BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN A. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas .(Mansjoer Arif ,dkk ,2000).
Trauma / cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
B. ETIOLOGI
1. Kecelakaan lalu lintas (kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.)
2 Kecelakaan kerja 3. Trauma pada olah raga 4. Kejatuhan benda 5. Luka tembak
6. Cedera akibat kekerasan. C. KLASIFIKASI
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS): Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.
3. Klasifikasi Cedera kepala menurut patofisiologinya dibagi menjadi dua :
a. Cedera Kepala Primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi – decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi : a. Gegar kepala ringan
b. Memar otak c. Laserasi
b. Cedera Kepala Sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma. Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
a. Hipotensi sistemik b. Hipoksia
c. Hiperkapnea d. Udema otak
e. Komplikasi pernapasan
f. infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain Skala Koma Glasgow
No RESPON NILAI
1 Membuka Mata :
-Spontan
-Terhadap rangsangan suara -Terhadap nyeri -Tidak ada 4 3 2 1 2 Verbal : -Orientasi baik -Orientasi terganggu -Kata-kata tidak jelas -Suara tidak jelas -Tidak ada respon
5 4 3 2 1 3 Motorik : - Mampu bergerak -Melokalisasi nyeri -Fleksi menarik 6 5 4
-Fleksi abnormal -Ekstensi
-Tidak ada respon
3 2 1
Total 3-15
D. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Cedera kepala dibedakan menjadi dua hal, yaitu cedera otak primer(langsung) dan cedera otak sekunder (tidak langsung).cedera otak primer bisa terjadi karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, trauma pada olah raga, kejatuhan benda dan luka tembak. Cedera otak primer bisa terjadi karena cedera primer yang tidak di tangani dengan baik atau bisa terjadi karena respon
biologis. Respon biologis bisa terjadi akibat peningkatan TIK, hipotermia, kelainan metabolisme. Apabila cedera otak sekunder terjadi, maka akan terjadi peningkatan kerusakan sel otak. Kerusakan sel otak terjadi juga di akibatkan oleh kontusio dan juga proses laserasi. Apabila kerusakan sel otak meningkat maka akan terjadi gangguan autoregulasi, peningkatan gangguan simpatis dan stress. Apabila terjadi gangguan autoregulasi maka, terjadi penurunan aliran darah ke otak sehingga perfusi oksigen ke otak menurun. Apabila perfusi oksigen ke otak menurun, maka akan terjadi gangguan proses metabolisme, sehingga mengakibatkan peningkatan asam laktat. Apabila terjadi peningkatan asam laktat akan mengakibatkan akumulasi co2 yang di tandai dengan oedem otak. Selain itu, akibat terjadinya kerusakan sel otak maka akan terjadi peningkatan rangsangan simpatis yang mengakibatkan peningkatan tahanan vaskuler, sistemik dan peningkatan tekanan darah. Akibat proses tersebut maka akan terjadi penurunan tekanan pembuluh darah pulmonal yang akan mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik sehingga terjadinya kebocoran cairan kapiler. Apabila hal tersebut tidak segera ditangani maka akan terjadi oedem paru yang pada akhirnya akan menyebabkan difusi o2 terhambat dan penurunan cardiac output. Selain gangguan autoregulasi dan peningkatan rangsangan simpatis, cedera otak sekunder juga akan mengakibatkan stress. Stress mengakibatkan peningkatan katekolamin dan peningkatan asam lambung yang pada akhirnya akan menyebabkan kondisi patofisiologis yaitu mual muntah. Apabila kondisi ini tidak segera ditangani maka akan mengakibatkan kurangnya asupan nutrisi.
E.PROSES FISIOLOGIS ABNORMAL - Kejang-kejang
- Gangguan saluran nafas
- Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena: • edema fokal atau difusi
• hematoma epidural • hematoma subdural • hematoma intraserebral • over hidrasi - Sepsis/septik syok - Anemia
- Syok
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cedera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Perdarahan yang sering ditemukan:
• Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala:
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
• Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
• Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
• Perdarahan subarachnoid:
permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
Penatalaksanaan Cedera Kepala Konservatif
• Bedrest total
• Pemberian obat-obatan
• Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran. F. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera kepala.
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma Scale)
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1.Pemeriksaan laboratorium
2.X-Ray, foto tengkorak 3 posisi 3.CT scan
4.Foto cervical bila ada tanda-tanda fraktur cervica H. KOMPLIKASI
a.Perdarahan intra cranial -Epidural
-Subdural -Sub arachnoid
-Intraventrikuler Malformasi faskuler
-Fstula karotiko-kavernosa -Fistula cairan cerebrospinal -Epilepsi
-Parese saraf cranial
-Meningitis atau abses otak -Sinrom pasca trauma b.Tindakan : -infeksi -Perdarahan ulang -Edema cerebri -Pembengkakan otak I. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan terhadap peningkatan TIK a.Pemantauan TIK dengan ketat.
b.Oksigenasi adekuat c.Pemberian manitol d.Penggunaan steroid
e.Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala f.Bedah neuro
2. Tindakan pendukung lain a.Dukung ventilasi
b.Pencegahan kejang
c.Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi. d.Terapi antikonvulsan
e.CPZ untuk menenangkan pasien
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS CIDERA KEPALA
A. PENGKAJIAN Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
Blood:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
• Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
• Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
• Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
• Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
• Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung).
