PENERAPAN KERJASAMA
PENERAPAN KERJASAMA PEMERINTAH-SWASPEMERINTAH-SWASTATA DENGAN SKEMA BOT
DENGAN SKEMA BOT
(
( BUI
BUI LT
LT OP
OPERATE T
ERATE TRANS
RANSF
F ER
ER )
)
PADA PROYEK PENYEDIAAN AIRPADA PROYEK PENYEDIAAN AIR BERSIHBERSIH
Disusun Oleh : Disusun Oleh :
Bunga
Bunga Triana
Triana
(16309816)
(16309816)
I
I kadek
kadek Bagus
Bagus Widana
Widana .P
.P
(16309835)
(16309835)
Neneng Winarsih
Neneng Winarsih
(16309850)
(16309850)
Ratih
Ratih Dwi
Dwi Prasetiyaningsih
Prasetiyaningsih
(16309860)
(16309860)
Yogi
Yogi Oktopianto
Oktopianto
(16309875)
(16309875)
Yurista
Yurista Vipriyanti
Vipriyanti
(16309876)
(16309876)
JURUSAN TEKNIK SIPIL JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAANDAN PERENCANAAN UNIVERSITAS GUNADARMA
UNIVERSITAS GUNADARMA 2013
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
Halaman Halaman
HALA
HALAMAN MAN JUDUJUDUL L ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ii
DAFT
DAFTAR AR ISI ISI ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... iiii
BAB
BAB 1 1 PENDAHULUANPENDAHULUAN
1.1
1.1 LATAR LATAR BELAKANG BELAKANG ... ... 11 1.2
1.2 RUMUSAN RUMUSAN MASALAH MASALAH ... .... 22 1.3
1.3 TUJUAN TUJUAN PENULISAN PENULISAN ... ... 22
BAB
BAB 2 2 TINJAUAN TINJAUAN PUSTAKAPUSTAKA
2.1
2.1 KERJASAMA KERJASAMA PEMERINTAH PEMERINTAH SWASTA SWASTA (KPS) ...(KPS) ... ... 33 2.2
2.2 BUILT BUILT OPERATE OPERATE TRANSFTRANSFER ER (BOT) (BOT) ... .. 99 2.3
2.3 MEKANISME MEKANISME KERJASAMA KERJASAMA BOT BOT ... ... 1313 2.4
2.4 HAK HAK DAN DAN KEWAJIBAKEWAJIBAN N KERJASAMA KERJASAMA BOT BOT ... ... 1919 2.5
2.5 KONSESI KONSESI KERJAKERJASAMA SAMA BOT BOT ... ... 2020 2.6
2.6 KELEBIHAN DAN KEKURANGANKELEBIHAN DAN KEKURANGAN KERJASAMA
KERJASAMA BOT BOT ... .... 2323 2.7
2.7 RESIKO RESIKO KERJASAMA KERJASAMA BOT BOT ... ... 2525 2.8
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
Halaman Halaman
HALA
HALAMAN MAN JUDUJUDUL L ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ii
DAFT
DAFTAR AR ISI ISI ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... iiii
BAB
BAB 1 1 PENDAHULUANPENDAHULUAN
1.1
1.1 LATAR LATAR BELAKANG BELAKANG ... ... 11 1.2
1.2 RUMUSAN RUMUSAN MASALAH MASALAH ... .... 22 1.3
1.3 TUJUAN TUJUAN PENULISAN PENULISAN ... ... 22
BAB
BAB 2 2 TINJAUAN TINJAUAN PUSTAKAPUSTAKA
2.1
2.1 KERJASAMA KERJASAMA PEMERINTAH PEMERINTAH SWASTA SWASTA (KPS) ...(KPS) ... ... 33 2.2
2.2 BUILT BUILT OPERATE OPERATE TRANSFTRANSFER ER (BOT) (BOT) ... .. 99 2.3
2.3 MEKANISME MEKANISME KERJASAMA KERJASAMA BOT BOT ... ... 1313 2.4
2.4 HAK HAK DAN DAN KEWAJIBAKEWAJIBAN N KERJASAMA KERJASAMA BOT BOT ... ... 1919 2.5
2.5 KONSESI KONSESI KERJAKERJASAMA SAMA BOT BOT ... ... 2020 2.6
2.6 KELEBIHAN DAN KEKURANGANKELEBIHAN DAN KEKURANGAN KERJASAMA
KERJASAMA BOT BOT ... .... 2323 2.7
2.7 RESIKO RESIKO KERJASAMA KERJASAMA BOT BOT ... ... 2525 2.8
BAB
BAB 3 3 PEMBAHASANPEMBAHASAN
3.1
3.1 CONTOH PENERAPAN KERJASAMA PEMERINTAHCONTOH PENERAPAN KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PENYEDIAAN AIR BERSIH DAN SWASTA DALAM PENYEDIAAN AIR BERSIH DI KABUPATEN SEMARANG
DI KABUPATEN SEMARANG (TELAH
(TELAH DILAKSANAKANDILAKSANAKAN) ) ... ... 3030 3.2
3.2 ANALISIS RISIKO KERJASAMA PEMERINTAH DANANALISIS RISIKO KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PENYEDIAAN AIR BERSIH
SWASTA DALAM PENYEDIAAN AIR BERSIH DI KABUPATEN MAROS DALAM MASA
DI KABUPATEN MAROS DALAM MASA PRE-STUDI
PRE-STUDI KELAKELAYAKAN...YAKAN... .. 4343
BAB
BAB 4 4 PENUTUPPENUTUP
4.1
4.1 KESIMPULAN KESIMPULAN ... . 6363 4.2
4.2 SARASARAN N ... ... 6464
DAFT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Infrastruktur merupakan prasarana publik paling primer dalam mendukung kegiatan ekonomi suatu negara, dan ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Infrastruktur memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Infrastruktur yang memadai dan berkualitas akan meningkatkan produktivitas, memperkuat ketahanan ekonomi dan dalam prosesnya membangun kualitas hidup yang lebih baik ( Soedjito, 2005).
Secara ideal, seluruh infrastruktur ekonomi seharusnya dibangun oleh negara, rakyat tidak dibebankan biaya pemakaian. Tetapi hal ini menjadi dilematis ketika kebutuhan pembangunan infrastruktur untuk percepatan pembangunan ekonomi dihadapkan pada keterbatasan dana yang dimiliki oleh Pemerintah. Walaupun pemerintah telah berupaya dalam mencari solusi seperti memberlakukan subsidi dari pengguna yang mampu, namun hal ini tetap saja pelayanan yang ada masih minim dan banyak bagian masyarakat yang tidak terlayani.
Kemitraan Pemerintah-Swasta (Public-Private Partnership) merupakan salah satu cara untuk mengkolaborasikan peran-peran tersebut. Kemitraan Pemerintah Swasta merupakan kerjasama pemerintah dan swasta, dimana sector swasta menyediakan modal investasi penting dalam penanganan penyediaan prasarana skala besar (Soesilo, 2000).
Sektor swasta telah terbukti banyak membantu pemerintah terutama dalam penyediaan infrastruktur di negara-negara yang sedang berkembang. Sisi lain dari aspek peran serta sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur adalah prinsip kepentingan swasta
dalam menjalankan usaha, dimana modal besar yang diinvestasikan tentu harus ada jaminan kepastian pengembalian dengan keuntungan yang memadai (Hindersah, 2003:12). Prinsip profit oriented ini seringkali berbenturan dengan kepentingan pemerintah yang lebih bersifat social kemasyarakatan. Kemitraan pemerintah-swasta dalam penyediaan infrastruktur diharapkan dapat terciptanya tingkat kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Salah satu permasalahan infrastruktur yang sangat penting saat ini adalah penyediaan sarana dan prasarana air bersih untuk air minum yang merupakan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup manusia. PDAM sebagai satu-satunya badan usaha milik Pemerintah
dalam menyediakan kebutuhan air bersih bagi masyarakat, masih dalam kondisi memprihatinkan akibat pengeluaran biaya operasi yang tinggi, beban pinjaman hutang, inefisiensi manajemen dan beban-beban keuangan lain. Dalam penulisan ini akan dibahas mngenai kemitraan Pemerintah-Swasta (Public-Private Partnership) dalam penyediaan pelayanan air bersih antara PDAM Kabupaten Semarang dan PT. Sarana Tirta Ungaran serta kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk penyedian air bersih di Kabupaten Maros dengan model kemitraan menganut skema BOT (Built, Operate, Transfer).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :
1. Bagaimana penerapan kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih di kabupaten semarang.
2. Bagaimana penerapan kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih di kabupaten maros.
1.3 TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah:
1. Menganalisis penerapan kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih di kabupaten semarang.
2. Menganalisis penerapan kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih di kabupaten maros.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KERJASAMA PEMERINTAH SWASTA (KPS)
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Sebagai negara berkembang, kepadatan penduduk terus bertambah dan menuntut penambahan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum (infrastruktur). Untuk melakukan pengadaan infrastruktur itu dibutuhkan dana yang sangat besar, yang akan terasa berat apabila hanya dibebankan pada APBN. Melihat keterbatasan pemerintah melalui APBN maupun APBD dalam penyediaan dana untuk pembangunan infrastruktur ini, maka dituntut adanya model-model baru pembiayaan proyek pembangunan.
