• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sayyid Husain alHabsyi dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sayyid Husain alHabsyi dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG

Oleh:

Al-Marhum Al-Ustadz Husein Al-Habsyi

PENDAHULUAN

Risalah di hadapan anda ini adalah hasil Dialog antara Al-Ustadz Husein Al-Habsyi dengan mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Islam Yogyakarta (UII) di Solo.

Dalam dialog tersebut para mahasiswa mena nyakan beberapa masalah tentang Madzhab Syi’ah Imamiyah, antara lain:

1. Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?

2. Bagaimana Pendirian Madzhab Syi’ah tentang sahabat Nabi Saww?

3. Benarkah Syi ‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?

4. Benarkah Syi ‘ah itu meragukan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan bahkan tidak menggunakannya? Apakah dengan membuang Had its-hadits riwayat Abu Hurairah, Islam ini akan lenyap? Dan bagaimana akhirnya nanti?

5. Mohon penjelasan tentang Hadits Tsaqalain (Qur’an wa Sunnati) atau Qur’an wa Itrahi AhIi Baiti mana yang lebih shahih?

6. Kalau Sunnah pada zaman Nabi ternyata tidak dibukukan, tetapi mengapa sampai juga kepada kita dan dipakai oleh kita Ahlussunnah. Kemudian apakah mung kin di zaman itu ada pemalsu-pemalsu Hadits?

7. Apakah Itrah itu? Apakah yang dimaksud ltrah itu sampai keturunan Rasulullah SAWW yang sekarang ini atau mungkin ada batasannya?

8. Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum dan her kaitan dengan peristiwa apa?

(2)

melakukan perubahan-perubahan?

10. Mengapa Syi’ah Imainiyah kalau Shalat hanya tiga waktu?

11. Bagaimapa menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Raj’ah? 12. Mungkin Ustadz tahu apa sebenarnya makna Rafidhah?

Dalam jawabannya terhadap pertanyaan me reka, Ustadz Husein menggunakan pendapat Ahlus sunnah, dengan maksud agar serangan-serangan (tuduhan-tuduhan) yang dilemparkan kepada Madzhab Syi’ah lmamiyah dapat dihentikan karena kedua Madzhab itu tidak berbeda dalam masalah-masalah pokok.

Semoga risalah kecil yang kami kutip dari kaset tanya jawab Ustadz Husein dengan para mahasiswa ini, dengan kami tambahkan catatan kaki dan setelah kami tanyakan kepada Ustadz sebagai sumber rujukan, maka dapat menambah wawasan pengetahuan kita, agar kita tidak mudah memvonis saudara-saudara kita sesama muslim secara in-absentia dan teks-book thingking kita.

Sunnah-Syi’ah dalam dialog antara

Mahasiswa UGM, UII Yogyakarta dengan Ustadz Hussein Al-Habsyi

Mahasiswa:Ustadz Husein yang terhormat, kedatangan kami ini bertujuan untuk silaturahmi. Kami rombongan mahasiswa dan Yogya, sebagian kami ini dan Universitas Islam Indonesia dan ada juga dan Universitas Gajah Mada. Kami banyak mendengar tentang Mazhab Syi’ah dan beberapa Ulama yang pernah kami datangi. Tetapi kami belum merasa puas karena masih ada beberapa jawaban yang kurang tepat menurut kami. Sekarang kami ininta agar Ustadz menjelaskan masalah Madzhab Syi’ah ini, dan kami telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang kami anggap perlu.

(3)

sendiri bukan Syi’ah. Jadi sebenarnya lebih tepat bila saudara-saudara terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada yang menyatakan bahwa dirinya memang orang Syi’ah.

Pertama: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”

Mahasiswa:“Walaupun Ustadz bukan seorang Syi’ah tetap kami rasa paling tidak Ustadz telah membaca tentang Madzhab ini. Jadi kami rasa tidak salah bila kami bertanya kepada Ustadz. Dan sebaiknya kami langsung saja bertanya. Pertanyaan kami yang pertama adalah:

“Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”

Ustadz Husein: Baiklah saudara-saudara, saya akan menerima desakan saudara agar saya menjawab pertanyaan saudara-saudara Insya Allah, namun sebaiknya dalam majelis ini kita hindarkan perdebatan.” Saya sangat tidak setuju bila majelis seperti ini yang sedianya bermaksud mencari ilmu, mendengar sesuatu yang bisa menambah ilmu, kemudian berbalik menjadi majelis perdebatan, scdangkan perdebatan itu hanya akan membawa permusuhan. Jadi kalau itu terjadi, maka hilanglah maksud yang baik dan majelis ini.

Saudara-saudara yang terhormat:

Menjawab pertanyaan saudara ini saya kira mengkafirkan sesama muslim, bukan saja tidak dibenarkan oleh syariat Nabi Muhammad Saww tetapi juga tidak pantas dan juga tidak menguntungkan baik dipihak Syi’ah maupun Ahlus Sunnah, bahkan bisa melemahkan keduanya. Siapa di antara kita kaum muslimin -- apalagi saudara mahasiswa ini -- yang belum mendengar tentang Kristenisasi yang galak dan dahsyat seperti seka rang ini. Mereka sebelum ini sudah bersatu dan segala aliran; Katolik, Protestan, Advent, ditambah dengan kaum musyrikin, Zionis dan Yahudi, mereka semua sudah bersatu, sedangkan kaum Nasrani bergabung dakm satu dewan gereja. Padahal mereka tidak punya ayat yang berbunyi:

“Bahwa sesungguhnya umatmu ini adalah ummat yang satu dan Kami adalah Tuhanmu, maka sembahlah Kami.” (Q.S.21: 92).

(4)

bersatulah mereka untuk inenghadapi kita. Menurut informasi yang saya terima, ribuan sekolah dasar. Sekarang murid-muridnya dibiayai oleh kaum inissionaris (kaum Nasrani), tentunya dengan maksud-maksud tak asing lagi bagi kita. Jadi gereja menginginkan agar mereka itu merasa berhutang budi kepada Nasrani kemudian mudah ditarik oleh mereka ke Gereja. Karena itu mereka mencapai kemajuan yang pesat di tahun-tahun terakhir ini. Sedangkan kita -- maaf -- secara tidak sadar membantu mereka mengeluarkan saudara saudara dan generasi kita yang sekarang ini dan ummat dan agama Islam. Jadi mereka akan lebih mudah mengkristenkan kita, sedangkan kita mengkafirkan saudara kita sendiri. Adakah fanatisme yang lebih berat daripada ini?

Kita sekarang ini tidak perlu Syi‘ah atau Sunnah menjadi bahan gaduh di antara kita, kaum muslimin. Kita perlu Islam yang bersumber kan Al-Qur’an dan Al-h’adits diterapkan pada diri kita.

Kita memerlukan ukhuwah, memerlukan pengumpulan dana dan seluruh masyarakat dan organisasi Islam untuk menebus jutaan pemuda muslim yang sekarang di ambang pintu Nasrani untuk dikristenkan.

Untuk menyelamatkan mereka, barangkali kita perlu mengurangi belanja rumah tangga dan uang jajan anak-anak kita. Dan gadis-gadis serta wanita kita, harus mengurangi segala macam kelebihan benda-benda yang tidak diperlukan se perti alat-alat make-up dan sebagainya, karena uang itu nanti akan kita sumbangkan kepada penduduk yang iniskin di antara kaum muslimin yang sekarang dipegang oleh gereja dengan maksud-maksud seperti itu.

Sekarang kita membuang uang untuk mencetak buku-buku, membagikan buku-buku secara gratis yang hanya isinya caci-maki, tuduh-menu duh dan kafir-mengkafirkan. Sehingga uang ratusan juta di Indonesia ini kita habiskan hanya untuk membumihanguskan rumah tangga kita sendiri. Apakab tindakan sepérti ini cocok dengan syariat, sesuai dengan akal sehat, pantas dengan waktu seperti sekarang dan sejalan dengan politik perjuangan dewasa ini? Biasanya tindakan-tindakan semacam itu diilhami oleh wawasan yang sempit, fanatisme yang bergejolak di dada, atau kesempitan akhlaq dan kedengkian yang mendalam terhadap sesama muslim.

(5)

bersifat final antara Ulama Syi ‘ah dan Ulama kita. Kita mencaci mereka dengan menggunakan dalil buku-buku orientalis, itu juga menunjukkan wawasan yang sempit. Kita kafirkan mereka berdasarkan caci-maki, ejekan dan segala macam kebohongan, itu juga merupakan akhlaq yang sempit.

Orang yang berwawasan sempit akan mengatakan, bahwa kita (Ahlus sunnah) ini juga melakukan tahrif, seperti kita mengatakan bahwa Syi’ah melakukan tahrif dan begitu seterusnya. Saya kira hal ini perlu saudara-saudara camkan sebelum majelis ini akan kita lanjutkan nanti.

Kedua: Bagaimana Pendirian Mazhab Syi’ah Tentang Sahabat Nabi?

Mahasiswa: Ustadz Husein yang terhormat, terima kasih atas keterangan yang diisampaikan kepada kami. Sebelum kami melanjutkan pertanyaan yang kedua, kami ingin kembali dengan jawaban Ustadz Husein yang pertama tadi, yakni Ustadz Husein menyatakan bahwa kita tidak perlu saling mengkafirkan di antara kaum muslimin. Namun kami sering mendengar bahwa orang-orang yang berfaham Syi ‘ah sering mengkafirkan Sahabat Nabi Saww. Kalau itu tidak benar, kami ingin menanyakan kepada Ustadz: “Bagaimana sebenarnya pendirian orang Syi ‘ah terhadap para Sahabat Nabi Saww?

Ustadz Husein: Dalam masalah ini, sebenar nya dua Madzhab ini mempunyal dua pendapat dan dua pendirian masing-masing. Kalau Madzhab Syi’ah itu, membagi para Sahabat Nabi menjadi tiga bagian sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab mereka antara lain sebagai berikut1:

Bagian pertama:

Adalah sebagian sahabat yang benar-benar taat dan setia kepada Rasulullah Saww, tidak pernah melanggar dan tidak pernah membantahi dsb. Antara lain yang disebut-sebut oleh Syi’ah ialah nama-nama: Ammar, Al-Asytar, Abu Dzar, Salman, Jabir bin Abdillah, dsb. Begitulah menurut mereka.

