• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASERTIVITAS REMAJA YANG BERSTATUS ANAK A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASERTIVITAS REMAJA YANG BERSTATUS ANAK A"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

Shanaz Nadia Aulia Maharani

Mahasiswa: Psikologi/ FISIP Universitas Brawijaya

Malang, Jawa Timur

ABSTRACT

This study aims to know assertive behavior of adopted children status to parent with blood related and to parent with unblood related, the influential factors, and the formed process of assertive behavior. Adolescent assertive behavior is needed to build communication in family relationship so can make comfortable situation and conducive for adolescent to grow and develop in development task properly. This study used qualitative methods with phenomenological approach. The subject that used is two adolsecent with adopted children status that have been adopted since baby, and already back to blood-related parent. Techniques of data collection used semi-structured interview and non-participant observation. Analysis technique used horizonalitation: transcript, horizonalitation, thematic potrayal, individual description, composite, and sintesis. Validity and realibility used credibility, transferability, dependability, and confirmability. The result of this study is showed that both subject have same of the influential factors: modelling behavior, the chance to develop the behavior and self-belief. Assertive behavior that have been showed by both subject is different. So that, from the similarity of the influential factors and the differentiation of assertive behavior, we know that the formed process of assertive behavior is difference too.

Keywords: Assertiveness, adolescent, the adopted children status. ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku asertif remaja yang berstatus anak angkat pada orang tua angkat dan orang tua kandungnya, faktor yang mempengaruhi, dan proses terbentuknya perilaku asertif. Perilaku asertif remaja diperlukan untuk membangun komunikasi dalam hubungan keluarga sehingga tercipta suasana nyaman dan kondisif bagi remaja untuk tumbuh dan berkembang sesuai tugas perkembangannya. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subjek yang digunakan adalah dua remaja berstatus anak angkat yang diangkat sejak bayi, dan telah kembali pada orang tua kandungnya. Pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi. Teknik analisis horisonalisasi: transcript, horizonalitation, thematic potrayal, individual description, composite, dan sintesis. Validitas dan realibilitas menggunakan credibility, transferability, dependability, dan confirmability. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek memiliki faktor pembentuk asertivitas yang sama: perilaku modelling, kesempatan mengembangkan perilaku dan adanya keyakinan pribadi. Perilaku asertif kedua subjek berbeda, sesuai dengan bentuk faktor pada masing-masing subjek. Sehingga, dari kesamaan faktor dan perbedaan cara berperilaku tersebut, diketahui bahwa proses terbentuknya perilaku asertif pada kedua subjek tidaklah sama.

(2)

PENDAHULUAN

Setiap orang yang berpasangan akan melakukan pernikahan untuk membentuk

hubungan keluarga. Manusia tidak bisa terlepas dari keluarga, karena keluarga merupakan

suatu tempat dimana setiap individu memperoleh perlindungan dan mendapatkan

kenyamanan. Keluarga adalah kelompok sosial terkecil dan merupakan suatu sistem yang

bersifat dinamis (Gunarsa, 2005).

Setiap pasangan yang menikah umumnya menginginkan anak dalam rumah tangga

mereka untuk meneruskan keturunan. Namun tidak semua pasangan setelah menikah dapat

dengan mudah memiliki anak. Tidak sedikit dari mereka harus menunggu selama

bertahun-tahun baru memiliki anak. Pasangan yang mengalami kesulitan memiliki anak melakukan

berbagai macam usaha untuk memiliki anak, mulai dari perawatan medis hingga pengobatan

alternatif. Bahkan ada pula yang percaya dengan mitos-mitos zaman dulu demi mendapatkan

anak, tapi tetap tidak bisa mendapatkan anak. Seperti halnya yang dilakukan oleh pasangan

suami istri BY dan JW (Orang tua subjek) yang menganggap bahwa solusi terakhir untuk

memiliki keturunan adalah dengan cara mengambil anak angkat, yang masih memiliki

hubungan keluarga dengan mereka (Wawancara awal peneliti, September – Oktober 2012).

Anak angkat adalah seorang anak yang hak pengasuhannya berada pada orang lain

yang tidak memiliki hubungan darah secara langsung dan mengambil alih peran serta

tanggung jawab dari orang tua kandung anak (Gunarsa, 2005). Kamus Besar Bahasa

Indonesia mengartikan anak angkat sebagai anak orang lain yang dipelihara serta disahkan

secara hukum sebagai anak sendiri. Anak angkat juga sering dipercaya sebagai “anak

pancingan” sambil menunggu anak kandung lahir.

Orang tua angkat tidak jarang berusaha untuk tetap merahasiakan status si anak.

Mereka beralasan dengan merahasiakan status si anak, harapan bahwa hubungan bersama

dengan anak angkatnya terjaga dengan baik dan anak tidak perlu merasa berbeda dengan anak

yang lain (Sarjono, 2012). Memberitahukan identitas anak angkat akan menimbulkan hasil

atau reaksi yang berbeda dari si anak sesuai dengan tahapan usianya. Anak yang usianya lebih

muda, kurangmemberi dampak emosional karena bobot emosional yaitu perasaan “saya itu

dibuang atau ditolak, saya tidak diinginkan”, belum ada, kalaupun sudah ada itu masih sedikit

(Smith dan Brodzinsky, 1994). Hal ini disebabkan pada anak usia 5-6 tahun belum memiliki

kemampuan mental untuk mencerna bobot emosional seperti itu. Anak usia remaja, reaksi

(3)

karena merasa dirinya tak cukup berharga untuk dipertahankan orang tua kandungnya. Kedua,

pada orang tua kandung yang tega membuangnya. Terakhir, pada orang tua angkat yang

dianggap telah menipu dan menutupi asal-usulnya. Jika kemarahan ini tak diselesaikan,

dampaknya fatal. Anak bisa berkembang menjadi sosok yang agresif dan insecure (Smith dan

Brodzinsky, 1994).

Masalah mulai muncul ketika anak memasuki usia remaja. Anak mulai menanyakan

status dan identitas dirinya pada orang tua angkatnya. Menceritakan status sebenarnya pada

anak angkat mereka bukanlah hal yang mudah, dan menjadi hal yang rumit bagi orang tua

angkat, karena ketika anak menanyakan mengenai identitasnya, maka orang tua angkat wajib

memberitahukan kebenaran pada anak tentang yang sebenarnya. Di sisi lain, orang tua angkat

tidak ingin melukai perasaan si anak jika memberitahukan identitas yang sebenarnya dan

membuat anak merasa berbeda dengan teman-temannya.

Masalah akan semakin kompleks, ketika orang tua kandung tiba-tiba muncul dan

menuntut agar anaknya dapat mengetahui siapa orang tua kandung yang sebenarnya, bahkan

lebih ekstremnya lagi meminta si anak untuk kembali hidup bersama dengannya (Amy, 2011).

