• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA RESOLUSI KONFLIK DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA EMERGING ADULT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA RESOLUSI KONFLIK DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA EMERGING ADULT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA RESOLUSI KONFLIK

DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA

EMERGING ADULT

Nyayanda Roselly, Lisa Ratriana

nyayandaroselly@gmail.com

ABSTRACT

This research is examined to understand the relationship between conflict resolution with marriage readiness in emerging adult. The participant of this research are 100 emerging adult that are in a relationship. This research used Epstein’s Love Competencies Inventory and Modification of Marriage Readiness Inventory. The method of this research is correlational. Based on this research the result came out with a significance value of 0,000 and correlational value of 0,361. Furthermore, this research found that there is a significant relationship between conflict resolution with marriage readiness in emerging adult. (NR) Keywords: Conflict Resolution, Marriage Readiness, Emerging Adult

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara resolusi konflik dengan kesiapan menikah pada emerging adult. Partisipan penelitian ini adalah 100 orang emerging adult yang sedang berada disuatu hubungan pacaran. Penelitian ini menggunakan Epstein’s Love Competencies Inventory dan Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasional. Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai signifikansi p = 0,000 dan korelasi sebesar r = 0,361. Sehingga hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara resolusi konflik dengan kesiapan menikah pada emerging adult. (NR)

Kata Kunci: Resolusi Konflik, Kesiapan Menikah, Emerging Adult

PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan keluarga. Setiap pasangan yang mengikrarkan diri dalam sebuah ikatan pernikahan tentu, memiliki harapan agar pernikahan yang dibangun dapat berhasil. Menurut Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana DKI Jakarta atau yang dikenal dengan BKKBN, menyatakan pada tahun 2010 Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.

Diperkirakan rata-rata usia seseorang menikah pada usia 25,7 tahun untuk pria, sedangkan pada wanita usia 22,3 tahun (Badan Pusat Statistik, 2010). Usia tersebut termasuk dalam tahapan emerging adult yang bukan dikategorikan remaja, juga tidak pula termasuk kedalam usia dewasa (Arnett, 2004). Lebih spesifik lagi, Arnett (2004) menyatakan bahwa

emerging adult adalah individu dengan umur 18 sampai dengan 25 tahun.

Emerging adult muncul pada negara-negara berkembang, dimana mereka memiliki

kecenderungan untuk mencoba hal-hal baru dan mendapatkan banyak pengalaman serta sensasional dalam kehidupan mereka yang sulit didapatkan ketika sudah menikah (Arnett, 2000). Arnett (2004) menjelaskan terdapat lima karakterisik yang menggambarkan emerging

adult, yang pertama adalah the age of identity explorations, kedua the age of instability, ketiga the self-focused age, keempat the age of feeling in-between, dan yang kelima adalah the age of

(2)

possibilities. Pada Emerging Adult, individu mulai memikirkan hubungan yang lebih intim dan

menuju pernikahan (Arnett, 2000).

Untuk mencapai suatu pernikahan, terdapat proses dimana seseorang bertemu dengan individu lain yang bertujuan untuk mengetahui kemungkinan sesuai atau tidaknya untuk dijadikan sebagai pasangan hidup yang disebut berpacaran (Benokraitis, 1996). Menurut DeGenova dan Rice (2005) pacaran adalah suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain.

Pacaran dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi hingga akhirnya menentukan tujuan hidup seperti melanjutkan ke jenjang pernikahan, tetapi menurut Burgess dan Cotrell (dalam Ardianita & Andayani, 2005) menyatakan bahwa masa berpacaran yang lebih dari 6 bulan akan memiliki tingkat kebahagiaan pernikahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masa berpacaran yang kurang dari 6 bulan. Oleh sebab itu dalam masa berpacaran tersebut seseorang akan lebih mengerti kebiasaan, perilaku, kepribadian pasangannya dan sudah memiliki tujuan hidup.

Setiap pasangan yang ingin menikah pasti memiliki tujuan hidup dan adanya kerjasama dalam mencapainya. Untuk mencapai tujuan hidup bersama pasti banyak tantangan yang harus dihadapi, salah satunya adalah konflik yang terjadi saat menjalani suatu hubungan pernikahan (Smith, 2009). Konflik yang terjadi dalam suatu pernikahan seringkali dapat menyebabkan perceraian atau kegagalan dalam pernikahan. Sehingga, dapat dikatakan untuk membangun pernikahan yang harmonis setiap pasangan harus memiliki tujuan dan adanya kerjasama untuk mencegah perceraian.

