1. Gambaran Umum Pendidikan Kejuruan a. Pengertian Pendidikan Kejuruan
Menurut Evans (1978) dalam Wardiman Djojonegoro (1998:33), mendefinisikan pendidikan kejuruan sebagai bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan dibanding bidang-bidang pekerjaan lainnya. Artinya, setiap bidang studi adalah pendidikan kejuruan sepanjang bidang studi tersebut dipelajari lebih mendalam dibanding bidang studi lainnya dan kedalaman itu sebagai bekal memasuki dunia kerja.
Clarke & Winchh (2007:62)”vocational education : international opproaches, development and system. New York:Routledge) menyatakan vocational education is about the social development of labour, about marturing , advancing and reproducing particular qualities of labour to improve the productive capacity of society,” yang artinya
bahwa pendidikan kejuruan berhubungan dengan pengembangan sosial ketenegakerjaan, berhubungan dengan mendidik, memejukan dan memperbanyak kualitas tenaga kerja tertentu dalam meningkatkan produktivitas masyarakat.
American Vocational association (AVA) mendefinisikan “vocational education as education designed to develop skills, abilities, understanding, attitudes, work habbit, and
apresiasi yang diperlukan oleh pekerja untuk masuk dan membuat kemajuan dalam pekerjaan atas dasar produktif dan manfaat.
Selanjutnya menurut Adhikary, P.K. (2005) mendefinisikan pendidikan kejuruan sebagai pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan, kemampuan/kecakapan, pemahaman, sikap, kebiasaan-kebiasaan kerja, dan apresiasi yang diperlukan oleh pekerja dalam mamasuki pekerjaan dan membuat kemajuan-kemajuan dalam pekerjaan penuh makna dan produktif. Sementara menurut Pavlova (2009) tradisi dari pendidikan kejuruan adalah menyiapkan siswa untuk bekerja.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang pendidikan kejuruan di atas dapat di simpulkan, bahwa pendidikan kejuruan merupakan sistem pendidikan yang mempersiapkan peserta didik agar mampu bekerja pada bidang keahlian tertentu dan mempersiapkan peserta didik agar mampu bekerja pada bidang keahlian tertentu dan mempersiapkan peserta didiknya untuk memasuki dunia kerja. Jadi, pendidikan kejuruan lebih menekankan belajar dengan melakukan dan belajar dengan pengalaman langsung. pendidikan kejuruan membantu dunia usaha dan industri untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil sesuai dengan kebutuhan industri.
b. Posisi Pendidikan Teknologi kejuruan terhadap masalah sosial di Indonesia
pemerintah untuk menyiapkan pekerja memiliki kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan (Chinien, C. and Singh, M.).
Sistem pendidikan kejuruan membantu para pemuda penganggur dan pencari kerja mengurangi beban pendidikan tinggi, menarik investasi luar negeri, meyakinkan penghasilan dan pekerjaan yang meningkat, menekan kesenjangan di antara kaum kaya dan kaum miskin (Gill, Dar, Fluitman, Ran, 2000: 1). Namun banyak catatan bahwa harapan-harapan ini masih sebagai impian dibandingkan sebagai kenyataan.
Selain itu Miller (1986) memberikan 10 prinsip pendidikan kejuruan dikaitkan dengan masyarakat (people) sebagai berikut:
a. Bimbingan
Bimbingan merupakan unsur yang penting dalam pendidikan kejuruan. Lembaga pendidikan dan kejuruan diharapkan bisa memberikan bimbangan dan tuntunan kepada masyarakat sekitar dalam memecahkan maslah hidup dan kehidupannya. b. Belajar seumur hidup
Prinsip belajar seumur hidup atau terus menerus dapat diterapkan pada pendidikan kejuruan karena pendidikan kejuruan harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
c. Memenuhi kebutuhan masyarakat
Pendidikan kejuruan harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat baik secara individu, masyarakat maupun nasional.
