BAB II
KEABSAHAN PUTUSAN PERCERAIAN YANG DIKELUARKAN OLEH PENGADILAN DARI NEGARA LAIN TERHADAP WARGA NEGARA
INDONESIA A. Macam-macam Kekuatan Putusan Pengadilan
Ditinjau dari sifatnya, kekuatan putusan hakim dapat bercorak macam-macam,
ini tergantung dari isi putusan itu. Ada putusan yang mengandung satu hukuman
kepada seseorang (“condemnatoir”), supaya melakukan perbuatan atau supaya tidak
melakukan suatu macam perbuatan. Putusan semacam ini hanya mempunyai arti yang
nyata, apabila putusan itu dapat dijalankan (dieksekutir). Contoh-contoh ialah :
putusan, yang menghukum seorang untuk membayar sejumlah uang atau memberikan
suatu barang kepada orang lain atau untuk meninggalkan suatu perkarangan atau
rumah.
Mengenai ciri putusan condemnatoir, di dalamnya tercantum amar atau diktum
yang berisi kalimat :
1. menghukum untuk membayar, menyerahkan, membongkar, membagi dan
sebagainya, atau
2. memerintahkan untuk membayar, menyerahkan, membongkar, membagi dan
sebagainya. 42
Ada putusan hakim yang menciptakan suatu keadaan hukum (konstitutif).
Putusan konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu
keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum, maupun yang
42
menimbulkan keadaan hukum baru.43 Misalnya putusan perceraian merupakan
putusan yang meniadakan keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara
suami dan isteri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada,
dan bersamaan dengan itu timbul keadaan hukum baru pada suami-isteri sebagai
janda dan duda.44 Begitu juga putusan pailit, putusan yang mengandung pembatalan
suatu persetujuan perdata atau pemecahan suatu perkawinan atau pengangkatan
seorang wali (“voogd”) atau seorang pengawas (“curator”). Putusan-putusan
semacam ini tidak membutuhkan suatu tindakan menjalankan putusan (eksekusi) itu,
melainkan menetapkan suatu keadaan sebagai hal yang melimpahkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban hukum kepada yang berkepentingan.
Ada putusan hakim yang mengandung pernyataan belaka dari adanya suatu
peristiwa hukum (“declaratoir”), menerangkan atau menyatakan apa yang sah,45
misalnya suatu putusan tentang sah atau tidaknya suatu perkawinan, tentang ada
berdirinya suatu perseroan tertentu yang sah, tentang siapa yang mempunyai hak
milik terhadap suatu barang. Putusan-putusan semacam ini pun tidak membutuhkan
suatu tindakan menjalankan putusan itu. Putusan semacam ini tidak melimpahkan
secara langsung hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum kepada orang-orang yang
bersangkutan, melainkan dapat menjadi dasar dari tindakan orang-orang yang
bersangkutan di kemudian hari.
M. Yahya Harahap [3]. Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008),hal. 877
45
Menurut M. Yahya Harahap :
Putusan declaratoir adalah yang berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata. Misalnya putusan yang menyatakan ikatan perkawinan sah, perjanjian jual beli sah, hak kepemilikan atas benda yang disengketakan sah atau tidak sah sebagai milik penggugat; penggugat tidak sah sebagai ahli waris atau harta terperkara adalah harta warisan penggugat yang berasal dari harta peninggalan orang tuanya. Dari
berbagai contoh di atas, putusan yang bersifat deklaratoir (declaratoir vonnis)
adalah pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan penjelasan atau penetapan tentang sesuatu hak atau titel maupun status. Dan pernyataan itu dicantumkan dalam amar atau diktum putusan. Dengan adanya pernyataan itu, putusan telah menentukan dengan pasti siapa yang berhak atau siapa yang mempunyai kedudukan atas permasalahan
yang disengketakan.46
Semua putusan tersebut di atas mempunyai kekuatan lain, yaitu kekuatan
pembuktian di muka hakim dalam pemeriksaan suatu perkara perdata.
Ada golongan putusan lagi yang juga tidak membutuhkan dijalankan, yaitu
putusan hakim yang mengandung suatu penolakan dari gugatan. Putusan semacam ini
sangat berarti juga, terutama bagi pihak yang digugat, oleh karena diputuskan tidak
adanya atau tidak terbuktinya suatu peristiwa. Dengan putusan semacam ini, tergugat dapat menangkis beberapa tindakan dari orang lain, terutama penggugat.
Kalau seorang hakim dalam suatu negara telah mengambil suatu keputusan,
maka sudah jelas keputusan-keputusan itu mempunyai bermacam-macam kekuatan
(seperti diuraikan di atas) bagi daerah hukum negara itu. Apakah keadaan hukum
semacam ini tidak seharusnya diakui, juga oleh penguasa-penguasa di negara lain,
sebagai penghormatan terhadap negara bersangkutan?
46
B. Pengakuan Putusan Hakim Asing
Istilah pelaksanaan (enforcement) harus dibedakan dengan istilah pengakuan
(recognition).47 Menurut Sudargo Gautama : “Pengakuan tidak begitu mendalam akibatnya daripada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak,
seperti tindakan-tindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan dengan peradilan
dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan atau diharapkan tindakan
demikian itu.”48 Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti mengapa orang bisa
mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar negeri daripada
melaksanakannya. 49
Sudah sejak lama dianut asas bahwa putusan-putusan pengadilan suatu negara
tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Putusan hakim suatu negara hanya
dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja. 50
Putusan hakim asing tidak dapat dianggap sama dan sederajat dengan putusan
hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Ketentuan tersebut di
atas erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan teritorial (principle of territorial
sovereignty) dimana berdasar asas ini putusan hakim asing tidak bisa secara langsung
dilaksanakan di wilayah negara lain atas kekuatannya sendiri. 51
47
Ridwan Khairandy. Pengantar Hukum Perdata Internasional, (Yogyakarta : FH UII Press, 2007), hal. 220
Sudargo Gautama [4]. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Alumni, 1985), hal. 281
51
Pada umumnya putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Dikatakan pada umumnya, karena dalam hal tertentu ada putusan hakim yang dapat
dilaksanakan di Indonesia. Bagi Indonesia sekiranya hanya ada suatu pasal
undang-undang yang mengenai kekuatan putusan hakim dari negara asing, yaitu Pasal 436
“Burgerlijke Reglement Rechtsvordering (R.V)”. Betul undang-undang ini pada umumnya sekarang tidak berlaku, oleh karena sekarang hanya ada satu macam
pengadilan untuk pemeriksaan perkara tingkatan pertama, yaitu pengadilan negeri
dan untuk pengadilan negeri ini pada pokoknya hanya berlaku HIR (“Herziene
Inlandsch Reglement”) bagi Jawa dan Madura dan RBG (“Rechtreglement Buitengewesten”) bagi daerah-daerah lain. Walaupun sebenarnya ketentuan R.V
sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, namun oleh karena Herziene Inland Reglement
(HIR) yang mengatur hukum acara perdata dan yang sekarang digunakan oleh
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak memiliki ketentuan perihal tata cara
eksekusi suatu putusan asing ini, maka ketentuan R.V tersebut kiranya dapat
dijadikan pedoman.52 Maka pasal itu dianggap terus berlaku, berdasar atas Pasal 142
Undang-Undang Dasar Sementara RI juncto Pasal 192 Konstitusi RIS juncto Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.
