• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEJADIAN ISPA PADA PERIODE TAHUN PERTAMA KEHIDUPAN ANAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANCORAN MAS: DILIHAT DARI PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEJADIAN ISPA PADA PERIODE TAHUN PERTAMA KEHIDUPAN ANAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANCORAN MAS: DILIHAT DARI PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KEJADIAN ISPA PADA PERIODE TAHUN PERTAMA KEHIDUPAN

ANAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANCORAN MAS:

DILIHAT DARI PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

Ria Febriyeni1, Happy Hayati2

1. Program Studi Sarjana, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-mail: ria.febriyeni@gmail.com

Abstrak

Banyak penelitian membuktikan bahwa insiden ISPA semakin meningkat. Salah satunya dipengaruhi oleh pemberian ASI eksklusif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas, Depok. Desain penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional). Sampel penelitian sebanyak 62 orang ibu yang dipilih menggunakan metode consecutive sampling. Hasil penelitian mendapatkan ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak (ρ value = 0,021; α = 0,05). Sedangkan berdasarkan karakteristik, didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin anak, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A, pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan status ekonomi keluarga dengan kejadian ISPA. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya sosialisasi terus-menerus mengenai pemberian ASI eksklusif untuk menurunkan kejadian ISPA pada anak.

Kata kunci: ASI eksklusif, ISPA, tahun pertama kehidupan anak

Abstract

Many studies prove that incidence of acute respiratory infections (ARI) has increased. One of which is influenced by exclusive breastfeeding. The aims of this study were to identify the correlation between exclusive breastfeeding with ARI incidence in child's first year of life period in Puskesmas Pancoran Mas, Depok. The design of this study was correlative with the descriptive approach (cross-sectional). The study using 62 samples of mothers that was recruited by consecutive sampling technique. The results showed that there was a significant correlation between exclusive breastfeeding with the incidence of ARI in child's first year period of life (ρ value = 0.021; < α = 0,05). Meanwhile, based on the characteristics, there were no significant correlations between genders of child, nutrition status, birth weight, and immunization status, administration of vitamin A, mother’s education, mother’s employment, and economic status of the family, with incidence of ARI. The study recommended the importance of sustained socialization of exclusive breastfeeding is in order to decrease the incidence of ARI in children.

Keywords: ARI, exclusive breastfeeding, first year period of children’s life

Pendahuluan

Pada periode tahun pertama kehidupan bayi memiliki daya tahan tubuh yang masih belum matang sehingga bayi dilindungi dari infeksi oleh antibodi yang ditransmisikan oleh ibu. Hal ini dapat menyebabkan bayi mudah

terpajan berbagai penyakit termasuk ISPA sehingga meningkatkan kematian bayi. Data SDKI tahun 2007 menunjukkan Angka Kematian Balita sebesar 44/1000, Angka Kematian Bayi 34/1000, dan Angka Kematian Neonatal 19/1000 (Menkokesra, 2013).

(2)

Infeksi saluran pernapasan dan pencernaan merupakan penyebab utama tingginya mortalitas dan mordibidas pada neonatus dan bayi di dunia (Kusumo, 2012). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (WHO, 2008). Berdasarkan profil kesehatan kota Depok tahun 2008, sebesar 13,60% kasus ISPA Tidak Spesifik pada bayi berusia 29 hari- < 1 tahun. Data ini menempati urutan tertinggi penyakit yang diderita bayi usia 29-< 1 tahun di daerah Depok.

Kematian bayi yang karena berbagai penyakit, termasuk ISPA disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang tidak adekuat. Kekebalan tubuh bayi sangat tergantung pada faktor ketahanan tubuh ibu yang ditransfer melalui plasenta dan ASI (Palmer, 2011). ASI yang mengandung kolostrum akan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, dan jamur. Pemerintah berupaya menekan angka kematian bayi dan balita dengan perbaikan gizi masyarakat melalui program pemberian ASI secara eksklusif (Menkokesra, 2012). Menurut definisi WHO, ASI eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja tanpa cairan atau makanan padat apapun kecuali vitamin, mineral atau obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan (Fikawati & Syafiq, 2010).