Pendidikan kejuruan terbuka bagi semua lapisan masayarakat tanpa terkecuali, tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin, pria dan wanita.
e. Penempatan
Bukan hanya melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi, pendidikan kejuruan juga bertanggung jawab untuk dalam penempatan lulusannya untuk menduduki berbagai bidang pekerjaan dalam kehidupannya sesuai dengan kompetensinya. f. Perbedaan peran jenis kelamin
Pendidikan kejuruan dapat berperan menghilangkan anggapan salah sebagian masyarakat bahwa pendidikan kejuruan hanya untuk kaum pria saja. Sesuai dengan prinsip sebelumnya bahwa pendidikan kejuruan tidak membedakan antara pria dan wanita.
g. Individu dengan kebutuhan khusus dilayani melalui pendidikan kejuruan
Sebagian individu/ masyarakat memiliki kebutuhan khusus yang berbeda dengan yang lain. Hal ini dapat dilayani melalui pendidikan kejuruan.
h. Organisasi siswa adalah suatu corak pendidikan kejuruan integral Melalui pendidikan kejuruan dapat dibentuk organisasi siswa secara integral.
i. Guru pendidikan kejuruan merupakan guru pendidikan profesi dan jabatan. Guru merupakan komponen utama dan penting dalam pendidikan kejuruan. Oleh sebab itu guru harus memiliki kompetensi khusus dalam bidang yang diajarkannya (kompetensi akademik) dan mengetahui bagaimana cara mengajar (kompetensi pedagogik).
pandangan hidup kerja. Melalui pendidikan kejuruan siswa dilatih untuk meningkatkan etos kerjanya, prestasi kerjanya dan pada gilirannya dapat mencapai produktivitas yang tinggi.
Dalam kaitannya dengan prinsip pengajaran pendidikan kejuruan, Miller juga memberikan 8 prinsip sebagai berikut:
a. Kesadaran akan karir adalah bagian penting dalam pendidikan kejuruan khususnya pada proses awal pendidikan itu sendiri.
b. Pendidikan kejuruan merupakan pendikan yang menyeluruh dan merupakan bagian dari masyarakat (public system).
c. Kurikulum dalam pendidikan kejuruan berdasarkan atas kebutuhan dunia kerja/ dunia industri.
d. Jabatan atu pekerjaaan dalam kelompok/ keluarga sebagai salah satu pengembangan kurikulum pendidikan kejuruan khususnya pada tingkat menengah.
e. Inovasi merupakan bagian yang sangat ditekankan dalam pendidikan kejuruan. f. Seseorang dipersiapkan untuk dapat memasuki dunia kerja melalui pendidikan
kejuruan.
g. Keselamatan kerja merupakan unsur penting dalam pendidikan kejuruan.
h. Pengawasan dalam peningkatan pengalaman okupasi/ pekerjaan dapat dilakukan melalui pendidikan kejuruan.
setelah selesai menempuh pendidikan. Walaupun pada kenyataannya di Negara Indonesia pengoptimalan pendidikan kejuruan belum maksimal.
Adhikary, P.K. (2005). Educational Reform For Linking Skills Development With Employment In Nepal. In M. SINGH (Eds.), Meeting Basic Learning Needs in the Informal Sector Integrating Education and Training for Decent Work, Empowerment and Citizenship (pp. 215-228). Hamburg, Germany: UNESCO Institute for Education.
Bijou, S.W. (1990). History and educational applications of behaviouralism. The Encyclopedia of Human Development and Education Theory, Research, and Studies, ed. R.M. Thomas, Pergamon Press, Oxford
Billett, Stephen.(1994). Situated Learning - A Workplace Experience. Australian Journal of Adult and Community Education, 34 (2) 112-130 1994
Billett, S., McCann, A. & Scott, K. 1998 Workplace Mentoring: Organising and Managing Effective Practice Centre for Learning and Work Research. Griffith University
Boud, D. & Solomon, N. (eds). (2001). Work Base Leraning: a New Higher education? Open University Press.
