• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Sosial dan Keagamaan walisongo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnal Sosial dan Keagamaan walisongo "

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Membuka Cakrawala

Menghunus Waktu

Menyelami Dimensi

Menebas Jarak

Menyelami Sukma

Menadah Embun

(4)

MOMENTUM

Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Keagamaan

Volume 3, Nomor 01, Mei 2013

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB)

BANYUWANGI

MOMENTUM adalah publikasi ilmiah enam bulanan yang memfokuskan kepada isu-isu sosial dan keagamaan. Naskah artikel dalan jurnal ini dihasilkan dari penelitian empirik dan penelitian konseptual (hasil refleksi kritis atas suatu konsep atau teori tertentu). Jurnal MOMENTUM diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi.

Redaksi menerima dan mengundang berbagai kalangan baik dosen, mahasiswa, cendikia, peneliti ataupun para pemikir yang ingin menumpahkan ide-ide kreatif, inovatif dan solutif-nya dalam upaya mengembangkan khazanah ilmu sosial dan keagamaan.

Alamat Redaksi: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Bakti Indonesia (UBI)

Kampus Terpadu Bumi Cempokosari No. 40 Cluring-Banyuwangi Telp. 0333-392720, Fax. 0333-392216

E-Mail: lppm_stib@yahoo.com dadangprmn@gmail.com

Pelindung

Drs. H. Teguh Sumarno, MM

Penasehat

Dra. Hj. Isnaiwati, M.Pd

Penanggung Jawab

Drs. Suyitno, M.Pd

Ketua Redaksi

Dadang Aji P, S.Fil.I., M.Hum.

Wakil Ketua Redaksi

M. Amir Mahmud, S.H.I., MA

Redaktur Pelaksana

Agus Sultoni, S.Fil.I., M.S.I

Penyunting

Dr. Hasyim Ashari, M.S.I Umi Najikhah Fikriyati, MA Vaesol Wahyu Eka, S.Pd.I., M.Pd.I Hendro Juwono, ST., MM

Bendahara

Didik Subiyanto, S.Sos

Layout dan Desain

Sultoni, SS Wisnu Utomo

Distributor

(5)

Satu kalimat indah yang pantas diucapkan adalah “Syukur Alhamdulillah”. Atas Ridla dan Rahmat Allah SWT yang menaungi segala keterbatasan yang melekat pada diri kami, akhirnya jurnal Volume. 03, Nomor 01 Mei 2013 yang ditunggu-tunggu ini bisa terbit sesuai dengan waktunya. Di awal perencanaan, kami menginginkan jurnal yang terbit ini memfokuskan kepada enam isu global yang dikaitkan dengan problematika keagamaan masyarakat, yaitu Demokrasi, Ekologi, HAM, Gender, Globalisasi, serta Integrasi Sains dan Agama, namun, keinginan tersebut belum mampu terpenuhi secara paripurna karena berbagai alasan. Kendati demikian, kami telah menyeleksi tulisan-tulisan yang memenuhi standar redaksi dan masuk dalam isu-isu yang telah kami tentukan.

Sebagaimana, edisi sebelumnya, pada jurnal Momentum edisi ini ada tujuh tulisan yang dimuat. Tulisan pertama berbicara masalah Wilayat al-Faqih, model idiologis yang menjadi basis konstitusi negara Republik Islam Iran. Dalam tulisan ini Asy„ari mengupas bagaimana perjuangan dan dedikasi Ayatullah Imam Khomeini dalam merumuskan konsep Wilayat al-Faqih sebagai basis konstitusi negara yang tidak lepas dari doktrin agama Islam, tepatnya peran aktif ulama dalam negara. Tulisan ini cukup representatif dalam menjelaskan sejarah kemunculan, kemandirian dan perkembangan Iran menjadi satu-satunya negara yang mampu menyaingi negara-negara barat yang berbasis demokrasi.

Pada tulisan kedua, masuk pada isu gender. Dalam artikelnya yang berjudul “Keadilan dan Kesetaraan Gender Jalan Surga untuk Kita Semua“, Ahmad Sarkawi menjelaskan secara detil bagaimana budaya patriarkhi membentuk wacana, persepsi dan konsepsi masyarakat tentang posisi dan status perempuan sebagai second sex dan objek ekploitatif. Tidak hanya itu, ia juga menjelaskan bagaimana budaya patriarkhi telah mendominasi dan mengkooptasi model-model penafsiran kitab suci, yang tidak sedikit dari hasil penafsirannya itu mendeskriditkan peran wanita, dan bahkan mereduksi makna kitab suci itu sendiri.

Di tulisan ketiga,“Agama dalam Kerangkeng Konstitusi dan Perundang-Undangan: Telaah Kritis Atas Resolusi Konflik Pemerintah Bagi Ahmadiyah“, Surya Adi Saputra mengkritisi perundang-undangan yang telah ditetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam memutuskan resolusi konflik antar pemeluk agama. Ia secara khusus mengkritisi perundang-undangan itu dalam kaitannya dengan penuntasan kasus-kasus hukum pelaku tindak kekerasan kepada jemaat Ahmadiyah. Tulisan ini memberi warna baru dalam menelaah dan mengkritisi perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan resolusi konflik.

(6)

Tulisan kelima adalah “Pemenuhan Hak Perempuan Sebagai Saksi dalam Islam”. Artikel yang ditulis oleh Ashabul Fadhli ini mengajak kita untuk meninjau ulang sisi maskulinitas dan femininitas dalam permasalahan status persaksian perempuan yang telah dibakukan oleh para Fuqaha terdahulu. Tulisan ini cukup menarik karena berupaya mendekonstruksi kembali konsep-konsep para ulama fiqh terdahulu yang sudah terjerat oleh gurita budaya patriarkhi. Dalam tulisan ini, Fadhli memprovokasi kita untuk menelaah kembali bagaimana seharusnya kita memahami teks-teks keagamaan yang berkaitan dengan masalah status persaksian para wanita yang sesuai

dengan Syari‟at Islam.

Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Alternatif” menjadi tulisan keenam yang tidak kalah penting. Dalam artikel ini, Abdul Muis menstimulus kita untuk membaca ulang tentang eksistensi dan peran aktif pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan sekaligus lembaga sosial yang memiliki peranan penting dalam mencetak kader-kader bangsa. Eksistensi pesantren yang seringkali distigmakan hanya sebagai bengkel akhlak, oleh Muis dianggap sebagai pemikiran yang dangkal. Baginya, pesantren adalah solusi dan model pendidikan terbaik bagi masyarakat Indonesia karena dalam sejarah kemunculannya pesantren merupakan inkubator potensial untuk mencetak generasi bangsa yang cerdas secara intelektual, sosial dan spiritual.

Artikel terakhir ditulis oleh Syaibatul Hamdi. Naskah artikel yang berjudul “Pidana Cambuk bagi Pelanggar Maisir di Aceh dalam Perspektif HAM” menjadi wacana penutup dari jurnal ini. Sekalipun demikian, bukan berarti tulisan ini tidak berbobot. Melalui tulisan ini para pembaca akan mendapat informasi yang banyak mengenai perkembangan wacana HAM di Aceh yang sudah berstatus sebagai wilayah otonom yang berbasis Syari’at Islam. Melalui tulisan ini pula para

pembaca akan mengerti bagaimana proses penerapan Syari‟at Islam di Aceh dan berbagai

permasalahan krusialnya ketika dibenturkan dengan konsep HAM, utamanya dalam permasalahan pidana cambuk bagi pelanggar Maisir.

Di atas semua wacana itu, perlu disadari bahwa dalam proses penyusunan jurnal ini banyak orang yang terlibat, dan mereka semua rela meluangkan waktu dan energi yang secara khusus dicurahkan demi jihad ilmiah (transformasi ilmiah). Karena itu, tidak sempurna jika tidak menorehkan nama-nama mereka yang terlibat dan berperan aktif hingga jurnal ini diterbitkan. Dengan segala kerendahan hati, kami haturkan terima kasih kepada pembina dan ketua Yayasan Puspa Dunia, Drs. H.Teguh Sumarno, MM., dan Dra. Hj. Isnaeniwati, M.Pd, yang telah mem-back up kami baik secara finansial maupun emosional. Pun, kepada ketua Sekolah Tingi Islam Blambangan (STIB), Drs. Suyitno, M.Pd, yang dengan segala kesibukannya rela meluangkan waktu untuk terus memantau proses penyusunan jurnal ini dari awal hingga akhir. (semoga keridhoan Allah senantiasa mengiringi di setiap derap langkah mereka. Amin!).

(7)

menorehkan nama-namanya dalam pengantar ini. Tidak lupa juga kepada para penulis dihaturkan terima kasih atas partisipasinya. (semoga keridhoan Allah senantiasa mengiringi di setiap derap langkah mereka. Amin!).

Wal akhir, kami sangat menyadari akan segala keterbatasan dan kekurangan dalam jurnal ini, oleh karena itu, saran dan kritik membangun selalu kami harapkan demi kebaikan semuanya.

(8)

MOMENTUM

Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Keagamaan

Volume.. 03, Nomor 01 Mei 2013

D A F T A R I S I

Halaman

DEWAN REDAKSI

PENGANTAR REDAKSI

DAFTAR ISI

Wilayah Al-Faqih: Sebuah Pengantar Memahami Republik Islam Iran

Asy’ari ... 1

Keadilan dan Kesetaraan Gender Jalan Surga Untuk Kita Semua

Ahmad Sarkawi ... 22

Agama dalam Kerangkeng Konstitusi dan Perundang-Undangan (Telaah Kritis Atas Resolusi Konflik Pemerintah Bagi Ahmadiyah)

Surya Adi Sahfutra ... 37

Celah Pencipta di dalam Rangkaian Peristiwa (Telaah Kritis Holisme Ilmiah)

Noviandy dan Dadang Aji Permana ... 50

Pemenuhan Hak Perempuan Sebagai Saksi dalam Islam

Ashabul Fadhli ... 73

Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Alternatif

Abdul Muis ... 88

Pidana Cambuk bagi Pelanggar Maisir di Aceh dalam Perspektif HAM

Syaibatul Hamdi ... 101

(9)

M O M E N T U M

WILAYAH AL-FAQIH

(Sebuah Pengantar Memahami Republik Islam Iran)

Oleh

Asy’ari⃰

AbuAmru82@yahoo.com

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang konsep wilayah al-faqih yang dirumuskan oleh Imam

Khomeini sebagai basis konstitusi Negara Republik Islam Iran pasca revolusi 1979. Pemahaman akan konstitusi Iran sangat penting karena ia merupakan negara tunggal

yang berdiri tegak di atas fondasi Islam yang mampu menyaingi dominasi super

power negara-negara barat, dan bahkan menjadi garda terdepan dalam perkembangan dan penguasaan sains dan teknologi. Dalam tulisan diuraikan secara

historis bagaimana prosesi kelahiran dan perkembangan konsep wilayah al-faqih

beserta fase-fase kritis yang dihadapi oleh Iran yang dicitrakan sebagai biang kejahatan, dan diisolirkan dari kancah internasional baik secara idiologis, ekonomis, ataupun politis.

