• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cacing Usus - Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cacing Usus - Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan P"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cacing Usus

Kecacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang

masih menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat di Indonesia hingga saat ini.

Hal ini disebabkan karena prevalensi kecacingan tersebut di Indonesia masih

tinggi terutama kecacingan yang disebabkan oleh sejumlah cacing usus yang

penularannya melalui tanah atau yang disebut Soil-Transmitted Helminthiasis (STH). Di antara Soil-Transmitted Helminthiasis yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichura) (Depkes RI, 2006a). Berdasarkan survei yang dilakukan ditemukan bahwa pada golongan usia

anak sekolah dasar prevalensi kecacingan cukup tinggi, yakni berkisar 60 – 80%

(Depkes RI, 2006a). Penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah yang

sering dijumpai pada anak usia Sekolah Dasar yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Hookworm (Elmi, Dkk, 2004). Tingginya angka kecacingan tersebut pada usia anak sekolah dikarenakan mereka sering bermain

atau kontak dengan tanah yang merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya

cacing-cacing usus yang termasuk STH. Meskipun angka kecacingan masih

tergolong tinggi, namun pencegahan dan pemberantasan terhadap infeksi penyakit

tersebut belum juga dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini disebabkan infeksi

cacing ini biasanya kurang mendapat perhatian yang cukup, terutama dari pihak

orang tua, karena akibat yang ditimbulkan infeksi cacing tersebut secara langsung

tidak dapat terlihat (Dachi, 2005).

Hasil survei kecacingan Sekolah Dasar di 27 Provinsi Indonesia menurut

jenis cacing tahun 2002 – 2006 didapatkan bahwa pada tahun 2002 prevalensi

(2)

tahun 2006 prevalensi Ascaris lumbricoides 17,8%, Trichuris trichiura 24,2% dan

Hookworm 1,0% (Depkes RI, 2006b).

Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih dikenal dengan cacing gelang yang penularannya dengan perantaraan tanah (“Soil-Transmited Helminthiasis”). Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut Ascariasis (Gandahusada, 2003).

2.1.1. Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar di seluruh dunia, lebih banyak ditemukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di

beberapa daerah tropis derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada

umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 – 10 tahun sebagai

host (pejamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti,

2004).

Morfologi

Cacing dewasa mempunyai ukuran paling besar di antara Nematoda

intestinalis yang lain. Bentuknya silindris, ujung lancip. Bagian anterior dilengkapi oleh tiga bibir yang tumbuh dengan sempurna (Onggowaluyo, 2002).

Telur Ascaris lumbricoides yang dibuahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60 – 70 x 30 – 50 mikron. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan

berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi suatu membran vitelin yang tipis untuk

meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut terhadap lingkungan sekitarnya,

sehingga dapat bertahan hidup sampai satu tahun. Di dalam rongga usus, telur

memperoleh warna kecoklatan dari pigmen empedu. Telur yang tidak dibuahi

(unfertilized) berada dalam tinja, bentuk telur lebih lonjong dan mempunyai

ukuran 88 – 94 x 40 – 44 mikron, memiliki dinding yang lebih tipis, berwarna

coklat dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya ganul-granul

(3)

Gambar 2. Ascaris lumbricoides dewasa

Gambar 3. Telur Ascaris lumbricoides unfertilized dan fertilized

Siklus Hidup

Manusia merupakan hospes definitif Ascaris lumbricoides. Manusia dapat terinfeksi cacing ini karena mengkonsumsi makanan, minuman yang

terkontaminasi telur cacing yang telah berkembang. Telur yang telah berkembang

tadi menetas menjadi larva di dalam usus halus. Selanjutnya larva tadi akan

bergerak menembus pembuluh darah dan limfe di usus untuk kemudian mengikuti

(4)

Setelah sampai di jantung larva ini akan dipompakan ke paru-paru. Larva di dalam

paru-paru ini mencapai alveoli dan tinggal selama 10 hari untuk berkembang lebih

lanjut. Bila larva ini telah mencapai ukuran 1,5 mm, ia mulai bermigrasi ke

saluran nafas atas, ke epiglotis dan kemudian ke esofagus, lambung akhirnya kembali ke usus halus dan menjadi dewasa yang berukuran 15 – 35 cm (Sandjaja,

2007).

Seekor cacing betina mampu menghasilkan 200.000 – 250.000 telur

perhari. Telur yang telah dibuahi akan menjadi matang di tanah yang lembab

dalam waktu ±3 minggu dan dapat hidup lama serta tahan terhadap pengaruh

cuaca buruk. Keseluruhan siklus hidup ini berlangsung kurang lebih 2 – 3 bulan.

Cacing dewasa ini akan tahan hidup di dalam rongga usus halus hospes selama 9 –

12 bulan (Sandjaja, 2007).

Gambar 4. Siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides

2.2. Imunoparasitologi

Infeksi cacing dapat berjalan kronis akibat lemahnya pertahanan alamiah

dan kemampuan mengelak dari pertahanan imun spesifik hospes definitif.

