• Tidak ada hasil yang ditemukan

113880861 Majalah Percik Sanitasi Total Berbasis Masyarakat STBM 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "113880861 Majalah Percik Sanitasi Total Berbasis Masyarakat STBM 2012"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

Media Informasi Air Minum dan Sanitasi

Edisi Bahasa Indonesia edisi 01 tahun ke 10Agustus 2012

04

22

28

(2)
(3)

01 Majalah Percik Agustus 2012

Sidang pembaca yang budiman, kembali majalah kesayangan anda ini hadir di tengah anda. Kali ini, kami mengusung edisi khusus bertajuk Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

Sejak diluncurkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI sebagai strategi nasional, STBM telah berhasil menjadi platform pembangunan sanitasi berbasis masyarakat untuk mendorong perubahan perilaku hidup bersih dan sehat.

STBM mendorong perubahan tanpa subsidi.

Masyarakat dijadikan guru sekaligus subyek perubahan perilaku kesehatan. Perubahan perilaku yang dimaksud meliputi tidak buang air sembarangan, mencuci tangan pakai sabun, mengelola air minum dan makanan yang aman, mengelola sampah dengan benardan mengelola limbah air rumah tangga dengan aman.

Seluruh perilaku ini secara nyata berkontribusi terhadap pencapaian nasional target Pembangunan Milenium (MDGs) dan target pembangunan nasional sektor AMPL yaitu terwujudnya kondisi stop buang air besar sembarangan hingga akhir tahun 2014.

Pada Percik edisi khusus STBM kali ini, para pembaca dapat memetik pelajaran dan menggali inspirasi dari berbagai tokoh, champion, pelaku utama STBM. Setiap rubrik berupaya mengupas STBM dari tiga elemen pentingnya yaitu peningkatan demand, perbaikan supply dan lingkungan yang mendukung (enabling environment). Wawancara dengan Gubernur Jawa Timur dan Bupati Bima mengisahkan upaya-upaya merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan

lingkungan yang mendukung demi kesinambungan pembangunan sanitasi.

Sementara itu kisah pejuang-pejuang STBM dari Soe, Probolinggo, Lumajang serta peranan mitra dan swasta dan inovasi-inovasi dalam meningkatkan permintaan serta memperbaikan suplai di tingkat masyarakat juga diharapkan mengilhami seluruh pelaku STBM di berbagai lapisan masyarakat.

Kisah-kisah ini menjadi bukti nyata bahwa perubahan perilaku kesehatan yang didorong STBM bukan hanya angin yang ditiupkan oleh proyek-proyek semata tapi telah berhasil menjadi daya ungkit, wabah, menularkan semangat bagi tumbuhnya kesadaran di tingkat masyarakat untuk berkontribusi lebih baik bagi lingkungannya.

Pepatah menyatakan banyak jalan menuju Roma. Begitu pun dengan STBM, banyak jalan untuk menyukseskan program STBM ini. Kuncinya adalah jeli untuk mengamati setiap peluang yang ada dan berusaha cepat untuk mengambilnya. Dengan demikian, bukan tidak mungkin target-target yang menjadi tantangan bagi Negara Indonesia ini dapat tercapai.

Selamat membaca!

Pemimpin Redaksi Maraita Listyasari

Memotret

Semangat STBM

(4)

02 Majalah Percik Agustus 2012

Diterbitkan oleh : Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) Nasional Penanggung Jawab : Direktur Permukiman dan Perumahan, Bappenas, Direktur Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, Direktur Pengembangan Air Minum, Kementerian Pekerjaan Umum, Direktur Bina Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna, Kementerian Dalam Negeri, Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Direktur Penataan Perkotaan, Kementerian Dalam Negeri Pembina

Nugroho Tri Utomo Pemimpin Redaksi : Maraita Listyasari Redaktur : Eko Wiji Purwanto Editor : Aldy Mardikanto, Nur Aisyah Nasution

Tim Penyusun : Nissa Cita Adinia, Lisa Imrani, Kelly Ramadhanti , Indriany, Yusmaidy, Hendra Murtidjaja, Eko Budi Harsono Disain : E. Sunandar Sirkulasi / Sekretariat : Agus Syuhada, Nur Aini

Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

DAFTAR ISI

GELIAT STBM dalam

SANITASI INDONESIA

STBM Membawa perubahan pola

berpikir dalam pelaksanaan program

sanitasi. Selain mengedepankan

pemberdayaan masyarakat, yang

menjadi sasaran adalah perubahan

perilaku higiene masyarakat dengan

meninggalkan ketergantungan pada

subsidi.

04

28

(5)

03 Majalah Percik Agustus 2012

Cover : E. Sunandar

Foto Cover : Nury Sybli (Arisan Jamban / Bangka)

Alamat Redaksi Majalah Percik : Jl. RP Soeroso 50 Jakarta Pusat, Telp/Fax : 021- 31904113, Situs Web : http//www.ampl.or.id, Email: redaksipercik@yahoo.com, redaksi@ampl.or.id Redaksi menerima kiriman tulisan/ artikel dari luar. Isi berkaitan dengan air minum dan sanitasi

5 Pilar STBM

Aplikasi dan

Tantangannya

Menengok Pelaksanaan CLTS

dari Negeri Tetangga

Albertus Fay,

Dari kesenian Bonet sampai

instruksi camat.

Pilihan strategi mengubah

perilaku masyarakat

Wawancara Dirjen PP & PL

Kementerian Kesehatan

Milestone STBM

Apa kata mereka tentang

STBM

Kehadiran STBM dengan 5 pilarnya

telah mampu memberikan daya ungkit

yang cukup signiikan dalam perubahan

perilaku.

Sebagai sebuah pendekatan partisipatif, CLTS juga

diaplikasikan di beberapa negara tetangga kita. Simak

kisah-kisah dari Pakistan, Laos dan Vietnam

Albertus Fay, tokoh dibalik kesuksesan kecamatan Polen

kabupaten Timor Tengah Selatan. Albertus menuturkan

langkah-langkah yang ditempuhnya dalam mengaplikasikan

STBM

33

40

30

19

54

58

(6)

Majalah Percik Agustus 2012

Fokus Utama

(7)

05 Majalah Percik Agustus 2012

“Demi kelestarian anak cucu kita di masa mendatang, dan

meningkatnya kesejahteraan penduduk Maradesa Induk,

disaksikan oleh alam pada malam ini, kita harus melakukan

perubahan perilaku menuju sehat.

Tidak lagi buang air besar di sembarang tempat, cuci tangan

dengan baik, mengolah air minum yang sehat, mengolah

sampah rumah supaya tidak berceceran dimana-mana, dan

limbah di rumah...”

GELIAT STBM

SANITASI INDONESIA

dalam

(8)

06 Majalah Percik Agustus 2012

Gerak aktif masyarakat

K

utipan di atas adalah sekelumit kalimat dari sumpah adat yang disampaikan tetua-tetua adat di Desa Maradesa Induk, Sumba Tengah, NTB, pada Desember 2011 lalu. Demi mendorong perubahan perilaku higiene warganya, para tokoh adat lokal berinisiatif menggelar sumpah adat disaksikan segenap masyarakatnya, bahkan juga Camat setempat. Upaya seserius sumpah adat ini dilakukan karena mereka telah sadar dan berkomitmen untuk melakukan perubahan perilaku higiene.

Kondisi “terpicu” ini biasa muncul ketika masyarakat telah melalui satu proses yang dinamakan proses pemicuan. Pemicuan adalah sebuah metode yang dikenal bertujuan untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat. Masyarakat dikatakan “terpicu” ketika mereka sadar dan berkomitmen mengubah perilakunya, sehingga segera melakukan tindak lanjut yang diperlukan.

Di Indonesia, proses pemicuan telah dilakukan di banyak lokasi bahkan sampai ke pelosok-pelosok daerah. Sebagian masyarakat yang terpicu akan terdorong untuk ikut memicu warga lainnya. Mereka inilah yang dikenal dengan istilah “champion”. Seorang champion bisa jadi adalah seorang warga biasa,

anak-anak, tokoh masyarakat setempat, petugas pemerintah, dan lain-lain. Champion bergerak aktif mengupayakan perubahan perilaku masyarakat sekitarnya dengan cara mereka sendiri.

Salah satu champion di Dompu, NTT, Salahudin (13 tahun) bersama Sanggar Anak Tahira membentuk Polisi Tai Desa Adu. Bersama kader desa, anak-anak ini dengan aktif memicu warga di desanya untuk tidak buang air besar (BAB) sembarangan lagi. Mereka melakukan pengawasan rutin untuk memantau kebiasaan BAB warga masyarakat. Ketika ditemukan ada yang melakukan buang air besar (BAB) sembarangan, mereka meneriaki si pelaku, meniup peluit agar banyak warga tahu perilakunya membuatnya malu.

Lain lagi di Jawa Timur, champion lain bernama Hastatik, seorang petugas sanitasi di Sampang, “memprovokasi” warganya dengan pesan bahwa melakukan BAB sembarangan sama dengan melakukan maksiat dan membuat derita bagi sesama. Bagi orang Madura, maksiat dan mengakibatkan orang lain menderita adalah suatu tabu dan sangat memalukan. Tak ayal, para warga disekitarnya terpicu dan berkomitmen mengubah perilakunya menjadi BAB di jamban. Komitmen tersebut dibuktikan dengan jumlah

Deklarasi dan pencanangan 7 desa

ODF di Kabupaten Serang.

D

ok F

ot

o S

(9)

07 Majalah Percik Agustus 2012

investasi warga Kecamatan Sampang Kabupaten Sampang yang mencapai angka Rp 4.7 miliar untuk membangun jamban tanpa subsidi dari pihak luar.

“Semua gerak aktif masyarakat ini adalah hasil suatu proses pemberdayaan masyarakat. Suatu program dikatakan melakukan pemberdayaan masyarakat ketika masyarakat berperan sebagai subyek aktif dan juga sebagai pengambil keputusan dalam semua tahapan program,” ungkap Oswar Mungkasa, mantan Ketua Pokja AMPL dalam beberapa kesempatan.