Kata kunci: wilayah al-faqih, rahbar, khilafah, wilayah.

Pendahuluan

Ada dua fakta mengejutkan berkaitan dengan kehadiran Republik Islam Iran (RII) di tahun 1979. Pertama, Iran yang muncul melalui proses revolusi sosial berbasis agama adalah tonggak baru dalam sejarah idiologi negara vis a vis agama, pasalnya seluruh negara di dunia ketika itu dihadapkan pada dua pilihan idiologi mainsteam, sosialis-komunis dan demokrasi liberal. Kedua, komando jihad Ayatullah Khomeini untuk kemerdekaan Iran di tepian Perancis bukan hanya menumbangkan rezim Pahlevi, tetapi juga meng-knock out Amerika dan Israel yang telah menjadikan Iran sebagai tambang dolar emas hitam, alias minyak.

Di awal-awal pasca revolusi, eksistensi negara Republik Islam Iran dipandang sebelah mata dan diprediksikan -tidak hanya oleh negara barat tetapi oleh negara yang mayoritas beragama Islam- hanya akan eksis dalam waktu singkat dan akan kembali menjadi boneka baru sang tuan polan, Amerika. Terlebih ketika embargo ekonomi dan financial dijatuhkan oleh Amerika dan negara-negara Eropa.

Prediksi pesimis atas Iran ternyata meleset. Embargo yang menjadikan Iran terisolir dari kancah internasional ternyata tidak membuat rakyat Iran mati langkah, tetapi menjadi generator yang membangkitkan nasionalisme dan kedaulatan negara, daya juang, kreativitas serta kemandirian rakyat Iran dalam berbagai hal. Dan bahkan saat ini Iran telah menjadi prototipe negara-negara berkembang (Under-Development Countries) yang mampu terlepas dari intervensi barat dan menjadi kekuatan baru di wilayah timur tengah yang mampu menyaingi Israel dan Amerika di berbagai bidang, utamanya perkembangan sains dan teknologi.

(10)

M O M E N T U M Keberhasilan Iran dalam membangun negaranya tidak bisa lepas dari kecerdikan

Ayatullah Uzma Ruhulloh Khomeini dalam mereformulasikan doktrin Islam ke dalam format idiologi negara baru, yaitu, Wilayat al-Faqih. Sebuah konsep tentang konstitusi negara yang roda pemerintahannya dijalankan oleh para ulama kredibel. Secara akademis, konsep Wilayat al-Faqih memang populer, namun sering disalahmengerti. Wilayat al-Faqih acap kali diidentikan dengan konstitusi negara monarki atau orotiter yang berbasis agama, dimana para ulama sebagai agen-agennya.

Jarang sekali yang mengetahui bahwa konsep wilayatul faqih lahir dari pendalaman Ayatullah Khomeini atas khazanah sufistik mengenai Insan Kamil yang dihubungkan dengan konsep “khilafah“ dan “wilayah“. Bagi Khomeini, seorang yang cerdas secara spiritual pasti memiliki beban dan tanggung jawab untuk berperan menjadi pemimpin umat dan menjadi garda terdepan dalam memelihara kedaulatan hidup mereka secara politis. Seorang ulama bagi Khomeini adalah seorang negarawan dan sekaligus seorang ilmuwan. Titik inilah pentingnya mengurai kembali pemikiran Khomeini tentang Wilayat al-Faqih.

Jejak Sejarah Menuju Republik Iran Modern

Iran secara etimologi berarti negeri bangsa Arya. Sebelum “Iran“, nama “Persia“ adalah sebutan untuk negeri bangsa Arya yang paling popoler. Dalam catatan historis sejarawan, bangsa Arya (Indo-Uuropian) telah bermigrasi ke berbagai belahan dunia, terkhusus ke wilayah Asia Kecil dan India. Sejarah peradaban bangsa Arya sendiri dikenal mulai dari kehadiran kerajaan Elam (3200 SM), kerajaan Parsa dan Medes (600 SM), kerajaan Achaemenid (550 SM), dinasti Parthian (247 SM), dinasti Sasanid (220 M), hingga berada dalam pelukan bangsa arab Islam (651 M).1

Will Duran dalam Persian in the History of Civilization mengungkapkan bahwa bangsa Arya pra-Islam dikenal luas karena berbagai kreasi dan inovasi yang menopang laju peradaban manusia ketika itu. Raja Achaemenid, Cyrus Agung misalnya, menjadi raja pertama yang mendeklarasikan Hak Asasi Manusia (HAM), mempelopori manajemen dan administrasi pemerintah, pengelolaan transportasi masal, teknik-teknik pengairan dan irigasi. Begitu juga di era Sasanid, berbagai cabang ilmu muncul dan berkembang pesat, sebut saja ilmu medis, sastra, filsafat, sejarah, etika, politik, pendidikan, matematika hingga penulisan biografi.2 Di Abad ke-3 M, Universitas Jundisafur adalah pusat ilmiah bangsa Arya yang menjadi tujuan para pencari ilmu seantero dunia dalam menimba berbagai ilmu, seperti matematika, logika, filsafat, kedokteran dan astronomi. Dan konon rumah sakit dan perpustakaan pertama kali muncul di kota Jundisafur. Bahkan menurut Sayyed Hossein Nasr, Jundisyapur menjadi sebuah kota bangsa Arya yang memberi kontribusi positif dalam perkembangan sains dan teknologi Islam.3

Invansi bangsa Arab Islam ke tanah Persia di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqqash menjadi tonggak awal perkembangan Islam di negeri Persia, karena proses invasi ini diikuti dengan islamisasi bangsa Arya. Dalam waktu yang relatif singkat, Islam diterima oleh bangsa Arya dan menjadi agama mayoritas. Salah satu alasan kenapa doktrin Islam mudah diterima oleh bangsa Arya adalah karena tradisi Zoroastrian bangsa Arya yang rasional memperoleh

1 Makalah Kedutaan RI untuk Iran, “Selayang Pandang Republik Islam Iran. 10 Agustus, 2008, 1. 2 Husain Heryanto, Revolusi Saintifik Iran (Jakarta: UI Press & Dubes RII, 2012), 18-19.

(11)

M O M E N T U M pijakan teologis dari doktrin Islam yang memang mengajarkan pengoptimalisasian rasio dan

ekplorasi ilmiah. Alasan ini pula yang menjadikan bangsa Arya-Islam4 dominan dan unggul dalam pengusaan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam perkembangannya berperan penting dalam pengembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam.5

Tidak hanya rasionalitas, bangsa Arya juga populer dengan tradisi tasawwufnya. Dan dalam hal ini eksistensi dinasti Safawiyyahyah bisa dikatakan sebagai era kejayaan bangsa Arya-Islam dalam hal pengaplikasian nilai-nilai tasawwuf atau sufistik.6 Di era ini bangsa Iran mampu mengaplikasikan doktrin agama Islam menjadi idiologi negara, yang basis politiknya lahir dari tradisi sufistik dan syi‟ah imamah. Di era ini peran ulama dalam pengembangan kerajaan (negara) sangat sentral. Karena ulama dan politik menjadi dua sisi dari satu keping mata uang, tidak bisa dipisahkan, sekalipun pada saat itu peran ulama dalam kancah perpolitikan belum ter-cover baik dalam sebuah konstitusi yang mapan.

Sayangnya, pasca dinasti Safawiyyah runtuh, tanah Persia menjadi medan pertumpahan darah para penjarah untuk mengukuhkan kekuasaannya. Dinasti-dinasti muncul silih berganti, mulai dari dinasti Afshar, dinasti Zand, hingga dinasti Qajar yang bertahan hingga abad ke-19 dengan raja terakhirnya, Ahmad Shah. Di tahun 1921 Ahmad Shah dikudeta lagi oleh Reza Shah Pahlevi. Penguasaan Pahlevi atas Iran menjadi babak baru sejarah negeri para Mullah, Iran. Tragisnya, di bawah komando Pahlevi rakyat Iran digiring ke dalam proyek agung modernisme dan sekulerisme seperti yang dilakukan oleh Mustofa Kamal (Ataturk) di Turki, sekalipun dengan modus operandi yang berbeda.

Kebijakan modernisasi angkatan bersenjata dan sistem birokrasi, penetapan Majusi dan Islam sebagai agama negara, pembaharuan hukum dan pengaplikasian paradigma barat dalam sistem pendidikan, pengawasan yang ketat lembaga pendidikan berbasis agama, pembatasan

4 Yang dimaksud dengan bangsa Arya-Islam di sini adalah bangsa Arya yang sudah memeluk Islam. 5 Berikut adalah tokoh-tokoh penting bangsa Arya yang hidup dalam tradisi bangsa Iran-Islam dan berkontribusi besar dalam pengembangan khazanah ilmu Islam: al-Isfahani (w. 1058 M), al-Ghajali (w. 1111 M), al-Syahrastani (w. 1153 M), Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210 M) Bukhori (w. 870 M), Muslim (w. 875 M) Ibn Majah (w. 886 M) Abu Daud (w. 888 M), al-Tirmidzi (w. 892 M) dan al-Nasa‟I (w. 915 M), Nashir al-Din al-Thusi, Abu „Ali Ibn Sina (w. 1037 M), Abu Nasr al-Farabi (w. 950 M), Syhab al-Din Suhrawardi (w. 1191) Shadr al-Din Syiraji (w. 1640), al-Khawarijmi (w. 850 M), Abu al-Wafa‟ al-Buzjani (w. 998), Umar Khayyam (w. 1124 M), Qutb al-Din al-Syirazi (w. 1311), al-Battani (929 M), Abu Haitsam (w. 1039), Abu al-Raihan al-Biruni (w. 1050 M), Abu Hasan „Ali ibn Yunus, Kamal al-Din Farisi, Khazini, Jabir ibn Hayyan (w. 815), Jakariyya al-Razi (w. 925).

