• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORMALISASI AGAMA DI TANAH KERAWANG GORO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FORMALISASI AGAMA DI TANAH KERAWANG GORO"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

FORMALISASI AGAMA DI TANAH KERAWANG GORONTALO

Samsi Pomalingo

Dosen di Universitas Negeri Gorontalo Peneliti Lepas

Formalisasi agama dengan alasan untuk menciptakan masyarakat yang Islami ternyata memiliki potensi yang besar untuk disalahgunakan sebagai alat untuk memberangus para oposan. Maraknya pembuatan perda syariat di sejumlah daerah yang ditakutkan sebagai awal untuk mengganti dasar negara kita menjadi negara Islam. Dalam sejarah formalisasi Islam, hal tersebut telah terbukti. Para oposan selalu dianggap kafir, zindiq, padahal bukan masalah kafirnya, tapi masalah kritisnya. Karena negaranya negara Islam, maka yang menentang Islam berarti kafir, Korbannya banyak, Hallaj dibunuh karena dibelakangnya ada orang-orang yang teraniaya, orang kulit hitam yang didholimi. Salah seorang pujangga, Sholeh bin Abdul Kuddus, juga jadi korban. Abdullah bin Mukoffak juga dibunuh dengan alasan kafir karena menentang negara.Islam.Kalau ada yang mengkritik pemerintah dianggap kafir, zindik karena menentang pemerintah Islam. Padahal bukan masalah agama, tetapi masalah perilaku penguasa yang tidak benar. Senjata yang paling efektif itu agama.

Secara teoretis A Ubaedillah mengklasifikasikan hubungan Islam dan negara ke dalam tiga paradigma. Pertama, Paradigma integralistik, suatu pandangan teokrasi Islam yang menganut paham bahwa konsep agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu dan tidak mengenal pemisahan Din dan daulah di atas. Pola hubungan integrative ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-agama negara yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hokum dan prinsip keagamaan.

Kedua, paradigma simbolik, hubungan agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbale balik. Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrument untuk melestarikan dan mengembangkan agama. Demikian pula sebaliknya, negara juga memerlukan agama dalam pembinaan moral, etika dan spirit warga negaranya. Ketiga, paradigma sekularistik, pangan yang memisahkan dengan jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan masing-masing memiliki garapan sendiri, sehingga keberadaanya harus dipisahkan dan tidak boleh ada intervensi satu sama lain.

Otonomi daerah yang diharapkan bisa mengembangkan demokrasi di tingkatan lokal tampaknya justru memberikan ruang kebebasan bagi penguatan identitas lokal yang mengarah pada formalisasi agama. Paradigma yang dibangun A Ubaedillah itu akan jelas terlihat dari latar belakang munculnya regulasi agama yang dikemas dalam peraturan daerah (Perda) syariah. Perda-perda agama ini sudah mulai muncul di sejumlah kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk muslim mayoritas.

Catatan gelaja munculnya Perda Syariah yang dibuat Sosiolog UGM Arie Sujito menjelaskan ruang liberalisasi yang terbuka melalui pintu otonomi daerah merupakan jalan untuk mengembalikan otentitas budaya dalam rangka membangkitkan formalisasi syariat Islam di Indonesisa yang dimanivestasikan dalam bentuk Perda atau kebijakan-kebijakan sejenis, seperti yang dterjadi di tiga provinsi, yakni Kalimantan Selatan (Kota

(2)

Banjarmasin, Kabupaten Banjar, dan Hulu Sungai Utara), Sulawesi Selatan (Bulukumba) dan Nusa Tenggara Barat (Mataram, Lombok Timur, dan Dompu).

Seperti di Bulukumba Sulawesi Selatan, setidaknya ada empat Perda Syariah, yakni Perda Nomor 03/2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Keras (Miras), Perda Nomor 02/2003 tentang Pengelolaan Zakat profesi, Infaq dan Shadaqah, Perda Nomor 05/2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah dan Perda Nomor 06/2003 tentang pandai Baca Tulis Al-Quran bagi siswa dan calon pengantin. Bahkan sampai di tingkat desa/kelurahan percontohan penerapan syariat Islam juga dibentuk Peraturan Desa (Perdes) Nomor 05/2006 tentang Pemberlakuan Hukum Cambuk.