1

(6)

Bagian kedua:

Ialah sahabat-sahabat yang pernah berbuat sesuatu yang kurang menampakkan kesetiaannya kepada Rasulullah Saww. Dan perbuatan-perbuatan mereka itu disebutkan serta ditulis di dalam kitab-kitab standard hadits kita seperti, Bukhari, Muslim dls. Syi’ah pun mempunyai jalur yang meriwayatkan hal seperti itu, kemudian Syi ‘ah berpegangan bahwa mereka itu (sahabat) dalam pembagian kedua ini memang masih harus diseleksi dan diragukan.

Bagian ketiga:

Yaitu sahabat yang dianggap munafiq, orang-orang seperti ini masuk dalam batas kufur. Yang menyatakan adanya munafiq dan kalangan sahabat itu adalah Nabi sendiri. Di dalam Hadits-hadits yang diriwayatkan Bukhari yang di antaranya menyatakan:

“Bahwa kelak dihari kiamat beliau Saww berada d Haudh, tiba-tiba datang para Sahabat lalu mereka mau ininum, Rasul mau melayani mereka, tetapi mereka dijauhkan dari Rasul, Rasul bertanya: “Engkau tidak tahu wahai Muhammad, apa yang telah mere/ca lakukan serelah engkau wafat.”2

Juga dalam A1-Qur’an disebutkan:

“Di antara orang-orang Arab Badul yang d sekelilingmu itu ada orang-orang munafik; dan (juga) dl antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Q.S.9: 101)

Ayat-ayat dan Hadits-hadits seperti ini banyak, dan oleh kaum Syi’ah Imamiyah hal itu dijadikan pegangan dan mereka tidak akan meninggalkan, karena mereka menganggap itu juga nash, mereka tidak boleh mempunyai pendapat di samping nash.

Adapun kalangan kita Ahlussunnah, menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali ada lah “Udul” artinya orang yang bisa dipercaya. Orang-orang baik, setidak-tidaknya mereka pernah melihat wajah Nabi Saww dan pernah ada di sekitar Nabi, itu baik dan itu pendapat. Ya. . .agar tidak terlalu banyak hal yang akan menimbulkan pertanyaan, pokoknya semua baik, sudah. Jadi kalau ada satu riwayat tentang kesalahan yang jelas di

2

(7)

kalangan para sahabat itu, kita Ahlussunnah menganggapnya itu adalah ijtihad sahabat. Kemudian Kita ta ‘wilkan dan tafsirkan sampai akhirnya mereka dianggap mendapat pa hala (sebagai orang yang mendapatkan fadhilah), dapat ganjaran. inisalnya sahabat membunuh sahabat.

Muawiyah memerangi Ali sampai beberapa belas ribu orang sahabat gugur. Kita mengatakan Muawiyah itu berijtihad dan ijtihadnya itu sampai memerangi Ali bin Abi Thalib, dan kita mempunyal kaidah ushul:

Apabila hakim berjjtihad, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat satu pahala.3

Jadi minimal Muawiyah bin Abi Sufyan mendapat satu pahala. Begitulah sikap kita Ahlul-sunnah terhadap para sahabat. Tentu masing-masing Madzhab mempunyai pendirian sendiri dalam beberapa masalah, dan kita yang berpendirian seperti ini seharusnya menghormati pendirian orang lain.

Kalau Syi ‘ah mengkafirkan orang-orang munafik, kita tidak boleh mengkafirkan mereka, karena mereka hanya mengkafirkan sebagian sahabat yang munafik yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Hadits-hadlts. Mereka.punya dasar dan alasan, - setidaknya mereka berijtihad dan berdasarkan nash yang ada pada kita juga, jadi tidak boleh kita salahkan begitu saja. Kita boleh menerima atau tidak menerima pendapat itu. Kalau kita tidak menerima pendirian mereka ini maka kita kembali kepada pendirian kita, Iaitu semua sahabat itu “Udul” tanpa kecuali. inilah pendapat saya tentang masalah kedua ini. Jadi masalah ini kita serahkan kepada pendirian kita sendiri dan bagaimana akal serta logika kita mengkaji masalah-masalah seperti ini. Kalau Syi’ah kita anggap mengkafirkan sebagian dan para saliabat lalu kita vonis mereka ini kafir ma ka hal ini tidak benar. Sebab kita mesti tahu de ngan alasan apa mereka mengkafirkan itu? Kalau alasannya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits maka itu adalah fi’ak mereka dan kalau kita tidak sependapat dengan itu, maka itu adalah hak kita.

Mahasiswa: Setelah mendengar keterangan dan Ustadz, kami jadi ingin bertanya lebih jauh. Jika demikian, apa bedanya pendirian Syi’ah dan Ahlussunnah mengenai sahabat?

Ustadz Husein: Tadi sudah saya jawab bahawa perbedaan kita dengan mereka ialah

3

(8)

bahwa Imamiyyah mengatakan, sahabat itu dibagi menjadi tiga kelompok (ditinjau dan sudut keimanan mereka). Yang paling tinggi di antara mereka adalah para sahabat yang tidak pernah berbuat sesuatu yang tercela dan mereka tidak pemah berbuat salah. Yang kedua adalah mereka yang pernah membuat kesalahan sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi yakni sahabat membunuh sahabat, sahabat mencerca sahabat dsb. Yang ke tiga yaitu sahabat yang munafik dan sifat mereka yang munafik ini sudah jelas tampak. Namun sikap kita Ahlussunnah menganggap bahwa semua sahabat itu “Udul”. Kalau sekiranya ada perbuatan yang menyimpang maka kita ta ‘wilkan, sehingga kadang-kadang terus saja saya ingin menegaskan ta ‘wil kita itu bertentangan dengan nash. Jadi seakan-akan kita mengatakan bahwa syariat Islam ini tidak berlaku atas sahabat, dan ini tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah Saww. Rasulullah sendiri pernah bersabda:

‘Andaikata Fatimah binti Muhammad AS mencuri, niscaya akan aku potong tangannya’.4 Jadi, Fatimah yang merupakan sepenggal dari badan Nabi dan yang paling dicintai di dunia ini di antara manusia-manusia yang hidup, andaikan beliau tercinta itu mencuri, maka Nabi akan memotong tangannya! Maka saya kira sahabat yang lain pun tidak berhak untuk mendapat kekebalan hukum atau kita menta ‘wilkannya.

Ketiga: Pertanyaan kami: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?”

Mahasiswa: Kami masih ingin menanyakan tentang satu masalah, dan masih sekitar masalah sahabat cuma kami lebih menyempitkan permasalahan ini. Pertanyaan kami: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khaltfah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?”

Ustadz Husein: Dalam masalah ini dua Madzhab ini mempunyai dua pendapat dan dua pendirian. Dua pendirian itu tidak bisa dikompromikan sebab konsekwensinya seseorang yang memegang pendirian harus tetap dan teguh atas dali-dalil yang diyakininya. Sekarang kita mendapati ada dua golongan. Satu golongan yang meyakini bahwa Nabi Saww dalam beberapa Hadits menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin setelah

4

(9)

Beliau, misalnya Hadith Ghadir yang berbunyi:

“Barangsiapa menjadikan aku sebagai pemimpilnnya maka Ali juga pemimpinnya.5 Dan Hadits Tsaqalain yang berbunyi:

Aku :Tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, yaitu Al-Qur ‘an dan Itrah Ahli Baitku. Kalau kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan sesat.”6 Kemudian Hadits Manzilah ketika menjelang perang Tabuk:

“Kedudukan engkau dan aku sebagaimana kedudukan Harun dan Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelah aku.”7

Dan masih banyak lagi Hadits yang seperti itu yang jelas dan tidak bisa diragukan lagi bahwa Nabi Saww menunjuk Ali dengan perintah Allah menjadi Khalifah setelah Beliau. Jadi Nabi dengan tegas mengatakan sesudah Beliau hanya Ali sebagai penerusnya. Jika ada orang lain menjabat itu maka menurut Syi’ah jabatan itu tidak sah. Sebab mungkin seperti seorang gubernur yang menjabat sebuah propinsi karena desakan orang-orang disekitarnya tanpa dia menerima surat keputusan dari presiden maka hal itu tentunya tidak dianggap sah. Masalah ini menurut Syi’ah adalah masalah yang prinsip. Sebab Imamah menurut mereka merupakan masalah yang sangat mendasar.

Kita -- Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti itu. Kita mengatakan bahwa Nabi tidak meninggalkan pesan apapun, 8 sehingga untuk mengangkat pemimpin, sahabat

5

Turmudzy, Juz 2 hal. 298, Musnad Abmad, Juz I hal. 119, 152, Juz 4 hal. 368, 372, Juz 5 hal. 118, 330,

336, Mustadrak Al Hakim Juz 2 hal. 129, Juz 3 hal. 109, 110, 116, 371, Durul Mansur (Suyuthi) dalam

tafsir surat Al-Ahzab ayat 6. Hadits ini diriwayatkan oleh 110 Sahabat, 84 Tsbiln, 360 Ulama Ahlus

Sunnah. (A1-Ghadir Juz I hal. 14 .sampai 151).

6

Muslim, Kitab Fadhoilussahabah Bab Fadhoil Ali, Turmudzy Juz 2 hal. 308, Mustadrak Al-Hakim Juz 3

hal. 48, 109, Musnad Ahmad Juz 3 hal. 17, Nasa’i Kitab Khosois Imam Ali.

7

Bukhari, Kitab Badulkholk Bab Manaqib All, Muslim, Kitab Fadhoil Sohabat Bab Fadhoil All, Turmudzy

Juz 2 hal. 301. Mustadrak Al-Hakim Ju 2 hal. 337, Nasal dalam bukunya Khosois Imam Ali meriwayatkan

hadits ini dan 20 jalur.

8

(10)

menjalankannya dengan musyawarah di antara mereka. Dan syuroh itu memilih Abu Bakar sebagai Khalifah pertama.9 Kemudian oleh beliau jabatan selanjutnya diserahkan kepada Umar Ra sebagai Khalifah kedua, menjelang wafat, Umar menunjuk 6 orang untuk memilih seorang Khalifah. Kemudian Utsman menjadi Khalifah ketiga,10 di antara 4 Khalifah ini menurut sejarah kita Ahlussunnah hanya Ali saja yang dipilih secara aklamasi oleh seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali. Jadi pemilihan empat Khalifah itu dilakukan dengan empat macam cara.

