• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Erosi, Dampak dan Upaya Pengendaliannya

Sebagai sumberdaya alam, tanah mempunyai dua fungsi yaitu (1) sebagai sumber unsur hara bagi tanaman, dan (2) tempat akar tumbuh, tempat air tersimpan dan tempat unsur hara ditambahkan. Menurun atau hilangnya kedua fungsi tanah tersebut disebut degradasi tanah (Arsyad, 2000). Menurunnya fungsi tanah pertama dapat diperbaiki dengan pemupukan, tetapi menurunnya fungsi tanah kedua tidak mudah diperbaharui sehingga memerlukan waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun untuk memperbaharuinya. Salah satu penyebab terdegradasinya lahan berlereng adalah erosi.

Erosi adalah peristiwa pindah atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (air atau angin). Erosi dapat menyebabkan terdegradasinya lahan melalui hilang atau terkikisnya lapisan tanah atas, sehingga dapat berdampak buruk terhadap tanah. Dampak buruk dari erosi ada dua yaitu dampak di tempat kejadian erosi (on-site) dan dampak di luar tempat kejadian erosi (off-site). Dampak langsung erosi on-site antara lain kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman, kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah, turun/rusaknya bangunan konservasi atau bangunan lainnya, turunnya pendapatan petani. Dampak tidak langsung erosi on-site adalah berkurangnya alternatif penggunaan tanah, timbulnya dorongan untuk membuka lahan baru, munculnya biaya lain untuk perbaikan lahan dan bangunan yang rusak. Dampak langsung di luar tempat kejadian erosi (off-site) adalah pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya, tertimbunnya lahan pertanian, jalan, dan bangunan lainnya, rusaknya mata air dan kualitas air, rusaknya ekosistem perairan serta meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan. Dampak tidak langsung di luar tempat kejadian erosi yaitu kerugian akibat memendeknya umur waduk, meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir (Arsyad, 2000).

Salah satu dampak lingkungan yang muncul akibat pembangunan pertanian – baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi – adalah degradasi lahan atau erosi tanah. Erosi tanah merupakan ancaman lingkungan utama terhadap keberlanjutan dan kapasitas produksi pertanian dunia saat ini. Selama hampir 40 tahun, hampir

(2)

sepertiga tanah yang baik untuk ditanami (arable land) dunia telah rusak atau hilang akibat erosi dan kehilangan ini akan terus berlanjut dengan laju rata-rata lebih dari 10 juta hektar per tahun. Pimentel et al. (1995) melaporkan di Amerika setiap tahun diperkirakan 4000 juta ton tanah dan 130 000 jutaton air hilang dari 160 000 juta ha lahan pertanian. Bila angka tersebut dihitung sebagai kehilangan ekonomi erosi on-site maka akan setara dengan $ 27 juta setiap tahun, dimana $ 20 juta untuk penggantian hara tanah, sedangkan $ 7 juta untuk pengganti kehilangan air dan lapisan permukaan tanah. Dari jumlah ini terlihat bahwa komponen yang nyata hilang adalah hilangnya hara tanah. Biaya total erosi tanah on-site dan off-site di Amerika yang disebabkan erosi angin dan air dan biaya total pencegahan erosi per tahun adalah $ 44 399 juta.

Pierce (1991) mengemukakan bahwa erosi tanah mempengaruhi produktivitas tanah. Erosi dapat mengubah kondisi fisik dan kimiawi tanah. Erosi tanah merupakan penyebab utama dari degradasi tanah di seluruh dunia. Di samping dapat menyebabkan degradasi tanah, erosi dapat juga merusak tanaman yang pada akhirnya mengurangi produktivitas. Dampak erosi tanah terhadap produktivitas bervariasi cukup besar antar tempat dan waktu.

Semua lahan, beserta jenis tanaman apapun yang tumbuh di atasnya, sewaktu-waktu dapat mengalami erosi. Laju erosi tanah sangat dipengaruhi oleh bagaimana lahan tersebut dikelola/digunakan. Setiap bentuk penggunaan lahan yang berbeda akan menghasilkan tingkat erosi tanah yang berbeda pula. Tingkat erosi suatu lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang ditanam dan teknik pertanian yang digunakan (Miranda, 1992).

Di Indonesia, dampak buruk dari proses erosi tanah tidak hanya dialami oleh lahan-lahan pertanian saja, melainkan dialami juga oleh kawasan hutan daerah pemukiman, daerah industri yang sedang dibangun, daerah pertambangan, dan sebagainya. Di areal pertanian sendiri, proses erosi banyak terjadi pada lahan berlereng yang dikelola untuk budidaya tanaman semusim yang tidak dilengkapi dengan tindakan-tindakan konservasi tanah (Abdurachman dan Sutono, 2002). Erosi yang terpenting di Indonesia adalah erosi yang disebabkan oleh air. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya erosi, menurut Hardjowigeno (2003), adalah curah hujan (erosivitas) sifat-sifat tanah (erodibilitas) panjang dan kemiringan lereng, vegetasi, dan manusia. Dari curah hujan, yang terpenting dalam

(3)

mempengaruhi besarnya erosi adalah intensitas hujan atau hujan yang jatuh sangat deras, bukan jumlah hujan rata-rata tahunan yang tinggi.

Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah tekstur tanah, bentuk dan kemantapan struktur tanah, daya infiltrasi atau permeabilitas tanah, dan kandungan bahan organik. Tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi adalah debu dan pasir sangat halus. Oleh karena itu makin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka tanah makin peka terhadap erosi. Bentuk struktur tanah yang membulat (granuler, remah, gumpal membulat) menghasilkan tanah dengan porositas tinggi sehingga air mudah meresap ke dalam tanah, dan aliran permukaan tanah menjadi kecil sehingga erosi juga kecil. Tanah-tanah yang mempunyai strutur tanah yang mantap tidak mudah hancur oleh pukulan air hujan. Sebaliknya pada struktur tanah yang tidak mantap sangat mudah hancur oleh pukulan air hujan menjadi butir-butir halus sehingga menutup pori-pori tanah. Akibatnya air infiltrasi terhambat, aliran permukaan meningkat yang berarti erosi juga akan meningkat.

Bila daya infiltrasi tanah besar berarti air mudah meresap ke dalam tanah sehingga aliran permukaan kecil dan erosi yang akan terjadi juga kecil. Daya infiltrasi tanah dipengaruhi oleh porositas dan kemantapan tanah. Kandungan bahan organik tanah menentukan kepekaan tanah terhadap erosi karena bahan organik mempengaruhi kemantapan struktur tanah. Tanah yang cukup mengandung bahan organik umumnya menyebabkan tanah menjadi mantap sehingga tahan terhadap erosi. Tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2% umumnya peka terhadap erosi (Hardjowigeno, 2003)

Pengaruh lereng pada erosi adalah erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang. Semakin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkutnya meningkat juga. Bila kecepatan aliran permukaan naik dua kali lipat maka besarnya benda yang dapat diangkut menjadi 64 kali lebih besar, sedangkan berat benda yang dapat diangkut menjadi 32 kali lebih berat. Lereng yang semakin panjang akan menyebabkan volume air yang mengalir semakin besar. Bila dalamnya air menjadi 4 kali lebih besar, akibatnya besar maupun berat benda yang dapat diangkut juga berlipat ganda (Hardjowigeno, 2003).

(4)

Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung dipermukaan tanah, menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi, serta memperkuat penyerapan air ke dalam tanah oleh transpirasi melalui vegetasi. Makin rapat vegetasi makin efektif terjadinya pencegahan erosi. Vegetasi yang tingginya lebih dari 7 m kadang-kadang tidak efektif karena air yang tertahan di pohon dan di daun akan terkumpul dan akan jatuh kembali ke tanah dengan kekuatan yang besar juga.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi erosi adalah memanipulasi faktor yang mempengaruhi erosi yaitu erodibilitas, kemiringan dan panjang lereng, dan vegetasi. Faktor erosivitas (jumlah dan curah hujan) tidak dapat diubah. Pembuatan teras merupakan upaya menurunkan tingkat kemiringan lereng sehingga aliran permukaan dapat dikurangi dan erosi dapat ditekan. Pemberian pupuk kandang dapat memperbaiki kemantapan struktur tanah sehingga tanah lebih tahan terhadap kerusakan akibat pukulan air hujan. Dengan demikian pupuk kandang merupakan faktor yang mampu menurunkan erodibilitas tanah. Beberapa jenis tanaman dapat bertindak sebagai penghalang jatuhnya air hujan ke tanah dan jenis tanaman lainnya mampu memperbaiki kemantapan strutur tanah. Hutan adalah paling efektif mencegah erosi karena daun-daunnya rapat, tetapi rumput-rumput yang tumbuh rapat juga sama efektifnya. Untuk pencegahan erosi paling sedikit 70% tanah harus tertutup vegetasi. Cara lain yang juga dipakai untuk menutup lahan yang terbuka adalah dengan pemakaian mulsa alami (jerami padi, daun/batang tanaman jagung, dan/atau tanaman lainnya) atau mulsa plastik. Namun ada juga beberapa jenis tanaman yang merusak struktur tanah seperti tanaman ubikayu. Dengan demikian, tanaman juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi erosi. Dixon dan Hufschmidt (1993) menyatakan pemberian mulsa sisa tanaman mampu menurunkan biaya produksi sebesar 64 % pada tahun kedua karena terjadi penurunan erosi dan penurunan kehilangan hara serta meningkatnya produktivitas lahan di Korea.