ASI melindungi bayi dari infeksi dan merangsang pertumbuhan bayi yang normal (Atikah & Eni, 2010). Akan tetapi pada kenyataanya hanya sebagian kecil ibu menyusui memberikan ASI eksklusif kepada bayinya hingga usia 6 bulan. Prevalensi ASI eksklusif dari Data SDKI (1997-2007) menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun yaitu dari 40,2% (1997) menjadi 39,5% (2003) dan 32% (2007). Menurut hasil riskesdas tahun 2010 dan 2013 ASI eksklusif hanya 15,3% (2010) dan 30,2% (2013). Hasil penelitian Arini (2012) menyatakan bahwa anak yang mendapat ASI eksklusif sebagian besar

(94,6%) tidak pernah mengalami serangan ISPA.

Penelitian-penelitian terdahulu terkait hubungan ASI eksklusif dengan frekuensi kejadian ISPA pada bayi dilakukan pada bayi dengan rentang usia tertentu seperti usia 6-12 bulan. Penelitian tersebut melihat kejadian ISPA pada bayi dengan usia yang bervariasi yaitu dari usia 6 bulan hingga 12 bulan. Belum ada penelitian spesifik yang membuktikan hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi di tahun pertama kehidupan, yaitu di usia 12 bulan. Berdasarkan latar belakang ini maka saya tertarik untuk melakukan penelitian terkait hubungan pemberian ASI eksklusif dengan frekuensi kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak, khususnya di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain studi korelasi dengan pendekatan cross-sectional. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu yang membawa bayi berusia 12-23 bulan dan pernah di diagnosis ISPA ke Puskesmas Pancoran Mas. Sampel penelitian berjumlah 62 orang yang ditentukan dengan menggunakan rumus untuk penelitian korelatif (Dahlan, 2010). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah convenience sampling. Kriteria inklusi untuk ibu yang menjadi responden penelitian ini yaitu memiliki anak berusia 12-23 bulan yang pernah didiagnosis ISPA, selalu berobat/memeriksakan anaknya yang terkena ISPA ke Puskesmas Pancoran Mas sejak usia 0-12 bulan, mampu membaca dan menulis, bersedia berpartisipasi di dalam penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini ialah ibu yang membawa anak berusia 12-23 bulan yang pernah didiagnosis ISPA ke Puskesmas Pancoran Mas tetapi anaknya dalam kondisi cukup parah. Penelitian dilakukan di ruang MTBS Puskesmas Pancoran Mas, Depok.

Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dengan metode wawancara. Kuesioner pada penelitian ini berisi karakteristik ibu yang terdiri dari nama, umur, tingkat pendidikan,

(3)

pekerjaan, dan status ekonomi keluarga. Kemudian berisi karakteristik bayi, yaitu nama, umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, dan pemberian vitamin A. Selain itu juga berisi kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak dan status pemberian ASI.

Analisis univariat dalam penelitian ini adalah umur anak, jenis kelamin anak, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A, umur ibu, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status ekonomi keluarga, kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak, dan status pemberian ASI. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan jenis kelamin anak, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status ekonomi keluarga, dan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak dengan menggunakan uji Mann Whitney untuk variabel yang terdiri dari dua kategori dan uji

Kruskal Wallis untuk variabel yang lebih dari

dua kategori. Etika penelitian bertujuan untuk menjaga kerahasiaan identitas responden dan memperhitungkan manfaat yang ditimbulkan. Sebelum pelaksanaan penelitian, responden diberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian serta meminta persetujuan responden untuk berpartisipasi pada penelitian.