Hal-hal semacam ini dapat melukai perasaan si anak. Jika ini terjadi, maka keluarga bukan

lagi menjadi tempat bagi seorang individu untuk mendapatkan kenyamanan, melainkan

perasaan tidak nyaman bahkan terancam. Hal ini dikarenakan (Sarjono, 2012) pertama, anak

merasa akan kehilangan orang yang mengasihinya selama ini dan meninggalkan zona

amannya. Kedua, anak merasa takut tidak akan mendapatkan kenyamanan dan kasih sayang

seperti sebelumnya. Ketiga, anak harus beradaptasi dengan keluarga barunya, baik dengan

anggotanya maupun dengan peraturan yang berlaku di dalamnya.

Problema mendasar adalah ketika anak harus kembali diasuh oleh orang tua kandung

yang tidak dikenal oleh si anak. Peralihan pengasuhan dari orang tua angkat ke orang tua

kandung merupakan suatu perubahan situasi dan kondisi di dalam keluarga, yang akan

membawa perubahan psikologis pada diri anak yang sudah beranjak remaja, terutama

terhadap pembentukan kepribadiannya, misalnya munculnya perilaku dan sikap tidak percaya

diri, membantah orang tua, atau serangan agresif terhadap saudara maupun teman sebaya.

Anak harus berinteraksi atau bersosialisasi, dan belajar mengenal orang tua kandung, yang

tentu menimbulkan permasalahan baru lagi karena akan merubah pola komunikasi anak pula.

Salah satu faktor yang menjadi penghambat dalam membangun hubungan yang intim antara

orang tua dan anak adalah kesulitan dalam mengkomunikasikan perasaan secara efektif

(4)

Untuk dapat menciptakan situasi, kondisi, dan iklim yang kondusif di dalam keluarga,

diperlukan hubungan yang baik dari masing-masing anggota keluarga. Keluarga harus

memiliki waktu yang cukup untuk berbincang-bincang dan mengembangkan keterbukaan

antara orang tua dan anak. Menurut Cassagranda (Liliweri, 1997), manusia berkomunikasi

karena memerlukan orang lain untuk saling mengisi kekurangan dan membagi kelebihan,

ingin terlibat dalam proses yang relatif tetap, dan bukan hanya untuk menyampaikan pesan

tetapi juga untuk meningkatkan hubungan antar pribadi.

Hubungan antara orang tua dan anak melibatkan dua unsur pribadi secara penuh

dimana keterbukaan dan kejujuran dalam berkomunikasi sangat dibutuhkan. Menjadi hal yang

sangat penting jika dikaitkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh seorang anak yang

semula diasuh oleh orang tua angkat namun kemudian orang tua kandung si anak tiba-tiba

muncul. Terlebih lagi ketika anak memulai untuk hidup bersama orang tua kandung. Anak

dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan,

pendapat dan kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi,

memanfaatkan atau pun merugikan orang tua kandung yang telah melahirkan dan berniat baik

untuk kembali memberikan kasih sayang sebagai orang tua ataupun orang tua angkatnya yang

telah merawatnya dan mengasuhnya semenjak kecil. Akan tetapi karena adanya permasalahan

anggapan orang tua kandung adalah “orang yang asing” menyebabkan sikap yang tertutup

anak pada orang tua kandungnya. Sebagai akibat dari sikap tertutup anak adalah dapat

terhambat perkembangan si anak.

Sikap tertutup anak dipengaruhi oleh adanya pola pendidikan, sistem nilai yang dianut,

nilai sosial, dan moral keluarga pada orang tua angkat yang umumnya akan berbeda dengan

orang tua kandung (Gunarsa, 2005). Pola pengasuhan orang tua angkat yang memiliki jumlah

anggota keluarga yang lebih kecil karena mengangkat anak dalam rangka sebagai anak

pancingan memberi kesempatan secara optimal kasih sayang kepada anak angkatnya dan

memberi kesempatan membangun komunikasi secara efektif dari awal mula usia

perkembangan (Kompasiana, 2012). Terlebih lagi peralihan pola asuh ini terjadi

ditengah-tengah usia perkembangan remaja, yakni perubahan dari masa anak ke usia dewasa.

Kesulitan-kesulitan tersebut akan mempengaruhi pola komunikasi secara intensif baik secara

verbal maupun emosional antara anak dengan orang tua kandung.

Ketika segala sesuatu tidak diutarakan dengan baik, biasanya ada pihak yang sakit

hati, atau merasa tidak dihargai dan didengar. Oleh sebab itu dibutuhkan sikap yang dapat

mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang tua. Sikap

(5)

yang merasa dibuang, dan orang tua kandung yang membuangnya, maupun orang tua angkat

yang harus ia tinggalkan.Menurut Cooper dkk (Santrock, 2003) untuk mendukung hubungan

yang baik antar anggota keluarga, perlu adanya atmosfir keluarga yang mendukung

individualitas yang salah satunya berupa asertivitas diri yang merupakan hal penting bagi

perkembangan identitas remaja. Fensterheim menyatakan (Wahyudi, 1999) bahwa seseorang

dikatakan asertif hanya jika dirinya mampu bersikap tulus dan jujur dalam mengekspresikan

perasaan, pikiran dan pandangannya pada pihak lain sehingga tidak merugikan atau

mengancam integritas pihak lain. Asertivitas adalah suatu kemampuan untuk

mengekspresikan atau mengkomunikasikan dirinya secara terbuka kepada orang lain namun

dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain (Verderber, 1996).

Penelitian ini menggunakan subjek seorang remaja. Remaja adalah suatu masa dimana

individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi

dewasa, yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial (Wirawan, 2010). Periode ini

dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang, khususnya

dalam pembentukan kepribadian. Masa remaja merupakan masa transisi dalam rentang

kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa

transisi, remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai bagian dari

perkembangan identitas.

Remaja memiliki berbagai peran sesuai dengan lingkungan dia berada. Lingkungan

yang menuntut remaja tersebut untuk lebih mandiri, lebih inisiatif, lebih dewasa, serta lebih

matang dalam berpikir dan berperilaku. Hal ini bukan merupakan proses yang mudah. Remaja

akan memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi lingkungan yang berbeda. Artinya dalam

proses menjalin interaksi dengan lingkungannya, remaja bertujuan untuk memenuhi

kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan tersebut, akan memunculkan perilaku yang berbeda

dalam menghadapi sesuatu, ada remaja yang bersikap asertif untuk memenuhi tuntutan

lingkungannya, akan tetapi ada banyak pula yang tidak (Rosita, 2010).