(12)

M O M E N T U M pakaian keagamaan, larangan penggunaan cadar, modernisasi pakaian laki-laki, pengurangan

subsidi untuk kegiatan keagamaan, penyudutan ulama dan kaum tradisionalis Islam, serta penetapan hukum positif sebagai hukum negara yang menggantikan Syari‟at Islam adalah sekian faktor yang memicu gejolak sosial-kultural rakyat Iran di era Pahlevi.7

Kebijakan tersebut di atas adalah embrio kebencian rakyat Iran kepada rezim Pahlevi, terlebih dengan para ulama Iran. Selain mendapat rivalitas dari dalam negeri, rezim Pahlevi juga mendapat tekanan dari sekutu yang membesarkannya, Uni Suviet dan Inggris. Kebencian kedua negara tersebut muncul karena Reza Shah Pahlevi secara perlahan mengurangi dominasi Uni Suviet dan Inggris atas perekonomian Iran, dan membelot ke arah Jerman.8 Wal hasil pada tahun 1941, tekanan Uni Suviet dan Inggris memaksa Pahlevi untuk tunduk pada dua kesepakatan. Pertama, Reza Shah Pahlevi turun tahta dan digantikan oleh anaknya, Muhammad Reza Pahlevi, sebagai siasat untuk meredam gejolak dalam negeri. Kedua, Pemberian keleluasaan kepada korporat asing untuk mengelola sumur-sumur minyak Iran sebagai strategi agar Uni Suviet dan Inggris dapat menguasai kembali sumber-sumber minyak Iran. Tentunya hal itu memicu gejolak politik, karena kontrak politik tersebut tercium oleh tokoh-tokoh nasional Iran, baik dari tokoh kesukuan, intelektual sayap kiri, pengusaha lokal ataupun ulama. Pemimpin front nasional, Muhammad Mussaddeq yang di-backup oleh tokoh-tokoh nasional Iran secara lantang menuntut Pahlevi Junior untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan minyak Iran, utamanya The Anglo-Persian Oil Company yang ketika itu dikelola oleh Inggris.

Karena agitasi, propaganda dan provokasi politik Inggris yang licik, pada tanggal 16 Agustus 1953 koalisi Mussaddeq bersama tokoh nasional Iran berhasil dipecah dan diadu domba hingga terjadi perang saudara selama tiga tahun. Efek singnifikan dari perang saudara ini adalah perekonomian dan kancah perpolitikan Iran semakin carut marut dan tidak menentu. Lebih parahnya, gonjang ganjing politik dan kondisi ekonomi Iran yang rapuh ini menjadi peluang Amerika untuk memainkan bola panasnya dalam kancah perpolitikan Iran dengan cara mendukung rezim Shah.

Dengan politik double standard,9 Amerika secara perlahan menggeser penguasaan Uni Suviet dan Inggris atas Iran. Dan untuk menguasai ladang-ladang minyak Iran, Amerika tampil seolah Satrio Piningit yang mendukung program Muhammad Reza Pahlevi untuk mengoptimalkan proyek modernisasi sosial, budaya dan ekonomi Iran. Amerika berusaha menjadi backing utama Iran dalam menajerial ekonomi, politik, hukum serta peningkatan pertahan dan keamanan negara. Untuk membuktikan keseriusannya, Amerika melatih para polisi dan tentara Iran di Israel. Dan bahkan membantu Iran memukul mundur militer Uni Suviet dan mematahkan gerakan separatis pro Uni Suviet di Azerbayjan dan Kurdistan. Namun, tujuan di balik itu semua adalah tambang emas hitam.

Pertengahan tahun 1970 utopia modernisasi dan sekulerisme Muhammad Reza Pahlevi menampakan kegagalan nyata di berbagai bidang. Gonjang-ganjing ekonomi, ketidakjelasan

7 John L Esposito & John O Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, terj. Rahmani Astuti. (Bandung: Mizan, 1999), 68-69.

8 Zayar, “The Iranian Revolution-Past, Present and Future.”, diakses tanggal 14 November 2011 dari http://www.marxist.com/the-Iranian-revolution-past-present-future.htm

(13)

M O M E N T U M identitas nasional, tergerusnya budaya bangsa Arya-Islam dan ketergantungan kepada budaya

barat adalah puncak kekecewaan rakyat Iran. Panasnya konstalasi politik Iran telah meningkatkan kekecewaan menjadiantipati yang massif. Terlebih dengan adanya sikap oposisi yang ditunjukan oleh ulama, tokoh kesukuan, cendikiawan religius, tokoh berhaluan marxisme, dan para pemikir liberal.10

Ayatullah Khomeini, Murtadha Muthahhari, Taleqani, Bahesti, Mehdi Bazargan dan Ali Syariati adalah dari sekian tokoh yang terang-terangan menentang Pahlepi, dan secara intens memprovokasi rakyat untuk melakukan perubahan konstitusi Iran.11 Ali syariati12 misalnya, getol menentang intervensi Amerika atas bangsa Iran seraya menyerukan untuk kembali mengusung identitas nasional dan religio-budaya Islam Iran (idiologi revolusioner Islam khas

Syi‟ah Istna Asyar).13 Begitu juga dengan Khomeini, dari mimbar ke mimbar Khomeini melakukan propaganda politik untuk membangkitkan kesadaran rakyat Iran dari bualan kosong program modernisasi Shah Pahlepi yang sudah terkooptasi kekuatan Amerika, Israel dan perusahaan-perusahaan multinasional.

Gencarnya perlawanan Khomeini terhadap rezim Pahlepi -secara perlahan namun pasti- menjadikan populeritas Khomeini semakin menanjak, dan bahkan dijadikan sebagai simbol kekuatan oposisi pemerintahan Iran yang tak kenal kompromi. Namun, gencarnya agitasi dan propaganda politik Khomeini kepada rakyat Iran harus dibayar mahal dengan pengasingannya ke Turki pada tahun 1964, lalu ke Irak pada tahun 1965 dan berakhir di tanah kiblat mode dunia, Perancis, pada tahun 1978. Kendati demikian Khomeini tak pernah berhenti menentang kebijakan-kebijakan Shah Pahlevi yang semakin mengkikis habis budaya bangsa Arya-Islam. Melalui kaset-kaset dan pamflet-pamflet propaganda politik Khomeini diselundupkan dan disebarkan oleh para aktivis ke seantero penjuru Iran. Puncak dari konsistensi Khomeini dalam melawan rezim penguasa itu berakhir pada tahun 1979 dengan tumbangnya rezim Shah Pahlevi melalui revolusi sosial yang sekaligus menjadi akhir dari sistem kerajaan di tanah para mullah.

Republik Islam Iran Pasca Revolusi 1979

Gonjang ganjing politik, carut marut ekonomi, interpresi asing yang berlebihan serta berbagai penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh pergerakan yang dilakukan oleh SAVAK (badan intelejen di era rezim Pahlevi) adalah sekian isu yang didengungkan para mahasiswa saat berdemontrasi di Qum, menuntut rezim Pahlevi lengser dari kekuasaannya. Namun, alih-alih direspon baik, para demonstran dibalas dengan tembakan brutal polisi, korban tak

10 John L Esposito & John O Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, 75 11 Ibid., 77.

12 Ali Syariati (1933-1978) adalah seorang intelektual muslim jebolan universitas Sorbonne yang dibunuh satu tahun sebelum revolusi Iran terjadi. Terilhami dengan karya besar Max Weber, The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism, Syariati berusaha mereformasi doktrin Islam menjadi idiologi revolusioner untuk mengubah kondisi sosial bangsa Iran dengan ide kontroversialnya “IslamicProtestant”. Kendati demikian pemikIran Syariati banyak mempengaruhi kalangan intelektual Iran yang salah satunya teraplikasikan dalam gerakan menumbangkan Muhammad Reza Pahlevi melalui Revolusi. Mojtaba Mahdafi, Max Weber in Iran: Does Islamic Protentant matter? (University Of Westrn Ontario), 9

(14)

M O M E N T U M terelakan, dan anyir amis darah kematian yang tertumpah sepanjang jalan mempertajam

kebencian rakyat Iran terhadap pemerintah. Tindakan brutal dan represif pemerintah tidak lantas menghentikan pergerakan, tetapi semakin meningkatkan rasa simpati dan empati rakyat Iran kepada mahasiswa dan tokoh-tokoh pergerakan yang teraktualisasikan dalam demonstrasi massal yang terorganisir dan berbuah manis dengan tumbangnya kekuasaan Shah Pahlevi pada tanggal 16 Januari 1979.

