• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUS UTAMAAN PEMBANGUNAN SOSIAL DALA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUS UTAMAAN PEMBANGUNAN SOSIAL DALA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUS UTAMAAN PEMBANGUNAN SOSIAL DALAM

PEMBANGUNAN HUTAN INDONESIA

1

Dwi Kristianto2

Penganatar

Kenapa pengelolaan hutan Indonesia cenderung eksploitatif dan memingirkan kepentingan masyarakat lokal?... dalam makalah yang disusun, kami mencoba memberi gambaran bagaimana hal tersebut terjadi. Mulai jaman pemerintahan Presiden Soeharto sampai saat ini pemerintah gagal menterjemahkan konstitusi yaitu Pancasila dan UUD 1945 dalam konseptualisasi dan berdampak pada tataran operasionalisasi yang jauh dari tujuan dan nilai-nilai dari tujuan pembangunan, yaitu masyarakat yang adil dan sejahtera berdasar Pancasila dan UUD 1945. Bagaimana hal tersebut terjadi dan apa yang melatarbelakanginya?

Paradigma Pembangunan Nasional

Paradigma pembangunan Nasional yang dikembangkan mulai pemerintahan Presiden Soeharto adalah pembangunan yang bertumpu pada pembangunan Ekonomi. Paradigma tersebut didasarkan pada teori pertumbuhan yang di gagas oleh Rostow. Teorinya yang terkenal ialah teori “Lima tahapan pertumbuhan Ekonomi” (Rostow, 1960). Kelima tahapan tersebut ialah:

1. Masyarakat tradisional: masyarakat belum banyak menggunakan tehnologi modern, tetapi masih mengandalkan tenaga fisik. Sektor utamanya ialah berbasiskan pertanian (termasuk perikanan, kehutanan, dan peternakan).

2. Persiapan menuju tinggal landas: masyarakat mulai banyak menggunakan ilmu dan tehnologi modern untuk menuju negara industri.

3. Tinggal landas: pertumbuhan ekonomi meningkat dengan prioritas pembangunan di sektor industri.

4. Masyarakat dewasa: menggunakan tehnologi modern untuk melakukan semua aktifitas ekonominya. Pada fase ini, 10-20% pendapatan nasional diinvestasikan untuk pengembangan ekonomi.

5. Masa tingginya konsumsi masyarakat: masyarakat memiliki tingkat konsumsi yang tinggi untuk produksi barang dan jasa. Hal ini diasumsikan sebagai tanda kemakmuran masyarakat.

Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi

1 Disampikan dalam Diskusi Ulang Tahun Sylva Indonesia ke 51, Universitas Lampung. 30 Januari 2010 “Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang Lestari, Adil, dan Demokratis”.

2 Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia. Direktur Yayasan Farest Indonesia. Emeil

(2)

Kecenderungan konsep/model pembangunan di Indonesia masih mengunakan pendekatan Top-down approach. Selain itu ciri dasar pembangunan yang dijalankan selama ini adalah : Growth strategy : Bertumpu pada pembangunan ekonomi. Padahal semestinya hal yang semestinya juga perlu diperhatikan adalah Growth Wich Distribution: pembangunan ekonomi tidak hanya peningkatan GNP dan pertumbuhan ekonomi, namun mencakup juga pengurangan kemiskinan, kesenjangan seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

Teori pembangunan ekonomi mengacu pada permasalahan kemiskinan dipecahkan dengan membantu orang-orang kaya. Berdasarkan ideologi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan, para pengusahalah yang harus didukung supaya pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Menurut analisi teori ini, kalau pertumbuhan ekonomi tinggi, orang-orang miskin pasti akan mendapatkan bagian juga, melalui penetesan ke bawah (trickle down effect) karena itu, semakin miskin sebuah masyarakat, semakin gencar upaya memberi fasilitas kepada pengusaha untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Salah satu resepnya adalah “peningkatan penghasilan perkapita melebihi pertumbuhan penduduk, satu atau lebih sektor manufaktor berperan penting, institusi sosial dan politik diperketat guna mengejar pertumbuhan ekonomi”.

Hal tersebut justru sangat mempersulit masyarakat kelas bawah/masyarakat miskin dampak dari penerapan teori ini untuk masyarakat miskin adalah :

1. Produksi dan kesempatan kerja yang terencana guna meningkatkan porsi industri jasa dan manifaktur, serta mengurangi porsi pertanian secara seimbang. Masyarakat dipaksa untuk menjadi kuli, dengan gaji yang sangat rendah. Selain itu masyarakat tidak mampu bersaing dangan pengusaha baik dari sisi produksi, modal, dan kualitas.