Diketahui dari media internet seorang remaja yang memiliki kasus serupa, dimana ia

berposisi sebagai seorang anak angkat yang diasuh oleh orang lain (namun masih keluarga)

yang tidak mengetahui statusnya yang sebenarnya (Amy, 2011). Tiba-tiba keluarga kandung

muncul dan berusaha mengambil alih kembali si anak ini dari keluarga angkat yang

mengasuhnya. Meskipun keluarga angkat tidak melarangnya untuk kembali ke orang tua

kandungnya, remaja ini tidak ingin berhubungan dan berkomunikasi dengan orang tua

kandungya sendiri dengan alasan ia merasa bahwa tidak memiliki ikatan batin dan yang ada

(6)

orang tua angkatnya yang telah berkorban banyak dan telah memberikan berbagai hal

padanya selama ini.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan mengkaji bagaimana asertivitas remaja

tersebut kepada orang tuanya, faktor apa saja yang membentuk perilaku asertif yang ada pada

remaja tersebut, serta bagaimana proses terbentuknya perilaku asertif.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asertivitas

Asertivitas adalah suatu kemampuan untuk mengekspresikan atau

mengkomunikasikan dirinya secara terbuka kepada orang lain namun dengan tetap

menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain (Verderber, 1996). Menurut

Wahyudi (1999), asertivitas adalah kemampuan individu mengekspresikan perasaan (baik

positif maupun negatif) dan pikirannya secara tegas dan bebas dengan tetap

memperhatikan perasaan orang lain atau dengan kata lain mempertahankan hak sendiri

tanpa mengganggu hak orang lain.

B. Tiga Komponen Dasar Perilaku Asertif

Howard dan Stein berpendapat bahwa sikap asertif merupakan ketegasan,

keberanian dalam menyatakan pendapat yang di dalamnya mencakup tiga komponen

dasar (Sundari, 2009), yaitu:

1. Kemampuan mengungkapkan perasaan.

2. Kemampuan mengungkapkan pikiran dan keyakinan secara terbuka, mampu

menyuarakan pendapat, menyatakan ketidaksetujuan dan bersikap tegas, meskipun

secara emosional sulit melakukannya dan bahkan harus mengorbankan sesuatu.

3. Kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Perilaku Asertif

Menurut Galassi dan Galassi (2002), meskipun perkembangan perilaku asertif

setiap orang tidaklah selalu sama, namun pada umumnya seseorang belajar untuk

berperilaku asertif atau tidak asertif dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Hukuman. Seseorang gagal untuk berperilaku secara asertif, karena di masa lalu dalam

situasi yang sama ia merasa terhukum baik secara fisik maupun mental karena

mengungkapkan dirinya. Hukuman yang terjadi berulang-ulang ini, suatu saat akan

(7)

b. Modeling. Modeling meliputi proses mengamati dan meniru tingkah laku dari orang di

sekitar individu. Dari proses modeling-lah individu belajar untuk berperilaku asertif,

non asertif, atau agresif.

c. Kesempatan untuk mengembangkan perilaku yang sesuai. Banyak orang yang gagal

untuk berperilaku asertif karena mereka tidak mempunyai kesempatan di masa lalu

untuk belajar cara berperilaku yang tepat. Ketika berhadapan dengan situasi yang baru,

mereka tidak harus berperilaku seperti apa, atau mereka akan merasa gugup karena

kurangnya pengetahuan yang mereka miliki. Sedangkan orang di masa lalunya

memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan perilakunya dan akan dapat

mengatasi situasi baru dengan lebih efektif.

d. Keyakinan pribadi. Dalam interaksi sosial, keyakinan pribadi seseorang yang

didasarkan pada pengetahuan dan pengalamannya akan mempengaruhi cara orang

tersebut untuk berperilaku dalam interaksi sosial. Hal ini meliputi keyakinan akan hak

setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain.

D. Keluarga

Keluarga merupakan sebuah kesatuan yang terdiri dari sejumlah orang yang saling

berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka memerankan keseharian sebagai suami,

istri, ibu, bapak, anak-anak, anak perempuan, anak laki-laki, saudara laki-laki, saudara

perempuan (Tjeppy, 2005). Menurut Morgan (Setyowati, 2005), keluarga didefinisikan

sebagai hasil proses sosialisasi primer bagi seorang anak di mana pada saatnya anak

tersebut akan dihantarkan untuk memasuki lingkungan masyarakat (struktur sosial) yang

lebih luas.

Menurut Hurlock (2002), orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke

dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Sedangkan menurut Mardiya (2000),

Orang tua adalah ayah dan ibu sebagai figur atau contoh yang akan selalu ditiru oleh

anak-anaknya. Tugas orangtua melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke

kedewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak

dalam menjalani kehidupan. Memberikan bimbingan atau arahan yang dilakukan oleh

orang tua kepada anak-anak disebut pola asuh (Desmita, 2005). Sedangkan menurut

Rusdijana (2006), pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak

dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Baumrind (Santrock, 2003)

menekankan tiga jenis gaya atau cara orang tua menjalankan perannya, yaitu:

a. Pengasuhan Otoriter atau Autoritarian (Authoritarian Parenting). Orang tua

(8)

menganggap bahwa anak-anak harus “berada di tempat yang ditentukan” dan tidak

boleh menyuarakan pendapatnya. Pola ini dijalankan berdasarkan pada struktur dan

tradisi yang penuh dengan keteraturan dan pengawasan.

b. Pengasuhan Permisif (Permissive Parenting). Orang tua berusaha menerima dan

mendidik sebaik mungkin tetapi cenderung sangat pasif ketika harus berhadapan

dengan masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidakpatuhan. Mereka tidak

begitu menuntut, juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya karena yakin

bahwa anak-anak seharusnya berkembang sesuai dengan kecenderungan alamiahnya.

Sehingga dalam model pengasuhan ini muncul dua macam pengasuhan permisif

menurut Maccoby dan Martin (Santrock, 2003), yakni:

1) Permisif tidak Peduli (Permissive-indifferent Parenting) adalah suatu pola dimana

si orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja.

2) Permisif Memanjakan (Permissive-indulgement Parenting) adalah suatu pola

dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau

mengendalikan mereka. Pengasuhan ini berkaitan dengan ketidakcakapan sosial

remaja, terutama kurangnya pengendalian diri.

c. Pengasuhan Autoritatif (Authoritative Parenting). Orang tua berusaha

mengembangkan batas-batas yang jelas dan lingkungan yang baik untuk tumbuh.

Mereka memberi bimbingan, tetapi tidak mengatur, memberi penjelasan yang mereka

lakukan serta membolehkan anak memberi masukan atau pendapat. Kemandirian anak

sangat mereka hargai, tetapi anak juga dituntut untuk memenuhi standar tanggung

jawab yang tinggi kepada keluarga, teman, dan masyarakat.

E. Anak Kandung dan Anak Angkat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia anak kandung adalah seorang anak yang

memiliki hubungan biologis dan sosial dengan kedua orang tuanya. Anak angkat adalah

seorang anak yang hak pengasuhannya berada pada orang lain yang tidak memiliki

hubungan darah dan mengambil alih peran serta tanggung jawab dari orang tua kandung

anak (Gunarsa, 2005). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan

anak angkat adalah anak orang lain yang (dipelihara) serta disahkan secara hukum

sebagai anak sendiri.

METODE

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan

(9)

remaja yang diangkat anak sejak lahir oleh orang lain, kemudian bertemu kembali dengan

orang tua kandungnya, dan akhirnya memutuskan untuk kembali hidup bersama dengan

keluarga kandungnya. Selain data primer yaitu remaja, peneliti juga memperoleh data

sekunder dari orang tua kandung dan orang tua angkat subjek.

Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara semi terstruktur dan observasi

partisipan. Teknik analisa data menggunakan horizonalisasi yaitu transcript, horizonalitation,

thematic potrayal, individual description, composite, dan sintesis. Keabsahan data dalam

penelitian ini menggunakan derajat kepercayaan (credibility/ validitas internal), keteralihan

(transferability/ validitas eksternal), keajegan (depenability/ reliabilitas), dan kepastian

(confirmability/ objektivitas).

HASIL

Berdasarkan analisa hasil penelitian yang dilakukan pada kedua subyek menggunakan

coding sehingga menghasilkan ringkasan sebagai berikut:

Tabel 1

Perbandingan Perilaku Asertif dan Faktor Pembentuk pada Subjek DP dan FA

Subjek Perilaku Asertif Faktor Pembentuk

DP 1. Kemampuan mengungkapkan perasaan

Bersama Orang tua Angkat

- Sering mendapat pujian dan memberikan pujian.

-Jarang meminta bantuan karena merasa dapat melakukannya sendiri, kecuali dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan sekolah.

- Sering mendapatkan pujian, namun jarang memberikan pujian.

- Tidak pernah meminta bantuan, kecuali dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan sekolah. saat pertama kali mengetahui statusnya dengan cara mengacuhkan orang tuanya. Semanjak itu, tidak pernah merasa marah lagi.

1. Hukuman

Bersama Orang Tua Angkat

Dulu saat masih kanak-kanak, semenjak remaja tidak pernah dihukum

(10)

Subjek Perilaku Asertif Faktor Pembentuk 2. Kemampuan Mengungkapkan Pikiran dan

Keyakinan Secara Terbuka Bersama Orang Tua Angkat

- Mampu dan sering memulai suatu pembicaraan ataupun terlibat aktif dalam suatu pembicaraan.

- Mampu mengutarakan apa yang ada dipikirannya dengan jujur. Mampu mengutarakan ketidaksepahaman. Dapat mencari penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak.

Bersama Orang Tua Kandung

-Malas untuk memulai pembicaraan, namun dapat melibatkan diri dalam suatu pembicaraan.

- Mengutarakan berbagai pendapat untuk menolak dengan berbagai alasan yang dapat diterima.

3. Kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi dan menolak permintaan Bersama Orang Tua Angkat

- Dalam mempertahankan hak, mampu bertindak demi kepentingan sendiri.

- Mampu menolak permintaan secara langsung dengan sopan.

Bersama Orang Tua Kandung

-Dalam mempertahankan hak, mampu bertindak demi kepentingan sendiri.

- Mendapatkan nasehat dan pengarahan untuk melakukan dengan benar

- Mempercayai DP telah mengetahui benar-salah, dan yang seharusnya dan tidak seharusnya

Bersama Orang Tua Kandung

- Menghormati privasi DP dan memberikan kesempatan kepada DP untuk meng-ugkapkan pendapatnya

- Mempercayai DP telah mengetahui benar-salah, dan yang seharusnya dan tidak seharusnya anggota keluarga yang lain dikarenakan DP merasa malas dan kurang percaya diri untuk terlibat dalam suatu pembicaraan dengan ayah kandungnya saat pertama kali tinggal dengan orang tua kandungnya diceritakan kepada orang tua angkat maupun orang tua kandungnya

(11)

Subjek Perilaku Asertif Faktor Pembentuk

FA 1. Kemampuan Mengungkapkan Perasaan

Bersama Orang Tua Angkat

- Sering mendapat pujian dan memberikan pujian.

-Jarang meminta bantuan karena ibunya selalu menawari bantuan terlebih dahulu.

- Sering mengungapkan rasa cinta dan sayang secara lisan maupun melalui perbuatan. -Pernah merasa kecewa dengan orang tuanya

dan mengungkap-kannya dengan cara mengambek.

- Saat marah, FA mengacuhkan ibunya.

Bersama Orang Tua Kandung

-Sering mendapatkan pujian, namun jarang memberikan pujian.

- Sering meminta bantuan, jika merasa ibunya yang dapat membantunya.

-Sering meng-ungapkan rasa cinta dan sayang secara lisan maupun melalui perbuatan. - Pernah merasa kecewa. Cara

mengungkap-kannya dengan cara menjadi diam dan sedikit acuh hingga kecewanya hilang.

-Tidak pernah merasa marah pada orang tua.

1.Hukuman

Bersama Orang Tua Angkat

Dulu saat masih kanak-kanak, semenjak remaja tidak pernah dihukum

Bersama Orang Tua Kandung Tidak pernah dihukum

2. Kemampuan Mengungkapkan Pikiran dan Keyakinan Secara Terbuka

Bersama Orang Tua Angkat

- Mampu dan sering memulai suatu pembicaraan ataupun terlibat aktif dalam suatu pembicaraan.

- Mampu mengutarakan apa yang ada dipikirannya terutama jika ditanya terlebih dahulu.

Bersama Orang Tua Kandung

- Mampu dan sering memulai suatu pembicaraan ataupun terlibat aktif dalam suatu pembicaraan. memilih untuk berdebat dengan cara mengungkap-kan pendapat yang dirasanya benar.

- Sering kali menolak permintaan dengan cara melontarkan argumennya atau mencari alasan, bahkan berbohong.

- Mendapatkan nasehat dan pengarahan untuk melakukan dengan benar

- Mempercayai FA telah mengetahui benar-salah, dan yang seharusnya dan tidak seharusnya.

Bersama Orang Tua Kandung

- Kakak kandung FA memberikan nasehat dan pengarahan agar berperilaku sesuai tanpa ada paksaan.

(12)

Subjek Perilaku Asertif Faktor Pembentuk 4. Keyakinan pribadi

- Merasa mengalami perubahan dalam pola pikirnya ketika masih kecil dan saat remaja.

- FA yakin bahwa semua yang terjadi adalah rahasia Tuhan, suatu saat jika Tuhan mengijinkan, maka ia akan tahu dengan sendirinya.

- FA meyakini bahwa ada saat dimana dia bisa mengungkapkan berbagai perasaannya, dan ada saat dimana dia tidak dapat mengungkapkannya secara langsung. Semua FA dasarkan atas situasi dan kondisi di sekitarnya, terlebih lagi jika ingin mengatakan hal-hal yang bersifat sensitif.

- FA yakin apa yang dia lakukan adalah untuk kepentingan semua orang, termasuk dirinya

DISKUSI

Fenomena yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah fenomena remaja

yang berstatus anak angkat yang memutuskan untuk hidup kembali dengan orang tua

kandungnya. Kedua subjek yang digunakan adalah remaja yang berada pada masa remaja

madya (15-18 tahun), yakni DP yang berusia 17 tahun, dan FA yang berusia 18 tahun ketika

mengetahui statusnya bahwa mereka adalah anak angkat dan akhirnya memutuskan untuk

kembali hidup bersama orang tua kandungnya.