Pasal 436 B. RV (Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad Tahun 1847
Nomor 52 juncto Staatsblad Tahun 1849 Nomor 63 berbunyi demikian :53
52 Setiawan. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 37
53
1. Di luar keadaan-keadaan yang disebutkan dalam Pasal 724 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang dan undang-undang lain, maka putusan-putusan hakim negeri
asing tidak dapat dijalankan di dalam daerah hukum negara Indonesia.
2. Perkara-perkara yang bersangkutan harus diajukan, diperiksa dan diputuskan lagi
di Indonesia. Untuk mendapatkan putusan yang dapat dieksekusi di Indonesia,
tuntutan harus diajukan pada atau dilitigasi ulang oleh pengadilan Indonesia yang
mempunyai kompetensi. Dalam hal ini, segala ketentuan dalam dokumen yang
memperbolehkan proses hukum secara konkuren dilitigasi ulang pada yurisdiksi
yang berbeda kemungkinan tidak dapat dieksekusi di Indonesia.54 Menurut M.
Yahya Harahap :
Satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan asing tersebut oleh pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai
alat bukti tulisan dengan daya kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu:55
a. bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat; atau
b. hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan
pertimbangan hakim.
3. Dalam keadaan-keadaan yang dikecualikan pada ayat 1 putusan-putusan hakim
negeri asing hanya dapat dijalankan, sesudah atas permohonan didapatkan izin
pelaksanaan (verlof van excutie) dari hakim di tempat dalam Indonesia, dimana
putusan itu harus dijalankan.
54
http:// gmraindonesia.co.id, terakhir kali diakses pada tanggal 25 Februari 2012
55
4. Dalam hal memohon dan memberikan izin ini, perkaranya sendiri tidak akan
diperiksa kembali.
Jadi putusan hakim asing mengenai perhitungan avarai umum (grosse avaraij)
terhadap pemilik kapal atau pemilik kargo yang diangkut oleh kapal yang
bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasar ketentuan tersebut dapat
dilaksanakan di Indonesia. Pasal 724, ayat 5, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
menentukan bahwa yang dinamakan “averij-grosse” ialah biaya-biaya yang
diperlukan mengenai kapal lautan dan kerugian-kerugian yang diderita oleh kapal,
barang-barang muatan atau anak buahnya, sebagai yang diperinci dalam Pasal 699
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan yang menurut Pasal 698, ayat 2, harus
dibebankan dan dipertanggungjawabkan pada kapal, upah-upah pengangkutan dan
barang-barang muatan seluruhnya. 56
Perundang-undangan negeri Belanda pada Pasal 431 B. Rv. dari negeri Belanda
dan perundang-undangan Indonesia (Hindia-Belanda) pada Pasal 436 B. RV
Indonesia mengambil suatu sikap tertentu terhadap putusan-putusan hakim negara
asing, yaitu pada hakekatnya menolak dapat dijalankannya putusan-putusan itu di
negeri Belanda dan di Indonesia. 57
56
Sudargo Gautama [2], Op.Cit., hal. 281
57
Pasal 436 B. Rv. hanya mengenai hal menjalankan putusan hakim asing, maka
yang disinggung oleh pasal tersebut ialah hanya satu macam kekuatan dari putusan
hakim yang mengandung suatu penghukuman seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan (condemnatoir). Maka oleh pasal tersebut sama sekali tidak disinggung
kekuatan lain dari putusan semacam itu dan kekuatan putusan dari lain macam, yaitu
putusan menolak gugatan, putusan menciptakan suatu keadaan hukum, putusan
memberikan suatu hak hukum.58
Hal ini tidak berarti semua putusan hakim asing tertutup sama sekali
kemungkinannya untuk dilaksanakan di Indonesia. Terhadap putusan hakim yang
bersifat deklaratif dan konstitutif pada umumnya tidak diperlukan pelaksanaan (ten
uitvoerlegging).59 Putusan semacam ini hanya menciptakan hak dan kewajiban bagi orang-orang yang bersangkutan dalam hubungan tertentu. Putusan-putusan semacam
ini tentu mudah diakui di luar negeri.
Ridwan Khairandy menambahkan:
Jika diperlukan pelaksanaan, mengenai hal perubahan Daftar-Daftar Catatan Sipil, karena perubahan status (nama, perkawinan, kematian), daftar-daftar mana kebetulan berada di dalam wilayah negara Indonesia, maka instansi-instansi administratif dapat memperhatikannya dan melaksanakan perubahan catatan bersangkutan itu dalam Daftar mereka. Kalau pun diperlukan pelaksanaan tidaklah banyak menimbulkan persoalan, misalnya hakim asing telah memutuskan perubahan status seorang anak, maka Daftar Catatan Sipil di
Indonesia dapat diadakan perubahan berdasarkan putusan hakim tersebut.60
Tentang kekuatan-kekuatan yang lain, oleh karena tiada pasal undang-undang
yang menentukan hal sesuatu perihal itu, dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya
kekuatan putusan hakim negara asing, bagi negara Indonesia tidak ada, akan tetapi ini
tidak dapat menghalang-halangi bahwa hakim Indonesia memperhatikan sedikit
banyak adanya putusan hakim asing itu. Perihal ini Hakim Indonesia sama sekali
tidak terikat oleh suatu peraturan. Maka hakim Indonesia dapat bertindak seperti
halnya pada umumnya dalam hal hukum perdata internasional, yaitu menentukan
bagaimana kekuatan putusan hakim asing harus dilihat dan diperhatikan dari sudut
tujuan hukum perdata internasional untuk memenuhi rasa keadilan. Kalau misalnya
untuk seorang Filipina A, yang belum cukup umur, di Indonesia bertindak seorang
Filipina lain B, yang oleh hakim Filipina dianggap sebagai wali dari A itu, dan B di
muka hakim Indonesia untuk membuktikan hal itu, memperhatikan suatu turunan sah
dari putusan hakim asing itu, maka sekiranya sama sekali tiada keberatan bagi hakim
Indonesia untuk mengakui kekuatan pembuktian dari putusan hakim asing itu.
Lain contoh : Perkawinan seorang Inggris A dengan seorang perempuan Inggris
di negeri Inggris dipecahkan dengan suatu putusan hakim di Inggris. Kemudian A
pergi ke Indonesia dan di sini berkawin lagi. Selanjutnya ia dituduh melakukan
kejahatan bigami (beristeri dua) menurut Pasal 279, ayat 1 ke -1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dan ia membela diri memperlihatkan turunan putusan hakim
Inggris tersebut. Kinipun sekiranya tiada keberatan bagi Hakim Indonesia untuk
Contoh lain lagi : Seorang India A di negerinya pernah digugat di muka hakim
perihal mempunyai suatu hutang kepada seorang India B dan gugatannya ditolak.
Kemudian ia datang di Indonesia dan di sini ia dimintakan, supaya ia oleh Hakim
Indonesia dinyatakan pailit, berdasar antara lain atas adanya hutang tersebut di atas.
Dalam pembelaannya ia memperlihatkan turunan putusan Hakim India yang
mengandung penolakan gugatan tadi. Putusan Hakim India ini barangkali tidak akan
dapat membuktikan 100% tidak adanya hutang itu, akan tetapi tiada keberatan pula
bagi hakim Indonesia untuk memperhatian putusan hakim India itu seperlunya.61
Tentunya harus ada syarat-syarat bagi putusan hakim asing itu yang pada
umumnya juga diperlukan untuk putusan hakim di Indonesia, misalnya hakimnya
memang harus berkuasa untuk mengambil putusan dan putusan itu harus sah, artinya
tidak batal oleh karena suatu kekurangan dalam mengambilnya.