Pemberlakukan Perda syariah di Bulukamba tersebut ternyata bukan dalam konteks demokratisasi local, melainkan sebagai kebutuhan karena di daerah itu memiliki penduduk muslim mayoritas. Hal ini tentunya menjadi persoalan yang kontrovesial, karena demokrasi local bisa mengalami kemunduran ketika basis kelompok lebih menebal dengan mengabaikan keberagamaan kultural. Secara sosiologi, masyarakat Bulukumba sangat plural, mengingat banyaknya praktik-pratik keber-islam-an di wilayah itu dengan adanya sejumlah aliran tarekatnya, seperti Khlwatiah dan Naqasabandiyah. Berbeda dengan formalisasi agama di Kelimantan Selatan yang mengeluarkan empat Perda Syariah dan satu surat edaran (SE). Pembuatan Perda Syariah di wilayah ini dianggap telah meningkatkan citra Kota Martapura dan hampir semua kabupaten/kota di provinsi ini terdorong untuk mengikuti jejak tersebut. Klaim jumlah penduduk muslim mayoritas tetap menjadi alasan pembuatan Perda ini, selain ada aspek histori kerajaan Islam Banjar yang pernah malahirkan Undang-undang Sultan Adam (UUSA).

Ada alasan lain yang lebih mendasar mengapa Perda Syariah ini muncul, yakni karena hukum positif di Indonesia dianggap tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan degradasi moral. Dasar ini dipakai Pemerintah Kota Mataram, NTB guna menerbitkan Perda Renstra Nomor 1/2001 tentang Visi Kota Mataram 2015 sebagai Kota Ibadah yang Maju dan Religius. Munculnya persoalan Perda Syariah ini kemungkinan juga akan terjadi di sejumlah kabupaten/kota di Jawa, termasuk di Kota Solo. Jika kembali pada paradigma A Ubaedillah tersebut, munculnya Perda-Perda Syariah itu memberikan penjelasan bahwa arah kebijakan pemerintah daerah di daerah berpenduduk muslim mayoritas cenderung menggunakan paradigma integralistik, di mana urusan agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Meskipun kebijakan tersebut lebih bersifat elitis sebagai manifestasi dari kepentingan elit politik di daerah tersebut dengan memanfaatkan semangat otonomi daerah

Di Gorontalo beberapa PERDA Syariah telah diberlakukan, Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 tahun 2003 tentang pencegahan maksiat, Peraturan Daerah (Perda) Baca Tulis Al-Qur’an No 22 Tahun 2005, dan Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No 10 Tahun 2003 mengenai penerapan antara lain setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya pada selang waktu pukul 24:00.

Beberapa Peraturan Daerah di atas telah diberlakukan dalam rangka mencegah kemaksiatan (nahi munkar), dan perintah untuk melaksanakan amar ma’ruf. Asumsi penulis, latar belakang lahirnya PERDA di atas didasarkan pada falsafah hidup masyarakat Gorontalo yang berbunyi “Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah”. Falsafah ini kemudian menjadi identitas cultural masyarakat Gorontalo yang

(3)

harus mewarnai perilaku sosial-budaya masyarakatnya. Dialektika fundamental nilai-nilai kebudayaan masyarakat Gorontalo benar-benar di-”PAKSAKAN” agar terkesan bahwa Gorontalo sebagai daerah ”Serambi Madinah” yang harus merealisasikan dan mengejawentahakn nilai-nilai ke-Islman-an dan Qur’aniyah dalam segala aspek kehidupannya. Pertanyaannya..apakah dengan diberlakukannya ketiga Perda tersebut dilihat dari usia lahirnya Perda telah menghilangkan sedikit persoalan sosial di dalam masyarakat Gorontalo? Apakah masyarakat dengan penuh kesadaran telah melaksanakan ketiga Perda tersebut? Bagaimana dengan pengambil kebijakan yang telah merumuskan dan memutuskan Perda tersebut dengan telah memakan anggaran yang tidak sedikit? Ataukah Perda ini hanya dijadikan sebagai ”instrumen” dari bentuk keseriusan Pemerintah Gorontalo dalam memerangi kemaksiatan? Ataukah justru gejala ini memperlihatkan Wajah Gorontalo menuju pemberlakuan Syari’at Islam di tanah Kerawang?