Kedua subjek mengalami perubahan dalam berperilaku, untuk dapat diterima dengan

baik oleh keluarga kandung. Salah satunya adalah dengan mengembangkan perilaku asertif

yang sebelumnya pernah mereka pelajari dan terapkan bersama dengan orang tua angkatnya.

Mereka melakukannya untuk dapat diterima oleh orang tua kandung melalui suatu proses.

Proses asertif yang terjadi pada kedua subjek adalah karena adanya pola asuh yang diterapkan

oleh orang tua angkat subjek. Orang tua angkat subjek yang pertama kali membentuk faktor

internal (yang melekat dalam diri) subjek saat ini. Pola asuh yang terintegrasi dengan faktor

internal subjeklah yang akhirnya menentukan karakteristik perilaku asertif pada diri subjek.

Adapun pola asuh yang diterapkan oleh orang tua ini, meliputi bentuk pola asuh yang

diterapkan, faktor hukuman, faktor modelling, dan faktor kesempatan yang diberikan orang

tua untuk mengembangkan perilaku yang sesuai. Sedangkan faktor intenal subjek meliputi

usia, pola pikir, cara pandang suatu masalah, dan faktor keyakinan pribadi. Adapun bagan

(13)

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak. Anak mempelajari berbagai

hal untuk pertama kali dari keluarga, dengan kata lain, sistem yang membentuk pribadi anak

adalah keluarga. Dari kepribadian yang terbentuk itulah yang nantinya juga akan menentukan

perilaku anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Harris (Marini dan Andriani, 2005), bahwa

kualitas perilaku asertif seseorang dipengaruhi oleh pengalaman yang berupa interaksi dengan

orang tua melalui pola asuh yang diterapkan dalam keluarga, dan menentukan pola respon

seseorang dalam menghadapi masalah.

Skema 1

Proses Terbentuknya Asertif pada Subjek DP

Skema 2

Proses Terbentuknya Asertif pada Subjek FA

Proses terbentuknya asertif pada kedua subjek pertama kali dimulai dan dipelajari dari

lingkungan keluarga yang berkaitan erat dengan pola asuh. Peneliti mencoba untuk lebih

memfokuskan pada interaksi antara orang tua dan anak, serta melihat pula bagaimana

asertifitas dapat terbentuk dilihat dari faktor-faktor dalam lingkup keluarga. Meskipun remaja

sangat berkaitan erat dengan adanya peer-group, namun kita tetap tidak dapat

mengesampingkan adanya peran orang tua dalam sistem keluarga. Hal ini dikarenakan orang

tua tetap memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian maupun perilaku atau sikap

pada remaja (Santrock, 2007). Selain itu, keluarga yang merupakan sistem sosial terkecil bagi

remaja tetap menuntut adanya interaksi antara orang tua dan remaja sehingga terjalin

hubungan yang harmonis diantara keduanya.

Orang tua angkat DP memberikan batasan-batasan yang jelas kepada seluruh

anak-anaknya mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dengan cara memberikan

bimbingan, namun tidak mengatur. Orang tua angkat DP selalu memberikan pengarahan dan

penjelasan mengenai bagaimana seharusnya berperilaku asertif. Pola asuh semacam ini

termasuk pada kategori pengasuhan autoritatif (Santrock, 2003). Pola asuh yang demikian

membuat DP memiliki lebih banyak jenis perilaku asertif saat bersama dengan orang tua

angkatnya dari pada saat bersama dengan orang tua kandungnya. Hal ini dikarenakan orang

tua angkat DP selalu memberikan kesempatan untuk dapat mengungkapkan pendapat

(14)

antara orang tua dan DP tinggi, sehingga DP dapat dengan leluasa untuk memulai suatu

pembicaraan.

Pola pengasuhan autoritatif ini, sangat mendukung salah satu tugas perkembangan

remaja madya, yakni seorang remaja mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber yang

ada pada dirinya (Agustiani, 2006). Semenjak remaja DP menjadi lebih jarang meminta

bantuan kepada orang tua karena merasa sanggup melakukan segala sesuatunya sendiri

sehingga orang tua-pun menetapkan bahwa mereka tidak akan membantu sebelum DP

meminta. Hal ini bentuk dari usaha orang tua dalam memberikan perhatian, mendidik, dan

menghargai kemandirian DP. Namun demikian, tidak serta merta orang tua meninggalkan DP,

melainkan memberitahukan kepada DP bahwa mereka siap membantu jika memang

membutuhkan bantuan. Hal ini yang mendasari bahwa DP bukan tidak asertif untuk meminta

bantuan, melainkan karena orang tua memberinya kesempatan mengembangkan apa yang ada

dalam dirinya untuk berusaha mandiri.

Berbeda hal-nya dengan DP, orang tua angkat FA lebih cenderung menggunakan

model pengasuhan permisif memanjakan (permissive-indulgement parenting). Menurut

Maccoby dan Martin (Santrock, 2003), orang tua sangat terlibat dengan subjek, tetapi sedikit

sekali menuntut atau mengendalikan mereka, sehingga yang terjadi adalah kurangnya

pengendalian diri pada diri subjek yang nampak dari cara yang digunakannya ketika marah

saat kanak-kanak. Hal ini mengakibatkan subjek FA memiliki karakteristik perilaku asertif

yang berbeda ketika tinggal dengan orang tua angkatnya. Hal ini sesuai dengan pendapat

Harris (Marini dan Andriani, 2005) bahwa kualitas perilaku asertif seseorang sangat

dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa

interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang akhirnya akan

menentukan pola respon subjek dalam menghadapi berbagai masalah setelah dia menjadi

remaja dan tinggal dengan orang tua kandungnya.

Proses yang kedua adalah pemberian contoh perilaku oleh orang tua atau modelling.

Modelling adalah salah satu cara belajar melalui proses mengamati dan meniru tingkah laku

dari orang disekitarnya (Galassi dan Galassi, 2002). Subjek meniru tingkah laku dari perilaku

yang ditunjukkan oleh orang tua yang merupakan figur otoritas dan sebagai teladan di rumah.

Proses modelling ini, dipelajari subjek untuk berperilaku asertif. Seperti yang telah tercantum

pada tabel 5, kedua subjek mempelajari bagaimana cara memuji untuk pertama kali adalah

dari orang tua angkatnya. Kedua subjek sering mendapatkan pujian dari orang tua angkat

ketika mereka berbuat baik atau menunjukkan prestasinya. Hal ini dipelajari dan dicontoh

(15)

melakukannya. Selain itu, FA juga dapat mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya secara

lisan karena orang tua angkatnya yang sering mengungkapkan rasa sayangnya pada FA.

Proses yang ketiga berlanjut dengan proses yang keempat, yakni keyakinan pribadi.

Keyakinan seseorang turut mempengaruhi penyesuaian dirinya dengan lingkungan (Rathus

dan Nevid, 2000). Keyakinan pula yang mendasari seseorang untuk menentukan tindakan

yang akan dilakukan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki kekhawatiran

sosial yang rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan

orang lain dan diri sendiri. Begitupula yang terjadi pada DP dan FA, meskipun bentuk

keyakinan yang ada pada diri mereka berbeda, namun tetap berpengaruh pada perkembangan

perilaku asertif mereka.