Hal ini oleh kaum muslimin sekarang khususnya Ahlus Sunnah merupakan cara yang wajar dan cukup memadai serta tidak salah. DengAn demikian kita menganggap ketiga Khalifah itu adalah sah, sedang Syi’ah tidak demikian. Mereka menginginkan Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah Saww.

Sedangkan kita seakan-akan tidak membenarkan adanya penunjukan. Padahal sebenarnya kalau kita sabar meneliti dan membaca Hadits hadits sehubungan dengan itu, kita akan tahu bahwa sebagian dan sahabat waktu itu mengakui adanya penunjukan. Di antaranya terbukti ketika mereka berkumpul di tempat bernama Ghadir Khum, Nabi mengangkat Ali sebagai wali sesudah beliau, maka Sayyidina Umar diriwayatkan datang kepada Ali dan menjabat tangan beliau sambil mengatakan:

“Selamat wahai putera Abu Thalib! Engkau hari ini menjadi wali tiap mu ‘min.”11

Bila demikian Hadits yang diucapkan oleh Nabi di Ghadir Khum, saya kira tidak bisa disalahkan, jadi memang betul Hadith dan kejadian itu memang ada, namun sebagian dan kita mengatakan tidak demikian.’12 Oleh karena itu mereka kembali kepada syuro

9

Tankh A1-Khulafa 27-77, Al-Kamali Fitarikh 2/291-292

10

Al-Kamil Fittarikh Juz 3 hal. 34-37

11

Tafsir Fahrurrozi dalam tafsiran ayat 67 Surat Al-Maidah Kitab inisykatul Mashobi’ Hadita No. 6094

jilid 3. Ucapan serupa juga disampaikan ot Bakar dan Sa’ad bin Abi Waqas, lihat Musnad Imam Ahmad

4/218 dan sahabat Al-Barra bin Azib. Tafsir Al-Kabir oleh Fahrurrozi Tarikh Bagdad oleh Al-Khatib Al

Baghdadi 8/290. Faidhul Ghadir fi Syarhi Jami’ua shagir Juz 6/217. Dakhoirul Uqbah hal. 68 Arriyadhu

Annadhiro Iuz 2 hal. 170 keduanya oleh Al-Muhib Atthabari dan juga dikutip oleh Hajar Al-Haitami dalam

bukunya Ashowaiq AI-Muhriiqoh. Cerita pengucapan selamat yang disampaikan oleh Abu Bakar dan

Umar kepada Imam Ali tercatat dalam 60 buku standar Ahlus Sunnah. Lihat Al-Ghadir Juz I hal. 272-283.

12

(11)

(musyawarah).

Menurut Syi ‘ah Imamiyah, syuro semacam itu tidak memenuhi syarat sebab sahabat-sahabat yang berjumlah sekitar 100 ribu orang itu, yang ada di kota Madinah paling tidak sejumlah 2000 orang dan dan jumlah itu yang hadir dalam musyawarah pengangkatan Abu Bakar paling banyak 100 orang. Bahkan dan 100 orang itu tidak semuanya sepakat, tidak kalamasi dan di antara mereka ada yang mengatakan: ininna Amir Wa ininkum Amir (Dari kami harus ada pemimpin dan dari kalian angkatlah pemimpin sendiri. Sehingga hampir-hampir terjadi tindakan kekerasan hingga Sayyidina Umar Ra berkata: “Bunuhlah Sa ‘ad bin Ubadah pemimpin Anshar itu!.”13

Dengan demikian tidak cukup memadai untuk syuro itu. Kemudian dikatakan pula syuro tersebut tidak rnemadai karena ahli-ahli syuro dari Bani Hasyim, seperti Ali, Abbas dsb tidak ada yang hadir dan kaum Anshar pun tidak semua nya hadir karena tidak tahu.14 Katena itu Umar pada akhirnya berkata: Bai‘at Abu Bakar itu adalah sesuatu yang Faltah” 15(secara tergesa-gesa) yang Alhamdulil lah Allah menyelamatkan kita dari akibat buruk nya. Jadi tampaknya seperti diatur supaya cepat, sebab kalau semua sahabat hadir mungkin pemilihannya tidak seperti apa yang terjadi itu. Begitulah pendapat Syi ‘ah.

Keempat: Benarkah Syi’ah meragukan Hadith Abu Hurairah dan bahkah tidak memakainya?

Mahasiswa: Sekarang kami lebih merasa puas dengan penjelasan Ustadz kami ingin

Sebagian Ahlu Sunnah mengatakan peristiwa itu adalah palsu yang dikutip dan Kitab Assunnah

Wamakanatuha Fitasyrik Al-Islami hal. 132, oleh Mustafa Syibai

13

Tarikhul Umam Walmuluk oleh Thabari Juz 3 hal. 210.

14

Mereka sedang sibuk menyiapkan untuk pemakaman RaeuluIlah Saww. Lihat Ar-Saqifah Wal Khilafah oleh Abdul Fatah Abdul Maqsud hal.114-115.

15

Bukhari, Kitabul Muharibin inin Ahlikufri warriddah Bab Rojmul Hubia Juz 4 hal. 179. Tarikh Thabari

(12)

bertanya tentang Abu Hurairah. Kita sama tahu bahwa sekarang ini Abu Hurairah sedang diteliti kembali. Pertanyaan kami: Apakah benar Syi ‘ah Imamiyah ini meragukan Hadits hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya? Apakah dengan membuang Hadits-hadlts riwayat Abu Hurairah, Islam ini tidak lenyap? Dan bagaimana akhirnya?

Ustadz Husein: Tentang Abu Hurairah, kaum Imamiyah mempunyai jalur riwayat-riwayat beliau, sejarah atau biografi beliau. Dan hal ini telah diungkapkan oleh kedua belah pihak bahkan kita memiliki juga riwayat-riwayat tentang Abu Hurairah di dalam kitab-kitab Al-Isti ‘ab karya Ibnu Abdil Bar, Al-Ishobahnya oleh Ibnu Hajar dll. Juga beberapa kitab tarikh meriwayatkan juga tentang Abu Hurairah ini secara rinci.

Kesimpulannya, sahabat ini oleh Ahlul Sunnah juga termasuk orang yang diragukan. Namun sebagaimana yang telah saya katakan tadi, bahwa pendirian kita Ahlul Sunnah menganggap semua sahabat Nabi itu “ Udhul”. Dengan demikian, maka Abu Hurairah juga diusahakan untuk diberi “excuse” sehingga kita tnengatakan bahwa Abu Hurairah ini harus kita percayai karena Hadits-hadits yang diriwayatkannya banyak sekali.

Dia meriwayatkan mungkin lebih dan 5000 buah Hadits. Adapun pertanyaan anda: Apakah hal ini tidak sampai mengurangi syariat?

Jawabannya saya kira tidak, sebab Hadits hadlts yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain dan diriwayatkan pula melalui jalur-jalur Imamiyah secara khusus. Jadi bukan Abu Hurairah saja yang meriwayatkannya tetapi juga sahabat-sahabat lain.

Misalnya saja tentang Bab Wudhu atau Bab Tayamum Abu Hurairah meriwayatkan, sahabat-sahabat lain yang dipercaya oleh Jmamiyah juga meriwayatkan, Demikian juga sahabat-sahabat selain Abu Hurairah yang dianggap semua nya “Udul” oleh Ahlussunnah juga meriwayat kan, dan tidak mesti dan jalur Abu Hurairah saja. Juga Abu Hurairah ini oleh Syi ‘ah dianggap sebagai perawi yang suka menambah.

Yakni menguatkan pendirian Nabi dengan pendirian beliau sendiri inisalnya Hadits yang berbunyi:

“Ummatku di hari kiamat nanti akan dlbangkitkan oleh Allah dalam keadaan wajah, kedua tangan dan kakinya serta tempat-tempat yang terkena air wudhu akan bersinar.”16

16

(13)

Kemudian Hadits ini ada tambahannya:

“Barangsiapa yang bisa menambah selain dan itu maka lakukanlah.”

Jadi menambah batas wudhu bukan hanya batas siku tetapi ditambah hingga ke pangkal lengan karena tambahan itu nanti menyala juga di hari kiamat: Ketika Abu Hurairah ditanya tentang hal ini, ia menjawab bahwa yang terakhir tambahan itu bukan dan Nabi tetapi dan Abu Hurairah sendiri. Ahlussunnah meriwayatkan dan menerima seperti itu, sedang kaum Syi’ah tidak menerima hal itu. Sebab menurut mereka, kita tidak boleh menambah sabda Nabi. Jadi apa yang dibawa oleh Rasul sebagaimana ayat yang mengatakan …sampaikan apa yang diturunkan kepadamu. . . kita juga menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasul tanpa kita tambah, walaupun mungkin niat Abu Hurairah baik, yang maksudnya menambah agar tidak sampai persis dan juga untuk hati-hati (lil ihtiyat) jangan sampai ngepas.

Tetapi Syi’ah tidak bisa menerima hal yang Seperti ini. Syi’ah itu bermaksud menghendaki ketegasan dan kejelasan dan mengatakan ini tidak betul dan kami tidak mau tambahan ini. Karena itu mereka mengatakan bahwa Hadits riwayat Abu Hurairah di atas ini adalah tambahan.

Dan ada lagi di dalam Hadits Bukhari, ketika Abu Hurairah ditanya -- di dalam Bab Nafa qah -- apakah ini dan sabda Nabi? Dia menja wab tidak, ini dan kantong Abu Hurairah. Menurut Imamiyah, hal ini fatal. Dalam hal-hal seperti ini Syi’ah tidak bisa menerima. Bukan hanya orang-orang lmamiyah saja yang tidak percaya dengan Abu Hurairah bahkan Sayyidina Umar bin Khattab sendiri pernah meragukannya. Ketika Abu Hurairah dipanggil dari Bahrain oleh Khalifah Umar, ia datang sambil membawa oleh-oleh berupa barang dan harta benda, kemudian ditanya oleh Sayyidina Umar:

“Apa ini semua? Dia menjawab: ini kuda-kuda saya yang beranak dan ini hadiah-hadiah dari orang-orang itu.” Umar bin Khattab menolaknya: Tidak, semua ini harus kau kembalikan ke Baitul Mal. Ia menjawab lagi: Wahai! Amirul Mu’minin, ini hadiah! Kata Amirul Mu’minin:

Kalau kau tidak memegang jabatan itu dan kau tinggal di rumah tanggamu, apa ada kiranya orang-orang yang memberi kamu hadiah? Kembalikan semuanya ke Baitul Mal! Abu Hurairah bersikeras: Saya akan mewakafkannya. Umar marah, Kembalikan ke

(14)

Baitul Mal sebelum aku pukul engkau. Kamu boleh mewakafkan sesuatu yang datang dari ayahmu atau dan warisan ayahmu, tetapi ini adalah hak kaum muslimin dan kamu harus mengembalikannya kepada mereka.17

Hadits-hadits dan riwayat-riwayat semacam ini kita yang meriwayatkan. Kita tidak boleh menyalahkan Syi’ah, kita tidak boleh gegabah, bukankah hal-hal seperti itu kita sendiri yang meriwayatkannya? Kalau kita konsekwen menyalahkan Syi’ah, kita harus menghapus hadits-hadits yang ada dalam Bukhari dll. Yang berkenaan dengan Abu Hurairah ini.