Kurnia (1996) melaporkan bahwa mulsa jerami padi sangat efektif dalam mengurangi erosi tanah sebesar 86-98%, sedangkan mulsa Mucuna sp mampu mengurangi erosi sebesar 74-85%. Pada tanah Podsolik Merah Kuning Bogor, pemberian mulsa jerami mampu menaikkan hasil jagung 47,5 % dan kacang tanah 47,5%. Satu tahun kemudian perlakuan pemberian mulsa jerami padi tersebut

(5)

mampu meningkatkan hasil jagung lebih dari 50% atau produksi jagung melebihi 3 ton/ha.

Kurnia et al. (1997) menyatakan penggunaan 10 ton per hektar mulsa jerami padi ditambah 7 ton per hektar batang dan daun jagung ditambah 6 ton per hektar mulsa Flemingia congesta merupakan cara rehabilitasi lahan yang paling efektif pada tanah Haplohumults di Jasinga, Jawa Barat untuk mencegah erosi, menurunkan konsentrasi sedimen dan jumlah hara yang hilang, serta mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Rehabilitasi dengan cara tersebut dapat diterapkan pada tanah yang mempunyai tingkat erosi sampai 10 cm.

Kurnia et al. (1998) melaporkan bahwa biaya pengendalian erosi dengan mulsa jerami padi dan mulsa Mucuna sp berturut-turut Rp 2 175.- dan Rp 1 640,- per ton tanah erosi. Pengendalian erosi dengan pupuk kandang menghasilkan biaya yang lebih tinggi yaitu Rp 4 085,- per ton tanah tererosi. Sedangkan biaya kerusakan lahan Podsolik Merah Kuning Bogor tanpa rehabilitasi adalah Rp 291 715,- per ha sehingga biaya rehabilitasi kerusakan lahan dengan mulsa padi dan mulsa Mucuna sp hanya 1.2 – 9.2% dari biaya kerusakan lahan tanpa rehabilitasi.

Manusia juga berperan terhadap laju erosi tanah. Kepekaan tanah terhadap

erosi dapat diubah oleh manusia menjadi baik atau lebih buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah yang berlereng curam merupakan pengaruh baik manusia karena dapat mengurangi erosi. Sebaliknya penggundulan hutan di daerah-daerah pegunungan merupakan pengaruh manusia yang jelek karena dapat menyebabkan erosi dan banjir. Aktivitas manusia seperti pertanian pangan tanpa menggunakan teknologi konservasi yang tepat, penggembalaan yang berlebihan (over-grazing), penambangan lahan (yang mengganggu vegetasi penutup lahan alami dan merusak sifat-sifat tanah) akan mempercepat proses erosi alami. Aktivitas manusia/petani menerapkan tindakan konservasi menurut Sinukaban (1994) sangat dipengaruhi oleh (1) pemahaman petani tentang fungsi komponen teknik konservasi yang telah dibangun, (2) kurangnya penyuluhan tentang pentingnya pemeliharaan komponen pengendali erosi untuk meningkatkan dan mempertahankan produktivitas secara lestari, (3) biaya untuk pembuatan atau pemeliharaan teknik konservasi yang dibangun, (4) rendahnya pendapatan keluarga.

(6)

2.2. Erosi Yang Diperbolehkan (Edp)

Laju erosi tanah sangat dipengaruhi oleh bagaimana lahan tersebut dikelola. Tidaklah mungkin menekan laju erosi sampai nol dari tanah-tanah yang diusahakan untuk pertanian tertutama pada tanah-tanah berlereng. Namun demikian, jumlah maksimum tanah yang hilang agar produktivitas lahan tetap lestari, harus lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembentukan tanah. Untuk daerah-daerah yang digunakan untuk pertanian terutama daerah berlereng, jumlah tanah hilang hampir selalu lebih besar dari tanah yang terbentuk. Oleh karena itu perlu penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransi. Erosi yang diperbolehkan (Edp) adalah jumlah tanah yang hilang yang diperbolehkan per tahun agar produktivitas lahan tidak berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari (Wischmeier dan Smith, 1978). Jika laju Edp dapat diperkirakan maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat dipergunakan secara produktif dan lestari.

Hardjowigeno (2003) menyatakan bahwa tanah yang mempunyai solum tebal, memiliki nilai Edp lebih tinggi dari tanah yang bersolum tipis. Di daerah dengan proses pembentukan tanah yang cepat, nilai Edp lebih tinggi daripada di daerah dengan proses pembentukan tanah yang lambat.

Kecepatan pembentukan tanah di Indonesia cukup beragam, tergantung dari jenis batuan (bahan) induk dan faktor-faktor pembentuk tanah lainnya. Tanah-tanah yang berasal dari batuan yang keras proses pembentukan tanahnya akan lambat sedangkan tanah-tanah berasal dari bahan-bahan yang lebih lunak proses pembentukan tanah akan berjalan lebih cepat. Suhu dan curah hujan yang tinggi di Indonesia juga mempercepat proses pembentukan tanah. Kecepatan pembentukan kecepatan tanah di daerah tropika basah diperkirakan dua kali lebih besar daripada di daerah beriklim sedang (Arsyad, 2000).

Di Amerika Serikat kecepatan tertinggi pembentukan tanah diperkirakan 0.8 mm/tahun, sedangkan di Indonesia mencapai 2 mm/tahun. Hardjowigeno (2003) mengemukakan bahwa tanah-tanah berasal dari abu volkanik gunung Krakatau di Pulau Rakata, kecepatan pembentukan tanahnya mencapai 2.5 mm/tahun. Bila 2.5.mm/tahun dianggap sebagai kecepatan tertinggi pembentukan tanah di Indonesia, maka rata-rata proses pembentukan tanah di Indonesia diperkirakan 1

(7)

mm/tahun. Untuk daerah beriklim sedang, kecepatan rata-rata proses pembentukan tanah sering digunakan angka 0.5 mm/tahun. Berdasar atas perbedaan kecepatan proses pembentukan tanah tersebut, (Arsyad, 2000) mengajukan pedoman penetapan besarnya erosi diperbolehkan untuk tanah-tanah di Indonesia yang besarnya kurang lebihdua kali lebih besar dibanding dengan tanah-tanah di Amerika. Menurut Arsyad (2000) dan Hardjowigeno (2003) ada dua cara perhitungan Edp yaitu perhitungan Edp berdasar persamaan Hammer dan persamaan Wood dan Dent. Persamaan Hammer merumuskan Edp (ton/ha/tahun) sama dengan kedalaman tanah ekivalen dibagi jangka waktu kelestarian sumberdaya tanah. Hasil pembagian tersebut kemudian dikalikan dengan kerapatan lindak dan dikali 10 ton/ha/th. Persamaan Wood dan Dent merumuskan Edp adalah kedalaman ekivalen dikurangi kedalaman tanah yang diperbolehkan, hasilnya dibagi dengan kelestarian tanah lalu ditambah kecepatan pembentukan tanah. Hasil EDP kemudian dikalikan kerapatan lindak tanah dan dikali 10 ton/ha/th.

Untuk menentukan tingkat bahaya erosi (TBE), Departemen Kehutanan menggunakan tebal solum tanah yang ada dan besar erosi. Makin dangkal solum tanah maka makin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat bahaya erosinya sudah cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar. Indeks bahaya erosi (IBE) juga merupakan salah satu cara untuk mengetahui sejauh mana erosi yang terjadi akan membahayakan kelestarian produktivitas tanah yang bersangkutan. IBE merupakan hasil pembagian jumlah tanah yang tererosi (ton/ha/th) dengan Edp (ton/ha/th). Sinukaban et al. (1994) melaporkan bahwa erosi tanah di Pangalengan 218 ton/ha. Edp Pangalengan 12.75 ton/ha, maka IBE Pangalengan adalah 17. Angka ini menunjukkan kriteria sangat tinggi. Bila menggunakan hasil penelitian Pidio (2004) yang melaporkan erosi tanah Pangalengan untuk sistem tanam searah lereng 56.31 ton/ha maka maka IBE Pangalengan masuk kriteria tinggi.

2.3. Biaya Erosi Tanah

Seperti disebutkan di atas sebelumnya, erosi tanah mempunyai dua dampak yaitu erosi tanah on-site dan erosi tanah off-site di daerah hilir akibat terbawa oleh aliran permukaan. Dampak erosi tanah di lokasi yang terpenting adalah berkurangnya kesuburan tanah akibat hilangnya bahan organik dan unsur hara

(8)

tanah, berkurangnya kedalaman lapisan tanah atas (topsoil), dan menurunnya kapasitas tanah untuk menahan air yang selanjutnya juga akan menyebabkan penurunan produktivitas lahan yang terkena erosi. Sedangkan dampak erosi tanah di luar lokasi adalah merupakan nilai sekarang dari manfaat ekonomi yang hilang akibat erosi lahan lahan pertanian. Dampak ini bersifat spesifik untuk suatu lokasi dan bervariasi dari suatu tempat ke tempat yang lain (Barbier, 1995). Midmore et al. (1996) menyatakan bahwa biaya lingkungan di luar lokasi yaitu rusaknya infrastruktur berupa sedimentasi pada saluran irigasi dan Pembangkit Tenaga Listrik di situ/reservoar, yang ditimbulkan oleh praktek-praktek usahatani sayur mayur di dataran tinggi Cameron, Malaysia sebesar M$ 2 juta per tahun atau 4 % lebih rendah dari total nilai kotor produksi sayuran di dataran tinggi Cameron, Malaysia. Erosi tanah menyebabkan hilangnya pendapatan sekarang petani dan akan menyebabkan bertambah tingginya resiko yang akan dialami petani khususnya petani marjinal (Barbier, 1995). Dampak erosi tanah pada penurunan produktivitas lebih besar terjadi di daerah yang beriklim tropis daripada di daerah beriklim sedang karena daerah tropis mempunyai tanah yang relatif rentan dan iklim yang ekstrim (Lal, 1990). Pada daerah berkembang, biaya degradasi lahan akan 15 % lebih tinggi dari produk nasional kotornya (Barbier dan Bishop, 1995).