Pasca revolusi, Iran dihadapkan pada dua masalah fundamental, yaitu: Pertama, Identitas nasional (idiologi negara). Identitas yang menyatukan rakyat Iran dalam satu kedaulatan negara. Wilayat al-Faqihyang berbasis pada Syari‟at Islam madzhab Syi‟ah Istna Asyar adalah jawaban Khomeini untuk hal ini. Kedua, hubungan diplomatik dengan negara-negara di belahan dunia. Sikap keras Khomeini yang menentang Amerika dan sekutunya berujung pada embargo ekonomi yang menyebabkan rakyat Iran terkucilkan dari kancah internasional dan harus hidup berdikari.14 Apalagi setelah adanya orasi oposisi Khomeini yang mengumandangkan “Mary Bar Amerika“ (Mampuslah Amerika). Seperti diungkapkan John L. Esposito, karena orasi tersebut Komeini dianggap sebagai icon revolusioner yang berpotensi menjadi ancaman Amerika dan sekutunya. Apalagi setelah duta besar Amerika dan Israel diusir dari negerinya.15

Dalam Madkhal Ela Al-Siyasah Al-Kharigiyah Li-Gumhouriyat EIran Al-Eslamiyah Birn Izdy, mantan petinggi Iran di Kementrian Luar Negeri Iran, mendeskripsikan konstalasi politik dan arah kebijakan Iran pasca revolusi ke dalam empat fase.16 Fase pertama adalah fase yang bergulir antara tahun 1979-1980. Masalah krusial yang harus dihadapi pada fase ini adalah perdebatan sengit antara kubu liberal dan kubu konservatif mengenai arah kebijakan pemerintah Iran dalam menentukan hubungan diplomatik dengan dunia internasional. Revolusi konstitusi dari monarkhi menjadi Republik Islam Iran secara otomatis mengubah haluan negara. Iran yang sangat vokal menentang imperialisme Amerika dan dikenai embargo dengan tegas memutuskan untuk membatasi diri dari kancah dunia internasional dan berusaha berdikari dan berbenah diri. Keputasan ini tentunya semakin menyulut amarah Amerika dan sekutunya .

Fase kedua adalah fase yang berjalan antara tahun 1980-1988. Fase ini bisa dikatakan sebagai momen penting dari tahap-tahap awal kemajuan Iran yang terkucil dari pentas internasional. Namun, kemajuan Iran ini semakin memompa adrenalin kebencian Amerika. Pententangan antara Amerika dengan Iran pun semakin bergejolak dan melibatkan beberapa negara untuk memediasi konflik keduanya. Namun Iran tidak mengindahkan mediator dari negara lain karena bargain politik yang ditawarkan dalam proses mediasi tersebut merugikan pihak Iran. Karena merasa dipermalukan Iran, Amerika pun memperpanjang sanksi embargo ekonomi dan financial atas Iran.

Fase ketiga adalah fase yang berjalan antara tahun 1988-1997. Pada fase ini Iran berupaya untuk meraih simpati dunia internasional, utamanya negara-negara kawasan teluk Arab dan Eropa. Karena itu Iran yang dipimpin Hasyemi Rafsanjani bersikap lebih kooperatif, terbuka dan moderat. Rapuhnya perekonomian dalam negeri kerena embargo ekonomi dan

14 Ira M. Lapindus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufron A Mas‟adi (Rajawali Press, Jakarta 1999), 59.

15 John L Esposito & John O Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, 66

(15)

M O M E N T U M financial menjadi alasan utama perubahan peta politik Iran. Reformasi kebijakan Rafsanjani

berhasil membuka lebar pintu diplomatik dengan negara-negara di eropa. Hasil positif dari hubungan diplomasi ini adalah kemajuan Iran dalam bidang teknologi militer karena negara-negara eropa mendukung revitalisasi angkatan perang Iran. Pengakuan eksistensi Iran dari negara lain diperkuat dengan dilibatkannya Iran dalam upaya penyelesaian krisis yang terjadi di Afghanistan dan kawasan Timur Tengah.

Fase keempat adalah fase yang berjalan antara tahun 1997-2005. Pada fase ini Iran dipimpin oleh Mohammed Khatami. Dialog of Civilization (dialog antar peradaban) adalah isu utama yang digaungkan oleh Khatami untuk meraih simpati dunia internasional.17 Isu yang menyerukan penghapusan sekat-sekat idiologis, rasis dan religius dalam pergaulan internasional. Namun, kebijakan Khatami yang lebih demokratis ini banyak menuai kritik dari tokoh-tokoh konservatif Iran, terutama setelah adanya kontrak politik dengan Presiden Israel, Moshe Katsav pada bulan April 2005. Sebuah kesepakatan yang tidak bisa lepas dari kepentingan Amerika.

Dengan mengacu kepada empat fase Birn Izdy dan sebagai kelanjutannya, peralihan kekuasaan dari Mohammed Khatami ke Ahmadinejad 2005 hingga 2012 penulis anggap sebagai fase kelima dari konstalasi politik Iran.18 Kepemimpinan Ahmadinejad ini bisa dikatakan sebagai fase pengulangan kebijakan pendahulunya, Khomeini, yang menentang Amerika, namun dengan modus operandi yang berbeda. Di era Ahmadinejad isu nuklir (senjata pemusnah massal) menjadi poin penting yang syarat politis. Konflik politis antara Amerika dan Iran selalu dibalut dengan isu nuklir yang melibatkan peran negara-negara anggota PBB.

Rivalitas Amerika dan Iran semakin meruncing setelah peristiwa 11 September 2001 yang menghancurkan icon kemapanan ekonomi Amerika, WTC (World Trade Center). Terlebih ketika Wasington menuduh Iran sebagai biang terroris dan axis of evil (poros kejahatan) dunia yang berada di balik serangan WTC bersama dengan kelompok Taliban dan Al-Qaeda.19 Tuduhan Amerika atas Iran tentunya sangat ironis, karena, seperti diungkapkan Hasan Hanafi, embrio gerakan terroris yang diidentikan dengan gerakan fundamentalisme Islam pertama kali muncul dari proses kaderisasi martir yang dididik Amerika dalam rangka melawan invasi Uni Soviet ke Afganistan.20

Melalui berbagai media masa, baik cetak atau elektronik, kata “Terroris” menjadi isu utama –memperkuat isu nuklir- yang diangkat oleh Amerika untuk menjatuhkan reputasi Iran di mata dunia. Negara-negara anggota PBB didesak untuk sepakat menginfeksi senjata nuklir Iran. Meskipun infeksi badan atom dunia, IAEA, yang diketuai El-Faraday tidak menemukan senjata nuklir, Amerika tetap menekan Iran. Bahkan Amerika dan sekutunya mengangkat isu lain untuk menjatuhkan Iran. Kali ini isu yang diangkat adalah Iran sebagai biang terror yang

17 Secara akademis dan secara terang-terangan, tema agung ini pernah digaungkan oleh Khatami di Florence University pada tanggal 10 Maret 1999. Shen Qurong, ”Dialog among Civilization: Implications for Internasional Relations.” dalam Journal of China Institute of Contemporary International Relations, September 2001.

18 Mahmouh Ahmaddinejad berasal dari kubu konservatif. Dalam pemilu presiden yang berjalan dua putaran, tanggal 17 dan 24 juni 2005, Ahmadinejad berhasil dikukuhkan menjadi presiden dengan perolehan suara sebanyak 7.248.782 (61,95%) mengalahkan lawannya mantan presiden Rafsanjani.

19 Mahmood Sariolghalam, Understanding Iran: Getting Past Stereotypes And mythology.” dalam The Wasington Quarterly, Autum 2003, 69

(16)

M O M E N T U M berperan di balik kekuatan Hizbullah, di Lebanon. Amerika menuduh Iran memasok berbagai

senjata yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan teroris.

Ahmadinejad mengungkapkan bahwa kebencian Amerika atas Iran sebenarnya bukan karena masalah nuklir, teroris, politik praktis dan kekuatan militer Iran, tetapi dipicu oleh kemajuan pesat sains dan teknologi Iran yang mulai merontokan dominasi Amerika.21 Maklum, pada tahun 2010 pusat pengembangan sains dan teknologi Iran (The Regional Centre for Science Parks and Technology Incubators Development) yang terletak di kota Isfahan 2010 telah menjadi prototipe beberapa negara yang tergabung dalam Economic Cooperation Organization (ECO), yaitu Afghanistan, Azerbaijan, Kazakhstan, Kyrgyz, Pakistan, Tajikistan, Turki.22 Dan bahkan pada tahun 2011 Iran telah dinobatkan sebagai negara yang paling pesat pertumbuhan sains dan teknologinya.23 Amerika menyadari bahwa jika Iran dibiarkan, maka akan menjadi negara kuat berbasis Islam yang dapat mengilhami negara-negara berkembang untuk lepas dari ketergantungan Amerika.

Diplomasi intensif Ahmadinejad dengan Rusia dan China menambah ketakutan Amerika atas Iran karena keduanya memiliki pengaruh kuat di dewan keamanan dunia (PBB).24 Amerika semakin Pobia ketika Iran diketahui dekat dengan Korea Utara, Venezuela dan Cuba. Alasan kuat pobia ini dikarenakan konstalasi kekuatan Amerika dihantam oleh tiga kubu besar dunia yang memiliki persenjataan militer yang canggih, yaitu: kubu kuning (simbol asia) yang diwakili oleh Korea Utara, kubu merah (simbol komunis) diwakili oleh Cuba dan Venezuela, dan kubu hijau (Islam) yang diwakili oleh Iran.

Ketika Barrack Obama naik tahta dan memainkan peran di Phentagon, citra negatif Amerika atas Islam perlahan mulai berubah, dan bahkan kebijakannya tidak seagresif Bush. Sayangnya sikap ini tidak bertahan lama karena obama tersangkut oleh tekanan oposisi dan korporat yahudi. Sikap obama ini sebenarnya sudah diprediksikan oleh Dr. Manouchehr Mottaki, menteri luar negeri Iran. Dalam pidatonya yang disiarkan di berbagai station televisi ia mengungkapkan bahwa dengan naiknya Obama sebagai Presiden Amerika sama sekali tidak akan mempengaruhi dan memberi efek positif bagi Iran, siapapun presidennya, Amerika pasti akan menekan Iran karena Iran satu-satunya negara Islam yang berpotensi besar merontokan dominasi Amerika.

Di atas, penulis telah menguraikan sejarah singkat berdirinya negara Republik Islam Iran dari awal sampai tegak berdiri menjadi prototife negara-negara berkembang dalam berdaulat, mandiri, berdikari, dan lepas dari interpensi Amerika. Jika kita mencermati secara serius Iran, tentunya akan bertanya-tanya kenapa Iran mampu menjadi negara yang kokoh dan menjadi garda terdepan dalam penguasaan sains dan teknologi. Jawabanya memang kompleks dan tidak bisa direduksi pada satu masalah. Meskipun demikian mayoritas pengamat mengungkapkan bahwa secara teoritis-idiologis titik keberhasilan Iran berpangkal pada konsep “Wilayat al

21 President: Enemies Fearing Iran‟s Scientific Progress. http://english.farnews.com/newstext.php?nn. 22 Lihat. Yusuf Assidiq, Islam di Iran: Menuju Penguasaan Teknologi, Republika, Islam Digest Ahad, 26 September 2010.