Dalam pengadaan infrastruktur di daerah, tak jarang sebagai alternatif pendanaan, pemerintah melibatkan pihak swasta (nasional-asing) dalam proyek- proyeknya. Pastisipasi swasta ini dapat diarahkan pada proyek yang membutuhkan dana besar, seperti pembangunan jalan tol, migas, bendungan, pembangunan mall, perluasan bandara, maupun pembangkit listrik. Namun, dapat juga diarahkan pada proyek infrastruktur yang tidak membutuhkan dana yang terlalu besar, seperti renovasi pasar, terminal, pangkalan truk, rest area, resort, dll. Yang terpenting proyek tersebut dapat memberikan income atau pendapatan ekonomi bagi kontraktor (revenue yang cepat).
Kerjasama Pemerintah Swasta merupakan Penyediaan Infrastruktur yang dilakukan melalui Perjanjian Kerjasama atau pemberian Izin Pengusahaan antara Menteri/Kepala Lembaga/ Kepala Daerah dengan Badan Usaha, yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan infrastruktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. KPS juga dikenal sebagai Public-Private Partnership (PPP).
Sedangkan menurut E.R. Yescombe mendefinisikan Public-Private Partnership adalah bentuk kerjasama antara pemerintah sebagai pihak publik dan
swasta sebagai pihak private dengan elemen kunci sebagai berikut :
1. Kontrak jangka panjang yang terjadi antara pemerintah dan swasta.
2. Untuk desain, konstruksi, pembiayaan, dan operasional dilaksanakan oleh pihak swasta.
3. Pembayaran selama jangka waktu kontrak KPS kepada pihak swasta dilaksanakan oleh pemerintah maupun pengguna secara langsung sebagai kompensasi terhadap penggunaan fasilitas infrastruktur.
4. Adanya alih kepemilikan dari pihak swasta kepada pemerintah di akhir kontrak KPS.
Program Kerjasama Pemerintah Swasta ini mencakup rentang infrastruktur yang luas, diantaranya:
1. Bandar udara
2. Pelabuhan laut dan sungai 3. Jalan dan Jembatan
4. Jalan dan Kereta Api
5. Penyediaan air bersih dan sistem Irigasi 6. Penyediaan Air Minum
7. Penampungan Air Limbah 8. Pembuangan Sampah
9. Teknologi Informasi dan Komunikasi 10. Ketenagalistrikan
2.1.1 Bentuk-Bentuk kerjasama Pemerintah dengan swasta
Bentuk-Bentuk kerjasama Pemerintah dengan swasta diantaranya :
1. Kontrak Pelayanan, Operasi dan Perawatan (Operation, Maintenance and Service Contract).
Pemerintah memberikan wewenang kepada swasta dalam kegiatan operasional, perawatan dan kontrak pelayanan pada infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah. Pihak swasta harus membuat suatu pelayanan dengan harga yang telah disetujui dan harus sesuai dengan standar performance yang telah ditentukan oleh pemerintah. Contoh dari kontrak pelayanan ini dalam sektor air bersih dimana dari mengoperasikan WTP
(water treatment plant), pendistribusian air, pembacaan meteran air, penarikan dan pengumpulan tagihan, serta operasional dan perawatan pipa. Sedangkan contoh dalam sampah adalah pengumpulan sampah, produksi dan distribusi kontainer sampah, pelayanan pembersihan di jalan, perawatan kendaraan (truk-truk), dan pelaksanaan landfill atau pelaksanaan transfer antar pos-pos pengumpul sampah.
2. Kerjasama BOT
Kontrak Bangun, Operasikan dan Transfer (Build, Operate and Transfer) digunakan untuk melibatkan investasi swasta pada pembangunan konstruksi infrastruktur baru. Di bawah prinsip BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan standar-standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa periode yang diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk perusahaan swasta untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan guna membangun konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu sekitar 10 sampai 30 tahun. Dalam hal ini pemerintah tetap menguasai kepemilikan fasilitas infrastruktur dan pemerintah memiliki dua peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur tersebut. BOT
keterbatasan dana pemerintah. Pemerintah menggunakan sistem BOT ini untuk fasilitas-fasilitas infrastruktur yang lebih spesifik seperti penampungan supply air yang besar, air minum, WTP, tempat pengumpulan sampah baik sementara maupun akhir pembuangan, serta tempat pengolahan sampah.
Struktur Pembiayaan di dalam BOT, pihak swasta berperan untuk menyediakan modal untuk membangun fasilitas baru. Pemerintah akan menyetujui untuk mengeluarkan tingkat produksi yang minimum untuk memastikan bahwa operator swasta dapat menutupi biayanya selama pengoperasian.
3. Konsesi
Dalam Konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan pelayanan-pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk
dalam hal pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untuk membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan, dimana konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar performance dan menjamin kepada konsesioner. Intinya, peran pemerintah telah bergeser dari yang dulunya penyedia pelayanan (provider) menjadi pemberi aturan (regulator) atas harga yang dikenakan dan jumlah yang harus disediakan.
Aset-aset infrastruktur yang tetap dipercayakan kepada konsesioner untuk waktu kontrak tertentu, tetapi setelah kontrak habis maka aset infrastruktur akan menjadi milik pemerintah. Periode konsesi diberikan biasanya lebih dari 25 tahun. Lamanya tergantung pada perjanjian kontrak dan waktu yang dibutuhkan oleh konsesioner swasta untuk menutup biaya yang telah dikeluarkan.
Pada sektor persampahan, pemerintah memberikan suatu konsesi untuk membangun suatu tempat daur ulang serta pengoperasiannya atau
membangun suatu fasilitas yang dapat mengubah sampaf menjadi sesuatu energi. Pada sektor air bersih, konsesi memiliki peran penuh dalam pelayanan air pada suatu area tertentu. Cara konsesi telah banyak digunakan baik tingkat kota maupun tingkat nasional.
Pihak swasta bertanggung jawab atas semua modal dan biaya operasi termasuk pembangunan infrastruktur, energi, material, dan perbaikan- perbaikan selama berlakunya kontrak. Pihak swasta dapat berwenang untuk
mengambil langsung tarif dari pengguna. Tarif yang berlaku telah ditetapkan sebelumnya pada penjanjian kontrak konsesi, dimana adapun tarif ini ada kemungkinan untuk berubah pada waktu-waktu tertentu. Pada beberapa kasus, pemerintah dapat membantu pendanaan untuk menutup pengeluaran konsesioner dan hal ini merupakan salah satu bentuk jaminan pemerintah namun hal ini sebaiknya dihindarkan.
4. Prinsip Joint Venture
Kerja sama Joint venture merupakan kerja sama pemerintah dan swasta dimana tanggung jawab dan kepemilikan ditanggung bersama dalam hal penyediaan pelayanan infrastruktur. Dalam kerja sama ini masing-masing pihak mempunyai posisi yang seimbang dalam perusahaan. Kerja sama ini bertujuan untuk memadukan keuggulan sektor swasta seperti modal, teknologi, kemampuan manejemen, dengan keunggulan pemerintah yakni kewenangan dan kepercayaan masyarakat. Perlu diperhatikan pemegang saham mayoritas dan minoritas karena hal ini berkaitan dengan kekuasaan menjalankan perusahaan dan menentukan kebijaksanaan perusahaan karena prinsip kerja sama ini satu saham satu suara. Di bawah joint venture, pemerintah dan swasta dapat membentuk perusahaan baru atau menggunakan perusahaan penyedia infrastruktur yang ada (misal perusahaan pemerintah menjual sebagian modal kepada swasta). Adapun perusahaan yang ada memiliki fungsi yang independen terhadap pemerintah. Joint venture dapat digunakan secara kombinasi dari beberapa tipe kerja sama pemerintah dan
khususnya dalam hal pelayanan, BOT, atau konsesi untuk penyediaan infrastruktur. Kerja sama Joint venture merupakan suatu alternatif yang dapat dikatakan "benar-benar" bentuk public-private partnership yaitu antara pemerintah, swasta, lembaga bukan pemerintah, dan lembaga lainnya yang dapat menyumbangkan sumber daya mereka yang bisa saling "share" dalam menyelesaikan masalah infrastruktur lokal. Di bawah joint venture pemerintah selain memiliki peran sebagai pemberi aturan, juga berperan sebagai shareholder yang aktif dalam menjalankan suatu perusahaan bersama. Dibawah joint venture, pemerintah dan swasta harus bekerja sama dari tahap awal, pembentukan lembaga, sampai pada pembangunan proyek. Model kerja sama joint venture ini, pihak pemerintah dan swasta harus berkontribusi dalam pembiayaan dari sejak awal, mulai dari pembiayaan studi kelayakan proyek sampai mempersiapkan investasi pada perusahaan baru ketika telah terbentuk. Modal bersama PPP ini memerlukan kesepakatan sebelumnya untuk menanggung resiko dan membagi keuntungan secara bersama-sama. Dengan kata lain, masing-masing harus memiliki kontribusi
melalui proyek pembangunan dan implementasinya. Secara optimal, perusahaan seharusnya membiayai secara independen. Tapi bagaimanapun tidak menutup kemungkinan pemerintah memberikan subsidi pada perusahaan atau pada penggunaanya namun hal ini dilakukan jika sangat
mendesak dan diusahakan agar dihindari.