Pendekatan yang umum digunakan untuk menghitung biaya erosi tanah di lokasi (on site), menurut Barbier (1995) antara lain adalah pendekatan perubahan produktivitas (Productivity Change Approach) dan pendekatan biaya pengganti (replacement cost approach).

Menurut pendekatan perubahan produktivitas, biaya erosi tanah di lahan usahatani sama/setara dengan nilai produktivitas yang hilang yang dinilai sesuai dengan harga pasar. Dengan kata lain, perubahan produktivitas merupakan perbedaan hasil panen antara lahan yang mempunyai tingkat erosi tinggi dan erosi rendah (Barbier, 1995). Magrath dan Arens (1989) menggunakan pendekatan perubahan produktivitas untuk mengukur erosi tanah di Jawa, Indonesia. Studi menunjukkan adanya penurunan produktivitas tahunan sebesar 1% yang setara dengan Rp. 2.686 per hektar.

Fransisco (1998) menggunakan analisis regresi untuk mengukur hubungan antara hasil panen dengan tingkat erosi tanah di Filipina. Hasil analisis pada sistem

(9)

pertanaman lorong dengan input rendah menunjukkan hasil panen jagung menurun seiring dengan naiknya tingkat erosi tanah.

Thao (2001), dengan menggunakan analisis fungsi regresi linier, mengukur hubungan antara hasil panen dengan tingkat erosi tanah. Studi membuktikan bahwa pada sistem pertanaman jagung tradisional, hasil panen semakin rendah dengan naiknya tingkat erosi tanah. Sebaliknya pada sistem pertanaman jagung dengan teknik konservasi vegetatif tanaman pagar, hasil panen semakin meningkat dengan menurunnya tingkat erosi tanah. Ada hubungan yang erat antara produktivitas dengan tingkat erosi tanah.

The (2001) memperkirakan total hilangnya tanah per hektar per tahun di Xuanloc, propinsi Thua Thien Hue, Vietnam Tengah pada sistem pertanian padi dataran tinggi sebesar 80 ton yang setara dengan VND 1.022.000, sedangkan pada sistem pertanian tebu total hilangnya tanah sebesar 53 ton setara VND 635.000, pada pertanian tanaman buah-buahan total hilangnya tanah sebesar 40 ton dan pada pertanian minyak kayu putih total kehilangan tanahnya 42 ton.

Metode pendugaan biaya erosi tanah di lahan usahatani dengan pendekatan biaya pengganti (the Replacement Cost Approach) diilustrasikan dalam Gambar 2. Pendekatan biaya pengganti adalah mengukur unsur hara tanah yang hilang melalui erosi dan menghitung nilai unsur hara tanah yang hilang tersebut yang ekuivalen dalam penggunaan pupuk. Dalam metode pendekatan biaya pengganti, semua pengeluaran untuk keperluan pengganti sumberdaya lingkungan, jasa atau aset yang hilang diidentifikasi. Biaya pengganti aset produktivitas, kerusakan akibat kualitas lingkungan yang rendah atau akibat praktek pengelolaan pertanian yang salah dapat dianggap sebagai suatu pendekatan manfaat dari program perlindungan atau perbaikan aset lingkungan (Hufschmidt et al., 1983). Metode ini kadang-kadang juga dipakai dalam metode penilaian sumberdaya yang berhubungan dengan perkiraan biaya pengganti relatif.

Melalui pendekatan biaya pengganti untuk menghitung biaya erosi tanah on-site, kesuburan tanah diperlakukan sebagai input dalam produksi tanaman. Tanah diasumsikan akan digunakan secara optimal oleh petani. Karena itu, kontribusi unsur hara tanah terhadap produksi (seperti nilai marjinal produk dari produksi tanaman) sama dengan atau setara dengan harga unsur hara tanah (Gambar 2). Akibat erosi, total unsur hara tanah yang digunakan, X1, lebih besar dari jumlah unsur hara

(10)

yang secara efektif digunakan tanaman untuk produksi biomasnya, X0. Perbedaan dari X1 - X0 digambarkan sebagai erosi tanah.

Harga (Rp)

0 Xo X1 Tingkat penggunaan input Gambar 2 Mengukur biaya erosi tanah di lokasi (on-site) dengan pendekatan biaya pengganti (Barbier, 1995).

Untuk mengevaluasi biaya erosi tanah dengan pendekatan biaya pengganti, nilai dari jumlah kehilangan unsur hara yang dianggap sama dengan jumlah penggunaan pupuk digunakan untuk menduga nilai unsur hara yang hilang dari tanah. Pada harga pupuk Pi, biaya kehilangan unsur hara melalui erosi tanah diukur melalui area B, atau Pi (X1 - X0 ). Seluruh kehilangan nilai bersih output berhubungan dengan pengurangan unsur hara tanah (A+B). Dalam pendekatan ini, area B dijadikan sebagai suatu perkiraan total kehilangan petani (A+B) akibat erosi tanah. Semakin tinggi input yang digunakan maka nilai produk marjinal semakin kecil.

Pedro et al. (1997) mengukur erosi lahan pertanian terbuka di Claveria,

Mindanao, Filipina dengan memakai pendekatan biaya pengganti (The Replacement Cost Approach). Unsur C, hara N dan P yang hilang melalui erosi diprediksi melalui model SCUAF. Perkiraan total hilangnya tanah yang terjadi per hektar per tahun adalah 5.858 Peso yang setara dengan 75 Peso per ton.

Sutono et al. (2003) melaporkan bahwa biaya pengganti kehilangan sawah di

DAS Citarum pada tahun 2000 sebesar Rp 18,6 milyar dan akan bertambah sebesar Rp. 28,3 juta/tahun sampai tahun 2005 sehingga biaya pengganti keseluruhannya sampai tahun 2005 menjadi Rp. 19,3 milyar. Peningkatan biaya pengganti ini sejalan

B A

Nilai produk marjinal e

Pi a

(11)

dengan berkurangnya lahan sawah sebesar 6% per tahun sejak tahun 2005. Sawah sebagai pertanian penghasil pangan lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi, potensi erosi pada lahan sawah lebih rendah (0,3-1,5 ton/ha/tahun) dibandingkan dengan lahan kering (5,7-16,5 ton/ha/tahun). Lahan sawah merupakan salah satu ekosistem yang stabil, sehingga jumlah erosinyapun sangat kecil. Sawah mempunyai banyak fungsi, selain sebagai fungsi produksi, juga sebagai fungsi penyelamat lingkungan dan memperpanjang usia bendungan. Sawah lebih mampu mengurangi sedimentasi bendungan karena erosinya lebih kecil dibandingkan lahan tegalan. Perubahan luas lahan sawah akan berpengaruh terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan bendungan, saluran air, dan situ-situ penampung air.

2.4. Peran Konservasi Tanah Dalam Mencegah Erosi

Sitorus (2004a) menyatakan bahwa pada dasarnya konservasi tanah dan air sama dengan konservasi tanah karena antara tanah dan air terdapat hubungan yang erat. Setiap tindakan atau perlakuan yang diberikan terhadap sebidang tanah akan juga mempengaruhi keadaan tata air di lahan tersebut dan di daerah hilirnya, karena itu konservasi tanah pada prinsipnya adalah usaha untuk menempatkan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.

Arsyad (2000) menyatakan bahwa masalah konservasi tanah adalah masalah menjaga agar struktur tanah tidak terdispersi, dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan. Selanjutnya Arsyad mengemukakan bahwa usaha konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat dipergunakan secara lestari. Menurut Hardjowigeno (2003) tujuan konservasi tanah adalah melindungi tanah dari curahan langsung air hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, mengurangi aliran permukaan (run off), dan meningkatkan stabilitas agregat tanah.

Dalam kaitannya dengan erosi, ada dua prinsip dasar pengelolaan lahan yaitu: (1) kegiatan pengelolaan lahan yang mampu mempertahankan tingkat infiltrasi tanah

(12)

yang cukup tinggi sehingga dapat mengurangi jumlah aliran permukaan sampai pada batas yang tidak membahayakan, (2) kegiatan pengelolaan lahan yang mampu mengalirkan aliran permukaan dengan aman apabila jumlah hujan sudah melampaui kapasitas infiltrasi tanah (Lal, 1981). Berdasarkan tujuan di atas dikenal tiga metode konsevasi tanah yang meliputi metode vegetatif, mekanik dan kimia (Arsyad, 2000; Hardjowigeno, 2003).

Metode vegetatif dalam konservasi tanah mempunyai tiga fungsi yaitu melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya perusak aliran permukaan atau aliran air di atas permukaan tanah, dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan kemampuan tanah menyerap atau mengabsorpsi air. Termasuk dalam konservasi tanah metode vegetatif adalah (1) penghutanan atau penghijauan, (2) penanaman dengan rumput makanan ternak, (3) penanaman dengan tanaman penutup tanah permanen, (4) penanaman tanam-tanaman dalam strip (strip cropping) (5) pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah, (6) penggunaan sisa-sisa tanaman (residue management), (7) penanaman saluran-saluran pembuangan air dengan rumput (vegetated atau grassed waterways). Arysad (2000) mengemukakan berbagai jenis tanaman atau vegetasi dan penggunaan tanah mempunyai efisiensi yang berlainan dalam konservasi tanah. Vegetasi permanen menunjukkan efisiensi relatif tertinggi, sedangkan tanaman semusim yang biasanya ditanam dalam barisan seperti tembakau, kentang, ubi kayu, dan jagung menunjukkan efisiensi relatif kedua terendah dalam pencegahan erosi. Efisiensi terendah adalah tanah gundul tanpa vegetasi.