Kesimpulannya, kita tidak boleh menyalahkan Ahlussunnah -- yang menganggap Abu Hurairah itu orang yang “Udhul” dan juga tidak boleh menyalahkan Syi’ah -- karena mereka melihat adanya riwayat yang meragukan.

Saya kira dua Madzhab ini masih ada dalam jalur yang wajar dan sehat, menurut ilmu pengetahuan dan ijtihadnya masing-masing.

Sebagaimana kita, Syi’ah juga menghendaki segala sesuatu yang datang kepada mereka dan para sahabat, seharusnya sudah selektif (terpilih), tidak sembarang sahabat.

Mereka tahu bahwa yang datang kepada mereka itu adalah masalah agama atau Ad-Din yang harus dibawa oleh orang-orang yang sangat jujur, tidak sombong, tidak korupsi dls. Maka dari itu mereka menganggap bahwa kriteria ini tidak dimiliki oleh Abu Hurairah

17

Disebabkan banyaknya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, banyak dari kalangan sahabat dan

para ulama menaruh curiga atas kebenaran riwayat-riwayat Abu Hurairah. Diriwayatkan bahwa Umar

berkata kepadanya: Wahai Abu Hurairah kau telah banyak mengobral riwayat dari Nabi, maka pantaslah

jika kau sebagai pembohong. Dirivaysikan Juga bahwa Umar mengancamnya akin mengusirnya dari

Madinah dan akan dipulangkan ke kampung halamannya, jika Ia telap masih banyak mengobral hadits Nabi

Saww din Abu Hurairah sendiri — disebabkan ancaman Umar — mengatakan: Saya tidak bisa mengatakan:

Nabi bersabda ... kecuali satelah Umar mati dalam kesempatan lain ia mengatakan: (Hari-hari ini) aku

membawakan hadits dari Nabi Saww yang sekiranya aku utarakan di zaman Umar pasti saku dipukul

dengan batang pelepah kurma. Syeikh Rasyid Ridha berkata seandainya Abu Hunairah mati sebelum Umar

maka tidak mungkin akan sampai kepada kita (tumpukan) hadits yang banyak dari Abu Hurairah.

(Al-Adhwa oleh Abu Royya hal. 174). Dan di antara mereka yang meragukan kejujuran Abu Hurairah adalah

Utaman bin Affan, Aisyah dan Imam Ali As. Imam Ali As berkata: “Paling pendustanya makhluk hidup —

(15)

sehingga kita dengan mereka berbeda dalam masalah Abu Hurairah.

Sedangkan masalah agama tidak ada hubungannya dengan masalah ini sebab hadits-hadits tentang agama (hukum) diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain. Walaupun umpamanya Syi‘ah meniadakan riwayat Abu Hurairah secara keseluruhan dan meniadakan riwayat sahabat-sahabat. yang memerangi Sayyidina Ali yang akan merebut Khalifah secara kudeta, serta mengeroyok Utsman bin Affan, kita tidak boleh kita salahkan mereka. Sebab orang yang ingin menyalahkan Syi’ah dalam hal ini maka tidak ada kesetiaannya terhadap ukhuwah dan kepada Islam.

Mahasiswa: Selain riwayat Abu Hurairah, riwayat-riwayat siapa lagi dan sahabat Nabi yang tidak dipakai oleh Syi ‘ah?

Ustadz Husein: Imamiyah tidak memakai riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang hadir bersama Sayyidatuna A’isyah Ra di dalam peperangan Onta untuk memerangi Ali dan juga yang hadir di dalam peperangan Siffin bersama Muawiyah yang memerangi Imam Ali di Siffin.

Imamiyah menganggap Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang seperti mereka ini adalah tidak kuat, sebab orang-orang ini melanggar perintah Rasul Saww:

‘Barangsiapa yang keluar (membatalkan) bai ‘atnya, maka apabila Ia mati, maka matinya mati jahiliah.18”

Jadi mereka yang memerangi Ali dianggap Imamiyah sebagai orang-orang yang kesalahan nya luar biasa (tidak dimaafkan), mereka ini hadits-haditsnya tldak dipakai. Alhamdulillah, jalur-jalur selain mereka masih cukup sehingga syariat Islam sampai kepada kita dan sampai pula kepada Imamiyah. Kita bisa melihat apakah mereka kekurangan?

Kalau kita masih meragukan, bila kita tolak Hadits-hadits yang dibawa oleh Abu Rurairah kemudian Syariat Islam akan hilang separoh? Kita lihat saja Imamiyah yang sama sekali tidak memakai Hadits-hadits Abu Hurairah. Walaupun mereka menolak Abu Hurairah dan sekian banyak sahabat lainnya, toh Fiqih mereka lengkap, Ushul dan Tauhid mereka komplit. Semua ini diambil oleh mereka dari jalur para Imam mereka dan pam sahabat yang simpati kepada Ahlul Bait.

18

(16)

Insya Allah di kalangan saudara-saudara yang berkecimpung di dalam bidang-bidang’ilmu pengetahuan dengan cara ilmiah tidak akan sulit meneliti Hadits-hadits yang dibawa oleh Syi ‘ah Imamiyah dan Hadits-hadits yang ada di tangan kita. Insya Allah hal ini tidak sukar bagi saudara apabila ada waktu untuk mempelajarinya.

Mudah-mudahan apa yang saya teràngkan tentang Abu Hurairah ini, khususnya juga yang dlriwayatkan di dalam kitab-kitab shahih Bukhari-Muslim sebenamya membuat kita Ahlussunnah? meragukannya, sebab beliau mengatakan - sebagaimana yang telah saya katakan tadi -- ketika ditanya “Apakah kamu mendengar ini dari Rasulullah?” Beliau menjawab: Tidak, -- sambil bergurau -- ini berasal dan kantong Abu Hurairah, anda bisa melihat ini dalam Shahih Bukhari juz 7 hal. 63 di kitab Nafaqah (Bab Wujubun Nafaqah ala Ahli wal Iyal). Dengan demikian oran bisa ragu, tetapi karena kita sudah terlanjur mempunyai kaidah semua sahabat “Udul”, maka kita tidak bergerak dart kaidah itu, dan hal itu tidak ada masalah, yang penting kita tidak memaksa orang lain untuk percaya pada sistem atau cara Imamiyah dalam menanggapi sahabat seperti Abu Hurairah dan lain sebagainya.

Juga kita tidak bo!eh mencaci atau mengkafirkan mereka kalau mereka menganut sistem atau aliran itu. Yang penting kita harus berdiri di tengah dan memikirkan ukhuwah, jangan sampai terpecah hanya karena masalah-masalah seperti ini.

Kelima: Hadits Qur ‘an wa Sunnati atau Hadits Qur ‘an wa Ithrati?

Mahasiswa: Kami pernah satu hadits tetapi ada dua pengakuan terhadap hadith tersebut adalah Hadits Tsaqalain yang menyebutkan tentang Kitabullah wa sunnati mohon penjelasan?

Ustadz Husein: Sebenarnya hal itu ada dua Hadits yang satu menurut jalur Ahlul Bait atau Imamiyah yang berbunyi sebagai berikut:

‘Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, Al-Qur’an dan Ithrah Ahli Baitku, kalau kali an berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat.

(17)

Bait; Imam Turmudzy, An-Nasa’i dalam kitabnya Al-Khoshois, dan Ahmad dalam Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kanzul Ummal, Ath-Thobakot dll Dan jug di dalam tafsir lbnu Katsir, Jama ‘ul Ushul dll.

Tadi kita Ahlus Sunnah sendiri menganggap Hadits ini shahih: Sedangkan hadits serupa tetapi menyatakan kitabullah wa sunnati dan itu pun hanya terdapat pada dua jalur saja. Kita Ahlul Sunnah membenarkannya dan tidak mau mengambil yang lain yakni kitabullah wa ithrati pada hal hadits itu lebih kuat dan lebih banyak,19 tetapi hanya “kitabullah wa sunnati” yang dipakai.

Hadits kitabulah wa sunnati rasulihi maksudnya ialah “Kami meninggalkan dua hal bagi mu, Kitab Allah dan Sunnahku, Hadits ini menurut kita Ahlussunnah shahih dan bahkan kita berpegang dengannya.

Namun bagi Imamiyah yang saya anggap mereka itu teliti sekali, mengatakan bahawa justru hadits -- wa sunnati -- ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan keadaan serta kenyataan di saat itu (Lihat Kitab: Li akuna ma’ashodiqin oleh Muhammad At-Tijani As-Samawi).

Menurut kenyataan sejarah, Nabi melarang sahabat menulis hadits Beliau. Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman pun melarang menulisnya sehingga sunnah Nabi yang merupakan ucapan Beliau, pengakuan suatu tindakan yang dilakukan sahabat atau ikrarnya, kemudian perbuatan Beliau sendiri. Ketiga-tiganya itu tidak pernah terbukukan

19

Jalur (sanad) hadits -- kiiabullah wa ithrati — mencapai 60 jalur lebih dan sudah disepakati

keshahihannya oleh Ulama-ulama Ahii Sunnah wal Jama’ah. lbnu Hajar berkata datam buku Showaiq Al

Muhriqah: Ketahuilah, bahwa hadits tsaqalain memiliki banyak jalur yang datang dan 20 sahabat. Sekali

beliau SAWW mengucapkan di Arafah juga pernah di Ghadir Khum, di kamar Beliau ketika sedang sakit

yang membawanya wafat, ketika pulang dan Thaif semuanya tidak ada pertentangan satu sama

lainnya, pengulangan itu menunjukkan betapa perhatian Beliau kepada Al-Quran dan Al-Ithrah.. Adapun

Hadits — wa sunnati -- hanya diriwayatkan oleh dua atau tiga ulama di antaranya Imam Malik dalam

Muwathanya, Ath-Thabari dalam Musnad Kabirnya

dan Ibnu Hisyam dalam buku Sirahnya. Untuk Iebih jelasnya lihat buku Hadits Tuaqalain yang diterbitkan

(18)

sebab ada 1arangan.20

Walaupun larangan itu oleh sebagian golongan sebagai sesuatu yang naif sebab dikatakan khawatir bercampur aduk dengan Al-Qur’an. Hal ini saya kira mustahil sebab Allah telah berjanji akan memelihara Al-Qur’an itu dan segala gangguan dan juga bahasa Al-Qur’an itu dan sastranya demikian indah dan jauh berbeda dengan hadits.