2. Keberhasilan paradigma ini dalam mencapai pertumbuhan seringkali harus dicapai melalui pengorbanan (at the expense of) yang berupa deteriorasi ekologis, yang berwujud kerusakan tanah (soil depletion), penyusutan sumber alam yang tidak dapat diperbaharui ( non-renewable resources), desertifikasi dsb. Dampaknya kerusakan lingkungan yang diakibatkan proses produksi. Kerusakan lingkungan akibat limbah, kestabilan ekologi terganggu akibat kerusakan hutan, dampak nyata adalah penyakit akibat limbah, banjir, dll yang selalu berdampak negatif terhadap kesejateraan masyarakat.

3. Orang miskin dan penyandang masalah kesejateraan sosial adalah kelompok yang sering tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun

strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitamya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil.

4. Sulitnya mendapat lapangan kerja serta minimnya penghasilan untuk dapat mencukupi standar biaya kebutuhan hidup, akibat semakin tingginya harga barang-barang, serta tingginya biaya kebutuhan hidup sehari-hari.

(3)

usaha. Ini menjadi bukti nyata bahwa pembangunan yang terlampau mengutamakan pada pembangunan ekonomi merugikan masyarakat kecil.

Dampak Pembangunan yang bertumpu pada Pertumbuhan Ekonomi pada Pengelolaan Hutan Indonesia.

Tindakan –tindakan sebagai akibat mengejar pertumbuhan ekonomi, secara khusus visi ini mendorong orang untuk seolah-olah :

 Sumberdaya fisik di Bumi secara praktis tidak bisa habis

 Lingkungan hidup boleh dikatakan memiliki kemampuan tak terbatas untuk menyerap limbah

 Kemiskinan hanya merupakan akibat dari pertumbuhan yang tidak memadai

 Pasar-pasar internasional dimana sebuah negara ikut bersaing benar-benar persaingan bebas tanpa ada subsisdi atau hambatan lain yang bisa menguntungkan pesaing-pesaing dari negara tertentu

 Pinjaman asing dipakai untuk penanaman modal yang produktif supaya bisa menghasilkan devisa untuk membayar kembali hutang itu

 Para pekerja dari perdesaan dipindahkan melalui penanaman modal yang meningkatkan produktivitas akan siap diserap dalam lapangan kerja industri diperkotaan

 Kekuatan pasar dengan sendirinya akan membagi-bagi keuntungan pembangunan

Hal tersebut yang mendasari kenapa eksplitasi suberdaya alam dilakukan demi mengejar pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut berdampak pada kehancuran sumberdaya alam, kerusakan lingkungan, bencana alam dan kesenjangan sosial.

Paradigma Pembangunan Nasional

Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk mensejahterakan manusia walaupun dengan paradigma proses yang berbeda ketika banyak kalangan membahasnya. Proses Pembangunan akan diawali dengan menggali sumber-sumber daya yang ada kemudian dilanjutkan dengan penggolahan sumber daya melalui perencanaan kebijakan pembangunan hingga sampai pada out put atau hasil yang akan dicapai.

Todaro dan Smith Ekonomi edisi kesembilan hal 27-28 memberikan penjelasan bahwa “Tujuan pokok yang harus digapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar, yang terwujud dalam berbagai manifestasi (bentuk) di hampir semua masyarakat dan budaya sepanjang zaman. Untuk itu kita bahas ketiganya secara mendalam satu demi satu.

(4)

yang dilengkapi perangkat dan bekal guna menghindari segala kesengsaraan dan yang diakibatkan oleh kekurangan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan. Atas dasar itulah, kita bisa menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi merupakan prasyarat bagi membaiknya kualitas kehidupan. Tanda adanya kemajuan ekonomi secara berkesinambungan, maka realisasi potensi manusia, baik di tingkat individu maupun masyarakat, tidak mungkin berlangsung. Setiap orang harus "memiliki kecukupan untuk meningkatkan dirinya". Dengan demikian, kenaikan pendapatan per kapita, pengentasan kemiskinan absolut, perluasan lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan, merupakan hal-hal yang harus ada (necessary conditions) bagi pembangunan, tetapi hal-hal itu saja belum cukup (not sufficient conditions).