5. Prinsip Community-Based Provision
CBP dapat terdiri dari perorangan, keluarga, atau perusahaan kecil. CBP memiliki peran utama dalam mengorganisasikan penduduk miskin ke dalam kegiatan bersama dan kepentingan mereka akan direpresentasikan dan dinegosiasikan dengan Non Goverment Organization (NGO) dan pemerintah. NGO berperan untuk menyediakan proses manajemen, menengahi negosisasi antara CBP dan lembaga yang lebih besar lainnya dalam hal bentuk jaringan kerjasama, pemberian informasi ataupun kebijasanaan.
Pada sektor air bersih, CBP ini membeli air dalam jumlah besar dan menjualnya kepada komunitas mereka dalam bentuk ember. Community based provision memiliki karakteristik khusus yaitu memerlukan biaya rendah dan biaya tersebut dapat dikatakan sebagai modalnya yang telah disediakan oleh penyedia setempat beserta material mereka. Pengorganisasian dan biaya material biasanya disediakan oleh NGO-NGO, sumbangan-sumbangan, asisten pengurus pembangunan, pemerintah atau oleh komunitas tersebut.
2.2 BUILT OPERATE TRANSFER (BOT)
Salah satu cara pembiayaan proyek dapat dilakukan dengan mengajak pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengadaan proyek pemerintah dengan
sistem BOT (Build Operate and Transfer). Pembiayaan proyek dengan BOT mencakup dari studi kelayakan, pengadaan barang, pembiayaan, sampai dengan pengoperasian. Di sini pelaksana proyek mendapat hak konsesi untuk jangka waktu tertentu guna mengambil manfaat ekonominya dan pada akhirnya mengembalikan semua aset tersebut pada pemerintah pada saat berakhirnya masa konsesi.
Kerjasama jenis BOT ini telah lama diadopsi oleh negara-negara maju, misalnya pada proyek Anglo-French Channel Tunnel. Belakangan, negara-negara berkembang juga mulai banyak mengadopsi model ini, misalnya pro yek jembatan dan bandara di Hong Kong, energi dan jalur kereta api di Cina, jalan raya dan bandara di Malaysia, telekomunikasi di Thailand, energi di Filipina, proyek energi
thermal di Pakistan, dan sebagainya.
Pada dasarnya BOT adalah suatu bentuk pembiayaan proyek pembangunan dimana pelaksana proyek harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut serta menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya pelaksana proyek diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.
Dalam konteks pengadaan proyek infrastruktur, maka BOT tidak lain adalah sebuah kontrak atau perjanjian antara pemilik proyek (pemerintah) dengan pihak lain sebagai operator atau pelaksana proyek. Dalam hal ini, pemilik proyek
memberikan hak pada operator atau pelaksana untuk membangun sebuah sarana dan prasarana (umum) serta mengoperasikannya selama jangka waktu tertentu dan mengambil seluruh atau sebagian keuntungan dan pada akhir masa kontrak harus mengembalikan proyek tersebut pada pemilik proyek. Apabila semuanya berjalan sesuai dengan rencana, maka pada akhir masa kontrak atau pada saat proyek tersebut harus dikembalikan pada pemerintah, maka pemilik proyek dapat mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan ditambah dengan sejumlah keuntungan yang diharapkan dari proyek tersebut.
Kontrak BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose company) dalam membangun infrastruktur publik yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan infrastruktur tanpa pengeluaran dana dari pemerintah, dimana pihak swasta (badan usaha) bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Pihak swasta mendapatkan revenue dari pengoperasian fasilitas infrastruktur tersebut selama periode konsesi berlangsung.
Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.
2.2.1 Ciri-ciri Kerjasama BOT
Beberapa ciri proyek BOT, diantaranya : 1. Pembangunan (Build )
Pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan memberikan kuasanya kepada pemegang hak (pelaksana proyek) untuk membangun sebuah proyek dengan dananya sendiri (dalam beberapa hal dimungkinkan didanai bersama / participate interest). Desain dan spesifikasi bangunan merupakan usulan pemegang hak pengelolaan yang harus mendapat persetujuan dari pemilik proyek.
2. Pengoperasian (Operate )
Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan pemilik proyek kepada pemegang hak untuk selama jangka waktu tertentu mengoperasikan dan mengelola proyek tersebut untuk diambil manfaat ekonominya. Bersamaan dengan itu pemegang hak berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadap proyek tersebut. Pada masa ini, pemilik proyek dapat juga menikmati hasil
sesuai dengan perjanjian jika ada.
3. Penyerahan Kembali (Transfer )
Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan dan fisik proyek kepada pemilik proyek setelah masa konsesi selesai tanpa syarat (biasanya). Pembebanan biaya penyerahan umumnya telah ditentukan dalam perjanjian mengenai siapa yang menanggungnya.
Berdasarkan pengertian yang dimaksud di atas, maka unsur-unsur perjanjian sistem bangun guna serah (Build, Operate, and Transfer / BOT) atau BOT Agreement, adalah :
a. Investor (penyandang dana) b. Tanah
c. Bangunan komersial d. Jangka waktu operasional e. Penyerahan (transfer)
2.2.2 Regulasi Kerjasama BOT
Pengadaan infrastruktur di Indonesia dengan menggunakan perjanjian BOT diatur oleh :
1. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
2. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
3. Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1991 tentang Keputusan Presiden Tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Neger i.
4. Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah Dan Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan Dan Atau Pengelolaan Infrastruktur.
5. Keputusan Menteri Keuangan No. 234/KMK-04/1995.\
6. SK Menteri Dalam Negeri Otonomi Daerah Nomor 11 tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
8. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (“Build Operate and Transfer”).
9. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005.
10. Serta peraturan lain yang mendukung.
2.2.3 Pembiayaan Kerjasama BOT
Pembiayaan BOT dapat bersumber pada 2 hal :
1. Pembiayaan yang berasal dari pinjaman (debt finance)
Umumnya berasal dari pinjaman pasar komersial, berasal dari perbankan. Pinjaman dapat berjangka pendek, menengah, atau jangka panjang. Pendanaan ini tergantung pada suku bunga mengambang (floating intrest) dan jangka waktunya lebih pendek daripada jangka waktu konsesi proyek yang didanai.
2. Pembiayaan yang berasal dari penyertaan (equity investment)
Equity investment diperoleh dari dana yang dimiliki oleh kontraktor sendiri atau berasal dari investor individual. Namun, pendanaan BOT dapat didanai oleh pemerintah dan kontraktor yang ditanggung secara
bersama dalam prosentase tertentu yang sering dikenal dengan public- private partnership.
3. Cara lain
Pendanaan proyek BOT dapat diperoleh dari lembaga keuangan, investment funds, insurance companies, pension funds, sarana capital market funding, atau International financial institution (misalnya World Bank).
2.3 MEKANISME KERJASAMA BOT
Berdasarkan unsur yang terkandung dalam perjanjian BOT atau BOT Agreement, maka pada dasarnya ada pemisahan yang tegas antara Pemilik (yang menguasai tanah) dengan Investor (penyandang dana). Obyek dalam perjanjian BOT kurang lebih yaitu :
1. Bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan (dengan atau tanpa teknologi tertentu) yang merupakan komponen utama dalam usaha tersebut disebut sebagai bangunan komersial.
2. Bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka waktu relatif lama, untuk tujuan :
a. Pembangunan prasarana umum, seperti jalan tol, pembangkit listrik, sistem telekomunikasi, pelabuhan peti kemas dan sebagainya.
b. Pembangunan properti, seperti pusat perbelanjaan, hotel, apartemen dan sebagainya.
c. Pembangunan prasarana produksi, seperti pembangunan pabrik untuk menghasilkan produk tertentu
2.3.1 Pertimbangan dalam Kerjasama BOT
Dalam suatu kerjasama tentunya diperlukan beberapa pertimbangan, untuk pertimbangan dalam kerjasama BOT, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perjanjian BOT ini terjadi dalam hal, jika :
a. Ada pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah, ingin membangun suatu bangunan komersial di atas tanahnya tetapi tidak mempunyai biaya, dan ada investor yang bersedia membiayai pembangunan tersebut.
b. Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial tetapi tidak mempunyai tanah yang tepat untuk berdirinya bangunan komersial tersebut, dan ada pemilik tanah yang bersedia menyerahkan tanahnya untuk tempat berdirinya bangunan komersial tersebut.
c. Investor membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik pihak lain, dan setelah pembangunan selesai investor berhak
mengoperasionalkannya untuk jangka waktu tertentu. Selama jangka waktu operasional, pihak pemilik tanah berhak atas fee tertentu.
d. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib mengembalikan tanah kepada pemiliknya beserta bangunan komersial di atasnya.