Kalau orang Arab apalagi yang hadir di zaman Nabi khususnya yang muslim, tidak mungkin keliru atau salah membedakan antara hadits Rasulullàh Saww dan Al-Qur’an. Oleh karena itu konon diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah mengajarkan sunnahnya.21 Ja di bila Nabi bertindak atau bersabda maka sahabat mencatatnya.22 Tetapi. kadangkala tidak semua sahabat hadir pada waktu itu sehingga kadang-kadang satu sunnah Nabi hanya disaksikan oleh seorang sahabat saja. Sehingga banyak sahabat misalnya tidak faham tentang cara tayammum.23 Ada sahabat yang tidak tahu bagaimana cara mengusap sepatu dalam berwudhu, sebab mereka tidak melihat Rasulullah Saww berbuat demikian. Jadi praktis yang terbukukan waktu itu yang berwujud kitab hanyalah Al-Qur’an.24

20

Nabi bersabda,” Janganlah kalian menulis apa-apa kuucapkan selain al-Qur’an, maka ia harus

menghapuskannya.”(Sunan Ad-Darimy – Muslim – Ahmad – Turmudzy – dan Nasai – dari sahabat Nabi

Abu Sa’id al-Khudri.

21

Li Akuna Ms’shodiqin oleh: Muh. At-Tijani As-Samawi.

22

Larangan penulisan itu dianggap oleh sementara golongan sebagai suatu hal yang tidak tepat, mereka

meragukan keshahihan hadits

larangan itu, sebab telah diriwayatkan bahwa Nabi jucteru memerintahkan penulisan hadits-haditsnya dan

sahabat-sahabat pun mencatat semua yang beliau ucapkan. Bukhari meriwayatkan

maka datang seseorang diri pendudnk Yaman dan berkata: “Tuliskan buatku ya. Rasulullah Nabi bersabda:

‘(Wahai sahabatku) tuliskan buat si Fulan ini (Kitab Ilm bab Kitabatul Ilm Juz 1 hal. 23). Diriwayatkan dari

Amr bin Syu’aib dan ayahnya dan kakeknya berkata, saya berkata: “Wahai Nabi apakah semua yang. kau

ucapkan perlu saya tuliskan? Nabi menjawab: “Ya”. Saya berkata, dalam keadaan ridha dan marah? Nabi

menjawab “Ya”, karena sesungguhnya aku tidak mengucapkan kecuali yang benar.” (Sunan Turmudzy Juz

5 hal. 39 kitabul Ilm bab Maja’afi arrukhsoh fihi).

23

Bukhari Kitabul Tayammum Juz I hal. 70, Al-Muhalla,Ibn Hazm Juz I hal 339 cet. Matbaul lmam

(Mesir).

24

(19)

Oleh karena itu Nabi bersabda: Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan Ithrahku.” Kalau sunnah Beliau benar-benar tidak tercatat, tidak mungkin orang berpegangan dengan sesuatu yang tidak ada (belum terwujud saat itu).

Ketika Nabi sedang sakit keras dan beliau minta kertas dan tinta -- sebagaimana yang telah diriwayatkan Bukhari25 Untuk menuliskan wa

siat. namun Sayyidina Umar menjawab: “Ya Rasulullah. Cukup bagi kami Al-Qur’an. Dengan susunan .kalimat Sayyidina Umar ini -- “Yakfina Kitabullah” -- dan sama sekali tidak menyebut Sunnah, berarti -- kalau kita mau jujur dan berprasangka baik -- Sayyidina Umar tidak akan berpegang dengan Sunnah yang memang waktu itu belum tercatat dan belum terbukukan.

Jadi Sayyidina Umar bukan menolak Sunnah walaupun ada Syi‘ah yang radikal mengata kan Umar menolak Sunnah, jadi termasuk ingkar sunnah tetapi sebagian lain mengatakan tidak demikian, sebab Umar pada waktu itu belum melihat adanya sunnah, sehingga dia bilang “cukup Al-Qur’an”. kemudian sunnahnya bagaimana?

Sunnahnya tentunya apa-apa yang ada di dada mereka, yang mereka ingat. Dan ini relatif tidak bisa apalagi yang memimpin tidak All round (menguasai sepenuhnya) dalam menghafal semua sunnah. Karena itu dengan prasangka yang baik kita harus menganggap bahwa -- waktu itu sunnah belum terbukukan -- Jika umpama sunnah waktu itu sudah ada (terbukukan) maka kita bisa menghukum Sayyidina Umar kafir, karena dia menolak sunnah. Oleh karena sunnah belum ada maka Umar berpegangan dengan apa yang sudah ada yakni Al-Qur’an.

mencatatnya dan disimpan di rumah beliau setelah diadakan pengoreksian dengan mencocokkan antara

penulisan dengan bacaannya.

25

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA ia berkata: ‘Ketika Nabi sakit keras beliau berkata “Berilah aku

selembar kertas aku akan tulis wasiat niscaya kamu tidak akan sesat setelahku nanti Umar berkata Nabi

terlalu parah sakitnya sehingga tidak terkontrol ucapannya dan kita sudah punya Kitabullah — Al-Quran

cukup bagi kami Kitabullah, lalu ributlah penghuni kamar beiiau sehingga Beliau mengusir mereka dan

berkata: Pergilah kalian dariku tidak sepantasnya terjadi keributan di hadapanku. ‘ lbnu Abbas berkomentar:

Bencana terbesar adatah terhalangnya Nabi dari penulisan wasiat itu. (Bukhari Kitabul Ilm bab Kitabatul

(20)

Alasan lain ialah ketika Nabi Saww hidup, Beliau tidak pernah mengajarkan sunnahnya kepada ummatnya tetapi Beliau hanya mengajarkan Al-Qur’an.26

Jadi yang dikatakan sunnah adalah ucapan Beliau dan lain-lainnya itu belum ada yang mencatat (membukukan)nya dan belum terdaftar oleh semua sahabat. Kadangkala sebagaimana yang telah saya katakan tadi sunnah itu hanya didengar oleh seorang sahabat saja. Jadi Nabi tidak mengajarkan sunnah itu.

Sunnah baru dibukukan dan ingatan para sahabat kira-kira satu abad setelah Nabi Saww wafat. Tepatnya di zaman Bani Abbas.

Perbedaan pendapat antara sahabat tentang memerangi kaum murtad di zaman khalifah Abu Bakar adalah salah satu bukti bahwa sebagian sahabat lupa akan sunnah Nabi yang belum terbukukan saat itu.

Peristiwa peperangan dengan kaum Riddah atau kaum murtad yang terjadi pada bulan-bulan pertama masa pemerintahan Abu Bakar yaitu menghadapi orang-orang yang menolak mengeluarkan zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka dan Umar sedianya menolak dengan alasan mereka itu tetap mengucapkan syahadat, tetapi akhirnya Umar setuju. Pada awal nya Umar berdalil untuk menentang tindakan Abu Bakar, akhimya karena kuat dan kerasnya pendirian Abu Bakar maka Umar tertarik dengan pendirian Abu Bakar dan diserbulah Ahll Riddah (yang tidak mau membayar zakat) itu.

Andaikata sunnah Nabi pada waktu itu sudah dibukukan tentu kedua sahabat besar ini tidak akan lupa akan peristiwa yang disaksikan oleh kedua beliau itu sendiri dan mereka tahu bahwa kejadian itu sampai turun ayat Al-Qur ‘an: “Yaitu peristiwa Tsa ‘labah.” Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman Nabi dan dihadapi oleh Nabi sendiri sampai ada ayat yang turun karena peristiwa itu, namun terhadap Tsa’labah ini Nabi tidak membunuhnya. Jadi membunuh orang yang tidak mengeluarkan zakat tidak cocok dengan sunnah Nabi pada waktu itu. Tidak ada sa.habat yang tidak tahu tentang masa lah Tsa’labah ini, termasuk sahabat Abu Bakar dan Umar. Hal mi menunjukkan bahwa sunnah Nabi tidak terbukukan, kalau memang terbukukan tentunya mereka akan merujuk ke sunnah itu.

Oleh karena itu hadits yang menyebut “ sunnati” ‘itu menurut mereka tidak bisa dipasti

26

(21)

kan benar. Selain itu ada beberapa alasan yang terbaca oleh kita dalam hadits-hadits baik dari amalan-amalan sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi andaikata mereka tahu, niscaya tidak akan mereka lakukan dan kita tidak berani mengatakan bahwa mereka sengaja bertindak dengan ijtihad sedangkan nash ada tetapi mungkin saja mereka ijtihad kerana sunnah tida ada atau tidak terdaftar, sedang yang bersangkutan tidak ingat sunnah itu. Jika mereka benar-benar tidak tahu tentang sunnah beliau dalam beberapa masalah maka bagaimana Nabi memesankan agar berpegangan dengan sunnah yang belum ada itu? Setelah lama Rasulullah Saww wafat baru sunnah Nabi itu terbukukan. Orang yang pertama membukukannya adalah Imam Malik dan pembukuan tersebut dilaksanakan setelah terjadinya peperangan Jamal, perang Siffin dan perang Nahrawan dan juga setelah peristiwa Al-Harra di mana ketika itu Madinah Rasulullah Saww dibuka bagi kaum angkara murka. Banyak sahabat yang terbunuh dalam peperangan-peperangan dan peristi’wa itu. Ummat Islam saat itu terpecah menjadi dua kelompok:

Kubu Ali dan keluarga Nabi Saww dan kubu sahabat-sahabat pada umumnya. Yang lebih parah lagi adalah perpecahan antara kubu Ali dan Muawiyah. Para perawi yang ada mendekati Muawiyah, dan oleh Imamiyah hadits-hadits mereka tidak dipakai.