Dalam teori tentunya ada kemungkinan suatu negara mempunyai peraturan
tentang susunan dan kekuasaan pengadilan yang oleh negara lain dianggap demikian
jeleknya sehingga dianggap bertentangan dengan ketertiban umum di negara lain itu,
dengan akibat, bahwa putusan hakim asing itu sama sekali tidak akan diakui. Menurut
J.G. Castel : “Pengadilan tidak akan mengakui atau melaksanakan hukum asing atau
putusan asing atau status, kewenangan, dan kewajiban serta kemampuan atau
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum yang diciptakan
61
berdasar hukum asing jika hal tersebut bertentangan ketertiban umum hukum hakim
atau pengadilan mengadili perkara yang bersangkutan (lex fori).” 62
Selain Pasal 724 KUH Dagang, ada juga putusan hakim asing yang menurut
undang-undang lain dapat dilaksanakan di Indonesia, atau berdasarkan perjanjian
bilateral atau multilateral antara Indonesia dengan suatu atau beberapa negara, sesuai
dengan asas resiprositas, yaitu tentang pengakuan pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan
pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Suatu arbitrase dianggap internasional apabila para pihak pada saat
dibuatnya perjanjian yang bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place of
business) di negara-negara berbeda. Misalnya salah satu pihak memiliki tempat usaha di Amerika, dan pihak lain memiliki tempat usaha di Indonesia. Jika terjadi
perselisihan di antara mereka, dan mereka memilih cara penyelesaian melalui
arbitrase, maka arbitrase ini tergolong arbitrase internasional.
Secara internasional, pengaturan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
asing ini diatur dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (convention on the recognition and
enforcement of Foreign Arbitral Award), yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni
1959.63
62
J.G. Castel. Introduction to Conflict of Law, (Toronto : Butterworth, 1986), hal. 50
63
Konvensi New York 1958 tersebut telah diratifikasi pemerintah Republik
Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.34 Tahun 1981 dan
ditindaklanjuti oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) No. 1
Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
Dalam perkembangannya, tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase di luar negeri telah diatur undang-undang, yakni UU No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 juncto Pasal 3 Perma Tahun 1990
dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum
Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 64
1. Putusan itu dijatuhkan oleh badan arbitrase atau arbiter perorangan di suatu
negara yang dengan negara Indonesia ataupun secara bersama-sama negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pelaksanaannya didasarkan atas timbal balik (resiprositas).
2. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanyalah terbatas pada
putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.
3. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban
umum. 65
C. Perceraian di Luar Negeri dilihat dari aspek Hukum Perdata Internasional
Seperti diketahui menurut kenyataan peraturan-peraturan cerai di berbagai
dunia ini tak sama adanya. Menurut Sudargo Gautama:
64
Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 231
65
Ada dua aliran yang boleh dikatakan bertentangan seratus delapan puluh derajat satu dengan yang lain dalam hal-hal cerai ini, jika ditinjau dari betapa mudah atau sukarnya perceraian ini. Di satu pihak dikenal ajaran dari gereja Katolik, bahwa perkawinan harus dipandang sebagai suatu sakramen, sebagai sesuatu yang suci dan karenanya tak dapat diputuskan kecuali karena kematian. Contoh: negara Itali, Spanyol, Austria, Portugal, Eire, negara-negara Amerika Latin, Brazil, Chili, Columbia, Paraguay. Ada pula negara-negara yang hanya mengenal perceraian atas dasar yang terbatas. Sebagai contoh : negara bagian New York (dahulu juga District Of Columbia di USA) yang hanya memperkenankan perceraian atas alasan perzinahan). Sebaliknya terdapat pula sistem-sistem hukum dimana perceraian mudah sekali diperoleh. Contoh misalnya cara-cara repudiasi atau talak yang terkenal dalam sistem-sistem
“Undang-Undang Musa” (droit mosaique) dan hukum Islam antara lain, seperti
dianut di Indonesia dan di berbagai negara-negara Islam di dunia ini. Tanpa memberikan alasan oleh pihak suami dapat dilakukan talak terhadap isterinya. Kini, dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah diperlunak. Tak dibenarkan lagi perceraian tanpa alasan-alasan perceraian, harus dilakukan di depan sidang pengadilan (Pasal 39 ayat 1 dan 2). Dekat pada sistem kebebasan yang seluas-luasnya ini adalah pula sistem-sistem dari negara-negara sosialis yang mengikuti pendirian ultra modern perundang-undangan USSR dari tahun 1944. Menurut konsepsi ini tiap mempelai diberi kesempatan untuk mengakhiri pertalian perkawinan dengan suatu tindakan sepihak. Tidak ada turut campur atau pengaruh dari pihak negara maupun gereja dalam hal ini. Dalam kelompok ini dapat pula disebut dimana sangat mudah untuk memperoleh perceraian, karena telah memupuk suatu
“industrie” khusus, “divorce mills” atas dasar komersil. Contoh : negara-negara
di bagian Amerika Serikat : Nevada, Las Vegas, Mexico yang dikenal sebagai divorce paradises. Karena adanya perbedaan-perbedaan yang menyolok, di satu negara perceraian sangat sukar diperoleh, tetapi di negara lain sangat mudah,
dapat ditemukan adanya apa yang dinamakan “migratory divorces” dan disini
perlu mempersoalkan masalah penyelundupan hukum (wetsontduiking),
hubungan prinsip domisili dan prinsip nasionalitas berkenaan dengan bipatride
serta masalah perceraian. 66
Persoalan perceraian dalam bidang Hukum Perdata Internasional dapat dibagi
dalam berbagai bagian. Beberapa aspek yang menarik perhatian adalah :67
1. Perceraian dari Warga Negara Indonesia di luar negeri
66
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 271-274
67
Perceraian ini dapat dianggap termasuk status personal seseorang seperti halnya
dengan perkawinan. Republik Indonesia telah mewarisi Hukum Perdata Internasional
yang bersandarkan atas prinsip nasionalitas (Pasal 16 AB).68 Jadi suami-isteri Warga
Negara Indonesia yang berada di luar negeri, jika hendak diakui perceraiannya oleh
hakim Indonesia hanya dapat bercerai menurut dasar-dasar hukum Indonesia, hukum
nasional mereka, dan tidak atas dasar-dasar cerai yang berlaku di negara domicilie
yang tak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, kecuali suami isteri tersebut
mempunyai kewarganegaraan berbeda. 69 Dengan lain perkataan, status personil tetap
dipertahankan dan masalah perceraian dianggap termasuk dalam lingkungan kuasa
Pasal 16 A.B. 70
Sudargo Gautama menjelaskan : 71
Warga Negara Indonesia yang hukum perdatanya takluk pada sistem yang
termaktub dalam Burgerlijk Wetboek tidak akan memperoleh kesulitan jika
hendak melakukan perceraian di luar negeri. Bukankah perceraian dalam hal ini harus dilakukan dengan media suatu keputusan dari Pengadilan, sedangkan
dasar-dasar untuk bercerai (echtscheidingsgronden, grounds for divorce) sudah
jelas tertulis dalam pasal-pasal Kitab tersebut. Dimana-mana di luar negeri akan dapat diajukan permohonan cerai ini, dan jika dipakai ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan hukum nasional dari Warga Negara Indonesia yang bersangkutan, akan tak menemui banyak kesulitan.