Hasil

Tabel 5.1

Umur Anak yang Berkunjung

Ke Puskesmas Pancoran Mas (n = 62)

Tabel 5.2

Karakteristik Anak yang Berkunjung

Ke Puskesmas Pancoran Mas (n = 62)

No Variabel Frekuensi Presentase (%) 1. Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan Total 36 26 62 58,1 41,9 100.0 2. Berat badan lahir

- Kurang - Normal Total 1 61 62 1,6 98,4 100,0 3. Status Gizi - Sangat kurus - Kurus - Normal Total 0 5 57 62 0 8,1 91,9 100,0 4. Status imunisasi - Lengkap - Tidak lengkap Total 52 10 62 83,9 16,1 100,0 5. Pemberian Vitamin A - Ya - Tidak Total 60 2 62 96,8 3,2 100,0 Tabel 5.3

Karakteristik Ibu yang Berkunjung

Ke Puskesmas Pancoran Mas (n = 62)

No Variabel Frekuensi Presentase (%) 1. Umur ibu - < 30 tahun - ≥ 30 tahun Total 29 33 62 46,8 53,2 100.0 2. Pendidikan Ibu - SD - SMP - SMA - D1/D2/D3 - S1/S2/S3 Total 8 23 30 1 0 62 12,9 37,1 48,4 1,6 0 100,0 3. Pekerjaan Ibu - PNS - Swasta - Wiraswasta - Ibu Rumah Tangga - lain-lain (guru honorer) Total 0 1 1 59 1 62 0 1,6 1,6 95,2 1,6 100,0 4. Pendapatan Keluarga - > 1 juta - 500 ribu-1 juta - < 500 ribu Total 46 15 1 62 74,2 24,2 1,6 100,0 Variabel Mean

Min-Maks Standar Deviasi 95% CI Umur anak 16,97 12-23 3,506 16,08-17,86

(4)

Hasil penelitian mengenai kejadian ISPA didapatkan sebagian besar anak, yaitu 56 orang (90,3%) tidak mendapat ASI eksklusif dan hanya 6 orang (6,7%) anak yang mendapat ASI eksklusif. Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas (ρ value < α : 0,021).

Tidak terdapat hubungan jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas (ρ value > α : 0,583). Tidak ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas (ρ > α : 0,884). Tidak terdapat hubungan berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas (ρ value > α : 0,871). Tidak terdapat hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas (ρ value > α : 0,731). Tidak terdapat hubungan pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas (ρ value > α : 0,254).

Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas (ρ > α : 0,960) dan tidak ada hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas (ρ > α : 0,452) serta tidak ada hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak di Puskesmas Pancoran Mas (ρ > α : 0,353).

Pembahasan

Hasil analisis terhadap kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak menunjukkan bahwa rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak yaitu sebanyak 2,90 kali. Hal ini mengindikasikan bahwa kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak

tergolong sering terjadi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arini (2012) menunjukkan bahwa 77 anak (50,3%) dari 114 sampel sering mengalami ISPA.

Bayi memiliki daya tahan tubuh yang masih lemah terutama pada periode tahun pertama kehiudupan sehingga rentan terpajan berbagai penyakit termasuk ISPA. Data statistik WHO (2014), pada tahun 2012 menunjukkan bahwa tercatat 17% kematian balita disebabkan oleh ISPA.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Prameswari (2009) menggambarkan bahwa sebagian besar sampel mengalami ISPA sebanyak satu kali. Perbedaan hasil penelitian tersebut ialah karena perbedaan rentang waktu penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Prameswari (2009) mengambil data satu bulan terakhir sedangkan penelitian ini mengambil data selama satu tahun pertama kehidupan anak. Mayoritas jenis kelamin anak yang pernah didiagnosis ISPA yaitu laki-laki. Hasil analisis hubungan jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin anak dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Brobet dkk (2009) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini berarti jenis kelamin balita baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berisiko terkena ISPA. Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Campbell et al (2013) yang menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita. Buku pedoman P2 ISPA menjelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004). Namun hasil penelitian tersebut dibantah oleh penelitian yang dilakukan oleh Sumasari dan Wiradini (2010) yang membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis

(5)

kelamin dengan kejadian ISPA pada balita. Perbedaan tersebut adalah karena banyak faktor lain yang lebih kuat mempengaruhi kejadian ISPA pada anak seperti faktor lingkungan, faktor pengetahuan, dan faktor sosial ekonomi keluarga.