23 Lihat. Royal Society Report 2011.

(17)

M O M E N T U M

Faqih“ yang diformulasikan oleh Ayatullah Imam Khomeini. Atas dasar inilah kita perlu meninjau lebih jauh bagaimana konsep Wilayat al-Faqih dirumuskan dan diaplikasikan sebagai idiologi Negara.

Wilayatuh Al-Faqih : Ulama dan Negara

Konsep Wilayat al-Faqih adalah konsep orisinal Imam Khomeini sebagai respon atas kemandulan para ulama dalam mengejawantahkan doktrin Islam dalam kaitannya dengan dinamika politik, idiologi, sistem dan administrasi negara. Namun, untuk memahami konsep Wilayat al-Faqih secara utuh, terlebih dahulu kita harus memahami latar historis pemikiran Imam Khomeini.

1. Selintas Mengenai Imam Khomeini

Ruhullah, demikian panggilan kecil yang diberikan Sayyid Mustafa dan Banu Hajar kepada anaknya, Ayatullah Khomeini, yang dilahirkan pada tanggal 24 September 1902 di sebuah daerah bermana Khomen, beberapa ratus kilo meter dari kota Isfahan. Sang ayah dan kakek dikenal sebagai dua pribadi religius dan memiliki garis keturunan dari Imam Musa Al-Kazhim bin Ja'far Al-Shadiq ibn Muhammad Al-Baqir ibn 'Ali Zainal 'Abidin ibn Husin ibn 'Ali bin Abi Thalib. Ayatollah Sayid Mostafa Musavi adalah seorang ulama kaya yang peduli kaum dhu‟afa. Ia meninggal dibunuh oleh seorang bandit ketika sedang menolong petani kecil. Ketika itu Ruhullah kecil masih berusia lima bulan. Sepeninggalan sang ayah, Ruhullah kecil berada dalam pengasuhan ibu dan bibinya, Sahebeh Khanoum, sampai keduanya meninggal pada saat Ruhullah berusia enam belas tahun. Setelahnya, Ruhullah dibimbing oleh sang kakak, Sayyid Murtaza, yang akrab disapa dengan Ayatullah Pasandida.25

Secara akademik, perubahan draktis dalam pribadi Ruhullah terjadi saat usia sembilan belas tahun. Atas rujukan sang kakak, Ruhullah pergi ke Arak untuk menimba ilmu kepada ulama terkemuka, Ayatullah 'Abdul Karim Ha‟iri (w. 1936), murid dari ulama kondang Syi‟ah di Irak, Mirza Hasan Shirazi. Namun saat di Arak, Ruhullah tidak bisa langsung belajar di bawah bimbingan Abdul Karim Ha‟iri karena tingkat keilmuannya belum memadai. Untuk bisa dibimbing langsung oleh Abdul Karim Ha‟iri, ia terlebih dahulu diharuskan belajar fiqh, bahasa Arab dan logika kepada ulama lain.

Setahun setelah Khomeini tinggal di Arak, Abdul Karim Ha‟iri menerima undangan penduduk dan para sarjana Qum untuk tinggal di sana. Di Qum Abdul Karim Ha‟iri mendirikan sebuah lembaga pembelajaran keagamaan. Lembaga ini menjadi pelopor dari rangkaian sejarah perkembangan Qum sebagai pusat ilmiah dan spiritual Islam di Iran. Di Qum, nama besar Abdul Karim Ha‟iri dijadikan simbol ulama yang menentang rezim Pahlevi.

Keinginan Khomeini untuk dibimbing oleh Abdul Karim Ha‟iri sangat kuat. Karena keinginannya ini pula Khomeini akhirnya hijrak ke Qum. Di Qum inilah Khomeini dididik langsung oleh Abdul Karim Ha‟iri, dan bahkan Khomeini menjadi salah satu murid Ha‟iri yang cemerlang, ia banyak menguasai disiplin ilmu yang luas, terkhusus

(18)

M O M E N T U M etika dan filsafat. Nuansa akademis Khomeini diperindah dengan keinginannya untuk

memperdalam „Irfan. Di awal pembelajaran „irfan ia berguru kepada Mirza Ali Akbar Yazdi (w.1926), murid Husain Sabzavari yang pernah menimba ilmu kepada Mulla Hadi Sabzavari (w.1872), penulis Sharh Manzhumah, referensi pokok „irfan saat itu.

Hasrat khomeini untuk memperdalam „irfan sangat kuat, karena itu Khomeini melanjutkan pengembaraan ilmiahnya kepada Sayyid Abu'l-Hasan Rafi'i Qazvini (w.1975) dan Ayatullah Muhammad 'Ali Shahabadi (w.1950). Dari sosok Shahabadi, wacana filsafat dan „irfan diperkenalkan kepada Ruhullah melalui karya-karya penting seperti; Komentar Daud Qusyairi (w.1350) atas Fushush al-Hikam Ibn 'Arabi, Miftah al-Ghayb Shadr Al-Din Al-Qunawi (w.1274) dan Manazil al-Sa‟irin Khawajah 'Abdullah Anshari (w.1089). Selain disiplin „irfan, Shahabadi adalah guru yang menjadi inspirator Ruhullah dalam masalah integrasi agama dan politik. Hal ini dikarenakan pada saat itu Shahabadi kerap kali mengkritik kebijakan pemerintah Shah yang getol dengan proyek modernisasi dan sekulerisasinya.

Kecerdasan Khomeini kian tercium dan acap kali dijadikan nara sumber untuk kajian-kajian ilmiah. Seiring dengan waktu, populeritas Khomeini di dunia ilmiah melonjak, terlebih dalam penguasaan bidang etika, filsafat dan „irfan. Dalam kajian ilmiah yang diadakannya dua kali dalam seminggu dan selalu dihadiri oleh ratusan jamaah, Khomeini memperkenalkan hikmah melalui pendekatan „irfan dengan merujuk kepada kitab al-Asfar al-'Arba'ah dan Sharh Manzhumah. Konsep „irfan yang diperkenalkan oleh Khomeini banyak mengilhami tokoh-tokoh penting dalam revolusi Iran, termasuk Ayatullah Muntaziri dan Murtadha Muthahhari. Aktivitas ilmiah Khomeini di Qum ini bertepatan dengan awal-awal pendirian Negara Iran Modern oleh Reza Pahlevi dengan mengubah sistem monarki menjadi kediktatoran modern, sebuah bentuk totaliterianisme yang mengeliminasi peran Islam sebagai basis kekuatan politik, sosial dan kultural.26 Dan tak ayal Khomeini terlibat dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan Pahlevi yang pro barat dan otoriter.

Pada tahun 1962, pasca wafat pemimpin lembaga keagamaan yang didirikan Abdul Karim Ha‟iri, Ayatullah Burujirdi,27 Khomeini menjadi sosok sentral yang paling disegani dan dianggap paling layak untuk menjadi pemegang otoritas tertinggi lembaga keagamaan itu sekaligus menjadi simbol perlawanan rezim Shah Pahlevi menggantikan Burujirdi. Karena alasan ini ruang gerak Khomeini selalu diawasi dan dibatasi oleh pemerintah karena selalu dianggap subversif dan membahayakan stabilitas negara.

Titik kulminasi pembatasan ruang gerak Khomeini terjadi pada tahun 1964 dimana ia diasingkan ke Turki dengan kawalan agen polisi rahasia. Di Turki Khomeini di tempatkan di Ankara dan kemudian dipindah ke Bursa, kota kecil di bagian barat Turki, sebuah tempat yang didominasi kaum Sunni dan secara politik cenderung sekuler. Pemerintah Shah Pahlevi mengasingankan Khomeini di kota ini agar tidak memiliki basis masa dan terkucil dari kelompok Syi‟i. Namun, karena tekanan publik yang berkesinanbungan, akhirnya pada tahun 1965 rezim Shah Pahlevi mengijinkan Khomeini untuk tinggal di Najaf, kota yang berbasis Syi‟ah di Irak.

26 Ibid., 14

(19)

M O M E N T U M Shah Pahlevi menyetujui pemindahan Khomeini ke Najaf karena ia meyakini bahwa

pengaruh Khomeini akan redup oleh ulama-ulama besar yang berada di Najaf. Namun, prediksinya salah. Kepindahan Khomeini ke Najaf ternyata menjadikan posisi Khomeini semakin kukuh dan dikenal oleh para tokoh muslim sebagai ulama yang berpengaruh, terlebih ketika bertemu dengan Muhsin Hakim dan Muhammad Al-Baqir Shadr. Aktivitas politik Khomeini di Najaf yang sangat sentral ternyata harus dibayar dengan kematian anaknya, Hajj Mustafa, pada tanggal 23 November 1977 yang dibunuh oleh Agen rahasia rezim Shah (SAVAK) bersama dengan aktivis lainnya.

Kematian para aktivis, gonjang ganjing ekonomi, korupsi yang berjalan secara massif dan isu bahwa Khomeini sebagai agen kekuatan barat yang dibuat oleh rezim Shah, menjadi awal dari pergolakan politik yang diikuti dengan demontrasi anti pemerintahan Shah di sepanjang Qum. Pasa saat ini pula Imam Khomeini menghembuskan isu berkenaan dengan perubahan sistem pemerintah Iran dari monarki menjadi Republik Islam Iran. Karena isu tersebut pada bulan oktober 1978 Khomeini diasingkan kembali ke kota Neauphle le Chateau, Perancis. Walaupun ditawarkan beberapa negara Islam sebagai tempat pengasingannya, Khomeini enggan untuk memilih negara Islam, ia lebih memilih Perancis. Alasannya, lebih mudah menjalankan aktivitas politiknya. Di Perancis Melalui berbagai media massa Imam Khomeini menyerukan rakyatnya untuk menentang pemerintah Syah. Wal hasil pada 10 Februari 1979 terjadi Revolusi. Pasca revolusi, Imam Khomeini kembali ke negaranya dan mengubah format negara Iran menjadi negara Republik Islam Iran dengan basis idiologi Islam dan sistem pemerintahannya yang dikenal dengan Wilayat al-Faqih. Sistem yang secara konstitusional dituangkan ke dalam Konstitusi Republik Islam Iran pasal 107 sampai 112. Diawal perjalanan Iran, Imam Khomeini menjadi Faqih (Rahbar) yang mengendalikan pemerintahan Iran dan juga dalam permasalahan keagamaan rakyatnya sampai wafat pada 1989.