Mengubah pola pikir

Selama berpuluh tahun Indonesia memiliki program-program sanitasi yang berorientasikan pembangunan sarana isik. Namun selama berpuluh tahun pula cakupan sanitasi kita belum menunjukkan perubahan berarti. Berbagai program datang ke masyarakat dengan dana besar, memberikan bermacam tipe sarana sanitasi. Makin banyak sarana sanitasi terbangun, tidak menambah cakupan, sebaliknya malah menambahkan jumlah bangunan tak terpakai. Kondisi ini memperlihatkan perlunya pembenahan terhadap pola pikir kita.

Beberapa tahun terakhir, perubahan pola pikir ini mulai tampak dalam program-program sanitasi terkini. Masyarakat mulai dilibatkan dalam prosesnya, dengan level pelibatan mulai dari sekedar peserta dalam acara sosialisasi sampai dengan pelibatan penuh.

“Banyaknya sarana sanitasi terbangun yang tidak digunakan, maupun yang rusak karena ketidakmampuan masyarakat memeliharanya, membuat pemerintah mulai memikirkan pentingnya

keberlanjutan suatu program,” ujar Imbang Muryanto dari Dinas PU Makassar saat memaparkan pembelajaran program sanitasi Makassar di Workshop STBM Nasional tanggal 7-9 Agustus di Bogor, Jawa Barat. “Karena sanitasi tanpa pemberdayaan masyarakat tidak akan berhasil,” tambahnya.

Tidak berhenti pada upaya memberdayakan masyarakat saja, yang juga dituju adalah perubahan perilaku higiene masyarakat. “Salah satu penunjang utama keberlanjutan program sanitasi adalah

perubahan perilaku higiene masyarakat,” ungkap Zainal Nampira, Kasubdit Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar, Kementerian Kesehatan.

Perubahan pola pikir dan perilaku higiene masyarakat yang

dituju.

D

ok F

ot

o IUW

(10)

08 Majalah Percik Agustus 2012

“Komitmen perubahan perilaku mampu mendorong masyarakat membangun sarana sanitasi sendiri. Masyarakat paling miskin pun akan jadi mampu. Ketika terpicu, ternyata mereka mampu membangun sarana sanitasi mereka sendiri,” jelas Zainal.

Pernyataaan Zainal didukung oleh sejumlah fakta tak terbantahkan. Masyarakat yang terpicu, berkomitmen pada perubahan perilaku pada akhirnya akan mampu membangun sarana sanitasinya sendiri. Program sanitasi berkelanjutan tidak hanya membutuhkan

pemberdayaan masyarakat, yang terpenting adalah munculnya perubahan perilaku masyarakat. Tanpa itu, pembangunan sanitasi kecil kemungkinannya untuk bisa bertahan lama.

Membangun sanitasi tanpa subsidi

Munculnya kesadaran masyarakat untuk perubahan perilaku mengakibatkan banyaknya komunitas yang kemudian menyatakan dirinya telah Stop Buang air besar Sembarangan (SBS) – biasa dikenal dengan istilah Stop BABS atau ODF (open defecation free). Kondisi ODF dicapai ketika 100% penduduk di satu komunitas/ dusun/desa telah berhenti BAB sembarangan dan membiasakan BAB di jamban sehat.

Pemicuan demi pemicuan yang dilakukan di berbagai

tempat telah memperlihatkan hasilnya ketika banyak desa ODF yang dideklarasikan. Kecamatan-kecamatan ODF pun mulai bermunculan di seantero negeri seiring banyaknya kabupaten yang mencanangkan tujuan untuk mencapai status Kabupaten ODF. Status ODF kini menjadi gengsi yang dikejar banyak pemimpin daerah.

Di lain sisi, masih banyak pihak bertahan pada pola pikir lama bahwa perubahan perilaku higiene masyarakat membutuhkan proses dengan waktu lama, biaya besar dan tidak bisa dipaksakan. Padahal Indonesia sejak

2005 telah menerapkan satu pendekatan tanpa subsidi yang membuat perubahan besar pada capaian sanitasi kita.

Lalu apakah yang dimaksud dengan pendekatan tanpa subsidi ini?

Pendekatan ini dikenal dengan sebutan  Community-Led Total Sanitation (CLTS). Dipelopori oleh Dr. Kamal Kar dari Bangladesh, CLTS memiliki metode inovasi yang memobilisasi masyarakat untuk sepenuhnya menghilangkan perilaku buang air besar di sembarang tempat. CLTS mengakui bahwa menyediakan sarana jamban bagi masyarakat tidak bisa menjamin penggunaannya, tidak juga menyebabkan perubahan perilaku higiene ataupun peningkatan akses sanitasi. Dengan demikian, jika sasarannya adalah perubahan

“Masyarakat paling miskin pun akan jadi

(11)

09 Majalah Percik Agustus 2012

perilaku dan akses sanitasi, maka penyediaan sarana jamban perlu menjadi tanggungjawab masyarakat sendiri.

Dimulai dari meniru negara lain

CLTS menyebar cepat di Bangladesh dengan kerjasama antara Pemerintah Bangladesh dan Lembaga Swadaya Masyarakat internasional yang ada. WSP (Water and Sanitation Program) dari Bank Dunia memainkan peran penting dalam penyebaran pendekatan ini ke India, Indonesia dan sebagian Afrika.

Bermula dari suksesnya CLTS di Bangladesh dan India, perwakilan dari beberapa kementerian yang tergabung dalam Kelompok Kerja Air Minum dan Sanitasi (Pokja AMPL) dan beberapa pelaku sanitasi Indonesia berangkat ke kedua negara tersebut untuk mempelajari CLTS lebih dalam. Kunjungan tersebut dilanjutkan dengan mengundang Kamal Kar ke Indonesia, untuk melakukan penilaian apakah metode CLTS dapat diterapkan di Indonesia.

Pemerintah menindaklanjuti kunjungan tersebut dengan melakukan uji coba penerapan CLTS di enam

kabupaten di enam provinsi yang berbeda yaitu: Lumajang, Jawa Timur; Sumbawa, NTB; Sambas, Kalimantan Barat; Muara Enim, Sumatera Selatan; Muaro Jambi, Jambi; dan Bogor, Jawa Barat. Tak tanggung-tanggung, Kamal Kar langsung didaulat melatihkan metode ini di orientasi CLTS tingkat Nasional yang pertama pada awal Mei 2005 di Lumajang, Jawa Timur.

Evaluasi yang dilakukan sekitar 6 bulan kemudian, pada akhir Nopember 2005, menyatakan bahwa hasil uji coba penerapan CLTS dinilai sangat baik. “Masyarakat Indonesia bisa melakukan pemicuan dengan begitu cepat, karena 8 bulan lalu saya datang ke Indonesia belum ada yang tahu tentang CLTS. Setelah diperkenalkan dalam waktu 6 bulan CLTS, dapat berkembang dengan bagus di Indonesia,” komentar Kamal Kar saat itu.

Berkembang di negeri sendiri

Setelah uji coba tersebut, metode CLTS terus diterapkan di berbagai daerah oleh berbagai pelaku sanitasi baik pemerintah maupun nonpemerintah. Berawal dari keberhasilan uji coba itu, dilakukan pula perumusan sebuah konsep strategi nasional untuk perluasan peningkatan akses sanitasi pedesaan yang disesuaikan dengan misi dan karakter bangsa Indonesia.

Percobaan di 6 kabupaten tersebut berhasil membuktikan bahwa CLTS dapat diterapkan di Indonesia. Pembelajaran yang didapatkan dari percobaan tersebut didokumentasikan dalam bentuk video yang menjadi alat bantu komunikasi dalam melakukan advokasi ke berbagai pihak. Berbagai lembaga baik pemerintah dan nonpemerintah tertarik

Metode CLTS terus diterapkan diberbagai daerah

(12)

10 Majalah Percik Agustus 2012

mereplikasikan pendekatan ini melalui berbagai program diantaranya WSLIC2 (Water and Sanitation for Low Income Communities), TSSM dan program yang dijalankan oleh Plan Indonesia.

WSLIC2 mulai gencar melaksanakan pemicuan di berbagai wilayah sasaran proyeknya di Indonesia. TSSM (Total Sanitation – Sanitation Marketing) di Jawa Timur menambahkan 3 komponen sanitasi total dalam pelaksanaannya, yaitu:

• peningkatan kebutuhan sanitasi (demand creation),

• peningkatan penyediaan sanitasi (supply improvement), dan

• penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling environment).

Tiga komponen tersebut menjadi inovasi pengembangan dalam replikasi CLTS karena CLTS hanya berfokus di demand creation. Plan Indonesia walau belum sepenuhnya menerapkan CLTS, mulai

mengadopsi metode pemicuan di 9 kabupaten binaannya di tahun 2007, dan sejak tahun 2009 telah mengadopsi penuh pendekatan CLTS.

Replikasi oleh berbagai pihak ini menghasilkan perubahan luar biasa sehingga pada tahun 2006 sebanyak 160 desa telah mencapai ODF dan tahun 2007 bertambah menjadi 500 desa. Bahkan Pemerintah Kabupaten Pandeglang sempat meraih penghargaan MURI (Museum Rekor Indonesia) pada 2007 ketika organisasi masyarakat PCI (Project Concern International) berhasil melakukan pemicuan dan mendorong

pebangunan 1.719 buah jamban atas inisiatif masyarakat tanpa subsidi.

“Sejak CLTS diluncurkan, luar biasa semangat yang muncul dari berbagai program dan proyek. Daya ungkit di tingkat masyarakat juga tinggi,” kata Zainal.

Penerapan CLTS Tidaklah Cukup

Di tahun 2007, dunia sanitasi Indonesia mendapatkan informasi berharga hasil studi dari WHO (World Health Organization) dan Bank Dunia. Studi dari Bank Dunia menyatakan bahwa buruknya kondisi sanitasi di

Berbagai kampung dan desa bangga mendeklarasikan dirinya bebas dari buang air besar

sembarangan.