Konservasi tanah metode mekanik mempunyai dua fungsi, yaitu memperlambat aliran permukaan, dan menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Termasuk konservasi tanah metode mekanik adalah (1) pengolahan tanah (tillage), (2) pengolahan tanah menurut kontur, (3) pembuatan galengan dan saluran menurut kontur, (4) pembuatan teras seperti teras tangga/bangku dan teras berdasar lebar, (5) perbaikan drainase dan pembangunan irigasi, dan (6) pembuatan waduk, dam penghambat (check dam), tanggul dan sebagainya (Arsyad, 2000; Hardjowigeno, 2003).

(13)

Konservasi tanah metode kimia mempunyai fungsi untuk memantapkan struktur tanah karena kemantapan struktur tanah menentukan kepekaan tanah terhadap erosi. Beberapa senyawa kimia yang telah dikembangkan untuk membentuk struktur tanah dan dinamakan soil conditioner. Bahan kimia pemantap tanah ada dua kelompok besar yaitu alami dan sintetis. Kelompok alami (organik) antara lain getah karet atau lateks (Pidio, 2004), sedangkan kelompok sintetis antara lain Polyvinylalcohol (PVA), Polyvinyl acetat (PVAC), Polyacrymilade (PAM), emulsi Bitumen (Hardjowigeno, 2003).

Metode konservasi tanah yang banyak dan mudah diterapkan petani antara lain adalah pengolahan tanah menurut kontur, guludan, dan teras.Pada pengolahan tanah menurut kontur pembajakan maupun pencangkulan dilakukan menurut kontur atau memotong lereng (belit sabuk) sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga, yaitu barisan tanaman dibuat sejalan dengan arah garis kontur. (Arsyad, 2000). Keuntungan utama pengolahan menurut kontur adalah terbentuknya penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Oleh karena itu, terutama di daerah beriklim kering, pengolahan menurut kontur juga sangat efektif untuk konservasi air (Arsyad, 2000).

Guludan adalah adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang memotong lereng atau menurut arah garis kontur. Tinggi tumpukan tanah sekitar 25-30 cm dengan lebar dasar sekitar 25-30 cm. Jarak antar guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan (Arsyad, 2000). Untuk tanah yang kepekaan erosinya rendah, guludan dapat diterapkan pada tanah dengan kemiringan sampai 6%. Pada lereng yang lebih curam, guludan mungkin tidak akan mampu mengurangi erosi sampai batas yang masih dapat dibiarkan. Untuk itu dipergunakan metode lain yaitu guludan bersaluran yang dibuat memanjang menurut garis kontur atau memotong lereng. Pada guludan bersaluran, di sebelah atas lereng dari guludan dibuat saluran yang memanjang mengikuti guludan. Ukuran guludan pada guludan bersaluran sama seperti ukuran guludan biasa, sedangkan kedalaman saluran adalah 25 sampai 30 cm, lebar permukaan 30 cm (Arsyad, 2000). Guludan bersaluran dapat dibuat pada tanah dengan lereng sampai 12%. Guludan dapat diperkuat dengan penanaman rumput atau tanaman

(14)

pohon yang dijaga agar tetap rendah. Pengolahan tanah menurut kontur dan penanaman pada guludan dapat mengurangi erosi 80-90% (Hernawati, 1992)

Banuwa (1994) melaporkan meskipun intensitas hujan dan tingkat penutupan tajuk tanaman yang berbeda-beda menyebabkan aliran permukaan dan erosi bervariasi, namun tindakan konservasi tanah berupa penanaman sayur pada guludan memotong lereng (searah kontur) tetap konsisten dan mampu menekan aliran permukaan dan erosi dibanding dengan penanaman sayuran pada guludan searah lereng maupun searah diagonal.

Suganda et al. (1997) menyatakan bahwa pengendalian erosi pada pertanian hortikultur kubis dan buncis di desa Batulawang, Pacet, Cianjur pada kemiringan lahan 9-22% dengan ketinggian tempat 1000 m dpl dan jenis tanah andisol dapat dilakukan dengan membuat model bedengan searah kontur dengan model jarak tanam (panjang bedeng) yang tidak terlalu panjang. Hasil penelitian menunjukkan semakin panjang jarak tanam, semakin tinggi pula aliran permukaan dan erosi. Erfandi et al. (2001) melaporkan bahwa aliran permukaan dan erosi suatu lahan miring dapat diperkecil dengan membuat bedengan searah kontur. Aliran permukaan dan erosi tanah pada tanah Andic Eutropepts di desa Cempaka, kecamatan Cempaka, Cianjur, Jawa Barat dengan ketinggian 800 m dpl dan lereng 10-20% dapat dikurangi hingga masing-masing 70% dan 69%. Dengan perlakuan tersebut sifat fisik tanah menjadi lebih baik.

Teras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan penyerapan air oleh tanah sehingga erosi berkurang. Ada dua tipe utama teras yaitu teras bangku dan teras berdasar lebar. Teras bangku dibuat dengan jalan memotong lereng dan meratakan tanah dibagian bawah sehingga terjadi suatu deretan bentuk tangga/bangku. Teras bangku cocok untuk lereng 20 – 30 persen atau lebih, tidak cocok untuk pertanian yang menggunakan mesin-mesin pertanian yang berat. Untuk pembuatannya perlu tenaga dan modal besar. Akibat pemotongan dan perataan tanah, tanah-tanah tidak subur mungkin muncul ke permukaan sebagai tempat untuk ditanami sehingga perlu pemberian pupuk organik. Makin curam lereng, makin sempit teras dan makin kecil pula luas lahan yang dapat ditanami. Pada lereng 30 persen misalnya, dengan jarak vertikal satu meter maka lebar bagian yang dapat ditanami adalah 1.83 m atau hanya 55% luas areal yang

(15)

dapat ditanami. Teras berdasar lebar merupakan saluran yang permukaannya lebar yang dibuat memotong lereng pada tanah-tanah berombak dan bergelombang

(tanah berlereng antara 2 – 8 persen). Lebar teras berdasar lebar berkisar 6 – 15 m. Kemampuan sistem pertanian lahan kering dataran tinggi mengontrol erosi

dipengaruhi oleh faktor pengelolaan pertanaman dan faktor teknik konservasi tanah (Young et al., 1998). Penelitian terhadap berbagai teknik konservasi telah banyak dilakukan, di antaranya telah menghasilkan data berupa nilai faktor C (pertanaman) dan nilai P (teknik konservasi), dan nilai CP (Abdurachman dan Sutono, 2002). Model prediksi erosi, seperti USLE (Universal Soil Loss Equation), RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation), GUEST (Griffith University Erosion System Template), SCUAF (Soil Change Under Agriculture, Agroforestry, and Forestry), dan lain-lain dapat digunakan untuk memperkirakan apakah teknik pengendalian erosi yang akan diterapkan atau yang sudah diterapkan cukup efektif atau tidak. Apabila laju erosi dari suatu lahan pertanian masih tergolong tinggi, maka perlu dianalisis faktor erosi mana yang masih berpeluang untuk dikurangi pengaruhnya melalui perbaikan-perbaikan tindakan konservasi. Jumlah dan intensitas hujan tidak dapat diubah, sehingga peluang perubahan ada pada faktor erodibilitas tanah (K), panjang dan kemiringan lereng (LS), dan faktor pengelolaan pertanaman dan tindakan konservasi tanah (CP).

Nilai faktor tindakan konservasi (P) sering tidak dapat dipisahkan dari nilai pengelolaan pertanaman (C), seperti pembuatan gulud yang diperkuat dengan tanaman rumput/legum, pertanaman dalam strip yang dilengkapi larikan dan saluran memotong lereng, dan sebagainya. Gabungan kedua macam tindakan konservasi tersebut cukup efektif dalam pengendalian erosi. Pemilihan jenis tanaman konservasi yang bernilai jual cukup tinggi, seperti rumput pakan pada guludan, legum, murbei, dan lain-lain, dapat membantu petani dalam menambah pendapatan (Abdurachman dan Sutono, 2002).

Abujamin et al. (1985) menyatakan bahwa di Indonesia penggunaan rumput sebagai tanaman strip untuk mencegah erosi dan mulsa sisa tanaman untuk rehabilitasi lahan berturut-turut dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar US$ 70 dan 120 masing-masing pada tahun kedua dan ketiga setelah penggunaan rumput dan penggunaan mulsa.

(16)

Dixon (1995) mengemukakan bahwa biaya rehabilitasi tanah termasuk penanaman kembali, menurut survey lembaga dunia, adalah $ 500 – 3.000 ha/th sedangkan untuk melakukan sistem agroforestri pada tanah yang tidak terdegradasi di daerah tropis beriklim sedang dibutuhkan biaya kurang dari $ 1.000 ha/th.