Sebagai Faqih Khomeini adalah tokoh yang produktif, beberapa karya yang lahir dari pemikirannya adalah Kasful Asrar (1327 H), Mubarezeh ba Nafs ya Jihad Akbar (1357 H), Jihad Akbar ya Mubarezeh ba Nafs Tafsire Surah Hamd (1375 H), Mishbahul Hidayah ilal Khilafah wal Wilayah (1376 H), Wilayate Faqih (1376 H), Sirrus Shalat (1378 H), Syarhe Cehel hadist, (1379 H), Shahifeyye Imam, (1379 H), Talab wa Iradeh (1379), Adabus Shalat (1380 H), Syarhe Hadistse Junude Aql wa Jahl (1380 H), Syarhe Du‟aye Sahar (1381 H), Ta‟liqate „ala Syarhe Fushushul Hikam wa Mishbahul Uns (1410 H).

2. Wilayat al-Faqih

(20)

M O M E N T U M mengetahui bahwa secara konseptual Wilayat al-Faqih lahir dari pendalaman „irfan

mengenai konsep Insan Kamil, sebuah konsep manusia paripurna model tasawwuf yang lahir dari doktrin Islam bermadzhab Syi‟i. Oleh karena untuk memahami konsep ini secara utuh, terlebih dahulu kita meninjau pemahaman Imam Khomeini terhadap Wilayat al-Faqihdalam kacamata „irfan.

a. DariInsan Kamil Menuju Wilayat al-Faqih

Direktur Center for Islamic and Middle Eastern Law (CIMEL), Chibli Mallat dalam buku yang mengantarkannya memenangkan Middle East Studies Association Albert Hourani Prize“ pada tahun 1994, The Renewal of Islamic Law menjelaskan bahwa konsep Wilayat al-Faqih Imam Khomeini menjadi inspirasi utama dalam penyusunan konstitusi Republik Islam Iran. Ide mengenai Wilayat al-Faqih berkembang dari wacana perkuliahan yang diberikan Khomeini di Najaf, sekitar tahun 1970an.28 Ceramah-ceramah Khomeini direkam dan ditranskripsikan oleh murid-muridnya dan kemudian dipublikasikan menjadi sebuah buku Hukumat-i Islam (Islamic Goverment). Dalam buku ini ada tiga tema sentral yang diajukan oleh khomeini yaitu: Pertama, Urgensi pembentukan institusi politik Islam. Kedua, Peran dan tanggung jawab para Faqih dalam pendirian negara Islam melalui konsep trias politika (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang tercover dalam konsep Wilayat al-Faqih. Ketiga, Rancangan program aksi Khomeini dalam pembentukan negara Islam di bawah kendali otoritas religius.29

Sepanjang sejarah politik Islam, hubungan agama dan negara tidak bisa terlepas dari peran ulama dan para mujtahid yang selalu menjadi garda terdepan memimpin revolusi sosial, terlebih dalam mengobarkan perlawanan kepada kolonialisme. Kendati demikian keterlibatan ulama ini tidak menohok ke jantung politik yang dikonseptualisasikan ke dalam konstitusi negara secara paten. Konsep Wilayat al-Faqih Ayatullah Khomeini muncul sebagai upaya konseptualisasi dimaksud dan sekaligus kritik besar kepada para tokoh muslim yang memisahkan agama dan negara. Melalui konsep ini khomeini mengurai tanggung jawab dan peran aktif ulama dalam menjalankan roda pemerintahan yang harus dikonstitusikan dalam struktur kelembagaan negara. Kritik Khomeini atas ulama-ulama yang memisahkan agama dan negara ini diungkapkan kepada murid-muridnya dalam perkuliahan di Najaf, Ajarkan orang-orang tentang kebenaran Islam sehingga generasi muda tidak berpikir bahwa orang-orang terpelajar yang berada di sudut Najaf dan Qum memisahkan agama dan politik.“.30

Wilayat al-Faqih merupakan konseptualisasi pemikiran politik Khomeini yang terinspirasi dari konsep Insan Kamil yang berkaitan erat dengan konsep Khilafah dan Wilayah. Gagasan ini diaktualisasikan pada karyanya Mishbahul Hidayah ilal Khilafah wal Wilayah. Pada buku ini Khomeini mengurai hubungan Insan Kamil dengan konsep Wilayah yang dibubuhi dengan pemikiran Syi‟ah Imamah. Sebuah

28 Chibli Mallat, Menyegarkan Islam, terj. Santi Indra Astuti (Bandung: Mizan, 2001), 94. 29 Imam Khomeini, Islam and Revolution, 25

(21)

M O M E N T U M gagasan yang menegaskan kembali urgensi peran Insan Kamil dalam realitas sosial

dan relasi simbiosis antara „Irfan dengan Fiqh.31

Insan Kamil yang dikonseptualisasikan Khomeini adalah gagasan yang lahir dari refleksi filosofis dan tradisi „irfani. Pengaruh kuat Ibn. „Arabi dan Mulla Shadra dalam konsep Insan Kamil sangat kental dalam pemikran Khomeini. Dalam Mishbahul Hidayah ia menjelaskan dengan rinci konsep Insan Kamil sebagai bentuk dari manifestasi (tajalli) Tuhan dalam mengungkapkan nama-namaNya. Insan Kamil juga dipahami sebagai Wali Mutlak Tuhan yang menjelaskan bagaimana Tuhan memanifestasikan nama-namaNya yang sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan. Khomeini berpandangan bahwa peran Wali dan Khalifah di muka bumi adalah sebagai pengingat manusia akan eksistensi Tuhan dan eksistensi tajalliNya. Dalam realitas kehidupan manusia, Insan Kamil teraktualisasikan pada pribadi manusia unggul yang memperoleh pencerahan dan berhasil melewati tangga-tangga kesempurnaan yang dilaluinya dengan dasar Sunah Ilahi. Oleh karena itu, Khomeini, seperti yang ditegaskan Mohsen Mohajerniya, menyakini bahwa Insan Kamil tidak pernah bertindak berdasarkan hawa nafsunya, aktivitasnya adalah aktivitas Tuhan yang tidak tersekat oleh ruang dan waktu.32 Secara lahiriyah Insan Kamil ini terejawantahkan pada pribadi para Nabi dan Awliya (termasuk imam dua belas).

Untuk memperjelas konsep politiknya, Khomeini menjelaskan bagaimana hubungan Insan Kamil dengan wilayah. Dalam pandangan Khomeini, Wilayah memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan derajat InsanKamil. Para nabi dan wali adalah Insan Kamil yang memiliki manifestasi nama-nama Tuhan, yang konsep wilayahnya lebih luas, melingkupi realitas spiritual dan faktual. Karena itu pandangan syari‟at InsanKamil akan lebih luas dan sempurna dari pada insan biasa. Karena wilayah erat kaitannya dengan politik, maka ia senantiasa berkaitan dengan masalah kekuasaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya. Relasi antara wilayah dan kekuasaan seorang pemimpin oleh imam Khomeini diidentifikasi sebagai Wilayat al-Faqih. Otoritas pemimpin untuk mengatur wilayah sesuai dengan Syari‟at Islam.33

Ulama Syi‟ah menyakini bahwa wilayah spiritual dan wilayah faktual merupakan dua hal yang tidak terpisah, oleh karena itu dalam pandangan mereka tidak ada alasan untuk memisahkan wilayah agama (al-Din) dengan wilayah negara (al-Daulah). Karena alasan ini pula, para ulama syi‟ah menekankan bahwa seorang pemimpin yang menjalankan roda pemerintahan harus memiliki kemampuan yang luar biasa, di luar kemampuan umum manusia. Dalam konteks ini pemimpin harus

31 Mohsen Mohajerniya dalam tulisannya Mabni-e „irfani andisye siyasi-e Imam Khomeini bar mabnaye misbah al-hidayah (Prinsip-Prinsip Irfani Pemikiran Politik Imam Khomeini dalam Karyanya Mishbahul Hidayah) membedakan irfan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama,„Irfan Nazari (teori), sebuah pandangan dunia yang membahas tentang eksistensi, manusia dan alam semesta. Kedua, „Irfan Amali (praktis), konsep „Irfan yang membahas masalah syair dan suluk, yang mengajarkan tentang tahapan-tahapan atau aqam-maqam irfani dalam mengarungi dan menggapai hakikat. Mohsen Mohajerniya, Prinsip-Prinsip Irfani Pemikiran Politik Imam Khomeini dalam Karyanya Mishbahul Hidayah.”,terj. Muhammad Nur dalam Jurnal Al-Qurba 2, 2011, 85.

(22)

M O M E N T U M seseorang yang memiliki katagori Insan Kamil. Manusia yang secara kualitatif

memiliki sifat A‟lam (paling alim) dan A‟dal (paling adil). Adanya persyaratan pemimpin tersebut didasarkan kepada pemahaman religius ulma-ulama syi‟ah bahwa Insan Kamil adalah orang yang telah meninggalkan kehendak pribadinya (egosentrisme), seluruh totalitas hidupnya didedikasikan untuk mengarahkan umat demi menggapai kesempurnaan spiritual.

Pemaknaan Faqih dalam konsep Wilayat al-Faqih harus dibedakan dengan pemaknaan yang diberikan kepada seorang ahli Fiqh seperti yang biasa dipahami dalam tradisi Sunni. Derajat dan kualitas Faqih sebagai pemimpin yang dimaksudkan Imam Khomeini jauh melampaui derajat ahli Faqh. Faqih dalam pandangan Khomeini adalah „Alim „Adil yang dalam konstitusi Iran disebut Rahbar.