Lain halnya dengan warga negara Indonesia yang beragama Islam. Cara perceraian yang dikenal bagi mereka, sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak melalui instansi pengadilan, melainkan dengan cara memberikan surat-talak. Kesulitan akan timbul apabila dalam negara-negara yang bersangkutan, tidak dikenal macam perceraian sedemikian ini. Dalam negara-negara tersebut perceraian talak ini tak akan diakui, mereka hanya mau mengenal perceraian melalui hakim, maka perceraian dengan talak
ini dianggap tak sah dalam negara-negara tersebut. Ratio dari pendirian seperti
ini, bahwa soal-soal perceraian dianggap bersifat “ordre public”, maka tak pada
tempatnya untuk memberikan kepada orang-orang asing. Negara-negara di luar negeri mengalami kesulitan apakah mereka harus menganggap diri berwenang untuk mengucapkan perceraian atau tidak.
Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat
dibedakan antara dua macam cerai, yakni “cerai talak” dan “cerai gugat”. Keduanya
dilakukan dengan bantuan Pengadilan. “Cerai talak” yang diatur dalam Pasal 14-18
PP Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan khusus disediakan
untuk mereka yang beragama Islam. Pengadilan Agama menyaksikan perceraian
melalui talak oleh sang suami ini. “Cerai gugat” adalah perceraian karena gugatan
kepada dan keputusan dari Pengadilan Negeri. (Pasal 20 PP Nomor 9 Tahun 1975).72
2. Perbandingan Hukum Perceraian di Singapura dan di Indonesia
Perceraian dari warga negara Indonesia yang berada di luar negeri harus
dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan dari hukum yang berlaku baginya menurut
sistem hukum nasionalnya. Dasar-dasar untuk perceraian yang ditentukan dalam
masing-masing sistem hukumnya tetap berlaku baginya. 73
Status hukum atau hak-hak yang dimiliki seseorang (suatu subjek hukum)
berdasarkan hukum asing itu akan diakui selama dianggap tidak bertentangan atau
melawan kepentingan hukum dan kepentingan masyarakat nasional dari forum atau
selama tidak mengabaikan kaidah-kaidah hukum yang sifatnya memaksa. 74
72
Istilah “cerai gugat” ini dipakai oleh K.Wantjik Saleh, dalam “Uraian Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan” (Jakarta : PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1975), hal.35
73
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 276
74
Karena sifat putusan perceraian bersifat constitutief (constitutief vonnis), tidak membutuhkan eksekusi, yakni putusan yang bersifat meniadakan keadaan hukum
yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan isteri sehingga putusan itu
meniadakan hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan dengan itu timbul
keadaan hukum baru pada suami-isteri sebagai janda dan duda,75 seharusnya putusan
perceraian dari pengadilan asing dapat diterima di Indonesia.
Hal ini terkait dengan doktrin vested right, mengenai pengakuan terhadap apa
yang telah dimiliki oleh, atau yang telah menjadi hak, atau yang telah melekat secara
hukum pada suatu subjek hukum. Hak dan kewajiban hukum yang telah diperoleh
seseorang berdasarkan suatu kaidah hukum asing haruslah dihormati oleh siapa saja
termasuk oleh lex fori, kecuali bila pengakuan terhadap hak-hak semacam itu akan
menimbulkan akibat-akibat yang bertentangan dengan public order dari masyarakat
forum. 76
Apalagi jika ditinjau dari alasan-alasan perceraian yang terdapat pada Women’s
Charter (Undang-Undang Hukum Keluarga Singapura) juga menyerupai yang ada di Indonesia dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, maka keputusan
perceraian itu layak diterima.
Lagipula, Undang-Undang Hukum Keluarga Singapura juga membolehkan
orang yang bukan Warga Negara Singapura untuk bercerai di negaranya asal
pasangan telah bertempat tinggal atau mempunyai domisili paling sedikit 3 tahun.
75
M. Yahya Harahap [3], Op.Cit., hal. 877
76
Alasan perceraian disebutkan dalam undang-undang perkawinan Indonesia
secara limitatife, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tepatnya
pada Pasal 19 dijelaskan bahwa perceraian boleh dilakukan bila terdapat sejumlah
alasan penting yang mendasarinya. Jika bukan demikian, maka pengadilan tidak akan
mengambil langkah bercerai sebagai solusi atas gugatan cerai yang diajukan seorang
Penggugat.
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, menggariskan bahwa,
perceraian dapat terjadi atau dilakukan karena alasan sebagai berikut : 77
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak (suami/isteri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut, tanpa mendapat izin dari pihak lain, serta tanpa alasan yang sah, karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penaniayaan berat, yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran,
serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 78
Di Singapura, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Singapura diatur oleh dua
peraturan, perkawinan Muslim diatur di Undang-Undang Administrasi Perkawinan
Muslim (AMLA/ Administration of Muslim Law Act), di luar beragama Islam diatur
oleh Undang-Undang Piagam Perempuan (Women’s Charter). 79
Hal dasar yang penting untuk diketahui untuk para pihak tidak dapat
mengajukan permohonan perceraian di Pengadilan Keluarga jika pasangan adalah
beragama Muslim, atau menikah di bawah hukum Islam.
Women’s Charter adalah Undang-Undang dari Parlemen Singapura yang dibuat pada tahun 1961. Peraturan ini dibuat untuk melindungi hak-hak wanita dan
menjamin persamaan hukum.80 Women’s Charter adalah suatu peraturan untuk
menyediakan perkawinan monogami agar dapat diselenggarakan dan didaftar, untuk
mengkonsolidasikan hukum perceraian, hak dan kewajiban pasangan yang telah
menikah, perlindungan terhadap keluarga, pemeliharaan isteri dan anak dan hukuman
bagi kejahatan terhadap wanita dan anak perempuan. 81 Undang-Undang ini akan
berlaku untuk semua Warga Negara Singapura dan juga berlaku bagi semua orang
yang berdomisili di Singapura.
Dasar dari hukum perceraian Singapura adalah perkawinan yang retak dan tidak
dapat diperbaiki kembali. Ada beberapa hal pendahuluan yang harus diketahui
sebelum mengisi permohonan perceraian di Singapura.
Pertama, isu jurisdiksi – apakah pemohon adalah warga negara atau penduduk
di Singapura (yang telah menetap 3 tahun atau lebih). Orang asing yang menikah di
79
Matrimonial Law of Singapore, diakses dari http://en.wikipedia.org.wiki/matrimoniallaw_ of Singapore. htm, pada tanggal 28 Maret 2012
80
Singapore Council of Women’s Organizations (SCWO), The Women’s Charter , diakses dari http://www.scwo.org.sg.index.php/resources/htm, pada tanggal 28 Maret 2012
81
sebuah negara asing dapat memohon perceraian jika salah satu pihak mempunyai
kualifikasi di bawah klausul domisili atau tempat tinggal sehari-hari (habitual
residence), dengan memperhatikan juga alasan perkawinan yang retak dan tidak dapat diperbaiki kembali.
Kedua, para pihak harus telah menikah lebih dari 3 tahun. Untuk para pihak
yang telah menikah di bawah 3 tahun, izin hanya dapat diberikan pada
kondisi-kondisi tertentu.