Sutono et al. (2003) menyatakan bahwa lahan sawah sebagai pertanian penghasil pangan lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi, potensi erosi pada lahan sawah lebih rendah (0.3-1.5 ton/ha/tahun) dibandingkan dengan lahan kering (5.7-16.5 ton/ha/tahun). Lahan sawah merupakan salah satu ekosistem yang stabil, sehingga jumlah erosinyapun sangat kecil. Sawah mempunyai banyak fungsi, selain sebagai fungsi produksi, juga sebagai fungsi penyelamat lingkungan dan memperpanjang usia bendungan. Sawah lebih mampu mengurangi sedimentasi bendungan karena erosinya lebih kecil dibandingkan lahan tegalan. Perubahan luas lahan sawah akan berpengaruh terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan bendungan, saluran air, dan situ-situ penampung air.

2.5. Pertanian Lahan Kering Dataran Tinggi dan Sistem Pertanian Konservasi (SPK)

Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun, sedangkan yang dimaksud dengan lahan kering dataran tinggi adalah hamparan lahan kering yang terletak pada ketinggian lebih dari 700 m dpl (700 – 2500 m dpl). Suhu udara tergolong sejuk sampai dingin. Pertanian lahan kering adalah suatu sistem pertanian yang dilaksanakan di atas lahan tanpa menggunakan irigasi, dimana kebutuhan air hanya bergantung pada curah hujan. Beberapa ciri biofisik pertanian lahan kering diantaranya adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah, pH tanah masam, kandungan bahan organik dan unsur hara tanah yang terbatas, berada pada wilayah hulu (upland) dan topografi berlereng.

Carson (1989) menyatakan secara umum upaya pengelolaan pertanian lahan kering dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: (1) memperbaiki praktek usahatani konvensional (bibit unggul, peningkatan penggunaan bahan organik, dan sebagainya), (2) pengelolaan tanaman dan pola tanam, (3) pemberian mulsa, (4)

(17)

diversifikasi komoditas pertanian, (5) pengendalian hama dan penyakit terpadu dan (6) konservasi tanah (mekanik, vegetatif atau kimia).

Lahan kering dataran tinggi yang berada pada wilayah beriklim basah pada umumnya akan cepat mengalami degradasi apabila diusahakan atau dikelola tanpa disertai usaha-usaha konservasi yang tepat. Potensi degradasi lahan ini akan semakin tinggi bila wilayah tersebut mempunyai curah hujan dengan intensitas yang tinggi, tanah peka erosi, lereng curam, dan pola tanam yang diterapkan kurang baik. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas lahan. Permasalahan pada usahatani lahan kering dataran tinggi adalah keberlanjutan dalam produktivitasnya di masa mendatang yang akhir-akhir ini ternyata menurun atau mengalami stagnasi pada tingkat input yang lebih tinggi. Sitorus (2004b) menyatakan bahwa penurunan produktivitas usahatani lahan kering dataran tinggi tersebut karena adanya kendala pada lahan kering dataran tinggi dalam pemanfaatannya untuk pertanian yaitu: (1) kendala fisik-relief dengan lereng curam (berbukit sampai bergunung) yang peka terhadap erosi dan longsor, (2) berkurangnya kesuburan tanah karena erosi sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan, (3) kendala sosial budaya keluarga petani yang mempunyai sifat individualisme yang tinggi.

Dengan adanya kendala tersebut, maka pola pengembangan pertanian di lahan kering dataran tinggi di masa mendatang selain perlu memperhatikan kondisi sosial-ekonomi, harus pula didasarkan atas karakteristik lahan, dan kesesuaian jenis/varietas komoditas pertanian yang akan dikembangkan, serta lingkungan. Agar produktivitas dan kelestarian lahan lebih terjamin, maka perlu penerapan teknologi maju sesuai dengan kondisi spesifik lokasinya, antara lain berupa penggunaan varietas unggul, pemupukan, rehabilitasi dan konservasi tanah, pencegahan hama/penyakit, dan mekanisasi pertanian (Abdurachman, 2001).

Sinukaban (1994) menyatakan fokus pendekatan baru untuk pembangunan

pertanian berkelanjutan adalah dengan menerapkan Sistem Pertanian Konservasi (Conservation Farming System). Sistem Pertanian Konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus menekan kerusakan tanah oleh erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus

(18)

tanpa batas waktu. Jadi tujuan utama konservasi tanah bukan menetapkan tindakan/teknik konservasi tanah dan air saja tetapi untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mempertahankan pertanian yang lestari. Oleh karenanya SPK mempunyai ciri-ciri :

1. Produksi pertanian cukup tinggi, agar petani tetap bergairah melanjutkan usahanya.

2. Pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya.

3. Teknologi yang diterapkan, baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi adalah teknologi tepat guna sesuai dengan kemampuan petani dan diterima

oleh petani dengan senang hati sehingga sistem pertanian tersebut akan diteruskan oleh petani dengan kemampuannya secara terus-menerus tanpa bantuan dari luar.

4. Komoditi pertanian yang diusahakan sangat beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku di pasar.

5. Laju erosi kecil (minimal), lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan sehingga produktivitas yang cukup tinggi tetap dipertahankan/ditingkatkan secara lestari dan fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

6. Sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani untuk terus berusahatani.

Agar ciri di atas terwujud, maka dalam SPK harus diterapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air yaitu menempatkan sebidang ladang dalam penggunaan yang sesuai dengan kemampuannya dan memberlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk itu. Oleh sebab itu dalam SPK diintegrasikan tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai dan memadai ke dalam sistem pertanian yang cocok untuk setiap daerah yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Komoditi pertanian yang dikembangkan akan sangat bervariasi, dapat terdiri dari tanaman pangan, palawija, sayuran, buah-buahan, kayu termasuk ternak dan ikan yang sesuai dengan keadaan setempat sehingga SPK tersebut dapat dikembangkan secara lestari. Teknik pemilihan tanaman dan teknologi yang akan diterapkan didasarkan pada prosedur yang telah sering dilaksanakan. Ciri ini menunjukkan SPK adalah sistem pertanian yang khas kondisi setempat (site specific). SPK cocok di suatu tempat belum tentu cocok di tempat lain.

(19)

2.6. Andisols, Potensi dan Kendalanya

Andisols adalah tanah-tanah yang 2/3 lapisan atas setebal 60 cm atau lebih mempunyai sifat andik, dan sifat-sifat tanah andik ini terutama disebabkan oleh kandungan mineral-mineral amorf. Sifat andik dicirikan oleh kandungan C-organik < 25% dan bobot isi tanah kurang dari 0,90 g cm-3 (Soil Survey Staff, 1999). Penyebarannya terutama terbatas pada wilayah sekitar atau dekat daerah volkan (gunung api). Luas seluruh jenis Andisols diperkirakan 5,39 juta ha, atau sekitar 2.9% wilayah daratan Indonesia (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000). Di Pulau Jawa, Andisols umumnya berasal dari bahan induk andesitik sampai basaltik, karena itu umumnya berupa tanah-tanah yang subur (Munir, 1996). Andisols merupakan tanah yang berwarna hitam, sangat porous, mengandung bahan organik dan liat tipe amorf, terutama alofan serta sedikit silika dan alumina atau hidroksi besi (Darmawidjaja, 1990). Warna hitam pada Andisols menurut Aomine dan Jacksons (1959), dikarenakan akumulasi humus yang tinggi berasosiasi dengan alofan dimana alofan tersebut mempunyai kapasitas memegang air yang sangat tinggi.

Masalah yang paling menonjol pada Andisol adalah sifat kemampuan menyerap dan menyimpan air yang tak pulih kembali seperti semula apabila mengalami kekeringan (irreversible drying). Hal ini dikarenakan koloid amorf seperti abu vulkan dan bahan organik mempunyai daya jerap air tinggi (ekuivalen 80-90% dari bobotnya). Jika andisols mengalami kekeringan sampai 15 atmosfir (terbukanya tanaman penutup tanah) maka lapisan air yang terikat pada permukaan partikel akan menguap/hilang dan selanjutnya pada permukaan antar partikel akan terjadi kontak ikatan kimia, sehingga tanah mengkerut dan bersifat irreversible, akibatnya jika sudah mengalami kekeringan sulit untuk dibasahi kembali. Kohesi tanah pada sub soil yang basah lebih tinggi, sehingga gerakan air dalam tanah selalu dapat ditahan oleh kohesi yang rendah pada permukaan tanah yang kering. Bila ikatan antar partikel tanah putus/rusak kekuatan tanah menjadi rendah, sehingga menyebabkan terjadinya gerakan tanah bila terdapat air hujan yang berlebihan. Hal ini tersebut menggambarkan bahwa Andisols pada wilayah berlereng mempunyai sifat stabilitas tanah yang rendah (Munir, 1996).

Andisols, yang umumnya terletak di dataran tinggi, dengan kesuburan

tanahnya yang baik dan didukung oleh kondisi suhu udara yang sejuk berkisar antara 16-220C sangat memungkinkan untuk pertumbuhan dan perkembangan

(20)

komoditas pertanian dataran tinggi (Prasetyo, 2005). Namun karena lokasi Andisols yang umumnya berada di kawasan berlereng pada bentuk wilayah berbukit sampai bergunung, maka dalam pengelolaannya harus memperhatikan asas kelestarian lingkungan. Pada kenyataannya, hampir di setiap daerah sayuran dataran tinggi tidak dijumpai teknik-teknik konservasi tanah yang benar, dan aktivitas budidaya sayuran yang intensif serta memiliki curah hujan yang tinggi, mengakibatkan kondisi tersebut sangat rentan terhadap erosi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000). Di Indonesia terjadinya erosi terutama disebabkan oleh curah hujan. Hujan di Indonesia sebagian besar termasuk tipe orografis, yakni makin tinggi suatu tempat semakin tinggi pula curah hujannya, sebaliknya penguapan semakin berkurang. Makin besar selisih antara curah hujan dengan penguapan mengakibatkan bahaya erosi semakin besar ditunjang dengan kondisi banyaknya lahan berlereng dan curam. Melihat potensi Andisols dengan tingkat kesuburan yang tinggi, namun berada pada kondisi yang dapat menyebabkan risiko terjadinya erosi, maka dalam pemanfaatannya sebagai lahan pertanian harus memperhatikan upaya penanggulangan erosi, agar produktivitas lahan tetap dapat dipertahankan.

