• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP FISIKA DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP FISIKA DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP FISIKA DAN KETERAMPILAN

BERPIKIR KRITIS SISWA

M. Dewi Kartika

1

, W. Santyasa

2

, W. Warpala

3

1,2,3

Program Studi Teknologi Pembelajaran, Program Pascasarjana,

Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Indonesia.

Email:

1

[email protected]

2

wayan.santyasa@ pasca.undiksha.ac.id

3

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan perbedaan pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa antara kelas PBL dengan kelas konvensional, (2) mendeskripsikan perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa kelas PBL dengan kelas konvensional, (3) mendeskripsikan perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara kelas PBL dengan kelas konvensional. Penelitian dilakukan pada sejumlah siswa kelas X SMK Negeri 1 Denpasar dengan 2 kelas sampel. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik Simple Random Sampling. Penelitian menggunakan rancangan Non Equivalent Pretest-Posttest Control Group Design. Pengumpulan data menggunakan 2 jenis tes, yaitu tes pemahaman konsep fisika dan tes keterampilan berpikir kritis. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis MANCOVA dengan skor pre-tes pemahaman konsep dan skor pre-test keterampilan berpikir kritis sebagai kovariat. Pengujian hipotesis nol dilakukan pada taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa antara kelas PBL dengan kelas konvensional (2) terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa kelas PBL dengan kelas konvensional (3) terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara kelas PBL dengan kelas konvensional.

Kata Kunci: pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pemahaman konsep fisika, keterampilan berpikir kritis.

Abstract

This study was aimed at (1) describing the difference in comprehension of physics concepts and critical thinking skill between PBL Class and Conventional class, (2) describing the difference in physics concepts between PBL class and Conventional class, (3) describing the difference in critical thinking skill between PBL class and Conventional class. This study was conducted with some tenth grade students of SMK Negeri 1 Denpasar using two samples. The sample was selected by Simple Random Sampling technique. This study used Non Equivalent Pretest-Posttest Control Group Design. The data collection was done by administering two tests, i.e, physics concept comprehension test and critical thinking skill test. The data were analyzed by MANCOVA analysis with concepts comprehension pretest score and critical thinking skill pretest score as covariates. The null hypothesis was tested at 5% level of significance. The results showed that (1) there was a difference in physics concepts comprehension and critical thinking skill between PBL class and Conventional class, (2) there was a difference in physics concepts comprehension between PBL class and Conventional class, and (3) there was a difference in critical thinking skill between PBL class and Conventional class.

(2)

PENDAHULUAN

Kualitas sumber daya manusia khususnya yang berkaitan dengan teknologi sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan sains. Salah satu cabang dari sains adalah fisika. Dalam upaya menguasai teknologi sangat diharapkan siswa memiliki pemahaman terhadap konsep-konsep fisika serta prinsip fisika yang baik. Pendidikan fisika bagi siswa diharapkan dapat mengembangkan pemahaman, kemampuan, dan sikap ilmiah.

Terkait dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, berbagai hal telah dilakukan pemerintah, antara lain: penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas pendidikan. Meskipun upaya-upaya yang disebutkan di atas telah dilakukan, namun hasilnya belum seperti yang diharapkan. Mutu pendidikan sains (khususnya fisika) di berbagai jenjang pendidikan masih rendah. Hal ini sejalan dengan Laporan

United Nations Development Programme

(UNDP) 2007/2008, mengungkapkan bahwa pada tahun 2005,

Human

Development Index (

HDI) Indonesia berada di peringkat 107 dari 107 negara, sedangkan pada tahun 2008, HDI Indonesia berada diperingkat 109 dari 179 negara (UNDP, 2009). Ini menunjukkan tidak adanya perbaikkan signifikan yang dibuat Indonesia dalam perbaikan sumber daya manusianya.