Ketiga, Pengadilan akan memberi putusan perceraian jika pasangan suami atau
isteri dapat membuktikan pernikahan mereka telah retak dan tidak dapat diperbaiki
kembali, menunjukkan eksistensi salah satu dari beberapa fakta berikut yang menjadi
sebab perkawinan yang retak dan tidak dapat diperbaiki lagi yang tercantum dalam
Pasal 95 ayat (3) huruf a sampai e Undang-Undang Women’s Charter :82
a. Salah satu pasangan telah melakukan perzinahan (dengan seseorang lain yang
bukan anda) dan pasangan yang lain temukan itu serta tidak bisa bertoleransi untuk tinggal bersama dengannya lagi. Jika pasangan lain tersebut tetap melanjutkan tinggal bersama dengan pasangannya selama 6 bulan atau lebih setelah menemukan perzinahan, maka pihak tersebut tidak dapat mengajukan alasan perzinahan untuk menggugat perceraian.
b. kelakuan salah satu pasangan sedemikian rupa sehingga pihak yang lain tidak
mempunyai alasan untuk tinggal bersama dengannya (contoh : kekerasan)
c. Salah satu pasangan telah meninggalkan pasangan yang lain tanpa persetujuan
dan alasan yang jelas untuk waktu yang berkelanjutan paling sedikit 2 tahun sebelum memulai perkara perceraian, atau jika salah satu pasangan tanpa alasan yang jelas mengusir pasangan yang lain keluar rumah dan tidak mengizinkan untuk masuk ke dalam keluarga selama 2 tahun
d. Pasangan suami isteri telah hidup terpisah untuk waktu yang berkelanjutan
paling sedikit 3 tahun sebelum memulai perkara perceraian, dan pasangan anda
tidak melawan perceraian (uncontested divorce)
82
e. Pasangan suami isteri telah hidup terpisah untuk waktu yang berkelanjutan paling sedikit 4 tahun sebelum anda memulai perkara perceraian, dan pasangan
anda melawan perceraian (contested divorce)
Untuk perkawinan di bawah 3 tahun, adalah lebih mudah untuk membatalkan
sebuah pernikahan. Pihak yang satu dapat membatalkan sebuah pernikahan dengan
kondisi tertentu. Jika tidak, pihak tersebut harus mencoba jalan perceraian. Beberapa
kondisi sebuah pernikahan dapat dibatalkan yaitu : 83
1. Ketika dalam masa pernikahan, pasangan ternyata sudah terikat perkawinan
dengan orang lain.
2. Salah satu pasangan menolak untuk membiayai perkawinan.
3. Pernikahan tidak dibiayai karena salah satu pihak tidak sanggup
membiayainya.
4. Salah satu pasangan menderita penyakit yang dapat menular secara seksual
pada saat pernikahan, dan pihak yang lain tidak menyadarinya.
Pengadilan Singapura akan menerima perceraian yang dimohonkan oleh
pasangan yang usia pernikahannya belum 3 tahun jika salah satu pihak menderita
kekerasan fisik atau pasangan telah berbuat tindakan yang terlalu kejam, meliputi
ketidakyakinan pada pernikahan, kekerasan fisik, psikologis, dan emosional atau
menderita ketergantungan seperti alkohol atau penggunaan narkoba. Perceraian juga
dapat dimohonkan jika salah satu pihak telah meninggalkan penggugat untuk periode
83
yang berkelanjutan lebih dari 2 tahun tanpa keinginan untuk kembali pada
perkawinan.
Jika perceraian adalah satu-satunya pilihan, maka penggugat harus melengkapi
dokumen-dokumen pendukung klaim terhadap hukum perceraian Singapura. Selain
surat permohonan perceraian, penggugat juga harus menyerahkan dokumen
pendukung seperti laporan polisi dan sertifikat medis untuk menyatakan kekerasan
fisik telah terjadi, dan juga asli sertifikat pernikahan, akta kelahiran, daftar harta
perkawinan dan sebuah rencana yang memberi detail pengasuhan anak bawah umur.84
Untuk bercerai di Singapura, yang pertama harus dilakukan adalah
mengupayakan perdamaian terlebih dahulu melalui konseling pernikahan. Jika para
pihak sudah sangat yakin untuk memulai perceraian, pengadilan akan meminta bukti
bahwa usaha untuk perdamaian telah dilakukan dan membuktikan bahwa adanya
kesulitan untuk berdamai.
Jika perdamaian gagal, dan para pihak tetap hendak melanjutkan proses
perceraian, mereka harus menandatangani surat pernyataan sebagai bukti dan hakim
akan menentukan apakah perceraian adalah perceraian yang dilawan atau tidak.
Hakim akan memberi Putusan Sementara (Interim Judgement) apabila majelis hakim
telah puas perkawinan telah retak dan tidak dapat diperbaiki kembali. Putusan akhir
akan terjadi apabila 3 bulan setelah masa aman, dimana ini adalah kesempatan
terakhir untuk menyelamatkan pernikahan sebelum memasuki perceraian. Hakim
84
harus yakin pernikahan betul-betul retak sebelum memberikan perceraian, setelah
melewati masa 3 bulan, sertifikat diberikan maka perceraian telah sah. Para pihak
bebas untuk menikah lagi 3 bulan setelah sertifikat perceraian dikeluarkan. Putusan
Sementara ini adalah akhir dari tahap pertama perkara perceraian. 85
Putusan Sementara (Interim Judgment) ini tidak memutuskan tentang
pengasuhan anak, property, atau pembiayaan. Tahap kedua dari prosedur perceraian
adalah gugatan tambahan. Di Singapura, perkara tentang pengasuhan anak, property,
dan pembiayaan adalah gugatan tambahan. Babak kedua (Gugatan Tambahan) ini
dimulai dalam waktu satu bulan Putusan Sementara diberikan. Pengadilan akan
mengirimkan pemberitahuan tanggal persidangan gugatan tambahan ini. Gugatan ini
bersifat tertutup. Jika para pihak telah mencapai persetujuan terhadap isi gugatan
tambahan ini, Pengadilan akan memberi izin gugatan tambahan diperiksa. Para pihak
harus menandatanganinya. Jika tidak ada persetujuan, Deputy Registrar akan
memeriksa kasus anda sebagai gugatan tambahan yang dibantah. Perhatikan bahwa
jika salah satu pihak mengumumkan nilai kotor dari harta benda perkawinan yang
akan dibagi adalah S$ 1.5 juta atau lebih, kasus anda akan dipindahkan ke Pengadilan
Tinggi untuk gugatan tambahan yang dibantah.
3. Perceraian dari orang-orang asing di Indonesia
Di Indonesia, Pengadilan Negeri memiliki wewenang untuk memberi keputusan
perceraian antara orang-orang asing yang berada di wilayah Republik Indonesia,
85
bilamana kedua suami-isteri bertempat tinggal di wilayah Indonesia. Dalam
jurisprudensi, untuk perceraian orang-orang asing ini selalu dipergunakan
ketentuan-ketentuan BW apabila orang-orang asing yang bersangkutan dapat digolongkan
dalam orang-orang yang tunduk kepada hukum perdata barat. Penerapan asas lex fori
(hukum sang hakim), karena seorang hakim tentunya lebih mengenal hukum
nasionalnya sendiri daripada hukum asing.