2. Pertimbangan-pertimbangan pokok bagi pembangunan proyek infrastruktur dengan pola BOT yang didasarkan atas kepentingan Pemerintah Daerah, yaitu :
a. Tidak membebani neraca pembayaran pemerintah (offbalance-sheet financing).
b. Mengurangi jumlah pinjaman Pemerintah maupun sektor publik lainnya.
c. Merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang diprioritaskan (additional finance sources for priority projects).
d. Tambahan fasilitas baru.
e. Mengalihkan resiko bagi konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada sektor swasta.
f. Mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan maupun teknologi asing.
g. Mendorong proses alih teknologi, khususnya bagi kepentingan negara-negara berkembang.
h. Diperolehnya fasilitas yang lengkap dan operasional setelah masa akhir konsesi.
Sebelum menentukan serta untuk keberhasilan pembangunan dan pengoperasian suatu fasilitas/proyek infrastruktur yang menggunakan pola BOT,
maka secara konseptual perlu dipertimbangakan faktor-faktor : 1. Tipe fasilitas.
2. Manfaat sosialnya.
3. Dukungan Pemerintah (Prinsipal) yang dapat diberikan kepada Promotor. 4. Kualifikasi dan pengalaman dari Promotor itu sendiri.
5. Lokasi proyek/fasilitas tersebut. 6. Besar ekuitas yang akan dipakai.
7. Jaminan kelangsungan suplai bahan mentah.
8. Jaminan pembelian atas produk dan atau jasa yang dihasilkan dari pengoperasian fasilitas-fasiltas tersebut.
9. Jangka waktu konsesi.
10. Komponen dari masing-masing paket yang terkait dengan konstruksi, operasi, pemeliharaan, pembiayaan dan penggerak perolehan penerimaan.
2.3.2 Tata Cara Pelaksanaan BOT
Tata cara pelaksanaan dalam kerjasama BOT diantaranya : 1. Pertimbangan
BOT dilakukan untuk menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
2. Barang Milik Negara yang dapat Dijadikan Objek BOT
Barang Milik Negara yang dapat dijadikan objek BOT adalah Barang Milik Negara yang berupa tanah, baik tanah yang ada pada Pengelola
Barang maupun tanah yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang.
3. Subjek Pelaksanaan BOT
a. Pihak yang dapat melaksanakan BOT Barang Milik Negara adalah Pengelola Barang.
b. Pihak-pihak yang dapat menjadi mitra BOT adalah: Badan Usaha Milik Negara
Badan Usaha Milik Daerah Badan Hukum lainnya. 4. Ketentuan dalam Pelaksanaan BOT
a. Selama masa pengoperasian BOT, Pengguna Barang harus dapat menggunakan langsung objek BOT, beserta sarana dan prasarananya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan penetapan dari Pengelola Barang, paling sedikit 10% (sepuluh persen)
dari luas objek dan sarana prasarana BOT dimaksud.
b. Jangka waktu pengoperasian BOT oleh mitra BOT paling lama 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak perjanjian ditandatangani.
c. Kewajiban mitra BOT selama jangka waktu pengoperasian: Membayar kontribusi ke rekening kas umum Negara.
Tidak menjaminkan, menggadaikan dan/atau memindahtangankan objek BOT.
Memelihara objek BOT agar tetap dalam kondisi baik.
d. Pemilihan mitra BOT dilaksanakan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat.
e. Penghitungan nilai tanah dalam rangka penentuan nilai limit terendah besaran kontribusi dilakukan oleh penilai yang ditetapkan oleh
Pengelola Barang.
f. Nilai limit terendah besaran kontribusi atas pelaksanaan BOT Barang Milik Negara ditetapkan oleh Pengelola Barang berdasarkan hasil perhitungan penilai.
g. Pembayaran kontribusi dari mitra BOT, kecuali untuk pembayaran pertama yang harus dilakukan pada saat ditandatanganinya perjanjian BOT, harus dilakukan paling lambat tanggal 31 Januari setiap tahun sampai dengan berakhirnya perjanjian BOT dimaksud, dengan penyetoran ke rekening kas umum negara.
h. Keterlambatan pembayaran kontribusi dari tanggal tersebut pada butir 7 akan dikenakan denda paling sedikit sebesar 1 ‰ (satu per seribu) per hari.
i. Dalam hal mitra tidak melakukan pembayaran kontribusi sebanyak tiga kali dalam jangka waktu pengoperasian BOT, Pengelola Barang dapat secara sepihak mengakhiri perjanjian.
j. Seluruh biaya yang timbul pada tahap persiapan dan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan, antara lain meliputi biaya perizinan, konsultan pengawas, biaya konsultan hukum, dan biaya pemeliharaan objek BOT, dan biaya audit oleh aparat pengawas fungsional menjadi beban mitra kerjasama pemanfaatan.
k. Setelah masa pengoperasian BOT berakhir, objek pelaksanaan BOT harus diaudit oleh aparat pengawas fungsional sebelum diserahkan kepada Pengelola Barang dan/atau Pengguna Barang.
l. Setelah masa pemanfaatan berakhir, bangunan dan fasilitas hasil BOT ditetapkan status penggunaannya oleh Pengelola Barang.
m. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam rangka BOT harus atas nama Pemerintah Republik Indonesia.
5. Tata Cara Pelaksanaan BOT
a. BOT atas tanah yang berada pada Pengelola Barang
1. Pengelola Barang menetapkan tanah yang akan dijadikan objek BOT berdasarkan hasil penelitian kelayakan tersebut.
2. Pengelola Barang membentuk tim yang beranggotakan unsur Pengelola Barang, Pengguna Barang, serta dapat mengikutsertakan unsur instansi/lembaga teknis yang kompeten.
3. Tim bertugas untuk melakukan pengkajian tanah yang akan dijadikan objek BOT serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis, tetapi tidak terbatas untuk menyiapkan rincian kebutuhan bangunan dan fasilitas yang akan ditenderkan, penelitian indikasi biaya yang diperlukan untuk penyediaan bangunan dan
fasilitasnya, dan melakukan tender calon mitra BOT.
4. Pengelola Barang menugaskan penilai untuk melakukan perhitungan nilai limit terendah besaran kontribusi BOT atas
Barang Milik Negara yang akan menjadi objek BOT.
5. Penilai menyampaikan laporan penilaian kepada Pengelola Barang melalui Tim.
6. Tim menyampaikan laporan kepada Pengelola Barang terkait dengan hasil pengkajian atas tanah, dengan disertai perhitungan nilai limit terendah besaran kontribusi BOT dari penilai.
7. Berdasarkan laporan tim dimaksud, Pengelola Barang menerbitkan surat penetapan nilai tanah yang akan dilakukan BOT dan nilai limit terendah kontribusi atas pelaksanaan BOT, dan rencana kebutuhan bangunan dan fasilitasnya.
8. Berdasarkan surat penetapan tersebut, tim melakukan tender pemilihan mitra BOT.
9. Hasil pelaksanaan tender disampaikan kepada Pengelola Barang untuk ditetapkan dengan menerbitkan surat keputusan pelaksanaan BOT dimaksud, yang antara lain memuat objek BOT, nilai kontribusi, mitra BOT, dan jangka waktu BOT.
10. Pelaksanaan BOT dituangkan dalam perjanjian BOT antara Pengelola Barang dengan mitra BOT.
11. Mitra BOT menyetorkan ke rekening kas umum negara uang kontribusi tetap setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari kecuali untuk tahun pertama selambat-lambatnya pada saat perjanjian BOT ditandatangani.
12. Pengelola Barang melakukan monitoring, evaluasi, dan penatausahaan pelaksanaan BOT dimaksud.
13. Penyerahan kembali objek BOT beserta fasilitasnya kepada Pengelola Barang dilaksanakan setelah masa pengopersian BOT yang diperjanjikan berakhir dan dituangkan dalam suatu berita acara serah terima barang.
b. BOT atas tanah yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang
1. Pengguna Barang menyerahkan tanah yang akan dijadikan objek BOT kepada Pengelola Barang dengan disertai usulan BOT dan dokumen pendukung berupa lokasi/alamat, status dan bukti kepemilikan, luas, harga perolehan/NJOP, dan rencana pembangunan gedung yang diinginkan.
2. Berdasarkan usulan dari Pengguna Barang, selanjutnya mekanisme BOT dilaksanakan mengacu pada ketentuan pada poin 4a.
2.4 HAK DAN KEWAJIBAN KERJASAMA BOT
Para pihak yang terlibat dalam pembangunan dengan pola BOT ini adalah: 1. Prinsipal / Grantor / Pemilik Proyek adalah pihak yang secara keseluruhan
bertanggungjawab atas pemberian konsesi dan merupakan pemilik akhir dari proyek/fasilitas tersebut setelah habisnya jangka waktu. Dalam hal ini Pemerintahlah yang bertindak sebagai Prinsipal atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Kewajiban
Sebagai pemegang hak pengelolaan, memberikan kuasa kepada pelaksana proyek.