Rendahnya kualitas pendidikan yang dihasilkan tidak terlepas dari berbagai faktor di antaranya pengemasan pembelajaran, proses pembelajaran fisika yang berlangsung masih berorientasi pada buku teks dan ketercapaian kurikulum dengan didominasi oleh pembelajaran langsung. Pada proses pembelajaran suasana kelas cendrung teacher-centered sehingga siswa cendrung pasif dalam mengikuti pembelajaran, kurang memiliki inisiatif di kelas, dan kurang kreatif dalam berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak

untuk menghafal informasi, tanpa dituntun untuk memahami informasi yang diingatnya untuk dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Dewey (dalam Wenning, 2011) menyatakan pembelajaran Sains tidak dilakukan sesuai dengan hakekat Sains itu sendiri. Pembelajaran Sains disajikan siap pakai, hanya sebatas hukum dan prinsip.

Menurut Buchori (2001) pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan para siswanya untuk sesuatu profesi atau jabatan, tetapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman sains dan proses-proses sains secara baik akan dapat memberikan konstribusi yang esensial kepada kemampuan-kemampuan yang dimaksud. Oleh karena itu, upaya peningkatan kaulitas proses pembelajaran sains (IPA) di sekolah merupakan hal yang amat penting dan segera dilakukan. Dewey (dalam Suada, 2008) menyatakan bahwa sekolah merupakan wahana bagi anak untuk berlatih berpikir dalam usahanya memecahkan masalah, membuat keputusan, memaknai sesuatu, pencari jawaban dalam setiap fenomena yang mereka temukan dilingkungan.

Alternatif pembelajaran sains adalah model pembalajaran berbasis masalah (Problem Based Learning/PBL). Model pembelajaran berbasis masalah dalam prakteknya, pebelajar selalu dihadapkan pada masalah-masalah rial yang ill-structured sebagai basis pembelajaran yang diberikan pada awal pembelajaran dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka, mengembangkan inkuiri, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian serta percaya diri. Menurut Akinoglu & Tandogan (2007), PBL merupakan salah satu bagian pembelajaran aktif (active learning). Dalam

Active Learning, proses belajar menuju

pada suatu proses yang diselaraskan di mana keterampilan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis dan belajar untuk belajar dikembangkan. Dalam

(3)

pembelajaran, diupayakan peserta didik mengelola dan mengembangkan pengetahuan serta sikap belajarnya (pembelajaran student centered) serta

kooperatif dan kolaboratif dalam bekerja.

Hal ini sesuai dengan pandangan kontrukstivistik dalam pembelajaran, bahwa dalam proses pembelajaran baik guru maupun peserta didik belajar bersama untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang membuat peserta didik memiliki jiwa life

long education (haus belajar).

Inel dan Balim (2010) menyatakan

Problem Based Learning adalah metode

pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai dasar bagi siswa untuk meningkatkan pemecahan masalah keterampilan dan memperoleh pengetahuan. Ketpichainarong, Paijpan, dan Ruenwongsa (dalam Etherington, 2011) mengatakan metode tiga langkah pada pendekatan PBL membantu siswa memanfaatkan inquiry-terbuka karena membantu peserta didik menerapkan pengetahuan dan pemahaman terhadap situasi dunia nyata. Pendekatan tiga langkah sederhana dalam pembelajaran sains ditampilkan dalam pertanyaan sebagai berikut. 1) Apa yang kita tahu (tentang masalah ini)? 2) Apa yang perlu kita ketahui? 3) Bagaimana kita bisa mengetahuinya (apa ide-ide ilmiah)?

Berdasarkan uraian di atas kehadiran guru yang aktif dalam mengaktifkan peserta didik terutama dalam memilih pendekatan pembelajaran yang tepat pada pembelajaran sains (fisika) sangat diharapkan. Terlebih pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), hal ini karena SMK sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan lulusannya untuk memasuki dunia kerja. Terkait dengan itu Conner (dalam Bartholomew, Anderson, & Moeed, 2012) menyatakan, Materi pengetahuan saja tidak kuat di SMK. Mereka berharap rasa percaya diri akan materi pelajaran, pedagogis konten pengetahuan, dan penggunaan strategi disarankan dalam pembelajaran.