Menurut Badan Urusan Peradilan Agama (dalam Purwadi, 2012), tercatat adanya peningkatan angka perceraian dari tahun 2005 hingga 2010 sebesar 70 persen. Pada tahun 2010, terdapat 285.184 kasus perceraian di seluruh Indonesia (Purwadi, 2012). Sementara itu, pada tahun 2011 tercatat 272.794 kasus perceraian di Indonesia (Unjianto, 2013). Pada tahun berikutnya, yakni 2012 terdapat 343.446 kasus perceraian di seluruh Indonesia (Rivki, 2013).

Data terbaru yang didapat menurut Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, Dr. Soedibyo Alimoeso (dalam Nawawi, 2013) tingkat perceraian di Indonesia masuk peringkat tertinggi se-Asia Pasifik. Hal ini menunjukkan bahwa jika kesulitan dalam pernikahan tidak diatasi secara cepat maka akan membawa dampak yang buruk bagi kelangsungan pernikahan.

Salah satu faktor yang akan membawa dampak buruk bagi kelangsungan pernikahan ialah ketidakmampuan pasangan dalam mengatasi resolusi konflik dengan presantase sebanyak 43% (Eny, 2013). Menurut Olson dan DeFrain (2006) yang mengutip dari Olson dan Olson (2000), bahagia atau tidaknya suatu hubungan dapat dilihat dari bagaimana pasangan dapat melakukan resolusi konflik yang terjadi diantara mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberhasilan dalam pengelolaan resolusi konflik dapat memperkuat ikatan hubungan dan meningkatkan solidaritas antar pasangan.

Olson dan Defrain (2006) melakukan survei mengenai tingkat kebahagiaan pasangan yang menikah. Dalam surveinya ditemukan bahwa kekuatan utama menuju kehidupan pernikahan yang bahagia berkaitan dengan resolusi konflik. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pasangan yang bahagia yaitu, 87% dan 19% untuk pasangan yang tidak bahagia karena kurangnya sikap memahami antar pasangan ketika terjadi konflik di antara mereka.

Hasil survei juga menunjukkan bahwa 85% pasangan yang bahagia lebih banyak berbagi perasaan dan ide saat terjadi percekcokan dibandingkan dengan pasangan yang tidak bahagia, yaitu 22%. Kemudian, pasangan yang bahagia dengan persentase 71% lebih dapat

(3)

mengetahui bagaimana mengatasi resolusi konflik dibandingkan dengan pasangan tidak bahagia, yaitu 11%.

Salah satu tokoh yang membahas tentang pentingnya resolusi konflik ialah, Epstein (2005) menurutnya resolusi konflik ialah fokus pada topik, fokus pada apa yang terjadi saat ini dan siap untuk memaafkan atau meminta maaf. Resolusi konflik juga merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegosiasi kompromi serta mengembangkan rasa keadilan (Mindes, 2006). Resolusi konflik yang tidak efektif memberikan dampak yang negatif, antara lain meningkatnya interpersonal

distress, menurunnya tingkat harga diri seseorang, menurunnya kualitas hubungan positif

dengan orang lain, menurunnya kualitas pernikahan dan dapat menyebabkan perceraian (Killis, 2006).

Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Epstein et.al (2005) mengenai tujuh kompetensi yaitu, komunikasi (communication), resolusi konflik (conflict resolution), pengetahuan tentang pasangan (knowledge of partner), seks atau percintaan (sex or romance), pengelolaan stress (stress management), keterampilan hidup (life skills), dan pengelolaan diri (self-management). Tujuh kompetensi itu disebut dengan relationship skill yang harus dimiliki seseorang untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan pasangannya.

Dalam membina hubungan yang harmonis dengan pasangan, kesuksesan dapat terwujud apabila adanya kesiapan yang matang sebelum menikah supaya terhindar dari dampak negatif seperti perceraian. Perceraian dapat dihindari apabila individu telah memiliki kesiapan menikah yang baik (Yufizal, 2012). Kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya yaitu sebagai suami atau istri dan digambarkan oleh adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, adanya sumber finansial dan studi yang telah selesai (Wiryasti, 2004).