Hak
a. Menikmati hasil sesuai perjanjian jika ada.
b. Menerima fasilitas infrastruktur setelah masa perjanjian berakhir. 2. Promotor / Pelaksana Proyek adalah suatu badan hukum/organisasi yang
mengalihkan fasilitas tertentu. Organisasi promotor ini biasanya didukung oleh pihak-pihak lain, seperti : Contractor, Investor, Operator, Supplier, Lender, dan User. Pihak yang disebutkan ini masing- masing dapat menjadi satu dengan promotor ataupun terpisah.
Kewajiban:
a. Membangun dan mengoperasikan sebuah sarana dan prasarana umum sesuai dengan standar kerja yang diterapkan pemilik proyek
b. Menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut serta menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek
c. Mengembalikan proyek pada pemilik proyek pada akhir masa kontrak d. Membayar fee kepada pemilik proyek apabila diperjanjikan
e. Membayar kontribusi ke rekening kas umum negara;
f. Tidak menjaminkan, menggadaikan dan/atau memindahtangankan objek BOT;
g. Memelihara objek BOT agar tetap dalam kondisi baik.
Hak :
a. Mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.
b. Mengambil seluruh atau sebagian keuntungan.
2.5 KONSESI KERJASAMA BOT
Perbedaan utama BOT dengan pembiayaan proyek lain adalah pada masalah konsesi, yaitu konsesi antara pemilik proyek dengan pelaksana proyek. Kontrak ini didukung dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah setempat, biasanya berupa SK Bupati, Walikota, persetujuan DPRD setempat. Kontrak
konsesi ini memberikan hak pada kontraktor untuk membangun dan mengoperasikan proyek serta mengambil keuntungan dalam jangka waktu tertentu dan pada akhir masa konsesi yang disepakati proyek tersebut dikembalikan
kepada pemerintah. Secara umum sebuah kontrak konsesi berisi hal-hal a ntara lain :
1. Pernyataan yang jelas mengenai hak konsesi yang eksklusif
Biasanya kontrak BOT dekat sekali dengan monopoli serta tidak jarang keuntungan proyek BOT dapat diraih dengan diberikannya monopoli, walaupun tidak semua proyek BOT terlibat monopoli, misalnya proyek pembangkit tenaga listrik, persediaan air, dll. Apabila nilai ekonomi proyek tersebut tergantung pada segi-segi tersebut diatas, maka pemilik proyek harus memberikan hak eksklusif di dalam kontrak konsesinya.
2. Lingkup proyek
Dalam kontrak konsesi, seharusnya secara hati-hati dijelaskan tentang apa saja yang dibutuhkan oleh pelaksana konsesi, apa yang boleh/tidak boleh dilakukan oleh operator dan tenggang waktu konsesi yang diberikan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan operator untuk mengembalikan semua investasi serta biaya yang telah dikeluarkan, bagaimana prospek penyediaan dana serta siapa calon pengguna. Dalam beberapa hal dapat dibuat model penyebutan lingkup proyek secara umum kemudian diikuti dengan deskripsi lingkup proyek secara detail
3. Komitmen dukungan pemerintah
Kebanyakan BOT diadakan antara pemerintah dengan swasta dan memerlukan berbagai macam bantuan dari pemerintah. Bantuan yang diberikan harus secara jelas disebutkan, apa bentuknya. Beberapa bantuan yang dapat dilakukan pemerintah setempat dapat berupa :
a. Bantuan yang berkaitan dengan persoalan tanah
Persoalan tanah menjadi kendala awal pelaksanaan proyek BOT, biasanya berkaitan dengan masalah pembebasan tanah. Persoalan ini tentunya akan
sulit bila diselesaikan sendiri dengan kontraktor, maka dengan bantuan pemerintah persoalan pembebasan tanah dapat dilakukan dengan lebih bijaksana
b. Persetujuan lembaga legislatif
Pernyataan modal akan sangat membantu menyeimbangkan rasio modal dan hutang yang dimiliki kontraktor pelaksana
d. Subsidi pemerintah, dapat memberikan pelayanan dengan standar harga yang rendah
e. Perlindungan dari persaingan usaha
Adanya jaminan dari pemerintah dalam tenggang waktu tertentu tidak akan melakukan proyek yang sama berpotensial terjadinya persaingan yang dapat menurunkan perolehan ekonomi kontraktor
f. Diversifikasi keuntungan
Dukungan pemerintah dapat juga berupa diperbolehkannya kontraktor untuk melakukan diversifikasi potensi yang dapat mendatangkan keuntungan. Misalnya dalam pembangunan gedung swalayan, maka kontraktor diberikan hak untuk mengelola perolehan dari sektor parkir dengan kontrak khusus pada pemerintah setempat.
4. Biaya – biaya, aspek keuangan, pajak, asuransi, pertukaran mata uang asing serta repatriasi( bila melibatkan kontraktor asing)
Dibutuhkan adanya jaminan untuk menutup asuransi untuk bangunan yang akan dibangun
5. Persoalan nasionalisasi jika ada ( bila melibatkan kontraktor asing)
6. Pengalihan pada operator lain
Dalam kondisi khusus, pemilik proyek dapat menunjuk pengganti operator lain atau mengambilalih operasi jika operator tidak dapat melaksananakan kewajjibannya. Untuk itu harus ditegaskan dalam kontrak konsesi
7. Hak atas property
8. Hukum dan penyelesaian masalah
Penyelesaian masalah dilakukan dengan dispute settlement . Pada umumnya, dispute settlement dapat dilakukan melalui pengadilan atau dapat melalui penunjukan pribadi/lembaga yang diperbolehkan melakukan arbitrasi konflik
di bidang pembangunan infrasturktur. Selain itu, pihak-pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan perkara di kedua jalur tersebut, yaitu dengan bermusyawarah untuk mencapai persetujuan.
2.6 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KERJASAMA BOT KELEBIHAN :
1. Pemilik Proyek
a. kontrol pemilik proyek terhadap kinerja operasional, standar pelayanan dan perawatannya
b. kemampuan untuk mengakhiri kontrak jika standar kinerja tidak terpenuhi, walaupun fasilitas dapat terus digunakan
c. pemilik proyek dapat memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat
d. penghematan terhadap desain, konstruksi dan arsitekturnya
e. pemilik proyek dapat membangun infrastruktur dengan biaya perolehan dana dan tingkat bunga yang relatif rendah atau tidak
mengeluarkan dana untuk pembangunan sebuah proyek
f. pemilik proyek dapat mengurangi beban penggunaan dana APBN/APBD atau pinjaman luar negeri
g. proyek BOT secara finansial menguntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk melakukan studi kelayakan ataupun biaya operasional
h. pemilik proyek daerah juga tidak menanggung resiko kemungkinan terjadinya perubahan kurs
2. Pelaksana Proyek
a. pembangunan infrastruktur dengan metode BOT merupakan pola yang menarik karena memiliki hak penguasaan yang tinggi terhadap infrastruktur yang dibangunnya
b. dengan proyek BOT, pelaksana proyek dapat membuka peluang dan diberi kesempatan untuk memasuki bidang usaha yang semula hanya ditangani pemerintah atau BUMN/BUMD
c. pelaksana proyek dapat melakukan ekspansi usaha yang mempunyai prospek menguntungkan serta dapat memanfaatkan lahan strategis
d. merupakan inovasi dalam pembiayaan proyek yang umumnya berbeda dengan proyek biasa, meningkatkan profesionalisme dan meningkatkan daya saing perbankan dalam negeri
3. Publik
a. publik akan mendapatkan sarana dan prasarana untuk umum yang dibutuhkan oleh masyarakat
b. publik mendapat manfaat dari keahlian partner swastanya
c. publik mendapatkan manfaat dari penghematan operasi dari partner swasta
d. publik dapat mempertahankan kepemilikan aset
e. kepemilikian publik dan kontrak diluar operasi tidak dapat dikenai pajak
f. publik mempertahankan otoritas terhadap kualitas layanan dan pembayarannya
g. bagi pihak swasta termasuk lawyer, perbankan, engineer dan yang lain, dapat berperan mengambil bagian dalam penanganan dan pengoperasian proyek yang sangat potensial mendatangkan
keuntungan
KELEMAHAN : 1. Pemilik Proyek
a. jika pelaksana proyek bangkrut, maka pemilik proyek yang harus melanjutkan operasi proyek dan memberikan subsidi
b. bagi pemilik proyek, proyek BOT tidak jarang berarti melepaskan monopoli dan menyerahkannya pada pihak swasta
c. hilangnya salah satu sumber pendapatan yang potensial mendatangkan keuntungan, melepaskan hak pengelolaan aset strategis dan memberikannya pada swasta untuk jangka waktu tertentu
d. dalam beberapa hal, pemilik proyek masih diikutsertakan dalam masalah yang rumit, seperti pembebasan tanah, pemindahan lokasi dll
2. Pelaksana Proyek
a. kemungkinan pemindahan entitas sektor swasta atau penyelesaian kontrak ketika terjadi kebangkrutan partner swasta
b. bagi pelaksana proyek terdapat kemungkinan menanggung semua resiko karena pemerintah sebagai pemilik proyek tidak mau berbagi resiko atas proyek BOT, sampai dengan kontrol atas proyek itu diserahkan kembali kepada pemilik proyek