Jadi hadits “ sunnati” menurut Imamiyah tidak ada, yang ada hanya hadits “Wa ithrati hal ini bisa dipertanggungjawabkan oleh kita Ahlus sunnah maupun oleh mereka kaum Syi’ah.

Dalam hadits “wa itrah” Nabi Saww seakan akan menyatakan, “Qur’an itu kutinggalkan atau Kitabullah itu saja yang aku tinggalkan padamu, adapun mengenai pelaksanaannya yaitu mandatarisnya adalah Ahlul Bait dalam arti keseluruhan.

Oleh karena itu, Ali oleh Imamiyah dianggap sebagai sahabat yang paling alim dan hal ini sudah diaksiomakan di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ketiga sahabat ini kalau menghadapi suatu masalah pasti pergi menjumpai Ali dan bertanya kepadanya. Nabi bersabda:

“Aku kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya.”27

27

Mustadrok A1-Hakim Juz 3 hal. 126 dan a mengatakan bakwa hadita itu shahih. Tarikh Baghdad oleh

Khathib A1-Baghdadi juz 4 hal. 348 mengatakan bahwa hadits itu shahih. Ushul Ghobah oleh ibnu

(22)

Karena itu menurut Syi’ah, lebih aman berpegang teguh kepada Itrah. Ahlus sunnah juga meriwayatkan “wa itrati” dan Syi’ah Imamiyah juga meriwayatkan hadits wa ithrati, jadi kita menemukan titik temu dengan Syi‘ah dalam masalah ini walaupun antara kita dan mereka mempunyai jalur masing-masing. Adapun “wa sunnati” hanya ada pada jalur kita dan itupun hanya dua atau tiga jalur. Karena itu Syi‘ah menolak nya dengan alasan-alasan sebagaimana yang telah saya paparkan yakni pada waktu itu sebelum dibukukan atau belum ada.

Mahasiswa: Sebenarnya jawaban Ustadz tadi cukup jelas dan gamblang. Secara pribadi, saya bisa menjawab mana yang lebih shahih dan yang lebih bisa diterima antara hadits “Sunhati” dan “Itrati”. Namun saya ingin mendapat penjelasan yang lebih pasti dan Ustadz. Yakni mana yang lebih shahih, hadits “Sunnati” atau “Ihtrati”?

Ustadz Husein: Saya sendiri menganggap bahwa kedua pendapat Sunnah dan Syi ‘ah itu sudah cukup jelas. Kalau pendapat Imamiyah “wa sunnati” tidak mungkin diucapkan oleh Nabi sebab Nabi tidak akan mungkin meninggalkan sesuatu yang tidak berwujud (konkrit) atau lengkap.

Nabi hanya meninggalkan sesuatu yang konkrit yaitu Al-Qur’an. Jadi para sahabat walaupun yang buta huruf tidak bisa baca Al-Qur’an, kemudian mereka memerlukan satu ayat, mereka bisa bertanya kepada orang-orang yang hafal (huffadz), tetapi masalah sunnah mereka memerlukan keterangan dan waktu itu tidak ada satu pun kitab yang bisa dijadikan rujukan oleh mereka, sedangkan mereka memerlukan sunnah itu. karena, pada waktu itu sunnah terpencar-pencar di dada para sahabat dan tidak semua sahabat hadir ketika Nabi mengucapkan sesuatu, maka sulit kita percaya bahwa Nabi meninggalkan sesuatu yang belum konkrit, masih abstrak, yang masih diingat oleh satu orang sedang orang lain tidak ingat. Nabi tidak meninggalkan barang seperti itu tetapi beliau meninggalkan Al-Qur’an.28

Bahkan kalau saya tidak salah, Bukhari sendiri menyatakan ketika ditanya apakah Nabi

28

Dalam shahlh Bukhari ada sebuah hadits riwayat dari Thalhah bin Masyraf yang mengatakan bahwa

beliau bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa: Apakah Nabi pernah berwasiat? Abdullah bin Abi Aufa

menjawab, “Tidak”. Kemudian Thalhah bertanya:

Bagaimana beliau menyuruh orang lain agar berwasiat aedangkan beliau sendiri tidak melakukannya?

(23)

meninggalkan wasiat atau tidak, Nabi hanya mewasiatkan Kitabullah (tanpa wa sunnati). Saya kira riwayat Bukhari ini lebih tepat dipegangi oleh Ahlussunnah.

Keenam: Apakah Mungkin di Zaman Setelah Nabi SAWW, ada pemalsu-pemalsu Hadits?

Malzasiswa: Dengan keterangan Ustadz itu akhirnya kami merasa bingung, karena Ustadz mengatakan “Kitabullah wa sunnati”; ternyata sunnah-sunnah zaman Nabi tidak dibukukan. Tetapi mengapa toh sampai juga kepada kita dan dipakai oleh kita Ahlussunnah Kemudian, apakah mungkin di zaman itu ada pemalsu-pemalsu hadits?

Ustadz Husein: Bila kita telah membaca sejarah dengan teliti tanpa ada rasa fanatisme dan taqlid, maksudnya kita benar-benar bersikap neutral, maka bisa saja kita menerima pendapat itu.

Setelah sahabat dengan sahabat berperang. Muawiyah mempunyai klik (kelompok) untuk memerangi Ali sedangkan Ali dan Ahlul Bait Nabi Saww yang ditinggalkan Nabi sebagai Sesuatu yang hidup atau sunnah yang hidup dan berjalan bersama A1-Qur’an yang nantinya ditafsirkan oleh Ali. Ali dan Al-Qur’an sudah merupakan dua peninggalan yang paling baik. Tetapi setelah hal itu dilanggar, kemudian Ali dirongrong dan dibunuh, sampai Hasan dan Husein di bunuh, maka di zaman itu banyak orang yang sebenarnya diragukan imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Saudara jangan menganggap ini adalah pendapat saya. Seorang sahabat yang kesaksiannya dianggap dua orang oleh Rasulullah Saww. Yaitu Huzaifah bin Yaman pernah mengatakan:

“Sesungguhnya kemunafikan itu ada pada zaman Nabi, namun di zaman kita sekarang adalah kekafiran setelah Iman.”

Artinya mereka itu sudah keluar dan garis iman, dan itulah kafir setelah mereka beriman. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari pada juz 9 Kitabul Fitan. Jadi kalau ada orang yang dikualifikasikau oleh Huzaifah sebagai keluar dan iman -- kafir sesudah beriman -- jelas orang-orang Seperti itu dapat melakukan pemalsuan hadits? Justru mereka mencari dalih agar dapat menyingkirkan, menyudutkan dan meninggalkan Ali serta tidak membai’atnya sebagai khalifah pertama, ada alasan.

(24)

itrati” di ganti dengan “Wa sunnati”? Mereka lupa bahwa waktu itu sunnah belum terbukukan, jadi mereka menambah. “Wa Sunnati” juga tidak diterima. Tampak jelas bahwa ini merupakan sisipan atau suatu interpolasi, begitu kata penulis-penulis Imamiyah Itsna Asyariyah.29

Hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi saudara-saudara. Nabi itu orang yang realistis tidak hanya idealis. Beliau tidak akan meninggalkan sesuatu yang belum ada dan Beliau tahu bahwa sunnah belum terbukukan bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa Beliau merasa pernah melarang menulis sunnahnya. Lalu bagai mana beliau meninggalkan sunnah itu kepada kita? Jadi yang ditinggalkan adalah Al-Qur’an dan manusia Allround (serba bisa) yang akan menjalankan A1-Qur’an, yaitu Imam Ali dan Itrah, itulah sebabnya ada hadits Ghadir dan lain-lain.

Ahlussunnah menganggap tidak demikian dan memang kita berhak mengatakan demikian. Oleh karena itu yang menolak hadits “ wa sunnati” yakni Syi’ah, kita tidak boleh kita mengkafirkan dan yang mau memegangi “Wa sunnati” juga kita tidak menganggapnya kafir. Hanya sekarang masing-masing kita melihat konsekuensi dan meninggalkan “wa itrati” dan apa konsekuensi dan berpegang kepada “ sunnati”.

Nyatanya dalam masalah Perang Riddah para sahabat berselisih, sebab tidak ada buku standar dalam sunnah. Tentu saja dalam A1-Qur’an tidak merinci masalah itu hanya ia menyebutkan:

“maka bunuhlah mereka yang durhaka.” (Q.S.49: 9)

Karena itu kita tidak boleh menyalahkan Abu Bakar yang mengatakan: Orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat adalah kafir dan harus dibunuh. Sedangkan Umar mengatakan tidak demikian, sebab ada hadits “yang boleh kita bunuh adalah orang yang belum nzengucapkan syahadat sedangkan Ahli Riddah mengucapkan syahadat dan Malik bin Nuwairah dan suku bani Tamim seorang yang kuat imannya -- kata Syi’ah -- dia tidak mengeluarkan zakat kepada Abu Bakar karena dia bukan khalifah yang patut dipilih tetapi Malik menunggu sampai Ali menjabat kekhalifahan. Kemudian Malik bin Nuwairah cs. diperangi, menurut sebagian sumber sejarah. Baik itu terjadi atau tidak, yang jelas sahabat berihtilaf dan berselisih faham tentang hal itu dan masih banyak lagi para sahabat berselisih faham tentang masalah-masalah atau hukum seperti itu.

Padahal kita ingat Tsa’labah, juga seperti kasus Malik bin Nuwairah cs. yang tidak

29

(25)

mengeluarkan zakat, tetapi Rasulullah Saww tidak membunuhnya dan dibiarkan tetap hidup.

Ketujuh: Apakah ithrah itu? Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai keturunan sekarang atau mungkin ada batasnya?

Mahasiswa: Apakah ithrah itu sebenarnya? Sebab kami dengar keturunan Rasulullah itu masih ada sampai sekarang ini. Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai kepada keturunan Rasulullah yang sekarang ini atau mungkin ada batas-batasnya?

Ustadz Husein: Perlu saya tegaskan bahwa pertanyaan anda tentang Itrah itu memang penting. Saya juga perlu menegaskan bahwa saya akan menjawabnya berdasarkan pendapat Madzhab Ahlul Bait. Sebab Ahlus sunnah mempunyai pendapat yang masih Abstrak, belum konkrit betul.