Brealey, RA Myers, S.C., dan Marcus A.J, (1999). Fundamentals of Corporate Finance. (3th edition). USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Broady, E. and Dwyer, (2008). Bringing the Learner Back Into the Process: Identifying Learner Strategies for Grammatical Development in Independent Language Learning. In Singleton, D. (eds.), Language Learning Strategies in Independent Settings: Second Language Acquisition (pp. 141-158). UK: British Library.
Bungin, Burhan. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Byram, H.M. & Wenrich, R.C., (1956). Vocational education and practical arts in the
community school. New York: The Macmillan Company.
Cunningham, Ian., dkk. (2004). The Handbook of Work Based Learning. England: Gower Publishing Limited
Depdiknas. (2005). Peraturan Pemerintah RI nomor 19, tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan.
Depdiknas. (2007) Kurikulum KTSP 2007. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK.
Djojonegoro, Wardiman. (1998). Pengembangan Sumberdaya Manusia Melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jakarta: PT Balai Pustaka.
E. Mulyasa. (2006). Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK. Cetakan Kesepuluh. Bandung: Remaja Rosdakarya.
E. Mulyasa. (2008). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Cetakan Kesebelas. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Finlay, I., Niven, S.,& Young, S. (1998). Changing Vocational Education and Training an International Comparative Perspective .London: Routledge.
Gill, I.S., Fluitman, F.,& Dar, A. (2000). Vocational Education and Training Reform, Matching Skills to Markets and Budgets.Washington: Oxford University Press.
Herman, D. I. (2007). Perkembangan Kelistrikan Indonesia dan Kebutuhan Sarjana Teknik Elektro. Pertemuan Nasional Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Teknik Elektro Indonesia.
Jacobs, R. L. (2003). Structured on-the-job training: Unleashing employee expertise in the workplace. San Fransisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc.
Kozlowski, S and Salas, E. (2009). Learning, Training, and Development in Organizations (SIOP Organizational Frontiers Series). New York: Routledge.
Lave, J. & Wenger, E. (1991). Situated Learning—Legitimate Peripheral Participation. Cambridge University Press, Cambridge.
Mardiyah, Siti Umi Khayatun dan Supriyadi, Edy. (2013). Evaluasi Praktik Kerja Industri Kompetensi Keahlian Pemasaran SMKN 1 Pengasih, Kulon Progo, Jurnal Pendidikan Vokasi, Vol 3, Nomor 3, November 2013.
Mason, J.(2006). Qualitative Researching. London: SAGE Publications Ltd.
Miswardi, Y. dan Pardjono. (2013). Proses dan Hasil Belajar pada Prakerind Bidang Keahlian Kendaraan Ringan: Studi Kasus pada Industri Pasangan SMKN 3 Yogyakarta, Jurnal Pendidikan Vokasi Vol 3, Nomor 2, Juni 2013.
Noe, R. (2010). Employee Training and Development Fifth Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Noeng Muhadjir. H. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif (Rev. Ed.3). Yogyakarta: Sarasin. OECD. (2010). Innovative Workplaces: Making Better Use of Skills within Organisations. OECD
Publishing.
O’Reilly, K. (2005). Ethnographic Methods. USA: Routledge (Zoebir, 2008).
Pane, R. A. (2006). Studi Komparasi Kesiapan Kerja Siswa SMK Sebelum Dan Sesudah Praktik Kerja Industri. Tesis Magister, Tidak Diterbitkan, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Pavlova M. (2009). The Vocationalization of Secondary Education: The Relationships between Vocational and Technology Education. In R. Maclean, D. Wilson, & C. Chinien (Eds.), International Handbook of Education for the Changing World of Work, Bridging Academic and Vocational Learning (pp. 1805-1822).Germany: Springer.
Purba, M. (2009). Teropong Wajah SMK di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK. Sandberg, J. (2009). Understanding of Work: The Basis for Competence Development. In
Christine R. Velde (ed.), International Perspectives on Competence in the Workplace: Implications for Research, Policy and Practice (p. 3-20). New York: Springer.
Sanghi, S. (2007). Handbook of competency mapping. Singapore: Sage Publications Asia-Pacific Pte Ltd.