c. lebih rawan terjadi korupsi,ada anggapan bahwa tidak mungkin mendapatkan proyek pemerintah tanpa mengeluarkan dana untuk menyuap ofisialnya
d. perusahaan swasta sebagai suatu entitas bisnis pada umumnya memiliki keterbatasan dalam penyediaan dana untuk pembangunan infrastruktur, menyebabkan pola BOT menjadi kurang diminati investor
e. selama kurun waktu pengoperasian infrastruktur oleh pihak investor, mungkin saja terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian bagi investor
f. kemungkinan kesulitan pendanaan oleh investor karena perbankan mengganggapnya tidak bankable untuk dibiayai
2.7 RESIKO KERJASAMA BOT
Karena proyek BOT membutuhkan dana yang besar, maka proyek BOT juga rentan terhadap resiko. Resiko yang umumnya ada pada proyek BOT antatra
lain :
1. Resiko Konstruksi ( Construction And Operation Risk )
Yaitu kemungkinan konstruksi proyek tersebut tidak dapat dipenuhi pada waktu yang telah ditentukan. Konsekuensi atas penyelesasian keterlambatan proyek konstruksi, seharusnya diperjanjikan dalam kontrak. Untuk itu dapat dipertimbangkan pengenaaan penalti atau ganti kerugian untuk suatu
keterlambatan atau meminta jaminan pelaksanaan pada tingkatan yang berbeda
2. Resiko Biaya yang ternyata melebihi estimasi semula
Apabila terjadi hal ini, maka dapat diperjanjikan dalam kontrak adanya harga yang pasti atau dapat pula diusahakan agar resiko tersebut ditanggung bersama-sama antara para pihak. Dapat juga melakukan penyediaan standby
credit atau akses pada penyertaan modal tambahan 3. Resiko Politik ( Political Risk )
Yaitu berkaitan dengan stabilitas negara, misalnya huru hara, unjuk rasa, perang dsb. Secara teori, resiko ini dapat berupa project discruption caused by adverse acts of government yaitu tindakan atau perbuatan yang berasal dari pemerintah atau agent of the government yang dapat mengganggu jalannya proyek BOT. Political risk sendiri dapat terdiri dari 3 bagian yaitu :
a. Traditional Political Risk , yang berupa pengambilalihan perusahaan dengan atau tanpa ganti rugi yang dikenal dengan tindakan nasionalisasi atau aturan perpajakan baru yang merugikan prospek perolehan keuntungan ekonomi proyek BOT tersebut
b. Regulator Risk , dapat berupa perubahan peraturan yang merugikan proyek BOT, pengetatan standar baru, pembukaan sektor baru yang mendatangkan banyak kompetisi
c. Quasi-Commercial Risk , dapat berupa pemutusan hubungan kontrak oleh pemerintah atau terdapatnya perubahan dalam planning pemerintah
4. Resiko Musibah ( Project Dicruption Caused By Events Outside Control Of The Parties )
Yaitu bencana alam yang dapat mengganggu jalannya proyek misalnya gempa, banjir, badai , dll. Dalam hal ini asuransi merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi resiko tidak terduga ini, walaupun pemerintah membantu memberikan jaminan terhadap gangguan-gangguan tersebut
5. Resiko tidak diperolehnya bahan baku yang sangat dibutuhkan untuk proyek. Gangguan supply bahan baku aakn sangat mengganggu jalannya sebuah proyek, oleh karena itu sebelumnya perlu dibuat kontrak dengan suplier untuk
meminimalisasi resiko tsb. Jaminan dari pemerintah atas suplier bahan baku akan sangat membantu proses pengerjaan proyek tersebut
6. Resiko Pasar ( Commercial Risk ) yang berkaitan dengan produk yang akan dijual atau jasa yang akan dilakukan ternyata dapat menutup semua pengeluaran yang telah dilakukan.
Apabila barang atau jasa yang dihasilkan proyek BOT tidak dapat dijual pada harga yang diprediksi maka kemungkinan kelangsungan hidup dari proyek tersebut akan terancam, untuk itu rencana yang matang dan studi kelayakan yang teliti dan ceramat barangkali akan dapat meminimalisasi resiko ini
7. Resiko Pertukaran Mata Uang Asing ( Exchange Rate )
Ada kalanya proyek BOT membutuhkan dana pinjaman dalam bentuk valuta asing sedangkan keuntungan yang diperoleh dalam bentuk mata uang lokal. Pada saat jatuh tempo tidak jarang kontraktor harus mengembalikan dalam bentuk valuta asing, pada saat pengembalian dana pinjaman, tidak jarang
terjadi perubahan nilai tukar yang sangat tinggi.
2.8 STRUKTUR BOT AIR MINUM
Struktur kerjasama pemerintah dan badan usa ha (KPS)di sektor air minum mengacu kepada Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 2005, serta Regulasi KPS. Struktur KPS dapat melibatkan PDAM sebagai perusahaan utilitas pemerintah daerah, untuk menjadi PJPK (dengan persetujuan dari Badan Pengawas sebagaimana pasal 37 dari PP 16/2005).
Jika proyek mencakup wilayah diluar wilayah pelayanan PDAM, maka akan melibatkan Kepala Daerah untuk memasuki perjanjian KPS dengan BU (sesuai pasal 64 dari PP 16/2005). Sejalan dengan regulasi dan implementasi proyek saat ini, ada dua jenis struktur KPS yang merupakan turunan dari struktur
KPS generik di atas, yaitu: struktur Konsesi Penuh (struktur berbasis penggunaan), dan struktur konsesi sebagian (BOT) (struktur berbasis
Gambar Struktur Konsesi Penuh Air Minum
Struktur Konsesi Penuh untuk sektor air minum meliputi (hampir) seluruh lingkup yang mungkin untuk diserahkan ke pihak swasta, yaitu Transmisi, Produksi, Operasi dan Pemeliharaan, Distribusi dan Penagihan ke Pelanggan. Biasanya opsi ini digunakan untuk proyek baru yang membutuhkan investasi yang signifikan bagi PDAM (sebagai pengelola sektor air minum eksisting). Risiko pasar dan risiko kenaikan tarif merupakan jenis risiko yang paling sering dikuatirkan oleh pihak swasta dalam struktur ini.
Penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK ) memegang peranan penting dalam kesuksesan implementasi proyek. Pihak swasta biasanya hanya bertanggung jawab terhadap masing-masing dari Transmisi, Produksi, Operasi dan Pemeliharaan, Distribusi atau setiap kombinasi dari masing-masing, tetapi tidak menanggung tugas penagihan biaya ke pelanggan. Dalam konteks Perjanjian Jual Beli Air (Water Purchase Agreement/WPA), air hasil dari proses yang dilakukan oleh BU kemudian dijual ke PDAM sebagai PJPK
(umumnya pembeli tunggal) yang nantinya akan didistribusikan dan dijual ke pelanggan retail/pengguna akhir oleh PDAM.
Gambar Struktur BOT Air Minum
Dengan demikian, untuk kesuksesan transaksi proyek dengan struktur ini, pihak swasta (terutama lender) perlu diyakinkan bahwa PDAM memiliki kelayakan kredit yang baik untuk melakukan pembayaran periodik sebagai off-taker selama masa kontrak.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 CONTOH PENERAPAN KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PENYEDIAAN AIR BERSIH DI KABUPATEN SEMARANG (TELAH DILAKSANAKAN)
3.1.1 Gambaran Umum Wilayah Semarang
Kabupaten Semarang merupakan salah satu Kabupaten dari 29 kabupaten dan 6 kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Terletak pada posisi 1100 14' 54,74" - 1100 39' 3" Bujur Timur dan 70 3’ 57” – 70 30’0” Lintang Selatan. Luas keseluruhan wilayah Kabupaten Semarang adalah 95.020,674 Ha atau sekitar 2,92% dari luas Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini berbatasan dengan Kota Semarang di utara, Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan di timur, Kabupaten Boyolali di timur dan selatan, serta Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, dan Kabupaten Kendal di barat.
Objek yang akan dijadikan pembahasan yaitu industri-industri yang menjadi target area cakupan layanan dan sasaran pemasaran air bersih. Industri tersebut meliputi industri-industri di sepanjang jaringan distribusi pipa air bersih antara Kecamatan Bawen, Kecamatan Bergas, Kecamatan Pringapus dan Kecamatan Ungaran. Dilihat dari wilayah pengembangan Kabupaten Semarang lokasi Kecamatan Bergas, Kecamatan Pringapus dan Kecamatan Ungaran termasuk dalam Wilayah Pembangunan I (WP I) dan Kecamatan Bawen termasuk Wilayah Pengembangan II (WP II). Wilayah Pengambangan I Daerah Ungaran dan sekitarnya terdiri atas dua Sub Wilayah Pembangunan (SWP), yaitu :
1. SWP I salah satunya meliputi wilayah Kecamatan Ungaran. Wilayah ini akan berkembang menjadi kawasan perkotaan, sehingga penanganannya diarahkan pada pengelolaan perkotaan dengan memperhatikan kawasan lindung di sekitarnya. Arahan kegiatan SWP ini adalah sebagai pusat pelayanan, pusat permukiman, kegiatan rekreasi, perdagangan, industri, pada sekitar jalur arteri primer, serta pertanian pada kawasan pinggiran. Pusat pelayanan kawasan ini
adalah Ungaran dan Babadan.