Sebelumnya peneliti melakukan Forum Group Discussion (FGD) bersama tim pada tanggal 29 Maret 2014, yang terdiri dari 25 orang partisipan dengan rentang usia 18 sampai 25 tahun yang termasuk ke dalam tahap emerging adult. Berdasarkan hasil dari FGD tersebut para partisipan merasa telah memiliki keinginan untuk menuju ke jenjang pernikahan, namun mereka belum memiliki kesiapan menikah. Alasan para partisipan tersebut karena banyaknya faktor yang masih belum terpenuhi, seperti faktor finansial, kesiapan diri dan faktor lainnya.

Menurut Olson, Larson dan Olson, et all (2009) kesiapan menikah dapat ditingkatkan dengan cara lain seperti mengikuti program pendidikan pranikah yang dapat meningkatkan kualitas dari persiapan pasangan sebelum menikah. Peneliti melakukan survei dimana terdapat instansi-instansi agama yang memberikan persiapan pranikah seperti agama Kristen dan Katolik, namun belum semua instansi-instansi agama yang menyediakan persiapan pranikah. Oleh karena itu ada baiknya instansi-instansi agama menyediakan persiapan pranikah bagi pasangan yang ingin menikah.

Menurut Stanley, Amano, Johnson, & Markman (2006, dalam Olson, et al, 2009) menjelaskan dengan mengikuti program pendidikan pranikah, maka resiko perceraian dapat berkurang hingga 31% dan pasangan yang mengikuti program pranikah akan memiliki kepuasan pernikahan yang lebih tinggi, komitmen yang tinggi dalam pernikahan, dan mengalami konflik pernikahan yang lebih rendah. Sehingga, kesiapan menikah merupakan hal yang penting untuk dapat menyelesaikan tugas perkembangan yaitu, pernikahan dengan baik (Blood, 1978).

Berdasarkan pemaparan mengenai resolusi konflik dan kesiapan menikah tersebut, dapat dilihat bahwa resolusi konflik dan kesiapan menikah merupakan hal penting bagi

(4)

individu yang ingin menikah, karena Counts (2003) menyatakan bahwa salah satu persiapan yang harus dimiliki individu untuk menikah ialah resolusi konflik yang baik.

Dengan adanya permasalahan yang terjadi dan didorong dengan penelitian yang ada serta pengembangannya maka peneliti memutuskan untuk mengambil judul skripsi yaitu “ Hubungan antara Resolusi Konflik dengan Kesiapan Menikah pada Emerging Adult ”. Hal ini dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui apakah terdapat hubungan resolusi konflik dengan kesiapan menikah pada emerging adult.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian korelasional adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidak adanya hubungan antara dua variabel, sehingga dapat menetapkan arah, besaran dan bentuk-bentuk hubungan yang diamati antar variabel (Bordens & Abbot, 2008). Didalam penelitian ini terdapat dua alat ukur yang digunakan, yaitu Epstein Love Competencies Inventory (ELCI) dan Inventori Kesiapan Menikah.

Sesuai dengan penelitian yaitu mengenai hubungan antara resolusi konflik dan kesiapan menikah pada emerging adult, maka karakteristik subjek yang akan digunakan pada penelitian ini adalah pria dan wanita yang berusia 18-25 tahun, individu yang tengah menjalani suatu hubungan berpacaran, yang usia hubungannya telah lebih dari 6 bulan dan berdomisili di wilayah Jakarta. Penelitian ini dilakukan melalui tahapan-tahapan yang sudah diatur, yaitu tahap persiapan penelitian, pelaksaan penelitian, pengolahan data dan analisis.

Tahap persiapan penelitian yang dilakukan pertama kali setelah mendapatkan topik ialah mencari literatur yang terkait dengan topik. Setelah mendapatkan banyak literatur maka peneliti menentukan alat ukur dan melakukan adaptasi untuk alat ukur ELCI dan kesiapan menikah. Pertama peneliti melakukan pilot test dengan 50 respoden untuk dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas alat ukur. Didalam uji validitas dan reliabilitas ditemukan beberapa item yang tidak valid dan reliabel yaitu untuk alat ukur resolusi konflik 4 item dan kesiapan menikah 1 item, lalu peneliti memutuskan untuk merevisi item tersebut.