Bagi orang-orang asing yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia,
Pengadilan Negeri dapat memberi keputusan-keputusan perceraian, bilamana kedua
mempelai bertempat tinggal di sini. 86
Suatu masalah lain ialah bagaimana kiranya harus diatur perceraian-perceraian
dari orang-orang asing yang berada di Indonesia. Di samping persoalan kompetensi,
maka yang menarik perhatian terutama ialah persoalan tentang hukum yang harus
dipergunakan (choice of law).87
Tentang hukum yang dalam praktik dipergunakan dalam tuntutan-tuntutan
seperti ini, setidak-tidaknya menurut praktik yang dapat disaksikan di Jakarta, yang
dipakai umumnya ialah BW, apabila pihak-pihak bersangkutan bisa digolongkan
dalam golongan rakyat Eropa” (atau yang dipersamakan dengan mereka) menurut
ketentuan pembagian penduduk dalam Pasal 163 IS. 88
Sudargo Gautama menjelaskan:
Orang-orang warga negara Amerika, Jerman, atau Inggris bercerai menurut ketentuan-ketentuan yang diperlakukan dalam BW. Rupanya prinsip nasionalitas (yang juga berlaku secara analogi untuk orang-orang asing yang berada di sini) tidak diperhatikan dalam praktik-praktik perceraian. Tanpa pertimbangan lebih jauh (mengenai hukum yang harus dipilih) hakim dalam praktek sehari-hari sekarang ini memakai hukum perceraian yang berlaku di Indonesia. Selalu BW lah yang dipergunakan, jika orang-orang asing bersangkutan dapat digolongkan dalam golongan rakyat Eropa. Pemakaian hukum sang hakim sendiri (BW) ini dan tidak adanya pertimbangan mengenai hukum yang harus diperlakukan, didasarkan atas pendapat bahwa jika para pihak tidak mendalilkan kewarganegaraan mereka, maka sang hakim hanya mempergunakan hukum Indonesia belaka, tanpa menghiraukan segi-segi HPI-nya. Hanya, jika dalam soal-soal yang jarang terjadi, sekali-kali para pihak
mendalilkan, maka diperhatikan soal-soal “choice of law’ ini.89
Suatu contoh dari diperhatikannya persoalan pilihan hukum oleh hakim
Indonesia dapat disaksikan dalam perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan
Negeri Jakarta tahun 1953. 90
Ada kasus perceraian Lie Kwie Hien v Tjin Tjeuw Jie. Lie Kwie Hien,
menggugat cerai suaminya Tjin Tjeuw Jie di Pengadilan Negeri Jakarta. Kedua belah
pihak berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina (RRC). Mereka menikah di
Purwakarta pada 1950. Dalam perkara ini penggugat mendalilkan bahwa hukum yang
berlaku dalam perceraian ini adalah Undang-Undang Perkawinan RRC yang mulai
berlaku pada 1 Mei 1950. Pasal 17 undang-undang tersebut mengatur persyaratan
perceraian yang lebih mudah daripada KUH Perdata Indonesia. Pasal tersebut
perkara perceraian antara para pihak suami-isteri yang kedua-duanya warga negara Jerman, bahwa harus dipakai hukum BGB Jerman. Bagi Ibu Hakim tersebut dianggap agak ganjil bahwa dalam bumi Indonesia bisa berlaku hukum cerai negara asing.
89
Ibid
90
menentukan bahwa perceraian harus dikabulkan jika ada persetujuan dari kedua belah
pihak atau dari salah satu pihak saja jika telah dicoba untuk didamaikan pemerintah
distrik dan pejabat yustisi dan tidak berhasil.
Dalam perkara ini, penggugat mendalilkan bahwa undang-undang perkawinan
RRC Tahun 1950 harus diberlakukan, karena perkawinan termasuk status personal.
Menurut kaidah HPI Indonesia, yakni Pasal 16 AB, persoalan yang berkaitan dengan
status personal harus tunduk hukum nasionalnya. Oleh karena mereka merupakan
warga negara RRC, maka undang-undang perkawinan RRC itulah yang berlaku.
Tetapi dalam kasus ini penerapan hukum asing tersebut masih bermasalah
karena hal tersebut bersinggungan dengan ketertiban umum. Penggugat mendalilkan
untuk yang beragama Islam, perceraian dapat dicapai dengan jalan talak dari suami
dengan tidak perlu disertai alasan. Dengan kondisi yang demikian itu, maka
perceraian tanpa disertai alasan, tetapi dikehendaki kedua belah pihak atau salah satu
pihak sebagaimana diatur Pasal 17 Undang-Undang Perkawinan RRC, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia. Didalilkan lebih jauh bahwa
dalam Hukum Indonesia sendiri sudah lama dipraktikkan perceraian dengan
persetujuan bersama ini, walaupun segala sesuatu terjadi dengan dalih-dalih
terselubung. Inilah yang dikenal sebagai de grote leugen (dusta yang besar) dalam
acara-acara peradilan berkenaan dengan perceraian. Salah satu pihak mendalilkan
“perzinaan”, sedangkan pihak tergugat tidak mengadakan perlawanan dan
menyerahkan segala sesuatu ini kepada kebijaksanaan hakim. Karena tidak
didalilkan penggugat itu, maka atas dasar ini gugatan perceraian dapat dikabulkan.
Padahal kata sepakat yang demikian dilakukan adalah suatu kebohongan besar dari
kedua belah pihak dan hanya untuk memuluskan adanya perceraian. 91
Dalam kenyataannya sudah lama Pasal 208 KUH Perdata yang melarang
perceraian atas persetujuan keduabelah pihak merupakan huruf mati belaka.92
Pengadilan berpendapat, alasan penggugat tersebut salah. Tidak boleh
dilupakan bahwa Indonesia sebelum pengakuan kedaulatan (1949) berlaku hukum
perdata yang berlainan bagi masing-masing golongan penduduk. Ketentuan ini masih
berlaku sampai dengan perkara diadili. Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur
Asing untuk perkara perceraian ini berlaku KUH Perdata, termasuk pula Pasal 208
KUH Perdata tersebut.
Bagi Warga negara Indonesia keturunan asing, BW dan kaedah-kaedah
“Hukum Barat” masih tetap dianggap hukumnya, walaupun dengan instruksi Ketua
Presidium Kabinet Ampera No.31/U/12/1966 dinyatakan Pasal 131 dan 163 IS itu
harus dianggap tidak berlaku lagi. Tetapi instruksi itu juga mengatakan, bahwa
mengenai perkawinan, warisan, dan lain-lain ketentuan-ketentuan hukum perdata
bagi golongan-golongan penduduk yang bersangkutan masih tetap berlaku, sehingga
kini belum tampak perubahan-perubahan yang penting dalam pelaksanaan
penghapusan golongan penduduk, baik dari pihak penegak hukum Pemerintah
91
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati. Hukum Perdata : Hukum Orang & Keluarga, (Medan :USU Press, 2011), hal. 82
92
(administrasi) dan Peradilan, maupun dari pihak golongan Warga Negara Indonesia
keturunan Timur Asing sendiri, sebagai golongan utama yang terkena peraturan ini. 93
Sebagai alasan untuk itu dikemukakan bahwa apabila warga negara RRC
menjadi warga negara Indonesia, maka mereka itu akan diklasifikasikan dalam
golongan warga negara Indonesia keturunan Timur Asing yang menggunakan
ketentuan hukum KUH Perdata.
Berdasar pertimbangan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta berpendapat bahwa
Pasal 208 KUH Perdata harus dianggap sebagai bersifat ketertiban umum. Menurut
Pasal 208 KUH Perdata, perceraian tidak dapat diperoleh atas persetujuan belaka dari
keduabelah pihak.