Subjek DP meyakini bahwa rasa hormatnya pada orang tua merupakan cerminan dari

rasa sayang dan cintanya, sehingga bentuk perilaku asertifnya yang memilih untuk

mengutarakan melalui perbuatan yang nyata dari pada hanya sekedar kata-kata. Keyakinan

pribadi dalam diri DP mendorongnya untuk tetap dapat mempertahankan haknya, dapat

menolak suatu permintaan dengan baik dan sopan, serta tidak mengalami kesulitan dalam

mengungkapkan pendapat pribadinya kepada orang tua angkat. Subjek FA juga mengalami

hal yang serupa dimana dia dapat menolak permintaan meskipun jarang dilakukannya karena

rasa baktinya pada orang tua. Ketika FA masih kanak-kanak, dia mempertahankan haknya

dengan cara tantrum. Namun ketika remaja, FA yakin bahwa cara tersebut adalah salah,

sehingga dia perlu untuk merubah cara yang digunakan agar dia tetap dapat menyampaikan

maksudnya tanpa harus melukai perasaan orang tua.

Proses kelima adalah terbentuknya perilaku asertif ketika tinggal dengan orang tua

angkat ang dapat terlhat pada tabel 1 di atas.

Proses keenam adalah dimana subjek mulai mengetahui statusnya sebagai anak

angkat. Antara subjek DP dan subjek FA memiliki perbedaan kisah proses mengetahui

statusnya hingga akhirnya memutuskan untuk tinggal dengan orang tua kandungnya. Pada

tahap ini, peneliti memasukkannya menjadi satu rangkaian proses. Pada subjek DP, orang tua

kandungnya-lah yang muncul menemuinya dan memintanya untuk hidup bersama. Proses

yang terjadi pada subjek DP, DP yang berusia 17 tahun berada pada masa remaja madya

(Santrock, 2003). Secara kognitif, remaja memiliki kemampuan berpikir yang baru dan

memungkinkan subjek berpikir abstrak, kontrafaktual (berlawanan menurut fakta), yang

memberikan peluang bagi DP untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya dalam

hidupnya. Dari masa kanak-kanak ke masa remaja terjadi perubahan pola pikir. Sehingga dari

(16)

menghadapi suatu masalah. Cara pandang subjek dalam menghadapi suatu masalah dapat

mempengaruhi keputusan subjek dalam bersikap. Pada tugas perkembangan remaja madya

menurut Konopka, Pikunas dan Ingersoll (Agustiani, 2006), remaja sudah lebih mampu

mengarahkan diri sendiri (self directed). Dalam hal ini ditunjukkan oleh DP yang berusaha

untuk ikhlas menerima statusnya dan menjalaninya dengan baik.

Secara psikososial DP untuk memilih dan memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya

dan seluruh orang tuanya ketika mengambil keputusan untuk ikut dengan orang tua kandung.

Hal ini merupakan bentuk dari autonomy Hill, dimana subjek berusaha mengurangi ikatan

emosional pada orang tua dengan cara menetapkan rasa nyaman dalam ketidaktergantungan

(Agustiani, 2006). DP mampu untuk mengambil keputusan secara mandiri untuk kepentingan

dirinya tanpa menyakiti atau melanggar hak orang tua kandungnya yang memiliki keinginan

baik untuk mengasuhnya, ataupun hak orang tua angkatnya untuk merasa sedikit teringankan

beban mereka.

Proses keenam pada subjek FA orang tua angkat memberitahukan mengenai

kebenaran akan statusnya sebagai anak angkat ketika dia masih kanak-kanak. Pada masa ini,

subjek belum begitu memahami apa yang dimaksudkan oleh kedua orang tuanya hingga

diberikan pemahaman yang dapat diterima oleh anak seusianya, sehingga tanggapan FA saat

itu tidak membuat orang tua khawatir. Ketika ibu angkatnya meninggal dan ayahnya yang

harus bekerja di luar negeri membuat FA kesepian dan membutuhkan kasih sayang dari orang

tuanya. FA yang sebelumnya telah mengetahui bahwa sebenarnya ibu kandungnya juga

berusaha menemuinya dan merupakan orang yang baik. Hal ini yang mendasari FA untuk

memutuskan ingin mencari orang tua kandungnya dan ingin hidup kembali dengan orang tua

kandungnya. Pengambilan keputusan pada FA didasarkan atas pengalamannya dan kebutuhan

akan kasih sayang.

FA yang berusia 18 tahun juga masuk dalam masa remaja madya (15-18 tahun).

Menurut Hill (Agustiani, 2006), remaja berkaitan erat dengan identitas diri atau identity.

Identity adalah mengemukakan dan mengerti siapa dirinya sebagai individu. FA yang

berstatus anak angkat ini, tidak berusaha untuk mencari pengakuan dari orang lain dan dari

lingkungan bahwa dirinya merupakan individu yang unik dan khusus, melainkan dia perlu

mengetahui dan mendapatkan pengakuan bahwa siapa sebenarnya dirinya, dan dari mana dia

berasal. Sehingga, hal ini yang mendasari bahwa dia merasa memiliki hak untuk mengenal

siapa dan bagaimana orang tua kandungnya dan berhak untuk menentukan jalan hidupnya.

Serupa dengan DP, FA memiliki perkembangan kognitif yang sama dimana FA telah

(17)

memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya dan seluruh orang tuanya ketika mengambil

keputusan untuk ikut dengan orang tua kandung. Hal ini juga merupakan salah satu dari

bentuk autonomy, dimana mereka mampu untuk mengambil keputusan secara mandiri untuk

kepentingan dirinya tanpa menyakiti atau melanggar hak orang tua kandungnya yang

memiliki keinginan baik untuk mengasuhnya, ataupun hak orang tua angkatnya untuk merasa

sedikit teringankan beban mereka. Selain itu, FA yang memutuskan untuk tinggal kembali

dengan ibu kandungnya karena ingin mengenal ibu kandungnya dan berbakti juga kepada ibu

yang telah melahirkannya merupakan bagian dari perkembagan psikososial pada remaja yang

bekaitan dengan intimacy. Terlihat dari usaha FA untuk menjalin kedekatan dengan ibu

kandungnya yang di dalamnya melibatkan keterbukaan, kejujuran, dan kepercayaan. Menurut

Maslow, hal ini merupakan bagian dari usaha FA untuk memenuhi kebutuhan akan kasih

sayang dan kebutuhan akan rasa aman (Alwisol, 2002).