D

ok F

ot

o S

ekt. STBM

(13)

11 Majalah Percik Agustus 2012

Indonesia menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2,3% dari Produk Domestik Bruto atau sebesar Rp 58 triliun per tahunnya.

Buruknya kondisi sanitasi dan perilaku higiene masyarakat yang tidak aman menimbulkan kejadian luar biasa diare di banyak provinsi. Penurunan kejadian diare dianggap penting karena penyakit ini masih menjadi penyebab utama kematian bayi dan balita di Indonesia. WHO menyatakan bahwa ada 3 kondisi yang dapat menurunkan kejadian diare, yaitu:

1. Peningkatan akses masyarakat pada sanitasi dasar, dapat menurunkan kejadian diare sebesar 32%; 2. Perilaku cuci tangan pakai sabun, menurunkan

sebesar 45%; dan

3. Perilaku pengelolaan air minum yang aman di rumah tangga, menurunkan sebesar 39%.

Masing-masing kondisi tersebut jika diterapkan berdiri sendiri, maka besar penurunan yang dihasilkan tidak sampai setengahnya. Namun apabila ketiga kondisi tersebut diintegrasikan, maka kejadian diare dapat diturunkan sebanyak 94%.

Bersandar pada hasil studi Bank Dunia dan WHO, pemerintah Indonesia melihat bahwa penerapan CLTS saja tidaklah cukup. Diperlukan program besar yang mengintegrasikan ketiga kondisi di atas jika memang kita serius untuk memperbaiki kondisi sanitasi dan menurunkan angka kejadian diare.

Keberhasilan uji coba CLTS, replikasi dan

pengembangan CLTS paska uji coba, serta hasil studi WHO dan Bank Dunia, mendorong pemerintah Indonesia menyusun satu program yang menyasar

pada penurunan kejadian diare melalui perubahan perilaku masyarakat. Hasil upaya tersebut adalah ditetapkannya Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) mengadopsi pendekatan CLTS untuk mengubah perilaku

masyarakat. Hasil studi WHO tercermin disini sebagai 5 pilar perubahan perilaku, yang kini dikenal sebagai 5 pilar STBM, yaitu:

1. Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS)

Cuci tangan pakai sabun, terbukti menurunkan kasus

diare hingga 45 persen.

D

ok F

ot

o P

(14)

12 Majalah Percik Agustus 2012

2. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)

3. Pengelolaan Air Minum dan makanan Rumah Tangga (PAM RT)

4. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (PS RT) 5. Pengelolaan Limbah Cair Rumah Tangga (PLC RT)

Pencapaian 5 kondisi di atas dalam satu komunitas disebut sebagai kondisi sanitasi total.

Munculnya Kepmenkes tentang strategi nasional STBM selain menjadi pegangan untuk advokasi juga menjadi pemicu bagi lebih banyak pihak untuk menerapkan CLTS dan mengembangkannya menjadi STBM. Diragukan pada awalnya, seperti halnya saat pertama penerapan CLTS, perlahan tapi pasti STBM meraih dukungan-dukungan menjadi program sanitasi berbasis masyarakat terbesar tanpa subsidi di Indonesia.

Di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan dan didukung oleh lembaga interkementerian, Pokja AMPL Nasional, para pemangku kepentingan STBM dari pemerintah dan non pemerintah memulai upaya advokasi dan pelaksanaan STBM di berbagai tingkatan, mulai dari pusat sampai ke daerah. Keberhasilan mulai

terlihat, bahkan di wilayah-wilayah yang dianggap sangat tidak mungkin untuk diterapkan program ini.

Serangkaian perubahan dan kemajuan mengiringi pelaksanaan STBM. “Banyak pihak sudah mulai menerapkan pemicuan bukan hanya untuk Stop BABS saja. Jadi, memang sudah muncul desa-desa yang mencapai kondisi sanitasi total di 5 pilar STBM,” ungkap Zainal.

Lebih lanjut, STBM yang dari awalnya identik dengan program sanitasi di perdesaan, kini juga mulai diujicobakan di perkotaan. WVI (World Vision International) dan USAID (United States Agency for International Development) adalah dua lembaga yang menginisiasi uji coba pelaksanaan STBM di masyarakat kota.

“Yang membanggakan, muncul juga asosiasi

pengusaha sanitasi di tingkat masyarakat. Semua pihak berkolaborasi, lagi-lagi menambah daya ungkit positif program ini,” tambah Zainal.

(15)

13 Majalah Percik Agustus 2012

Menurut Nugroho, STBM telah berevolusi menjadi lebih kompleks dan luar biasa, “STBM ini merupakan satu-satunya program atau pendekatan yang intervensinya langsung ke tingkat

rumah tangga yang memang merupakan penentu utama keberhasilan program sanitasi.”

Dampaknya, Indonesia mulai menjadi tempat belajar bagi negara tetangga untuk program sanitasi perdesaan. Dalam Lokakarya Regional CLTS se-Asia Tenggara dan Pasiik tahun 2009, Indonesia ternyata merupakan negara dengan pengalaman penerapan CLTS yang sangat komprehensif, bahkan dibandingkan dengan India.

Dikatakan komprehensif karena pelaksanaan CLTS di Indonesia sudah mencapai pengembangan konsep menjadi STBM. Selain itu, tidak hanya pada penerapan 5 pilar, kegiatan monitoring STBM yang berbasis sms dan website juga sudah dimulai diterapkan. Pelaku STBM-pun semakin beragam, mulai dari pemerintah

(16)

14 Majalah Percik Agustus 2012

daerah, LSM lokal atau internasional, lembaga donor, hingga pihak swasta melalui program-program Corporate Social Responsibility (CSR).

Banyak faktor di Indonesia yang mendukung perkembangan AMPL yaitu keberadaan regulasi, komitmen pemerintah dalam RPJMN, keberadaan Pokja AMPL / Sanitasi di tingkat kabupaten, kota dan provinsi, kemitraan dengan para pemangku kepentingan serta keberadaan para champion di masyarakat sendiri.

Tantangan Berat

Di semua negara yang menerapkan CLTS, peralihan pendekatan pembangunan sanitasi dari berbasis subsidi ke non subsidi dirasakan merupakan tantangan

yang paling berat, baik di tingkat pemerintah maupun di masyarakat. Laos dan Vietnam adalah contoh negara yang mengirimkan tim-nya ke Indonesia demi bertukar pengetahuan mengenai CLTS dan STBM.

Pada Lokakarya Regional Exchange Visits on Scalling Up Sanitation di Solo (September 2011), Pemerintah Indonesia dianggap cukup berhasil bekerja sama dengan lembaga donor dan rekan kerjanya untuk mengembangkan sanitasi perdesaan dengan penguatan tiga komponen sanitasi totalnya. Kegiatan ini dihadiri lembaga-lembaga donor dan negara-negara Asia Tenggara dan Papua New Guinea.

Antusiasme dalam setiap kegiatan deklarasi ODF di berbagai wilayah.

D

ok F

ot

o P

(17)

15

1. Pemicuan STBM pada tingkat komunitas

2. Penelitian formatif mengenai perilaku dan motivasi higiene masyarakat sebagai konsumen.

3. Kampanye media komunikasi berdasarkan penelitian formatif, dengan menggunakan motivasi yang ada untuk mengubah perilaku.

4. Menawarkan opsi-opsi bagi konsumen ketika mereka berkomitmen untuk mengubah perilaku higiene-nya.

1. Penilaian pasar sanitasi di provinsi untuk membandingkan opsi-opsi sanitasi yang ada, dibandingkan dengan keinginan dan kesediaan membayar konsumen.

2. Mengembangkan kisaran opsi sanitasi yang diinginkan dan terjangkau konsumen.

3. Pengembangan catalog pilihan sanitasi layak, untuk menolong konsumen memilih.

4. Pembinaan pengusaha lokal dan pelatihan tukang bangunan untuk menyampaikan pilihan teknologi dengan jaminan kualitas.

1. Menerapkan kebijakan lokal untuk melaksanakan STBM di kabupaten melalui sinergi semua sumber dana program/proyek sanitasi perdesaan.

2. Mengembangkan kerangka pendanaan khusus dalam anggaran pemerintah.

3. Menyediakan dana pembangunan dan peningkatan kapasitas lokal (untuk demand, supply, pengelolaan pengetahuan, pemantauan dan hasil program sanitasi).

4. Membuat analisa tentang efektiitas pembiayaan (input, output, hasil) program sanitasi dalam laporan kemajuan program kabupaten.

5. Memformulasi Rencana Strategis untuk pelaksanaan STBM di kabupaten. Dengan berbagai capaian dan pembelajaran, masih

begitu banyak tantangan STBM ke depan. Komitmen Pemerintah Indonesia Stop BABS pada 2014 telah akankah itu tercapai? Bagaimana menanggulangi berbagai program/proyek di daerah yang masih melakukan subsidi? Pencapaian MDGs untuk sanitasi di Indonesia banyak mengandalkan STBM karena program ini efektif untuk meningkatkan akses sanitasi di perdesaan. Dengan kondisi otonomi daerah, bagaimana membuat pimpinan daerah mengadopsi

program ini?

Seperti dikatakan oleh Nugroho Tri Utomo pada Workshop STBM Nasional (7/9),” Sudah diketahui bagaimana potensi STBM di lapangan. Keberhasilannya sudah cukup teruji. Tantangannya bukan lagi

(18)

16 Majalah Percik Agustus 2012

mengadvokasi rumah tangga tetapi mengadvokasi pemerintah daerah agar lebih mendukung kegiatan ini. Tantangannya adalah pada komitmen pemda untuk mengalokasikan dana ke STBM.”