Setelah selesai merevisi item-item yang tidak valid dan reliabel, peniliti melakukan field

test dengan 100 responden dan didapatkan masih ada item yang tidak valid dan reliabel.

Sehingga peneliti memutuskan untuk menghapus item tersebut, untuk alat ukur resolusi konflik dihapus 1 item dari 10 item jadi jumlah item yang digunakan ialah 9 item dan alat ukur kesiapan menikah dihapus 4 item dari 36 item sehingga akhirnya jumlah item yang digunakan adalah 32 item. Tahap akhir yang dilakukan adalah pengolahan data dan analisis dengan melakukan uji korelasi antar variabel maka peneliti menggunakan rumus spearman rank correlation software

(5)

HASIL DAN BAHASAN

Pada dasarnya pengujian hipotesis adalah menguji taraf signifikansi, yaitu untuk mengetahui hipotesis diterima atau ditolak, dilihat dari nilai signifkannya. Secara umum penerimaan hipotesis nol (H0) adalah Jika nilai sig < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Sebaliknya jika nilai sig > 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel, berikut merupakan kriteria dari kekuatan tingkat korelasi menuru penulis memberikan kriteria sebagai berikut Sugiyono (2007) :

Table 1. Tingkat Korelasi

Koefisien Tingkat Korelasi

0 Tidak ada korelasi antar variabel

>0 – 0,25 Korelasi sangat lemah

>0,25 – 0,5 Korelasi cukup

>0,5 – 0,75 Korelasi kuat

>0,75 – 0,99 Korelasi sangat kuat

1 Korelasi sempurna

Berikut merupakan hasil dari uji korelasi dari data yang telah diolah menggunakan

SPSS Version 22:

Tabel 2. Uji Korelasi

Correlations Resolusi Konflik Kesiapan Menikah Spearman's rho

Resolusi Konflik Correlation

Coefficient 1.000 .361

**

Sig. (2-tailed) . .000

N 100 100

Kesiapan Menikah Correlation

Coefficient .361

**

1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 100 100

(6)

Sumber : Hasil olah SPSS

Berdasarkan data yang disajikan diatas, dapat dilihat bahwa hubungan antara kedua variabel yaitu variabel resolusi konflik dan kesiapan menikah memiliki nilai signifikan sebesar 0,000 dengan angka korelasi = 0,361. Oleh karena itu, dengan nilai signifikansi (p) = 0,000 maka H0 ditolak dan Ha diterima, sehingga hal ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara resolusi konflik dengan kesiapan menikah pada emerging adults. Angka korelasi sebesar 0,361 yang menunjukan bahwa tingkat korelasi cukup dan searah yang artinya apabila resolusi konflik tinggi maka kesiapan menikah juga tinggi.

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini secara keseluruhan sesuai dengan hipotesis penelitian mengenai hubungan resolusi konflik dengan kesiapan menikah pada emerging adult. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara resolusi konflik dengan kesiapan menikah pada emerging adult ( = 0.361, p < 0.05).

Hasil penelitian tersebut dapat dijelaskan melalui berbagai studi literatur. Pada saat berpacaran, pasangan mengembangkan berbagai pengetahuan, diantaranya adalah bagaimana menghadapi konflik yang terjadi antar pasangan. Olson dan Defrain (2006) melakukan survei mengenai pasangan menikah yang bahagia dan tidak bahagia, dalam surveinya ditemukan bahwa kekuatan utama menuju kehidupan pernikahan yang bahagia berkaitan dengan resolusi konflik.

Penelitian yang terkait dengan resolusi konflik adalah penelitian yang dilakukan oleh Epstein (2012) mengenai faktor keterampilan hubungan yang mempengaruhi kesuksesan suatu hubungan pacaran atau pernikahan pada individu. Dari penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa individu dengan resolusi konflik yang tinggi cenderung memiliki kesuksesan hubungan yang lebih tinggi.

Berdasarkan teori keterampilan hubungan yang dikembangkan oleh Dr. Robert Epstein (2005), kesuksesan suatu hubungan membutuhkan tujuh kompetensi, yaitu komunikasi (communication), resolusi konflik (conflict resolution), pengetahuan tentang pasangan (knowledge of partner), seks atau percintaan (sex or romance), pengelolaan stress (stress

management), keterampilan hidup (life skills), dan pengelolaan diri (self-management).