2. SWP II meliputi wilayah Kecamatan Bergas dan Pringpus. Arahan kegiatan SWP ini adalah kegiatan industri, pusat permukiman dan pertanian. Pengelolaan kawasan diarahkan pada usaha keterpaduan antar fungsi terutama industri permukiman dan pertanian dalam kawasan perkotaan. Kota pusat pelayanan
SWP ini adalah Bergas dab Pr ingpus.
Sedangkan Kecamatan Bawen termasuk SWP I dan WP II Daerah Ambarawa dan sekitarnya. SWP I dalam WP II ini meliputi wilayah Kecamatan Bawen, Ambarawa dan Banyubiru. Kegiatan utama yang akan dikembangkan meliputi kegiatan perdagangan (Ambarawa), pusat permukiman (Ambarawa dan Bawen), industri
(Bawen), pariwisata ( Bandungan, Jimbaran, Ambarawa, dan Banyubiru), pertanian dan agribisnis. Kota pusat pelayanan adalah Ambarawa, Bawen, Banyubiru, Bandungan, dan Jimbaran. Penanganan kawasan perkotaan diarahkan pada Ambarawa, Bawen, dan Bandungan.
Wilayah Bawen, Bergas dan sebagian Ungaran termasuk kedalam zona wilayah industri. Penetapan zona wilayah industri di Semarang sebagian besar diarahkan ke
wilayah bagian Timur Jalan Semarang-Solo. Hal ini disebabkan karena adanya batasan pengembangan di wilayah sebelah Barat Jalan Semarang-Solo. Adapun batasan-batasan
tersebut, yaitu :
1. Daya dukung fisik alam
Wilayah Semarang berada pada deretan gunung berapi Pulau Jawa. Dampak positif yaitu wilayahnya masuk dalam katagori subur dan memiliki pemandangan alam yang cukup baik untuk potensi pariwisata, sedangkan dampak negatif yaitu terdapatnya kawasan-kawasan yang masuk dalam zona kerentanan tanah dan tingkat kestabilan tanah yang berbeda-beda akibat dari jenis tanah yang berbeda pula. Untuk itu pengembangan kegiatan industri harus mempertimbangkan daya dukung fisik ala mini agar tidak menimbulkan masalah setelah operasional kegiatan industri tersebut.
2. Pencemaran
Jalur Semarang-Bawen merupakan daerah aliran sungai Garang dan Klampok. Wilayah sebelah utara yaitu Ungaran merupakan daerah resapan air dan hulu dari sungai Garang yang oleh wilayah Semarang dimanfaatkan sebagai sumber air bersih Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sedangkan daerah Bawen merupakan daerah resapan bagi sub dan sungai Klampok.
3. Konflik fungsi
Kegiatan industri merupakan aktivitas yang mampu berperan sebagai magnet perkembangan bagi suatu wilayah. Pembanguna industri di sebelah barat jalan Semarang-Solo jika direalisasikan hanya akan merangsang perkembangan wilayah tersebut menjadi tinggi yang dapat berpotensi menimbulkan konflik fungs kawasan. Adapun konflik fungsi tersebut utamanya masalah perkembangan kawasan budidaya dengan usaha mempertahankan kawasan
lindung.
4. Skenario pengembangan wilayah
Lambatnya perkembangan wilayah di sebelah timur adalah tidak adanya jaringan jalan dan pusat-pusat kegiatan yang mampu mendorong pertumbuhan wilayah. Untuk itu wilayah di sebelah timur perkembangannya perlu dirangsang dengan meletakkan kegiatan-kegiatan yang mampu berfungsi sebagai magnet bagi
kegiatan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, kegiatan industri merupakan kegiatan yang mampu menarik bagi kegiatan-kegiatan lainnya.
3.1.2 Pelayanan Air Bersih Oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Semarang
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten semarang adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dengan tujuan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah dan sebagai sarana pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program penyediaan air bersih yang merata, tersebar di wilayah Kabupaten semarang, baik perkotaan maupun pedesaan.
Sekitar 30% jumlah penduduk yang baru terlayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten semarang melalui sambungan rumah (SR) dan hydrant umum (HU). Jenis sambungan terbanyak adalah rumah tangga dan yang paling sedikit adalah industri besar. Sisa penduduk yang tidak terlayani adalah sebesar 70% memanfaatkan air bersih dari sumber-sumber pribadi yang dimiliki, baik melalui sumur dangkal, air permukaan, atau sumber yang lain. sedangkan untuk kebutuhan non domestik (industri) mendapatkan air bersih dari sumur-sumur dalam yang dibuat oleh masing-masing industri yang bersangkutan dengan kedalaman bervariasi antara 100-150 meter. Kapasitas produksi terpasang sebelum adanya kerjasama dengan pihak swasta adalah sebesar 335 liter/detik. Mengingat cakupan penanganan dan pelayanan air bersih yang terpencar-pencar dan cukup berjauhan antara satu wilayah pelayanan dengan wilayah pelayanan lainnya, maka Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten semarang dalam operasionalnya dibagi menjadi tiga cabang yaitu Cabang Ungaran, Ambarawa, dan Salatiga. Selain itu pemenuhan air bersih juga dipenuhi masyarakat sendiri baik melalui sumur dangkal, sumur dalam, mata air dan sebagainya.
Produksi air bersih PDAM Kabupaten semarang mencapai 525.398,40 per bulan (pada periode juli 1999), dengan kapasitas terpasang sebesar 391,50 liter/ detik dan kapasitas sebesar 242,10 liter/detik. Pengelolaan air bersih dilakukan dengan sistem aliran dan pompa. Sumber-sumber air bersih untuk PDAM Kabupaten semarang meliputi :
1. Cabang ungaran memiliki 11 sumber air bersih, namun tiga diantaranya tidak digunakan untuk pemakain PDAM. Produksi terbesar ialah pada mata air gogik
(48.211,2 air bulan) disusul sumber air siwarak, lempuyangan Bawah, kalidoh kecil dan ngablak.
2. Cabang ambrawa memiliki 12 sumber air bersih, namun dua diantaranya tidak digunakan untuk pemakain PDAM. Produksi terbesar ialah pada sumur dalam tegal rejo ( 37.944 air/bulan) disusul sumber di jeporo, kali bening i, legowo, dan domplang.
3. Cabang salatiga memiliki 10 sumber air, dan 1 sumber tidak digunakan oleh PDAM. Produksi air terbesar adalah air kewayuhan (32.140,8 air/bulan), disusul oleh sumber di kalimantan t uk songo, senjoyo, tuk dandang, ngrawang.
Pelanggan terbesar adalah pada cabang ungaran ( 8.884 pelanggan) disusul kemudian pada cabang salatiga dan cabang ambarawa. Wilayah kabupaten semarang memiliki banyak sumber mata air pada daerah daerah dengan produktifitas air tanah tinggi maupun sedang. Selama ini, mata air ini dimanfaatkan penduduk untuk kebutuhan sehari hari ( mandi, mencuci dan air minum) pengairan sawah, perikanan. Selain digunakan pula oleh PDAM sebagai penyedian air bersih.
Secara keseluruhan, mata air di wilayah ini mencapai kapasitas 7.331,2 liter/detik. Penyebaran mata air di setiap wilayah kabupaten semarang yang memiliki tiga kantor cabang, yaitu kantor cabang Ungaran, Amabarawa dan Salatiga dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Air Diproduksi dan Didistribusi di Kabupaten Semarang Kapasitas No Kantor cabang PDAM Terpasang (lt/dt) Terpakai (lt/dt) Produksi Air/bulan (m3) 1 PDAM Cabang Ungaran 221,00 164,90 429580,74 2 PDAM Cabang
Amabarawa 100,50 73,76 178.578,23 3 PDAM Cabang Salatiga 125,00 93,22 198.590,40 Jumlah 446,5 331,88 806.749,37
Sumber: PDAM Kabupaten Semarang, 2006
Produksi air bersih PDAM Kabupaten Semarang mencapai 806.749 per bulan (pada per iode juli 2006), dengan kapasitas terpasang sebesar 446,5 liter/detik dan
kapasitas terpakai sebesar 331,88 liter/detik. Jadi tidak seluruh kapasitas air bersih PDAM terpakai, hanya 74%.