Madzhab Ahlul Bait mengatakan bahwa Nabi dengan keluarganya mempunyai tiga (dibagi tiga) istilah:

1. Ahlul Bait yaitu; yang dikatakan Ahlul Kisa, yakni manusia-manusia yang pada saat -- sebagaimana riwayat Bukhari, dan lain-lain -- di selimuti oleh Nabi Saww dengan sorban Beliau, lalu mereka satu persatu dipanggil masuk ke dalam sorban tersebut. Kemudian Rasul Saww berdo’a:

“Ya Allah, mereka ini adalah Ahlul Baitku, maka lenyapkan dari mereka ini noda dan dosa dan bersihkan mereka sebersih-bersihnya.”

Ini dinamakan Ahlul Bait. Ketika Ummu Salamah, isteri Nabi Saww berada di luar dan bertanya: Ya Rasulullah, bolehkah saya masuk? Nabi menjawab: “Kamu tennasuk orang yang baik. Jadi ada lima Ahlul Kisa yang dikepalai oleh Rasulullah Saww, kemudian Ali Fatimah, Hasan dan Husein. Ini keluarga dan Allah SWT mewajibkan cinta kepada keluarganya menurut semua madzhab. Tak ada satu pun madzhab yang mengingkari hadits-hadits yang menyuruh ummat Islam mencintai keluarga Rasul Saww lebih dan mencintai dirinya sendiri hingga -- saya kira -- Khawarij pun tidak mengingkarii hadits hadits ini.

(26)

Fatimah, ini dikenali dengan Dzurriyah Ahlul Bait.

3. Itrah ialah para Imam yang berjumlah 12 orang, ini disebut Nabi Saww, yang dimulai dan Ali, Hasan, Husein dan seterusnya hingga Imam yang kedua belas, yang sekarang belum muncul dan ghaibnya yaitu Imam Mahdi. Begitulah ke percayaan Syi ‘ah Imamiyah. Oleh karena itu mereka disebut Imamiyah karena mereka berpegangan dengan Itrah. Mereka mengakui juga bait wa Itrah ini mempunyai dzurriyah atau keturunan juga.

Kedelapan: Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum dan berkaitan dengan peristiwa apa?

Mahasiswa: Selanjutnya kami ingin menanyakan tentang ayat yang turun sehubungan dengan peristiwa Ghadir Khum. Pertanyaan kami di mana turunnya ayat itu? (Yang berkenaan) dengan peristiwa Ghadir Khum dan berkaitan dengan apa?

Ustadz Husein: Masalah ini antara Sunnah dan Syi’ah mempunyai riwayat dan pendapat masing-masing. Kalau kita Ahlus Sunnah mengatakan bahwa ayat “Al-Yauma Akmaltu diturunkan kepada Nabi Saww ketika beliau sedang berdiri di Arafah pada waktu Haji. Riwayat ini dan Sayyidina Umar yang tercantum dalam shahih Bukhari juz 5 bahkan disebutkan di kitab itu bahwa ada seorang Yahudi berkata: “Hai kaum muslimin, andaikan ayat ini turun kepada bangsa kami, maka hari itu akan kami jadikan hari raya sepanjang sejarah.” Umar bertanya: “Ayat yang mana? Jawab Yahudi: “Aya Al-Yawna Akmaltu...” Aku tahu, kata Umar, turunnya ayat itu. Ayat itu diiturunkan atas Rasul-Nya yang sedang wukuf di bukit Arafah.30Ayat tersebut berbunyi:

“Pada hari itu Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku cukupi buat kamu ni‘mat-Ku dan Aku relakan kepadamu islam sebagai agamamu. (Q.S.S: 3).

Riwayat lainnya dari Ahlussunah juga dinwayatkan oleh Isa Ibnu Hanitsah Al-Anshari: “Ketika kami -- para sahabat sedang duduk-duduk, tiba-tiba datang seorang Nasrani sambil berkata: “Wahai kaum Muslimin, ada satu ayat yang telah turun kepada kalian.

30

(27)

Seandainya ayat tersebut diturunkan kepada kami, maka hari itu dan saat itu akan kami jadikan sebagai hari raya bagaimana pun juga keadaannya asalkan selama masih ada dua orang Nasrani di atas bumi ini. Perawi hadits ini berkata: Tak seorang pun di antara kami yang menjawab perkataan Nasrani itu. Kemudian aku bertemu dengan Muhammad bin Ka‘ab al-Kurodi dan kutanyakan kepadanya masalah tadi, dan dia pun menjawab: Mengapa kalian tidak menanyakan kepada Umar? Setelah ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: Ayat itu diturunkan kepada Nabi Saww, di saat Beliau berdiri di atas bukit Arafah. Dan hari itu memang kita jadikan hari raya dan dijadikan hari raya oleh kaum muslimin. Kalau tidak salah Imam Suyuthi juga mengutip hadits ini dalam kitabnya Ad-Durul Mantsur dalam ayat “Al-Yauma Akmaltu”.31

Riwayat yang lain adalah riwayat Ahlul Bait. Riwayat ini menyatakan bahwa ayat ini bukan turun di Arafah tetapi turun di Ghadir Khum. Jadi Syi 'ah mengatakan bahwa ayat ini untuk menentukan wasiat kepada Ali bin Abi Thalib. Jadi rinciannya, sebelum ayat ini turun Nabi menerima wahyu berupa ayat “Tabligh”

“Wahai Rasul, sampaikanlah semua yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Jika kamu tidak melakukannya, bererti engkau tidak menyampaikan semua risalahmu, Dan Allah akan menyelamatkanmu dari (kejahatan) manusia.” (Q.S. 5: 67)

Kemudian Beliau mengangkat Ali dan menunjuk Ali sebagai Walinya bahkan Nabi bersabda:

Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya pula.” Setelah pengangkatan Ali tersebut turun ayat “Al Yawma...” Jadi turunnya bukan di Arafah dan dan sini banyak juga orang yang meragukan riwayat Sayyidina Umar yang meriwayatkan ayat mi turun di Arafah.32 Sebab kalau turunnya pada hari Arafah dan dikatakan sebagai hari raya, maka hal itu tidak benar. Arafah itu adalah hari kesembilan

31

Bukhari, Kitabut Tafsir Juz 4 hal. 123, Durul Mantaur Juz 3 hal. 18, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya

32

Sebab riwayat Umar Ra ini selain kandungannya kurang sesuai dengan kenyataan dan bertentangan

dengan riwayat-nwayat lain yang lebih kuat kcdudukannya, juga sanadnya (pembawa riwayatnya) ternyata

(28)

bulan haji dan bukan hari raya, hari raya itu adalah hari kesepuluh haji. Karena kesalahan ini maka kemungkinan hadits ini juga di anggap oleh Imamiyah sebagai hadits yang perlu dikoreksi lagi. .Mustahil Sayyidina Umar tidak tahu bahwa hari Arafah’ itu merupakan hari wukuf. Dan populer di kalangan kita kaum muslimin bahwa han kesembilan bulan haji bukanlah hari raya.

Sayyidina Umar berkata: “Memang benar bahwa ayat tersebut saya tahu bahwa Ia turun di Arafah dan kita kaum muslimin menjadikannya sebagai hari raya. “Hal ini tidak benar dan tidak cocok dengan kenyataan, maka hadits mi masih perlu dikoreksi kebenarannya. Imamiyah tidak menerima hadits ini karena mereka bias memastikan bahwa ayat itu turun di Ghadir Khum.

Ada juga riwayat-riwayat Ahlus sunnah yang paralel dengan riwayat mereka (Syi‘ah) dalam masalah pengangkatan Ali tersebut.33 Cuma kita menganggap hal itu bukan pengukuhan Ali dan penunjukan Ali sebagai pemimpin, tetapi penafsirannya yang dirubah: “Man kuntu maulahu…” -- yakni “siapa yang mencintai aku atau aku mencintai dia maka dia harus juga mencintai Ali.” Kata Syi’ah: “Kalau hanya itu maksud Nabi, maka tidak mungkin Beliau mengumpulkan sampai sebanyak 120,000 sahabat, itu terlalu memboroskan tenaga jika hanya untuk mencintai Ali saja.34 Masalah ini termasuk masalah yang masih dikoreksi Syi’ah.

Syi ‘ah mempunyai pendirian bahwa ayat tersebut turun di Ghadir Khum (di satu tempat di antara Makkah dan Madinah).

33

Hal ini dimuat dalam 30 Buku Standar Ablus Sunnah di antaranya adalah Syawahidit Tanzil Li Qowaidit

Tafsil wal Tanzil oleh Al Hafiz Al-Hakim, Tafsir Faidhul Ghadir oleh Al-Qadhi As-Saukani Juz 3 hal. 56,

Tafsir Al-Manar oleh Syeikh Raayid Ridha Juz 6 hal. 463, Asbabun Nuzul oleh Al-Wahidi (w:465) hal.

150, Tafsir An-Nisaburi oleh Nidhomuddin Al-Qumi An-Nisaburi juz 6 hal. 170. jadi riwayat turunnya ayat

A1-Yauma... • bukan hanya shahih menurut pandangan para Ulami Ahlus Sunnah bahkan mencapai derajat

yang mendekati mutawatir. Untuk lebih jelsenya baca Dialog Sunnah-Syi’ah, dialog ke-55 dan 56 oleh

Syarafuddin Al-Musawi.

34

(29)

Mahasiswa: Ayat yang Ustadz bacakan tadi yakni: “Ya Ayyuhal Rasul” apakah benar ayat itu turun berkenaan Ali bin Abi Thalib?

Ustadz Hussein: Menurut Imamiyah ayat itu jelas turun untuk mendesak Nabi agar menyampaikan wahyu Allah untuk mengangkat Ali sebagai pemimpin.35 Bahkan ada tuduhan dari pihak kita bahwa dalam Qur’an Syi’ah ada tambahan sehubungan dengan ayat itu “Ma unzila ilaika minrrobbikafi Ali”.

Sebenarnya tuduhan itu tidak tepat. Kalau kita mau membaca kitab-kitab tafsir, maka kata kata “fi Ali” itu ada di antara tanda kurung. Jadi kata-kata itu tidak termasuk ayat A1-Qur’an tetapi hanya tafsirannya saja.

Kadang-kadang mushaf para sahabat Nabi disertai juga dengan asbabun nuzulnya tetapi mereka tahu perbedaannya dengan ayat aslinya dan kata “fi Ali” itu lebih mirip dikatakan aibabun nuzulnya, bukan kata tambahan buat ayat itu dan ini bisa dipahami. Jadi mereka bukan menambah dalam ayat A1-Qur’an tetapi hanya keterangan seperti dalam kurung walaupun mereka tidak memasang tanda kurung di antara kata-kata itu sebagaimana dahulu Al-Qur’an tidak diberi tanda-tanda seperti titik dan harakat tetapi orang memahaminya.