Hal yang aneh dan menggelitik pikiran sebagian warga masyarakat Gorontalo termasuk penulis ketika adanya kunjungan mendadak oleh Pemerintah Kota Gorontalo di satu instansi pada hari dimana diberlakukannya aktivitas atau ritual baca Quran, ternyata banyak dari pegawai yang ditemukan sedang tidak melaksanakan kegiatan tersebut. Pertanyaan kemudian, bagaimana dengan masyarakatnya. Hal yang sama kita masih menjumpai tidak sedikit dari kalangan perempuan yang berjalan ditengah malam atau melakukan aktivitas tengah malam bukan dengan muhrimnya. Bahkan ritual porno masih sering terjadi diwaktu-waktu tertentu dan di tempat-tempat tertentu. Siapakah yang bertanggungjawab menangani kasus seperti itu. Ataukah ini adalah cara yang ditempuh untuk memperlihatkan kepada masyarakat non pribumi bahwa Gorontalo adalah daerah yang Islami dengan membentuk Kota Gorontalo sebagai Kota Madrasah yang telah berasil melahirkan PUTRA-PUTRI ISLAM BERPRESTASI.

Berprestasi dalam bidang moralkah, ataukah indikator dari prestasi adalah kehebatan mengolah vokal ketika menyanyikan lagu-lagu Islami? Rasanya lucu dan malu menjadi warga Gorontalo yang terjebak pada simbolisme agama. Hal terpenting dari semua itu adalah substansi dan bukan simbol. Gorontalo sebagai serambi madinah adalah bagian dari simbolisme agama yang justru tidak terlihat perubahan baru dalam kehidupan masyarakat Gorontalo yang bermukim di serambi Madinah. Perilaku saling mengejek, menjatuhkan (tutuhiya), tidak mau menerima krikit, dan sikap sombong selalu nampak dari perilaku dan wajah masyarakat Gorontalo kita.

Gorontalo dan seluruh stakholder haruslah berkaca dari beberapa daerah yang telah menerapkan PERDA SYARI’AT seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya. Bangunlah dari ketertiduran dan mimpi yang berlebih-lebihan. Apa yang telah dibuat dari perda tersebut, semata-mata tidak menyenangkan Tuhan, justru yang kita lakukan adalah menipu Tuhan dengan segala simbol-simbol yang telah diperbuat. Tuhan merasa dipermainkan dengan aturan-aturan yang sama sekali melecehkan al Quran sebagai kitab rujukan dibuatnya Perda tersebut. Keinginan untuk melakukan AYATISASI dalam segala aspek kehidupan manusia suatu hal yang mustahil kalau itu diatur dalam perda. Apalagi memimpikan Gorontalo menjadi sebuah daerah yang Islami, itu suatu ilusi, terlebih menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam, itu juga ilusi. Bagaimana kemaksiatan atau kemungkaran bisa berakhir sementara para pengambil kebijakan justru senang melakukan kemungkaran, ini sesuatu yang ironi.

Referensi

Dokumen terkait

• Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon adalah suami istri yang telah menikah sekitar bulan Desember 2006 di Kabupaten Lombok Barat karena saksi turut

Ladhan olahraga dengan intensitas sedang yang dilakukan 3 kali seminggu selama 15-60 menit merupakan terapi efekuf untuk hipertensi ringan sampai sedang, dengan demikian,

Gencatan senjata yang telah terjadi diantara Korea Utara dan Korea Selatan pada tahun 1953 berakhir pada suatu keputusan, yaitu adanya pengakhiran perang setelah

Pada Tabel 20 item angket 20 diperoleh bahwa 48,57% siswa atau hampir setengahnya siswa sangat setuju tujuan siswa mengikuti bimbingan belajar adalah untuk dapat

Strain, sprain lumbal (70%) Fraktur osteoporotik (4%) Fraktur traumatik (<1%) Penyakit kongenital(<1%): kifosis/skoliosis berat vertebra

Portal merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian struktur yang saling berhubungan dan berfungsi untuk menahan beban sabagai satu kesatuan yang lengkap. Portal

Sehingga, kebijakan bayaran Wegmans bertujuan untuk menghasilkan jenis perilaku karyawan yang tepat seperti yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai sasaran strategis

14.1 Manual Pengoperasian Generic Container Cargo Ship- Ship Stability Floating Simulator 14.2 Manual Perawatan Generic Container Cargo Ship-Ship Stability Floating Simulator