3.1.3 Tarif Air Minum di Kabupaten Semarang
Tarif air minum di Kabupaten Semarang saat ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati Semarang Nomor 29 Tahun 2005 tentang Tarif Air Minum PDAM Kabupaten Semarang pada tanggal 29 Desember 2005, dengan struktur tarif minum sebagai berikut:
Tabel 3.2 Struktur Tarif Air Minum PDAM Kabupaten Semarang
Kelompok Pelanggan Tarif Air Minum setiap meter kubik (Rp.) 0
–
10 > 10 - 20 > 20–
30 > 30 Kelompok I 1. Sosial Umum 330 330 330 390 2. Sosial Khusus 390 390 390 470 Kelompok II 1. Rumah Sederhana 590 1000 1030 1230 2. Rumah Semi Menengah 650 1110 1140 1370 3. Rumah Menengah 780 1330 1370 1640 4. Rumah Mewah 1040 1770 1820 2190 5. Instansi Pemerintah 780 1330 1370 1640 Kelompok III 1. Niaga Kecil 890 910 1190 1420 2. Niaga Menengah 1440 1480 1930 2310 3. Niaga Besar 1880 1940 2520 3020 Kelompok IV 1. Industri Kecil 1940 2520 2910 3950 2. Industri Menengah 2170 2810 3250 4410 3. Industri Besar 2280 2960 3420 4650 Kelompok VKelompok Pelanggan Khusus Berdasarkan Kesepakatan Sumber : Peraturan Bupati Semarang No. 29/2005
3.1.4 Kemitraan PDAM Kabupaten Semarang dan PT. Sarana TIrta Ungaran Dalam penilaian kemitraan yang saling menguntungkan, terdapat perbedaan antara pemerintah dan sektor swasta. Bagi pemerintah keuntungan lebih mengarah kepada benefit (manfaat), yang melihat keuntungan bukan semata-mata dari segi keuangan (finansial) atau adanya profit (laba usaha). Akan tetapi lebih dari itu, misal termanfaatkannya aset PDAM eks P3KT, cakupan layanan PDAM meningkat serta sebagai salah satu upaya meminimalkan terjadinya dampak lingkungan akibat
Sementara itu bagi swasta, keuntungan berarti usaha tersebut haruslah mendatangkan profit , yaitu laba usaha, disamping benefit, yaitu mendapatkan pengalaman yang dapat
dipergunakan untuk menjalin kemitraan dengan pemerintah daerah yang lain.
Saat ini PDAM Kabupaten Semarang semakin dituntut untuk meningkatkan pelayanan baik dari segi kuantitas maupun kualitas seiring dengan pertumbuhan penduduk. Permasalahan macetnya Proyek Program Pengembangan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) ikut menambah persoalan PDAM dengan tanggungan pengembalian pinjaman yang cukup berat. Aset-aset yang sudah terlanjur dibeli pada proyek P3KT berupa alat-alat mekanik dan pipa-pipa distribusi juga sudah terlalu lama disimpan dan
mengalami penyusutan.
Dalam rangka peningkatan pelayanan serta penyelamatan aset eks P3KT tersebut di atas, maka pada tanggal 29 April 2003, PDAM menandatangani kerjasama dengan PT. Sarana Tirta Ungaran ( PT. STU) dalam rangka pengembangan pelayanan penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang. Kemitraan dalam penyediaan air bersih
ini juga menggunakan skema Built, operate and transfer (BOT). Masa konsesi 27 tahun sejak operasional Oktober 2004. Nilai investasi yang dibutuhkan sebesar Rp. 33,638 milyar. Aset PDAM eks P3KT berupa alat-alat mekanik dan pipa-pipa distribusi yang bernilai Rp. 8,12 milyar juga dijadikan sebagai penyertaan modal. PDAM akan menerima royalti sebesar 4% flat dari penjualan air PT. STU kepada industri dan deviden sebesar 14% atas penyertaan modal.
Sumber air yang diambil adalah air permukaan Sungai Tuntang, yang setelah diolah di Instalasi Pengolah Air (IPA) kemudian ditransmisikan melalui pipa bawah tanah ke reservoir yang ada di Desa Wujil kecamatan Bergas sejauh 12,673 km. Air bersih hasil olahan ditampung dalam clear well , untuk kemudian ditransmisikan ke bak penampung Bawen. Karena elevasi bak penampung Bawen lebih tinggi dari IPA
Tuntang, maka digunakan pompa booster . Dari bak penampung Bawen, air dialirkan secara gravitasi ke bak penampung Harjosari yang berjarak 2 km dan bak penampung air bersih di Wujil.
Gambar 3.2 Sungai Tuntang sebagai Sumber Air Baku
Gambar 3.3 Instalasi Pengolah Air PT. STU
Debit pengambilan air tahap pertama sebesar 100 liter/detik dan tahap kedua sebesar 150 liter/detik untuk industri, sehingga total penyediaan adalah 250 liter/detik. Kapasitas produksi 250 liter/detik ini disesuaikan dengan Ijin Pengambilan Air berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 610/107/2003 tanggal 5
Desember 2003.
Hingga saat ini, pengambilan air masih 100 liter/detik, dimana 50 liter /detik dijual kepada PDAM Kabupaten Semarang untuk memenuhi kebutuhan domestik di Kecamatan Ungaran dan Kecamatan Bergas, sedang siasanya 50 liter/detik dikelola PT. STU untuk mencukupi kebutuhan non domestik (industri) di sekitar Kecamatan Bawen, Kecamatan Bergas, Kecamatan Pringapus dan Kecamatan Ungaran.
Harga jual air kepada PDAM saat ini yaitu sebesar Rp. 500/m3, sedangkan tarif air untuk industri dibagi 2 (dua), yaitu untuk pemakaian kurang dari 30 liter/detik tarif air sebesar Rp. 3.060/m3 dan untuk pemakaian di atas 30 liter/detik sebesar Rp. 2.790/m3. Sementara itu untuk menghasilkan air bersih tiap m3 biaya produksi yang harus dikeluarkan antara Rp. 1.200 – 1.300. Dengan beban pinjaman yang harus dibayarkan tiap bulannya, menurut PT. STU, total pendapatan dari penjualan air bersih dengan tarif tersebut masih belum menutup seluruh biaya pengeluaran.
Permasalahan lainnya adalah minat industri untuk berlangganan air bersih ini nampaknya masih kecil. Hal tersebut menurut perkiraan sementara karena industri masih mempunyai sumber air alternatif dan sudah terlanjur menginvestasikan modal yang cukup besar untuk pembuatan sumur dalam guna memenuhi kebutuhan air bersihnya. Dengan demikian debit pengambilan air sebesar 250 liter/detik sesuai ijin yang diberikan belum dapat dilaksanakan sepenuhnya. Pelanggan industri yang memanfaatkan air bersih saat ini baru mencapai 12 perusahaan atau 25,5% dari total industri yang ada di area cakupan layanan yang mencapai total 47 perusahaan. Persoalan utama yang timbul dalam pelaksanaan kemitraan pemerintah – swasta tersebut, mempunyai potensi kerugian bagi PT. STU selaku pengelola air bersih dan pada akhirnya mengancam keberlanjutan dari kerjasama.
3.1.5 Analisis Kerjasama PDAM Kabupaten Semarang dan PT. Sarana Tirta Ungaran
Tindak lanjut pembangunan prasarana air bersih di kabupaten Semarang telah dimulai sejak terjadinya kegagalan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) yang menyisakan beban berat bagi PDAM Kabupaten Semarang. Upaya untuk mencari investor yang mau dan mampu melanjutkan program P3KT juga telah dilakukan secara terbuka.
Kemitraan antara PDAM Kabupaten Semarang dan PT. SARANA TIRTA UNGARAN sebagai bentuk usaha bersama dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan efisiensi penyediaan air bersih bagi kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya kemitraan tersebut dituangkan dalam perjanjian kerjasama dihadapan notaris pada tanggal 29 April 2003. Kerjasama ini menggunakan pola Built Operate Transfer (BOT) dengan masa konsensi 27 Tahun. Dalam perjanjian kerjasama ini memuat kesepakatan-kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak dan juga persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam rangka melaksanakan kerjasama secara rinci dan mendetail sebagai wujud pelaksanaan keputusan bersama. Salah satu isi perjanjian yang penting adalah tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 3.5 Pengelompokan Hak dan Kewajiban Masing-Masing Pihak dalam Kemitraan
Dalam gambar terlihat adanya indikasi ketidakseimbangan dalam hak dan kewajiban masing-masing pihak terutama dalam hal alokasi risiko. Kewajiban PT. SARANA TIRTA UNGARAN untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kerjasama hanya diimbangi kewajiban PDAM yang membantu sebatas kelancaran perijinan yang berkaitan dengan pelaksanaan kerjasama. Padahal sebagai investor swasta PT.
SARANA TIRTA UNGARAN tentunya berharap Pemerintah sebagai pembuat peraturan perundang-undangan juga turut menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pelaksanaan pengembangan air bersih tersebut, sehingga ada jaminan modal yang
ditanamkan dapat diperoleh kembali beserta keuntungan yang wajar.
Tidak tercantumnya suatu kesepakatan untuk membentuk Badan Usaha Bersama antara PDAM dan PT. SARANA TIRTA UNGARAN dalam jangka waktu tertentu turut mempersulit pengembangan penyediaan layanan air bersih ini. PT. SARANA TIRTA UNGARAN dituntut harus mampu menjalankan usaha ini dan menanggung risiko sendirian, padahal PDAM akan selalu menerima royalti meskipun usaha ini mengalami kerugian, sementara bila ada keuntungan PDAM juga mendapat pembagian deviden atas aset PDAM yang dipakai sebagai modal usaha. Semakin besar keuntungan yang didapat dari usaha ini semakin besar pula deviden yang akan diterima PDAM.