Menurut teori konstruktivis satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya

sekadar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberi anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Nur, 2002).

Berdasarkan uraian di atas, model pembelajaran berbasis masalah sangat penting untuk diselidiki pengaruhnya terhadap pemahaman konsep fisika dan keterampilan berfikir kritis siswa. Penelitian

ini pada hakekatnya bertujuan; (1) mendeskripsikan perbedaan

pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar dengan model konvensional, (2) mendeskripsikan perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar dengan model konvensional, (3) mendeskripsikan perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar dengan model konvensional.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

quasi experiment dengan rancangan Non Equivalent Pretest-Posttest Control Group Design.

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMK Negeri 1 Denpasar jurusan Teknologi dan Rekayasa, Teknologi Informasi dan Komunikasi yang berjumlah 6 kelas. Seluruh kelas populasi selanjutnya dipilih dua kelas sebagai kelas sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Simple Random Sampling.

Dalam penelitian ini melibatkan satu variabel bebas dan dua variabel terikat, serta pemahaman konsep fisika awal dan keterampilan berpikir kritis awal sebagai variabel kovariat. Variabel bebas yang diuji dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang memiliki 2 dimensi, yaitu model pembelajaran berbasis

(4)

masalah dan model konvensional. Variabel terikat yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: (1) pemahaman konsep fisika dan (2) keterampilan berpikir kritis siswa yang dikumpulkan dengan metode tes. Tes pemahaman konsep fisika terdiri dari 26 butir dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan ranah kognitif taksonomi Bloom C2 (pemahaman) adalah

tes pilihan ganda diperluas dengan skor item 0-4. Tes keterampilan berpikir kritis terdiri dari 18 butir dikembangkan berdasarkan ranah kognitif taksonomi Bloom meliputi C3 (penerapan), C4

(analisa), C5 (sintesa) dan C6 (evaluasi)

dalam penelitian ini berbentuk tes uraian dengan skor item 0-5. Tes uraian dipilih dengan asumsi bahwa dengan menjawab tes uraian, keterampilan berpikir kritis siswa lebih mudah diamati dibandingkan dengan menjawab tes obyektif. Penggunaan tes uraian ini dapat diupayakan menumbuhkan kemampuan berpikir divergen siswa.

Teknik analisis yang digunakan adalah MANCOVA (Multivariat Analysis of

Covarian) satu jalur yang melibatkan satu

variabel bebas dan dua variabel terikat. Dalam penelitian ini dilakukan 3 uji hipotesis, di antaranya: Hipotesis I menyatakan terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang belajar dengan model konvensional, Hipotesis II menyatakan terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang belajar dengan model konvensional, Hipotesis III menyatakan terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang belajar dengan model konvensional.

Program yang digunakan SPSS-PC 17.0 for Windows. Pengujian hipotesis dilakukan pada taraf signifikansi 5%.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini memaparkan dua hal, meliputi: (1) deskripsi umum hasil penelitian, (2) analisis data serta pengujian hipotesis.

Deskripsi umum hasil penelitian tentang karakteristik dari masing-masing variabel penelitian. Deskripsi pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa sesudah perlakuan diberikan mencakup distribusi frekuensi, nilai rata-rata (mean), dan standar deviasi (SD). Pengelompokan frekuensi

terbanyak untuk pemahaman konsep fisika kelas PBL di sekitar rata-rata dengan frekuensi sebesar 23,33%. Berdasarkan hasil perhitungan tendensi sentral diperoleh harga rata-rata sebesar 67,70, dengan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 6,342. Untuk menyusun tabel konversi dalam menentukan kategorisasi pemahaman konsep fisika kelas PBL terlebih dahulu dihitung mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (SDi). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh pemahaman konsep fisika kelas PBL di SMK Negeri 1 Denpasar berkategori tinggi, yaitu berada pada rentangan 61-78 pada skala 100.

