• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Karya Sastra

2.1.1 Definisi Karya Sastra

Karya sastra adalah karya estetis yang berupa rangkaian kata indah, hasil aspirasi, imajinasi, dan kreatifitas yang memiliki fungsi untuk menghibur, memberikan kenikmatan emosional dan intelektual. Karya sastra dihasilkan oleh seorang pengarang melalui proses imajinasi ataupun pengalaman dari pengarangnya.

2.1.2 Jenis-jenis karya sastra

Berdasarkan jenisnya karya sastra dibagi menjadi tiga yaitu. a. Prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat oleh kaidah yang

terdapat pada puisi (kamus besar bahasa Indonesia: 899).

b. Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (kamus besar Bahasa Indonesia: 903).

c. Drama adalah cerita atau kisah terutama yang melibatkan konflik atau emosi yang khusus disusun untuk pertunjukan teater (kamus besar bahasa Indonesia: 275).

2.1.3 Cerpen

Cerita pendek (cerpen) adalah kisahan pendek (kurang dari sepuluh ribu kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan

(2)

memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002).

Dalam Burhan Nurgiyantoro (1994: 10). dikatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam, suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Panjang cerpen bervariasi, ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan ribu kata. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas. Kelebihan cerpen adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak, jadi, secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan.

Ciri khas Cerpen adalah singkat, padat, dan intensif. Bahasa cerpen biasanya padat dan dapat menarik perhatian. Sebuah cerpen harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Cerpen harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, kemudian menarik pikiran.

(3)

2.1.4 Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik Cerpen

Dalam karya sastra cerpen terdapat dua unsur yang membangun yaitu.

a. Unsur Instrinsik

Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur instrinsik karya sastra (termasuk cerpen) adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur instrinsik inilah yang mewujudkan sebuah karya sastra. Beberapa unsur yang dimaksud dan juga dibahas pada bab ini adalah tema, amanat, alur, penokohan, setting/latar.

Berikut ini adalah unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra cerpen.

1. Tema

Menurut Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: ) Tema adalah makna yang dikandung dalam sebuah cerita.

Tema merupakan gagasan dasar yang menjadi patokan dalam pembuatan suatu karya sastra atau sebuah tulisan. Untuk memahami makna sebuah cerpen, kita harus terlebih dahulu memahami tema dari cerita tersebut.

(4)

2. Amanat

Amanat merupakan pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Di dalam sebuah cerpen terdapat beberapa amanat yang ingin disampaikan pengarang. Amanat tersebut dapat disampaikan secara langsung dari penggalan cerita, tetapi ada juga yang tidak langsung.

3. Plot/Alur

Alur merupakan jalan cerita dari cerpen itu sendiri. Alur juga merupakan unsur instrinsik pada cerpen yang juga tidak boleh diabaikan. Tanpa ada alur yang jelas, pembaca tidak akan mengerti keseluruhan cerita. Intisari plot memang konflik, tetapi suatu konflik dalam cerpen tidak bisa dipaparkan begitu saja.

Menurt Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain.

Dalam buku yang berjudul “teknik mengarang” Mochtar Lubis (dalam A.Murtjahjo Nugroho, 1988: 26), mengupas elemen-elemen plot ke dalam lima bagian yaitu.

a. Situasion (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan). b.Generating Circumstances (peristiwa yang bersangkut paut).

(5)

d. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya)

e. Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa)

4. Penokohan

Penokohan yang dikatakan oleh Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165) adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjukpada kualitas pribadi seorang tokoh

Dalam penokohan dibahas karakter dan watak tokoh-tokoh yang membangun cerita tersebut. Tokoh cerita (character) menurut Abrams dalam (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165-166). adalah orang-orang yang ditafsirkan oleh pembaca memiliki suatu kualitas moral dan tindakan-tindakan atau kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan perilakunya. Ia melihat bahwa pembacalah yang memberi arti pada semua tokohnya.

5. Latar

Latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan

(6)

lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216).

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan ealistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.

b. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.

Menurut Wellek dan Warren (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 24) bahwa unsur ekstrinsik berikut adalah psikologi, baik berupa psikologi pengarang (yang mencangkup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya.

2.2 Psikologi Sosial

2.1.1 Definisi Psikologi Sosial

Kata psikologi mengandung kata psyche yang dalam bahasa Yunani berarti “Jiwa” dan kata logos yang dapat diterjemahkan dengan kata “ilmu”. Dengan demikian, istilah ilmu jiwa merupakan terjemahan harfiah dari istilah psikologi. Istilah psikologi merujuk kepada ilmu pengetahuan yang sekaligus bercorak ilmu rohaniah, ilmu eksata, dan ilmu sosial modern.