Menuju Pencapaian Target STBM

STBM beranjak dari satu pembelajaran sederhana, dan makin lama makin berkembang seiring penemuan pembelajaran demi pembelajaran lainnya dari banyak pihak. Di triwulan pertama tahun 2012, sebanyak 6.457 desa telah melaksanakan STBM. Hingga akhir tahun 2014 ditargetkan 20.000 desa dapat menerapkan STBM. Akankah kita menggunakan semua pembelajaran yang ditemukan sebagai pijakan menuju target yang ingin dicapai?

Soal kreatiitas mencapai target, pelaku STBM dari Jawa Timur mungkin juaranya. Jawa Timur menggunakan strategi “1 puskesmas 1 desa ODF”. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur memberikan target pada tiap puskesmas untuk meng-ODF-kan minimal 1 desa

di wilayahnya tiap tahun. “Tiap kecamatan biasanya memiliki 1 puskesmas, beberapa ada yang lebih dari 1. Dengan strategi “1 puskesmas 1 desa ODF”, target ini termasuk ringan bagi puskesmas,” kata Edy Basuki, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.

Strategi ini bukan mustahil dilakukan, jika dalam sebulan sanitarian melakukan 1 kali pemicuan dan monitoring tiap bulannya, minimal 1 desa ODF bisa dicapai dalam 1 tahun. Jika dilihat dari pendanaan

“Tiap kecamatan biasanya memiliki 1 puskesmas.

Dengan strategi “

1 puskesmas 1 desa ODF

”,

(19)

17 Majalah Percik Agustus 2012

yang sudah tersedia, strategi “1 puskesmas 1 desa ODF” merupakan strategi mumpuni yang selayaknya dapat diterapkan di wilayah-wilayah lain.

Wilfried H Purba, Direktur Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, menambahkan potensi lain. Menurut Wilfried, saat ini puskesmas mendapatkan dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) dari pusat dengan rata-rata Rp 100 juta per puskesmas. “Di sini, menu kesehatan lingkungannya bisa digunakan untuk STBM. Sekarang bagaimana teman-teman daerah kita dorong agar tidak melupakan kesehatan lingkungan (kesling) ini, dengan menggunakan program STBM,” tandasnya.

Perihal terobosan pencapaian target STBM ini Nugroho menambahkan bahwa STBM muncul dari begitu banyak pembelajaran, hasil-hasil studi, kerja kreatif para champion dan dukungan banyak pihak. “STBM juga akan hidup dan berkembang dari gairah-gairah seperti ini. Dan jangan lupa, STBM bisa kita kembangkan betul,

ketika dia terintegrasi dengan program-program lain, seperti PPSP (Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman), RPA (Rencana Pengamanan Air), atau Sanitasi Sekolah,” ujar Nugroho.

Bersinergi dengan program lain dan melakukan terobosan strategi pelaksanaan STBM di wilayah masing-masing. Bayangkan ketika seluruh kecamatan di Indonesia, melakukan strategi tersebut. Tidak mustahil target 20.000 desa yang melaksanakan STBM di 2014 akan tercapai, bahkan terlampaui. Mari kita mulai dari sekarang.

Indriany, Nissa Cita

D

ok F

ot

o P

lan Indonesia

Bersinergi bersama berbagai pihak melakukan promosi STBM demi mencapai

(20)
(21)

19 Majalah Percik

Agustus 2012

Wawancara

P

rogram Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) telah empat tahun bergulir. STBM jelas merupakan salah satu program Nasional di bidang sanitasi yang bersifat lintas sektoral. Program ini telah dicanangkan pada bulan Agustus 2008 oleh Menteri Kesehatan RI. STBM merupakan pendekatan untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan.

Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan 2010 – 2014 ditetapkan Delapan fokus

prioritas pembangunan kesehatan. Salah satunya adalah program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan menular; dengan salah satu indikator utama pencapaian sasaran pada tahun 2014 adalah jumlah desa yang melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) sebanyak 20.000 desa.

Berikut adalah petikan wawancara wartawan majalah Percik, Eko B Harsono dengan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Prof Dr Chandara Yoga di ruangannya di

Jakarta, belum lama ini.

Sesungguhnya apa persoalan mendasar dalam melaksanakan STBM?

Sejumlah program sanitasi masyarakat memang telah lama dilakukan. Persoalannya ada sejumlah masalah terkait hal ini yang harus diperhatikan pertama yaitu Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) belum menjadi kebutuhan bagi sebagian besar masyarakat. Masyarakat secara umum memiliki pengetahuan mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat serta

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K)

Wawancara Dirjen PP & PL Kementerian Kesehatan

STBM Mendorong

(22)

20 Majalah Percik Agustus 2012

kondisi sanitasi terhadap tingkat kesehatan. Namun demikian, prioritas masyarakat masih belum menempatkan sanitasi pada prioritas utama. Oleh karena itu, seringkali ditemui ketidakkonsistenan praktik hidup bersih masyarakat.

Kedua, kurangnya komitmen pemerintah daerah mengenai pentingnya pembangunan sanitasi. Fokus pembangunan di daerah masih berkisar pada sarana infrastruktur lain seperti jembatan atau jalan, sementara

pembangunan sanitasi belum menjadi prioritas. Selain itu, fakta bahwa pembangunan sanitasi belum terintegrasikan secara maksimal dan menjadi tanggungjawab bersama.

Ketiga, belum tersedianya

pendekatan pembangunan sanitasi yang terpadu dan sinergis. Salah satu kendala yang cukup mendasar adalah belum adanya cetak biru maupun pendekatan untuk menanganani pembangunan sanitasi. Pemerintah saat ini telah mencanangkan program STBM

sebagai program nasional dan menjadikan program tersebut sebagai acuan bagi pelaksana berbagai program/proyek sanitasi yang ada. Namun demikian, program STBM masih perlu dikembangkan.

Mengapa STBM berprinsip non subsidi?

Sebelumnya kita menerapkan pendekatan tradisional untuk program sanitasi, seperti: membangun MCK, mendistribusikan jamban keluarga secara cuma-cuma atau

D

ok F

ot

o S

ekt. STBM

Salah satu upaya kampanye cuci tangan pakai sabun

yang digiatkan oleh Kementerian

(23)

21 Majalah Percik Agustus 2012

dalam bentuk paket material stimulan untuk konstruksi, serta mendistribusikan uang pada masyarakat dalam bentuk jamban bergulir.

Ketiga kegiatan tersebut menggunakan pendekatan isik dimana fokus dan tolok ukur sukses selalu pada pendekatan isik. Dengan pendekatan isik tersebut tidak memberi daya ungkit yang berarti terhadap akses sanitasi karena tidak berkesinambungan (masyarakat selalu bergantung pada subsidi).

Dengan tidak adanya subsidi, seperti apakah peran pemerintah?

Peran pemerintah adalah memfasilitasi dalam bentuk penyusunan norma, standar, pedoman, advokasi dan sosialisasi, kampanye, monitoring, evaluasi, serta pembelajaran. Berkaitan peran Pemerintah tersebut, instansi lintas sektor serta pemangku kepentingan terkait telah menyusun Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 852/Menkes/SK/ IX/2008 tanggal 8 September 2008

Bisakah STBM dikatakan berhasil? Atau sebaliknya?

Kami belum berani menyatakan sebagai suatu keberhasilan tetapi kemajuannya menunjukkan hal yang menggembirakan. Pendekatan ini terus kita evaluasi dan kita lakukan akselerasi dengan tetap mempertahankan kualitas proses dan hasil. Selain itu juga mulai dikembangkan pilar-pilar lain dari STBM seperti kampanye Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) dan Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga (PAM RT), pengelolaan limbah dan sampah rumah tangga.

Kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan STBM?

Kendala utama yang dihadapi adalah belum semua pemangku kepentingan memahami dan mengadopsi pendekatan STBM ini dalam pembangunan sanitasi dan masih berorientasi pada pedekatan isik, bukan pada pendekatan perubahan perilaku. Untuk mengatasi hal ini, langkah kita adalah terus melakukan roadshow dalam rangka advokasi dan sosialisasi kepada para pengambil keputusan serta para pemangku kepentingan. Selain itu juga dilakukan kampanye media dan pembelajaran dari keberhasilan

daerah dalam implementasi STBM.

Bagaimana keterlibatan pihak di luar Pemerintah dalam program STBM?

(24)

Majalah Percik Agustus 2012

Wawancara

22

Bagaimana awal mula mengenal program STBM? Kesan seperti apa yang muncul ketika STBM mulai dikenalkan di Jawa Timur

S

TBM dikenal sejak tahun 2006, yang diujicobakan di Kabupaten Lumajang. Pada awalnya dikenalkan metode Community Led Total Sanitation (CLTS) sebuah metode

pemberdayaan masyarakat dengan fokus terhadap upaya perubahan perilaku dari Buang Air Besar Sembarangan (BABS) menjadi BAB di jamban sehat. Pada tahun 2007 pendekatan Total Sanitation and Sanitation Marketing (TSSM) diperkenalkan oleh WSP World Bank dengan mengkombinasikan

antara peningkatan demand (masyarakat yang sudah terpicu) dan perbaikan supply dan jejaring bisnis yang melibatkan swasta. Tahun 2008 mulai dianggarkan untuk kegiatan STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat), demikian juga dana operasional disediakan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) melalui APBD Kabupaten.

Kesan pertama tentang STBM, ini merupakan kegiatan pemberdayaan dengan pendekatan baru. Pendekatan ini terbukti cukup efektif dalam meningkatkan akses jamban dengan cepat.

Kendala apa saja yang mucul dalam pelaksanaan STBM hingga saat ini dan upaya apa yang telah dilakukan untuk mengatasinya?

Belum semua Pemkab/Kota memahami pendekatan ini, sanitasi masih belum menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan dan alokasi APBD untuk sanitasi masih terbatas. Untuk mengembangkan program, Pemprov mendorong untuk dapat melakukan akses terhadap sumber daya seperti CSR, dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan), PNPM atau proyek nasional lainnya. Selain itu, memberikan penghargaan terhadap kabupaten

Soekarwo

Gubernur Jawa Timur

Menyebar Pembelajaran

(25)

23 Majalah Percik Agustus 2012

yang berhasil juga dapat memicu kabupaten yang lain, misalnya melalui JPIP Otonomi Awards. Upaya lain juga diperlihatkan dalam bentuk pameran nasional dalam rangka Hari Kesatuan Gerak PKK dan Bulan Bakti Gotong Royong, dimana STBM mampu menggerakkan partisipasi dan gotong royong masyarakat untuk membangun jamban dalam skala luas.

