارفغتسا
ىّذللا
ل
هلا
ل
ل ا
ي
ل حلاوه
مويلقلا
بوتاو
هيلا
Sebanyak tujuh puluh kali, kemudian membaca tasbih,
هللاناحبس
دمحلاو
هلل
لو
هلا
ل
ل ا
هللا
هللو
ربكا
Sebanyak seratus kali
6. Menjalankan Shalat fardhu Subuh.
م
ل هللا
ل
ل ص
ىلع
دملحم
كدبع
و
كيلبن
كلوححسرو
ي
ل بححنللا
ي
ل ححمللا
و
ىلع
ا
هل
و
هبحص
و
مللس
j.
ذوعا
هللاب
عيمس
ل لا
ميلعلا
نم
ناطيححّشلا
مححيّجرللا
ب
ل ر
كححبذوعا
نم
زمه
تا
نيطايشا
كبذوعاو
ب
ل ر
نا
نورضحي
Sesudahnya diikuti dengan bacaan-bacaan, a. Surat al Fatihah
b. Ayat Kursi
c. Surat al Baqarah 285 d. Surat Ali Imran 18 e. Surat Ali Imran 26 f. Surat at Taubah 128 g. Surat al Fath 27 h. Surat al Isra’ 111 i. Surat al Hadid 1-5 j. Surat al Hasyr 1-3
Kemudian ditutup dengan bacaan yang dihadiahkan Nabi Khaidir as kepada Ibrahim at Taimi berupa,
e. Surat al Kafiruun f. Ayat Kursi
Masing-masing sebanyak tujuh kali kemudian membaca,
ناحبس
Lalu membaca shalawat atas Nabi saw tujuh kali
Kemudian mohon ampun diri dan kedua orang tua, orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan sebanyak tujuh kali, diakhiri dengan mengucapkan,
م
ل هلللا
8. Selain rangkaian bacaan tersebut maka pagi hari sesudah shalat dapat diisi dengan membaca al Qur’an karena al Qur’an telah mencakup dzikir, fakir, dan do’a apabila direnungkan dan dipahami dengan sungguh-sungguh.
pengetahuan tentangnya sehingga bertambah syukur atau dengan memikirkan siksaan-siksaanNya agar bertambah rasa takutnya.
10. Wirid selanjutnya antara terbit matahari hingga siang telah jelas yaitu seperempat siang. Pada masa ini ada tugas tambahan yaitu shalat sunnah Dhuha dan melakukan kewajiban-kewajiban terkait dengan manusia seperti menjenguk orang sakit atau mengiringkan jenazah dan semacamnya.
11. Wirid selanjutnya dapat diisi dengan mencari nafkah seperti berdagang, tidur sebentar sebagai bekal berjaga di malam hari dan jangan sampai tertinggal shalat sunnah sebelum waktu Zhuhur.
12. Setelah selesai shalat Zhuhur sebaiknya beriktikaf di masjid hingga waktu Ashar atau tidur sebentar apabila dia belum sempat di wirid sebelumnya.
13. Setelah selesai shalat Ashar maka dilakukan wirid yang merupakan kombinasi empat bagian yaitu dzikir, fikir, dan membaca al Qur’an dengan keutamaan yang dianjurkan adalah membaca al Qur’an. Tidak diperkenankan melaksanakan shalat pada masa ini. 14. Wirid terakhir di siang hari adalah ketika senja mulai tiba hingga maghrib tiba. Masa ini diisi dengan wirid sebagaimana pada masa terbit fajar hingga terbit matahari.
15. Masuk ke dalam wirid malam maka sesudah shalat Maghrib hendaknya waktu hingga Isya adalah shalat-shalat sunnah yang dapat dilakukan di rumah apabila rumahnya dekat dengan masjid atau dengan iktikaf di masjid apabila bebas dari riya.
16. Wirid selanjutnya sesudah shalat Isya hingga batas rasa kantuk dapat dilakukan shalat sunnah yang dapat diakhiri dengan witir.
18. Wirid sesudahnya ketika malam tinggal seperempat maka hendaknya dia bangun dan menunaikan shalat tahjjud dan berdzikir hingga waktu sahur tiba. Urutannya sesudah bangun dia berdoa lalu mengambil air wudlu kemudian berdiri di tempat shalatnya
Kemudian diikuti bacaan,
هللا
Hendaklah selanjutnya dia mengucapkan klaimat berikutnya yang diucapkan Rasulullah SAW dalam bangunnya ketika menjelang tahajjud,
تررسا
Dilanjutkan dengan membaca,
م
ل هللا
menyaksikan jenazah. Dalam keempatnya ada keutamaan yang barangsiapa sanggup mengumpulkannya dalam sehari maka dia akan diampuni.