2.7. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi dan Manfaatnya

Sistem pertanian konservasi (SPK) dapat dikatakan sebagai suatu bentuk inovasi pertanian lahan kering dataran tinggi (Sinukaban, 1994 dan Hoesle, 1997) dan sebagai inovasi memerlukan suatu proses sampai diadopsi oleh petani. Menurut Rogers (1995), yang dikenal sebagai guru dalam studi adopsi/difusi sejak tahun 1960, menyatakan bahwa adopsi suatu inovasi merupakan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolak dan kemudian mengukuhkannya. Secara lebih rinci, proses adopsi dapat dibagi dalam lima tahapan yaitu pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi dan konfirmasi. Tiga tahapan terakhir dapat dipandang sebagai satu tahapan implementasi atau adopsi inovasi. Lebih lanjut Rogers mengemukakan bahwa kecepatan adopsi suatu inovasi dipengaruhi banyak faktor terutama karakteristik inovasi, lingkungan sosial budaya, karakteristik individu petani, dan kondisi usahataninya. Yang dimaksud adopsi dalam studi ini adalah ‘sudah menerapkan’. Kriteria adopsi atau sudah menerapkan konservasi diketahui dari melihat langsung di lapang bentuk teknik konservasi mekanik seperti apa yang

(21)

digunakan. Adopsi dalam penelitian ini tidak melihat secara rinci proses dari adopsi tersebut seperti yang didefinisikan oleh Rogers.

Studi tentang adopsi teknologi konservasi secara umum pada dasarnya dibangun dari dua pemikiran ilmiah. Pendekatan pertama memberi penekanan pada peran dominan insentif ekonomi dalam hubungannya dengan penggunaan teknologi tertentu, sedangkan pendekatan kedua menekankan pentingnya variabel-variabel non-ekonomi dalam proses adopsi. Dasar model ekonomi untuk menganalisis tingkat adopsi petani terhadap teknologi konservasi petani adalah bahwa manfaat yang positif (bersih) dapat menghasilkan tingkat kegunaan (utility) yang lebih tinggi bagi petani. Maksudnya, petani akan mengadopsi teknologi konservasi tanah apabila manfaat bersih keputusan tersebut (net benefit) positif, yang juga berarti tingkat kegunaan atau utilitas yang lebih tinggi, misalnya pada produktivitas dan pendapatan. Keputusan memilih sistem praktek pertanian di lahan berada di tangan petani sendiri. Keputusan yang dibuat biasanya berhubungan dengan tujuan petani itu sendiri seperti mencari berbagai kemungkinan untuk menaikkan produksi dan juga berhubungan dengan faktor-faktor penghambat/kendala yang dihadapi.

Di dataran tinggi Jawa, Barbier (1990) menunjukkan bahwa hubungan antara erodibilitas dan keuntungan dari berbagai bentuk sistem pertanian pada tanah dan kemiringan yang berbeda merupakan penentu yang penting bagi petani dataran tinggi untuk mengadopsi teknik konservasi tanah. Barbier juga menyatakan bahwa akses pada input tertentu yang disubsidi seperti pupuk dan bibit terbukti merupakan insentif dalam mengontrol erosi tanah jangka panjang, pencabutan subsidi-subsidi tersebut akan mendorong berkurangnya investasi pada konservasi tanah.

Alimaras et al. (1991) mengemukakan bahwa alasan utama petani mengadopsi konservasi tanah adalah kelayakan ekonomi. Petani akan melakukan konservasi tanah jika dengan tindakan tersebut petani akan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Pagiola (1999) menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, adopsi sistem pertanian konservasi bahkan justru tampak tidak memberikan hasil yang nyata. Penyebabnya antara lain rendahnya harga output sehingga kenaikan produktivitas tidak berdampak terhadap biaya yang telah dikeluarkan, atau adanya penghambat lain seperti kemiskinan, kredit, dan status kepemilikan lahan. Pada kasus penanaman pohon oleh petani marjinal di Filipina, Shivelly (1997) mengemukakan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi keputusan menanam

(22)

pohon ditentukan oleh perubahan harga relatif output dan berbagai resiko yang muncul akibat mengambil keputusan menanam pohon.

Rerkasem (1996) mengidentifikasi tiga faktor penting dalam pengelolaan penggunaan lahan secara berkelanjutan yaitu: (a) adanya pemecahan biaya teknologi konservasi secara efektif dan tepat, (b) adanya pengelolaan organisasi sosial dan sumberdaya masyarakat, (c) adanya kemampuan masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan krusial yang berhubungan dengan manajemen lahan. Hwang et al. (1994) menyatakan bahwa status lahan sewa akan mempercepat terjadinya erosi karena pengelolaannya bersifat jangka pendek. Lahan sewa cenderung akan dimanfaatkan secara maksimal (intensif). Keputusan-keputusan bentuk penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh status lahan/kepemilikan lahan. Bila lahan berstatus milik maka lahan akan lebih memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan fisik lahan (Feder dan Onchan, 1987) dibandingkan dengan lahan status sewa.

Young (1987) mengemukakan tiga kendala utama petani dalam memutuskan sistem penggunaan lahannya yaitu jenis tanah, ukuran lahan, dan permasalahan yang muncul/ada dari pengelolaan lahan itu sendiri. Juo dan Thurow (1998) menyatakan bahwa adopsi teknik konservasi tanah dipengaruhi oleh faktor bio-fsik, sosial, ekonomi dan peningkatan kapasitas masyarakat lokal. Arifin (2002) menyatakan beberapa variabel diduga mempengaruhi keputusan petani mengadopsi teknik konservasi, terutama teras (contour terracing) adalah faktor personal, faktor ekonom, faktor kelembagaan, dan faktor biofisik. Hediger (2003) menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang dapat mempertahankan pendapatan ditingkat petani untuk jangka waktu yang lama. Pendapatan pertanian tergantung pada faktor-faktor biofisik lahan dan ekonomi seperti harga komoditas, biaya produksi, penanaman intensif, rotasi tanaman, unsur hara tanah, kedalaman tanah, dan faktor produktivitas yang ada kaitannya dengan karakteristik tanah. Secara umum dapat dikatakan bahwa variabel faktor personal dan faktor ekonomi relatif dominan dalam mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan adopsi teknologi konservasi.

Manfaat sistem pertanian konservasi adalah jangka panjang. Untuk melihat manfaat jangka panjang dapat dilakukan dengan perhitungan nilai kini bersih (NPV) dalam waktu jangka tertentu. Keputusan memilih sistem penggunaan lahan bersifat

(23)

langsung artinya lahan yang digunakan harus memberikan nilai yang tinggi bagi pemiliknya, yang diukur melalui nilai sekarang bersih/NPV (net present value) dari manfaat bersih berturut-turut yang diharapkan dalam jangka panjang. Petani hanya peduli (concern) pada manfaat dan biaya internal saja. Oleh karena itu dari sudut pandang pemilik lahan, manfaat sekarang bersih (NPV) privat merupakan kriteria terbaik untuk mengevaluasi keberlanjutan ekonomi sistem penggunaan lahannya. NPV sistem penggunaan lahan dapat diukur dengan membandingkan nilai manfaat dan biaya dari lamanya sistem penggunaan lahan tersebut digunakan dan kemudian menghitung nilai manfaat sekarang bersih/NPV secara berturut-turut dengan menggunakan tingkat diskon yang berlaku (The, 2001).

Dengan menggunakan kerangka analisis manfaat-biaya, Current dan Scherr (1995) menganalisis manfaat finansial dan ekonomi dari 56 sistem penggunaan lahan agroforestry di Amerika Tengah. Hasil menunjukkan bahwa 75% dari 56 sistem penggunaaan lahan agroforestry menghasilkan NPV positif pada tingkat diskon 20%. Dua pertiga dari kasus menunjukkan NPV dan tingkat pengembalian (returns) untuk tenaga kerja lebih tinggi pada sistem penggunaan lahan agroforerstry dibandingkan pada sistem penggunaan lahan alternatif lainnya seperti lahan pertanian atau lahan yang hanya terdiri dari pohon saja (misalnya hutan saja). Irawan (2001) menganalisis manfaat finansial dan ekonomi dari sistem pertanaman lorong (alley cropping system), salah satu teknologi budi daya pengendalian erosi secara vegetatif, di lahan kering berlereng di Kubang Ijo, Jambi. Sistem pertanaman lorong tersebut terdiri dari menanam tanaman pangan, tanaman pagar, rumput pakan ternak, dan tanaman kayu-kayuan. Setelah memperhitungkan kehilangan unsur hara yang terangkut erosi sebagai manfaat yang hilang (forgone benefit), nilai NPV dan B/C rasio pengembangan sistem pertanaman lorong menunjukkan hasil positif (layak). Pada tingkat diskon 12% nilai indikator NPV dan B/C rasio relatif lebih baik dibandingkan dengan sistem pertanaman yang telah ada (tradisional) di Kubang Ijo, Jambi.