Bagaimana peran berbagai pihak (pemerintah, swasta/CSR/ media, masyarakat, perguruan tinggi, donor/NGO/LSM, dll) dalam pelaksanaan STBM?

Pemerintah daerah minimal memberikan dukungan kebijakan serta kerja sama dengan

lembaga-lembaga lain. Lembaga tersebut antara lain seperti swasta melalui CSR (contoh Bank Jatim), Media (Jawa Pos-Otonomi Award), NGO (WSP- World Bank, USAID), PKK (Lomba Lingkungan Bersih dan Sehat), proyek nasional ( PNPM, Sanimas, PAMSIMAS). Upaya mensinergikan lintas program juga sudah dilakukan seperti dengan program Kota Sehat, Desa Siaga, Promosi Kesehatan, UKS dan lain-lain.

Apa yang dianggap sebagai manfaat STBM bagi masyarakat?

Masyarakat dapat menikmati kondisi lingkungan yang lebih bersih dan sehat serta menurunkan resiko penyakit akibat kondisi lingkungan. Masyarakat yang sejak

awal sudah memiliki jamban akan merasa nyaman karena masyarakat di sekitarnya yang awalnya BAB sembarangan sudah memiliki jamban.

Seperti apa kondisi daerah sebelum dan sesudah program STBM mulai dilaksanakan?

Pendekatan program sanitasi sebelumnya dengan memberikan subsidi untuk konstruksi jamban ternyata sangat terbatas cakupannya, membutuhkan biaya yang relatif cukup besar karena masyarakat mengharapkan bantuan dari Pemerintah. Tambahan akses jamban di masyarakat berjalan sangat lambat. Dengan STBM, program sanitasi lebih mengutamakan

Anak-anak di SD Tunjung Sekar Malang

(26)

24 Majalah Percik Agustus 2012

perubahan perilaku melalui metode pemicuan dan kontrol sosial sehingga mekanisme yang terjadi di masyarakat dapat berkesinambungan, tambahan akses jamban bertambah lebih cepat dan cakupannya lebih luas serta merata di semua lapisan.

Menurut anda, apa faktor sukses yang mendorong keberhasilan STBM di Jawa Timur ini?

Adanya dukungan kebijakan Pemprov di bidang sanitasi, terbangunnya sinergi kerjasama stakeholder yang kondusif dan menyebarluaskan informasi melalui berbagai media ke semua pihak yang terkait. Dalam hal pertukaran pengetahuan, Jawa Timur telah menyebarluaskan pembelajaran ke berbagai pihak melalui kunjungan lapangan, mengundang daerah sukses sebagai narasumber, ataupun menjadi narasumber di daerah atau Provinsi lain.

Tantangan apa sajakah yang masih harus dihadapi dalam pelaksanaan STBM di Jawa Timur?

Sejogianya STBM berjalan secepat di Bojonegoro, Jombang, Pacitan, Lumajang, Magetan, Ngawi, dan Nganjuk. Untuk itu, Pemprov akan terus memberikan motivasi dan

advokasi terhadap seluruh Kab/ Kota dengan memaksimalkan tiga komponen penting STBM yaitu: 1. Terus menciptakan demand dengan pemicuan; 2. Memberikan solusi terhadap masyarakat yang sudah terpicu dengan memberikan opsi jamban sehat, dengan mempermudah akses atau mendekatkan pasar sanitasi (mendekatkan supply); 3. Pihak pemerintah beserta stakeholder menciptakan lingkungan yang mendukung (enabling environment), minimal dengan memberikan dukungan kebijakan.

Tenggat waktu MDGs saat ini sudah semakin dekat, bagaimana prospek STBM dalam menjawab tantangan MDGs tersebut?

Apabila STBM dilaksanakan oleh semua pihak dengan maksimal dan tentunya didukung oleh semua Bupati/Walikota, maka tidak

menutup kemungkinan target MDGs goal 7 bisa tercapai. Jadi kata kuncinya adalah dukungan dan komitmen yang kuat, khususnya oleh Bupati/Walikota.

Apakah harapan, masukan maupun evaluasi bagi peningkatan/percepatan program STBM di tingkat nasional?

Harus ada dukungan, kesepakatan dan komitmen yang kuat oleh semua pihak, mulai dari tingkat atas sampai ke bawah, itu adalah kunci keberhasilan STBM untuk tingkat nasional.

(27)

25 Majalah Percik

Agustus 2012

Wawancara

Bagaimana awal mula mengenai program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)? Kesan seperti apa yang muncul ketika STBM mulai dikenalkan di Bima?

S

TBM pertama kali dikenalkan pada tahap akhir program WSLIC 2 (Second Water and Sanitation for Low Income Communities) tahun 2005 dengan nama CLTS (Community Lead Total Sanitation), kemudian secara gencar diadopsi oleh program-program lain antara lain WES Unicef, Program Desa Siaga, BBGRM (Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat) dll.

Kesan yang muncul ketika STBM mulai dikenalkan di Bima adalah

kita telah berpengalaman sejak Pelita Pertama membangun sanitasi dengan berbagai program mulai program inpres SAMIJAGA, Unicef , RWSS, P3DT, P2DT dll dengan investasi yang sangat besar. Investasi tersebut belum mampu meningkatkan cakupan maupun perubahan perilaku yang menunjang pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.

Kehadiran STBM dengan lima pilarnya telah mampu memberikan daya ungkit yang cukup signiikan dalam perubahan perilaku dan peningkatan cakupan AMPL. Yang menarik dari program ini adalah meningkatnya kesadaran masyarakat lewat strategi

pemicuan. Hasilnya, awal tahun 2012 ada 25 desa dan 1 kecamatan telah mendeklarasikan diri sebagai desa dan kecamatan ODF (Open Defecation Free) atau bebas dari buang air besar sembarangan. Dan tahun 2015, Kabupaten Bima merencanakan untuk mendeklarasikan Kabupaten ODF.

Kendala apa saja yang muncul dalam pelaksanaan STBM hingga saat ini, dan upaya apa yang telah dilakukan untuk mengatasinya?

Beberapa yang masih menjadi kendala antara lain pandangan masyarakat yang masih menganggap pembangunan sanitasi adalah tanggungjawab

“Tahun 2015,

Bima akan Jadi Kabupaten ODF”

Ferry Zulkarnaen

(28)

26 Majalah Percik Agustus 2012

pemerintah dan berorientasi subsidi. Selain itu, masih adanya kebijakan pemerintah pusat tentang pembangunan sanitasi yang tidak selaras dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.852/MENKES/SK IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Kendala lainnya adalah belum meratanya kapasitas dan pemahaman SKPD terkait STBM.

Upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Daerah antara lain mengeluarkan beberapa kebijakan seperti :

Selain mengeluarkan beberapa peraturan tersebut, Pemkab Bima memberikan peran yang besar kepada Pokja AMPL – BM untuk mengkoordinir pelaksanaan pembangunan AMPL. Langkah lain yang juga dilakukan adalah dengan memfasilitasi dan melakukan pembinaan yang berkelanjutan untuk masyarakat. Selain itu juga menetapkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sektor AMPL sebagai prioritas pembangunan.

Pemerintah daerah juga mengupayakan ada peningkatan

alokasi anggaran dari APBD Kabupaten untuk STBM setiap tahunnya. Sementara itu upaya lain yang juga dilakukan adalah dengan meningkatkan peran tokoh informal di masyarakat untuk bersama-sama dengan aparat teknis di lapangan dalam melakukan pemicuan CLTS (Community Led Total Sanitation).

Bagaimana peran berbagai pihak (pemerintah, swasta CSR, media, masyarakat, perguruan tinggi, donor, INGO, LSM, dll) dalam pelaksanaan STBM ?

Pemerintah daerah menempatkan

Bersama dalam aktivitas promosi kesehatan untuk anak-anak sekolah

(29)

27 Majalah Percik Agustus 2012

NGO, media, perguruan tinggi, dan lainnya sebagai mitra di mana pemerintah memberikan seluas-luasnya kesempatan untuk berkontribusi sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Misalnya dalam hal promosi dan sosialisasi STBM, peran media massa (khususnya media lokal) dioptimalkan. Beberapa NGO memberi dukungan pembiayaan

dalam perencanaan dan

pelaksanaan program pemerintah. Demikian juga kalangan akademisi (Perguruan Tinggi) aktif sebagai mitra pemerintah dalam melakukan pengkajian dan advokasi program.

Apa faktor sukses yang mendorong keberhasilan STBM di Bima ini ? Apa yang telah dilakukan dalam mendukung pertukaran pengetahuan pada daerah-daerah lain yang ingin belajar ke Bima?

Faktor sukses yang mendorong keberhasilan STBM di Bima seperti Kepemimpinan daerah yang

baik, dimana terjadi kerjasama dan komunikasi yang harmonis, terutama antara eksekutif dan legislatif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang mendukung STBM. Selain itu, Kepemimpinan Bupati Bima yang senantiasa memperhatikan aspirasi masyarakat (terutama masyarakat desa) melalui berbagai kegiatan seperti momen Bulan

Bakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) di setiap desa, kegiatan safari ramadhan, kunjungan silaturahmi langsung ke tengah-tengah masyarakat dll, juga turut mendorong keberhasilan STBM.

Dalam rangka pertukaran pengetahuan pada daerah lain, beberapa yang telah dilakukan seperti memberi fasilitas/sharing pengalaman pada pokja AMPL Kabupaten Dompu dan Kota Bima tentang Pengelolaan AMPL yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.

Menurut anda, tantangan apa sajakah yang masih harus dihadapi dalam pelaksanaan STBM di Bima?