Resolusi konflik (conflict resolution) merupakan salah satu kompetensi yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan suatu hubungan percintaan (Epstein, 2012).

Resolusi konflik yang baik memiliki tiga kriteria seperti kemampuan untuk fokus pada topik, kemampuan untuk fokus pada apa yang terjadi dan kemampuan untuk siap memaafkan dan meminta maaf, yang dimana ketiga kemampuan tersebut membuat individu juga memiliki kemampuan komunikasi, perencanaan keuangan, perencanaan anak dan pengasuhan, pembagian peran suami istri, latar belakang, agama dan pemanfaatan waktu luang, yang dimana kemampuan tersebut merupakan kriteria dari kesiapan menikah. Sehingga dapat dilihat jika seseorang memiliki resolusi konflik yang baik maka akan memiliki kesiapan menikah yang baik juga.

Hal ini juga didukung oleh penelitian Bradbury (dalam Schneewind & Gerhard, 2002) yang mengatakan bahwa resolusi konflik menjadi prediktor yang paling relevan terhadap kesiapan menikah individu. Kemudian salah satu persiapan yang harus dimiliki individu untuk menikah adalah resolusi konflik yang baik (Counts, 2003).

Terdapat analisa tambahan yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan dari lama berpacaran para responden, yang dimana hasil dari analisa tersebut mengatakan bahwa terdapat 54 persen responden memiliki resolusi konflik rendah dengan lama berpacaran >1 tahun – 1,5 tahun dan 52 persen responden memiliki kesiapan menikah yang rendah dengan lama berpacaran >2- 2,5 tahun. Dari analisa tersebut dapat dikatakan bahwa lamanya individu

(7)

menjalankan hubungan berpacaran tidak membuat resolusi konflik dan kesiapan menikahnya lebih tinggi. Dari hasil ini dapat dijadikan refrensi untuk penelitian selanjutnya tentang hubungan antara resolusi konflik dengan kesiapan menikah.

Berkaitan dengan keterbatasan pada penelitian ini, yaitu jumlah sampel yang relatif sedikit jika dibandingkan dengan populasi emerging adult di Jakarta yang tidak peneliti ketahui secara pasti. Kemudian dalam hal pengambilan data yang melibatkan pasangan, peneliti kurang dapat memberikan kontrol kepada individu untuk tidak mengerjakan kuesioner dengan cara berdiskusi bersama pasangannya. Sehingga ada beberapa pasangan yang mengerjakan kuesioner bersama-sama dengan pasangan dan mendiskusikan jawaban apa yang sebaiknya mereka berikan pada kuesioner.

Kelebihan dari penelitian ini terletak pada metode pengambilan data yang mayoritas melalui kuisioner online. Alasan peneliti lebih memilih kuisioner online didasari oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa individu cenderung lebih jujur dalam merespon pertanyaan secara online dibandingan secara langsung atau face-to-face (Kaplan & Saccuzzo, 2009). Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan, terdapat beberapa saran yang dapat diberikan, yaitu bagi para pembaca yang sedang menjalani hubungan berpacaran apabila ingin melanjutkan hubungan berpacaran ke tahap pernikahan, ada baiknya untuk mengikuti bimbingan pranikah untuk mencapai pernikahan yang sukses dan bahagia, dan melihat pentingnya resolusi konflik dengan kesiapan menikah dan ditemukannya korelasi positif antara keduanya, maka dapat dijadikan landasan bagi pembuatan materi dan dasar pelatihan dalam program pranikah yang diadakan oleh Kantor Urusan Agama ataupun penyelenggara bimbingan pranikah lainnya.

REFERENSI

Ardhianita, I & Andayani, B. (2005). Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran. Jogjakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Arnett, J. J. (2000). Bridging Cultural and Developmental Approaches to Psychology. New York: Oxford University Press.

Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens through the twenties. American Psychologist.

Arnett, J. J. (2004). Emerging adulthood: The winding road from the last teens through twenties. New York: Oxford University

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional [BKKBN]. Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-Haka Reproduksi Remaja. 2010. Jakarta.