Pengelompokan frekuensi terbanyak untuk keterampilan berpikir kritis kelas PBL di sekitar rata-rata dengan frekuensi sebesar 20,00%. Berdasarkan hasil perhitungan tendensi sentral diperoleh harga rata-rata keterampilan berpikir kritis kelas PBL diperoleh sebesar 62,07, dengan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 6,893. Untuk menyusun tabel konversi dalam menentukan kategorisasi pemahaman konsep fisika kelas PBL terlebih dahulu dihitung mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (SDi). Hasil ini menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis kelas PBL di SMK Negeri 1 Denpasar berkategori tinggi, yaitu berada pada rentangan 53-68.

Pengelompokan frekuensi terbanyak untuk pemahaman konsep fisika kelas konvensional di sekitar rata-rata

(5)

dengan frekuensi sebesar 20,00%. Rata-rata skor pemahaman konsep fisika kelas konvensional di SMK Negeri 1 Denpasar diperoleh sebesar 57,53, dengan simpangan baku 8,476. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman konsep fisika kelas konvensional di SMK Negeri 1 Denpasar berkategori sedang, yaitu berada pada rentangan 43-61 pada skala 100.

Pengelompokan frekuensi terbanyak untuk keterampilan berpikir kritis kelas konvensional di sekitar rata-rata dengan frekuensi sebesar 23,33%. rata-rata skor keterampilan berpikir kritis kelas konvensional di SMK Negeri 1 Denpasar diperoleh sebesar 52,70 dengan simpangan baku 7,193. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa kelas konvensional di SMK Negeri 1 Denpasar berkategori sedang, yaitu berada pada rentangan 38-53 pada skala 100.

Analisis data penelitian dilakukan setelah semua uji asumsi terpenuhi. Uji asumsi yang digunakan untuk analisis diantaranya: uji normalitas, uji homogenitas data, uji homogenitas matriks varian/covarians, uji linieritas, dan uji kolinearitas antar variabel dependen .

Hasil pengujian normalitas berdasarkan nilai-nilai statistik

Kolmogorov-Smirnov Test menunjukkan

angka signifikansi lebih besar dari 0,05 yakni 0,200 baik pada kelas PBL maupun kelas konvensional. Secara keseluruhan sebaran data pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa berdistribusi normal.

Hasil pengujian homogenitas varian dengan menggunakan levene’s test of equality of error variance menunjukkan

pemahaman konsep fisika memiliki signifikansi 0,065 dan keterampilan berpikir kritis siswa memiliki signifikansi 0,827. Karena signifikansi pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa lebih besar dari 0,05, maka baik data pemahaman konsep fisika maupun keterampilan berpikir kritis siswa memiliki sebaran yang homogen.

Hasil pengujian homogenitas matriks varian-kovarian dilakukan

menggunakan Box’s Test Of Equality Covariance Matrices menghasilkan angka

signifikansi 0,481. Tampak angka signifikansi yang dihasilkan lebih besar dari 0,05, berarti matriks varian variabel pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa adalah homogen.

Hasil pengujian linieritas dengan memperhatikan nilai F Deviation From

Linearity. Pada hasil pemahaman konsep

fisika diperoleh nilai F sebesar 1,181 dengan signifikansi 0,322. Signifikansi yang diperoleh lebih besar dari 0,05. Artinya, bentuk regresi pemahaman konsep fisika memang benar linier. Nilai F yang diperoleh pada keterampilan berpikir kritis sebesar 1,204 dengan nilai signifikansi 0,303. Signifikansi yang diperoleh lebih besar dari 0,05. Artinya, bentuk regresi keterampilan berpikir kritis memang benar linier. Selain dilakukan pengujian terhadap linearitas juga dilakukan pengujian keberartian arah regresi dengan memperhatikan nilai F

linearity. Pada pemahaman konsep diperoleh nilai F linearity 43,827 dengan signifikansi 0,001 dan keterampilan berpikir kritis nilai F linearity 38,218 dengan signifikansi 0,001. Dengan melihat signifikansi kedua variabel terikat tersebut berarti baik pemahaman konsep fisika maupun keterampilan berpikir kritis memiliki koefisien arah regresi berarti atau signifikan karena signifikansi yang diperoleh kedua variabel kurang dari 0,05.