The (2001) menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi empat sistem penggunaan lahan di Vietnam Tengah. Keempat sistem penggunaan lahan itu: sistem pertanian sawah dataran tinggi, sistem perkebunan tebu, sistem agroforestry tanaman buah-buahan, sistem pertanaman pohon kayu putih (eucalyptus). Dengan kerangka waktu penggunaan lahan 30 tahun, analisis manfaat-biaya menunjukkan

(24)

NPV sistem agroforestry pada tingkat diskon 10%, 12%, 15%, 20%, maupun 25% menunjukkan hasil positif, sedangkan sistem pertanian sawah dan kayuputih pada tingkat diskon yang sama memberikan nilai NPV paling kecil.

2.8. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Berbagai penelitian yang berhubungan dengan adopsi sistem pertanian konservasi telah dilakukan di beberapa negara seperti Indonesia, Filipina, Vietnam, Afrika, China, Pegunungan Andes, Kenya, Republik Dominica, dan lainnya.

Pakpahan dan Syafaat (1991) menganalisis hubungan konservasi tanah dengan komoditas yang diusahakan, struktur pendapatan serta karakteristik rumah tangga di DAS Cimanuk dan Citanduy, Jawa Barat. Hasil analisis regresi menggunakan model logit menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan umur kepala keluarga tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan erosi. Namun dari tanda parameternya terdapat kecenderungan bahwa tingkat pendidikan semakin tinggi memberikan peluang berkurangnya tingkat erosi. Dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, diharapkan kemampuan orang tersebut dalam memproses informasi dan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya semakin baik, sehingga dorongan terjadinya erosi menjadi semakin kecil. Sebaliknya, semakin tinggi jumlah anggota rumah tangga dan semakin tua umur kepala keluarga cenderung meningkatkan peluang terjadinya erosi. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar akan cenderung meningkatkan permintaan terhadap eksplotasi sumberdaya lahan sehingga cenderung meningkatkan peluang terjadinya erosi. Umur semakin tua cenderung kurang adaptif dan inovatif terhadap teknologi baru, sehingga semakin tua seseorang maka dorongan untuk menerapkan praktek-praktek konservasi semakin berkurang.

Selanjutnya Pakpahan dan Syafaat (1991) mengemukakan bahwa kondisi erosi berasosiasi positif dengan pangsa pendapatan dari sektor pertanian terhadap pendapatan total rumah tangga. Makin tinggi pangsa pendapatan yang berasal dari sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga, makin tinggi tingkat erosi yang terjadi. Hubungan yang lebih kuat antara struktur pendapatan dengan erosi tanah adalah semakin tinggi sumber pendapatan rumah tangga berasal dari lahan kering, semakin berat erosi yang terjadi di wilayah yang bersangkutan. Di daerah sayuran penerapan praktek-praktek konservasi tanah relatif lebih rendah dibanding dengan di

(25)

daerah non-sayuran, walaupun tingkat pendapatan rumahtangga di daerah sayuran lebih tinggi dibanding daerah non-sayuran. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa faktor tanaman lebih besar pengaruhnya dibanding faktor pendapatan terhadap erosi yang terjadi.

Fujisaka (1994) menyatakan alasan petani lahan kering dataran tinggi South Cotabato, Filipina kurang mau mengadopsi teknologi konservasi tanah yang diperkenalkan kepada mereka adalah inovasi teknologi yang diberikan salah menjawab permasalahan yang ada di lapang sehingga justru menciptakan masalah baru seperti terlalu mahalnya inovasi yang diperkenalkan dan tidak adanya jaminan sosial sewa lahan. Petani penyewa lahan segan mengkonservasi lahan sewaannya karena tidak yakin kapan lahan yang dikonservasi tersebut mulai menunjukkan hasil dan bila ingin melanjutkan penggunaan lahan sewaannya petani penyewa takut pemilik lahan mengambil alih lahannya.

Huzar et al. (1994) mengkaji dampak dua bentuk subsidi yang diberikan kepada petani pada program konservasi yang diperkenalkan oleh UACP di dua areal DAS Jratunseluna (Jawa Tengah) dan Brantas (Jawa Timur). Ada dua bentuk subsidi yang diberikan yaitu subsidi opersional berupa input pertanian seperti bibit, pupuk dan pestisida serta subsidi kapital untuk membuat teras atau konstruksi lainnya yang berhubungan. Hasil menunjukkan bahwa efek subsidi operasional berupa input seperti benih, pupuk, pestisida terhadap program konservasi yang diperkenalkan tidak berlanjut. Pada awal proyek, petani yang mengikuti program konservasi menghasilkan panen yang lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak mengikuti program konservasi. Namun demikian dengan berjalannya waktu, ada kecenderungan hasil panen menurun. Penurunan hasil panen ini ternyata berhubungan dengan menurunnya penggunaan input yang diperkenalkan atau yang disubsidi. Tujuan subsidi berupa input ini adalah bahwa semakin tingginya pendapatan yang diterima petani diharapkan akan memotivasi dan meningkatkan kemampuan petani untuk tetap mempertahankan penggunaan berbagai input tersebut setelah subsidi dihentikan. Dalam kenyataannya, kenaikan pendapatan yang diterima petani ternyata digunakan untuk membeli barang-barang lain seperti memperbaiki rumah daripada menginvestasikan kembali pendapatan yang diterima tersebut pada produksi tanaman di tahun berikutnya. Akibatnya ketika subsidi dihentikan, petani tidak lagi mampu membeli berbagai input yang lebih baik yang

(26)

diperkenalkan oleh proyek. Hal ini menunjukkan secara finansial petani mungkin tidak mampu mempertahankan praktek produksi yang diperkenalkan. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan memberikan kredit. Namun demikian aternatif pemberian kredit untuk petani dataran tinggi ini perlu dikaji secara mendalam agar menjadi insentif yang baik bagi petani sehingga petani mempunyai kemampuan tidak saja untuk meminjam uang tetapi juga kemampuan untuk mengembalikan uang pinjamannya. Bila petani tidak mampu untuk membeli input maka akan juga berpengaruh terhadap pemeliharaan teras.

Dari pengalaman di atas, Huzar et al. (1994) menyarankan agar program konservasi untuk dataran tinggi di masa mendatang perlu belajar dari pengalaman program-program konservasi sebelumnya. Penilaian ekonomi proyek pertanian dataran tinggi seharusnya dilakukan dengan membandingkan nilai kini bersih manfaat konservasi dengan nilai kini bersih biaya konservasi. Huzar et al. juga mengemukakan bahwa biaya lingkungan yang diperlukan untuk rehabilitasi dan konservasi lahan kritis di dataran tinggi yang dilakukan oleh the Uplands Agriculture and Conservation Projects (UACP) di Citanduy II, Yogya, Bangun dan Wonogiri tahun 1980 adalah $ 20–50 juta.

Ndiaye et al. (1994) mengkaji persepsi petani di Rwanda, Afrika terhadap sumber masalah praktek adopsi konservasi. Kendala utama memperkenalkan praktek konservasi pada petani Rwanda adalah ketidak pedulian dan ketidak-tahuan para petani akan dampak degradasi lahan terhadap kesuburan tanah atau erosi. Hal ini disebabkan kemiskinan, tekanan penduduk, pendidikan rendah, dan pendapatan yang rendah juga.

Hwang et al. (1994) meneliti biaya (cost) beberapa bentuk teknik konservasi tanah yang diperkenalkan di Republik Dominika dalam rangka memenuhi target konservasi pada lahan pertanian dengan kecuraman tajam. Penelitian tersebut juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknik konservasi. Teknik konservasi tanah yang diperkenalkan adalah penanaman rumput strip (grass strips), pembuatan parit/saluran (hillside ditches), dan teras sedangkan komoditas yang menjadi obyek penelitan Hwang et al adalah tanaman kopi, jagung buncis, ubi kayu dan ubi jalar. Dari ketiga teknik konservasi yang diperkenalkan, penanaman rumput strip merupakan teknik konservasi dengan biaya yang paling murah. Hasil penelitian menunjukkan walaupun pengurangan erosi penanaman rumput strip tidak seefektif

(27)

teknik konservasi hillside ditches atau teras, namun biaya pembuatan dan pemeliharaan penanaman rumput strip merupakan alternatif yang bersifat lebih ekonomis. Pada tahun ketiga penanaman rumput strip dapat menurunkan erosi sebesar 50% dengan menurunkan kehilangan pendapatan sebesar 5%, sedangkan pada tahun ke empat penanaman rumput strip dapat menurunkan erosi sebesar 75% dengan menurunkan kehilangan pendapatan sebesar 34% dibandingkan pertanian tradisional (tidak mengadopsi teknik konservasi).

Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknik konservasi petani Republik Dominika adalah harga output di pasar, faktor kelembagaan seperti status lahan dan kredit. Hasil penelitian Hwang et al. (1994) menunjukkan bahwa perubahan kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi tingkat harga yang diterima oleh petani yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknik konservasi. Pengalaman pada komoditas kopi, jagung dan buncis di Republik Dominika menunjukkan bahwa liberalisasi harga dan tata niaga membuat harga di tingkat petani mencerminkan harga komoditas yang terjadi di pasar internasional. Akibat liberalisasi, harga komoditas kopi yg diterima petani meningkat sebaliknya harga komoditas jagung dan buncis yang diterima petani turun. Harga kopi yang meningkat relatif terhadap harga jagung dan buncis tersebut mengakibatkan banyak petani pemilik lahan yang tadinya menanam jagung dan buncis beralih menanam tanaman kopi. Dengan beralihnya penanaman komoditas tersebut berakibat pada turunnya laju erosi. Tanaman kopi menghasilkan erosi yang jauh lebih kecil dibandingkan tanaman jagung dan buncis.