Dalam suatu keputusan yang dipertimbangkan secara baik, Pengadilan
menganggap bahwa perceraian adalah suatu hal yang termasuk bidang openbare orde.
Oleh karena itu, perceraian hanya akan diucapkan menurut dasar-dasar yang dikenal
dalam hukum Indonesia. Ketentuan-ketentuan dalam BW mengenai perceraian
dianggap bersifat mutlak, demikian rupa, hingga selalu harus dipergunakan oleh
hakim Indonesia, dalam mengadili perceraian dari orang-orang yang berada di
Indonesia, sekalipun mereka ini berstatus asing. Oleh karena itu tidak diperkenankan
perceraian atas dasar persetujuan bersama.
4. Persoalan jurisdiksi dalam perkara-perkara perceraian
93
Berbagai negara di dunia memiliki peraturan perceraian yang berbeda satu sama
lainnya. Keadaan ini berakibat bahwa dalam masalah mengenai perceraian, tiap
negara segera pasang kuda-kuda dengan menerapkan azas ketertiban umum atau
public policy.
Hampir semua perceraian internasional melibatkan kompleksitas yang membuat
perceraian ini jauh lebih menantang daripada perceraian biasa yang melibatkan warga
negara dan penduduk hanya satu negara. Mungkin ada konsekuensi imigrasi atau
implikasi tentang kewarganegaraan. Dalam hampir setiap perceraian internasional,
ada pertanyaan tentang yurisdiksi. Pengadilan dan hukum nasional dari setidaknya
dua negara akan terlibat, dan mungkin lebih jika pasangan tinggal di negara-negara
asing lainnya juga.
Tentunya cara “melawat ke luar negeri” ke tempat-tempat buitenlandse
heistellingsoorden ini secara geografis terbatas kepada kelompok negara-negara tertentu yang letaknya berdekatan, karena hanya kadang-kadang saja, orang-orang
yang finansiilnya kuat sekali kedudukannya, yang mampu untuk melancong ke
negara-negara jauh, khusus untuk memperoleh perceraian ini. Karena bertambah
mudahnya lalu lintas internasional dewasa ini kemungkinan forum shopping juga
bertambah. 94
94
Mengenai perceraian dengan segala akibat hukumnya, di dalam Hukum Perdata
Internasional berkembang beberapa asas yang menyatakan bahwa hal tersebut harus
diselesaikan berdasarkan sistem hukum dari tempat :95
1. sistem hukum tempat perkawinan diresmikan atau dilangsungkan (lex loci
celebrationis)
2. sistem hukum dari tempat suami-isteri bersama-sama menjadi warga negara
setelah perkawinan (joint nationality)
3. sistem hukum dari tempat suami isteri berkediaman tetap bersama-sama setelah
perkawinan (joint residence) atau tempat suami berdomisili tetap setelah
perkawinan.
4. tempat diajukannya perceraian (lex fori)
Perbedaan yang demikian besar dalam perundang-undangan perceraian dari
berbagai negara, nyata pula kecondongan kepada lex fori. Persoalan perceraian dalam
Hukum Perdata Internasional ini menjadi berubah sifatnya menjadi persoalan
yurisdiksi. Dengan demikian, dalam menghadapi perceraian internasional, suatu
negara cenderung untuk menyelesaikannya berdasarkan lex fori dengan
mempergunakan hukum nasionalnya sendiri.96
Pasal 3 AB hanya menentukan, bahwa selama oleh undang-undang tidak
ditentukan lain, maka hukum perdata dan hukum dagang adalah sama bagi
warganegara dan orang asing.
95
Bayu Seto Hardjowahono, Op.Cit., hal. 157-158
96
Pada umumnya kewarganegaraan tidak dipakai untuk menentukan kompetensi.
Domicilie lah yang dipergunakan sebagai titik taut. Hal ini memang sejalan dengan
apa yang umum diterima dalam sistem-sistem Hukum Acara Perdata Internasional
dari negara-negara lain di dunia ini.
Dalam pasal-pasal yang tersebut di atas, dipergunakan “tempat kediaman”
(woonplaats) sebagai yang menentukan yurisdiksi pengadilan.
Bilamana hendak dipertahankan prinsip nasionalitas, maka hal ini juga dapat
dilakukan dengan menerima suatu kombinasi antara prinsip domisili dan nasionalitas
ini. Misalnya dapat ditentukan bahwa prinsip nasionalitas ini akan dipertahankan
terhadap orang-orang asing yang belum 2 (dua) tahun menetap di Indonesia. Apabila
mereka sudah lebih dari 2 (dua) tahun menetap di Indonesia, maka tidak akan dipakai
lagi hukum nasional mereka berkenaan dengan status personal, hukum Indonesialah
yang berlaku.
5. Pengakuan terhadap keputusan perceraian dan pisah hidup menurut Conventions
on the recognition of divorces and legal separations
Hukum perceraian internasional mempunyai aturan kompetensi khusus.
Persoalan kompetensi dalam perkara-perkara perceraian ini berhubungan erat dengan
masalah pengakuan terhadap keputusan-keputusan cerai yang telah dibuat di luar
negeri. 97
Sesuai dengan azas kewarganegaraaan, maka suatu keputusan cerai yang
diucapkan di luar negeri antara para pihak yang kedua-duanya adalah warga negara
97
Indonesia hanya dapat diakui oleh Hakim Indonesia, jika keputusan bersangkutan
disandarkan atas alasan-alasan yang dikenal dalam Hukum Indonesia. 98
Yang perlu diatur sebaik-baiknya ialah supaya sedapat mungkin diperkecil
perbedaan pendapat mengenai persoalan-persoalan hukum yang menyangkut dalam
bidang ini. Apabila hakim negara tertentu telah mengucapkan perceraian, maka
seyogianya oleh hakim negara lain, putusan cerai ini diakui pula. Dengan demikian
akan dihindarkan terjadinya perceraian-perceraian pincang (divorce boituex, limping
divorces, hinkende echtsheidingen). Misalnya seorang dalam negara X dianggap bercerai, tetapi tidak dalam negara Y, supaya tercapai harmoni sedemikian rupa
hingga perceraian dalam negara X diakui pula sepenuhnya dalam Y dan juga dalam
negara-negara lain, maka sudah teranglah bahwa mempelai bersangkutan yang telah
bercerai ini akan mudah dapat menikah kembali (remarrier, remarriage) dalam
negara-negara lain. 99
Kecenderungan untuk hidup bersatu adalah kodrat naluri manusia. Dalam
keadaan semacam itu, norma yang mengatur ragam aktivitas tersebut tentu tidak
diserahkan kepada aturan normatif suatu negara tertentu. Hal itu disebabkan hukum
nasional suatu negara berdaulat, batas berlakunya hanya di dalam teritorial negara
tersebut. Untuk itu, pengaturan tentang berbagai kepentingan bersama antar negara
berdaulat, tentu akan diupayakan dalam bentuk kesepakatan bersama antar
98
Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 313
99
negara yang lazimnya dituangkan dalam bentuk “perjanjian internasional. 100
Instrumen itulah yang paling mungkin untuk digunakan dalam menangani berbagai
persoalan transnasional yang dihadapi bersama. Memang setiap negara merdeka dan
berdaulat memiliki sistem HPI yang berlainan satu sama lain. Untuk mengatasi
kesulitan yang terjadi manakala muncul persoalan perdata dan melibatkan dua negara
atau lebih, biasanya negara-negara berupaya mengadakan kerjasama internasional
dengan jalan mempersiapkan konvensi-konvensi yang bertujuan menciptakan