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung). Tujuan:
• Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
• Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK Intervensi :
1. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Rasional : Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.
2. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
Rasional : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
3. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
4. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
5. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.
6. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
7. Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
8. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
9. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
10. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
11. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.
Rasional : Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial. Tujuan:
• mempertahankan pola pernapasan efektif. Kriteria evaluasi:
• bebas sianosis, GDA dalam batas normal Intervensi:
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
3. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
4. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar. Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.
5. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.
tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
7. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
8. Lakukan ronsen thoraks ulang.
Rasional : Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
9. Berikan oksigen.
Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
10. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS) Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi. Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu. Intervensi :
1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
4. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
ASUHAN KEPERAWATAN NY. P DENGAN CEDERA OTAK SEDANG DI RUANG UGD RSUD SIDOARJO
1. PENGKAJIAN: 1.1 Identitas Nama : Ny. P Umur : 30 tahun. Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia. Agama : Islam Alamat : Sidokare-Sidoarjo No. Register : 6111003
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SMA
Tgl.MRS : 19 Oktober 2011 jam: 10.10 Tgl. Pengkajian : 19 Oktober 2011 jam: 10.20 Diagnosa Medik : Cedera Otak Sedang.
1.2 Alasan dirawat : Tidak sadar setelah jatuh dari tangga.
1.3 Keluhan Utama : Tidak bisa dikaji karena klien masih belum sadar, belum ada kontak maupun respon
1.4 Riwayat keperawatan
a. Riwayat penyakit dahulu
Menurut anaknya, pasien belum pernah sakit dan belum pernah MRS sebelumnya
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pukul 08.00 wib pasien menjemur baju dilantai 2 rumahnya. Kemudian anak pasien menemukan pasien dalam keadaan tidak sadar dibawah tangga dalam kondisi kepala penuh darah. Setelah itu anak pasien langsung membawa pasien di RSUD Sidoarjo pada pukul 10.10 wib pasien tiba di UGD.
1.5 Observasi dan pemeriksaan fisik: a. Keadaan Umum
Keadaan Umum jelek, Kesadaran Coma, GCS 2–3–4 . b. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah = 160/70 mmHg Nadi = 122 x/menit Suhu = 37,7 0C
c. Body System
B1 (Breathing/Pernapasan)
tidak ada jejas pada daerah dada, wheezing (-), Ronchi (+),snoring (+), produksi sputum banyak (4-5 menit sekali keluar sputum), RR 20 x/menit. B2 (Bleeding/Kardiovaskuler/sirkulasi)
S1, S2 tunggal, tidak ada suara tambahan, hasil monitor EKG: irama sinus 122 x/menit, tekanan darah: 160/70, suhu: 37,7 0C.
B3. (Brain/Persarafan/neurosensori)
Kesadaran coma, GCS: 1– 1 – 1, sklera mata putih, conjunctiva merah muda, pupil isokor, reaksi cahaya ⊕,Lidah jatuh disalah satu sisi. Defisit persepsi sensori, klien tampak gelisah, disorientasi lingkungan.
B4. (Bladder/Perkemihan – Eliminasi uri)
Belum terpasang dower kateter.Akan dipasang dower kateter setelah pengkajian. Terjadi inkontinensia urine ±500 cc/jam.
B5. (Bowel/Pencernaan – Eliminasi alvi
Tidak ada jejas pada daerah abdomen, bising usus (3kali/menit). B6. (Bone)
Pada kepala ada luka, dalam keadaan belum dibersihkan, tampak adanya perdarahan, Kulit wajah tampak lecet-lecet, kelopak mata odem dan hematoma, Pada kulit daerah punggung lecet, kemerahan.
1.6 Pemeriksaan Penunjang: Belum dilaksanakan CT Scan 1.7 Terapi: Belum diberikan teraphy .
2.ANALISA DATA
DATA PENUNJANG ETIOLOGI MASALAH
DS:. anak pasien menemukan pasien dalam keadaan tidak sadar
DO:
Klien tampak gelisah, Kesadaran me ↓, GCS: 2,3,4 TD =160/70 mmHg Nadi = 122 x/menit Suhu = 37,7 0C RR = 20 x/menit. Trauma kepala ↓
fractur temporal kiri
↓ Odema otak ↓ ↑ TIK ↓ ADO ↓ ↓ O2 ↓
Gangguan perfusi jaringan cerebral
DS: -DO:
Wheezing (-), Ronchi (+), RR 20 x/menit , snoring , lidah jatuh ke belakang.