Proses ketujuh adalah pola asuh orang tua kandung. Karena subjek telah memutuskan

untuk hidup kembali dengan orang tua kandungnya, maka kedua subjek dikenai sistem yang

berbeda dengan sebelumnya. Pola asuh merupakan salah satu sistem yang berubah. Pola asuh

yang diterapkan oleh orang tua kandung DP adalah kategori pengasuhan autoritatif (Santrock,

2003). Orang tua kandung DP memberikan batasan-batasan yang jelas kepada seluruh

anak-anaknya mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dengan cara memberikan

bimbingan, namun tidak mengatur. Orang tua angkat DP selalu memberikan pengarahan dan

penjelasan mengenai bagaimana seharusnya berperilaku asertif. Orang tua DP tidak pernah

melarang anak-anak mereka untuk mengungkapkan pendapatnya. Orang tua kandung DP

selalu menghargai kemandirian DP dalam pekerjaannya, namun tetap berusaha memberikan

bantuan jika DP benar-benar merasa mengalami kesulitan. Namun demikian, orang tua

kandung DP tetap menetapkan standart tanggung jawab kepada DP sebagai anak tertua untuk

memberikan contoh kepada adik-adiknya, serta tanggung jawab sebagai anak untuk berbakti,

berperilaku sopan, dan memberikan hasil yang terbaik dalam akademiknya.

Pola pengasuhan autoritatif ini, sebenarnya sangat mendukung salah satu tugas

perkembangan remaja madya, yakni seorang remaja mengandalkan kemampuan dan

sumber-sumber yang ada pada dirinya (Agustiani, 2006). Namun, jika tidak disertai dengan

komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, maka tidak dapat mendukung

berkembangnya asertifitas, terutama pada remaja yang tinggal dengan orang tua kandungnya

yang masih ‘baru’ dikenalnya.

Orang tua kandung FA lebih kepada pola pengasuhan permissive-indifferent parenting

(18)

FA merasa bahwa FA sudah besar sehingga dapat melakukan segala sesuatunya sendiri,

kecuali FA merasa tidak mampu, maka ibu akan membantu. Ibu FA juga tidak menetapkan

batasan-batasan yang jelas kepada FA dalam berperilaku, dan tidak menetapkan standart

tanggung jawab pada FA sebagai anak mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Pola

pengasuhan ini secara tidak langsung justru menuntut FA untuk dapat bertanggung jawab atas

dirinya sendiri. Karena dia merasa meskipun ibunya memberikan kebebasan tidak serta-merta

FA bebas. FA harus dapat mempertanggungjawabkan kebebasannya tersebut sesuai dengan

prinsip dan norma yang berlaku di rumah.

Proses kedelapan adalah keyakinan pribadi. Keyakinan seseorang turut mempengaruhi

penyesuaian dirinya dengan lingkungan (Rathus dan Nevid, 2000). Dan keyakinan pula yang

mendasari seseorang untuk mengambil suatu kuputusan dan menentukan tindakan yang akan

dilakukan. Berbeda dengan keyakinan yang sebelumnya, pada keyakinan pribadi ini, lebih

berkaitan dengan keyakinan saat menyikapi permasalahan yang dihadapi terkait dengan

statusnya yang telah berubah. Setiap individu memiliki keyakinan pribadi yang positif dan

negatif sesuai dengan pengalaman yang dihadapiya. DP meyakini bahwa jika kejadian yang

terjadi saat ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi dikemudian hari. Hal ini merupakan

bentuk dari pengalaman hidup yang didapat oleh DP selama tinggal bersama orang tua angkat

dan orang tua kandung. DP yang pernah mendapatkan pengalaman yang kurang

menyenangkan ketika harus memulai suatu pembicaraan dengan ayah kandungnya membuat

dia berpikir dan percaya bahwa akan terjadi hal yang sama ketika dia harus memulai

pembicaraan dengan ayah kandungnya lagi. Pengalaman ini yang membuat DP kesulitan

dalam memulai suatu pembicaraan.

Subjek FA tinggal dengan orang tua kandungnya, dia tidak pernah mempertahankan

haknya karena merasa tidak pernah dilanggar haknya. FA juga tetap dapat mengungkapkan

pendapatnya jika dirasanya benar dengan baik dan sopan. Sebagai pendorong dari seluruh

perilaku asertifnya, FA yang meyakini bahwa semua yang terjadi padanya adalah rahasia

Tuhan dan atas ijin Tuhan, merupakan cara baginya dalam memperkuat kontrol diri yang

didasarkan atas nilai-nilai religiusitas dan prinsip-prinsip keagamaan yang ada. Dengan

demikian, FA dapat mengurangi kekuatirannya mengenai permasalahan yang dihadapi dan

dapat menjadikannya pembelajaran untuk dapat lebih asertif lagi.

Proses yang terakhir adalah munculnya perilaku asertif kepada orang tua kandung

(19)

KESIMPULAN

Berperilaku asertif atau tidak asertif-nya kedua subjek dipengaruhi oleh faktor

modelling, faktor kesempatan mengembangkan perilaku, dan faktor keyakinan pribadi.

Proses terbentuknya perilaku asertif kedua subjek adalah karena adanya pola asuh

orang tua angkat. Pola asuh dimana orang tua memberikan kesempatan pada subjek untuk

mengembangkan perilaku dan disertai interaksi antara orang tua dan remaja memunculkan

perilaku modelling. Selanjutnya pola asuh akan terintegrasi dengan keyakinan pribadi untuk

mengungkapkan perasaannya, sehingga menentukan perilaku asertif pada remaja tersebut.

Adapun perilaku asertif yang muncul pada kedua subjek selama tingggal bersama

orang tua angkat dan kandungnya adalah sebagai berikut:

a. Subjek DP, memenuhi ketiga komponen dasar perilaku asertif. Adapun perilaku asertif saat

bersama orang tua angkat, dalam mengungkapkan perasaannya DP dapat melakukan

perilaku: memberikan pujian, meminta bantuan atau pertolongan, mengungkapkan rasa

cinta dan sayang, dan mengekspresikan kekecewaannya. Sedangkan saat bersama orang

tua kandungnya, DP hanya dapat mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya. Kemampuan

mengungkapkan pikiran dan keyakinan secara terbuka dapat dilakuakn DP baik saat

bersama orang tua kandung maupun orang tua angkatnya. Perilaku yang diterapkan adalah

memulai dan terlibat pembicaraan dan mengungkapkan pendapatnya. Namun, DP sedikit

mengalami kesulitan dalam memulai pembicaraan dengan ayah kandungnya. DP juga

mampu untuk mempertahankan hak pribadinya dan menolak permintaan baik dengan

orang tua kandung, maupun dengan orang tua angkat.

b. Subjek FA mengalami hal yang sama, dimana sama-sama memenuhi kriteria tiga

komponen dasar perilaku asertif saat bersama orang tua kandungmaupun dengan orang tua

angkat. Adapun perilaku asertif yang ada pada FA ketika tinggal dengan orang tua

angkatnya adalah, pada mengungkapkan perasaannya, FA dapat melakukan perilaku

memberikan pujian, meminta bantuan atau pertolongan, mengungkapkan rasa cinta dan

sayangnya, mengungkapkan kekecewaan dan mengekspresikan kemarahan. Sedangkan

ketika bersama orang tua kandung, FA tidak pernah mengungkapkan rasa marah karena

tidak pernah merasa marah. Kemampuan mengungkapkan pikiran dan keyakinan secara terbuka,

FA dapat memulai atau bahkan terlibat suatu perbincangan, serta mampu mengungkapkan

pendapatnya dalam keluarga baik saat bersama orang tua angkat maupun kandung.