(5)

mengubah antigen permukaannya atau melapisi permukaannya dengan protein

hospes definitif, misalnya dengan glikoprotein molekul MHC (Major

Histocompatibility Complex) dan IgG sehingga dianggap sebagai self component (Kresno, 2001). Cara lain adalah mengubah struktur parasit setiap kali

menunjukkan determinan antigen yang baru atau cacing dapat mengubah susunan

biokimiawi permukaannya sehingga mencegah aktivasi komplemen (Hyde, 1990).

Cacing dapat juga mengekspresikan ectoenzyme yang dapat merombak antibodi sehingga mencegah terjadinya Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC) (Tizard, 1995).

Gambaran reaksi imun terhadap infeksi cacing adalah peningkatan

eosinofil dan jumlah IgE. Rangsangan antigen spesifik untuk terbentuknya sel

mastoid yang dilapisi IgE menyebabkan terjadinya eksudasi serum protein dengan

konsentrasi antibodi protektif yang tinggi untuk semua kelas imunoglobulin dan

dilepaskannya faktor kemotaktik eosinofil (Roitt, 2002).

Eliminasi infeksi cacing usus merupakan pendekatan yang khusus berupa

gabungan reaksi seluler dan humoral untuk menghilangkan infeksi yang masuk

(Roitt, 2002). Pada parasit yang bertahan bertahun-tahun menghadapi reaksi

imunologik, interaksi dengan antigen asing sering menyebabkan kerusakan

jaringan. Reaksi hipersensitivitas lambat yang disebabkan adanya TNF-α yang

memungkinkan telur meloloskan diri dari kapiler intestinal ke dalam lumen usus

untuk meneruskan siklus hidup di luar pejamu (Roitt, 2002).

2.3. Atopi

Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu “atopos” yang berarti “out of place” atau “di luar dari tempatnya”, dan ditujukan pada penderita dengan penyakit yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE) (MacKay & Rosen, 2001).

Atopi adalah predisposisi herediter terhadap alergi atau hipersensitivitas.

Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan Cooke* pada tahun 1923

sebagai istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit, di antaranya adalah

asma, hay fever, urtikaria, yang terjadi secara spontan pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarga. Wise & Sulzbergen* pada tahun

(6)

penyakit yang terjadi pada keadaan atopi yang dapat terjadi pada semua kelompok

umur (Paller and Mancini, 2006; *Grammer, 1997).

Etiologi atopi mencakup faktor genetik kompleks yang belum sepenuhnya

dipahami (Prescott & Tang, 2005). Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan

adanya efek protektif agen infeksius tunggal atau multipel dan atau produk

mikroba terhadap berkembangnya sensitisasi alergi atau penyakit alergi. Hal ini

mencakup infeksi campak, malaria, infeksi saluran pencernaan seperti virus

hepatitis A dan Helicobacter pylori, dan flora normal usus. Endotoksin lingkungan, produk mikroba lain di lingkungan dan kecacingan juga disebutkan

memiliki efek protektif. Pola pemaparan terhadap faktor risiko dan faktor protektif

di lingkungan akan menentukan prevalensi penyakit alergi dan atopi pada

populasi (Cooper, 2004).

Kelainan atopi diperkirakan terjadi pada 10 – 30% populasi negara maju

(Terr, 2001). Prevalensi kelainan atopi juga dikatakan meningkat di negara

industri (Han et al, 2003).

Menurut Terr Al (2001) terjadi peningkatan insiden kelainan atopi pada

populasi di negara maju. Peningkatan ini dikaitkan dengan polusi udara dan

terjadinya deviasi respons imun karena berkurangnya penyakit infeksi pada anak. “Hygiene hypothesis” menyatakan bahwa berkurangnya paparan mikroba pada usia dini terutama pada mukosa usus menyebabkan kecenderungan pergeseran

profil respons sistem imun dari T helper tipe 1 (Th-1) kepada dominasi T helper tipe 2 (Th-2) yang lebih cenderung mencetuskan respons alergi (Wolf, 2004).

Immunoglobulin E (IgE) merupakan mediator kunci dari penyakit alergi (O‟Brien, 2002). Pembentukan IgE dimulai pada masa awal kehidupan di mana sensitisasi sering dapat terdeteksi sebelum gejala klinis timbul. Setelah

disekresikan oleh limfosit B, IgE mengikuti sirkulasi aliran darah hingga ia

berikatan dengan permukaan membran sel mast dan basofil yang terdapat di

permukaan epitel di seluruh tubuh, misalnya pada saluran nafas, saluran cerna dan

kulit. Pada paparan ulang, alergen akan bereaksi dengan membran yang terikat

dengan IgE spesifik tersebut dan mencetuskan pelepasan zat mediator inflamasi

seperti: histamin, leukotrin, prostaglandin, dan protease, sehingga menimbulkan

(7)

2.4. Hubungan Infeksi Cacing Terhadap Atopi

Apabila mikroorganisme termasuk parasit berhasil masuk ke dalam tubuh,

maka akan membangkitkan respon imun. Pada mulanya respon imun yang bersifat

nonspesifik dengan mekanisme seluler maupun humoral akan menghadapi

mikroorganisme dan parasit tersebut. Mekanisme seluler yang dilangsungkan oleh

fagosit mononuklear dan polinuklear, khusunya akan berusaha merusak atau

membunuh mikroorganisme dengan cara fagositosis. Sedangkan mekanisme

humoral akan melibatkan berbagai enzim termasuk sistem komplemen dalam

menghadapi serbuan mikroorganisme dan parasit tersebut (Subowo, 1993).

Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel

Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan

permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan

mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Produksi IgE dan eosinofil

sering ditemukan pada infeksi cacing (Baratawijaya, 2004).

2.5. Uji Tusuk Kulit

Uji tusuk kulit adalah salah satu cara termudah untuk memeriksa kelainan

atopi dan sensitifitas terhadap alergi atas keberadaan antibodi IgE spesifik. Tes ini

merupakan metoda pendekatan diagnostik yang tepat untuk mendeteksi sensitisasi

IgE oleh alergen hirup, makanan, bisa hewan dan obat-obatan (Licardi et al,

2006). Uji tusuk kulit, selain murah juga menyediakan hasil yang cepat didapat

(Licardi et al, 2006), sebagai alat diagnostik pada kelainan alergi anak (Cantani &

Micera, 2000), uji ini biasanya direkomendasikan sebagai sarana uji diagnostik

lini pertama untuk mendeteksi adanya reaktivitas spesifik (Licardi et al, 2006).

Nilai prediktif uji tusuk kulit telah dipublikasikan dan di-nyatakan dapat

digunakan untuk memeriksa sensitisasi (Manjra et al, 2005). Uji tusuk kulit

dinyatakan positif jika terdapat rasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan

adanya urtika yang khas. Urtika yang khas tersebut dapat dilihat dan diraba

dengan diameter >3 mm yang muncul 15 – 20 menit sesudah aplikasi tusuk kulit

(Lachapelle & Maibach, 2003).

Nilai prediktif uji tusuk kulit juga telah dinyatakan dapat digunakan untuk

(8)

merupakan uji untuk memeriksa IgE spesifik yang paling sensitif dan spesifik, dan

telah dinyatakan lebih sensitif dibanding teknik radioallergo-sorbent test (RAST)

dalam mendeteksi reaktivitas IgE (O‟Brien, 2002).

Sampson (2000) telah menunjukkan bahwa uji tusuk kulit mempunyai nilai

positif terbesar dibanding uji food challenge dalam suatu studi plasebo-kontrol tersamar ganda (Cantani & Micera, 2000). Uji tusuk kulit terutama akan

membantu untuk mengeksklusikan alergen potensial yang dicurigai menimbulkan

gejala alergi, karena jarang mempunyai hasil negatif-palsu (O‟Brien, 2002), oleh

keberadaan nilai prediksi negatifnya yang sangat tinggi (95%) (Burks, 2003).

Hasil uji negatif akan menunjukkan tidak terdapatnya reaktivitas alergi

oleh mediasi IgE. Sebaliknya nilai prediksi positifnya biasanya hanya berkisar

sekitar 30% sampai 50%, sehingga hasil uji kulit positif saja belum dapat menjadi

Gambar

Gambar 2. Ascaris lumbricoides dewasa
Gambar 4. Siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides

Referensi

Dokumen terkait

Menanggapi hal demikian pemerintah membuka ruang negosiasi untuk menyelesaikan perselisihan ini dengan melakuan perundingan hingga akhirnya selesai dengan berbagai kesepakatan.Dengan

BKD menjabarkan indikator kinerja utama unit kerja ke dalam ukuran kinerja individu pegawai yang ada dalam sasaran kerja pegawai (SKP) (idem Tindak lanjut hasil

Teknik yang digunakan adalah dengan mengabungkan data industri dengan Peta Tutupan Lahan Tahun 2009 yang telah dilakukan klasifikasi menjadi lahan pertanian dan non

41 CPE adalah perubahan struktural pada sel inang sebagai akibat dari infeksi virus yang menyebabkan sel inang lisis.. Dari ketiga gingerol ini, [6]-gingerol

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi produk dan jasa yang dikomplainkan; (2) mengidentifikasi perilaku komplain konsumen; (3) menganalisis tanggapan perusahaan

The steady state output voltage of switched inductor boost dc-dc converter and conventional boost dc- dc converter for each duty cycle values are shown in figure 13 to

Gambaran tingkat pengetahuan tentang seksualitas pada ibu nifas berdasarkan karakteristik responden dapat diperlihatkan : Berdasarkan umur, responden yang paling banyak berumur

Dari hasil pengukuran terlihat bahwa nilai kapasitansi yang ditunjukkan oleh alat ukur yang dibuat tidak jauh berbeda dengan nilai kapasitansi yang ditunjukkan