Status gizi anak pada penelitian ini sebagian besar berada pada rentang normal. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan. Hasil penelitian Brobet dkk (2009) menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian yang berbeda terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Candra dan Elyana (2011) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita.

Status gizi dan penyakit infeksi saling mempengaruhi. Perbedaan hasil penelitian ini diasumsikan karena perbedaan tempat penelitian. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas Depok, sedangkan penelitian Candra dan Elyana (2011) dilakukan di Jawa Tengah. Perbedaan tempat tinggal memungkinkan adanya perbedaan jenis nutrisi yang diterima anak dan perbedaan kondisi lingkungan yang juga sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada anak.

Sebagian besar anak pada penelitian ini memiliki berat badan lahir normal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir anak dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayu dan Sukmawati (2010) yang menghasilkan tidak ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA. Penelitian berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Campbell et al (2013) melaporkan bahwa secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA.

Bayi dengan berat badan lahir rendah lebih berisiko mengalami sakit bahkan kematian. Pada bayi dengan BBLR pembentukan sistem kekebalan tubuh belum sempurna sehingga rentan terhadap infeksi. Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa bayi dengan BBLR tidak mengalami ISPA lebih sering daripada bayi yang memiliki berat badan lahir normal. Hal ini kemungkinan karena sebagian besar sampel penelitian ini memiliki berat badan lahir normal. Selain itu juga karena perbedaan tempat pengambilan data penelitian sehingga memungkinkan adanya perbedaan karakteristik dan faktor lingkungan yang juga berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada anak.

Mayoritas anak pada penelitian ini mendapat imunisasi lengkap. Hasil analisis bivariat penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nurjazuli (2012) yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian pneumonia pada balita.

Pada periode tahun pertama kehidupan anak belum memiliki kekebalan tubuh sendiri, maka perlu mendapat kekebalan yang diperoleh dari luar melalui pemberian imunisasi. Penelitian ini tidak sesuai dengan teori tersebut karena status imunisasi tidak menjamin balita terhindar dari penyakit ISPA. Hal ini karena terdapat banyak faktor lain yang menyebabkan ISPA seperti faktor lingkungan, keadaan ekonomi keluarga, dan pengetahuan keluarga terkait ISPA.

Sebagian besar anak pada penelitian ini mendapat vitamin A. Hasil uji statistik penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan. Persamaan hasil penelitian ini juga ditemukan pada penelitian dikemukakan oleh Brobet dkk (2009) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian cross

(6)

sectional yang dilakukan oleh Arsin,

Marhamah, dan Wahiduddin (2013) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian vitamin A dengan kejadia ISPA pada balita.

Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk pertumbuhan, daya tahan tubuh, dan kesehatan terutama penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi (Arsin, Marhamah, & Wahiduddin, 2013). Argumentasi dari hasil penelitian ini yang tidak bermakna karena pemberian vitamin A diberikan saat posyandu pada bulan Februari dan Agustus sehingga tidak ada data sekunder yang akurat di Puskesmas untuk pemberian vitamin A. Data pemberian vitamin A hanya diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang kemungkinan responden lupa.

Proporsi pendidikan ibu pada penelitian ini seimbang. Hasil analisis bivariat pada penelitian ini menggambarkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Sumasari dan Widarini (2010) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita.

Slamet (2008), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka wawasan pengetahuan semakin bertambah dan akan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan (Agustina, Susanti, & Pranowowati, 2013). Hasil berbeda didapatkan pada yang dilakukan di Skotlandia oleh Campbell et al (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Perbedaan hasil penelitian tersebut ialah karena tempat penelitian yang berbeda. Mayoritas ibu pada penelitian ini tidak bekerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan. Penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Al- Annas (2010) yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada balita.