2. Harga Diri: Menjadi Manusia Seutuhnya Komponen universal yang kedua dari kehidupan yang serba lebih baik adalah adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan seterusnya. Mungkin setiap orang punya istilah sendiri untuk itu, entah kepribadian, sosok utuh, identitas, penghargaan, penghormatan, pengakuan, dan sebagainya... Sifat dan bentuk dari harga diri ini berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain dan dari satu budaya ke budaya yang lain. Akan tetapi, dengan adanya penyebaran "nilai-nilai modern" yang bersumber dari negara-negara maju telah mengakibatkan kejutan dan kebingungan budaya di banyak negara berkembang. Kontak dengan masyarakat lain yang secara ekonomis atau teknologis lebih maju acap kali mengakibatkan definisi dan batasan mengenai baik-buruk atau benar-salah menjadi kabur. Ini dikarenakan kesejahteraan nasional muncul sebagai berhala barn. Kemakmuran materiil lambat laun dianggap sebagai suatu ukuran kelayakan yang universal, dan dinobatkan menjadi landasan penilaian atas segala sesuatu. Derasnya serbuan nilai-nilai Barat yang mengagungkan materi telah mengikis jati diri masyarakat di banyak negara berkembang. Banyak bangsa yang tiba-tiba saja merasa dirinya kecil atau tidak berarti hanya karena mereka tidak memiliki kemajuan ekonomi clan teknologi setinggi bangsa-bangsa lain. Selanjutnya, yang dianggap hebat adalah yang memiliki kemajuan ekonomi dan teknologi modern, sehingga masyarakat negara-negara Dunia Ketiga pun berlomba-lomba mengejarnya, dan tanpa disadari mereka telah kehilangan jati dirinya.

3. Kebebasan dari Sikap Menghamba: Kemampuan untuk memilih nilai universal yang ketiga dan terakhir yang harus terkandung dalam makna pembangunan adalah konsep kemerdekaan manusia. Kemerdekaan atau kebebasan di sini hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini. Sekali saja kita terjebak, maka kita akan terpuruk dan semakin lama kita akan terjerat semakin dalam. Sekali saja kita menjadi budak materi, maka sederet kecenderungan negatif, mulai dari sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar, sikap mementingkan diri sendiri kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain, dan seterusnya, akan meracuni diri kita. Kebebasan di sini juga harus diartikan sebagai kebebasan terhadap ajaran-ajaran yang dogmatis. Jika kita memiliki kebebasan, itu berarti untuk selamanya kita mampu berpikir jernih dan menilai segala sesuatu atas dasar keyakinan, pikiran sehat, dan hati nurani kita sendiri. Kebebasan juga meliputi kemampuan individual atau masyarakat untuk memilih sate atau sebagian dari sekian banyak pilihan yang tersedia. Dengan adanya kebebasan, kita tidak semata-mata dipilih, melainkan kitalah yang akan memilih.

(5)

sesuatu yang diinginkan yang bersifat “material” versus tujuan “idealis”... pada konsep paham

materialisme, kemajuan ke arah tercapainya tujuan-tujuan pembangunan sosial diukur dengan istilah kuantitatif. Pada pendekatan ini, indikator sosial juga secara luas dipergunakan untuk menentukan sejauh mana kebutuhan material dapat terpenuhi...pada sisi lain konsep ideasional tentang tujuan pembangunan sosial jarang sekali didefinisikan dengan menggunakan indikator kuantitatif. Tetapi tujuan ini digambarkan dengan istilah abstrak dan melibatkan penjelasan deskriptif dan normatif yang melibatkan metode kualitatif tentang interaksi manusia, arti hidup dan partisipasi dalam pembuatan putusan pembangunan.”

Lebih lanjut Todaro dan Smith edisi kesembilan hal 28-29 menyatakan bahwa “Apa pun komponen spesifik atas "kehidupan yang serba lebih baik" itu, bertolak dari tiga nilai pokok di atas, proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut:

1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok-seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan.

2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan.

3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghambat dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara-bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

Melengkapi konsep pembangunan nasional, pandangan dari Bryant dan White dalam Wahyu (2005:74) bahwa pembangunan adalah upaya meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya, dengan lima implikasi yang timbul dari proses pendefinisian tersebut yaitu:

a. Capacity. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok.

b. Equity. Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan.

c. Empowerment. Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan yang memutuskan.

d. Sustainability. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri.

e. Independence. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu dengan negara yang lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati.

(6)

Menurut Ife (1995: 61-64), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas:

 Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat

keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.

 Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan

keinginannya.

 Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu

forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.

 Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi

pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan.

 Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan

kemasyarakatan.

 Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi,

dan pertukaran barang serta jasa.

 Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak,

pendidikan dan sosialisasi.

Pendekatan

Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melaui penerapan pendekatan pemberdayaan. Parsons, et al., (1994: 112-113) menyatakan, bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu-lawan-satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan.

Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya. Karenanya, dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: mikro, mezzo, dan makro.

