• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

INFO JUDICIAL REVIEW

(Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi)

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG

PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

25 NOVEMBER 2020

A. PENDAHULUAN

Bahwa pada hari Rabu tanggal 25 November 2020, pukul 14.54 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (selanjutnya disebut UU 18/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 20/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 20/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

B. PEMOHON

Bahwa permohonan pengujian UU 18/2017 diajukan oleh H. Sunaryo, H.S dan Zarkasi yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Dr. Muhammad Junaidi, S.HI, M.H. dan Khikmah, S.H yang tergabung dalam Junaidi & Partner yang untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

(2)

2

C. PASAL/AYAT UU 18/2017 YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN

Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengujikan Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017 yang berketentuan sebagai berikut:

Pasal 5 huruf d

Setiap Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja di luar negeri harus

memenuhi persyaratan:

d. terdaftar dan memiliki nomor kepesertaan Jaminan Sosial; dan”

Pasal 54 ayat (1) huruf b

(1) “Untuk dapat memperoleh SIP3MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus memenuhi persyaratan:

b. menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam Pelindungan Pekerja Migran Indonesia”

D. BATU UJI

Bahwa Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017 dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.

E. PERTIMBANGAN HUKUM

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU

18/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan

pertimbangan hukum sebagai berikut: Dalam Provisi

[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi kepada Mahkamah yang pada pokoknya meminta Mahkamah menerbitkan putusan sela sebelum menjatuhkan putusan akhir, menunda pelaksanaan berlakunya pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Bukti P-21yang lahirnya pencabutan izin tersebut disandarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017, sampai adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi terhadap pokok permohonan Pemohon dengan alasan yang pada pokoknya agar ada jaminan kepastian hukum atas kewenangan yang telah diberikan melalui perizinan sebelumnya. Menurut para Pemohon hal ini perlu agar dimungkinkan tanggung jawab yang harus dijalankan kepada Tenaga Kerja Indonesia yang seyogyanya sudah siap diberangkatkan oleh perusahaan para Pemohon dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

(3)

3

Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat alasan yang cukup untuk melakukan

penundaan keberlakuan norma a quo yang berimplikasi pada penundaan

berlakunya pencabutan izin perusahaan para Pemohon. Terlebih, terhadap

pokok permohonan dalam perkara a quo belum dipertimbangkan. Oleh

karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 58 UU MK, yang pada pokoknya menyatakan bahwa undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum adanya putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat tidak dapat dibenarkan secara hukum untuk menunda keberlakuan norma dari suatu

undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo. Dengan

demikian permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum dan harus dinyatakan ditolak.

Dalam Pokok Permohonan

[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “Deposito paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memenuhi rasa keadilan. Terhadap dalil tersebut, para Pemohon ternyata tidak memohon mengenai angka dari deposito yang harus disetorkan, namun dari petitum permohonannya yang dimohonkan oleh para Pemohon adalah agar norma tersebut dapat dimaknai dalam bentuk Jaminan Bank (Bank Garansi Oleh Bank Manapun) yang nilainyapaling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicairkan oleh pihak bank sesuai dengan permintaan pemerintah. Terhadap hal tersebut, maka permasalahan yang dikemukakan para Pemohon tersebut sesungguhnya adalah meminta agar setoran uang dalam bentuk deposito seharusnya ditafsirkan dalam bentuk Jaminan Bank, dan bank pemerintah ditafsirkan menjadi “Bank Manapun”. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka penting bagi Mahkamah untuk menguraikan apa sebetulnya tujuan dari syarat tersebut menurut

undang-undang a quo. Latar belakang filosofis dari syarat tersebut pada pokoknya telah

Mahkamah pertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XVII/2019, yang diucapkan sebelumnya pada tanggal 25 November 2020 yang antara lain mempertimbangkan:

“...a. Bahwa jumlah modal disetor dan jumlah deposito sebagaimana diatur

dalam pasal a quo, di satu sisi dapat dipahami sebagai beban bagi P3MI

untuk mendapatkan SIP3MI, padahal apabila dicermati secara saksama filosofi dan semangat dari UU 18/2017 adalah untuk lebih memberikan jaminan perlindungan kepada Pekerja Migran Indonesia. Menurut Mahkamah, regulasi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dengan menaikkan modal yang disetor dan deposito setoran ke bank pemerintah merupakan bagian dari upaya memberikan jaminan kualifikasi dan krediblitas P3MI sebagai pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia. Dengan melihat fakta hukum terjadinya berbagai kasus yang dialami oleh para PMI yang selalu diawali dengan adanya kelalaian P3MIdalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik pada saat dimulainya proses rekrutmen PMI hingga sampai pekerja migran selesai bekerja, maka kenaikan modal yang disetor dan setoran deposito sebagaimana diatur

(4)

4

dilakukan seiring berubahnya nilai mata uang dan juga yang lebih utama adalah sebagai upaya untuk meningkatkan marwah PMI yang dalam hal ini

juga diwakili oleh P3MI sebagai partner dari Pemerintah dalam pelaksanaan

penempatan Pekerja Migran Indonesia. Menurut Mahkamah, P3MI yang mendapatkan SIP3MI haruslah P3MI yang bukan hanya profesional dan

bonafide tetapi juga memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk

menjaga dan menjamin hak-hak asasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.