Dalam tradisi syi‟ah reputasi kemapanan intelektual dan spiritual seorang bisa dilihat dari gelar yang diperolehnya, seperti Ayatullah, Hujjah al-Islam dan Tsiqatullah, dan bahkan dalam proses pemilihan pemimpin syi„ah ada beberapa kriteria yang harus melekat pada diri seorang calon pemimpin. Kriteria itu adalah

„Ilm (kualitas ilmiah) „Aql (qualitas intelektual) Taqwa (kualitas spiritual), Iradah (kualitas kemampuan administratif), hilm (kualitas simpati dan empati sosial) dan memahami kondisi kontemporer.34

b. Legalitas Wilayat al-Faqih

Doktrin Islam ketika dibenturkan dengan konsep negara modern -menjadi Negara Islam- senantiasa menimbulkan perdebatan panjang di kalangan ulama, cendikiawan, akademisi, dan terlebih politikus. Hal ini dikarenakan doktrin Islam tidak pernah secara spesifik menjelaskan tentang format negara ideal. Terlebih berbicara teknis, siapa dan bagaimana konstitusi negara dijalankan?. Dalam kontek relasi pemimpin dan umat, al-Quran dan al-Sunah banyak membahas keadilan secara substansial, bukan teknis pengaplikasian keadilan. Karena itu banyak cendikiawan muslim yang berpendapat bahwa dalam Islam format negara bisa berbentuk apa saja yang penting bagaimana negara itu bisa mewujudkan keadilan. Wilayat al-Faqih pada dasarnya merupakan jawaban Iman Khomeini atas format negara dan model pemimpin Islam yang senantiasa diperdebatkan.

Konsep Wilayat al-Faqih pada dasarnya merupakan interpretasi dari teks suci al-Quran mengenai legitimasi teologis-politis kepemimpinan ulama. Khomeini sendiri dalam perkuliahannya di Najaf menggunakan ayat “amar ma‟ruf nahi

munkar“ (menganjurkan kebaikan dan melarang kejahatan) sebagai legitimasi kepemimpinan politik ulama dalam sebuah negara. Bagi sebagian ulama pengambilan surat ini dirasa kurang tepat, karena ayat tersebut lebih menjurus kepada pesan moral dalam wilayah publik ketimbang urusan politik. Sebagian ulama lebih condong menggunakan ayat “wa amruhum syura bainakum“ (dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah diantara mereka).35Dalam konteks ini Muhammad Al-Baqir Shadr, cendikiawan yang dikenal Khomeini di Najaf,

(23)

M O M E N T U M memberi sumbangsih besar kepada Khomeini. Dalam karyanya, Khilafah al-Insan

wa Syahadah al-Anbiya (1979), Shadr menjelaskan bahwa basis legitimasi teologis kepeminpinam ulama dan pemerintahan Islam semesntinya diambil dari surat al-Maidah: 44. Ayat ini diinterpretasikan oleh Shadr sebagaimana berikut:

“Adalah kami yang menyingkapkan hukum (bagi Musa) [taurat, al -taurah]: di dalamnya terdapat bimbingan dan cahaya dengan standar-standarnya tengah dihakimi. Orang-orang Yahudi, oleh sang Nabi [para Nabi, nabiyyun] yang menyembah (sebagaimana dalam Islam) pada kehendak Allah, oleh para rabbi [Rabbaniyyun] dan para doktor hukum [Ahbar] karena bagi mereka telah dipercayakan perlindungan kitab Allah dan mereka adalah para saksi [syuhada, dari syahadah] karenanya.36

Dalam penafsiran ayat ini, Shadr mengkritisi dan melangkah lebih jauh dari penafsiran Rasyid Ridla, Muhammad Abduh, Sayyid Qutub dan para tokoh penting Ikhwanul Muslimin seperti Hasan Al-Bana dan „Umar Talmasani. Ayat ini ditafsirkan oleh Shadr secara konstitusional-politis untuk melegitimasi peran ulama dalam pemerintahan Islam, namun dalam bingkai syi‟ah. Proses interpretasi pada ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu: Pertama, menghilangkan absolutisme dan possessivisme Yudais dengan menempatkan Taurat sebagai salah satu dari “Kitab

Ketuhanan“ yang diturunkan kepada nabi. Langkah ini dilakukan untuk memperoleh makna universal dan dinamis, sehingga ayat ini tidak hanya bermakna khusus untuk kaum Yahudi. Kedua, Menginterpretasikan kelompok Nabiyyun, Rabbaniyyun dan Ahbar. Nabiyyun ditafsirkan sebagai para Nabi (anbiya), Rabbaniyyun ditafsirkan sebagai para Imam Dua Belas yang menjadi pewaris para nabi, sedangkan Ahbar di tafsirkan oleh Shadr menjadi Doktor Hukum atau

Marja‟iyyah. Pemaknaan ini dimaksudkan sebagai proses kesinambungan hak (rasyid) dari nabi dan imam dalam garis kelompok Syahadah yang memiliki tugas untuk menjaga kelanggengan nagara Islam.37 Doktor hukum dan Marja‟iyah inilah yang oleh Ayatullah Khomeini diartikulasikan dengan al-Faqih dan kemudian dibakukan dalam konstitusi Iran menjadi Rahbar.

Selain masalah legalitas ulama, sumbangsih besar Shadr dalam pengembangan Wilayat al-Faqih Khomeini adalah berkenaan dengan format negara Islam yang dideskripsikannya dalam Manabi Al-qudrah dan Lamhah Fiqhiyyah Tamhidiyyah. Dalam Manabi Al-qudrah, Shadr mengembangkan dua struktur, Struktur Idiologis yang memperkenalkan pemerintahan islam dan Struktur Doktrinal yang menghubungkan manusia sebagai mahkluk individual dengan realitas dunia Islam kontemporer. Kedua struktur tersebut tidak bisa terlepas dari peran negara Islam yang secara mutlak tidak memisahkan urusan agama dan negara. Sedangkan dalam Lamhah Fiqhiyyah Tamhidiyyah, Nashr mengaktualisasikan teori dari kedua tulisannya yang terdahulu untuk mengkonstruksi pemerintahan negara Islam.38

(24)

M O M E N T U M c. Dari Legalitas Wilayat al-Faqih Menuju Konstitusi Iran

Pasca revolusi, Imam Khomeini belum mendeklarasikan sistem pemerintahan Iran, karena Khomeini sendiri belum memiliki gambaran utuh mengenai bentuk konstitusi yang tepat bagi Iran, begitu pula dengan konsep perwalian dan kedudukan al-Faqih dalam negara Islam. Deskripsi Shadr mengenai prinsip-prinsip dasar perwalian dan kedudukan al-Faqih serta deskripsi struktural sistem pemerintahan Islam yang dituangkan dalam LamhahFiqhiyyah Tamhidiyyah (1979) menjadi inspirasi Khomeini dan para ulama syi‟ah dalam merumuskan konstitusi Republik Islam Iran.

Sebagaimana diungkapkan Chibli Mallat, prinsip-prinsip dasar pemerintahan Islam Shadr dimaksud adalah:

Dalam fiqih Islam Prinsip-Prinsip di adalah: 1. Kedaulatan Hakiki (al-Wilayah bi al-Ashl)

2. Perwakilan Publik (al-Niyabah al-Ammah) berkenaan dengan faqih agung (al-mujtahid al-Mutlak) yang dikenakan oleh sang imam sesuai dengan perkataan penguasa (imam zaman), imam yang dinantikan, (imam al-ashr): “untuk peristiwa-peristiwa aktual, pergilah pada penyampai (perowi) hadist-hadist kami, mereka memegang bukti (hujjah) bagimu sebagaimana saya merupakan bukti bagi tuhan“ naskah ini ,memperlihatkan bahwa mereka adalah orang yang ditunjuk (marja„) bagi seluruh kenyataan dan peristiwa aktual sejauh peristiwa-pwriistiwa ini dihubungkan dengan pengawasan/pengamanan penerapan syariat dalam kehidupan. Mendatangi mereka sebagai penyampai hadist-hadist dan pembawa hukum memberikan mereka jabatan perwakilan (the deputyship), dalam kontek keadilan (qaymuma) dalam penerapan syariat dan hak untuk melengkapi pengawasan (isyrap)dari sudut syariat.

3. Kepemimpinan (suksesi, khilafah) bangsa (ummah) terletak pada basis prinsip konsultasi (syura) yang memberikan bangsa hak untuk menentukan sendiri urusan-urusannya dalam kerangka kerja pengawasan konstitusial dan pengendalian (raqabah) wakil sang imam.

4. Gagasan orang-orang yang mengikat dan melepaskan diri (ahl al-hall wa al-„aqd) yang diaplikasikan dalam sejarah Islam dan yang, ketika berkembang dalam suatu mode yang selaras dengan prinsip konsultasi dan prinsip pengawasan konstitusional oleh wakil imam, mengarah pada pembentukan sebuah parlemen yang mewakili dan berasal dari bangsa (yanbathiq) melalui pemilihan umum.39

Chibli Mallat menegaskan bahwa konstitusi Iran tahun 1979 sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip dasar yang dirumuskan Shadr di atas, hal ini terbukti dalam konstitusi Iran pasal 2 (ayat 1) yang menyebutkan bahwa “Republik Islam Iran

(25)

M O M E N T U M adalah sebuah sistem yang didasarkan kepada kepercayaan ... kedaulatan Tuhan“.