TIK ↑ ↓ ↑ rangsangan simpatis ↓ ↑ tahanan vaskuler sistemik ↓
terjadi pe ↓ tek. pada sist. pemb. darah
pulmonal. ↓ Pe ↑ tek.hidrostatik kebocoran cairan kapiler ↓ Pe ↑ hambatan difusi O2 - CO2 ↓ Hipoksemia
Gangguan pola napas
DS:
-DO: Pada kepala ada luka, dalam keadaan belum dibersihkan, tampak adanya perdarahan, Kulit wajah tampak lecet-lecet,
Trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
Resiko tinggi terhadap infeksi
3.DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi/ hematoma; edema cerebral
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
4.RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
DP 1: Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi/ hematoma; edema cerebral.
Tujuan:
• Mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik. Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
• Tingkat kesadaran membaik
INTERVENSI RASIONAL
1.Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
2.Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
3.Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
1.Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
2.Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
3.Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang
4.Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
5.Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
6.Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
7.Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad.
8.Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
9.Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. 10.Berikan obat: Infus RD 5% 1500 cc/24 jam Antrain 3 X 1 Amp Manitol 4 X 100 cc/24 jam Voltarin 2 X 1 mg Dilantin 2 X 1 Amp Phenitoin 3 X 1 amp IV Rantin 2 X 1 Amp
selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK. 4.Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.
5.Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
6.Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
7.Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
8.Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
9.Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
10.Manitol digunakan untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi.
DP 2: Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).
Tujuan:
• Mempertahankan pola pernapasan efektif Kriteria evaluasi:
• Tidak ada sianosis, Blood Gas dalam batas normal
INTERVENSI RASIONAL
1.Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan setiap 1 jam. Catat ketidakteraturan pernapasan.
2.Siapkan ambu bag tetap berada didekat pasien
3.Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Lakukan fisioterapi dada . 4.Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
5.Lakukan ronsen thoraks ulang.
1.Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak.
2.Adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
3.Membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
4.Penghisapan pada trakhea dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.
5.Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
DP 3:
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
Tujuan : tidak terjadi infeksi Kriteria evaluasi:
Tidak ada tanda-tanda infeksi.
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
INTERVENSI RASIONAL
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis. Berikan antibiotik sesuai program dokter.
Cefthriaxon 1 X 2 gr IV
Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera. Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi.
TINDAKAN KEPERAWATAN TANG GAL DIAGN OSA TINDAKAN KEPERAWATAN 19-10-11 1 2 3
- Mengobservasi dan mencatat status neurologis dan tanda-tanda vital setiap 1 jam, GCS: 234 pupil: isokor reaksi cahaya +/+, TD 160/870, nadi 122 x/menit, RR: 20x/menit, suhu 37,7 0C.
- Memberi posisi dengan meninggikan kepala pasien 30 derajad.
- Memberian cairan infus RD5% 20 tetes/menit. - Memberikan obat: • Manitol 4 x 100 cc/drip • Ceftriaxon 1 x 2 gr iv • Dilantin 2 X 1 Amp • Rantin 2 X 1 Amp • Voltarin 2 X 1 mg • Antrain3 X 1 Amp iv • Phenitoin 3 x 1 amp iv
- Melakukan fisioterapi napas dan melakukan penghisapan sekret setiap 1 jam (jam 10.00 – 11.00), mencatat karakter warna lendir putih kental.
- .Mendengarkan suara napas: ronkhi +/+, wheezing -/-. - Mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan,
EVALUASI TGL DIAGNOSA EVALUASI 19-10-11 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi/ hematoma; edema cerebral. S: -O:
• Klien masih tampak gelisah, GCS: 2 x 4 pupil isokor reaksi cahaya +/+
• TTV stabil TD berkisar antara 120/80 - 160/70, nadi:122x/menit, RR: 22 x/menit, suhu : 37,7 C.
A: masalah belum teratasi P: rencana tindakan dilanjutkan 19-10-11 2. Pola napas tidak
efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).
S: -O:
• TTV stabil TD berkisar 160/70, nadi: 100 - 120 x/menit, RR: 22 x/menit. klien napas spontan, tidak tampak sianosis.
A: Masalah belum teratasi
P: Rencana keperawatan dilanjutkan. 19-10-11 3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif. S: O:
• TTV stabil TD berkisar antara 160/70, nadi: 72 - 80 x/menit, RR: 22 x/menit. suhu :37,7 C.
• Luka kepala sudah dibersihkan. A: masalah teratasi sebagian.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed.2. Jakarta : EGC. Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. (1999). Penatalaksanaan Pada
Kasus Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang bedah. Tidak dipublikasikan.
Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Kperawatan). Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Bandung.
Makalah Kuliah Medikal bedah PSIK FK Unair Surabaya. Tidak Dipublikasikan Reksoprodjo, S. dkk. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina rupa
Aksara.
Rothrock, J.C. (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta : EGC.
Tucker, S.M. (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi. Ed. 1 . Jakarta : ECG.