Tantangan yang masih harus dihadapi adalah terkait dengan terbatasnya kemampuan

pendanaan yang bersumber APBD kabupaten. Selain itu, masih perlu ditingkatkan sinergisitas peran berbagai sektor/stakeholder dalam program STBM. Tantangan lain yang juga harus dihadapi adalah topograi wilayah kabupaten Bima relatif memerlukan dukungan sarana dan tenaga yang lebih besar dalam melakukan fasilitasi/ pembinaan langsung ke masyarakat.

Apakah harapan, masukan maupun evaluasi bagi peningkatan percepatan Program STBM di tingkat nasional?

Perlu peningkatan dukungan pemerintah pusat, baik alokasi dana maupun program-program dalam rangka STBM yang berbasis masyarakat. Dari tingkatan kebijakan, perlu ditingkatkan sinergisitas kebijakan peningkatan STBM di tingkat nasional, dalam rangka keterpaduan di daerah.

” Beberapa NGO memberi

(30)

Majalah Percik Agustus 2012

Wacana

28

P

ada saat Indonesia mulai menerapkan variasi dari CLTS (Community Total Led Sanitation), yaitu STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat), situasi sanitasi masih lemah di mana kesadaran masyarakat tentang pentingnya sanitasi masih sangat kurang.

STBM sendiri merupakan suatu strategi dengan 5 pilar yang dikembangkan dan meliputi lima aspek penting yaitu: (1). Terbebas dari buang air besar sembarangan, (2). Cuci tangan pakai sabun, (3). Pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, (4). Pengelolaan sampah rumah tangga, dan (5). Pengelolaan limbah rumah tangga. Secara khusus, strategi STBM bukan dibuat untuk menyebarluaskan informasi semata, tetapi dengan dorongan dan dukungan terus menerus,

sehingga tercipta kesadaran terhadap sanitasi baik secara sikap maupun gaya hidup. Dengan kata lain, pengaruh yang diharapkan adalah perubahan gaya hidup dari “laisse faire” (membiarkan saja) ke “care and take care” (peduli dan mengurus).

Program Sanitation Higiene and Water atau biasa disingkat SHAW, adalah salah satu program konsorsium yang dikoordinir oleh LSM asal Belanda, yaitu SIMAVI, dalam memperkenalkan kelima pilar STBM. Lima pilar STBM tersebut coba diupayakan bersama dalam kolaborasi lima LSM lokal yaitu PLAN Indonesia (Kabupaten TTS danTTU di NTT), Yayasan Dian Desa (Kabupaten Sikka dan Flotim di NTT), Yayasan Rumsram (Kabupaten Biak Numfor dan Supiori di Papua), CD

Aplikasi dan Tantangannya

5 Pilar STBM,

Dok F

ot

o P

(31)

29 Majalah Percik Agustus 2012

Bethesda (Kabupaten Sumba Tengah dan SBD di Sumba) dan Yayasan Masyarakat Peduli (Kabupaten Lombok Timur di NTB).

Kunci untuk STBM adalah perubahan, bukan jumlah sarana maupun jumlah aktivitas. Dan sebagaimana pengalaman di lapangan, pelaksanaan lima pilar STBM terbagi dalam 4 tahapan, yaitu persiapan, pemicuan, tindak lanjut dukungan, serta pemantauan dan stimulasi perhatian yang

dilakukan setelah deklarasi. Dari segi dinamika, semua mitra Simavi memulai dengan mempersiapkan diri maupun masyarakat agar pada saat pemicuan, dapat menjadi puncak perhatian dan titik awal perubahan. Sering pemicuan tidak bisa dilaksanakan di tingkat desa karena terlalu banyak orang, sehingga pemicuan dilakukan di tingkat dusun maupun skala yang lebih kecil lagi.

Yang bisa dicatat sejak 2010, penting adanya mengikutsertakan

berbagai kalangan sejak awal. Tak hanya staf pemerintah daerah, namun juga sanitarian, bidan desa, staf dinkes, anggota pokja, kepala desa, kepala dusun, camat, dan tokoh masyarakat. Pihak pemerintah sebagai pemangku kepentingan bukan sebagai pelaksana proyek, tetapi sebagai pendukung organisasi dan masyarakat, serta memberikan penghargaan untuk desa dan orang yang berhasil.

Terkait dengan 5 pilar, sampai sekarang masih banyak pihak yang ingin konsentrasi untuk Pilar 1 (Stop BABS) saja, karena lebih mudah dan kelihatan secara isik. Kenyataannya, pada saat roadshow oleh para mitra SHAW, ada kecamatan maupun desa yang sudah mengerti kepentingan dari keseluruhan 5 pilar, sehingga mereka tidak mau hanya untuk Pilar 1 saja. Kebanggaan bisa mencapai 5 pilar adalah hal yang penting bagi suatu desa, karena 5 pilar dianggap merupakan satu paket yang bisa

mendorong perubahan perilaku.

Aplikasi 5 pilar STBM tentu bukan hal yang mudah atau tanpa tantangan sama sekali. Selalu terdapat resiko untuk kembali pada perilaku semula. Dinamika di desa serta dukungan dari semua pihak baik di dalam maupun di luar desa berperan sangat penting. Inisiatif dan upaya bersama akan berhasil apabila semua orang mau ikut dan peduli terhadap kondisi yang dialami.

Pengetahuan tentang tahapan untuk mencapai STBM lima pilar serta alternatif-alternatif untuk bisa mencapai status tersebut adalah hal yang penting untuk didorong dalam pilihan-pilihan informasi. Pilihan-pilihan yang ada pun masih perlu dikembangkan lebih lanjut oleh sektor swasta agar mempunyai nilai ekonomi.

Pam Minnigh, Yusmaidy - Simavi

Inisiatif dan upaya bersama akan berhasil apabila

semua orang mau ikut dan peduli terhadap

(32)

Majalah Percik Agustus 2012

Wacana

30

S

ejak tahun 2008, STBM telah menjadi strategi nasional untuk percepatan pencapaian MDGs, untuk sektor air minum dan sanitasi. Awalnya, STBM lebih banyak diterapkan di wilayah pedesaan karena umumnya warga desa belum memiliki akses yang memadai untuk air dan sanitasi. Pada kenyataannya, di perkotaan pun yang dipandang sudah mempunyai sistem air dan sanitasi, masih banyak warganya yang tidak memiliki akses yang layak dan tidak mempraktekkan perilaku higiene dan sanitasi yang aman.

Menilik kondisi tersebut pada April 2011, USAID bekerjasama dengan Yayasan Cipta Cara Padu Indonesia menggulirkan program High Five untuk menerapkan STBM di wilayah perkotaan sebagai upaya peningkatan praktek sanitasi dan higiene. Memahami bahwa pendekatan yang dilakukan haruslah dapat menyediakan ruang bagi partisipasi masyarakat, sekaligus juga mengakomodir karakteristik masyarakat perkotaan yang unik dengan kepadatan penduduk dan variasi matapencahariannya, High

Five mengembangkan strategi pendekatan holistik. Strategi pendekatan ini terdiri dari 3 elemen yang saling berkaitan, yaitu menumbuhkan rasa kebutuhan dan rasa kepemilikan terhadap STBM; dialog dan aksi partisipasi masyrakat untuk keberlanjutan program; dan kemitraan untuk peningkatan akses dan perilaku sanitasi dan higiene.

Mekanisme pelaksanaan program High Five

High Five telah melaksanakan programnya di Kota Medan, Surabaya dan Makassar dengan menggunakan strategi 3 elemen tersebut. Bagaimana mekanisme yang dikembangkan dan dimodiikasi High Five untuk implementasi hal ini? Pertama, High Five melakukan formative research dan baseline survey, untuk mendapatkan gambaran umum kondisi masing-masing kota dan gambaran kondisi daerah yang menjadi mitra.

Kedua, High Five melakukan kolaborasi, sinergi dengan pemerintah daerah. Berbagai kemitraan dijalin

Pilihan Strategi

Mengubah Perilaku Masyarakat

1. Menumbuhkan rasa kebutuhan dan rasa kepemilikan terhadap STBM

2. Mekanisme dialog dan aksi partisipasi masyarakat untuk keberlanjutan program 3. Kemitraan untuk peningkatan akses dan perilaku

(33)

31 Majalah Percik Agustus 2012

untuk membangun pemahaman tentang konsep program High Five dan implementasinya. Salah satunya dengan Pokja AMPL/Sanitasi di daerah. Ketiga, pemrograman partisipatif dan kemitraan masyarakat digiatkan. Maksudnya, berbagai pemetaan kondisi dan situasi difasilitasi High Five (FGD, transect, pemetaan sosial), kapasitas masyarakat juga ditingkatkan. Keempat, kemitraan dengan para pemangku kepentingan. Masih perlu dikuatkan berbagai kemitraan dengan pemangku kepentingan lain seperti swasta, akademisi, media, LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya.

Peluang dan tantangan

Tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan STBM di perkotaan sangat kompleks, mulai dari keberagaman daerah asal masyarakat, matapencaharian yang variatif, kepadatan penduduk, kesibukan masyarakat, tidak adanya lahan sampai sikap materialistis dan egosentris yang menitikberatkan

pada keuntungan pribadi. Di sisi pemerintahan, masih banyak individu yang menduduki posisi kunci belum memahami STBM dan dengan sendirinya tidak memahami kebutuhan STBM bagi institusinya.

Alih-alih berkutat dengan tantangan yang harus dihadapi, High Five memandang situasi dari sudut pandang yang berbeda dan membaliknya menjadi peluang untuk menerapkan program. Keberagaman latar belakang masyarakat melahirkan inovasi pendekatan yang unik dan kurangnya pemahaman pemerintah kota mendorong

pengembangan metode pendekatan dan kolaborasi yang berbeda.