Status lahan berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menerapkan konservasi tanah. Turunnya harga jagung dan buncis, menyebakan petani penyewa lahan beralih menanam ubi kayu dan ubi jalar. Pemerintah Republik Dominika mengeluarkan keputusan masa sewa menyewa lahan minimal selama dua tahun, dengan harapan petani penyewa mampu memperoleh manfaat dari konservasi tanah grass strip. Penelitian Hwang et al. (1994) menunjukkan biaya untuk melakukan konservasi tanah dalam bentuk grass strip akan kembali dalam waktu minimal satu tahun. Untuk tanaman kopi yang merupakan tanaman tahunan dan manfaat baru dapat dirasakan setelah penanaman selama 10 tahun, agar petani kopi bersedia melakukan konservasi maka pemerintah memberikan insentif berupa subsidi suku bunga kredit.

(28)

Watson (1995) melakukan studi sosial ekonomi dampak program Sloping Agricultural Land Technology (SALT) pada pertanian lahan kering yang mempunyai kemiringan bervariasi mulai 18 % di Mindanao, Filipina. Pengamatan dilakukan selama 10 tahun (1981-1990). Hasil menunjukkan satu hektar lahan petani yang mengadopsi SALT mengalami kenaikan pendapatan secara dramatis. Pada tahun kedua setelah mengadopsi SALT pendapatan kotor petani lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani dengan praktek pertanian tradisional. Dari pengamatan 10 tahun tersebut ditunjukkan bahwa selama musim keringpun SALT tetap menguntungkan. Dibandingkan pertanian jagung tradisional dengan pendapatan tahunan petani $12.00 -$80.00/ha, maka petani yang mengadopsi program SALT mendapat keuntungan hampir tujuh kali lipat. Penyebab keberhasilan inovasi SALT di Mindano, Filipina adalah karena SALT melakukan berbagai modifikasi programnya sesuai dengan kondisi topografi, sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat. Melalui SALT, petani marjinal di Filipina dapat melakukan konservasi ditanahnya, mengurangi ketergantungan terhadap pupuk buatan, mampu meningkatkan hasil panen dan secara umum petani mampu mencukupi dirinya sendiri. Selain itu petani marjinal di dataran tinggi juga dapat memutus siklus pertanian monokultur yang mahal, ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida impor, dan hutang kepada petani besar atau bank.

SALT juga melibatkan berbagai organisasi non-pemerintah seperti the Philippine Soil Conservation Society (PSCS) dan Conservation Farming Movement (CFM), berbagai universitas pertanian di Filipina, dan membangun komunitas petani serta membuka program sekolah bagi anak-anak muda yang drop out sekolah karena miskin. Dalam sekolah ini, anak-anak muda juga mendapat pelatihan pertanian yang menggunakan teknologi dan materi yang tepat sesuai yang dibutuhkan supaya tidak mempunyai ketergantungan terhadap teknologi mahal seperti traktor.

Rozelle et al. (1997) menyatakan permasalahan erosi di China disebabkan karena kurang effektifnya berbagai peraturan dan institusi pemerintah/lingkungan yang ada. Para pimpinan banyak yang belum mengerti dan memahami dampak jangka panjang erosi tanah. Pagiola (1999) menyatakan faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat adopsi sistem pertanian konservasi di Kenya adalah faktor personal yaitu kepedulian. Adopsi teknik konservasi tanah dalam usahatani

(29)

menjadi insentif yang kuat bagi petani Kenya ketika mengetahui degradasi lahan akan mengancam produktivitas dalam jangka panjang.

Arifin (2002) melakukan analisis adopsi teknik konservasi pada petani di Subik dan Pekurun, Abung Barat, Lampung Utara. Petani Abung Barat telah lama mengadopsi teknik konservasi yang diperkenalkan oleh Proyek Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam (UPSA) pada tahun 1980an. Beberapa variabel diduga mempengaruhi keputusan petani Abung Barat untuk melakukan investasi teknik konservasi, terutama teras bangku adalah (1) faktor personal – umur dan pendidikan, (2) faktor ekonomi – jumlah anggota keluarga, tingkat pendapatan luar usahatani, jarak ke pasar, (3) faktor kelembagaan – status kepemilikan lahan, keanggotaan dalam USPA dan akses pada bantuan teknis, (4) potensi erosi – kecuraman lahan dan keberadaan tanaman keras.

Hasil observasi menunjukkan bahwa adopsi teknik konservasi petani Subik dipengaruhi oleh umur kepala keluarga, pendapatan di luar usahatani serta penanaman tanaman keras (pepohonan) di lahan usahatani. Petani setengah baya Subik cenderung menjadi penerap teknik konservasi, yang ditunjukkan oleh tanda koefisien yang negatif. Pendapatan di luar usahatani dan penanaman tanaman keras berpengaruh positif terhadap adopsi teknologi konservasi. Adopsi teknik konservasi di Pekurun dipengaruhi tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, pendapatan di luar usahatani dan keberadaan tanaman keras (pepohonan) di lahan usahatani, yang ditunjukkan oleh tanda koefisien yang positif. Secara umum dapat dikatakan bahwa variabel yang relatif dominan mempengaruhi keputusan petani Abung Barat untuk melakukan adopsi konservasi adalah variabel faktor personal dan faktor ekonomi.

Variabel fisik seperti pembuatan teras bangku dan penanaman pepohonan cenderung menjadi faktor komplemen dalam adopsi konservasi secara umum. Studi ini menunjukkan ada hubungan yang positif antara adopsi teknik konservasi dengan produktivitas usaha. Manfaat bersih peningkatan produktivitas akibat mengadopsi teras bangku di Abung Barat ternyata lambat laun juga diikuti oleh petani yang bukan adopter, yang di Indonesia konsep ini dikenal istilah ‘petani dampak’ dalam proyek USPA tahun 1980an. Menurut Arifin, inilah esensi sebenarnya dari adopsi teknik konservasi yaitu diikuti oleh petani lainnya (non-adopter) yang bukan petani contoh (non-adopter).

(30)

Sanim dan Siregar (2002) menganalisis apa penyebab petani padi di kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Lore Lindu tidak mengkonservasi lahannya. Hasil analisis regresi dengan menggunakan model logit menunjukkan bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi konservasi tanahnya adalah tingkat produksi, kualitas tanah, jumlah anggota keluarga dewasa, dan umur kepala rumah tangga petani. Pada kasus petani Taman Nasional Lore Lindu, produksi mempunyai efek negatif pada pengambilan keputusan untuk konservasi tanah. Adopsi konservasi mempunyai efek negatif terhadap jumlah output produksi padi. Petani yang mengadopsi konservasi tanah teras menghasilkan produksi padi yang lebih rendah (<1 ton/ha) dibandingkan petani yang tidak menerapkan konservasi tanah teras (>1 ton/ha). Petani menganggap bahwa konservasi tanah akan mengurangi produksi karena penerapan teras mengurangi efektivitas permukaan luasan lahan Hal ini dapat dimengerti karena petani mempunyai perspektif jangka pendek. Penyebab petani mempunyai perspektif jangka pendek adalah karena terbatasnya akses terhadap kredit dan pasar output. Kualitas tanah memberikan efek positif terhadap keputusan adopsi konservasi tanah. Signifikansi dari estimasi menunjukkan jika petani merasa bahwa kualitas tanahnya rendah atau turun, petani cenderung akan melakukan intensifikasi pada lahannya untuk menaikkan produksi. Hal ini berimplikasi petani tidak perduli akan keberlanjutan lahannya dengan mengabaikan konservasi tanah. Jumlah orang dewasa dalam keluarga petani yang merefleksikan tenaga kerja keluarga -memberikan efek positif pada keputusan petani untuk mengadopsi konservasi tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peluang petani untuk mengadopsi konservasi tanahnya akan lebih tinggi jika ketersediaan tenaga kerja keluarga juga meningkat. 80% petani yang mengadopsi teknik konservasi tanah teras memiliki empat atau lebih tenaga kerja keluarga dewasa, sedangkan petani yang tidak mengkonservasi tanah tetapi jumlah tenaga kerja keluarga dewasa empat orang hanya sebesar 58%. Tersedianya tenaga kerja yang tinggi dalam keluarga memungkinkan petani menerapkan konservasi tanah di lahannya. Umur kepala rumah tangga memberikan hasil yang positif terhadap keputusan mengadosi konservasi tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa akumulasi pengalaman bertani penting dalam mengambil keputusan untuk menerapakan konservasi tanah. Disamping itu, frekuensi konsultasi pada ahli pertanian juga menunjukkan pengaruh

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan perkembangan dan stadium pembelahan embrio yang diproduksi secara in vitro tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

Dukungan sosial yang diberikan kepada guru sekolah dasar dapat bermanfaat dengan lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan problem focused coping

[r]

Hasil uji hayati dari nyamuk yang berasal dari kelurahan endemis di Kota Cimahi dengan menggunakan cypermethrin 0,2% dalam kurun waktu 15, 30, 45 dan 60 menit menunjukan

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan (menghitung dan menetapkan) sendiri besarnya pajak yang terutang dan

Analisis terhadap kegiatan pembe- lajaran yang dilakukan guru berhasil diidentifikasi bahwa guru sains lemah dalam keterampilan dasar mengajar, baik dalam hal membuka

disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang

Dalam konteks demikian, manajemen produktivitas adalah bagai- mana cara mengelola suatu usaha supaya lebih efisien dalam penggunaan input untuk memak- simalkan