Badger, S. (2005). Ready or not? Perceptions of marriage readiness among emerging adults. Doctoral

Dissertation. Diakses pada 23 Maret 2014

http://proquest.umi.com/pqdlink?did=1031052631&Fmt=7&clientId=7935 6&RQT=309&VName=PQD

Benokraitis, Nijole V. (1996). Marriages and Families 2nd edition: Changes, Choices and Constraint. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Blood, Margaret & Bob. (1978). Marriage (3rd edition). New York: Free Press.

Bordens K.S., & Abbott, B.B. (2008). Research Design and Methods, 7th edition. New York: MC-Graw Hill.

Burgess, E. W.& Locke, H. J. (1960). The Family from Institution to Companionship. 2nd edition. NewYork: American Book Company.

Counts, J. A. (2003). Perceived Effectiveness of Conflict Management Strategies in Dating Relationships. Proquest Dissertations and Thesis.

DeGenova, M.K. (2008). Intimate, relationships, marriages & families (7th ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Doorn, M.V. (2008). Conflict Resolution in Adolescent Relationships. Institute for the Study of Education and Human Development.

(8)

Duvall, E. M: Miller., Brent, C. (1985). Marriage and Family Development. (6th ed). New York: Harper Collins Publishers.

Eny, K. (2013). Ini Penyebab Nomor 1 Pasangan Menikah Akhirnya Bercerai, Diakses pada 23 Maret 2014 dari

http://wolipop.detik.com/read/2013/11/24/121226/2421864/854/ini-penyebab-nomer-1-pasangan-menikah-akhirnya-cerai.

Epstein, R. Warfel, R & Johnson, J. (2005). The Power of Relationship Skills: Initial Validation of a Comprehensive New Test. Los Angeles: Presented at the annual meeting of the Association for Psychological Science.

Epstein, R., Warfel, R., Johnson, J., Smith, R., & McKinney, P. (2013). Which Relationship Skills Count Most?. California, USA: Journal of Couple & Relationship Therapy, 12:297–313.

Gravetter, F.J., & Wallnau, L.B. (2007). Statistic for Behavioral Sciences, 7th edition. Canada: Thomson Wadsworth.

Gravetter, F.J., & Wallnau, L.B. (2007). Statistic for Behavioral Sciences. Belmont: Cencage Learning. Gregory, R. J. (2007). Psychological Testing. USA: Pearson Education.

Jackson, J. B. (2009). Premarital Couple Predictors of Marital Relationship Quality and Stability: A Meta-Analytic Study. Proquest Disertations and Thesis.

Kenedi, G. (2005). Model Konseling Pranikah Berorientasi Pengembangan Konsep Diri [ringkasan disertasi]. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Killis, G. (2006). Dinamika Konflik Suami Istri pada Masa Awal Perkawinan. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Krisnatuti, D & Oktaviani, V. (2010). Persepsi dan Kesiapan Menikah pada Mahasiswa. Bogor: Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen.

Kumar, R. (2011). Research methodology: a step-by-step guide for beginners. London: Sage Publication Ltd.

Mahmudah, R. (2012). Hubungan antara intimacy dan kesiapan menikah pada dewasa muda. Skripsi S1: Universitas Indonesia.

Meyers, L.S., Gamst. G.C., & Guarino, A.J. (2013). Performing Data Analysisi Using IBM SPSS. New York: John Wiley & Sons.

Mindes, Gayle. (2006). Teaching Young Children Social Studies. United States of America: Praeger Publishers.

Nawawi, Q. (2013). Duh Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi di Asia Pasifik. Diakses pada 13 Maret 2014 dari

http://health.okezone.com/read/2013/12/23/482/916133/duh-angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-di-asia-pasifik.

Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nelson, J.L, Barry, C.M (2005). Distinguishing Features of Emerging Adulthood : The Role of Self-Classification as an Adult. Journal of Adolescent Research 2005; 20; 42.

Diakses pada 2 Maret 2014 dari

http://jar.sagepub.com/cgi/content/abstract/20/2/242

Nelson, H.A. (2008). A Grounded Theory Model of How Couples Prepare for Marriage. Doctoral Dissertation. Urbana: University of Illinois.

Olson, D. H., & DeFrain, J. (2006). Marriages and Families: Intimacy, diversity, and strengths (5th ed.). New York: McGraw-Hill.