(7)

Psikologi memiliki berbagai macam cabang ilmu pengetahuan dan salah satunya adalah psikologi sosial. Psikologi sosial merupakan cabang psikologi khusus yang menguraikan dan menerangkan kegiatan-kegiatan manusia dan khususnya kegiatan-kegiatannya dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial. Situasi sosial itu sendiri adalah situasi dimana terdapat interaksi (hubungan timbal-balik) antar manusia maupun antara manusia dengan hasil kebudayaannya (W.A Gerungan, 2004: 31). Objek secara material dari psikologi sosial adalah fakta dan kejadian dalam kehidupan sosial manusia di masyarakatnya, atau dengan kata lain, gejala-gejala sosial.

Secara lengkap rumusan tentang ilmu psikologi sosial adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari dan menyelidiki pengalaman dan tingkah laku manusia yang dipengaruhi atau ditimbulkan oleh situasi-situasi sosial.

Gambaran mengenai ilmu psikologi sosial semuanya mengenai kehidupan sosial manusia. Jadi, objek secara material dari psikologi sosial adalah fakta dan kejadian dalam kehidupan sosial manusia di masyarakatnya.

a. Ilmu Jiwa Menurut Plato

Plato berpendapat bahwa jiwa manusia terbagi atas dua bagian, yaitu jiwa rohaniah dan jiwa badaniah. Jiwa rohaniah berpangkal pada rasio dan logika manusia. Sedangkan jiwa badaniah dibagi kedalam dua bagian, yaitu bagian jiwa yang disebut kemauan dan bagian jiwa yang disebut dengan nafsu perasaan. Kemauan adalah

(8)

jiwa badaniah yang berusaha untuk menaati rasio kecerdasan, sedangkan nafsu perasaan merupakan jiwa badaniah yang senantiasa melawan ketentuan-ketentuan dari rasio kecerdasan manusia.

b. Psikologi Sosial Menurut Gustave Ie Bon (1841-1932)

Gustave Ie Bon terkenal karena menyumbangkan gagasannya mengenai “massa”. Massa adalah kumpulan orang yang terkumpul karena minat atau kepentingan bersama dalam suatu waktu yang bersifat sementara. Ie Bon mengatakan bahwa massa itu mempunyai suatu jiwa tersendiri yang sifatnya berbeda dengan sifat-sifat jiwa tiap individunya. Jadi tiap individu akan memiliki tingkah laku yang berbeda pada saat ia sendirian dalam kehidupan sehari-harinya dengan saat ia berada dalam suatu massa.

Pendapatnya ternyata menimbulkan banyak kritik karena pendapatnya hanya menonjolkan sifat-sifat negatif dari suatu massa, padahal massa juga dapat bersifat membangun dan mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik (W.A Gerungan, 2004: 35-36).

c. Psikologi Sosial Menurut Sigmund Freud

Freud berpendapat bahwa jika massa itu sebenarnya juga sudah terdapat dan dicakupi oleh jiwa individu itu, tetapi jiwa massa yang primitif itu terdapat pada individu manusia dalam taraf yang tidak sadar. Jadi, sifat-sifat yang rasional itu seperti mudah tersinggung dan mudah dipengaruhi dan lain-lain, menurut Freud

(9)

dalam jiwa individu manusia sudah ada, tetapi dalam keadaan terpendam.

d. Psikologi Sosial Menurut Emile Durkheim

Seorang tokoh sosiologi yang berpengaruh besar terhadap perkembangan psikologi sosial adalah Emile Durkheim (1858-1917).

Menurut Durkheim, masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang hidup sacara kolektif dengan pengertian-pengertian dan tanggapan-tanggapan yang kolektif, dan hanya kehidupan yang kolektif ini yang dapat menerangkan gejala-gejala sosial maupun gejala-gejala kemasyarakatan.

Pada hakikatnya Durkheim telah menunjukan dengan jelas kepada ahli-ahli ilmu-ilmu sosial bahwa jiwa kolektif serta tanggapan-tanggapan kolektifnya seperti norma-norma dan cita-cita sosial suatu masyarakat memang memegang peranan penting dalam pergaulan sosial kita (W.A Gerungan, 2004: 38-40).

e. Psikologi Sosial Menurut Kurt Lewin

Menurut Kurt Lewin (dalam W.A Gerungan, 2004: 42), menegaskan bahwa untuk meneliti tingkah laku manusia dengan sebaik-baiknya, harus diingat bahwa manusia itu hidup dalam suatu Field, yaitu suatu lapangan kekuatan-kekuatan fisis maupun psikis yang senantiasa berubah-ubah menurut situasi kehidupannya.