Kesembilan: Apakah benar,bahwa Syi ‘ah menambah dan mengurangi ayat-ayat Al-Qur’an dan melakukan perubahan-perubahan?

Mahasiswa: Setelah Ustadz menyebut tentang penambahan ayat Al-Qur’an, maka mengingatkan kami pada satu masalah yang akan kami tanyakan yakni permasalahan perubahan ayat-ayat A1-Qur’an yang dituduhkan kepada Syi’ah.

Apakah benar tuduhan bahwa Syi’ah menambah dan mengurangi ayat-ayat A1-Qur’an dan melakukan perubahan-perubahan? Saya mendengar bahwa salah satu pemimpin Syi’ah yakni Ja’far Shadiq mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berjumlah hampir 20,000 ayat. Dalam hal ini apakah Ustadz dapat menjelaskan kepada kami?

35

(30)

Ustadz Husein: Dalam hal mi kita harus benar-benar memperhatikan apa yang pernah diucapkan oleh Syi’ah sendiri. Jadi kita tidak boleh memutuskan berdasarkan teks-books kita atau ,riwayat-riwayat yang kita terima dan berbagai golongan dan perawi, kemudian kita vonis bahwa mereka itu mempunyai Al-Qur’an sendiri. Kita harus mengerti juga bahwa yang dikatakan mempunyai Al-Qur’an’ sendiri itu bukan Ali saja tetapi ada mushaf Abu Bakar, mushaf A’isyah, mushaf Utsman, mushaf Umar yang dititipkan kepada Hafsah dan ada beberapa mushaf-mushaf lainnya.

Menurut kita Ahlus Sunnah mushaf-mushaf tersebut jelas tidak mengandung kelebihan atau kekurangan. Kalau kita mau teliti lagi, menurut Syi‘ah justru yang melakukan tahrif itu adalah Ahlus sunnah sendiri. Jadi kalau kita melempar kan tuduhan tahrif kepada mereka maka mereka akan menyatakan bahwa sebenarnya yang melakukan tahrif itu adalah kita Ahlus sunnah.

Syi ‘ah mengatakan, kita melakukan tahrif misalnya, kita memiliki dua surat di dalam Al- Qur’an menurut sumber-sumber kita sendiri.36

Dua surat ini kata Syeikh Raghib Asfahani dalam risalahnya adalah dua surat qunut. Dua surat ini dipakai oleh Sayyidina Umar dalam qunut. Dua surat ini ada dalam mushaf lbnu Abbas dan mushaf Zaid bin Tsabit.

Bila di dalam mushaf-mushaf mereka ini ada dua surat qunut maka mushaf-mushaf ini termasuk ada tambahannya.

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Ubay bin Ka ‘ab: “Beberapa kamu membaca surat Al-Ahzab? Surat Ahzab in biasanya berjumlah 70 ayat lebih sedikit namun kami pernah membacanya bersama Rasulullah seperti surat Al-Baqarah atau lebih dari itu.37 Dalam surat Al Baqarah ada “ayat Rajm ternyata sekarang tidak ada.38

Apakah surat Al-Ahzab yang berjumlah 72 ayat menurut Ahlus Sunnah itu kurang? Mestinya 200 ayat lebih? Riwayat-riwayat ini tercatat dalam kitab-kitab kita Ahlus

36

Al-ltqon oleh Suyuthi juz I hal. 67 dan Juz 2 hal 26. Ad-Durul Manthur

37

Talkhisul Mustadrak Juz 4 hal. 359 oleh Adz-Dzahabl, Al-liqan Juz 2 hal. 25, Urwah bin Zubair meriwayatkan dari A’isyah ia berkata: “Dulu surat Al-Ahzab di zaman Nabi Saww sebanyak 200 ayat akan tetapi setelah Utaman memerintahkan untuk menulis Al- Qur’an, kita tidak bisa mendapatkannya kecuali yang sekarang.ini 72 ayat saja.

38

(31)

Sunnah.

Ketika Sayyidina Umar berkhotbah: “Wahai manusia, jangan kamu tinggalkan orang-orang tua kamu, kalau kamu tinggalkan mereka maka kamu jadi orang-orang kafir.” Umar menganggap ini ayat dan dibacanya di atas mimbar.39 Ada juga ayat “Wadzakari wa untsa” tanpa kata wama kholaqo.40 Semua riwayat in! dan kita Ahlus Sunnah sendiri.41 Mengapa hal ini tidak kita anggap tahrif juga? Kalau yang begini tidak dianggap tahrif maka hal ini merupakan sesuatu yang sulit, sedangkan kita sendiri belum bisa membuktikan apa yang mereka tulis.

Kalau kita mengatakan mereka, kalau kita katakan apa yang kita maksud dengan tahrif, tadi saya contohkan mereka menulis “ma unzila ilai ka fi Ali” ini bukan tahrif, tetapi hanya menambah penjelasan dan asbabun nuzulnya, tetapi dalam A1-Qur’an mereka, sampai sekarang ini tidak pernah ada yang menyebut adanya tambahan atau pengurangan. Di dalam Aqo’id Imamiyah yang ditulis oleh Syeikh Al-Mudhafar, dia mengatakan: “Kami percaya bahwa Qur’an itu wahyu Ilahi yang di turunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saww dan di dalamnya mengandung keterangan tentang segala sesuatu. Dia adalah salah satu mukjizat Nabi Saww yang paling besar dan abadi yang semua manusia tidak akan bisa menandinginya baik dalam bahasa maupun sastranya. Tidak pula bisa menandinginya tentang apa yang dikandungnya dari kebenaran-kebenaran dan kenyataan-kenyataan serta pengetahuan-pengetahuannya yang hebat yang tiada mampu disentuh oleh kebatilan atau perubahan atau tahrif Dialah Qur’an yang ada di tangan kita, yaitu Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saww. Siapa pun yang mengakui selain ini maka ia adalah melanggar Sunnah Nabi atau masih kabur dalam masalah ini.

Kami kemudian mendengar bahwa musuh-musuh Syi’ah selalu menuduhnya melakukan tahrif berdasarkan kitab-kitab Muhammad Taqi An-Nuri At-Thabrasi (wafat 1320 H) dan dia orang Syi’ah.

Mereka mengatakan bahwa orang tersebut mengatakan adanya tahrif dalam Al-Qur’an. Seorang penulis Syi’ah yang mengatakan adanya tahrif di dalam fahamnya kemudian kita

39

Bukhari, Kitabul Hudud bab rajmul hubla.

40

Bukhari juz 6 hal. 211.

41

(32)

menyatakan bahwa semua orang Syi’ah juga melakukannya, hal itu merupakan kesimpulan yang gegebah.42

Di dalam beberapa kitab Ahlus Sunnah menyatakan adanya tahrif tetapi Syi’ah tidak menuduh Sunni mentahrif Qur’an. Kita sebenarnya tidak adil atau tidak jujur, sebab sebaiknya kita melihat kepada diri kita sendiri sebelum mengkritik orang lain dan lebih baik membentangkan ayat-ayat lain yang menentang adanya tahrif. Kalau kita melihat diri kita sendiri, maka akan kita jumpai tahrif itu di dalam Ahlus Sunnah ini, misalnya ketika Sayyidina Abu Bakar menjelang wafat dia membaca sebuah ayat Al-Qur’an tetapi Ia tidak membacanya “waja-at sakaratul mauti bil haq melainkan membaca “ sakaratul haqqi bil maut”.

Apakah dengan demikian A1-Qur’an telah di rubah selain itu, ada juga ayat “wadz dzakara wal untza” tanpa “wama khalaqa...” Bukankah ini sesuatu kekurangan?

Walhasil nampaknya kita Ahlussunnah ini hanya ingin mengkafirkan Syi‘ah saja, kita harus jujur. Cara kita menganalisa dan sikap kita terhadap Syi‘ah tidak “saintifik” ( saya sendiri menyesali hal ini, setiap saat saya berusaha untuk neutral -- apalagi

42

Memang benar di kalangan Syi’ah ada yang mengatakan adanya tahrif dalam Al-Quran akan tetapi pendapat itu dibantah oleh mayoritas Ulama Imamiyah yang terdahulu maupun yang hidup di abad ini antara lain:

I. Syekhut Thoifah (pimpinan tertinggi Syiah) At-Thusi penulis tafsir At-Thibyan 50 jilid. 2. Syeikh Shaduq Ibnu Babawaih Al-Qumi.

3. Syeikh At-Thabrasi penulis Tafsir Majma’ul Bayan. 4. As-Syarif Al-Murtadho Alamul Huda.

5. Syeikh Jawad Balaghi penulis tafsir alaur-Rahman.

6. As-Sayyid Abul Qosim Khu’i (Pimpinan tertinggi Syi’ah di Iraq pada zaman mi) penulis tafsir Al-Bayan.

1. Syeikh Fadhil Al-Lankaroni murid Imam Khomaini penulis A1-Madkho fi ulumil Quran.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal jasa dan perdagangan promosi adalah usaha penjual untuk membujuk calon pembeli untuk menerima produk, pelayanan atau ide yang sedang dipromosikan (Darmono,

Aset tetap, kecuali tanah, dinyatakan sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan, amortisasi dan deplesi, dan rugi penurunan nilai, jika ada. Biaya

ransaksi adalah elemen ma8or ke@d"a dalam model kom"nikasi ransaksi adalah elemen ma8or ke@d"a dalam model kom"nikasi keseha#an...  7an#i nisa bisa

75 Kompas, 29 februari 2006.. ketentuan dari pasal 2 KUHP yang mengatur kekentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan

Berdasarkan Tabel 1.6 dengan jumlah responden sebayak 25 orang, terlihat guru yang belum memiliki etos kerja yang baik sebanyak 11 orang atau sebesar 15%, guru yang

Meski demikian, secara kritis bisa ditarik generalisasai bahwa aborsi dilakukan tidak hanya dikarenakan kehamilan di luar perkawinan (kehamilan pranikah, dilakukan

Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka untuk dapat memecahkan isu atau menjawab persoalan yang diajukan, peneliti melakukan pendekatan undang-undang dan

Mungkin yang paling penting adalah: sebuah rencana usaha merupakan alat bantu penjualan.  Kita    mungkin  membutuhkan  sumber  keuangan  dari  pihak  luar