Pengujian kolinieritas dengan menggunakan kaidah harga ry1y2 (korelasi

product moment). Jika ry1y2 ≤ 0,800 maka

antara sesama variabel terikat adalah nirkolinier atau tidak ada masalah dengan kolinieritas. Pada hasil uji product moment y1 (pemahaman konsep fisika) diperoleh

-0,044 dan y2 (keterampilan berpikir kritis)

diperoleh 0,040. Berdasarkan hasil, terlihat bahwa ryy antara sesama variabel terikat

kurang dari 0,800 (ryy ˂ 0,800). Ini berarti

antara pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa tidak terjadi kolinieritas.

Analisis statistik yang dilakukan berikutnya adalah analisis untuk menguji hipotesis penelitian. Pengujian hipotesis

(6)

pertama menggunakan analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen (model pembelajaran dengan dua dimensi yakni PBL dan konvensional) terhadap variabel dependen (pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa) secara bersama-sama. Berdasarkan multivariat

test dapat diketahui Fhitung = 62,512 dan

angka signifikansi 0,001. Karena nilai signifikansi uji Mancova melalui Pillai

Trace, Wilks’ Lambda, Hotelling’s Trace

dan Roy’s Largest Root adalah 0,001 dan

nilai ini lebih kecil dari 0,05 (α ˂ 0,05), maka H0 ditolak dan H1 diterima. Simpulan

yang dapat ditarik adalah terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa yang signifikan antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang belajar dengan model konvensional.

Hipotesis kedua dan hipotesis ketiga yang diajukan adalah uji MANCOVA. Hipotesis kedua dapat diuji berdasarkan Tabel Tests of

Between-Subjects Effects dapat diketahui nilai F

hasil perhitungan Mancova sebesar Fhitung

= 59,490 dan angka signifikansi 0,001. Angka signifikansi ini lebih kecil dari 0,05 sehingga H0 ditolak atau H1 diterima.

Simpulan yang dapat ditarik adalah terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional.

Hasil uji tindak lanjut dengan menggunakan uji Least Significant

Difference (LSD) menemukan

pemahaman konsep fisika antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Penghitungan dengan uji LSD pada pemahaman konsep fisika menunjukkan nilai LSD sebesar 2,5476 lebih kecil dari sehingga H1 diterima.

Hipotesis ketiga berdasarkan Tabel

Tests of Between-Subjects Effects dapat

diketahui nilai F hasil perhitungan Mancova sebesar Fhitung = 55,317 dan angka

signifikansi 0,001. Angka signifikansi ini lebih kecil dari 0,05 sehingga H0 ditolak

atau H1 diterima. Simpulan yang dapat

ditarik adalah terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis siswa yang signifikan antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional.

Hasil uji tindak lanjut menggunakan uji LSD menemukan terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji LSD pada keterampilan berpikir kritis sebesar 2,499 nilai yang diperoleh lebih kecil dari nilai

sehingga H1 diterima.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat digambarkan bahwa, sangat diperlukan bimbingan guru dalam memilih fitur yang relevan dan pemberian permasalahan yang rial berkaitan dengan dunia pebelajar serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk tahu dan terlibat secara aktif dalam menemukan konsep dari ide-ide mereka berdasarkan fakta-fakta yang dilihat dari lingkungan.

Dalam penelitian ini model pembelajaran yang diterapkan di kelas PBL memberikan peluang untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan berpikir kritis melalui proses pemecahan masalah yang kompleks. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Ratumanan (2002) menyatakan pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks. Duch (2001) tahapan pembelajaran yang diawali dengan starting

a new problem kemudian dilanjutkan

dengan problem follow up, performance

presentation dan diakhiri dengan after conclusion of problem siswa secara

(7)

mengidentifikasi inti permasalahan, merumuskan hipotesis, mengidentifikasi apa yang harus diketahui dan apa yang harus mereka pelajari agar bisa memecahkan masalah, mengidentifikasi sumber belajar, mengkomunikasikan strategi pemecahan masalah, dan berkolaborasi untuk mengintegrasikan sebuah materi untuk menghasilkan suatu simpulan dan pemecahan masalah. Berdasarkan ranah kognitif taksonomi Bloom, kegiatan tersebut akan menggiring siswa ke level penguasaan pengetahuan ke level aplikasi, analisis sampai ke evaluasi. Kondisi yang seperti itu akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan potensi dan keterampilan berpikir kritisnya.