(10)

2.1.2 Ruang Lingkup Psikologi Sosial

Bahan atau objek penelitian dari psikologi sosial adalah manusia yang dengan kecerdasan dan kekuatannya dapat menguasai alam, menaklukkan makhluk yang lebih kuat darinya, dan menciptakan segala sesuatu untuk kesempurnaan dirinya, dengan kegiatan-kegiatan sosialnya.

Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal-budi serta perasaan, selalu menjadi objek yang menarik untuk dipelajari. Manusia dalam kehidupannya adalah makhluk individu dan juga makhluk sosial.

a. Manusia sebagai makhluk individu

Manusia sebagai makhluk individual, berarti manusia merupakan satu kesatuan yang utuh. Individu berasal dari kata “in-dividere”, yang berarti tidak dapat dipecah-pecah. Alfted Adlerm (dalam H. Abu Ahmadi, 1997: 17) menegaskan bahwa jiwa manusia adalah merupakan suatu kesatuan, sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, dan mereaksi lingkungan juga secara keseluruhan. Individu yang satu berbeda dengan individu yang lain.

Oleh karena itu, tidak ada dua pribadi yang sama. Meskipun anak kembar, tetapi pada waktu yang bersamaan akan menunjukkan perkembangan yang berbeda dan bereaksi secara berbeda pula.

(11)

b. Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Manusia secara hakiki adalah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain. Menurut Freud (dalam W.A Gerungan, 2004: 26-27), super-ego pribadi manusia sudah mulai dibentuk ketikaia berumur 5-6 tahun dan perkembangan super-ego tersebut berlangsung terus menerus selamaia hidup. Super-ego yang terdiri atas hati nurani, norma-norma, dan cita-cita pribadi itu tidak mungkin terbentuk dan berkembang tanpa manusia itu bergaul dengan manusia lainnya, sehingga sudah jelas tanpa pergaulan sosial itu manusia tidak dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya.

2.1.3 Perbedaan Psikologi, Antropologi, dan Sosiologi

Psikologi sosial baru muncul sekitar seratus tahun yang lalu. Sebelum itu, gejala perilaku manusia dipelajari oleh antropologi dan sosiologi.

Antropologi mempelajari manusia sebagai suatu keseluruhan. Antropologi mencoba menerangkan hakikat perilaku manusia dengan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan berbagai suku bangsa di dunia.

Sosiologi mempelajari tingkah laku manusia sebagai bagian dari lingkungan yang terbatas, seperti keluarga, desa, masyarakat di suatu wilayah tertentu, dan sebagainya. Sosiologi tidak membahas

(12)

hubungan antara individu dengan individu, tetapi hanya membahas kelompok manusia sebagai satu kesatuan.

Sedangkan sasaran penelitian psikologi sosial adalah tingkah laku manusia sebagai individu. Inilah yang membedakan psikologi sosial dari antropologi dan sosiologi yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai bagian dari masyarakatnya (Sarlito Wirawan Sarwono, 2002: 1-2).

2.3 Sikap (attitude)

Dalam pembahasan yang berkaitan dengan psikologi termasuk psikologi sosial, hampir selalu menyertakan unsur sikap. Sikap selalu dikaitkan dengan perilaku yang berada dalam batas kewajaran dan kenormalan yang merupakan respon atau reaksi terhadap lingkungan sosial. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku seseorang.

Istilah sikap (attitude) digunakan pertamakali oleh Herbert Spencer (1862). Dari berbagai definisi yang dilontarkan oleh para ahli ilmu jiwa seperti Charles Osgood, Gordon W. Allport, La Pierre, dan lainnya dapat disimpulkan bahwa sikap adalah reaksi seseorang terhadap suatu objek yang dilakukan dengan cara-cara tertentu, dengan tujuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial yang telah terkondisikan, dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek itu (W. A. Gerungan, 2004: 160-161).

(13)

2.3.1 Pembentukan Dan Perubahan Attitude

Pembentukan attitude tidak terjadi dengan sendirinya atau dengan sembarang saja. Pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dan berkaitan dengan objek tertentu. Interaksi sosial di dalam kelompok maupun di luar kelompok dapat mengubah perilaku seseorang dan membentuk perilaku yang baru.

Faktor-faktor yang turut memegang peranan ada dua, Yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal

Faktor internal berhubungan erat dengan motif-motif dan attitude-attitude yang bekerja dalam diri kita pada waktu itu dan yang mengarahkan minat perhatian kita terhadap objek-objek tertentu di antara keseluruhan objek yang mungkin kita perhatikan pada waktu itu (W.A Gerungan, 2004: 167-168).

b.Faktor Eksternal

Faktor eksternal antara lain sifat, isi pandangan baru yang ingin diberikannya itu, siapa yang mengemukakannya, dan siapa yang menyokong pandangan baru tersebut, dengan cara bagaimana pandangan itu diterangkan, dan dalam situasi bagaimana attitude baru itu diperbincangkan (situasi interaksi

(14)

kelompok, situasi orang sendirian, dan lain-lain) (W.A Gerungan, 2004: 168).