Secara sederhana prinsip-prinsip di atas diterjemahkan kedalam dua arah. Pertama, Batas-batas kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif dan Legislatif vis a vis al-Faqih adil („adl) dan kompeten (kafu„) yang menjadi pelindung syari‟at dan bertanggung jawab atas segala permasalahan negara Kedua, menghapus kemutlakan hak individual atas properti. Dalam hal ini Ayatullah Khomeini menjadi pemegang teguh prinsip al-Faqih, yaitu sebagai pemangku kekuasaan final yang menjadi pelindung syari‟at yang juga bertanggung jawab dalam urusan pemerintah. Bahkan khomeini mempatenkan posisi sentral al-Faqih atau Rahbar ini dalam konstitusi Iran pasal 5, sebagai berikut:

“Sepanjang ketidak hadiran penguasa zaman (wali „ashr), semoga yang Maha Kuasa mempercepat kedatangannya, tanggung jawab bagi urusan-urusan negara (wilayah amar) dan pemimpin bangsa dipercayakan kepada seorang faqih yang adil dan kompeten (aga be-zaman) mereka.“.40

Karena dalam pemerintahan Republik Islam Iran tidak ada pemisahan antara agama dan negara, maka, al-Faqih dalam pandangan Khomeini bertugas sebagai pemimpin ulama yang menyelaraskan seluruh aktivitas negara sesuai dengan grand desain hukum Islam. Sentralitas peran al-Faqih dalam sistem pemerintahan Iran acap kali disalahpahami sebagai negara monarki atau otoriter dimana ulama sebagai agennya. Kesalahpahaman ini terjadi karena tidak memahami akan adanya pengetatan kriteria seorang yang layak ditunjuk sebagai Rahbar, selain kerena tidak memahami peranan Legislatif, Eksekutif, Majelis Ahli dan lembaga tinggi negara lainnya dalam konstitusi Iran.

Imam khomeini beserta para ulama syi‟ah menyadari peran sentral al-Fakih. Oleh karena itu diperlukan peran al-Faqih harus memiliki legitimasi institusional. Dan legitimasi tersebut harus disertai dengan kualifikasi para Marja„ yang layak menduduki jabatan al-Faqih. Kualifikasi al-Faqih sendiri sudah termaktub dalam konstitusi Iran pasa 5 seperti yang telah disebutkan di atas.

Secara konstitusional keberadaan al-Faqih dalam Konstitusi Republik Islam Iran disahkan pertama kali oleh Majelis Ahli pada tanggal 15 Oktober 1979. Kedudukan Rahbar (al-Faqih) pada saat itu dijabat oleh Ayatullah Uzma Ruhullah Khomeini sampai akhir hayatnya. Setelah wafat Khomeini, Majelis Ahli mengamandemen konstitusi Republik Islam Iran yang mengalami perubahan dan sekaligus menetapkan Ayatullah Seyyed Ali Khomeini sebagai Rahbar pengganti Ruhullah Khomeini. Dalam perkembangan selanjutnya struktur pemerintahan Iran terus berkembang dan disesuaikan dengan konstruksi negaranya.

d. Sekilas tentang SistemPemerintahan Republik Islam Iran

Embargo ekonomi dan financial yang disanksikan kepada Iran semenjak awal revolusi menjadikan negara ini terkucil dari kancah pergaulan internasional. Ketertutupan pemerintahan Republik Islam Iran sebagai sebuah negara menimbulkan kesan bahwa pemerintahan Iran bersifat monarki dan sangat otoriter,

(26)

M O M E N T U M terlebih dengan penetapan al-Faqih sebagai otoritas tertinggi. Namun, fakta yang

sebenarnya menunjukan bahwa pemerintahan Iran lebih demokratis dari yang dikira. Untuk melihat hal ini dengan jelas, kita bisa meninjaunya dari sistem pemerintahan Republik Islam Iran saat ini.

Secara idiologi Negara Republik Islam Iran berpegang kepada doktrin Islam bermadzhab Ja‟fariatau Syi‟ah Imamah. Secara konstitusional hukum tertinggi Iran adalah Konstitusi Republik Islam Iran yang disahkan pertama kali oleh Majelis Ahli pada tanggal 15 Oktober 1979 dan yang diamandemen pada juli 1989. Majelis Ahli menunjuk Rahbar atau al-Fakih sebagai pemimpin tertinggi Iran yang mengatur masalah politik dan keagamaan. Adapun untuk roda pemerintahan dijalankan oleh lembaga tinggi negara sesuai dengan fungsinya, yaitu Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Majlis Ahli, Dewan Pengawas Konstitusi, Dewan Kebijaksanaan Nasional dan Dewan Keamanan Nasional.

1. Eksekutif

Iran menganut sistem pemerintahan presidensil dan parlementer. Secara konstitusional kepala pemerintahan Iran adalah Presiden. Pemilihan Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyatnya empat tahun sekali. Dalam tugas kenegaraannya presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri yang ditujuk oleh presiden. Presiden bertanggungjawab langsung kepada rakyat, Rahbar dan parlemen (Majelis).

2. Legislatif

Dalam konstitusi Iran jumlah anggota Legislatif (Majelis-e Syura-e Islami). Disesuaikan dengan rasio jumlah penduduk. Seluruh anggota majelis ini dipilih dalam pemilu yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali dengan sistem distrik. Majelis-e Syura-e Islami bisa menurunkan Presiden dan Menteri-Menteri Kabinet melalui mosi tidak percaya yang disetujui oleh 2/3 anggota Majelis dan atas persetujuan Rahbar.

3. Yudikatif

Lembaga peradilan tinggi Iran dijabat oleh Ketua Justisi yang ahli dalam bidang fiqh. Ia dipilih langsung oleh Rahbar untuk masa jabatan selama lima tahun. Fungsi utama lembaga ini adalah mengangkat atau memberhentikan ketua, anggota Mahkamah Agung dan Jaksa Agung serta menyusun RUU Iran. Selain itu tugas lembaga ini adalah mengusulkan calon Menteri Kehakiman kepada Presiden. Secara konstitusional lembaga ini bertanggung jawab atas semua pelaksanaan lembaga peradilan.

4. Lembaga Tinggi Negara Lainnya

Selain lembaga tinggi yang telah disebutkan di atas ada pula lembaga tinggi negara lainnya yang juga menjadi kontrol dan generator laju roda pemerintahan Iran, yaitu:

a. Majelis Ahli

(27)

M O M E N T U M tahun sekali. Fungsi utama Majelis Ahli adalah memilih, mengawasi dan

memberhentikan Rahbar. b. Dewan Pengawas Konstitusi

Shura-e- Negahban-e Qanun-e Assassi (Dewan Pengawas Konstitusi) adalah lembaga yang berfungsi mengesahkan undang undang, menafsirkan konstitusi dan mengaudit calon anggota Majelis Ahli, Presiden, Majelis, dan Referendum. Lembaga ini beranggotakan 12 orang dengan dua komposisi, enam orang ahli hukum agama (dipilih Rahbar) dan 6 orang ahli berbagai disiplin ilmu hukum umum (dipilih Majelis). Masa jabatan anggota Dewan Pengawas Konstitusi berlaku selama enam tahun.

c. Dewan Kebijaksanaan Nasional

Majma-e Tashkhis-e Mashlahat-e Nezam (Dewan Kebijaksanaan Nasional) dalam konstitusi Iran berfungsi sebagai penengah jika terjadi perbedaan antara Majelis dengan Dewan Pengawasan. Anggota dewan ini berjumlah sebanyak 25 orang yang dipilih Rahbar.

d. Dewan Keamanan Nasional

Dewan Keamanan Nasional dikepalai oleh Presiden dan anggotanya terdiri dari pimpinan Legislatif, Eksekutif, yudikatif, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Pejabat Badan Perencanaan dan Anggaran Negara, dua wakil yang ditunjuk oleh Rahbar, Menlu, Mendagri, Menteri Intelijen, dan Menteri yang terkait. Tugas utama dewan ini adalah membuat kebijakan pertahanan nasional sesuai dengan yang telah khitahkan oleh Rahbar.

e. Organisasi Sosial Politik

Pada tahun 1989 Ayatullah Khomeini sempat menghapus partai politik karena pada saat itu partai politik menjadi biang perpecahan keluarga besar Revolusi. Namun setelah kondisi politik stabil, konstitusi Iran memberi ruang kebebasan untuk mendirikan Organisasi Sosial Politik (Orsospol).41

Penutup

Dari seluruh uraian mengenai Republik Islam Iran di atas ada lima poin penting yang patut kita ambil pelajaran darinya. Pertama, lahirnya Iran sebagai satu-satunya negara Islam di dunia menjadi wajah baru yang ternyata mampu bertengger dalam deretan kilau gemerlap lampu idiologi negara, utamanya demokrasi liberal dan sosialis-komunisme yang menjadi idiologi pilihan. Kedua, kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh faktor ketokohan atau kualitas pemimpin yang dalam proses pemilihannya wajib diukur dari kualitas kesalehan intelektual, spiritual, sosial dan sejauhmana pemimpin itu memahami realitas kehidupan rakyatnya. Dalam konteks ini, wilayah al-faqih menjadi sistem yang patut dicontoh atau diadopsi (tentunya disesuaikan dengan kondisi kita) dalam upaya pengkaderan calon-calon pemimpin dan sistem pemerintahan negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Ketiga, pengagungan budaya dan identitas nasional, kedaulatan politik dan idiologi, kemandirian

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa, pertama, Alasan terjadinya kawin hamil antara laki-laki dan perempuan melakukan zina adalah suka sama suka, sehingga melanggar

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pada korban kekerasan seksual khususnya pada anak dan perempuan.. Kualitas hidup

40 Polresta Malang, 256 kasus lain merupakan kasus kekerasan suami terhadap istri.4 Sementara itu, Kantor Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak P2TP2A Kabupaten Malang

Bidang ekonomi ditandai dengan usaha keras perempuan merintis usaha dari kegemarannya, keluarga ditandai dengan kesabaran seorang istri menyikapi sikap suami yang kurang bertanggung

P.005/DJ.III/HK.00.7/10/2021 Tentang Pernikahan Suami Dalam Masa Iddah Istri tertuang dalam ketentuan khusus nomor 1 dan 3 yang menyebutkan bahwa setiap laki-laki atau perempuan yang

Upaya Pasangan Suami Istri Yang belum Mempunyai Keturunan Dalam Mempertahankan Keharmonisan Rumah Tangganya Di Kelurahan Mannanti Kecamatan Tellulimpoe.. Menikah Tanpa Keturunan :

Melihat permasalahan tersebut, PT Pertamina Patra Niaga IT Ampenan menginisiasi Program pemberdayaan perempuan melalui UMKM Bale MPAQ, yang mendorong 11 orang istri nelayan di Kelurahan