Penerapan pembelajaran berbasis masalah mengakibatkan penyimpanan lebih lama terhadap informasi yang diperoleh siswa. Dengan proses berpikir ini maka siswa diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dengan mengambil keputusan yang tepat. Agar keputusan yang diambil benar-benar tepat diperlukan suatu pemahaman konsep yang mendalam. Inel dan Balim (2010) PBL adalah metode pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai dasar bagi siswa untuk meningkatkan pemecahan masalah keterampilan dan memperoleh pengetahuan.

Hal berbeda dialami oleh kelas konvensional, siswa akan belajar dengan berorientasi kepada konten saja. Siswa akan merasa belajar jika guru telah menjelaskan secara detil di depan kelas. Penekanan pembelajaran adalah diperolehnya kemampuan mengingat dan bukan kemampuan memahami. Pembelajaran yang terjadi hanya melibatkan keterampilan berpikir tingkat rendah. Selain itu permasalahan yang diberikan melalui tahapan latihan soal umumnya hanya menyentuh aspek teori dari ilmu yang dipelajari. Ini mengakibatkan siswa merasa bosan dan menganggap yang dipelajari tidak relevan dengan tujuan mereka.

Jadi, dengan demikian dalam era informasi sekarang ini seharusnya telah

terjadi perubahan peranan guru. Guru tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber belajar (learning resources), akan tetapi lebih berperan sebagai pengelola pembelajaran (manager of instruction).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan atas hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut. (1) Terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis yang signifikan antara siswa yang mendapat model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional.

(2) Terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika yang signifikan antara siswa yang mendapat model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional. Kemudian dianalisis signifikansi perbedaan skor rata-rata pemahaman konsep fisika siswa yang mendapat model pembelajaran berbasis masalah dengan model pembelajaran konvensional dengan menggunakan metode Least Significant Difference (LSD), diperoleh jauh lebih besar dari LSD pemahaman konsep fisika yang artinya pemahaman konsep fisika yang dicapai siswa dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan model konvensional. (3) Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis yang signifikan antara siswa yang mendapat model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional. Kemudian dianalisis signifikansi perbedaan skor rata-rata keterampilan berpikir kritis siswa yang mendapat model pembelajaran berbasis masalah dengan metode Least Significant

Difference (LSD), diperoleh jauh lebih

besar dari LSD keterampilan berpikir kritis yang artinya keterampilan berpikir kritis antara siswa yang mendapat model pembelajaran berbasis masalah lebih baik dengan siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional.

(8)

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pembelajaran berbasis masalah selalu lebih unggul dibandingkan dengan pembelajaran konvensional baik dalam pencapaian pemahaman konsep maupun keterampilan berpikir kritis.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa saran dalam upaya meningkatkan pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran, diantaranya:

1) Kepada guru, dalam proses pembelajaran di kelas, khususnya dalam pembelajaran fisika disarankan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pemahaman konsep fisika dan keterampilan berpikir kritis yang pada akhirnya bermuara pada hasil belajar dan juga membelajarkan siswa untuk membuat keputusan yang tepat dalam menghadapi suatu masalah karena metode tiga langkah yang ditampilkan pada pendekatan

Problem Based Learning ini.