Sedangkan dalam hal mempertahankan hak pribadi dan menolak permintaan, FA dapat

melakukannya. Namun, terdapat perbedaan dalam menerapkannya, khususnya perilaku

(20)

berbohong untuk menghindar. Saat bersama orang tua kandungnya, FA lebih jujur dalam

menolak dengan mengungkapkan alasannya menolak.

SARAN

Keluarga berperan penting bagi perkembangan remaja, khususnya dalam proses

asertivitas remaja yang berstatus anak angkat. Untuk itu, orang tua sebagai figur otoritas di

dalam lingkungan keluarga berperan besar untuk mengembangkannya agar remaja dapat

merasa yakin pada diri mereka sendiri bahwa orang tua sangat menyayanginya dan akan

memberikan yang terbaiknya. Sehingga, ketika remaja dapat lebih asertif saat berhubungan

dengan orang tua, remaja akan merasa lebih nyaman ketika bersama dan berkeluh kesah

dengan orang tua. Selanjutnya, remaja akan lebih mudah ketika mereka harus berinteraksi

dengan teman sebaya atau orang dewasa lainnya, dan ketika beranjak dewasa nantinya.

Perilaku asertif sangat penting bagi seorang individu dalam menjalin hubungan dengan

keluarga maupun dengan orang lain. Untuk itu, sebaiknya remaja perlu untuk terus

memperhatikan setiap perilakunya agar sesuai dengan yang diharapkan oleh keluarga maupun

masyarakat, serta mempelajari bagaimana berperilaku asertif dan selanjutnya,

mempraktekkannya setiap hari pada setiap orang agar tidak mengalami kesulitan ketika

menemui situasi yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, H. (2006). Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitanya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: Refika Aditama.

Alberti, R dan Emmons, R. (2002). Your Perfect Right: Panduan Praktis Hidup Lebih Ekspresif dan Jujur pada Diri Sendiri. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Alwisol. (2002). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Amy, N.G. (2011). Pengakuan Seorang Anak Angkat: Saya Lebih Kasih Keluarga Angkat Berbanding Ibu Bapa Kandung !!!. Diunduh http://lhakim-suarahati.blogspot.com/ diakses pada 6 Desember 2012.

Anonim. (2011). Kompasiana. Alasan Remaja Malas Berkomunikasi dengan Orang Tua. Diunduh http://kesehatan.kompasiana.com/ diakses pada tanggal 6 Desember 2012. Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Galassi, M. D dan Galassi, J. P. (2002). Assert Your Self: How To Be Own Person. New York: Human Sciences Press. Diunduh http://www.amazon.com/ diakses pada tanggal 8 Januari 2013.

Gunarsa, S. D. (2005). Seri Psikologi: Dari Anak sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai Psikologi Perkembangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

(21)

Marini, L dan Andriani, E. (2005). Perbedaan Asertivitas Remaja Ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua. Jurnal Psikologia Volume I No. 2 Desember. Sumatera Utara: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Diunduh http://repository.usu.ac.id/ diakses pada tanggal 8 Januari 2013.

Rathus, S. A. dan Nevid, J. S. (2000). Adjustment and Growth: The Challenges of Life (2nd ed). New York: CBS College Publising. Diunduh https://www.goodreads.com/ diakses pada tanggal 15 Januari 2013.

Riyono, P. (1999). Jangkauan Komunikasi. Bandung: Alumni.

Rosita, H. (2010). Hubungan antara Perilaku Asertif dengan Kepercayaan Diri pada Mahasiswa. Jurnal. Depok: Universitas Gunadarma.

Rusdijaya, Y. (2006). Komunikasi Orang Tua dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta.

Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja. Alih Bahasa: Adelar, Shinto B dan Saragih, Sherly. Jakarta: Erlangga.

_______________. (2007). Adolescence: Perkembangan Remaja. Alih Bahasa: Adelar, S. B. dan Saragih, S. Jakarta: Erlangga.

Sarjono, S. (2012). Oh Ternyata Aku Anak Angkat. Diunduh http://www.kadnet.org/ diakses pada 6 Desember 2012.

Setyowati, Y. (2005). Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada Keluarga Jawa. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 2, Nomor 1, Juni 2005. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD “APDM” Yogyakarta. Diunduh http://jurnal.uajy.ac.id/ diakses pada tanggal 9 Januari 2013. Smith, D. W. dan Brodzinsky, D. M. (1994). Stress and Coping in Adopted Children: A

Developmental Study. Journal of Clinical Psychology Vol. 23 No. 1. New Brunswick: Lawrence Erlbaum Associated. Diunduh http://mrkhcanada.files.wordpress.com/ diakses pada tanggal 9 Januari 2013.

Sundari, S. (2009). Hubungan Asertifitas terhadap Kekerasan Emosional pada Mahasiswi yang Berpacaran di Prodi D III Kebidanan Semester III STIK Avicenna Kendari-Sulawesi Tenggara. Skripsi. Malang: Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Supratiknya, A. (1995). Komunikasi Antar Pribadi: Tinjauan Psikologis. Yogyakarta: Kanisius.

Tjeppy. (2005). Pola Komunikasi dalam Keluarga. Jurnal Kependidikan. Cianjur: FKIP Universitas Suryakancana Cianjur. Diunduh http://www.gunadarma.ac.id/ diakses pada tanggal 9 Januari 2013.

Verderber, R. F. (1996). Communicate!. Edisi kedelapan. United State of America: Wadsworth Publishing Company. Diunduh http://www.amazon.com/ diakses pada tanggal 15 Januari 2013.

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Primer Koperasi Kepolisian Daerah Kalimantan Barat berkaitan dengan perlakukan akuntansi piutang sudah sesuai dengan

Oleh karena itu, para manajer dituntut untuk dapat memadukan pengetahuan mereka dalam pengambilan keputusan ekonomi dengan perundang-undangan yang berlaku agar

memiliki seorang apoteker. Dengan adanya apoteker lebih dari satu maka kegiatan pelayanan kefarmasian berjalan sesuai dengan ketentuan karena saat pelayanan kefarmasian

Pada penelitian ini digunakan imbal hasil rata-rata yang dihitung dimulai dari imbal hasil ( t-2 ). Oleh karena itu, penelitian ini membutuhkan perusahaan yang memiliki daftar

Sedangkan pada daging matang yang diberikan perlakuan penambahan dan pengganti secara signifikan menunjukan nilai expressible drip yang rendah atau memiliki daya ikat air

Dari pembahasan rumusan masalah di atas dapat disimpulkan, bahwa perlindungan hukum teerhadap anak jalanan dilakukan berbagai kebijakan oleh pemerintah yaitu dengan

dengan tindakan IV, yang dilakukan di kelas XI IIS B SMAN 5 Bandung mengenai “Peningkatan Motivasi Belajar Peserta Didik Melalui Model Pembelajaran Kooperatif