b. Bahwa syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 dimaksudkan agar P3MI sebagai pelaksana penempatan PMI dapat secara sungguh-sungguh membuat perencanaan secara profesional yang didasarkan kepada kemampuan perusahaan dan fakta-fakta yang diperkirakan secara cermat dan rasional yang berpengaruh terhadap realisasi dari rencana yang telah ditetapkan. Selain itu, menurut Mahkamah dengan adanya syarat tersebut dimaksudkan pula sebagai upaya untuk mencegah pendirian perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak bersungguh-sungguh. Terlebih lagi, apabila hal tersebut dikaitkan dengan objek usaha penempatan PMI adalah manusia dengan segala harkat dan martabatnya, maka persyaratan demikian merupakan bentuk lain dari upaya perlindungan terhadap PMI. Lebih lanjut, menurut Mahkamah, syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 UU 18/2017 justru bukan saja dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, akan tetapi kepastian berusahadan perlindungan hukum baik untuk P3MI, mitra P3MI, calon PMI dan/atau PMI, maupun pemerintah yang saling terkait dan sama-sama bertanggung jawab dalam rangka perlindungan PMI secara komprehensif.. ....e. Bahwa ketentuan pasal yang dimohonkan pengujiannya merupakan aturan yang bersifat umum yang berlaku bagi semua P3MI dan syarat tersebut bersifat fleksibel sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (3) UU 18/2017 yang menyatakan “Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan jaminan dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat ditinjau kembali dan diubah dengan Peraturan Menteri”. Selain itu,

ketentuan pasal a quo juga telah sejalan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan, “Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud ayat (1)”. Tambah lagi, ketentuan besaran modal disetor dan setoran deposito bagi P3MI merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang, menurut Mahkamah pilihan kebijakan untuk menaikan modal disetor dan setoran deposito dengan jumlah tertentu tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak

dapat dibatalkan oleh Mahkamah. (vide Putusan Mahkamah Konstitusi

(5)

5

Pertimbangan tersebut di atas merupakan sikap Mahkamah mengenai konstitusionalitas syarat yang ditentukan oleh Pasal 54 ayat (1) huruf b UU

18/2017. Oleh karenanya terhadap pasal a quo Mahkamah telah menegaskan

tidak ada persoalan konstitusionalitas norma.

Selanjutnya berkenaan dengan petitum para Pemohon mengenai bentuk penyetoran yang seharusnya dapat berbentuk bank garansi di bank manapun, menurut Mahkamah apabila hal tersebut dikabulkan justru potensial menciptakan ketidakpastian hukum dan sekaligus berpotensi mengurangi peran pemerintah dalam menciptakan akuntabilitas dan bonafiditas dari P3MI yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan para pekerja migran. Tentunya tanpa kepastian hukum dan bonafiditas tersebut, akan menimbulkan keraguan mengenai profesionalitas P3MI dan dalam jangka panjang justru membahayakan keselamatan pekerja migran. Menurut Mahkamah, karena sifat pekerjaan dan usaha dari P3MI yang bersifat lintas negara, penggunaan bank pemerintah adalah pilihan yang tepat, karena tidak semua bank, atau dalam diksi para Pemohon “Bank Manapun” dapat memberikan jaminan bonafiditas perusahaan, apalagi untuk kepentingan PMI yang berada di negara lain. Terlebih terhadap bank pemerintah terdapat jaminan keamanan dan kemudahan akses dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada PMI. Para Pemohon membandingkan syarat ini dengan syarat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang mensyaratkan salah satunya agar Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan perusahaan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) memiliki kemampuan teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji khusus yang dibuktikan dengan jaminan bank. Menurut Mahkamah perbandingan tersebut adalah tidak tepat, karena bidang usaha P3MI dengan perusahaan PIHK dan perusahaan PPIU adalah bidang usaha yang sangat berbeda dan memiliki implikasi yang sangat berbeda pula. Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 UU PPMI justru bukan saja dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, akan tetapi kepastian berusaha dan perlindungan hukum baik untuk P3MI, mitra P3MI, calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia, maupun pemerintah yang saling terkait dan sama-sama bertanggung jawab dalam rangka perlindungan Pekerja Migran Indonesia secara komprehensif. Dengan demikian dalil para Pemohon bahwa frasa “Deposito paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017 menciptakan ketidakadilan dan diskriminasi adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

F. AMAR PUTUSAN

Dalam Provisi

(6)

6 Dalam Pokok Permohonan:

1. Menyatakan permohonan Para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 5

huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6141) tidak dapat diterima.

2. Menolak permohonan Para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

G. PENUTUP

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk

umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi

dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara

negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 20/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima sepanjang mengenai Pasal 5 huruf d UU 18/2017 dan menolak permohonan Para Pemohon untuk selain dan selebihnya terhadap pengujian Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017 mengandung

arti bahwa ketentuan-ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI

Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa konsentrasi inokulum yang paling efektif pada fermentasi sampah buah jeruk menggunakan bakteri Zymomonas mobilis pada

Begitu pula terhadap aturan dalam ranah hukum perdata, walaupun pasal 1338 KUHPer menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi

Dari ketentuan Peraturan Jabatan Notaris maupun Undang -Undang Jabatan Notaris diatas dapat disimpulkan bahwa tugas pokok dari notaris adalah membuat akta-akta otentik,

003/PUU-IV/2006 menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

Pelayanan kesehatan gizi di Puskesmas terdiri dari pelayanan di dalam gedung yaitu Pelayanan kesehatan gizi di Puskesmas terdiri dari pelayanan di dalam gedung

Aspek-aspek yang diamati pada kegiatan belajar mengajar (siklus II) yang dilaksanakan oleh guru dengan menerapkan strategi pembelajaran demonstrasi mendapatkan

Oleh karena itu, terhadap Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Kepala desa yang sudah

- Menyatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2