Olson, D.H., Larson, P.J., & Olson, A.K. (2009). PREPARE/ENRICH Program: Customized Version. Minneapolis, Minnesota: Life Innovation, Inc.

Priyatno, D. (2013). Mandiri Belajar Analisis Data dengan SPSS. Jakarta: Mediakom

Purwadi, D. (2012). Angka Perceraian Pasangan Indonesia Naik Drastis 70 Persen. Diakses pada 08 Maret 2014 dari

(9)

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/lya2yg-angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen.

Rice, P. S. & De Genova, M. K. (2005). Intimate Relationships, Marriage, and Families (6th ed.). New York: McGraw-Hill.

Risnawaty, Widya. (2003). Penyusunan Inventori Kesiapan Menikah. Depok: Universitas Indonesia, Fakultas Psikologi.

Rivki. (2013). 340 Ribuan Pasangan Cerai di 2012, Istri Lebih Banyak Menggugat. Diakses pada 8 Maret 2014 dari

http://news.detik.com/read/2013/03/14/140736/2193903/10/340-ribuan-pasangan-cerai-di-2012-istri-lebih-banyak-menggugat.

Sarwono, S.W. (2005). Families in Global Perspective: Families in Indonesia. In laipaul L. Roopnarine & Uwe P. Gielen (Ed). USA: Pearson Education, Inc.

Seccombe, K., Warner, R.L. (2004). Marriage and Families: Relationship in Social Context. Canada: Thomson Learning, Inc.

Schneewind, K , & Anna-Katharina G. (2002). Relationship Personality, Conflict Resolution, and Marital Satisfaction in the First 5 Years of Marriage. Journal of Family Relations, 51, 63.

Smith, Marie Claire.(2009). 4 Marital Conflict Resolution Suggestions. Diakses pada 26 Desember 2013 dari

http//:www.articlebase.com.

Stanley, S. M., Amato, P. R., Johnson, C. A., & Markman, H. J. (2006). Premarital education, marital quality, and marital stability: Findings from a large, random, household survey. Journal of Family Psychology, 20, 117-126.

Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. Unjianto, B. (2013). Indonesia Miliki Tingkat Perceraian Tertinggi di Asia.

Diakses pada 8 Maret 2014 dari

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/2013/12/15/183390.

Yufrizal, F. (2012). Hubungan Antara Gairah Sebagai Komponen Cinta dengan Kesiapan Menikah Pada Dewasa Muda. Program Sarjana. Universitas Indonesia. Jakarta.

Wiryasti, C.H. (2004). Modifikasi dan uji validitas dan reliabilitas inventori kesiapan menikah. Tesis. Universitas Indonesia.

RIWAYAT HIDUP

Nyayanda Roselly, lahir di DKI Jakarta pada 08 Oktober 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang ilmu psikologi pada 2014.

Gambar

Tabel 2. Uji Korelasi

Referensi

Dokumen terkait

The regression model indicated that among deceased people living with HIV, female, unmarried status and severe anemia were associated with additional 5.6 (p=0.002), 17 (p=0.000) and

Berdasarkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang sudah dilaksanakan, maka dapat diambil simpulan bahwa guru-guru SMK Negeri Kabupaten Sarolangun sebagai peserta

adalah obat yang digunakan sebagai penenang untuk mengatasi kecemasan dan panik, Alprazolam termasuk obat dalam kelompok. INDIKASI

Konsep desain taman rumah tinggal tradisional Madura adalah adanya ruang publik ( taneyan ) berbentuk axis yang menghubungkan pintu masuk dengan ruang semi publik ( langghar )

Perhitungan dilakukan sebanyak 9 kali untuk setiap variasi yang terjadi pada setiap sambungan pipa, sehingga akhirnya didapatkan nilai head losses total pada instalasi sistem

Sertifikasi pelatihan staf tentang komunikasi pemberian informasi dan edukasi yang efektif untuk mendorong keterlibatan pasien dan keluarganya dalam proses

1) Membagi siswa dalam 2 kelompok setiap kelompok beranggotakan 12 peserta didik. Pembagian kelompok ditentukan dari hasil lari kemampuan siklus I dengan menggunakan

Dalam penelitian ini penulis memilih objek yang digunakan dalam penelitian adalah perusahaan manufaktur sektor industri barang konsumsi yang terdaftar pada Bursa