Ibu bekerja memiliki beban psikologis yang berat karena memiliki dua tanggung jawab. Selain itu waktu yang dimiliki untuk bersama anak juga sedikit. Hal tersebut menyebabkan kesehatan anak tidak terlalu diperhatikan. Namun, tidak semua ibu bekerja berdampak buruk pada kesehatan anak jika didukung oleh lingkungan sosial dan keluarga yang baik. Pada penelitian ini sebagian besar balita yang didiagnosis ISPA berasal dari ibu yang tidak bekerja. Selain itu, banyaknya media informasi yang dapat diakses dari rumah menjadikan ibu rumah tangga tidak ketinggalan informasi terkait berbagai hal termasuk kesehatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa anak dengan ibu bekerja atau tidak memiliki peluang yang sama menderita ISPA.

Mayoritas pendapatan keluarga pada penelitian ini tergolong tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cardoso, Coimbra, dan Werneck (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian ISPA. Penghasilan erat kaitannya dengan kemampuan memenuhi kebutuhan gizi, perumahan yang sehat, pakaian, dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (Khomsan, 2007 dalam Aisyan, Djannah, & Wardani, 2010).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abbas dan Haryati (2011) Nurjazuli (2012) yang menunjukkan bahwa riwayat pemberian ASI eksklusif memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita.

(7)

ASI mengandung antibodi terhadap berbagai jenis virus, salah satunya respiratory syncytial

virus (RSV). Kramer et al. (2003) dalam Arini

(2012) menyatakan bahwa efek perlindungan ASI terhadap penyakit gastrointetinal dan infeksi pernapasan akan meningkat seiring dengan eksklusif tidaknya pemberian ASI yang dilakukan. Hasil penelitian ini kontradiksi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Al-Sharbatti dan Al-Jumaa (2012) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang tidak bermakna antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada balita.

Implikasi pada pelayanan keperawatan, yaitu penelitiaan ini menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif masih terbatas jumlahnya yang menyebabkan tingginya jumlah anak yang menderita ISPA sehingga kunjungan ke pelayanan kesehatan meningkat maka pemakaian subsidi kesehatan juga meningkat. Implikasi terhadap pendidikan keperawatan ialah kurang mendalamnya materi pembelajaran terkait ASI eksklusif dan manfaatnya untuk pencegahan ISPA yang didapatkan mahasiswa keperawatan di bangku pendidikan. Sedangkan implikasi terhadap penelitian selanjutnya adalah jumlah sampel yang sedikit dan metode penelitian yang digunakan menyebabkan beberapa hasil penelitian kurang bermakna.

Beberapa pertanyaan pada kuesioner terkait pemberian ASI eksklusif kurang lengkap sehingga data yang diperoleh tidak akurat. Selain itu, variabel pemberian imunisasi, pemberian vitamin A, dan pemberian ASI eksklusif yang diukur secara retrospektif melalui wawancara langsung kurang valid sehingga besar kemungkinan terjadi bias. Keterbatasan lainnya yaitu Kantor Dinas Kesehatan Kota Depok yang masih dalam proses pindah tempat ke gedung baru dan jaraknya yang jauh dengan Kantor KESBANGPOL menyebabkan proses pengurusan perizinan penelitian memakan waktu lama.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal. Sebagian besar anak memiliki status pemberian ASI tidak eksklusif, rata-rata kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan yaitu 2,90 kali, rata-rata umur anak yaitu 16,97 bulan, jenis kelamin anak paling banyak adalah laki-laki, sebagian besar anak memiliki berat badan lahir normal, mayoritas status gizi anak berada dalam rentang normal, sebagian besar anak mendapat imunisasi lengkap, paling banyak anak mendapat vitamin A, usia ibu sebagian ≥ 30 tahun, pendidikan ibu paling banyak adalah SMA, mayoritas ibu tidak bekerja pendapatan keluarga paling banyak adalah lebih dari satu juta.