Pembelajaran tersebut disarikan dalam beberapa point berikut : Pertama, participatory assessment/ pengkajian partisipatif merupakan alat untuk membangun kesadaran tentang STBM sekaligus pemicuan

STBM. Di sini, pengenalan pilar-pilar dan pemicuannya dilakukan pada saat yang sama. Dari pengalaman High Five, masyarakat diajak melihat secara komprehensif kondisi sanitasi lingkungannya dan mendiskusikan pilar STBM yang mana yang dipandang paling krusial dan akan dijadikan jalan masuk (entry point) untuk penerapan STBM. Sejauh pengalaman yang dimiliki High Five, di daerah perkotaan (khususnya Medan, Surabaya dan Makassar), masyarakat melihat sampah (STBM pilar 4) sebagai persoalan yang krusial dan menjadi jalan masuk untuk melaksanakan STBM.

Kedua, pendekatan dengan menggunakan perspektif positif lebih efektif untuk memicu masyarakat melakukan aksi nyata. High Five menggunakan VIC action tool (dimodiikasi dari VIC tool yang dikembangkan oleh JHU-CCP) untuk memicu masyarakat agar bergerak dan melaksanakan aksi bersama.

(34)

32 Majalah Percik Agustus 2012

Ketiga, memicu masyarakat untuk merubah perilakunya agar sesuai dengan STBM harus dibarengi dengan memicu pemerintah kota, khususnya SKPD terkait sanitasi dan higiene untuk melaksanakan STBM. Pemerintah kota juga didorong untuk menghubungkan sistem kota dengan kegiatan masyarakat. Pengalaman High Five menunjukkan bahwa pendekatan tersebut berhasil mensinergikan program/sistem pemerintah dengan kegiatan masyarakat. Sebagai contoh, di Kota Medan,

Surabaya dan Makassar Dinas Kebersihan Kota terlibat aktif dalam kegiatan gotong royong warga dengan mengalokasikan truk pengangkut sampah.

Keempat, melibatkan media dalam kegiatan dan bukan hanya sebagai peliput berita. Dalam kegiatannya High Five menempatkan media/ journalist sebagai partisipan yang aktif dalam diskusi dan pelaksanaan kegiatan. Ini efektif untuk

menimbulkan keingintahuan dan mendorong untuk terlibat lebih

jauh dalam berbagai kegiatan yang dilakukan.

Menilik pembelajaran dari implementasi program High Five selama satu tahun berjalan

menunjukkan bahwa inovasi pendekatan dan strategi

implementasi untuk pelaksanaan STBM sangat dibutuhkan. Variasi inovasi sangat tergantung pada keunikan masing-masing daerah. Hal ini tidak hanya berlaku untuk

implementasi STBM di daerah perkotaan namun juga di daerah pedesaan. Mari lebih jeli melihat peluang dan mengembangankan inovasi untuk mendukung pelaksanaan STBM.

Ika Fransisca, High Five

Dari pengalaman High Five, masyarakat diajak

melihat secara komprehensif kondisi sanitasi

lingkungannya dan mendiskusikan pilar STBM.

Suciati Lasiman dari Kelurahan Petemonan

Surabaya penggiat bank sampah setempat. Masyarakat

(35)

33 Majalah Percik

Agustus 2012

Wacana

Memulai CLTS di Vietnam

P

enyakit yang diakibatkan oleh kondisi air dan sanitasi yang buruk merupakan masalah kesehatan yang utama di Vietnam. Menurut Survey yang dilakukan secara nasional atau MICS(Multiple Indicator Cluster Survey), di Vietnam hampir satu orang dari setiap 4 orang anak balita (22.7%) kekurangan gizi. Kekurangan gizi juga berkaitan erat dengan kondisi sanitasi dan kesehatan yang buruk.

Di sisi lain, promosi dan penggunaan kakus sehat belum mencapai hasil yang memuaskan jika dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh sektor penyediaan air minum dalam rentang waktu 2000 – 2010. Kesenjangan besar diantara dua sektor tersebut juga terjadi. Menurut hasil MICS 2010-2011, 73.8% rumah tangga di Vietnam menggunakan kakus sehat,

tetapi diantara etnis minoritas hanya 44.2% rumah tangga saja yang mempunyai akses terhadap sarana sanitasi yang baik. Sebanyak 27,7% etnis minoritas juga masih melakukan buang air besar sembarangan.

Melalui implementasi CLTS di Program WASH PLAN VN selama 2011 – 2012, didapat beberapa faktor penting untuk mencapai tujuan utama dari CLTS – terbebas dari perilaku buang air besar sembarangan, di antaranya adalah : keterlibatan pemerintah lokal sejak dari awal, keterlibatan otoritas kesehatan dari pemerintah secara vertikal, keterlibatan individu maupun organisasi masyarakat, peningkatan kapasitas dari mitra lokal, tindak lanjut dari implementasi dan pelaporan.

Pendekatan Sanitasi Total Di Pakistan

Kebijakan Nasional Pakistan tentang Sanitasi Tahun

Menengok Pembelajaran CLTS

dari Negeri Tetangga

Sebagai sebuah pendekatan partisipatif tanpa subsidi, Community

Led Total Sanitation (CLTS) juga diaplikasikan di beberapa negara

tetangga kita. Plan International adalah satu dari sekian pendukung

implementasi CLTS di sejumlah negara Asia.

Sumb

er

: w

w

w

.plan-int

ernational

.or

(36)

34 Majalah Percik Agustus 2012

2006 menekankan pergerakan sosial sebagai komponen utama dalam menangani masalah sanitasi di tingkat rumah tangga terutama di pedesaan. Kebijakan Nasional ini memiliki visi untuk menciptakan lingkungan yang terbebas dari buang air sembarangan, pembuangan limbah cair dan sampah padat yang aman serta promosi kesehatan dan perilaku higienis. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mempromosikan pendekatan CLTS dan menformalisasikan “Model Sanitasi Total”. Di bulan Maret 2011 Pemerintah Pakistan telah menyetujui dokumen panduan yang bertemakan “Pendekatan Pakistan Dalam Sanitasi Total (PATS)”.

Selama bulan Maret 2011, Pemerintah Pakistan melalui Kementerian Lingkungan Hidupnya telah menyetujui proses pendahuluan CLTS untuk Pakistan. Sedikit berbeda dengan CLTS,

pendekatan PATS menekankan pada pentingnya martabat, harga diri dan rasa bangga. Ini juga terlihat pada intervensi dari sisi suplai melalui penciptaan pemasaran sanitasi.

Pengembangan sanitasi perdesaan di wilayah yang terkena banjir dilaksanakan melalui Community Resource Persons (CRP) atau penggiat komunitas. Total telah dilatih sebanyak 2.659 orang CRPs di 4 provinsi dan beberapa wilayah di Pakistan. Selama sesi pelatihan, ditekankan bahwa CRPs harus mengetahui kegiatan proyek, pembuatan rencana aksi dan implementasi dari strategi proyek. Pelatihan ini juga dilakukan kepada guru. Sebanyak 10,000 guru sekolah mengikuti 2 hari pelatihan terkait kesehatan. Mereka diberi paparan tentang tujuan program, metodologi dan peran yang dapat mereka mainkan dalam mempertahankan dampak positif

program dengan menanamkan pesan promosi kesehatan kepada anak didiknya. Hasilnya, sebanyak 3.279 sekolah telah dipicu di daerah target dan 6.950 upaya promosi kesehatan juga telah dilakukan di sekolah yang sama.

Strategi pemasaran sanitasi juga telah dirancang dan kerangka kerja yang kuat telah dikembangkan dengan seksama melalui penelitian lapangan yang serius. Sebuah panduan yang komprehensif juga telah dikembangkan untuk menfasilitasi pelatihan untuk para Pengusaha Sanitasi baik di perkotaan maupun pedesaan.

Sampai saat ini, sudah 2.110 desa telah disertiikasi terbebas dari BABS oleh pemerintah, lebih dari 1.000 desa telah mencapai status terbebas dari BABS dan sedang dalam proses sertiikasi.

Aktivitas pemicuan CLTS di Vietnam.

(37)

35 Majalah Percik Agustus 2012

 Merayakan Gaya Hidup Sehat di Laos

Ditemukan fakta bahwa masih banyak orang melakukan BABS di desa-desa terpencil di Laos. Kondisi perilaku sanitasi yang buruk ini menimbulkan banyak kejadian penyakit dan kematian prematur. Namun demikian ini tidak terjadi dengan anak-anak dan warga di Provinsi Bokeo, Laos. Mereka tidak lagi pergi ke semak-semak, tidak lagi mengejar babi, tidak ada lagi banyak gigitan nyamuk, dan mudah-mudahan tidak ada lagi penyakit diare karena buruknya kondisi sanitasi.

Dalam sebulan terakhir, lebih dari 2.000 warga etnis Leu, Hmong, Khamu, and Lamed di 8 desa di Kabupaten Paktha, Phaoudom and Meung merayakan capaian mereka yaitu cakupan 100% toilet di desa mereka. Ini berarti, tak perlu lagi ada yang pergi ke semak-semak untuk buang air besar (BAB). Delapan Sekolah Dasar (SD) dan

1.400 siswanya di 3 kabupaten juga merayakan sekolah mereka terbebas dari BABS. Lebih dari 20 desa yang lain dan sekolah telah membuat kemajuan yang signiikan dalam pencapaian terbebas dari BABS dan mereka berharap mereka akan membuat perayaan juga secepatnya.

Baru satu tahun terakhir punya toilet, warga desa Houay Maisang masih menyimpan kerugian yang amat disayangkan yaitu telah kehilangan anak-anak mereka yang meninggal prematur. Tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan, menurut studi Bank Dunia, beban biaya dari penyakit yang disebabkan oleh kondisi air dan sanitasi yang buruk di Laos diperkirakan sebesar 5.6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar 193 juta USD per tahun.

Untuk meningkatkan dampak dari terbebas dari BABS, tim WASH pemerintah kabupaten juga

mempromosikan cuci tangan pakai sabun, minum air yang direbus dan menyimpannya di wadah yang tertutup dan  menjaga lingkungan desa bebas dari sampah dan genangan air.