2.3 Amanat Moral

2.3.1 Definisi Amanat Moral

Amanat moral berasal dari kata amanat yaitu pesan, wajengan keseluruhan makna atau isi pembicaraan, dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya. Sedangkan moral selalu mengacu pada baik-buruk manusia sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok-tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang (Franz Magnis-Suseno, 1989: 19). Moral berwenang untuk menetapkan apa yang boleh kita lakukan dan apa yang tidak. Setiap orang perlu bermoralitas. Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral diperlukan refleksi kritis etika.

Amanat moral adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca tentang sikap, perbuatan atau kewajiban seseorang dalam berbagai hal, Damono (1978: 50).

2.3.2 Amanat Moral Dalam Karya Sastra

Dalam karya sastra, moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, dan merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat

(15)

cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 320). Moral dengan demikian, dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Kenny, 1966: 89 dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 320).

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerita, menurut Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994: 321), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.

2.3.3 Jenis dan Wujud Amanat Moral

Dalam karya sastra biasanya mengandung dan menawarkan amanat moral yang dapat disampaikan oleh seorang penulis terhadap pembacanya. Biasanya jenis dan wujud pesan moral yang terdapat

(16)

dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan, dan inters pengarang yang bersangkutan.

Jenis ajaran moral dapat mencangkup masalah, yang boleh dikatakan, dan bersifat tak terbatas, dapat mencangkup seluruh persoalan hidup dan kehidupan manusia, seluruh persoalan yang mencangkup seluruh harkat dan martabat manusia (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 323).

2.3.4 Bentuk Penyampaian Amanat Moral

Pada karya sastra , dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan pengarang untuk mendialogkan, menawarkan, dan menyampaikan sesuatu yang berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral atau amanat. Dalam hal ini, karya sastra dapat dipandang sebagai sarana komunikasi yang merupakan salah satu wujud karya seni yang notabenenya mengemban tujuan estetik, yang tentunya memiliki kekhususan sendiri dalam hal menyampaikan pesan-pesan moralnya (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 335).

Dalam karya sastra, ada dua bentuk cara untuk menyampaikan amanat moral, yaitu penyampaian langsung dan penyampaian tidak langsung.

a. Bentuk Penyampaian Langsung

Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian,

(17)

telling, atau penjelasan. Dalam penyampaian pesan moral langsung, pengarang mendeskripsikan perwatakkkan tokoh-tokoh yang bersifat memberi tahu atau memudahkan penbaca untuk mudah memahaminya (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 335).

b. Bentuk Penyampaian Tidak Langsung

Bentuk penyampaian moral secara tidak langsung adalah hanya menyampaikan pesan yang tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Meskipun pengarang ingin menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta merta dan vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita. Kalaupun ada yang ingin dipesankan, hal itu hanyalah lewat siratan saja dan terserah kepada penafsiran pembaca (Burhan Nurgiyantoro,2005: 339).

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar di atas terlihat bahwa langit-langit pemantul gantung yang diletakan dengan tepat menghasilkan pemantulan bunyi memadai ke tempat duduk yang

Pada Gambar 8 terlihat ada tiga variasi pengukuran kecepatan linier solution shaker yaitu pengukuran kecepatan ketika tanpa beban, pengukuran kecepatan dengan beban 50 g dan

Dari hasil regresi yang telah disajikan pada tabel 2 diatas nampak bahwa nilai hitung untuk Variabel Terikat (Harga Barang Sembako) sebesar 8,632 dengan tingkat signifikan yaitu

Secara umum dari model dapat dijelaskan bahwa latihan fisik dapat menurunkan kadar glukosa basal sementara setelah latihan, namun lama-kelamaan akan naik kembali ke

(2) Penggunaan sarana kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala BNN cq Kepala biro umum BNN, Kepala

MLM yang baik biasanya bergabung dalam APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia). Setiap perusahaan yang ingin bergabung dalam APLI, diteliti dulu apakah memenuhi

Dari hasil penelitian ini diketahui adanya pengaruh signifikan dari kepuasan kerja terhadap turnover intention karyawan Departemen Dunia Fantasi PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk, dan

hipotesis kedua bahwa prestasi belajar siswa yang memiliki gaya belajar auditorial dan visual lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki gaya belajar