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak. Selain itu tidak ada hubungan antara karakterisktik anak (jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir, status imunisasi, pemberian vitamin A) dan karakteristik ibu (pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga) dengan kejadian ISPA pada periode tahun pertama kehidupan anak. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan pada jumlah sampel yang lebih besar dan populasi yang lebih luas agar hasil penelitian yang diperoleh lebih representatif dam lebih lanjut masih perlu dilakukan dengan metode yang berbeda, misalnya metode penelitian kasus kontrol. Perumusan pertanyaan terkait pemberian ASI eksklusif pada kuesioner sebaiknya menggunakan standar ASI eksklusif yang ditetapkan WHO.

Referensi

Abbas, P., & Haryati, A. S. (2011). Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada bayi. Majalah Ilmiah Sultan Agung, 49 (123),15 Desember, 2013.

http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/majalahilmiahs ultanagung/article/view/36/31

(8)

Agustina, Susanti, & Pranowowati. (2013). Hubungan pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bergas. Diunduh dari

http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/documents/331 3.doc pada tanggal 10 Juni, 2013 pukul 21.11 WIB. Aisyan, S. D. S., Djannah, S. N., & Wardani, Y. (2010).

Hubungan antara status sosial ekonomi keluarga dengan kematian perinatal di wilayah kerja Puskesmas Baamang Unit II Sampit Kalimantan Tengah Januari-April 2010. Kesmas, 5 (1), 31-40. Al-Sharbatti, S.S., & Al-Jumaa, L.I. (2012). Infant

feeding patterns and risk of acute respiratory infection in Baghdad/Iraq. Italian Journal of Public Health, 9 (3), 1-9.

Arini, D (2012). Hubungan pola pemberian ASI dengan frekuensi kejadian diare dan ISPA pada anak. Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya, 3 (2), 58-66.

Arsin, Marhamah, & Wahiduddin. (2013). Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita di Desa Bontangan Kabupaten Enrekang. Diunduh dari

http://222.124.222.229/bitstream/handle/123456789/ 4602/MARHAMAH_K11109323.pdf?sequence=1

pada tanggal 11 Juni 2014 pukul 09.56 WIB. Atikah, P., & Eni, R. (2010). Kapita selekta ASI &

menyusui. Bantul: Nuha Medika.

Ayu, S., D., & Sukmawati. (2010). Hubungan status gizi, berat badan lahir (BBL), imunisasi dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Tunikamaseang Kabupaten Maros. Media Gizi Pangan, 10 (2), 16-20.

Brobet, K.E., Endyarni, B., Ishak, L.M., Nasution, K., Sjahrullah, M.A.R., Wawolumaja, C. (2009). Infeksi saluran napas akut pada balita di daerah urban Jakarta.Sari Pediatri, 11 (4), 223-228.

Campbell, H., Falconer, R., Jackson, S., Mathews, K. H., Nair, H., Pulanic, D. (2013). Risk factors for severe acute lower respiratory infections in children- a systemic review and meta-analysis. Croation Medical Journal, 54, 110-121. Doi: 10.3325. Candra, A., & Elyana, M. (2011). Hubungan frekuensi

ISPA dengan status gizi balita. Diunduh dari

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/actanutrica/arti cle.download/4859/ pada tanggal 28 Desember 2013 pukul 15.46 WIB.

Cardoso, A.M., Coimbra, C.E.A., & Werneck, G.L. (2013). Risk factor for hospital admission due to acute lower respiratory tract infection in Gurani indigenous children in southern Brazil: a

population-based case-control study. Topical Medicine and International Health, 8 (5), 596-607. Doi: 10.1111. Dahlan, M.S. (2010). Besar sampel dan cara

pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan (edisi 3). Jakarta: Salemba Medika. Departemen Kesehatan RI. (2004). Pedoman program

pemberantasan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta: Dirjen PPM dan PLP.