2) Pengajar yang akan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah, dalam menyusun pertanyaan arahan yang diberikan kepada siswa haruslah lebih dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang dekat dan biasa dialami siswa setiap hari dan lebih terarah karena pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi inti pelaksanaan pembelajaran model pembelajaran berbasis masalah. 3) Kepada kepala sekolah, fasilitas,

sarana, dan prasarana pendidikan juga perlu diupayakan agar siswa dapat mengoptimalkan keterampilan dan kemampuan dalam melakukan proses penyelidikan, sehingga menciptakan output yang mampu bersaing dalam berbagai mata pelajaran, khususnya mata pelajaran fisika.

4) Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai model pembelajaran berbasis masalah, karena pada penelitian ini materi pembelajaran yang digunakan terbatas hanya pada pokok bahasan Suhu dan Kalor, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian hanya terbatas pada materi tersebut. Peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian sejenis, untuk mengkaji pokok bahasan berbeda sehingga dapat diketahui konsistensi hasil penelitian ini, dan menambahkan variabel moderator seperti motivasi, gaya belajar atau yang lain dalam penelitiannya. 5) Model pembelajaran berbasis

masalah perlu disosialisasikan kepada guru fisika melalui musyawarah guru mata pelajaran fisika. Sehingga penerapan model pembelajaran berbasis masalah bisa dikembangkan lebih optimal dan kepada pengambil kebijakan dibidang pendidikan khususnya dalam pendidikan fisika disarankan agar mempertimbangkan model pembelajaran berbasis masalah karena model pembelajaran ini cukup efektif untuk menumbuhkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Akinoglu, O. & Tandogan, R. O. The effect of problem-based active learning in science education on students academic achievement, attitude and concept learning.

Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education.

71-81. Tersedia pada

http://www.ejmste.com/v3n1/EJMST E v3n1. Diakses pada 8 oktober 2010.

Etherington, M. 2011. Investigative primary science: A Problem-based learning approach. Australian Journal of Theacher Education. 36(9): 36-57.

(9)

http://ro.ecu.edu.au/ajte. Diakses pada September 2011.

Nur, M. & Wikandari, P. R. 2004.

Pengajaran berpusat pada siswa dan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran. Surabaya: UNESA.

Wenning, C. J. 2011. Professional knowledge standards for physics

teacher educa-tors:

Recommendations from The CeMaST Commission on NIPTE.

Journal of Physics Teacher Education Online. 6(1): 2-7. Tersedia

pada http://www.phy.ilstu. edu/jpteo.com/. Diakses pada Spring 2011.

Wenning, C. J. & Ed. D. 2011. The levels of inquiry model of science teaching.

Journal of Physics Teacher Education Online. 6(2): 9-16. Tersedia pada http://www.phy.ilstu.

edu/jpteo.com/. Diakses pada

Referensi

Dokumen terkait

Pada musim timur hingga musim peralihan timur-barat, nilai rata-rata SPL cenderung lebih tinggi dan sebaliknya pada musim barat hingga musim peralihan barat-timur rata-rata

Sesuai dengan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, jadi terdapat pengaruh positif dan signifikan lingkungan kerja dan budaya organisasi

Karena itu, melalui dua pendekatan ini walaupun banyak hadits dalam buku tersebut tidak ada perawinya bahkan tidak diketahui kualitasnya menurut penulis tidak akan

Kegiatan inti pada siklus II, menekankan aktivitas peserta didik dalam menggunakan media roda pintar secara berkelompok. Guru menjelaskan sedikit mengenai media

Pada hari pertama, perlakuan dendeng lumat ikan nila dengan menggunakan anti kapang lidah buaya telah memiliki jumlah kapang yang lebih rendah dibandingkan dengan

l-{asil analisis residu insektisida klorpirifos dalam tubuh ikan nila dan air untuk setiap waktu dedah dapat terlihat pada Tabel 3.. Waktu dedah (hari) Expostre time

Jika menilik amanat Undang-Undang 6 Tahun 2014, disebutkan bahwa pada dasarnya otonomi Desa memiliki tujuan sebagai berikut: (1) memperkuat kemandirian Desa sebagai basis

Berdasarkan hasil tinjauan dari kelima tulisan Skripsi diatas yang membahas tentang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD),yang membedakan tulisan penulis itu