Di sekolah, dimana para warga tidak mampu membangun fasilitas toilet dengan baik, PLAN Laos menyediakan material konstruksi untuk fasilitas cuci tangan dan material konstruksi toilet di sekolah-sekolah utama. Penduduk desa berkontribusi pasir, kayu dan tenaga kerja. Inisiatif bersama antara PLAN dan para warga ini telah menciptakan rasa kepemilikan bagi penduduk desa dan murid-murid sekolah sehingga ini akhirnya menciptakan keberlanjutan dan pemeliharaan untuk fasilitas ini.

Program WASH di Bokeo akan terus bekerja sama dengan pemerintah setempat, sekolah dan desa dengan dukungan dari pihak seperti Water and Sanitation Program (WSP) – Bank Dunia, SNV dari Belanda dan berbagai mitra lain di Laos.

Ditulis ulang: Yusmaidy

Hand washing with soap, yang juga dikampanyekan di sekolah-sekolah di

(38)
(39)

37 Majalah Percik

Agustus 2012

Pembelajaran

U

rusan mengembangkan program STBM, boleh jadi Lumajang adalah juaranya. Saat ini saja sudah hampir 7 Kecamatan yang mencapai ODF, diantaranya adalah : Kecamatan Gucialit, Senduro, Padang, Kedungjajang, Pasrujambe, Pronojiwo, dan menyusul Kecamatan Klakah.

Berbagai upaya yang cukup intensif untuk mencapai ODF serta mengembangkan program STBM ini, di antaranya dengan cara berikut :

Pertama, memberdayakan CSR dalam skala kecil. Istilahnya, “kecil-kecil tetapi

efektif membantu percepatan capaian target”. Upaya ini dilakukan melalui supervisi Dinkes Kabupaten, Camat dan Kepala Desa yang secara intensif

mengajukan proposal bantuan kepada toko-toko besar, POM bensin, pabrik dan pengusaha setempat. Dana yang diperoleh akan digunakan untuk membeli bahan material jamban, terutama jamban komunal, sementara kekurangan tenaga akan diupayakan melalui kerja bakti.

Kedua, pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) untuk menyatukan berbagai program yang ada di Puskesmas. Di tahun 2012 ini Puskesmas Gucialit telah mendapat bantuan dana BOK sebesar

81 juta dengan pemanfaatan 70% untuk kegiatan promosi kesehatan atau promkes (termasuk di

dalamnya untuk STBM), 20% untuk kegiatan Kesehatan Lingkungan dan sisanya

dialokasikan untuk kegiatan kesehatan ibu dan anak.

Yang menarik dalam pemanfaatan dana BOK yang cukup besar, Puskemas Gucialit menginisiasi Program Promotif dan Preventif. Program ini memfasilitasi dan mengintegrasikan seluruh kegiatan dan program yang ada di bawah Puskesmas. Beragam program yang dilibatkan dalam hal ini mencakup program Kesehatan Ibu dan Anak, Gizi, Kesehatan Lingkungan, Keluarga Berencana dan Desa Siaga. Seluruh kegiatan yang juga tergabung dalam Posyandu Gerbang Mas (Gerakan Membangun Masyarakat Sehat).

Salah satu bentuk dari kegiatan promotif-preventif sekaligus inovatif lainnya adalah pelatihan “Suami

Ketika Program “Cuci Tangan”

Bergandengan dengan “Suami Siaga”

(40)

38 Majalah Percik Agustus 2012

Siaga”. Disebut inovatif karena pelatihan Suami Siaga berhasil “dikawinkan” dengan sejumlah itur CTPS yang dikampanyekan dalam STBM.

Bersinergi dengan Suami Siaga

Program Suami Siaga mulai dilakukan di awal tahun 2012 di Lumajang. Gucialit, adalah salah satu kecamatan yang tahun ini mencanangkan Pelatihan Suami Siaga diaplikasikan di seluruh desanya. Data menunjukkan terdapat sekitar 500 ibu hamil dalam satu tahun di Kecamatan Gucialit yang perlu penanganan intensif selama masa kehamilan dan persalinannya.

Tujuan Pelatihan Suami Siaga

tak lain untuk mempersiapkan suami selama masa kehamilan, persalinan sampai kepada masa pengasuhan bayi pada awal 2 tahun usia tumbuh kembangnya. Hal ini meliputi kesadaran untuk bertanggung jawab dalam mendampingi istri, termasuk juga memenuhi sarana/fasilitas gizi, sanitasi dan higienis keluarga secara berkelanjutan.

Setiap tiga bulan dibuka kesempatan untuk 10 pasangan muda mendapatkan pelatihan dan pengetahuan seputar kehamilan dan kelahiran bayi. Peserta melebihi target karena minat yang tinggi dari

para pasangan muda.

Pelatihannya menggunakan metode partisipatif, peran aktif baik suami dan istri akan digiring agar mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif serta mampu mempraktekkan dalam aksi nyata sehari-hari. Diawali dengan identiikasi pengetahuan suami-istri tentang resiko kehamilan, dan persalinan, manfaat gizi ibu hamil dan menyusui, manfaat KB dan lingkungan sehat bagi ibu hamil dan menyusui, para pasangan dituntun oleh kader dan bidan yang telah mempersiapkan check-list. Check list menjadi alat bantu yang menjadi pegangan kader untuk memantau suami istri sampai paska melahirkan. Pemahaman

Salah satu alat bantu dalam kegiatan Suami

Siaga. Kegiatan ini juga mempromosikan

(41)

39 Majalah Percik Agustus 2012

suami sebelum dan sesudah pelatihan juga dilihat dan diukur secara reguler.

Pentingnya sarana CTPS di Tahap Monitoring - Paska Melahirkan

Melalui bantuan dana BOK, setiap Pelatihan Suami Siaga per desa memerlukan biaya sebesar rata-rata IDR 750.000 yang digunakan untuk : uang saku/ transport peserta pelatihan masing-masing IDR 15.000, snack dan makan siang serta kegiatan monitoring paska pelatihan.

Dalam proses monitoring, dilihat apakah jamban cemplung pasangan mudah sudah menjadi kloset, di sini dilihat juga apakah

sudah disediakan sarana CTPS baik di ruang makan atau di dekat kandang hewan peliharaan.

Sudah menjadi kebiasaan bahwa seorang Ibu yang baru melahirkan akan dikunjungi oleh orang banyak. Sebelum menengok bayi, setiap pengunjung wajib memanaskan kaki dan tangannya di atas tungku dengan perkiraan kumannya mati karena panas dan asap. Hal yang tidak dapat dibenarkan secara medis. Kebiasaan ini diubah menjadi wajib cuci tangan pakai sabun sebelum menengok bayi agar kumannya mati. Itulah mengapa, disebutkan dalam check-list dan dikampanyekan, penting menyediakan sarana CTPS pada saat Ibu melahirkan.

Perilaku CTPS penting yang juga diobservasi, adalah jika tidak terbiasa cuci tangan pakai sabun, kuku anak akan terlihat hitam. Diakui, kegiatan CTPS merupakan perilaku yang masih sulit dilakukan dalam keseharian warga, namun warga sudah paham kebiasaan ini harus dilakukan. Pada akhirnya setiap kader berperan untuk memonitor dan melakukan survey dengan cara mengunjungi rumah warga tiap bulan. Alat monitoring dapat diunduh dari internet berupa kartu rumah yang kemudian dibuat dalam bentuk stiker dan di tempel di setiap rumah untuk menjadi alat kontrol para kader.

Wendy Sarasdyani/WSP

Hariyanto, promotor PHBS dan pengusaha

(42)

Majalah Percik Agustus 2012

Pembelajaran

40

Kalu het aomin so tanaoba lais nono nim in Lasi no nima ni, fun sin fani on ni ainaf/ Fani on ni ainaf, an bi monit lais aomina/ Kalu hit aomin fun hit aoke namep/ Hit aoke namep, fun hip mepu naomat, fun hit mepu naomat, fun hit nekak an malin/ Hit neken malin, fun hit pules usi neno. Kalau mau hidup sehat harus laksanakan 5 hal (STBM)/

Ke-lima hal tersebut adalah tiang induk/ Tiang induk dalam hal kesehatan/ Kalau kita sehat, isik jadi kuat,

produktiitas kerja meningkat, hati bersuka cita/ Jika hati bersuka cita, kita dapat memuliakan Tuhan.

DARI

KESENIAN

BONET

SAMPAI

INSTRUKSI

CAMAT

Catatan dari

Project STBM (SHAW Program)

Kerjasama Plan Indonesia - SIMAVI

ALBERTUS FAY

D

ok F

ot

o P

Referensi

Dokumen terkait

Globalisasi yang terjadi di segala bidang termasuk pendidikan dan teknologi semestinya dapat ditanggapi secara positif oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti halnya perguruan

KPA Nasional melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana terangkum dalam Perpres No.75 Tahun 2006, yang terdiri atas: pengembangan kebijakan, langkah strategis,

Ekonomi Islam 2 III K3 P9 Toton Fanshurna... Ekonomi Islam 2 III K2 C2

Dalam penelitian ini struktur modal digunakan sebagai variabel intervening karena ketika perusahaan melakukan pembagian deviden dan keputusan investasi akan berpengaruh

Pendaftaran Ulang dilaksanakan di Hotel Inna Garuda Yogyakarta, pada tanggal 31 Mei 2013, mulai pukul 07.00 WIB dengan.. menunjukkan bukti

Seperti ditunjukkan pada contoh di Gambar 11, lightshelves pada jendela yang menghadap utara dan selatan dapat memblokir sinar matahari langsung dan memantulkan cahaya alami ke

men!ebar dengan mengambil panjang rata- rata diameter dari beberapa sisi2→ tambahkan 50 g beban tambahan, diamkan selama  menit dan catat diameter salep !ang men!ebar

Beberapa penelitian ilmiah menyebutkan, zat ini telah dihubungkan dengan peningkatan kejadian tumor pada hewan dan kerusakan kromosom, namun kadar konsumsi zat