Fikawati, S., & Syafiq, A. (2010). Kajian implementasi dan kebijakan air susu ibu eksklusif dan inisiasi menyusu dini di Indonesia. Makara Kesehatan, 14 (1), 18.

Hardjito, K. ( 2011). Hubungan pemberian ASI ekslusif dengan frekuensiKejadian Sakit pada bayi usia 6-12 bulan di Desa Jugo Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, II ( 4), 255-261.

Kusumo, P. D. (2012). Kolonisasi mikrobiota normal dan pengaruhnya pada perkembangan sistem imun neonatal. Kedokteran Widya Mandala, (320), 55-63. Menkokesra. (2012). Perbaikan gizi kunci utama

penekanan angka kematian bayi dan balita.

http://www.Menkokesra.go.id. Diunduh pada tanggal 02 November 2013 pukul 13.00 WIB. Menkokesra. (2013). Perbaikan gizi kunci penekan

angka kematian bayi.

http://www.menkokesra.go.id/content/menko-kesra-perbaikan-gizi-kunci-penekan-angka-kematian-bayi. Diunduh pada tanggal 22 Oktober 2013 pukul 13.30 WIB.

Nurjazuli, S. (2012). Analisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11 (1), 82-86. Palmer, A. C. (2011). Nutritionally mediated

programming of the developing immune system. Advances in Nutrition an International Review Journal, 3, 377-295. Doi: 10.3945/an.111.000570. Prameswari, G. N. (2009). Hubungan lama pemberian

ASI secara eksklusif dengan frekuensi kejadian ISPA. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5 (1), 27-33. Riskesdas. (2010). Riset kesehatan dasar 2010. Jakarta:

Badan Penelitian dan Pengembengan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/buk u_laporan/lapnas_riskesdas2010/Laporan_riskesdas_ 2010.pdf. Diunduh pada tanggal 22 Oktober 2013 pukul 14.15 WIB.

(9)

Sumasari, N., L., & Widarini, N., P. (2010). Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi. JIG, 1 (1), 28-41.

WHO. (2008). Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan: pedoman interim WHO. Terjemahan bahasa Indonesia oleh Trust Indonesia. Jenewa: WHO.

WHO. (2014). World health statistics.

http://www.who.int/gho/publications/world_health_s tatistics/2014/en/. Diunduh pada tanggal 5 Juni 2014 pukul 13.05 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Persepsi kelengkapan sarana prasarana, persepsi besarnya masalah terhadap infeksi nosokomial, persepsi risiko infeksi nosokomial dan persepsi kemampuan diri perawat

Perbedaan penelitian oleh Lewy, Zulkardi dan Aisyah dengan penelitian ini adalah soal yang dikembangkan dalam penelitian ini tidak hanya soal untuk mengukur kemampuan

sayap dengan mengeluarkan sistem kerja sama dengan pihak ke ke dua menggunakan sitem pembagian laba, yaitu dengan sistem bagi hasil antara pihak PT.Essii International dengan

Dalam ayat ini Allah menyuruh kita untuk melakukan perjalanan di muka bumi dan menengok kembali kisah-kisah umat terdahulu yang binasa karena ingkar kepada Allah

Simpulan yang dapat ditarik adalah bahwa dengan pemanfaatan sistem pendukung perkuliahan yang berjalan dalam jaringan lokal, pihak STIE YP Karya dapat meningkatkan

PESAN SEKARANG JUGA

Tor-tor ini lebih sering digunakan pada upacara adat perkawinan Masyarakat Pidoli Dolok, tetapi tidak semua perkawinan yang ada di daerah Mandailing Natal menggunakan

Baik Chairil Anwar maupim Sutardji mempergunakan kiasan yangpem- bentukannya menyimpang dari Idgika biasa. Chairil Anwar membentuknya terutama dengan personifikasi, sedangkan