unifikasi di dalam bidang hukum, khususnya hukum perdata. Akan tetapi upaya
tersebut bukan dimaksudkan untuk menyeragamkan seluruh sistem hukum intern dari
negara-negara peserta konperensi, melainkan sekedar upaya untuk menyelaraskan
kaidah-kaidah HPI-nya. Selanjutnya, penyelesaian persoalan untuk masalah-masalah
hukum perdata tertentu akan dapat dilakukan oleh badan-badan peradilan
masing-masing negara peserta.101
Permasalahan perceraian internasional ini ternyata telah diupayakan
penyelesaiannya pada konferensi tentang Hukum perdata Internasional ke sebelas
yang diselenggarakan di Den Haag tanggal 7 sampai 26 Oktober 1968. Pada
konferensi tersebut telah diterima suatu Konvensi tentang pengakuan keputusan
perceraian dan pisah hidup (Conventions on the recognition of divorces and legal
100
Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978), hal. 109-114
101
separations). Konferensi Den Haag inilah yang pertama kali dimana RI turut serta
pula, walau baru sebagai “observer”. 102
Konvensi mengenai pengakuan perceraian ini telah diterima setelah mengalami
kesulitan dan perdebatan yang hangat. Terutama karena di antara negara-negara
anggota terdapat negara-negara yang tidak mengenal perceraian seperti Itali dan
Spanyol. Di lain pihak, negara-negara yang dianggap menurut hukumnya “terlampau
mudah” memberikan “perceraian”, yakni negara-negara yang mengenal sistem talak
seperti Israel, juga menimbulkan persoalan bagi berbagai negara yang mengenal
sistem lebih strict dalam meluluskan perceraian ini. 103
Menghindarkan perceraian-perceraian pincang dan memudahkan hak untuk
menikah kembali inilah yang merupakan tujuan utama Konvensi Den Haag pada
Konferensi ke-11 tahun 1968 ini. 104
Konvensi ini hanya akan memakai sistem apa yang dinamakan “Convention
Simple”. Pada Konvensi semacam ini maka tidaklah oleh Konvensi dibebankan suatu
peraturan kompetensi yang demikian mengikatnya hingga para hakim dari
negara-negara peserta akan harus mengucapkan sendiri perceraian atau hidup terpisah, tetapi
ia hanya wajib untuk mengakui perceraian-perceraian yang telah diucapkan oleh
instansi dari negara peserta lainnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yurisdiksi yang
Untuk menjamin bahwa jumlah ratifikasi Konvensi ini bisa menjadi sebesar
mungkin diadakan pembatasan pula dari berlakunya Konvensi yang bersangkutan,
hingga tak termasuk di dalamnya perintah-perintah yang kondemnatoir dan menyertai
suatu keputusan cerai, misalnya mengenai kewajiban memberikan nafkah atau
mengenai kewajiban finansial berkenaan dengan anak-anak dan pendidikan serta
pemeliharaan anak. 106
Tujuan konvensi ini ialah menjamin bahwa keputusan-keputusan cerai dan
hidup terpisah dalam negara peserta yang satu dijamin pengakuannya dan realisasinya
(misalnya untuk menikah lagi) dalam negara-negara perserta lainnya.
Hakim negara-peserta X tidak akan menguji mengenai hukum yang telah
dipergunakan oleh hakim negara Y tempat perceraian telah diucapkan. Yang hanya
diperhatikan ialah kontrol secara terbatas.
Dalam rangka menjembatani dua prinsip ekstrim antara negara-negara yang
sistem hukumnya sama sekali tidak mengenal perceraian (seperti Italia dan Spanyol)
dan negara-negara yang sistem hukumnya sangat mempermudah perceraian (Israel
dan negara-negara islam), dalam Konvensi Den Haag 1968 tentang pengakuan
perceraian telah berhasil disetujui perumusan-perumusan sebagai berikut : 107
Pasal 1 , mengenai keputusan perceraian dan pisah hidup yang telah diakui oleh salah satu negara peserta, akan diakui pula oleh negara peserta lainnya
Pasal 2, mengenai masalah kompetensi ditentukan bahwa keputusan perceraian dan pisah hidup yang diputuskan di salah satu negara peserta akan diakui pula oleh negara peserta lainnya bila pada waktu dimulainya proses perkara di
106
Ibid, hal.224
107
negara yang memberikan keputusan dipenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut :
1. Pihak tergugat mempunyai “habitual residence” di negara tersebut.
2. Pihak penggugat mempunyai “habitual residence” di negara tersebut, di
samping itu memenuhi salah satu syarat di bawah ini :
a. “habitual residence” tersebut telah berlangsung tidak kurang dari
setahun sebelum dimulainya perkara
b. “habitual residence” terakhir suami-isteri adalah negara tersebut.
3. Kedua mempelai adalah warga negara dari negara bersangkutan, atau
4. Penggugat adalah warga negara dari negara tersebut, dengan memenuhi
salah satu syarat sebagai berikut :
a. Penggugat mempunyai “habitual residence” di negara tersebut
b. Penggugat telah mempunyai “habitual residence” di negara tersebut
secara terus menerus selama setahun, dalam jangka waktu 2 tahun sebelum dimulainya perkara.
5. Penggugat adalah warga negara dari negara tersebut, dan memenuhi salah
satu syarat sebagai berikut :
a. Penggugat berada dalam negara tersebut pada waktu dimulainya
perkara.
b. “habitual residence” terakhir suami-isteri berada pada suatu negara,
yang pada waktu dimulainya perkara, tidak mengenal perceraian. 108
Yang merupakan pertanyaan ialah bagaimana jika tidak ada tempat tinggal
bersama ini?
Apabila yang dihadapi adalah suatu perkawinan campuran (suami isteri dari
negara berbeda) maka lazimnya tidak akan ada kediaman dalam negeri yang sama itu.
Biasanya kalau timbul percekcokan, masing-masing kembali ke negara bersangkutan.
Jadi tidak dapat dipakaikan hukum yang dimaksudkan tadi. Dalam hal demikian
dipakailah lex fori. Tetapi harus diperhatikan, di sini hanya dipakai suatu ‘jalan keluar
2. Jika kewarganegaraan berbeda, dipakai hukum dari domisili bersama (maatschappelijke woonplaats) ;
3. Jika kewarganegaraan berbeda, tidak dapat menunjuk kepada hukum nasional
tertentu. Dengan demikian pihak hakim adalah bebas untuk menganut pendirian lain. Dalam hal ini pada tempatnya untuk meletakkan titik berat atas
tempat tinggal bersama yang terakhir. 109
Dengan adanya pemecahan demikian ini, tampaklah berkurang kemungkinan
timbulnya perkawinan pincang (hinkende huwelijken, matrimonium claudicantia)
yang artinya perkawinan yang telah diputuskan dengan cerai di negara forum, tetapi
masih belum terputus di negara nasional para mempelai.
Kiranya cara-cara penyelesaian yang diusulkan ini, mutatis mutandis dapat pula
dipergunakan untuk penyelesaian dari perkara-perkara perceraian di Indonesia. 110
Berbagai ketentuan tersebut di atas dilakukan untuk mencegah ‘forum
shopping’ secara tidak sepantasnya. Tetapi, tendensi yang nyata ialah untuk sedapat mungkin meluaskan bidang pengakuan dari putusan-putusan cerai yang sudah
diperoleh di luar negeri.
109
Ibid, hal. 309
110