1. Pendekatan Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach).

(7)

3. Pendekatan Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.

Bagaimana Bentuk Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Indonesia

Salah satu kebijakan prioritas Pemerintah melalui Departemen Kehutanan dalam periode Kabinet Indonesia Bersatu baik jilid 1dan 2 adalah Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan. Kebijakan ini bukan merupakan kebijakan baru, karena lama sebelumnya Departemen Kehutanan telah melakukan hal yang sama sebagai cermin perhatian terhadap kehidupan masyarakat yang hidup dan penghidupannya tergantung secara langsung kepada sumberdaya hutan. Praktik-praktik pengelolaan hutan berbasis masyarakat di lapangan dipelajari sebagai sumber pengetahuan dan informasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.

Perubahan paradigma ke arah pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan (Community Based Forest Management). Semakin jelas sebagai wujud keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat . Melalui revisi Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 menjadi Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Negara mengatur ruang-ruang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan Indonesia. Pada penjelasan umum dari Undang-Undang baru tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa: “Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat”.

Penutup

Bagaimana dengan pengelolaan dan pembangunan hutan Indonesia?, Pengelolaan dan pembangunan pembangunan hutan Indonesia pada hakekatnya adalah pengelolaan dan pembangunan hutan untuk memenuhi kebutuhan baik sasial, spiritual maupun ekonomi sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat, dengan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Bagaimana pengelolaan sumberdaya alam terus didorang untuk maju dengan menjaga kestabilan ekosistem dan mengupayakan kesejateraan rakyat.

(8)

Apakah konsep CBFM mampu menjawab kebutuhan pengelolaan hutan Indonesia yang adil dan lestari. Masih perlu dipertanyakan faktanya saat ini masih terjadi pembabatan hutan baik legal maupun illegal yang mengesampingkan kepentingan masyarakat disekitar hutan. Dimana peran Mahasiswa kehutanan (Sylva Indonesia) dalam pengelolaan hutan Indonesia kedepan.

DAFTAR PUSTAKA

Cheyne, Christine, Mike O’Brien dan Michael Belgrave (1998). Social Policy in Aotearoa New Zealand. Auckland: Oxford University Press

Donald E Chambers (2000), Social Policy and Social Programs: A Method for the Practical Public Policy Analysis, Boston: Allyn and Bacon

Ministry of Health, Labour and Welfare of Japan (MHLW) (1999), Annual Report on Health and Welfare, Tokyo: MHLW.

Pierson, Christopher (1991). Beyond the Welfare State? Cambridge: Polity Press

Sander, Cerstin (2000). Microinsurance: A New Instrument for Social Protection. Notes from the ILO workshop on “Microinsurance: A New Instrument for Social Protection. Dar es Salaam. 11-13 July

Spicker, Paul (1995). Social Policy: Themes and Approaches. London: Prentice-Hall

Suharto, Edi (2002). Globalisation, Capitalism and Welfare State: Examining the Role of State in Social Welfare Development. Journal of Social Welfare Research and Development. Vol.7. No.4. December 2002. pp.1-9

Suharto, Edi (2003). Social Development in Developed and Developing Countries, Journal of Social Welfare Research and Development. Vol.8. No.4. December 2003. pp.49-55.

Fakih Mansoer (2002) “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi” INSIST PRESS 2002

Referensi

Dokumen terkait

tingkat kemampuan kelompok tani yang bersangkutan, Hubungan yang bersifat melembaga itu mencerminkan perilaku pelayanan KUD oleh kelompok tani, Dalam pada itu Satuan Pengendali Bi-

Pola pangan rumah tangga akan mempengaruhi status gizi balita karena setiap makanan yang dikonsumsi keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi balita. Pola pangan balita dapat

REKAM DATA PTK DI LAMAN PENGELOLAAN DATA PTK BARU REKAM DATA RINCI PTK & PENUGASAN DI ROMBEL SYNC DAPODIK SEKOLAH (LOKAL) MULAI SYNC DAPODIK SEKOLAH (LOKAL)

Tingginya konsentrasi jamur yang digunakan menyebabkan tubuh sista Nematoda Sista Kuning tidak mampu bertahan dari serangan patogen yang menginfeksi tubuhnya sehingga semakin

Peningkatan ini terjadi karena pengalaman pengamatan siswa saat pelaksanaan demonstrasi yaitu saat mengamati kecepatan waktu yang diperlukan untuk kertas lebih cepat

Berdasarkan permasalahan hukum yang dikemukakan tersebut di atas, terdapat permasalahan hukum normatif yaitu adanya kekosongan hukum, karena aturan yang mengatur

When programming with ZooKeeper, developers design their applications as a set of clients that connect to ZooKeeper servers and invoke operations on them through the ZooKeeper

Laporan Kinerja (LKj) Komisi Pemilihan Umum tahun Kabupaten Mandailing Natal 2016 ini, berisi hasil pengukuran kinerja sasaran yang dicapai melalui pelaksanaan